Tak ada yang lebih baik daripada bersemangat untuk menjelajah kota yang baru didatangi pertama kali. Seperti yang saya rasakan ketika berdiri di pinggir area terbuka depan Stasiun Hakodate yang sepi, yang sebenarnya merupakan halte bus dan pangkalan taksi, meskipun tak ada kendaraan sama sekali saat itu.
Bisa jadi saya rindu area luas yang menentramkan sehingga begitu menikmati pemandangan depan mata yang tak terhalang. Keindahan itu semakin lengkap dengan tersedianya tempat-tempat duduk yang beratap maupun yang terbuka bersisian dengan bunga warna-warni yang ditata apik. Siapa sih yang tidak jatuh hati dalam situasi seperti itu? Bangku taman itu menjadi magnet yang mengundang duduk, membiarkan damai menyelimuti jiwa. Tak perlu lama, cukup sekejap namun kesan baik telah terukir dalam jiwa.
Menit berlalu, waktunya beranjak menuju sudut simpang, tempat manusia-manusia sabar menanti lampu lalu lintas berganti warna. Tak hanya mobil yang lalu lalang di jalan, karena tram, -dikenal sebagai street-car-, tidak mau kalah menjadi moda transportasi umum yang mengikuti relnya di median jalan.
Ketika menunggu di halte, dari arah berlawanan datang tram yang dari suara mesinnya saja saya sudah menduga bahwa tram itu memerlukan perawatan ekstra. Suaranya tak halus lagi, seperti dipaksa bekerja hingga terengah-engah. Kendaraan yang kelihatannya telah uzur itu seakan menjerit meminta daya hingga berbunyi groook, groook, glodaaak… Wajah-wajah penumpang terlihat datar, seperti memaklumi kondisi yang ada, sementara wajah masinis menyiratkan doa agar tramnya baik-baik saja.
Saya masih terpana dengan tram uzur tadi ketika tram yang dinanti muncul dari tikungan, bergerak pelan menuju halte. Beruntung mesin tram ini cukup halus, tak seperti tram yang baru berlalu. Mengikuti antrian, saya naik dari pintu tengah lalu mencari tempat duduk. Semoga saja saya bisa mendengar nama halte yang disuarakan mesin sehingga bisa turun sesuai rencana. Tapi, bagi jiwa yang suka menjelajah, bukankah dimana saja bisa menjadi tempat memulai?
Astaga, ternyata tram yang saya naiki juga menggeram meski tak separah sebelumnya. Mungkin pasokan listriknya tidak stabil atau memang perlu tambahan perawatan. Saya tersenyum bahkan di Jepang pun ada kendaraan umum yang ‘grok-grok’. Tapi tak apa, saya belajar dari penumpang lain yang maklum penuh syukur telah diantarkan kendaraan itu.
Dan benar saja, karena terlalu senang naik tram unik dan mata yang termanjakan sepanjang perjalanan, terlewatlah halte Jujigai, tempat yang seharusnya saya turun. Sambil tersenyum merasa disesatkan Semesta, saya turun di halte berikutnya, Suehirocho. Percaya atau tidak, saya memang seharusnya turun di Suehirocho, bukan di Jujigai karena jalan kaki lima menit tepi laut sudah menyambut.
Di tepi laut berpagar itu saya membiarkan jiwa terbang sejenak dalam kenangan dan cinta akan belau yang telah berpulang, membiarkan penglihatan mengabur oleh air mata yang menggenang. Sekian menit melesat terbang lalu jatuh meluncur kembali ke dunia nyata. Sepenuhnya saya sadar, menghidupkan kenangan tak akan mengubah apa-apa. Lebih baik melihat kenyataan meski tak mudah dan perih. Dalam diam saya mengambil sikap, harus berani mengeraskan hati seraya berkata, Cukup! Dulu Papa meminta saya untuk ke Hakodate, tentu bukan untuk berlinang air mata melainkan menikmatinya, menjelajahinya dalam sukacita.
Kekuatan itu menggiring untuk menyusuri tepi laut dekat dermaga lama. Semesta membawa saya berhenti di monumen bersejarah berhias jangkar besar, yang ternyata merupakan tempat pertama para pengarung laut menjejak pulau Hokkaido. What? Saya setengah tak percaya berhenti di tempat itu. Ya benar, di sini, dI Higashihama, yang terkenal sejak zaman Meiji menjadi gerbang sejati ke Pulau Hokkaido. The original landing site! Wow…
Monumen menyerupai beruang coklat yang berdiri di atas jangkar didesain oleh Nobumichi Akashi, -seorang professor di Universitas Waseda-, didirikan tahun 1968 untuk memperingati 100 tahun pendaratan di Hokkaido sekaligus mewujudkan rasa syukur atas keberhasilan para leluhur membuat Hokkaido menjadi lebih subur dan makmur.
Sinar matahari sore yang menerpa wajah membuat saya melangkah terus hingga ke batas kawasan Pangkalan Angkatan Laut Jepang yang tentu saja terbatas bagi turis seperti saya. Tak mau mencari gara-gara berjalan di kawasan itu, saya memilih berbelok ke arah gunung dan membiarkan pikiran berkelana tentang kota Hakodate.
Setiap langkah seakan bercerita tentang sejarah Hakodate yang awalnya bagaikan gadis cantik di pelosok bumi yang terjebak di tengah pergolakan sejak masa Tokugawa hingga Meiji. Kemudian terkenal karena pada tahun 1859 kota yang berhadapan dengan Lautan Pasifik ini menjadi salah satu kota pelabuhan perdagangan internasional bersama Nagasaki dan Yokohama. Akibatnya Hakodate menjadi sangat ramai karena perkembangan perdagangan internasional ini. Rumah dan gedung bergaya Barat dari bata dan kayu banyak didirikan di lokasi yang kini dikenal sebagai kawasan Motomachi yang berada di kaki gunung Hakodate, yang saat ini menjadi tujuan saya.
Setelah sekian kali mengambil rehat sejenak saat jalan menanjak dari tepi laut, akhirnya saya sampai juga di kawasan Motomachi. Di taman yang indah dengan pemandangan ke arah bawah yang luar biasa, tepi laut kota Hakodate!
Berada di kaki gunung dengan garis lintang tinggi, apalagi di akhir musim semi, saya merasakan udara sejuk menerpa wajah. Suasananya sepi dan nyaman sekali. Inilah liburan sejati, duduk di taman yang indah, menghirup wangi udara, merasakan sepoi angin, memanjakan mata dengan keindahan sekeliling, do nothing, just enjoy. Bahkan berdiam diri saja sudah membahagiakan.
Sekian menit melakukan sensasi bengong itu, saya berdiri untuk mengabadikan gedung bersejarah bernama Former Hakodate Branch Office of Hokkaido Government. Kalau di Indonesia mungkin namanya Kantor Pemda kali ya.
Gedung yang awalnya berdinding bata merah, kini berwarna biru muda cantik sebenarnya merupakan salah satu gedung bergaya Barat yang dibangun pada tahun 1909 dan berfungsi sebagai Kantor Cabang Pemerintahan Daerah di Hokkaido hingga tahun 1945.
Sayang sekali gedung indah itu sudah tutup sehingga saya tak bisa masuk namun saya bisa membayangkan betapa cantik interiornya karena fasad gedung dua lantai ini saja sangat keren. Seperti umumnya gedung bergaya Barat di zaman itu, fasadnya simetris dengan pintu masuk di tengah diapit dua jendela. Bahkan atapnya juga unik dengan empat sisi miring yang terbuat dari bata.
Hebatnya, gedung yang didesain oleh Kayayama Tokuma ini ternyata selamat dari pengeboman oleh tentara Sekutu dalam Perang Dunia II dan bahkan menjadi rumah sakit sementara untuk tentara Sekutu yang terluka sesudah perang berakhir. Perang memang buruk tapi di sini tak sampai menghilangkan rasa kemanusiaan. Tidak heran, gedung ini dirawat begitu cermat dan dimasukkan ke dalam Daftar Benda Budaya Penting di Jepang. Kini gedung ini dibuka untuk umum dan menjadi tempat tujuan wisata terkenal di Hakodate.
Dan di sisi lain, berdiri bangunan lain yang lebih kecil yang konon merupakan perpustakaan. Duh, terbayang enaknya membaca buku di kursi taman di bawah pohon yang rindang dengan pemandangan tepi laut.
Sedikit berjalan ke atas, berdiri dengan megahnya The Old Public Hall of Hakodate Ward, gedung lama pemerintah kota yang dibangun tahun 1910 yang menghadap pelabuhan Hakodate jauh di bawah. Kalau di Indonesia, mungkin disebut dengan Balai Kota yang biasanya memang punya pemandangan terbaik. Gedung bergaya arsitektur kolonial Barat ini merupakan salah satu landmark Hakodate dengan fasad simetris yang cantik berwarna abu kebiruan dengan aksen kuning. Yang mendirikan semua orang Jepang lho, dengan teknologi yang ada saat itu. Hebat ya.
Tapi tak pernah terbayangkan gedung secantik ini pernah terbakar hebat di bulan Agustus 1907, bersama Kamar Dagang Hakodate yang berdekatan. Hal ini disebabkan oleh kondisi alam Hakodate yang memiliki angin pantai yang kencang, sehingga kebakaran kecil bisa menghebat karena kekuatan angin. Akhirnya gedung Balai Kota ini dibangun kembali oleh Jinzaburo Muraki dan selesai pada tahun 1911.
Sayangnya, lagi-lagi saya belum beruntung untuk masuk. Konon ruang-ruang dalamnya tidak kalah cantik, yang dilengkapi dengan banyaknya lampu gantung di langit-langit yang penuh hiasan (dengan tiket 300 Yen bisa masuk ke dalam)
Waktu bergulir terus, saya kembali menyusuri jalan-jalan kecil di sekitar Motomachi. Sepanjang jalan terlihat rumah-rumah mungil Jepang dilengkapi taman apik yang juga mungil. Sungguh menyegarkan mata. Dan seperti juga di Indonesia, di antara rumah-rumah itu ada yang menjadikannya cafe, rumah makan kecil atau toko cinderamata. Uh, terpaksa pakai kacamata kuda untuk tidak mampir melihat produknya yang lucu-lucu.
Tak lama saya sampai di persimpangan yang cukup besar dengan jalan yang lebih lebar daripada jalan sekitarnya. Jalan Turunan Hachiman Zaka itu terkenal curam sehingga pelabuhan Hakodate terlihat dalam satu garis lurus. Saya mencoba mengambil foto ke arah Pelabuhan, tetapi sepertinya terhalang pohon-pohon yang ada di tepi jalan sehingga pelabuhan terlihat hanya sejumput.
Meskipun demikian, tak jauh dari persimpangan mata saya tertarik pada patung putih di halaman sebuah gedung yang ternyata merupakan Biara Katolik yang bernama Biara/Susteran St. Paul dari Chartres. Rupanya di tempat ini, tahun 1878 datanglah tiga orang biarawati (Sr. Marie-Auguste, Sr. Marie-Onésime dan Sr. Caroline) dari Perancis melakukan pelayanan kepada masyarakat setempat yang terjebak dalam derita akibat pertempuran di Hakodate sebagai upaya mengakhiri perang saudara Boshin. Dan patung putih di depan biara itu adalah patung Perawan Maria menggendong bayi Yesus yang tertidur nyenyak. Rupanya patung ini sebagai monumen peringatan asal mulanya jaringan Sekolah Katolik untuk perempuan (Shirayuri Gakuen) yang menyebar dari Hakodate ke seluruh Jepang (Aduh, saya teringat keseruan ketika bersekolah di SMA Tarakanita yang semua pelajarnya perempuan dengan rok kotak-kotak sedikit di atas lutut 😀)
Melangkah lagi, ada sebuah bangunan yang rasanya mengundang saya berhenti di depan pagar. Pasti bangunan ini memiliki cerita.. Saya membaca papan informasi, ternyata bertuliskan Gakuho Bequest Institute lai Kindergarten. Ah, taman kanak-kanak yang pastinya menyimpan sejarah manis.
Misionaris Amerika bernama Merriman C. Harris sampai di Hakodate tahun 1874 dan delapan tahun berikutnya dia bisa mendirikan Caroline Wright Memorial School karena dukungan pejabat-pejabat Amerika yang kehilangan anak. Tiga tahun kemudian nama sekolah berganti menjadi lai yang berarti Kenangan Cinta. Kemudian di lokasi yang sama didirikan pula sebuah taman kanak-kanak tahun 1895. Sayangnya Taman kanak-kanak tersebut terbakar habis dalam kebakaran besar di tahun 1907 dan baru dibangun kembali bergaya Barat enam tahun kemudian.
Semesta telah membuat saya berdiri di depan pagar Sekolah Kenangan Cinta ini dan menjadikan saya tertegun dalam kenangan. Sebagai seorang ibu yang pernah mengandung lalu keguguran, saya bisa merasakan beratnya rasa kehilangan anak. Saya kembali teringat rasa itu di depan sekolah yang berdiri dari donasi orang yang kehilangan anak, hanya untuk mengenang akan cintanya. Duh, perjalanan ini luar biasa.
Berjalan ke tetangga sebelah tempat berdirinya Gereja Orthodox Russia Hakodate yang memang menjadi magnet karena bentuknya yang keren dan sangat eye-catching. Gereja Ortodoks Rusia ini dibangun oleh Konsulat Rusia pada tahun 1858 sehingga menjadikannya sebagai gereja Orthodox Rusia yang tertua di Jepang. Namun bangunan gereja bergaya Barat yang sekarang berdiri ini adalah hasil pembangunan kembali di tahun 1916 tentunya setelah hancur dalam kebakaran besar tahun 1907.
Bersama dua wisatawan lain, saya menyusuri jalan setapak sekeliling gereja yang disebut oleh warga lokal sebagai Gan-Gan Dera atau Gereja Ding-Dong karena bunyi genta gereja setiap hari Sabtu. Meskipun dari luar saja karena pintunya tertutup rapat, saya cukup menikmati keindahan gereja itu jelang senja.
Sambil berjalan keluar halaman, saya masih memikirkan Gereja Orthodox Rusia di Hakodate ini. Mendadak saya berhenti lalu berbalik, astaga… saya baru tersadarkan, secara geografis Hakodate berada di Pulau Hokkaido, pulau yang terdekat lokasinya dengan wilayah Rusia. Dari Google bisa diketahui jarak Wakkanai di Hokkaido Utara ke Pulau Sakhalin di wilayah Rusia hanya sekitar 60 km! Jadi tidak heran Gereja Orthodox Rusia termasuk gereja yang paling awal berdiri.
Masih dalam euforia sadar geografis, saya kembali melangkah ke tetangga sebelah, tempat berdirinya Nippon Sei Ko Kai Hakodate St. John’s Church. Bangunan gereja ini juga merupakan salah satu gereja Anglican tertua di Jepang karena dibangun pada tahun 1874, yaaa… usianya hampir 150 tahun!
Jadi pada tahun itu Pendeta Dening dari Inggris datang ke Hakodate bersamaan waktu dengan dicabutnya larangan terhadap penyebaran agama Kristen, tentu saja kedatangannya bertujuan untuk membangun fondasi sejarah penginjilan dalam gereja Anglikan.
Yang luar biasa, setelah pembangunan gereja untuk pertama kalinya, bangunan itu terbakar dalam kebakaran besar yang melanda Hakodate, lalu gereja ini dibangun lagi, terbakar lagi, dibangun lagi dan terus berulang, hingga kini bangunan gereja yang berdiri adalah yang kelima kalinya dan selesai di tahun 1979 dalam bentuk salib dengan harapan berkat Tuhan bisa menyebar ke seluruh dunia. Karena bentuk arsitektur yang unik, gereja yang eye-catching ini mendapat Penghargaan Pemandangan Kota Hakodate.
Berjalan ke seberangnya, berdirilah Gereja Katolik Hakodate Motomachi, yang ternyata menyatu halaman dengan Biara Suster St. Paul dari Chartres yang saya lihat sebelumnya. Gereja Katolik Hakodate ini dibangun pada tahun 1860 dan setelah terbakar hebat, baru di tahun 1924 gereja ini dibangun lagi dengan interior bergaya Gothic, sebuah gaya yang jarang digunakan untuk katedral. Satu hal yang menjadi kebanggaan gereja ini, semua patung dan bahkan altar utama dibuat dari kayu yang berasal dari wilayah Tyrol, Itali dan dikirimkan langsung oleh Paus Benedict XV.
Waktu penjelajahan saya di wilayah Motomachi hampir habis karena sebentar lagi gelap akan datang. Saya bergerak menuju stasiun kereta gantung. Namun di sudut persimpangan saya mendadak berhenti melihat atap unik bangunan yang sejajar dengan jalan. Ternyata itu atap Kuil Ōtani Hongan-ji Hakodate Betsu-in yang merupakan cabang Kuil Higashi Honganji. Kuil satu-satunya di Jepang yang menggunakan beton bertulang dalam pembangunan kembali setelah sebelumnya hancur dalam kebakaran besar tahun 1907.
Waktu menjelajah benar-benar telah habis, saya bergegas agar bisa ke puncak Gunung Hakodate sebelum gelap sepenuhnya. Di tepi persimpangan jalan, saya berbalik badan, kembali menghadap kawasan Motomachi yang menentramkan. Tak ingin berucap Sayonara, tapi entah kapan saya akan kembali ke tempat yang indah ini. Yang pasti, di dalam hati berdenting ungkapan terima kasih, arigato gozaimasu… till we meet again…