Menikmati Sakura Di Singapura


Ketika pertama kali ke Jepang jelang musim semi berakhir pada tahun 2013 yang lalu, saya merasa sedikit menyesal melihat bunga-bunga Sakura telah rontok karena waktu mekarnya sudah lewat. Saat itu, saya hanya mendapati satu atau dua pohon yang masih berbunga di Kyoto, itu pun amat sedikit. Meskipun saat itu berhanami, -melihat keindahan bunga Sakura-, bukan menjadi tujuan utama saya di Jepang, entah kenapa saya menyimpan keinginan untuk suatu saat bisa melakukannya.

Tahun-tahun berlalu, saya pun sudah bolak-balik ke Jepang, tetapi tidak satu pun datang kesempatan bagi saya untuk melakukan hanami pada musimnya. Padahal teman-teman lain telah memamerkan foto-foto bersama Sakura di taman-taman di Jepang. Saya hanya bisa menggigit jari. Tiket pesawat ke Jepang bisa dibilang mahal saat musim Sakura, selain itu, sayang sekali ke Jepang jika hanya sebentar.

Siapa sangka, berdasarkan foto seorang teman dengan latar belakang bunga Sakura di Garden By The Bay, Singapura di tahun 2018 membuat saya mencatatnya di dalam hati untuk mengikuti langkahnya.

Jadilah di bulan Maret 2019 lalu, akhirnya saya bisa berhanami, -menyaksikan keindahan bunga-bunga Sakura yang bermekaran-, di Singapura. Meskipun bukan di negeri asalnya, saya tetap berbahagia dan bersyukur sekali bisa menikmati kecantikan bunga-bunga yang menjadi simbol negara Jepang itu.

Meskipun hanya bisa menikmati keindahan Sakura tanpa tahu jenis-jenisnya, suasana indah yang penuh bunga itu memang bisa membuat senyum terus tersungging di wajah. Bagaimana tidak, begitu sampai di depan pelataran Flower Dome, saya melihat payung merah dan sepasang patung manusia bergaya Jepang dengan pakaian dari bunga.

Dan Torii!

Bagi saya, tidak ada Jepang tanpa Torii yang berwarna merah itu. Jika ada Torii dan Sakura, aaah, artinya saya mendapat bonus. Dan di tempat itu, Torii yang didirikan tidak hanya satu, tetapi dibuat berjajar-jajar. Serupa yang ada di Fushimi Inari, Kyoto atau seperti juga di Hie Jinja di Tokyo.

Tidak hanya itu, saya juga melihat jembatan melengkung berwarna merah, lagi-lagi simbol yang banyak terlihat di Jepang. di tengah-tengah pelataran, didirikan bangunan menyerupai beranda rumah yang digunakan sebagai tempat pelaksanaan upacara minum teh. Belum lagi saya melihat beberapa pengunjung perempuan mengenakan kimono meskipun wajah dan pembawaan tubuhnya tak menunjukkan jati diri orang Jepang.

Bahkan di bagian belakang, tak jauh dari ujung Torii terdapat Marumado, jendela-jendela khas Jepang yang membuat orang berfokus pada apa yang ingin dilihatnya. Sungguh saya merasa seakan-akan berada di Jepang dengan suasana yang dibentuk sesuai yang ada di negeri Sakura itu.

Tetapi bagaimanapun, bunga Sakura adalah primadona dari pameran ini. Dari yang berwarna putih, juga merah jambu yang amat muda hingga yang berwarna pink, hingga warna pink yang bercampur merah. Bisa dinikmati juga bunga yang bentuknya bergerombol atau yang sedikit kelopak bunganya, ada yang masih kuncup bersaing indah dengan yang telah mekar. Ada yang tergantung dan ada pula yang mekar sendirian… Semua satu rasa… Indah.

 

Sesaat, saya sampai memperhatikan dengan seksama, apakah pohon ini asli atau tiruan, Namun berdasarkan informasi yang disampaikan, semua bunga yang ditampilkan adalah asli, bukan bunga palsu, karena dibawa langsung dari Jepang, sepohon-pohonnya. Dan karena bunga Sakura ini sangat rentan terhadap suhu dan angin, maka Kubah Bunga (Flower Dome) yang besar itu disesuaikan dengan kebutuhan bunga Sakura.

Di dalam Flower Dome itu, bisa jadi saya termasuk orang yang ditandai petugas karena berlama-lama di Kubah Bunga itu dan tidak keluar-keluar hingga malam datang. Bagaimana saya bisa bosan dengan seluruh keindahan bunga yang terhampar? Mata seakan-akan bersih tanpa noda dimanjakan dengan keindahan ini. Belum lagi, bunga-bunga selain Sakura, yang juga indah, ditampilkan dengan penataan yang amat cantik.

DSC07305
Sakura Matsuri

Rasanya, memang setiap tahun Garden By The Bay di Singapura memamerkan bunga Sakura dalam kegiatan tahunannya yang biasanya disebut Sakura Matsuri. Jadi jika mau melakukan hanami, menikmati bunga-bunga Sakura yang mekar juga menikmati bunga-bunga indah lainnya, datang saja ke Garden By The Bay.

Untuk tahun 2020 ini, Sakura Matsuri di Garden By The Bay akan berlangsung dari tanggal 6 Maret 2020 (hari Jumat) sampai dengan 29 Maret 2020 (hari Minggu), buka dari jam 09.00 – 21.00 ada di Flower Dome, Garden By The Bay, Singapura.

Ini linknya: Sakura Matsuri Floral Display 2020

Catatan. Hingga tulisan ini dipublish, situasi dan kondisi akibat virus COVID-19 (Corona virus) di Singapura dimonitor secara ketat, mengikuti petunjuk dari Kementerian Kesehatan Singapura. Jadi mohon terus dipantau ya, jika memang mau berkunjung ke Singapura.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-6 ini bertema Pink agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Light Up The Darkness


Sebagai penggemar segala bentuk cahaya lembut dalam suasana temaram, saya mudah sekali tertarik lalu berhenti untuk mengabadikannya, ataupun kalau situasi tidak memungkinkan, biasanya lampu-lampu itu mampu membuat kepala saya menoleh dengan mata terbuka lebar dan pastinya hatinya melonjak gembira. Entah kenapa, saya benar-benar suka! Kalau malam kepala masih mumet di kantor, salah satu cara efektif menetralkannya adalah mendatangi jendela lalu melihat lampu-lampu mobil yang terjebak kemacetan atau melihat ke gedung-gedung seberang, ke arah lampu-lampu yang menyala. Seakan cahaya-cahaya itu memberi ketenangan dan memberi lambang sebagai harapan dalam kegelapan (hehehe agak lebay kali ya…).

Sampai sekarang, saya sudah bisa terpukau bahagia kalau diajak jalan naik mobil keliling kota hanya untuk menyaksikan keindahan lampu hiasan di jalan. Bahkan lihat lampu-lampu hiasan sesuai tema yang dipasang di mal-mal juga bisa membuat saya terpesona. Apalagi bulan Desember, seperti sekarang, kota-kota biasanya didandani dengan cantik menyambut Natal dan Tahun Baru. Duh, saya jadi suka jalan-jalan untuk melihat-lihat itu. Bahagia itu sederhana ya…

deepavalisg
Little India, Singapore

SINGAPORE

Pernah beberapa tahun lalu, saya mendadak mengambil cuti dua hari ke Singapura pada tengah minggu hanya untuk melihat kemeriahan festival Deepavali di kawasan Little India di negeri singa itu. Dan saya bisa begitu nekadnya untuk mengabadikan hiasan-hiasan itu, hingga saya menyeberang jalan, lalu mengambil foto di tengah jalan sampai lampu lalu linatas berganti hijau (dan sampai diklakson supaya minggir 😀 😀 ) Tidak sendirian sih, karena banyak juga yang segila saya hahaha…

Singapura berhias tak hanya untuk Deepavali Festival, melainkan Natal sampai Tahun Baru pun juga. Salah satunya adalah di Orchard Road yang penuh dengan hiasan-hiasan.

orchard
Orchard Road, Singapore

Tidak hanya di atas jalan, pohon-pohon pun didandani. Dan yang memanjakan mata adalah dandanannya selalu cantik, tidak asal-asalan (karena pernah dulu di dekat Monas, saya pernah melihat hiasan lampu-lampu itu dibuat asal nemplok, sungguh membuat ilfil!) Dan semua itu gratis tanpa dipungut bayar. Syaratnya cuma satu, asal kuat jalan saja hehehe… Lihat saja bagaimana kita bisa menyaksikan keindahan permainan lampu Super Trees di Garden By The Bay. Sambil mendengar musik yang penuh semangat, mata juga dimanjakan. Rasanya bisa dibilang, semua itu menjadi makanan untuk jiwa dan panca indera.

– § –

TOKYO

Tidak jauh berbeda dengan Singapura, Tokyo di Jepang berdandan menyambut kemeriahan Natal dan Tahun Baru. Tetapi entah kenapa, saya merasa hiasan lampu-lampu yang ada di Tokyo itu jauh lebih banyak dan lebih menakjubkan. Bisa jadi karena memang hampir di semua tempat di kota itu didandani dengan hiasan lampu-lampu. Tidak perlu jauh berjalan, pasti ada kawasan cantik yang penuh hiasan, bahkan pedestrian biasa selalu ada spot-spot yang dihias dengan lampu-lampu. Saya sempat berpikir, budget untuk dandanan kota seperti ini pastinya besar karena perlu listrik. Namun rasanya untuk dua kota terkenal yang saya sebutkan di atas, seperti Singapura dan Tokyo, tentu dana tersebut sudah dialokasikan dengan baik. Bagaimana ya di Indonesia? Jangan-jangan kita masih akan sibuk berdebat soal boleh atau tidaknya untuk segala sesuatu, termasuk hiasan-hiasan kota.

Ketika tahun 2016 suami dan saya pergi ke Tokyo untuk honeymoon kesekian kalinya, kami menikmati suasana Tokyo yang sudah berdandan, padahal waktu itu baru awal Desember dan musim gugur belum tuntas berakhir. Dan kami, -sebenarnya saya sih yang lebih terpesona dengan lampu-lampu itu-, menikmati pertunjukkan di Caretta Shiodome yang lagi-lagi gratis.

carettatokyo
Caretta Shiodome, Tokyo

Bagi yang hendak menikmati keindahan malam di Tokyo, puncaknya memang terjadi di minggu-minggu terakhir bulan Desember hingga ke awal bulan Januari. Suasananya sangat menyenangkan, dimana-mana ada aura cinta dan romantisme karena banyak sekali pasangan yang saling bermesraan. Tawa gembira selalu terdengar dimana-mana. Benar kata sebuah lirik lagu, Love is in the air…

Seperti saat ke Blue Cave di Shibuya, Tokyo di kesempatan yang berbeda, di bawah naungan kerlip lampu-lampu  berwarna biru itu, saya secara otomatis dirangkul oleh sang suami, padahal saat itu situasinya padat oleh manusia. Siapa sih yang tidak merasa terpesona berjalan di “terowongan” panjang berpendar warna biru dari hiasan-hiasan yang membalut batang dan ranting pohon? Ah, rasanya saya kembali menjadi remaja… :p

Tapi bagi pecinta hiasan-hiasan cahaya lampu, Blue Cave di Shibuya termasuk salah satu tempat yang harus didatangi saat melakukan perjalanan ke Tokyo. Semakin ke arah depan, sebenarnya semakin indah dengan kolam di tengah efek pantulan. Sayangnya kami saat itu harus kembali.

blue cave shibuya tokyo
Blue Cave at Shibuya, Tokyo

Tidak jauh dari sana, di kawasan Shinjuku yang super sibuk, tetap dihiasi oleh cahaya lampu. Pokoknya kemana-mana pastinya mata ini menangkap hiasan lampu yang cantik. Bahkan kami memilih makan malam di outdoor berpayung langit, -meskipun berbalut jaket karena udara sudah cukup dingin-, sambil menikmati pemandangan indah di kegelapan malam dan mengistirahatkan kaki yang pegal.

Selesai bersantap malam, kami jalan-jalan di antara lampu-lampu itu. Luar biasa, karena lampu-lampu itu diletakkan menghias seluruh gundukan tanah. Rasanya berjalan melayang di dunia mimpi yang magis tak nyata.  Saya sungguh mengagumi para pendekor kota yang benar-benar telah bekerja keras mempercantik kotanya, memberikan cahaya ke sudut-sudut kotanya, memberikan yang terbaik kepada siapapun yang melihatnya, turis maupun orang lokal. 

Bahkan di Yokohama, sekitar 50 menit berkereta dari Tokyo, saya melihat juga lampu-lampu yang memenuhi area serupa sebuah teater yang cekung. Melihat ini saya jadi ingin tahu apa yang sesungguhnya ada di pikiran orang-orang Jepang yang kebagian menghias itu.

Mungkin sedikit gila, dalam artian yang positif. 

Bisa jadi mereka juga sangat malu jika bekerja secara asal-asalan, karena setahu saya, mereka memiliki prinsip untuk mengutamakan orang lain, bukan diri sendiri. Satu prinsip yang sepertinya sudah langka ditemukan di Indonesia.

yokohama
Yokohama

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-49 ini bertema Lamplight agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Menyambut Tahun Baru Dalam Hujan


Karena ingin merasakan kembali kehebohan malam tahun baru seperti di Hong Kong tahun 2015 dengan kembang api warna-warni dan kerlip kota, maka pada akhir tahun 2017 kami mengunjungi Singapura. Tujuan utamanya hanya satu, menyaksikan malam pergantian tahun dengan pertunjukan kembang api.

Apakah berhasil?

Iya, berhasil, tapi pakai hujan! 😀

Malam itu, sengaja kami datang lebih awal agar bisa dapat tempat duduk terbaik sambil berdoa khusuk karena melihat awan gelap menggantung rendah di atas langit Singapura. Turun di stasiun MRT Bayfront, kami berjalan mengikuti kerumunan orang yang semakin padat menuju arena The Float at Marina Bay. Pernah terbayang gak sih kalau The Helix Bridge itu padat sekali dengan manusia? Situasinya benar-benar padat merayap, melangkah pelan karena kadang harus berhenti dan berdiri diam beberapa saat hehehe…

Beruntung sekali saya sudah membeli tiket secara online untuk menyaksikan kembang api dari The Float at Marina Bay, karena malam itu untuk masuk dengan tiket di tangan saja sudah antri panjang, apalagi kalau belum memiliki tiket yang antriannya mengular tersendiri. Lagi pula beli tiket on the spot itu lebih mahal.

DSC03059
The Crowd in Marina Bay

By the way, saya beli tiket masuk SGD 5.5 per orang secara online melalui Klook, kalau on the spot SGD 8.00. Itu tahun 2017 yaaa dan tahun selanjutnya saya heran kenapa bisa langsung naik 10 kali lipat!

Lalu mengapa saya beli tiket masuk padahal bisa menyaksikan dari pinggir jalan? Sederhana saja sih, saya mau santai dan tidak rebutan cari tempat terbaik dalam menyaksikan pertunjukan kembang api dan tidak harus menduduki tempat itu sejak pagi. Lagi pula, tempat-tempat strategis untuk menyaksikan pertunjukan kembang api itu sudah dipagari. Ah, tempat-tempat terbaik memang ada harganya! Selain itu, saya tidak tinggal di hotel-hotel sekitar Marina Bay yang harga akhir tahunnya bikin pingsan!

Jadilah setelah melalui pemeriksaan ketat untuk barang-barang bawaan, duduklah kami semua di  tribun atas The Float. Sementara manusia-manusia penggemar kembang api terus memadati arena, saya sekeluarga mengamati pemandangan malam. Asyik sih melihat pemandangan Marina Bay-Sands, Art Science Museum yang khas dan tentu saja gedung-gedung tinggi di kawasan bisnis Singapura.

Dan di sana, doa kami semua tak terkabul. Saya mulai merasakan satu demi satu titik air yang ditumpahkan dari langit. Gerimis. Payung-payung warna-warni mulai terkembang. Belum juga jam 11 malam, titik-titik air yang jatuh tidak konsisten, kadang deras, kadang berhenti sesaat. Akhirnya karena merasa terganggu dengan harus memegang payung berlama-lama, anak-anak turun ke panitia untuk membeli jas hujan transparan tipis.

Seperti juga di Indonesia (kebiasaan lihat TV kali ya… yang mengucapkan Selamat Tahun Baru untuk warga Wilayah Indonesia Timur, kemudian untuk warga Indonesia Tengah dan puncaknya di Wilayah Indonesia bagian Barat), maka di Singapura itu sejak pk. 22.00 sudah dimulai pertunjukan kembang api setiap jamnya meskipun sebentar.

Hujan sepertinya ingin hadir malam itu, atau juga mungkin pawang hujannya kurang ahli 😀 sehingga berbalut jas hujan transparan kami sekeluarga duduk santai menikmati musik dan pertunjukan. Banyak pasangan yang berdekatan, semakin deras hujannya semakin dekat mereka berdekatan di bawah payung. Tidak jarang, balon-balon yang mereka pegang terlepas atau sengaja dilepaskan. Bisa jadi sebagai tanda melepas segala kepahitan yang telah terjadi dan membiarkan harapan-harapan baru menjunjung ke langit tinggi.

Dan detik terus mendekat ke pukul 00.00 di tahun yang baru.

Ketika akhirnya countdown dimulai, semua yang hadir berteriak beramai-ramai…

Ten, nine, eight, seven, six, five, four, three, two, one… Happy New Year!!!

Pertunjukan kembang api mencapai puncaknya, berlangsung lama dari menit ke menit, tanpa henti sama sekali. Luar biasa! Ledakan kembang api ditambah gemuruh manusia-manusia yang berbahagia, berpelukan saling mengucapkan selamat tahun baru, mengabaikan payung-payung dan basah hujan yang di kawasan itu.

DSC03195
Happy New Year

Seperti juga banyak orang lain, tak lupa kami melakukan wefie dengan ucapan selamat tahun baru untuk dikirimkan kepada kerabat dan keluarga tercinta di Indonesia, meskipun mengenakan jas hujan transparan dan rambut basah. Kami memilih foto awal tahun baru yang paling bagus di antara yang berantakan karena rupa yang bisa dibilang ‘hancur lebur’ karena basah. Tapi yang penting adalah ekspresi bahagianya kan?

Pesta di Marina Bay berlanjut, musik hingar bingar dengan ritme yang mengundang untuk menggoyangkan tubuh terus berlangsung. Suara MC terus berkumandang mengajak membeli makanan dan minuman serta ajakan untuk berpesta. Meskipun demikian, kami semua memilih kembali ke hotel karena kami akan terbang ke Jakarta pada siang harinya.

Sambil jalan kaki menuju hotel mengikuti kerumunan orang, alangkah senangnya kami mengetahui tidak perlu jalan kaki jauh karena masih ada MRT yang beroperasi pada tahun baru itu. Sungguh sebuah layanan terbaik dari MRT Singapura. Jam operasional MRT diperpanjang khusus pada hari itu, meskipun hanya untuk rute tertentu.

Dalam keadaan basah, -meskipun orang lain tak jauh beda kondisinya-, sebelum naik kereta, kami dan juga orang lain mencoba mengeringkan badan dan melipat jas hujan serta memasukkan yang basah ke dalam tas. Sehingga di kereta terlihat cukup rapi dan terjaga kebersihannya.

Tahun baru, belum lama berganti angka, kebiasaan-kebiasaan baik bisa kita mulai saat itu juga. Tahun baru biasanya berlimpah dengan harapan-harapan baru, dengan sejumlah resolusi yang indah. Tapi untuk apa harapan-harapan baru bila tidak disertai dengan adanya tindakan-tindakan?


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-35 ini bertema New Year agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

The Eye Catching Haji Lane


Meskipun bersih, aman, tertib dan hal-hal positif lainnya, bayangkan saja kalau saya mendatangi tempat itu pada saat siang hari bolong yang terik, tanpa angin sedikitpun dan gerah dengan kelembaban maksimum… Aduh, benar-benar saya ingin ngadem di tempat yang ada AC-nya. Ada sih tempat ber-AC tapi harus mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu di tempat itu dan saya ‘kikir‘ untuk itu. 😁

Saya sendiri merupakan tipe yang cepat berkeringat bila bergerak sedikit, apalagi jika kepanasan. Belum lagi baju kaos yang saya kenakan ini bukan tipe dry-fit yang biasa dipakai jika sedang travelling. Jadi rasanya seperti tikus kejebur got. Basah kuyup dari ujung rambut merata ke permukaan kulit. Dan baunya menyebalkan!

Dalam kondisi seperti itu, saya selalu mencoba berjalan melipir di bawah keteduhan bayang-bayang gedung. Tapi di Haji Lane, sebuah area di antara kawasan Kampong Glam dan Arab Street, Singapura, rasanya tidak tepat jika berjalan melipir karena kekuatan dari area Haji Lane ini adalah keindahan seni di seluruh toko-toko di kawasan itu. Jadi seharusnya kita sebagai turis, jalan di tengah dan tinggal menengok kiri atau kanan untuk menikmati mural yang cantik serta artistiknya penataan toko.

 

Saya masih kepanasan sehingga menyempatkan berteduh sesaat di beranda depan sebuah toko. Namun dari tempat berdiri, tak ada satu pun yang tak menarik. Semuanya terlihat asri dan memanjakan mata. Sebuah instalasi gajah putih dengan cat hiasan berada di depan toko yang berarti gajah. Cara jitu agar pengunjung langsung mengetahui lokasinya tanpa perlu membaca. Cari saja yang ada gajahnya, demikian mungkin pesan pemilik toko itu 🙂

DSC07021

Berbelok di sebuah sudut, saya mendapati mural-mural yang menarik. Mural wajah-wajah pada dinding lebar yang membuat saya berpikir apa kira-kira yang ada dalam pikiran pembuatnya sehingga ia menciptakan karya seni seperti ini. Wajah seorang tua yang telah menelan asam garam kehidupan dan wajah seorang gadis yang misterius.

Hanya perlu selemparan batu, saya sampai pada mural lain yang juga menarik. Kali ini juga dilengkapi dengan tambahan manekin-manekin berhias di atap. Saya tidak mau mengintepretasikan maknanya dan membiarkan rasa keindahan memasuki rasa. Saya bukanlah seorang ahli terhadap hal-hal seni seperti ini, sehingga yang bisa saya lakukan adalah menikmatinya saja. Bahkan tempat gas pun tak lepas dari hiasan.

DSC07036eDSC07036e1

Saya mendekat pada tempat pelindung gas. Di sisi pelindung itu ada peringatan agar bertindak hati-hati. Hati menjadi kecut juga saat membaca peringatan lebih lanjut. LPG Highly Flammable, No Smoking, No naked lights. Padahal di dekatnya ada meja dan kursi untuk pengunjung. Aduh, membaca ini, -meskipun jauh berbeda penyebabnya-, entah kenapa mengingatkan saya pada kejadian bom Bali dulu, musibah yang datangnya dari ledakan di antara pengunjung.

Tapi siapa sangka yang cantik dan indah itu didalamnya terdapat hal yang sangat berbahaya dan bisa meledak jika tidak dirawat dengan baik?

Saya masih melanjutkan jalan kaki cantik di kawasan yang termasuk kota tua Singapura tersebut. Di ujung jalan masih ada dinding lebar yang penuh dengan mural warna-warni yang menyolok. Keren sekali.

Akhirnya karena tak tahan kegerahan, saya memaksa diri untuk mengikhlaskan hati mengeluarkan uang lalu mampir ke salah satu kafe kecil untuk menikmati es krim segar sekaligus mendinginkan tubuh. Nikmatnya luar biasa, meskipun agak sebal saat melihat tagihan di kasir 🙂

Akhirnya, meskipun kepanasan karena berkunjung pada waktu yang tidak tepat, saya tetap merasa senang jalan-jalan cantik di kawasan Haji Lane ini, yang dipenuhi pemandangan artistik yang memanjakan mata dan juga toko-toko kecil yang lucu serta kafe untuk sekedar melepas lelah. Akomodasinya pun tersedia banyak di sekitar Haji Lane dan Kampung Glam. Apalagi transportasi publiknya yang selalu tersedia. Satu-satunya yang kurang hanya satu, Singapura semakin menguras isi kantong 😀 Itu menurut saya siih…

DSC07012DSC07047DSC07028


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-32 ini bertema Eye Catching agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Marumado, Jendela Jepang Yang Mempercantik Pandang


Bulan Maret lalu, saya meluangkan waktu jalan-jalan ke Singapura dan berkesempatan melakukan hanami, menonton bunga Sakura mekar di Flower Dome, Garden By The Bay. Sebagai bunga nasional Jepang yang sudah terkenal di seluruh dunia dan saat mekarnya tak lama, menyaksikan sakura-sakura bermekaran itu memang sangat ditunggu-tunggu, termasuk saya. Saya belum beruntung untuk bisa hanami langsung di negeri Sakura-nya sendiri, sehingga ketika Garden By The Bay menampilkan bunga Sakura sebagai tema, langsung saja saya mencari tiket pesawat.

Sesampainya di sana, jangan tanya penuhnya seperti apa. Saya baru menyadari karena saat saya berkunjung merupakan minggu-minggu terakhir sebelum Garden By The Bay mengganti tema dan Sakura merupakan salah satu tema yang paling banyak dinantikan sepanjang tahun. Kapan-kapan saya ceritakan mengenai hanami ini.

Karena padatnya pengunjung, saya mencari jalur yang sedikit agak lebih lega meskipun itu artinya juga masih banyak manusia lho. Tak disangka, saya justru mendapatkan tambahan pengetahuan di jalur ini.

Pernah tahu yang namanya Marumado?

Marumado the circular window of Japanese architecture

Mungkin pernah lihat, tetapi tidak tahu namanya. Marumado adalah jendela lingkar yang ada di dalam arsitektur Jepang, yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda. Sebagian dibuat menyatu di dalam dinding. Pada Marumado ada yang memiliki kisi-kisi, sementara yang lain ada yang ditutup dengan shouji (tirai) gantung atau tirai geser (bisa satu panel atau dua panel kiri dan kanan). Sampai disini sepertinya sudah terbayang kan?

Marumado kadang disebut pula yoshinomado, tapi jika diameternya lebih dari 1.5 meter, maka disebut oomarumado. Biasanya dibiarkan terbuka tanpa pendukung dan umumnya digunakan untuk menikmati pemandangan dan pencahayaan bangunan. Marumado biasanya ditemukan di bangunan-bangunan bergaya Shoin dan rumah-rumah untuk minum teh. Rumah bergaya Shoin ini merupakan dasar dari rumah-rumah tradisional Jepang sekarang, yang dulu hanya ada pada rumah pejabat militer,atau petinggi dan bangsawan dan pemuka agama.

Marumado biasanya dibuat untuk menghadirkan sepetak pemandangan yang indah dan terkenal atau yang diinginkan. Tetapi Marumado juga bisa dibuat hanya untuk pencahayaan atau sekedar ventilasi udara.

Marumado with Sakura and neighbors
Marumado with Sakura, Mt. Fuji and Shinkansen

Pada saat menikmati Marumado yang ada di Garden By The Bay ini, meskipun kena sikut sana sini dan cukup lama antri untuk bisa dapat satu foto tanpa manusia lain masuk ke dalam frame, sebisa dan secepat mungkin saya mengambil foto-foto tanpa membuat orang lain melotot tak sabar kepada saya.

Saya hanya membayangkan berada di dalam rumah tradisional Jepang dan menikmati keindahan Sakura melalui sebuah Marumado dengan berbagai latar belakang yang terkenal seperti Gunung Fuji, atau Torii yang berwarna merah menyala, atau Osaka Castle? Atau hanya sekedar Sakura yang berbatas dengan rumah tetangga?

Semua Marumado yang dipamerkan menggunakan bunga Sakura asli yang dibonsai, yang dibuat dengan kecermatan yang amat canggih demi sebuah keindahan yang luar biasa.

Berminat untuk memiliki Marumado di rumah Anda?

Marumado with Sakura & Torii
Marumado from with Sakura in the yard
Marumado with Sakura & Osaka Castle as background

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-20 ini bertema Frame agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

The Helix, Love Is In The Air…


P1020079

Meskipun punya banyak foto jembatan, entah mengapa, jembatan favorit saya selalu kembali kepada The Helix yang ada di kawasan Marina Bay, Singapura. Bisa jadi karena saya menjadi saksi before and after kawasan itu atau memang kesan pertama yang begitu dalam sehingga timbul rasa romantisme khusus terhadap jembatan itu (hahaha ini apa yaa? 😀 😀 )

Bertahun-tahun sebelum jembatan itu jadi, -saat ke Singapura dan berfoto di area Merlion-, saya tidak bisa membayangkan bagaimana kawasan di seberang saya berdiri itu bisa menjadi kawasan yang begitu terkenal seantero dunia, yang membuat semua turis tumplek blek ke tempat itu. Rasanya masih ingat di benak, ucapan seorang kawan asli Singapura yang mengatakan bahwa nanti di tempat itu akan menjadi hotel besar lengkap dengan kasinonya. Dan kini, perkataannya menjadi nyata. Tempat itu menjadi sebuah landmark, yang ibaratnya, jika belum kesana berarti belum ke Singapura. Meskipun terdengar hedonis sekali, namun tak bisa dipungkiri kawasan Marina Bay yang dekat dengan Hotel Marina Bay-Sands itu memang menjadi magnet yang sangat kuat bagi pariwisata Singapura.

Setelah kawasan itu terbentuk, dalam rangka urusan kantor saya berkesempatan berkunjung lagi ke Singapura dan beruntung bisa menginap di salah satu hotel berbintang di kawasan Marina Center. Dan dasar saya yang tidak bisa lepas dari jalan-jalan, saat perjalanan bisnis pun saya pakai juga buat jalan-jalan meskipun hanya bisa dilakukan pada malam hari. Inilah salah satu yang saya suka di Singapura, saya selalu merasa aman berjalan sendiri di malam hari bahkan sampai tengah malam sekalipun. Bisa jadi, karena penduduknya sudah serius melek hukum dan tidak mau berhadapan dengan sanksinya.

Malam itu saya berjalan-jalan hingga ke Esplanade, dan kembali lagi menuju The Helix untuk melanjutkan jalan-jalan malam ke Marina Bay-Sands sebelum kembali ke hotel. Saat melintasi The Helix, -yang secara resmi dibuka penuh pada tanggal 18 Juli 2010-, jembatan ini dipenuhi oleh orang-orang yang juga menikmati malam. Mungkin sama seperti saya, hanya ingin menikmati rasanya melintasi jembatan terkenal yang dulu dikenal dengan nama Double Helix Bridge. Saya sendiri hingga kini masih terkagum-kagum, ada jembatan yang dibangun sebagai penjabaran sains.

Sejak pertama kali menapaki jembatan malam itu, saya sudah suka bentuknya yang menyerupai rangkaian DNA, spiral melingkar, dengan pada lantainya terdapat lampu-lampu kecil yang menyorot ke atas, berpasangan, yang belakangan saya tahu bahwa lampu itu menjadi ciri khas The Helix. Dari Wikipedia, lampu-lampu itu memang mewakili struktur DNA. Coba deh kalau kesana lagi, perhatikan ada pasangan lampu yang berwarna ‘c’ dan ‘g’ serta ‘a’ dan ‘t’, berwarna hijau dan merah, mewakili cytosine, guanine, adenine dan thymine yang merupakan empat dasar DNA. Bingung ya? Sama dong dengan saya… 😀 Tidak usah dibahas ya, biar Google saja yang menyimpan lengkap informasi itu 😀 😀

P1020088
The Helix – Green and Red

Tetapi saya merasa indah saja, bahwa sesuatu yang sangat ilmiah dan sangat mendasar dalam tubuh makhluk hidup dijabarkan dengan begitu kerennya dalam sebuah karya yang berfungsi sebagai sebuah jembatan. Tidak heran, jika akhirnya The Helix, yang panjangnya sekitar 280meter ini mendapat penghargaan The World’s Best Transport Building di tahun 2010 dan Building & Construction Authority’s Design & Engineering Safety Excellence di tahun 2011.

Malam itu dan pada malam-malam lainnya saat menapaki The Helix, saya selalu menikmati lampu-lampu redup itu, mengamati orang-orang yang melaluinya, menikmati pemandangan indah kota Singapura, meskipun sekali-sekali terlintas juga bahwa saya sedang menembus model struktur DNA makhluk hidup. Dan kalau sudah terpikir itu, biasanya saya seperti diingatkan tentang Sang Pencipta…

P1020090
The Helix -from the viewing platform

Terlepas dari bentuknya yang keren, secara fisik sebenarnya The Helix terbuat dari besi dan kaca yang saling terkait. Bahkan jembatan ini disesuaikan dengan kondisi cuaca setempat yang hanya kenal hujan dan panas, sehingga dilengkapi kanopi supaya pelintasnya terlindung dari panas dan hujan meskipun tidak utuh. Keunikan lainnya yang saya suka dari The Helix karena jembatan ini memiliki tempat khusus untuk melihat-lihat pemandangan kearah kota, terutama saat malam pemandangannya sangat cantik. Meskipun katanya bisa menampung hingga 100 orang, platform untuk melihat-lihat ini tentunya menjadi tempat favorit untuk melihat pertunjukan keren di langit seperti kembang api. Tapi sepertinya harus lebih awal booking tempat, karena tempat ini sangat-sangat padat waktu Tahun Baru. Pengalaman bermalam tahun baru di Singapura, berjalan kaki melalui The Helix saja macet! 😀

Mungkin karena frekuensi saya berjalan sendiri melaluinya, jauh lebih banyak daripada bersama orang-orang yang saya kenal, membuat saya seperti punya rasa tersendiri dengan jembatan itu. Seperti biasa, jika pergi sendiri, saya biasa melakukan pembicaraan dengan hati saat berjalan. Juga saat menapaki The Helix. Dan oleh karenanya saya merasa tak pernah kesepian, meskipun tengah malam dan tidak ada orang di samping. Seperti saat kembali ke hotel, saat itu sebagian lampu The Helix telah dimatikan, saya menyaksikan satu pasangan berjalan mesra di depan saya. Melihat mereka, saya ikut berbahagia. ikut merasakan romansanya, kemesraan mereka yang penuh cinta dan bahagia itu menular… Kata orang sana, Love is in the air…


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina, A Rhyme in My Heart dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-13 ini bertemakan Jembatan agar kami berdua terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – The Beauty in Silence and Darkness


A few years ago I made time to walk around Marina Bay, Singapore, just before midnight. I wanted to see and feel the atmosphere of the modern never-sleep city. I was amazed; for a moment I felt silence filled up the air. The area which is normally full of visitors during the day seems so empty, nobody’s there. The colorful lights on the Helix bridge had been turned off and it was illuminated by minimal lights. There was only a couple walking through the iconic bridge in Singapore. I followed them to cross the bridge and hope to find more people that night, but I saw nobody until the end of the bridge.

I felt the emptiness of the night, but at the same time I felt the beauty filling up the air. Yes, I saw the buildings in the business center across the area I was standing were still full of lights, but for a moment I felt the city of Singapore was so beautiful. In its silence and darkness, the city still looked so mesmerizing, just like Hellen Keller said,

There is beauty in everything, even in silence and darkness

******

Where is the people?
Where is the people?

Lights on but the water was calm
Lights on but the water was calm

WPC – A Structure At Night


Garden By The Bay, Singapore

 

Walking out of the grand dome gave me continuously pleasant experiences. My admiration for the beautiful gardens in it, -the flower and the cloud forest dome-, also the structure of the dome itself which is composed of steels, glass and concretes, continued as I stepped out of it at night.

My eyes were spoiled by the mesmerized beauty of Singapore at night, the strength of the building’s structure with dimmed lights, colorful lights at Singapore Flyer, -the big Ferris Wheel in Singapore-, and some of the skyscrapers as the backdrop at the distance. Ah, I did not feel my tired legs while walking to the MRT station although it’s far enough 🙂

Beauty is like moon, looks much better at night

In response to the Daily Post Weekly Photo Challenge with Structure as the theme.