Menitipkan Doa Pada Angin


Imlek sudah berlalu hampir sebulan dan tentunya Cap Gomeh pun sudah berlalu. Seperti ada yang hilang dari biasanya, suasana kemeriahan yang tak terdengar, tak banyak hiasan. Di mal tempat saya mengitari untuk jalan siang, juga tidak ada keriuhan barongsai yang di tahun-tahun sebelumnya selalu diadakan, juga tak banyak dan tak lama hiasan Imlek dipasang. Lagi pula pengunjung mal jauh lebih sedikit, mal terasa jauh lebih lengang. Suasana yang sama sejak setahun terakhir ini. Di banyak tempat terasa senyap. Nyata sekali Covid-19 mengubah semuanya.

Merah Oriental yang biasa menjadi tema warna Imlek hanya terlihat sebentar di toko-toko. Padahal warna itu secara tak langsung telah membawa semangat bagi yang melihatnya. Tak bisa membohongi diri bahwa saya juga merasakan kehilangan suasana itu. Menyaksikan kelengangan suasana, ada sejumput doa dan harapan yang otomatis keluar dari lubuk hati, semoga pandemi ini segera berlalu, yang terpapar penyakit ini bisa segera sembuh dan semua manusia dikaruniai kesehatan dan perlindungan.

Warna merah yang biasa menjadi dekorasi Imlek sering disebut sebagai Merah Oriental. Warna ini juga sering terlihat mendominasi vihara atau pagoda di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Setiap berkunjung ke klenteng atau vihara baik di Indonesia maupun di negeri-negeri jauh, saya terbiasa mengabadikan sisi merahnya yang pastinya ‘eye-catching‘.

Tetapi mengapa disebut Oriental?

Ternyata istilah Oriental itu ada sejarahnya sendiri. Dari berbagai sumber di internet diketahui bahwa Oriental merupakan sebutan untuk Timur, atau semua yang berkonotasi dengan dunia Timur, yang tentunya dilihat dari kacamata benua Eropa (kalau dunia Barat disebutnya Occident). Arah Timur merupakan tempat matahari terbit, -sesuai asal katanya dari bahasa Latin, Oriens, yang secara harfiah berarti Timur atau bisa juga naik (dalam artian matahari terbit). Secara geografis pengertian dunia Timur mencakup sebagian besar benua Asia, termasuk Asia Barat (yang berdekatan dengan Eropa), wilayah Timur Tengah, juga Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur atau sering juga disebut Timur Jauh.

Entah siapa yang menetapkan garis batas Timur dan Barat itu. Namun konon, istilah Oriens dimulai pada masa Kekaisaran Romawi merujuk kepada Kekaisaran Bizantium yang letaknya di sebelah Timur Kekaisaran Romawi (Kekaisaran Bizantium biasa disebut Romawi Timur). Aslinya garis batas ini berada di pantai Timur Semenanjung Italia yang berhadapan dengan Laut Adriatik namun dengan berjalannya waktu, sekitar 600M garis batas ini dipindah ke kota Roma yang menjadi pusat Kekaisaran Romawi.

Dalam perkembangannya, istilah Oriens atau Oriental, dihasilkan dari pemikiran orang Eropa, akhirnya memiliki konotasi yang diskriminatif ketika merujuk kepada kehidupan masyarakat modern di Asia Timur dan Asia Tenggara. Apalagi, definisi Oriental tidak persis tepat selama berabad-abad dan sesuai perjalanan waktu mengalami pergeseran makna.

Gemasnya, jika Oriental digunakan untuk negeri-negeri sebelah Timurnya Romawi sampai Timur Jauh, istilah kebalikannya Occident, -yang berasal dari kata Latin occidens dan berarti Barat yang merupakan tempat matahari terbenam, tidak digunakan lagi dalam bahasa Inggris, karena berkonotasi negatif dan seperti tidak mendukung “dunia Barat”. Diskriminatif kan?


Terlepas dari rasa diskriminatif itu, warna merah oriental yang biasa terlihat di negeri-negeri Timur sebenarnya memiliki makna harapan untuk bernasib baik, mendapatkan keberuntungan dan keberhasilan serta perlindungan dari semua yang buruk. Warna-warna yang eye-catching itu sebenarnya merupakan sebuah harapan dan doa! Jadi semakin banyak warna merah yang terlihat, maka semakin banyak doa dan harapan yang dilangitkan. Indah kan?

Dan tidak hanya berupa tiang-tiang, patung, guci, lilin-lilin, tempat kue maupun angpao yang berwarna merah. Ketika saya berkunjung ke Vihara Buddhagaya Watugong atau terkenal juga dengan nama Vihara Avalokitesvara yang ada di pinggir jalan utama kota Semarang, saya menyempatkan diri untuk berjalan di bawah pohon Boddhi yang ditanam di halaman vihara tersebut. Saya terpesona dengan pita-pita merah yang bertulisan doa dan harapan dan pita itu diikat di ranting-ranting pohon Boddhi, pohon yang melindungi Sang Buddha saat mendapatkan pencerahan

Prayers on the red ribbon which is tied to the Boddhi tree

Mungkin mereka yang mengikat pita-pita berisi doa ke ranting pohon Boddhi itu berharap doanya bisa dititipkan kepada angin agar sampai kepada Sang Pemilik Semesta. Dengan desir angin yang membuat ranting dan daun bergerak-gerak, pita-pita merah itu ikut melambai. Salah satu yang saya lihat tertulis dalam pita merah itu adalah semoga semua makhluk hidup dalam damai dan harmoni. Saya terhenyak juga, mereka yang mengikat pita merah itu juga berdoa untuk saya… Semoga dia pun hidup berbahagia, berkecukupan dan hidup damai sejahtera.

Menyaksikan pita-pita merah yang terikat pada ranting pohon, menerbangkan ingatan saya ke Nepal, sebuah negeri yang dihiasi barisan gunung-gunung tinggi Himalaya. Di banyak tempat, digantungkan bendera doa warna-warni yang terbuat dari kain. Salah satunya berwarna merah. Tak hanya di tempat-tempat ibadah, bendera doa juga digantungkan di jembatan suspension yang tinggi, juga di tempat-tempat pencapaian seperti puncak gunung atau base camp. Mungkin angin akan membawa doa dan harapan yang tercetak di bendera doa yang terdiri dari warna biru, putih, merah, hijau dan kuning, yang masing-masing mewakili lima elemen. Biru melambangkan langit dan angkasa, putih melambangkan udara dan angin, merah mewakili api, hijau mewakili air dan kuning melambangkan bumi.

Meskipun telah robek diterpa angin dan usia, bendera-bendera doa itu tetap berkibar menerbangkan doa dan harapan ke Alam Semesta. Sebuah keindahan yang hanya ada di Asia, di dunia Timur


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 3 dan bertema Oriental agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

Red Torii In Tokyo


Siapa yang tidak kenal dengan Fushimi Inari Taisha di Kyoto yang mendunia gara-gara rangkaian ratusan torii merah memikat dan kontras yang didirikan begitu dekat satu sama lain hingga membentuk sebuah terowongan torii?

Nah, saya ini termasuk orang yang sangat suka dengan torii yang warnanya eye-catching itu atau bentuk torii-nya yang tidak biasa. Di gerbang utama Kuil Fushimi Inari Taisha di Kyoto, saya disambut dengan torii merah yang sangat besar dan tentunya di bagian belakang merupakan tempat rangkaian ratusan hingga ribuan torii yang membentuk sebuah terowongan  hingga ke atas bukit.

Tetapi tidak selamanya bisa ke Kyoto, tempat Kuil Fushimi Inari Taisha yang terkenal itu. Beruntung apabila kita mendarat di Osaka, karena jarak Osaka – Kyoto tidak terlalu jauh. Bagaimana jika kita hanya bisa berkelana di Tokyo dan sekitarnya? Dan bukan ke Kyoto yang berjarak lebih dari 500 km dari Tokyo (dan mahal juga kalau mau memaksa pergi ke kota itu, naik shinkansen 2,5 jam saja perlu mengeluarkan uang lebih dari ¥13,000 sekali jalan, kalau naik bus bisa semalaman 10 jam dari ¥4.000 – ¥12,000, apalagi kalau naik pesawat, mau tidak mau harus mendarat di Osaka sehingga perlu mengeluarkan uang lagi untuk ke Kyoto). Lalu apakah di kuil-kuil Tokyo tidak ada rangkaian torii yang membentuk terowongan? Dan karena alasan itulah, akhirnya saya mencari informasi. Dan ketemu…

Di Tokyo, saya menemukan rangkaian torii yang membentuk terowongan itu di Kuil Hie-Jinja di daerah Akasaka. Walaupun tidak sepanjang dan sebanyak torii yang ada di Fushimi Inari Taisha di Kyoto, minimal tempat ini bisa menghibur hati untuk berada di bawah torii merah 🙂

Dari wikipedia, saya juga baru tahu bahwa torii secara harafiah berarti rumah burung (kalau begitu, saya burung dong kalau berada di bawahnya? 😀 )  Namun sesungguhnya, torii adalah gerbang tradisional Jepang yang umum terlihat di Kuil Shinto, -tempat ibadah salah satu agama yang banyak penganutnya di Jepang-, yang merupakan batas antara wilayah umum yang tidak suci dengan wilayah suci kuil.

Nah, dengan informasi itu saya juga baru menyadari, bahwa kalau kita melihat sebuah Torii, -terbuat dari beton atau kayu-, hal itu berarti kita mendekati suatu Kuil Shinto dan bukan Kuil Buddha. Saya jadi mengingat-ingat apakah saya melalui torii saat mengunjungi kuil-kuil Buddha di Jepang. Akhirnya saya memperkirakan, semua itu mungkin hanya penamaan atau bentuknya saja, namun fungsi harusnya tetap sama, sebagai pembatas atau gerbang antara wilayah umum dan wilayah suci. Bukankah di setiap tempat ibadah ada pembatas itu?

Tetapi ternyata torii tidak hanya sebagai pembatas, karena setahu saya, tidak sedikit torii didirikan di kuil-kuil sebagai persembahan rasa syukur dan terima kasih oleh orang-orang atau perusahaan yang sukses. Dan serangkaian torii itu berwarna merah keoranyean itu kini menjadi daya tarik tersendiri di kuil-kuil  bagi para wisatawan, termasuk saya.

IMG_1106
Torii in Hie Jinja Shrine

Aslinya torii terbuat dari kayu dan diberi cat berwarna merah keoranyean (vermilion), kecuali bagian atas (dikenal dengan sebutan kasagi) dan bagian kaki (dikenal dengan sebutan nemaki) dicat warna hitam, walaupun tidak semua torii memiliki bagian atas (kasagi) yang dicat hitam itu.

Dan warna merah pada torii atau dikenal dengan Aka, -walaupun tidak selalu sama tingkatan merahnya-, memiliki tujuan yang sama di semua kuil, yakni sebagai perlindungan dari semua bentuk kejahatan dan musibah. Selain itu warna merah dipercaya menambah kekuatan dari tokoh yang dipuja di kuil tersebut.

Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, saya menemukan rangkaian torii yang membentuk terowongan di kuil Hie Jinja di daerah Akasaka Tokyo, diantara gedung-gedung tinggi. (Sebenarnya ada lagi di Nezu Shrine tak jauh dari Stasiun Subway Nezu. Atau di Kuil Anamori Inari di kota Haneda).

Untuk mencapai Kuil Hie Jinja, sebenarnya tersedia banyak akses, tetapi saya lebih suka turun di Stasiun Akasaka-mitsuke (pakai jalur kereta Ginza G5 atau jalur kereta Marunouchi M11), karena keluar dari stasiun tinggal menyusuri jalan besar hingga mencapai torii batu yang sangat besar lalu berjalan sedikit ke kiri kemudian naik tangga. Jadi saya memasuki wilayah kuil melalui pintu belakang dan dari situ lebih dekat ke rangkaian torii yang menyerupai terowongan itu. Jadi jangan kecil hati kalau hanya bisa berkunjung ke Tokyo namun punya keinginan untuk foto di rangkaian torii.

Dan kalau beruntung bisa juga melihat photo sessions dengan pengantin disini juga lho… atau mau buat photo prewed disini? Silakan…. 😀


Sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina & saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-4 ini bertemakan Merah, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…