Salah satu musim terbaik untuk mengunjungi Kyoto, Jepang adalah musim gugur, meskipun musim-musim lain tidak kalah menariknya. Tetapi ini soal selera ya, karena saya lebih suka musim gugur daripada musim semi yang juga membuat Kyoto itu sangat cantik luar biasa. Lagi pula udaranya sejuk, belum terlalu dingin.
Jadi awal bulan Desember beberapa tahun lalu, saya mengajak suami, berdua saja, untuk kembali menikmati Jepang. Dan saat menginjak Kyoto, uh, rasanya tidak ingin pulang ke Indonesia. Tentunya pada pagi hari kami mengunjungi Kinkakuji, kuil emas yang sangat terkenal seantero Kyoto dan menjadi icon kota tradisional ini. Dan berkali-kali ke Kinkakuji tidak pernah membuat saya bosan, meskipun tahu tempat ini selalu dipenuhi pengunjung!

Herannya kalau sedang liburan itu, waktu terasa seperti kilat alias cepat sekali jalannya. Gara-gara waktu yang berjalan cepat ini juga, kami secepat kilat menuju Higashiyama untuk mengunjungi Kiyomizudera, yang sayangnya sebagian tempatnya sedang direnovasi.
Bagi yang pernah ke kuil ini, tentu tahu bahwa Kiyomizudera sangat luas. Dan sang suami tertarik untuk menikmati semua sudutnya. Alhasil kami berdua seperti anak muda yang sedang jatuh cinta, jalan pelan-pelan berdekatan dan setiap tempat yang penuh warna kami berfoto 🙂 (Tapi sudah gak ada gombal-gombalan deh karena semua kartunya dah ketauan 😀 😀 😀 )
Tapi tak ada yang bisa menolak bahwa Kiyomizudera memang sangat cantik saat musim gugur, kontras sekali dengan langit Kyoto yang biru. Meskipun jauh mengelilingi halaman kuil, kami tak merasakan karena banyak berhenti untuk foto. Asli sampai lupa urusan perut sampai tidak diperhatikan.
Akhirnya di ujung pintu keluar, -sebenarnya waktu juga yang mengingatkan karena sudah agak sore-, barulah kami mendengar suara naga di perut kami berdua. Masalahnya lidah kami berdua tidak begitu cocok dengan makanan Jepang. Susah kan… mosok mau makan gudeg di Jepang? Kami menyusuri toko-toko yang sangat khas Jepang, berharap menemukan restoran yang sesuai lidah kami. Dan untunglah, Semesta Mendukung kami menemukan rumah makan yang menyajikan makanan yang sesuai lidah dan perut.
Urusan perut selesai, kami melanjutkan perjalanan lagi dengan berjalan kaki menuju kuil Kodaiji. Di tengah perjalanan, beruntung kami bisa bertemu dengan pengantin yang kelihatannya sedang terburu-buru sambil mengangkat gaun putihnya agar tak terinjak. Tiba-tiba saya tersadarkan, tempat kami berjalan merupakan kawasan untuk pejalan kaki. Jadi kasihan juga pengantin itu, harus turun dari mobil jauh di ujung jalan lalu berjalan ke kuil tempatnya ia menikah. (Betapa nyaman ya menikah di Indonesia, pengantin bisa turun dekat dengan tempat nikahnya!)
Kami juga bertemu dengan perempuan-perempuan yang mengenakan pakaian tradisional Jepang dengan wajah putihnya layaknya geisha. Melihat warna kerahnya, saya menduga mereka adalah turis yang sengaja berdandan seperti maiko atau geiko (geisha). Tetapi mereka sepertinya berkenan menjadi obyek foto dari orang-orang yang terpesona dengan pakaian dan dandanannya, termasuk saya sih hehehe…
Kuil Kodaiji tak jauh lagi. Kuil ini memang salah satu kuil di Kyoto yang must-visit selama musim gugur karena terkenal keindahan iluminasinya. Lampu-lampu diletakkan sedemikian rupa sehingga keindahan warna musim gugur tetap bisa terlihat pada saat malam! Dan beruntung sekali, saat sampai di kuil itu, langit belum gelap namun beberapa lampu telah dinyalakan. Mata kami dimanjakan dengan keindahan saat matahari masih terjaga di Kyoto dan saat matahari telah terbenam. Apalagi ada bulan sabit terbit di langit malam! We’re so blessed!
Jaket mulai dikenakan karena angin malam semakin terasa menusuk. Bersama pengunjung lain, kami mengarah ke tengah taman Kodaiji yang terkenal. Di dekat kolam taman kami terpesona. Airnya yang tenang menjadi pemantul sempurna dari keindahan pohon-pohon warna-warni di atasnya. Masya Allah…
Menyaksikan keindahan itu, terdengar begitu banyak suara shutter kamera, yang bukan hanya dari turis melainkan juga dari masyarakat lokal Jepang yang menyukai keindahan.
Tanpa terasa malam semakin pekat, seakan mengingatkan kami harus mengakhiri perjalanan hari ini. Kaki kami terasa pegal (tapi bukankah di Jepang, kaki selalu terasa pegal? 😀 ). Namun keindahan kuil Kodaiji belum berakhir.
Meskipun dengan kaki yang mulai terasa berat untuk melangkah, sambil menuju pintu keluar kami menyaksikan hutan bambu seperti di Arashiyama yang diberi pencahayaan ke atas. Wah! Saya pernah membaca bahwa pada musim gugur, hutan bambu Arashiyama diberi lampu yang pasti terlihat magis sekali tetapi sayangnya untuk melihatnya harus menginap di dekatnya karena akses transportasi yang terbatas. Dan di sini, di kuil Kodaiji, kami menemukan pemandangan yang serupa hutan bambu yang diterangi dengan pencahayaan ke atas, -tanpa perlu ke Arashiyama-, tentu hal ini sebuah anugerah luar biasa banget!
Malam itu dengan rasa syukur mendapatkan semua yang begitu indah dalam satu hari, kami kembali ke hotel. Meskipun terseok-seok untuk mencapai hotel dan tidak mau menggunakan taksi mengingat mahalnya, bagi kami berdua hari itu merupakan salah satu hari yang sempurna dalam perjalanan hidup kami.
Ke Kyoto memang tak cukup satu hari!

*
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, danCerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-38 ini bertema A Day In Life agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…