Sebuah Catatan di Bulan Oktober 2016
Dalam doa, saya tersentak. Benarkah ini? Tak mungkin tak percaya, tak mungkin tak merasa. Karena rasa itu begitu intense. Ada bahagia mendekap rasa, sangat kuat. Rasa yang sama, dalam hari-hari perjalanan luar biasa di Nepal 2014 lalu
Ke Nepal? Lagi? ABC? Annapurna Base Camp? Rasanya tak percaya, tetapi jelas ada rasa yang teramat kuat, sebuah janji yang tak pernah tak ditepati, sehingga tak perlu lagi ada tanya. Saya akan sampai di Annapurna Base Camp!
April 2017
Tak banyak waktu dibuang di Pokhara sekembalinya kami dari Australian Camp yang kisahnya bisa dibaca di sini. Trekking telah selesai tetapi bukan berarti liburan harus ikut selesai. Apalagi udara Pokhara yang nyaman sangat mendukung kami untuk mengeksplorasi kota di pinggir danau Phewa itu. Tentu saja kami harus melakukan apa yang dilakukan orang saat pertama kali ke Pokhara, berperahu keliling danau dan mampir ke Barahi Tal, pulau kecil di tengah danau dengan kuil yang cantik. Sungguh waktu yang menyenangkan untuk berperahu yang kemudian dilanjut acara cicip kuliner di setiap kios makanan di pinggir danau itu terutama bagi kedua sahabat seperjalanan trekking. Saya terheran-heran perut mereka bisa terus dimasukkan makanan sementara saya yang picky ini sangat sulit menelan makanan yang asing. Bisa jadi mereka ‘balas dendam’ terhadap dal bhat yang disantap setiap hari selama trekking.
Kami jalan perlahan kembali menuju hotel, sambil ke ATM untuk tip porter yang harus diselesaikan. Tiba-tiba Pak Ferry menghampiri saya, serius sekali wajahnya.
“Kita sudah sampai di sini, tanggung banget kalau tidak ke ABC. Tadi saya sempat tanya sebelum kita ke Danau, harganya sedikit mahal tapi sepertinya masih terjangkau. Lagi pula, kapan lagi? Mumpung kita di Pokhara”
Sambil berbicara itu, Pak Ferry menunjuk ke sebuah kios di dekat ATM, yang membuat saya berdesir.
Heli tour ke Annapurna Base Camp!
Selagi Pak Ferry bicara, saya berhitung cepat di kepala, menimbang-nimbang apakah saya mau mengeluarkan tiga jutaan lebih untuk ke Annapurna Base Camp. Bayangan indah pegunungan Himalaya menari-nari di benak ditambah pengalaman naik helikopter dan juga pencapaian keinginan ke Annapurna Base Camp sebagai destinasi liburan. Semuanya mendesak tanpa peduli, seakan-akan ada suara, uang bisa dicari lagi tapi kapan lagi bisa naik helikopter ke gunung salju?
Pak Ferry memandang dan menunggu jawaban. Detik-detik berlalu sementara di kepala masih ada pertempuran take it or leave it. Sepersekian detik, terasa lagi rasa yang pernah menghias hati saat berada di persimpangan Chhomrong, Ke kiri ke ABC dan ke kanan kembali ke Pokhara. Melepas tujuan liburan itu sebenarnya tak pernah mudah. Lalu sekarang, ada kesempatan kedua untuk meraih kembali impian. Take it or leave it!
Saya mendadak menggigil karena merasa diberikan kesempatan kedua namun masih terlalu lama berpikir. Ada jalan yang terbuka, sebuah kesempatan yang bisa hilang begitu saja jika saya terus berpikir tanpa kepastian. Bukankah kesempatan ini merupakan sebuah tanda dari Semesta? Kami memang harus ke ATM, yang ternyata berada di depan dari agen heli-tour itu. Bahkan Pak Ferry sudah bertanya-tanya tentang Heli tour itu.
Menyadari bahwa Semesta sedang mencoba berkomunikasi kepada saya, dengan keyakinan penuh saya mengangguk. Lalu kaki terasa ringan saat melangkah ke dalam kantor yang tidak luas itu, lalu melakukan reservasi untuk penerbangan pagi keesokan harinya. Saya menutup mata ketika kartu kredit itu dipakai. Meskipun terasa seperti mimpi, nyatanya semua yang terjadi dimudahkan dalam prosesnya.
Malam hari di kamar hotel, saya mengingat kembali perjalanan hari itu. Pagi hari saya masih sarapan pagi di Australian Camp, lalu menghabiskan trekking Annapurna Conservation Area dan kembali ke Pokhara, menyusuri Danau Phewa yang diakhiri dengan sebuah keputusan yang luar biasa untuk kembali ke Annapura Base Camp. Ingatan ini kembali ke tahun 2014 ketika meninggalkan Nepal dan menyaksikan dengan jelas Mt. Everest dari jendela pesawat, lebih jelas daripada ketika melakukan Mountain Flight. Semesta selalu mendukung perjalanan saya ke Nepal. Dan esok hari sebagai hari terakhir di Pokhara, saya diberikan kesempatan lagi untuk menjejak Annapurna Base Camp dengan segala keindahan puncak-puncak berselimut salju abadi. Malam itu, saya terlelap bahagia.
Keesokan paginya…
Dengan membawa daypack kami berangkat menuju bandara Pokhara. Perasaan kami luar biasa bahagia, seperti orang yang baru pertama kali naik pesawat terbang dengan segala imajinasinya. Tak banyak orang bisa memiliki kesempatan menaiki helikopter untuk ke Himalaya. Pastinya ini gaya Sultan 🙂
Di bandara yang lengang itu, kami tak sabar menunggu. Kami melihat beberapa helikopter di landasan, entah mana yang akan kami naiki. Lalu ketika saat boarding diumumkan setengah berlari kami menuju helikopter itu meski tak lupa instruksi dan SOP untuk menaiki helikopter. Kami semua yang seluruhnya ada 6 orang, seorang perempuan cantik dari Saudi Arabia, sepasang dari Malaysia dan kami bertiga, kembali menjadi seperti anak kecil yang minta berfoto dengan latar helikopter. Tapi acara foto akhirnya harus berhenti karena pilot yang gantengnya setengah mati itu sudah memberi kode untuk naik. Waktunya terbang!
Mesin menyala dan sebelum mengangkasa, pilot melakukan briefing singkat tentang keselamatan terbang yang mungkin hanya didengarkan dengan satu telinga karena ekstasi yang melimpah dari semua penumpang, melupakan bahwa kendaraan yang dinaiki adalah helikopter dan bukan pesawat terbang. Saya yang duduk di pintu di kiri berjendela luas, dapat menyaksikan seluruh penumpang yang sudah tak sabar. Mungkin hati mereka berkata, ayolah bang ganteng, jangan bicara terus, terbang sajalah… (dan asli, pilotnya gagah sekali!)
Lalu satu, dua, tiga dan huuup… heli mulai naik meninggalkan bumi. Pak Ferry yang duduk di depan saya tak berani melihat ke bawah karena sedang mencoba mengatasi phobia ketinggiannya. Saya sendiri berdegup kencang, tak percaya naik heli di Nepal. Sebuah pengalaman baru.
Dalam hitungan menit bangunan-bangunan di kota Pokhara semakin jelas terlihat dari atas dengan Danau Phewa yang menyangganya. Saya seperti menjadi drone yang mengamati bangunan-bangunan kotak di bawahnya, tanah-tanah lapang, jalan-jalan yang dilalui beberapa kendaraan karena hari masih pagi. Terasa sekali kami semua haus dengan pemandangan yang tidak biasa. Ini seperti naik pesawat saat mau mendarat sehingga pemandangan di bawah terlihat dekat dan jelas.
Heli semakin tinggi mengangkasa dan melewati perbukitan serta mendekati Annapurna Conservation Area. Saya terdiam membayangkan trekking kami di hari-hari sebelumnya. Perjalanan panjang berhari-hari itu bisa dipotong begitu cepat dengan terbang. Deru baling-baling atas yang berputar cepat tak menghilangkan kegembiraan kami menuju lembah Annapurna. We’re back! Perasaan kami begitu gempita membuat mata nyalang ke sana sini, berharap bisa merekam semua keindahan di depan mata, melupakan bahwa keindahan itu juga harus diabadikan dalam foto. Ah, rasanya sayang sekali jika keindahan luar biasa ini harus disaksikan lewat lubang kecil kamera. Tapi, kenangan itu harus ada…
Menit-menit berlalu dengan gegap gempita, tak ada yang bicara dalam ruang kabin yang kecil itu karena semua mata memandang keluar dan telinga hanya menangkap suara-suara shutter kamera yang tak putus.
Perbukitan hijau mulai tertinggal di belakang, dan kami rasanya melayang di lembah sempit dengan pegunungan bersalju menanti di depan sana. Hati ini berdenyut-denyut, pemandangan semakin tak terperi indahnya. Tak banyak orang bisa melihat keindahan dari atas ini, teramat berbeda jika kita melangkah melata di jalur-jalur trekking. Tak mampu menandai secara akurat lokasinya, saya hanya bisa memperkirakan bahwa Chhomrong dan Sinuwa sudah tertinggal di belakang dan mungkin sekarang sudah sekitar Bamboo.
Tak lama pemandangan berubah drastis, lembah di bawah melebar dengan segala keindahannya, gunung-gunung bersalju semakin dekat dan semakin jelas. Benar-benar tak bisa berkata-kata, totally speechless. Pilot mengemudikan heli dengan begitu baiknya, saya hanya tergagap ketika merasakan tebing gunung itu semakin dekat, dan menjadi begitu dekat. Saya menyempatkan diri melihat ke kanan, tebing itu juga dekat. Gila, kami benar-benar terbang di antara tebing bercampur salju yang curam dan amat tinggi.
Mt. Macchapucchre Fish Tail from Heli Deep valley, flying to ABC Flying between the high gorges The snowcapped mountains seen from heli Turn left and I saw Annapurna South
Mata saya membelalak melihat tebing batu yang terasa begitu dekat, sepertinya baling-baling di atas itu akan menyentuhnya. Ngeri. Jika terhempas angin kencang, tebing karang berbercak salju itu siap menerkam kami semua. Manusia dan heli itu apa? Begitu kecil diantara tebing-tebing raksasa ini, rasanya tak ada artinya sama sekali! Kengerian yang hanya bisa dirasa saat terbang di antara tebing. Kengerian yang tak akan pernah terasa oleh mereka yang berjalan melata di jalur trekking yang terpukau indah akan tebing-tebing yang luar biasa tinggi
Dan dalam hitungan detik, di sisi kanan terlihat Mt. Macchapucchre, gunung yang berpuncak seperti ekor ikan itu, menjulang dengan gagahnya. Meski ngeri terbang di antara tebing, saya sempat membisikkan Namaste pada gunung favorit saya dan Mt. Hiunchuli yang ada di sebelah kiri. Lalu pilot heli yang handal itu meliukkan kami semua ke arah kiri. Pasti di bawah sana ada Macchapucchre Base Camp dan saya sedang menuju ke lembah luas yang dikelilingi oleh begitu banyak pegunungan berpuncak salju yang salah satunya adalah Mt. Annapurna South.
Daaan… penginapan ABC beratap biru itu sudah tampak dan pilot menurunkan kecepatan. Saya melihat keluar, orang-orang berjaket tebal di bawah sana memperhatikan kami. Beberapa petugas terlihat menjaga area mendarat dan menyuruh orang membatasi jarak dari tempat heli mendarat. Kami merasakan heli menjejak bumi dengan sukses. Alhamdulillah. Tapi tidak bisa langsung turun. Kami harus menunggu sebentar onboard.
Finally, landing at Annapurna Base Camp
Lalu lari menjauhi area heli dan berjalan menuju penginapan. Ketika membalikkan badan, saya melihat beberapa orang memasukkan barang-barang lalu tak lama kemudian heli pun mengangkasa lagi meninggalkan kami. Hingga heli berikutnya datang adalah waktu yang bisa dipakai kami untuk bersenang-senang di Annapurna Base Camp!
Annapurna Base Camp 360
Saya berdiri dan berputar 360 derajat, rasanya kaki ini begitu tak bertenaga karena rasa syukur penuh haru yang melimpah ruah. Ya Allah, saya ini begitu teramat kecil, tak berarti apa-apa berada di tengah gunung-gunung tinggi berpuncak salju ini. Berhari-hari saya berjalan di kawasan Annapurna Conservation Area hanya bisa menyaksikan keindahan ini dari kejauhan dan kini saya berada di tengah-tengah puncak-puncak gunung ini. Dalam kesendirian mata saya menghangat. Allah Pemilik Semesta selalu baik kepada saya, terlalu baik menganugerahkan begitu banyak keajaiban yang menjadi nyata untuk saya.
Dalam begitu banyak rasa, saya mengabadikan sebanyak-banyaknya yang saya bisa. Puncak Annapurna South (7219 m) berselimut salju terlihat begitu indah berhias sedikit awan dengan latar belakang langit biru. Pemandangan yang sering saya lihat ketika bicara trekking Annapurna. Lalu Machhapuchhre (6993m) terlihat begitu agung dengan bentuk puncaknya yang khas serta Hiunchuli (6441m) yang memiliki punggung gunung yang panjang.
Semuanya luar biasa terlihat dari tempat ini.
Saya mengeluarkan rok lilit batik dan mengenakannya di atas celana trekking dan meminta bantuan Pak Ferry untuk mengabadikan momen ini. Saya geli, rok lilit batik yang ternyata made in Indonesia ini saya temukan di pegunungan Nepal, dan saya kenakan di Annapurna Base Camp meski di baliknya tetap ada celana dan sepatu trekking. Biarkan saja, yang penting ada Batik di Annapurna Base Camp!
Saya tak banyak mengeksplorasi ABC karena naiknya ketinggian yang kami alami dalam waktu singkat. Setiap langkah memiliki risiko karena kadar udara yang lumayan tipis. Meski papan ABC terlihat dekat di bawah, saya tak mau mengambil risiko karena kembalinya bisa melelahkan dan tidak cukup waktu. Saya pun tak ingin meninggalkan tempat di luar penginapan karena ingin menikmati selama mungkin. Tak terasa waktu hampir 1 jam berlalu sangat cepat. Waktunya kembali ke Pokhara
Dari arah MBC saya melihat orang-orang kembali berkerumun di dekat landasan heli. Dan saya mendengar derunya terlebih dahulu daripada kemampuan melihat kedatangan helikopter karena kecilnya. Terlalu kecil untuk ukuran raksasa batu-batuan itu. Setelah mampu menandainya, saya berdiri memandang hingga heli mendarat sempurna. Beberapa orang kembali memasukkan barang lalu mempersilakan penumpang naik kembali. Ada rasa haru meninggalkan ABC, tetapi selalu ada waktu untuk perpisahan atas sebuah pertemuan. Semoga saya bisa kembali ke ABC.
View From ABC to MBC There’s the ABC Sign with prayer’s flag
ABC – Can you see the heli? Here comes the heli
Setelah lengkap semuanya, perlahan-lahan heli naik mengangkasa. Saya membalas lambaian tangan mereka meski tak kenal. Kurang dari 1 jam saya berada di Annapurna Base Camp dan kini harus kembali melakukan penerbangan dengan pacuan adrenalin.
Heli kembali terbang rendah mengarah Macchapucchre Base Camp, yang membuat hati ini rasanya menghilang. Bentuk lembah yang landai berselimut salju membuat bayangan heli itu menukik saat menuju MBC. Saya menahan nafas ketika bangunan biru MBC yang tertutup bayang tebing tinggi itu terlewati. Saya berucap dalam hati, semoga waktu membawa saya kembali ke sini.

Tak sampai satu menit setelah menandai MBC, Pilot handal itu meliuk lagi ke kanan meninggalkan MBC dan di depan mata saya terpampang jelas Mt. Macchapucchre dengan matahari yang masih bersembunyi di baliknya! Saya terpesona dengan gambaran epik di depan mata. Tak mudah mendapatkan foto Macchapucchre dari ketinggian, apalagi dengan matahari tersembunyi di baliknya yang menyebarkan sinar-sinarnya di batas-batas gunung. Rupanya gunung favorit saya memberikan wajah terbaiknya pagi itu dan I am so blessed bisa menyaksikan semua keajaiban ini.
Saya menempelkan tangan pada jendela seakan memberi salam perpisahan kepada gunung-gunung di sekitar ABC. Dan Semesta seakan menjawab lagi. Heli mendadak naik dan melewati sebuah punggung gunung yang penuh salju. Semesta seakan tak ingin saya kehilangan momen pergi ke lingkungan bersalju tanpa melihat situasinya. Alam memperlihatkan kecantikannya yang luar biasa pada sisi-sisinya yang berselimut salju. Saya menggigil, lagi-lagi bersyukur dalam hati atas semua karunia yang luar biasa ini.
Detik-detik berlalu, lingkungan berselimut salju tergantikan lagi dengan kehijauan, menandakan kota Pokhara di pinggir danau Phewa sebentar lagi akan menyambut kedatangan kami. Trekking berhari-hari telah kami lewati, menikmati setiap detiknya dengan penuh keringat, lelah namun gembira. Tak sangka, di hari terakhir kami mendapat karunia begitu besar dari Sang Pemilik Semesta membuat kami sampai di destinasi liburan kami.
Jakarta, Mei 2017.
Saya sudah kembali ke Jakarta dan membuka lagi catatan bulan Oktober tahun 2016 itu, yang membuat saya ‘gila’ untuk melakukan perjalanan Dare to Dream ke Annapurna Base Camp, trekking ke Himalaya meski saya bukanlah seorang pendaki gunung. Tulisan seperti puisi itu terpampang di halaman buku kecil bersampul coklat tepat di depan mata.
Ke Nepal? Lagi? ABC? Annapurna Base Camp?…
Benarkah kita akan terbang lagi?
Di antara tebing-tebing tinggi ?
Saya menggigil dengan limpahan air mata, di catatan itu, yang tertulis empat bulan sebelum saya menginjak Nepal untuk kedua kalinya, tidak pernah tertulis bahwa saya akan berjalan, tertatih-tatih ke sana. Tidak tertulis saya akan berhari-hari melangkahkan kaki menuju ke Annapurna Base Camp, yang tertulis hanyalah terbang tinggi di antara tebing-tebing tinggi. Logika saya pergi ke ABC hanya bisa dilakukan dengan berjalan kaki dalam hitungan hari, namun Sang Pemilik Semesta lebih mengetahui kekuatan saya. Dia akan menerbangkan saya.
Sebuah janji yang menjadi nyata.
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 4 dan bertema Fulfillment agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap dua minggu.