Ketika Rasa Kehilangan Mendera


 


November 2013 di Gayasan National Park, Korea Selatan 

Di musim gugur malam datang lebih cepat. Saya melangkah pulang mengikuti jalan setapak yang masih menanjak di tengah hutan, sendirian dalam kelam dan dingin. Manusia-manusia lain sudah lenyap dari pandangan, langsung masuk ke rumah setelah gelap datang. Apalagi mereka hampir semua tak bisa berbahasa Inggris. Saya hanya bisa mengira-ngira arah pulang ke terminal bus karena sebelumnya, seperti penumpang lain, diturunkan di tengah jalan dan bukan di terminal karena macet total akhir pekan. Saya menepis rasa takut yang terus menyerang, menahan airmata yang hampir jatuh, mencoba fokus dari kebingungan yang mendera. Praktis saya di ujung putus asa karena kehilangan arah

Akhir Tahun 2014 di Macau 

Di depan konter check-in hotel itu, muka saya langsung pias, -tak bisa melakukan open-deposit-, karena tak menemukan dompet di dalam tas meskipun isinya sudah dikeluarkan semua. Dompet saya hilang! Paniknya tak dapat dirangkai dalam kata-kata. Masih untung perempuan cantik di balik konter itu membolehkan saya sekeluarga memasuki kamar karena semua sudah dibayar lunas. Di dompet yang hilang itu tersimpan semua lembaran uang dengan nominal besar dan kartu-kartu kredit yang menjadi andalan kami untuk berlibur akhir tahun. Dan seketika liburan itu berada di ujung tanduk…

Desember 2015 di Hoi An, Vietnam

Pagi itu di tempat tidur seperti ada yang membangunkan saya untuk memeriksa kembali isi tas. Ketika saya melakukannya, saya tidak dapat menemukan paspor di tempatnya ataupun di tas lainnya! Seketika rasa dingin menyerang ke seluruh permukaan kulit. Setahun lalu dompet, kini paspor! Saya panik tapi mencoba berpikir dengan begitu intens. Membuat rencana. Siapa tahu paspor jatuh di jalan sepanjang malam sebelumnya, harus ke kantor polisi untuk melaporkannya, harus terbang ke Hanoi untuk laporan kehilangan paspor di Kedutaan Besar Indonesia, harus menyiapkan uang tambahan untuk penginapan di Hanoi dan yang pasti sisa liburan pasti berantakan hanya karena paspor tidak ada di tas! Saya mandi yang tak terasa mandi, rasanya lunglai tak berenergi…

 

Siapapun tak ingin menghadapi halangan saat melakukan perjalanan, apalagi saat bepergian ke luar negeri. Namun tak pernah ada perjalanan yang selalu sempurna tanpa halangan. Seperti yang saya alami di atas, mau tidak mau tiga situasi karena rasa kehilangan di atas dan penuh kebingungan harus saya hadapi.

P1030976e
Sign to Haeinsa

Seperti saat hendak pulang di Gayasan National Park, -setelah selesai berkunjung ke Kuil Haeinsa-, saya hanya bisa berjalan berdasarkan intuisi, -sungguh seperti meraba-raba dalam gelap-, berjalan terus tidak tahu apakah benar atau salah arahnya. Saya benar-benar di ujung rasa putus asa namun saya tak mau menangis dan menyerah kalah. Menangis tidak menyelesaikan masalah bahkan memperlemah diri di saat harus tegar menghadapi kebingungan. Saya harus kuat dan hanya bisa terus berdoa untuk ditunjukkan jalan.

Bagi yang pernah membaca Ziarah (The Pilgrimage) atau juga Brida, novel-novel karangan Paulo Coelho, rasanya saya menapaki apa yang disebut di buku itu sebagai Malam Kelam. Dan saya hanya bergantung perlindungan dan kasih sayang kepadaNya. Sungguh saya belajar sungguh-sungguh bergantung total kepadaNya, berserahdiri secara total kepadaNya, memohon pertolongan. Dan apa yang terjadi?

Dan kemudian Dia mengirimkan pertolongan melalui dua orang lanjut usia di sebuah pondok yang saya temui akhirnya di ujung jalan setapak yang saya lalui. Tanpa perlu mengerti bahasa Inggeris, mereka menangkap maksud “bus” yang saya ungkapkan. Mereka berdua, dalam udara dingin, berjalan sebentar lalu menunjukkan arah lampu untuk naik bus berada tempat yang saya harus ikuti (kata terminal itu misleading karena tidak ada bus, kalaupun ada hanya 1 bus). Bagaimanapun, kedua orang lanjut usia yang membantu saya adalah malaikat dalam wujud manusia yang saya temui di ujung rasa putus asa karena kehilangan arah.

*

Situasi serupa penuh dengan kebingungan terulang di Macau. Kali ini saya bertanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk seluruh keluarga juga. Di kamar saya diam seribu bahasa dengan tensi yang meningkat karena situasi yang dihadapi. Saya hanya minta bantuan kepada keluarga untuk mencari tahu nomor telepon hotel di Hong Kong yang pagi harinya kami keluar, nomor kapal ferry yang kami gunakan dari Hong Kong ke Macau, nomor masing-masing pelabuhan hingga nomor taxi yang kami gunakan di Macau.

wallet1

Tanpa menghitung biaya roaming, satu per satu saya menghubungi mereka semua dan semuanya mengatakan tidak ada dompet hitam milik saya. Ada yang penuh empati ingin membantu dengan memberikan nomor telepon tempat yang terkait, tetapi hasilnya sama saja. Tidak ada!

Situasinya sangat serupa, saya mencoba terus tanpa henti hingga ke titik ujung usaha dan akan masuk ke dalam situasi ‘lepaskan atau terjebak pada penghambaan benda’. Seakan diingatkan akan batas ini, saya meluruh dan akhirnya berserah diri. Jika benda itu memang ditakdirkan dipinjamkan kepada saya, ia akan kembali. Bila tidak, biarlah saya menghadapi situasi lain yang berbeda yang memang harus saya hadapi. Saat itu, saya memohon izin untuk satu kali lagi menelepon sebagai upaya terakhir kalinya sebelum saya lepaskan semuanya. Terakhir!

Di Macau itu, saya tak tahu harus menangis atau bahagia ketika suara di ujung telepon mengabarkan dia, petugas tiket ferry di Hong Kong, menemukan dompet dengan ciri-ciri yang sama dengan dompet saya!

*

Saya ingat pagi di Hoi An, Vietnam itu setelah mengubek-ubek isi tas dan mengitari kamar hotel tanpa menemukan paspor dimana-mana. Lenyap dari tempatnya. Rasa dingin seperti tahun lalu kembali menjalar ke seluruh tubuh. Saya duduk di tempat tidur, lunglai dan bertanya dalam hati kepada Dia. Sungguhkah ini? Mengapa Engkau senang sekali bergurau kepada diri ini? Jika setahun lalu dompet, kini paspor.

passport1

Saat itu, meskipun kehilangan paspor, meskipun rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh dan memiliki plan A, plan B, plan C dan seterusnya untuk mengatasi situasi yang saya hadapi saat itu, ada rasa yang sangat berbeda! Jauh di dalam sana, saya merasa dicintaiNya, saya merasa disayang olehNya, saya berlimpah Kasih SayangNya. Ada ketenangan. Saya hanya diminta untuk percaya dan bersabar akan pertolonganNya. Sebuah rasa yang muncul dalam jiwa. Tidak pernah ada yang hilang, Dia menyimpannya untuk saya.

Tapi saya tetap manusia yang penuh tarik ulur yang hebat, yang merasa mampu mendapatkan hasil dari rencana-rencana yang dibuat. Dengan perang antara logika dan rasa, saya berangkat meninggalkan kamar dengan segudang rencana namun tetap percaya PertolonganNya akan datang. Help is on the way!

Berharap mendapat pertolongan pertama dari konter depan, saya mengungkapkan kehilangan paspor sambil mengatakan hendak check-out. Petugas itu lebih concern dengan informasi kehilangan paspor daripada proses check-out. Ia tampak berpikir sebentar, lalu berbalik mencari dokumen menginap di balik konter. Ia berbalik kembali menghadap saya sambil memperlihatkan folder transparan dengan paspor saya di dalam folder itu!

***

Siapapun tak ada yang suka mendapatkan halangan dalam perjalanan. Namun halangan ada, bukan tanpa tujuan. Halangan itu ada untuk kebaikan kita sendiri dan dapat menyempurnakan perjalanan, termasuk perjalanan hidup. Seperti musuh, dari halangan dan kesulitan, kita bisa belajar sangat banyak untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Yang kita perlukan hanya satu, berpegang pada Dia yang selalu ada untuk kita dimanapun kita berada, kapanpun. Selalu dan selamanya.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-36 ini bertema The Invisible Hand agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

 

Di Balik Jendela Sederhana Haeinsa


P1040010
Di balik Jendela Kayu Sederhana terdapat Harta Dunia

Saat mengunjungi Kuil Haeinsa yang berada di pegunungan dalam kawasan Gayasan National Park, saya mengira akan menemukan bangunan-bangunan kuil yang megah berwarna-warni seperti layaknya bangunan-bangunan kuil di Korea Selatan. Namun apa yang saya lihat disana membuat saya terperangah.

Di bagian atas dari Bangunan Utama Kuil Haeinsa, -menunjukkan sebuah keluarbiasaan karena masih ada bangunan yang menempati posisi yang lebih tinggi dari Bangunan Utama-, terdapat bangunan kayu sederhana yang disebut Janggyeong Panjeon. Bangunan ini dengan struktur yang sangat unik ini hanya terbuat dari kayu-kayu yang terlihat sangat sederhana. Tetapi sejatinya sesuai namanya, di balik sebuah kesederhanaan, ternyata bangunan ini menyimpan  bilah-bilah kayu pencetak Tripitaka Koreana, yang keseluruhan kompleks bangunan terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site sejak 1995.

P1040009
Di balik Jendela Kayu Sederhana terdapat Harta Dunia

Ada pepatah klasik yang sering kita dengar, Don’t judge a book by its cover, yang menurut saya sangat cocok dan berlaku ketika mengunjungi tempat ini. Jangan karena melihat kayu-kayu sederhana yang digunakan, lalu kita menganggap rendah nilai yang terkandung dibaliknya karena sesungguhnya, bukan hanya Korea Selatan yang memiliki harta itu melainkan Dunia.

Sebuah harta warisan Dunia hanya disimpan di bangunan kayu yang sangat sederhana. Luar biasa sekali, bukan?

Demi keamanan keberadaannya, saat melintasi bangunan utama penyimpan kayu-kayu pencetak Tripitaka Koreana dan berbagai literatur keagamaan Buddha, pengunjung hanya boleh melintas tanpa berhenti, tanpa kamera, tanpa berfoto. Pengunjung diperbolehkan mengabadikan dari sudut jalan kearah luar. Itupun kadang ditegur keras oleh petugas jaga jika berlama-lama.

Meninggalkan bangunan Janggyeong Panjeon, rasanya saya hanya bisa terdiam membawa kekaguman. Ketika di berbagai belahan dunia, negara-negara saling berlomba untuk memodernkan pengamanan harta budaya, jika perlu menggunakan teknologi terkin, namun di Korea Selatan ini tetap mempertahankan cara aslinya sejak pendirian bangunan berabad-abad lalu,

Kisah perjalanannya secara lengkap bisa dibaca di-sini


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-16 ini bertemakan Jendela agar kami berdua terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – Ceremony of Changing Guards


A couple minutes walking from the Exit 2 City Hall Subway Station, finally I stood in front of the Daehanmun Gate of Deoksugung Palace in Seoul, South Korea.  Deoksugung Palace is one of the places where the ceremony of changing Royal Guards will be held first at  11.00 AM. Arrived too early, I preferred to wait the ceremony before exploring the palace, behind the front gate. 

The ceremony of Changing Royal Guards in Deoksugung which is similar to the process at Buckingham Palace in London, was re-established in 1996 after extensive and thorough research by Korean historians.

The ceremony lasts for 30 minutes and always follows the standard rules. Beginning with traditional musical accompaniment, wearing beautifully coloured costumes, the royal guard troops walk in neat rows then the new commander will meet to the other commander who was on-duty to exchange passwords and keys as verification and to ensure the authenticity of the assignment. Then proceed with the changing of the guards position and followed by the rest of troops.

Being there, without any knowledge of the stages and story behind the ceremony of changing royal guards, I had to admit that the ceremony was very interesting because of the beautiful colours of their traditional costumes.

*

Deoksugung Palace in Seoul, South Korea can be reached by taking Subway Line 1 from Seoul Station and get off at City Hall, Exit-2. The signage of direction is clear in English and Hangeul. The schedule of ceremony: 11.00, 14:00 and 15:30

Colorful on Changing of the Royal Guards Ceremony
Colorful on Changing of the Royal Guards Ceremony
The Changing of Royal Guards Ceremony
Ceremony of Changing Royal Guards at Deoksugung
Changing of the Royal Guards Ceremony - Password exchange
Ceremony of Changing Royal Guards at Deoksugung – The Keys and Password Exchange
Leader on the Changing of the Royal Guards Ceremony
Ceremony of Changing Royal Guards at Deoksugung – The Leader

Makna Hikmah Terserak di Perjalanan Korea


Ketika saya baru kembali dari Korea, seorang atasan menanyakan tentang perjalanan saya di Korea. Karena tahu beliau tidak berbasa-basi, saya yang masih gres dengan semua peristiwa yang dialami, menjawab dengan ringan bahwa ternyata di Korea Selatan yang maju itu tidak banyak orang bisa berbahasa Inggris sehingga banyak peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi hanya karena faktor bahasa. Dan Jleb! Saya takkan pernah lupa akan tanggapannya. Time is healing, yang tidak menyenangkan akan berubah menjadi momen-momen yang berkesan mendalam, kata beliau.

Bagaimana mungkin sebuah peristiwa yang tidak menyenangkan menjadi memorable moments? Saat itu karena masih penuh dengan kesan tak nyaman selama di Korea, saya tak menerimanya begitu saja, tetapi karena menghormatinya, saya membiarkan hal itu mengendap di dalam hati.

*

Perjalanan ke Korea saat itu memang impulsif, karena masih tersisa cuti banyak (baca cerita lengkap alasan saya pergi ke Korea disini) dan mungkin juga karena trip ke Korea sebelumnya sempat dibatalkan. Saat saya ke Jepang sebelumnya di tahun yang sama, seharusnya lanjut ke Korea tetapi situasi politik di semenanjung Korea saat itu tidak mendukung sehingga trip itu dibatalkan. Padahal saat itu tiket sudah ditangan bahkan sudah memesan beberapa hotel. Pembatalan itu sepertinya berubah menjadi keingintahuan yang besar itu yang mungkin menjadi trigger keputusan untuk pergi ke Korea di musim gugur. Namun pada dasarnya saya tidak tahu apa-apa tentang Korea, saya bukan penggemar K-pop, K-drama, bukan juga penggemar kuliner Korea, tidak bisa baca Hangeul, tidak tahu banyak sejarah Korea. Hanya karena ada Samsung, LG dan cerita kondisi alamnya yang cantik. Itu saja!

Berbekal itu, saya mengurus sendiri pembuatan visa (baca soal pembuatan visa disini) yang sampai sekarang terus menjadi salah satu top-posting di blog ini, sampai akhirnya dengan sangat menyesal kolom komentar saya tutup karena menjurus yang aneh-aneh dan tidak mutu 😀 (Saya kan bukan agen tenaga kerja juga bukan agen pencari bakat untuk K-pop, juga bukan agen untuk operasi plastik kan… 😀 )

Ketika semua orang memulai perjalanan ke Korea dengan masuk melalui Seoul, saya justru masuk melalui Busan (baca:  Berkenalan dengan Busan disini). Mendarat pagi-pagi saat jam kerja normal belum dimulai merupakan masalah tersendiri. Apalagi saya tidak bisa baca karakter Hangeul yang mendominasi dimana-mana. Bertemu wajah tak bersahabat di hari pertama, bertanya pada seseorang tapi dijawab dengan gelengan atau muka lempeng. Bahkan untuk mencari lokasi hotel pun saya harus mengerahkan kreativitas. Kekuatiran dan kecemasan bisa survive di Korea mulai menemani di hari pertama perjalanan. Lalu apakah saya akan menyerah di hari pertama?

Namun bukankah jika kuatir dan cemas dipelihara terus, kita tidak akan pernah pergi kemana-mana? Saya mencoba mengatasinya, saya percaya masih ada orang baik di sekitar kita. Pergeseran titik pandang, -dari penerima negativeness menjadi pemberi positiveness-, terbukti benar. Saya menurunkan harapan tinggi tentang Korea dan memilih lebih percaya kepada orang lokal dan orang baik pun mulai muncul di hadapan (Baca disini saat Jelajah Busan). Saya bersyukur bisa merambah mengelilingi pantai Haeundae, ke Museum Seni Busan, ke Mal yang segede gaban, menikmati Jembatan Gwangan di kegelapan malam. Paling tidak masih ada pengalaman yang cukup menyenangkan.

Kemudian keesokan harinya saat akan berpindah kota, saya harus jujur bahwa keteledoran juga menjadi faktor mengapa banyak hal buruk terjadi pada saya. Jika saya teledor membaca peta sehingga salah stasiun dan kehilangan waktu, janganlah situasi eksternal yang disalahkan. Juga kalau teledor meletakkan tiket jangan salahkan faktor luar kan ya? Tetapi terlepas dari dua faktor itu, saya menyadari sepenuhnya memang perjalanan dari Busan ke Gyeongju itu penuh drama hanya karena faktor bahasa (baca cerita Menuju Gyeongju disini). Tetapi saya belum mau menyerah secepat itu…

Gyeongju, -kota cantik 1 jam berkendara dari Busan-, memiliki banyak tempat publik yang luar biasa walaupun bagi saya dihiasi rasa antara cemas, takut dan ingin tahu yang besar (baca cerita Ruang Publik Gyeongju disini). Sebagai solo-traveller perempuan, saya harus mampu mengatasi rasa gamang tidak mengenali siapapun dan juga tidak bisa berkomunikasi karena keterbatasan bahasa. Namun segala yang tidak menyenangkan itu bisa diseimbangkan ketika menjejak Bulguksa Temple. Sebuah keluarbiasaan bisa sampai di tempat World Heritage ini. Mungkin karena beberapa kejadian sebelumnya yang tidak menyenangkan, bisa sampai ke destinasi ini rasanya seperti mendapat durian runtuh, rasanya seperti mencium bau surga (baca cerita Bulguksa Temple). Tapi sayang, setelah meninggalkan Bulguksa, kembali saya berteman dengan sepi bersama benda-benda bersejarah yang berserakan disana hingga malam hari, paling tidak itulah hal yang saya dapat nikmati di Gyeongju (Baca disini: Malam di Gyeongju)

Tetapi ketidaknyamanan trip di Korea belumlah mencapai puncak. Ketika akan meninggalkan kota Gyeongju, begitu banyak rasa tak bersahabat menghampiri saya, tak ada yang bisa membantu menjawab pertanyaan saat saya ingin naik bus sampai akhirnya saya memilih taksi namun ternyata ditolak oleh sopir taksi dengan berbagai alasan. Tidak bisa naik kereta karena jadwalnya tidak cocok akhirnya saya menuju terminal bus, -satu-satunya lokasi yang saya tahu-, dengan berjalan kaki walau cukup jauh ditambah menggendong ransel berat. Saya tak berpikir jauh, setiap masalah yang ada di depan mata saya hadapi satu persatu. Meskipun pelan, saya tetap bergerak maju. Saya seakan sedang ujian, kesabaran dan kekuatan saya diuji, sejauh apa keseriusan saya untuk mencapai tujuan dan untuk Korea ini, ada sebuah tempat yang menjadi destinasi utama yang ingin saya capai, Kuil Haeinsa di tengah hutan taman Nasional Gayasan.

Sungguh, keberanian dan kekuatan saya diuji saat menuju dan sepulangnya dari Kuil Haeinsa. Di tengah jalan bus terjebak dalam kemacetan parah dan harus berhenti sebelum mencapai terminal Haeinsa dan mengharuskan saya turun di tempat yang bagi saya adalah in the middle of nowhere. Saya mengalami disorientasi, tanpa teman, tanpa orang yang bisa diajak bicara atau tanya, dan situasi antara pulang dan lanjut sama tak pastinya, apakah saya harus menyerah? Tetapi menangis tak akan menyelesaikan masalah (Baca disini Ujian dalam Perjalanan)

Dan bagai sebuah siklus kehidupan dengan roda di bawah kemudian berputar ke atas, perjalanan tak mudah ke Haeinsa itu terbayar dengan keindahan Kuil Haeinsa dengan begitu banyak simbol-simbol kehidupan (baca soal simbol-simbol kehidupan di Haeinsa Temple) dan tentu saja Mahakarya kayu ratusan tahun yang dijaga didalamnya (baca hebatnya Mahakarya Kayu). Tetapi ujian bagi saya rupanya belum berakhir karena kegembiraan bisa mencapai Haeinsa hanya terasa sekejap saja bagi saya, setelahnya saya kembali harus menapak perjalanan yang tak mudah.

Tanpa tahu arah terminal bus, dari Kuil Haeinsa saya mengikuti intuisi sendirian menuruni jalan setapak di tengah hutan Nasional dalam keremangan jelang gelap dan dinginnya udara pegunungan, hanya berpegang pada percaya dan yakin akan pertolonganNya. Saya seperti bergantung di ujung tali, airmata ini hampir pecah, tetapi saya tak boleh menyerah. Dua kali mencoba mencari bantuan, tak ada satu pun orang muncul di hadapan. Kali ketiga, bak malaikat penjaga, dua orang lanjut usia muncul di pintu sebuah kios memberi arah tempat bus kembali ke Daegu. Saya tahu saya boleh menangis penuh syukur saat itu karena lulus dari ujian. Setelahnya didepan mata saya hadir para sahabat seperjalanan tanpa perlu tahu nama-namanya.

Hari-hari selanjutnya perjalanan menjadi lebih mudah karena puncak ketidaknyamanan telah terlewati. Saya meneruskan perjalanan menuju Seoul dengan menggunakan KTX (baca disini: Kereta Super Cepat KTX). Bahkan waktupun bersahabat sehingga saya menyempatkan diri berjalan ke Hwaseong Fortress (baca disini Hwaseong Fortress).

Perjalanan tak mudah menuju ke Mt. Seorak (baca trip ke Seoraksan disini), -yang menjadi salah satu tujuan utama wisatawan Indonesia-, terasa manis ketika saya mendapat apresiasi dari seorang tour guide lokal yang membawa rombongan Indonesia karena berani ke Seoraksan sendiri tanpa mengerti bahasa Korea. Bagi saya, perjalanan ke Seoraksan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan semua kesulitan di Haeinsa. Bahkan di Seoraksan ini, Tuhan pun mengirimkan seorang sahabat seperjalanan tanpa perlu bicara, tanpa perlu bersalaman. Hanya sebuah anggukan dan senyum karena sama-sama menempuh perjalanan yang searah. Saya memungut hikmah, bahwa diantara wajah-wajah yang serupa, saya mendapatkan hati yang penuh senyum. Seorang saja cukup untuk menenteramkan hati.

Trip Korea yang penuh ketidaknyamanan ini membaik saat berjalan di Seoul, menjelajah hingga kaki lelah di istana-istananya yang cantik seperti Istana Deoksugung (baca: Istana Deoksugung) maupun Istana Changdeokgung (baca: Istana Changdeokgung). Bahkan lagi-lagi Tuhan mengirimkan sahabat seperjalanan untuk berbagi cerita di Secret Garden Istana Changdeokgung dalam rombongan berbahasa Korea dalam hujan musim gugur yang basah (baca Secret Garden). Dan malamnya kaki dibawa hingga kebatas lelahnya dengan menyusuri Cheonggyecheon Stream untuk menyaksikan festival Lentera (baca Lantern Festival disini).

Namun Yang Kuasa sepertinya menitip pesan penutup di akhir trip Korea dengan membiarkan saya berlari-lari di luasnya bandara Incheon di hari kepulangan karena ceroboh tak mengukur jarak Incheon dengan Seoul (baca hebohnya Lari di Incheon). Semuanya bukan kebetulan, saya dibiarkan untuk lari sehingga tak mengenali bandara Incheon di dalam waktu yang sangat pas agar tak tertinggal pesawat. Semua pasti ada alasannya…

Tetapi dasar manusia yang lebih banyak dan lebih cepat mengingat buruknya, demikian pula saya yang pulang ke tanah air, lebih banyak mengingat ketidaknyamanan daripada semua yang menyenangkan selama melakukan perjalanan ke Korea.

*

Waktu pun berjalan, time is healing.  Benar kata atasan saya. Setelah sekian lama, trip Korea ini berubah menjadi perjalanan yang memiliki memorable moments, yang sangat tidak menyenangkan pun menjadi sebuah keluarbiasaan yang selalu saya syukuri. Jika tidak ada semua faktor yang tidak menyenangkan itu, sejatinya saya tak akan memahami makna setiap detik kehidupan dariNya. Jadi janganlah takut jika mengalami hal yang tidak menyenangkan selama melakukan perjalanan karena sebagaimana hal menyenangkan, hal yang tidak menyenangkan pun akan memperkaya jiwa…

Korea – Incheon, What Incheon?


Incheon, bandara Seoul yang katanya megah itu…

Katanya?

Memang benar! Katanya…

Bagi penggemar Korea, mohon maaf dan jangan marah dulu karena saya memang tidak merasakan kemegahannya, karena ada ceritanya tersendiri…

*

Salah Mengartikan Peta

Berawal dari pulang jalan kaki pada malam sebelumnya. Dengan kaki yang rasanya sudah mau lepas dari tubuh karena jalan tak habis-habis serta naik turun tangga di area Myeongdong, saya memaksa diri untuk membaca jadwal bus bandara yang haltenya ada di depan Hotel Sejong. Dengan mata yang sudah lelah dan penerangan yang tidak terlalu terang, saya melihat route bus tersebut. Rute kembali ke Bandara lebih dekat dari pada datang dari bandara. Jadi sepertinya saya bisa lebih santai besok, apalagi pesawat akan terbang pada jam 09.35 waktu setempat.

Route Bus 6105 from Sejong Hotel - Myeongdong (dari Sejong.co.kr)
Route Bus 6105 from Sejong Hotel – Myeongdong (dari Sejong.co.kr)

30 Menit Yang Menyesatkan

Entah kenapa, sejak berada di Korea, saya memiliki persepsi untuk ke bandara Incheon hanya memerlukan waktu 30 menit dari pusat kota Seoul! Bahkan saya sangat meyakini hal itu sehingga tak memeriksa kembali melalui internet. Dan memang demikianlah jadinya, saya packing dengan santai dan sempat sarapan terlebih dahulu di hotel dengan enaknya lalu melangkah ke bus stop yang ada tepat di depan Hotel Sejong tepat sebelum jam 07.00.

Namun antrian sudah cukup banyak sehingga ketika saya tidak mendapat tempat di bus jam 07.00. Itu artinya saya harus menunggu bus berikutnya. Baiklah… saya masih ada waktu kan? Hanya 30 menit ke bandara…

Bukan 30 Melainkan 90!

Tidak berapa lama, bus berikutnya datang. Segera saya naik dan membayarnya lalu duduk di bagian kiri. Matahari muncul seakan memberi kehangatan pagi untuk semua warga Seoul di musim gugur ini. Setelah beberapa menit akhirnya bus berangkat meninggalkan wilayah Myeongdong. Saya menikmati pemandangan seantero Seoul yang belum puas saya jelajahi. Masih banyak destinasi indah di Seoul yang suatu saat nanti akan saya datangi kembali.

Selagi melewati Namdaemun, saya sempat melihat jam 07.35. Saat itu saya merasa bus berjalan lambat. Bukankah Namdaemun hanya berjarak 1 halte dari Myeongdong? Jalan memang lumayan padat tetapi belum sampai macet. Entah kenapa saya merasakan ada yang salah saat itu… Something is very wrong… dang-ding-dong…

Kemudian rasa aneh itu membawa saya untuk googling. Dan bagaikan disengat listrik, saya terkejut sekali membaca informasi bahwa perjalanan bus dari Myeongdong ke Incheon Airport rata-rata memerlukan waktu 1 jam 30 menit. 90 Menit! Haaaa…?? Tidaaaaakkk….

Rasa terkejut seketika berubah jadi senewen, cemas, kuatir, deg-degan tingkat teratas. Rasanya inilah kejadian paling dodol yang pernah saya lakukan. Tidak habis-habisnya saya mengomel ke diri sendiri. Betapa saya ceroboh, tidak aware, tidak check-and-recheck dan masih jutaan omelan ke diri sendiri.

Tetapi semua itu tidak cukup. Apa yang harus saya lakukan selain mengomel? Tidak Ada!

Jika pk. 07.35 masih di Namdaemun ya kira-kira pk. 09.00 kurang baru sampai di Incheon! Padahal belum check-in, belum kembalikan si Egg (pocket WIFI), belum antri imigrasi… Pesawat akan lepas landas pk. 09.35! Terbayang langsung di benak, saya ditinggal pesawat dan uang yang terbang melayang dua kali karena harus membeli tiket baru *slowmotion

Dan setiap halte tempat bus berhenti sejenak, saya semakin senewen, berdoa agar bisa lebih cepat. Di halte Seoul Station, please cepetan… Di halte Brown’s Suite tolong Ya Tuhan, jangan lamaaa… Di halte Chungjeongro Station, Ya Allah… kumohon keajaibanMu… dan berulang terus. Sungguh sebuah perjalanan bus yang rasanya paling lama dan tidak sampai-sampai…

Akhirnya bus berhenti di bandara Incheon, tapi saya harus kembali bersabar (walaupun rasanya sudah di tepi sabar) karena terhalang orang-orang yang duduk di depan saya yang juga ingin keluar dari bus. Saya sudah tak sempat lagi untuk melihat jam di tangan saya, yang penting adalah lari menuju layar besar yang memperlihatkan konter check-in Air Asia.

Wiki - Incheon International Airport - Departure Terminal
Wiki – Incheon International Airport – Departure Terminal

 Lari!!!

Saya lari ke bagian check-in counter dan menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Begitu melihat penerbangan saya, petugas perempuan itu tampak sangat sigap memproses. Hanya perlu sebentar lalu sambil menyerahkan boarding pass dan paspor, ia mengatakan dengan wajah cemas, Anda harus cepat, sepertinya sudah boarding, sambil menunjukkan arah keberangkatan. Ya Tuhan… dia saja cemas! Aku mohon keajaibanMu, bantu aku ya Allah…

Saya langsung mengambil boarding pass dan paspor darinya lalu lari sekuat tenaga menuju arah gerbang masuk. Tetapi saya harus mengembalikan pocket WIFI dulu, dan tidak seperti di Jepang yang tinggal memasukkan ke kotak pos, saya harus mengembalikan ke konternya lalu akan dikonfirmasi setelah diperiksa oleh petugas. Dan saya tidak tahu dimana konter pengembaliannya!

Berbekal pengetahuan bahwa loket itu ada di lantai yang sama untuk check-in, lagi-lagi saya memaksa diri untuk lari. Kemana? Yaa… Lari memutari seluruh konter check-in di lantai itu! Gedung terminal keberangkatan itu luas, tak beda dengan terminal di Hong Kong dan saya harus mencari loket pocket WIFI itu. Rasanya sudah kehabisan nafas tetapi saya tidak boleh menyerah. Saya masih lari dan benar-benar lari mengelilingi area check-in sambil mata membaca konter si Egg.

Setelah lengkap memutari area check-in satu putaran dan tidak ketemu, saya harus lari lagi dan kali ini Tuhan berkenan menjawab doa saya dengan menyembulkan loket itu tepat di depan mata. Ternyata tak jauh dari konter Air Asia tapi kepanikan itu membuat saya tak awas sehingga melewatinya. Sambil terengah-engah kelelahan, saya mengembalikan semua peralatan itu lalu menunggu dicheck kembali oleh petugas. Saya hanya menatap matanya. Begitu ia tersenyum dan mengangguk saya langsung melesat lagi, lari lagi, kali ini menuju pintu imigrasi.

Ya Tuhan… semoga antriannya tidak panjang… Ternyata… tetap panjang! Aduuuh…

Antrian ini tidak bisa disela, walaupun terengah-engah saya mencoba mengatur nafas dan beringsut maju pelan-pelan. Untung seluruh petugas bekerja dengan sangat efisien, jadi walaupun antrian panjang, prosesnya cepat.

Begitu paspor saya dicap, saya langsung mengambilnya dengan cepat diiringi ucapan terima kasih lalu melihat arah gerbang keberangkatan. Dan saya sudah tak berani lihat jam. Saya hanya punya satu tujuan, saya harus mencapai gate secepat mungkin dengan lari. Dengan ransel yang lumayan berat ditambah tas tangan, saya lari… dan lari… dan lari…*nafasmauputusrasanya

Rasanya tidak sampai-sampai… jauh sekali…

Fokus saya hanya satu, mencapai gate!

From Wiki - Duty Free Shops
From Wiki – Duty Free Shops

Dan saat lari, saya hanya melihat toko-toko sepanjang koridor tempat saya lari, terlihat melesat cepat ke belakang, artinya kecepatan lari saya lumayan. Sempat-sempatnya juga saya teringat pada film Home Alone ke sekian yang lari-lari di bandara. Inikah rasanya mengejar pesawat?

Rasanya sudah berkilo-kilometer saya lari sampai nafas mau putus rasanya. Ya Tuhan, tolong saya… beri kesempatan saya sampai di Gate pada waktunya.

Dan Tuhan Selalu Baik…

Gate sudah terlihat dan sudah sepi. Dengan ekor mata, saya melihat tujuan Kuala lumpur. Saya tak menghentikan kecepatan saya, terus sampai titik darah penghabisan! Saya tak mau menyerah.

From Wiki - The Gate of Incheon
From Wiki – The Gate of Incheon

Di ujung lorong, masih ada petugas tetapi di depan saya sudah tak ada orang sama sekali. Saya menarik nafas panjang. Alhamdulillah, Segala Puji bagiMu Yaa Allah… Allah Maha Baik…

Dan ketika saya menapak ke badan pesawat Air Asia itu, saya melihat sekilas pesawat telah penuh dengan penumpang. Di lorong dekat nomor tempat duduk, saya meminta maaf kepada orang yang telah duduk karena harus melalui mereka, kemudian saya duduk di kursi dengan keringat yang mengucur deras. Sambil mengeringkan keringat, saya sempat melihat ke arah pintu pesawat yang kemudian ditutup…

Saya langsung membuang pandang ke arah luar jendela, tak mau terlihat airmata yang mengembang… Terlambat sedikit saja, saya pasti ditinggal pesawat. Lagi-lagi ini berkat campur tangan Yang Maha Kuasa. Saya menggigit bibir, Korea Selatan, begitu banyak huru-hara dan ujian dalam trip ini, tetapi kasih sayangNya juga berlimpah teramat banyak…

*

Jadi jangan tanya bagaimana kemegahan Incheon yang katanya megah itu, karena jangankan mau menikmatinya, melihat dan memperhatikan saja saya tak sempat. Saya hanya bisa mencoba mengingat melalui foto-foto di internet walaupun saya pernah berada disana. Merasakan luasnya memang iya…

Jadi, pembelajarannya adalah check and recheck jarak bandara dan datanglah lebih awal…

Korea: Menapak Huwon, The Secret Garden


Walaupun belum puas berkeliling Istana Changdeokgung, tetapi waktu untuk mengikuti tour Huwon tinggal beberapa saat lagi sehingga saya bergegas menuju titik pertemuan di Hamnyangmun, gerbang masuk Huwon, the Secret Garden yang berada di belakang Istana Changdeokgung. Peraturan sangat ketat untuk Huwon, tak seorangpun diperkenankan memasuki kawasan Huwon bila tidak dalam rombongan yang memiliki pemandu resmi. Lagi-lagi karena kemalasan saya yang tidak mencari tahu jadwal tour berbahasa Inggeris sehingga saya tertinggal karena jadwalnya sudah terlewat. Walaupun begitu, saya nekad mengikuti rombongan berikutnya yang berbahasa Korea yang tidak saya mengerti. Daripada tidak bisa masuk sama sekali kan…?

Melewati gerbang Hamnyangmun, saya berjalan pelan di buntut rombongan sambil mengabadikan Huwon yang dikenal sebagai tempat istirahat raja-raja Dinasti Joseon dengan tamannya yang memiliki pohon raksasa berusia ratusan tahun. (Betapa bangsa Korea ini sangat menghargai pepohonan karena saya langsung teringat akan pohon pertama yang ditanam di Kuil Haeinsa yang telah tinggal sisa, -karena terkena petir-, masih tetap dipelihara dengan baik). Sambil melangkah, mata dan jiwa rasanya sangat dimanjakan oleh pemandangan dedaunan yang sedang berganti warna, rasanya seperti sedang melangkah di negeri dongeng.

Starting the tour, leaving the gate of Huwon
Starting the tour, leaving the gate of Huwon

Huwon, sejatinya berarti Taman Belakang, mengambil lahan seluas 32 hektar di belakang Istana Changdeokgung dan Istana Changgyeonggung yang berada disisinya. Namun siapa yang sangka, taman yang dibangun saat Raja Taejong berkuasa pada awalnya dikhususkan untuk keluarga kerajaan dan para perempuan Istana, kini menyimpan banyak cerita di sudut-sudutnya? Setiap pondok kecil, tempat-tetirah, kolam teratai dan pepohonan yang berjumlah 26.000 spesies, tampaknya hanya bisa berdiam diri selama ratusan tahun menyimpan rahasia para manusia yang pernah hidup di dekatnya.

Bahkan pernah suatu masa hanya Raja yang bisa memasukinya, hingga taman itu dinamakan Geumwon (Taman Terlarang). Jangan masyarakat biasa, petinggi-petinggi Istana hanya bisa memasukinya bila mendapat izin dari Raja sendiri. Waktu pun berjalan lambat hingga taman indah itu berganti nama menjadi Naewon yang berarti Taman Dalam, maksudnya mungkin taman dalam lingkungan Istana. Belakangan masyarakat Korea Selatan menamakannya dengan nama Biwon (Taman Rahasia) sesuai nama kantor yang ada di tempat itu pada abad-19. Namun hingga kini, taman itu dikembalikan dengan nama Huwon, -sesuai namanya semasa dinasti Joseon yang membangunnya-, walaupun untuk kepentingan pariwisata, Huwon diterjemahkan sebagai The Secret Garden.

Secret Garden in Autumn
Secret Garden in Autumn

Berjalan kaki di Secret Garden saat musim gugur memang seperti memasuki negeri dongeng yang banyak tergambar dalam lukisan. Indah. Mungkin karena dibangun mengikuti topografi alamnya dengan menekan sesedikit mungkin pembuatan taman buatan. Taman-taman yang lebih kecil dibuat lebih intim dengan tambahan kolam teratai seperti yang terlihat di Buyongji, Aeryeonji dan Gwallamji serta jeram kecil Ongnyucheon yang semuanya mengikuti aliran air yang ada di Secret Garden. Puncak Bukit Maebong yang berada di belakang Secret Garden menambah keharmonisan dengan alam sekitarnya. Siapa yang mau menolak merasakan sendiri sensasi rasa, -sebuah perjalanan waktu-, saat Secret Garden masih digunakan sebagai tempat menulis puisi-puisi indah, bermeditasi atau perjamuan kerajaan bahkan sampai latihan panah yang disaksikan Raja?

Tetapi walaupun keindahannya di depan mata, rasanya saya masih ingin mengetahui sesuatu yang terus mengganjal di pikiran. Apa yang rahasia? Apakah karena tersembunyi di belakang Istana hingga tak langsung terlihat? Ataukah ada kegiatan rahasia yang dilakukan di taman ini? Bisa jadi, karena ada sebuah bangunan yang didirikan sebagai tempat diskusi politik yang hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu yang dipercaya oleh Raja. Bukankah itu sesuatu yang rahasia? Masih ada alternatif lain. Bisa jadi karena aktivitas kalangan Istana yang tak pantas terlihat oleh mata masyarakat umum, seperti Raja yang memancing di Buyongji, atau Raja dan Permaisuri yang giat berkebun dan beternak ulat sutra. Atau mungkinkah ada kisah-kisah romantis yang terlarang di tempat ini yang tak pernah terungkap? Semua bisa terjadi… tetapi saya hanya mendengar desir angin dari antara pepohonan.

Buyongjeong Pavillion
Buyongjeong Pavillion

Buyongjeong

Saya tertinggal beberapa meter saat rombongan telah berhenti mendengarkan cerita si pemandu di dekat Kolam Buyongji dan Bangunan Juhamnnu, yang merupakan tempat belajar dan pelatihan diri dari anggota keluarga Istana. Perpustakaan kerajaan yang dikenal dengan nama Gyujanggak dan Seohyanggak juga didirikan di wilayah ini. Namun tak itu saja, di depan Yeonghwadang sering kali acara perjamuan kerajaan diselenggarakan, termasuk ujian Negara yang disaksikan oleh Raja! Entah apa rasanya mengerjakan ujian Negara disaksikan Raja.

Buyongjeong yang menghadap kolam teratai Buyongji dan berada di seberang Juhamnu memang sangat tepat digunakan sebagai tempat bermeditasi dari anggota keluarga kerajaan. Saya beruntung karena pondokan Buyongjeong sudah dibuka kembali setelah direstorasi selama setahun. Bangunan cantik dua lantai Juhamnu dibangun di bagian atas yang dapat dicapai setelah melalui gerbang Eosumun. Dan konon di tempat ini Raja sering membaca sambil melihat-lihat keadaan sekitar yang tentu saja indah. Jika musim gugur dihiasi dengan dedaunan penuh warna, musim dingin dengan salju putih yang memukau namum misterius dan tentu saat musim semi harum bunga menyerbak kemana-mana.

Two stories Juhamnu and the gate Eosomun
Two stories Juhamnu and the gate Eosomun
Yeonghwadang for the banquet
Yeonghwadang for the banquet

Berjalan sendiri di tempat yang indah seperti di Secret Garden ini, saya merasa ada yang kurang sehingga saya mendekati seseorang yang juga berjalan sendiri untuk berkenalan dan berbagi keindahan. Dia seorang female solo traveler yang menyenangkan dari  Philippines. Akhirnya saya bisa bicara banyak dengan seseorang di Seoul! Kami berdua, -sampai akhir perjalanan di Secret Garden- saling berbagi pujian keindahan dan bertukar cerita tanpa perlu menanyakan nama dan latar belakang. Sepertinya situasi kami sama, hanya merindukan orang lain agar bisa berkomunikasi normal. Saat itu hanya kami yang berbicara dalam bahasa Inggeris. Di Korea Selatan, jauh dari negeri sendiri, saya mendapat pembelajaran, betapa berharganya, -sebuah berkah luar biasa-, bisa berkomunikasi dalam bahasa yang sama, untuk bisa saling memahami, walaupun tengah berada diantara kerumunan manusia.

Aeryeonjeong

Pemandangan pepohonan dengan daun warna-warni terus berlangsung sampai di area Aeryeonjeong yang dibangun saat Raja Sukjong berkuasa pada akhir abad-17. Aeryeonjeong sepertinya merupakan area memorial karena Putra Mahkota Hyomyeong, anak pertama dari Raja Sunjo, -yang berbakat luar biasa dan telah dipercaya mengurus tata Negara atas nama Raja Sunjo sejak usia 18 tahun-, hanya berkesempatan hidup sebentar, hingga berusia 22 tahun. Dengan bakatnya, ia telah membangun banyak fasilitas di wilayah ini. Melalui gerbang Bulromun yang terasa magis, saya menyaksikan tempat belajarnya yang dikenal dengan nama Uiduhap, yang dibangun sangat sederhana tanpa dekorasi dan merupakan satu-satunya bangunan yang menghadap Utara sehingga sangat tepat untuk membaca dan bermeditasi. Lengkap dengan kolam teratainya, dan tentu saja karena sedang musim gugur ini, keadaan sekitarnya begitu indah.

Alam yang sedang tampil indah di Secret Garden sepertinya masih mau mempercantik dirinya dengan menurunkan rintik hujan. Lengkap sudah, alam yang cantik, rintik hujan dan udara dingin. Sempurna.

Saya pun bergegas membeli payung di sebuah toko cinderamata lalu bersama teman perempuan Philippines itu, kami mengejar rombongan sambil menatap hujan. Seandainya bisa, kami ingin menari di bawah hujan di tengah Taman Rahasia ini…

Ongnyucheon

Tempat ini terkenal dengan kolam dengan jeram kecilnya yang indah terbuat dari batu pualam dengan beberapa pondokan menghiasi pinggirannya sehingga menjadikannya tempat terbaik untuk menulis puisi. Romantisnya sangat terasa, apalagi di saat hujan seperti ini. Dan sementara yang lain sibuk berfoto dengan pasangan masing-masing, saya memilih mengabadikan dedaunan merah, oranye, kuning yang tertimpa rintik hujan.

Saya terpukau dengan bentuk Gwallamjeong, sebuah pondokan yang dibangun di situ. Walaupun sekilas terlihat seperti umumnya bangunan tradisional Korea, namun jika diperhatikan lebih jauh, bagian dasarnya dibangun menyerupai bentuk kipas yang tentu saja jadi terasa berbeda, apalagi jika diperbolehkan duduk di tempat itu. Ah, pikiran saya terbang liar, siapa ya yang pernah duduk menitikkan air mata yang mengalir seperti aliran jeram di tempat itu?

Jongdeokjeong juga merupakan pondokan yang didirikan di wilayah Ongnyucheon. Dibangun dengan pilar-pilar kayu di enam sisi, pondokan paling tua ini terlihat cantik dengan bentuk atap dua tingkat khas Korea yang cantik. Apalagi dengan latar belakang cantik warna-warni musim gugur. Tak salah memang, perjalanan di Secret Garden ini mata dimanjakan dengan keindahan dan imajinasi bisa liar menari. Lagi-lagi saya bertanya dengan diri sendiri, adakah kisah cinta yang terjadi di sudut ini?

Walau pelan kaki melangkah, akhirnya saya sampai juga di ujung perjalanan. Saya akan mengucapkan selamat berpisah kepada Huwon, The Secret Garden yang membentuk harmoni dengan lingkungan alam sekitar, yang pastinya tak akan mudah hilang dari ingatan. Sudut-sudutnya yang diam menyimpan begitu banyak kisah rahasia. Indah, romantis sekaligus misterius.

Akses

  • Subway
    • Jongno 3 (sam)-ga Station (Line 1, 3 or 5), Exit 6. Jalan 10 menit, atau
    • Anguk Station (Line 3), Exit 3. Jalan lurus ke Timur selama 5 menit
  • Bus
    • 7025, 151, 162, 171, 172, 272 atau 601 turun di halte Istana Changdeokgung

Tutup : Setiap Senin

Jam Buka

  • Feb-Mei, Sep-Okt 09:00-18:00 / Jun-Ags 09:00-18:30 / Nov-Jan 09:00-17:30
  • Tiket terakhir dijual 1 jam sebelum tutup.
  • Akses Huwon, hanya melalui tur yang dipandu selama 90 menit, dijual secara terbatas maksimal untuk 100 orang (online 50 orang, sisanya dapat dibeli di tempat)

Harga Tiket

Dewasa                Istana 3,000 won / Huwon 5,000 won
Anak-anak          Istana 1,500 won / Huwon 2,500 won

Korea – Istana Changdeokgung Seoul


Setelah mengunjungi Deoksugung, Istana selanjutnya yang saya kunjungi di Seoul adalah Istana Changdeokgung. Dodolnya, saya tidak memperhatikan lokasi tepatnya dan karena menggunakan subway, saya harus turun tangga ke platform kereta, lalu naik tangga (lagi) ke permukaan bumi yang pintu Exit-nya ternyata salah sehingga harus jalan kaki (lagi) untuk kembali kearah yang benar. Kaki rasanya mau putus akibat rendahnya awareness saya pada lingkungan.

Padahal Istana Changdeokgung dicatat sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 1997 dan dinyatakan sebagai contoh luarbiasa dalama kategori arsitektur istana dan kebun di kawasan Timur Jauh, terlebih lagi karena bangunan-bangunannya terintegrasi dengan lingkungan alam sekitarnya yang sangat harmonis.

p1040036
The 2 stories Donhwamun, the gate of Changdeokgung

Karena alasan itulah, -walau dengan kaki yang diseret-seret pun-, saya memaksa diri dan akhirnya saya sampai juga di Donhwamun, pintu gerbang utama Istana Changdeokgung, yang terlihat megah di hadapan. Gerbang Donhwamun ini dibangun pada tahun 1412, dengan struktur kayu dua lantai dan merupakan yang terbesar dari semua gerbang istana. Seperti banyak bangunan lain di Korea Selatan, Donhwamun inipun dibakar selama invasi Jepang pada tahun 1592 dan dibangun kembali pada 1608. Dan seperti juga gerbang-gerbang lain di Istana manapun di dunia ini, dalam perjalanan sejarahnya, walaupun diserang, dirubuhkan, dihancurkan, tetap saja ada yang membangun kembali untuk menjaga bangunan yang lebih penting yang berada di baliknya.

Melewati Donhwamun, saya menyaksikan konter tiket penuh dengan pengunjung sehingga saya memilih mundur sesaat untuk membaca situasi. Wisata ke Istana Changdeokgung memang terbagi dua ada yang hanya membeli tiket istana saja dan ada juga yang membeli tiket Istana termasuk Taman Rahasia (Secret Garden).  Saya memilih yang kedua dan karenanya saya memiliki waktu untuk menjelajah Istana hanya beberapa saat, sebab untuk ke Taman Rahasia, saya diharuskan ikut dalam sebuah rombongan dengan guide dan tidak diperkenankan sendiri berkeliaran. Petugas tiket meminta saya untuk datang pada waktu yang ditentukan di gerbang Secret Garden. Sementara itu, saya akan berkeliling Istana yang tidak kalah besar dari Deoksugung. Semoga kaki saya masih kuat…

Sebagai istana resmi kedua dari Dinasti Joseon (1392 – 1897), -setelah Istana Gyeongbukgung-, Istana Changdeokgung dengan luas sekitar 45 hektar di daerah Jongno di kota Seoul ini, sejatinya dibangun pada abad-14 sebagai rumah kediaman kerajaan. Dan sesuai arti dari Changdeokgung, harapan dapat memberikan kemakmuran dan kebajikan sepanjang masa, sepertinya terwujud karena hingga kini Istana ini yang paling terawat dari empat lainnya yang ada di Seoul.

Melangkah di atas jembatan yang belakangan saya tahu namanya Geumcheongyo merupakan langkah luar biasa karena itu artinya saya melangkah di atas jembatan yang telah berusia ratusan tahun dan bertahan hingga kini. Dibangun pada tahun 1411, jembatan ini memiliki struktur dua lengkungan dan ukiran hewan mitos yang disebut Haetae di selatan dan patung kura-kura yang disebut Hyeonmu di utara. Konon selain patung-patung itu, masih ada ukiran lain yang bertujuan untuk mengusir roh jahat, dimana-mana ada ya upaya seperti itu yaa… Saya melewati jembatan yang juga memiliki lubang angin dan hiasan kelopak teratai di sisi samping.

Entah kenapa setiap melangkah memasuki kawasan istana, saya melangkah hati-hati seakan meminta ijin lewat pada setiap saksi bisu dari begitu banyak kisah getir kehidupan Istana. Setelah melewati sebuah gerbang lainnya, saat semua orang bergegas menuju bangunan Utama, saya berbalik arah mengikuti suara hati yang berbisik. Nafas saya tertahan sejenak melihat indahnya warna warni dedaunan di musim gugur yang menjadi latar belakang dan terbingkai dalam pintu gerbang kayu yang lebar. Jika saya tak berbalik tadi, pemandangan indah ini takkan terekam dalam benak.

Mungkin keindahan seperti ini yang menggerakkan hati Raja Seongjong, Raja ke-9 dari Dinasti Joseon, yang menjadikan Istana Changdeokgung sebagai kediaman resminya. Sayang, pada tahun 1592 saat keluarga istana menyelamatkan diri dari upaya invasi Jepang ke Korea, rakyat menjadi sangat marah hingga membakar seluruh bangunan istana. Kemudian berkat upaya Raja Seonjo istana dibangun kembali dua dekade setelah pembakaran. Namun begitulah kehidupan Istana yang tak bisa lepas dari perebutan kekuasaan dan pengkhianatan, sehingga di tahun 1623 Istana Changdeokgung kembali dihancurkan. Dalam sejarahnya, walaupun diserang juga oleh Dinasti Manchu dari China, tetapi Istana Changdeokgung ini tetap dibangun kembali dengan disain awal hingga kini.

Bahkan Kaisar terakhir Korea, Sunjong, menghabiskan saat-saat terakhirnya di Istana ini hingga ajal menjemputnya di tahun 1926. Sepeninggal Kaisar Sunjong, Putra Mahkota Yi Un diperbolehkan tinggal di Bangunan Nakseonjae bersama isterinya Puteri Bangja dan adiknya Puteri Deokhye hingga akhir hayat, meskipun fasilitas ini kadang ditentang oleh pemerintahan Korea yang silih berganti. Perubahan bentuk pemerintahan Korea yang tak lagi bersifat monarki ini berdampak pada kejiwaan anak Sang Putera Mahkota yang bernama Yi Gu. Walaupun bisa tinggal beberapa saat di Istana ini, akhirnya ia lebih memilih meninggalkan Seoul untuk menetap di Tokyo.

Injeongjeon

Saya sampai di Injeongmun, gerbang yang langsung menghadap Injeongjeon. Bangunan Injeongjeon merupakan ruang tahta Istana Changdeokgung yang digunakan untuk urusan resmi kerajaan termasuk penobatan raja baru dan menerima utusan asing. Sebagai bangunan utama di Istana Changdeokgung, Injeongjeon dibangun pada tahun 1405 dan mengalami penghancuran beberapa kali namun tetap dibangun kembali. Di depan pintu terdapat inskripsi berangka tahun 1609 yang menjelaskan jalan resmi dan halaman berdasar batu pipih. Selain itu ada pula yang menjelaskan ranking jabatan di kalangan  pejabat Istana. Setiap orang harus berdiri di belakang nomor batunya masing-masing, semakin tinggi jabatannya semakin dekat tingkat berdirinya dengan Raja.

Saya melongok ke dalam ruang tahta yang penuh dengan pilar-pilar kayu kokoh bernuansa merah dengan tahta berkanopi penuh hiasan. Entah berapa Raja yang pernah menduduki tahta itu. Tahta bisu yang tak menghakimi menyaksikan siapapun dengan hati penuh kemuliaan atau justru penuh khianat demi bisa mendudukinya. Begitulah sifat kekuasaan yang terus menggoda hati manusia…

Namun siapapun yang menduduki tahta, Istana Changdeokgung sepertinya memiliki keberuntungannya sendiri. Bisa jadi karena dibangun berdasarkan perhitungan rumit Feng Shui, dengan Gunung Bugaksan di bagian belakang Istana dan Sungai Geumcheon berada di bagian depan. Kondisi ini membuat bangunan-bangunan tampak absurd dalam penataan, tetapi sesungguhnya semuanya terbangun dalam sebuah harmoni dengan lingkungan sekitarnya.

Seonjeongjeo

Saya melanjutkan perjalanan menuju Seonjeongjeon. Disinilah tempat Raja berkantor, menerima pejabat Negara, melakukan pertemuan setiap hari dengan menteri, melaporkan pada urusan negara dan seminar di sini. Entah saya yang salah persepsi atau apa, tetapi untuk ukuran seorang orang nomor satu di sebuah Negara, menurut saya Seonjeongjeon tidak terlalu luas, walaupun ada juga ruangan lain untuk para pembantunya, kalau sekarang mirip dengan fungsi Sekpri kali yaa… Namun tak hanya itu fungsinya Seonjeongjeon, karena selain untuk kantor, Seonjeongjeon ini juga dipakai sebagai ruang doa jika ada keluarga kerajaan yang mangkat. Hiiii… dan biasanya doa persemayaman untuk keluarga kerajaan itu akan lama sekali, bisa berbulan-bulan, bahkan jika Raja bisa setahun! Lalu kantor sehari-hari pindah kemana ya?

Menariknya, ada koridor yang menghubungkan Seonjeongjeo dan gerbangnya (Seonjeongmun), bisa jadi agar tidak kehujanan saat berdoa untuk persemayaman. Inilah kelebihan Seonjeongjeon, bahkan di Injeongjeon (ruang tahta) tidak ada koridor yang menghubungkan gerbang dan ruang tahtanya.

Kaki mengajak tubuh ini melangkah kearah Timur, menuju Huijeongdang, yang dikenal dengan ruangan pribadi Raja. Saya berpikir akan menemukan ruang tidur, namun yang terlihat adalah ruang kerja lengkap dengan seperangkat kursi. Ternyata memang sejarah mencatat perubahan fungsi Huijeongdang ini. Apa yang saya rasakan bahwa Seonjeongjeon terlalu kecil ternyata benar, karena Raja  memindahkan kantornya ke Huijeongdang dan menjadi Pyeonjeon (Ruang Kerja Raja). Walaupun Huijeongdang hancur terbakar pada tahun 1917, Huijeongdang direkonstruksi kembali namun berubah dari disain aslinya dengan menambahkan gaya Barat pada akhir masa fungsinya seperti adanya tempat parkir kendaraan di bagian depan, jendela kaca dan lampu gantung listrik, fasilitas modern pada kamar mandi dan furniture bergaya baroque.

Saya masih dapat melongok ke dalam ruang tidur Raja, namun dengan segera menghilangkan pikiran-pikiran jahil saat melihat lorong-lorong tertutup menuju kamar-kamar lain. Sudahlah… itu biasa… 😀

Berdekatan dengan Huijeongdang terdapat bangunan yang dikenal dengan nama Daejojeon, yaitu tempat tinggal resmi permaisuri. Sayangnya Daejojeon terbakar pada tahun 1917 dan direkonstruksi dengan bahan yang diambil dari Istana Gyeongbokgung. Sejarah juga mencatat bahwa Daejojeon terakhir digunakan oleh permaisuri terakhir Joseon, sehingga saya bisa memperkirakan bagaimana perjalanan rumah tangga kerajaan Dinasti Joseon pada masa-masa terakhirnya.

img_9884
Huijeongdang and Daejojeon, the private area for the King and Queen

Walaupun masih ada tempat-tempat lain yang mungkin menarik, saya diingatkan oleh bunyi alarm agar segera bergegas menuju titik pertemuan tour ke Taman Rahasia (Secret Garden) Changdeokgung, karena jika terlambat, saya tidak akan bisa masuk ke Taman Rahasia itu. Ah, segala sesuatu yang rahasia, akan terasa menarik…

*****

Akses  
[Subway]

  1. Jongno 3 (sam)-ga Station (Subway Line 1, 3 or 5), Exit 6. Jalan sekitar 10-menit untuk ke gerbang
  2. Anguk Station (Seoul Subway Line 3), Exit 3. Jalan lurus ke timur sekitar 5 menit untuk ke gerbang.
    [Bus]
    Bus No. 7025, 151, 162, 171, 172, 272 or 601 turun di Changdeokgung Palace Bus Stop

Tutup Setiap Senin

Jam Buka  Feb-Mei, Sep-Okt 09:00-18:00 /  Jun-Ags 09:00-18:30 / Nov-Jan 09:00-17:30

Harga tiket  Dewasa (19-64): 3,000 won / Anak-anak & Remaja (<18): 1,500 won

****

Beberapa Cerita perjalanan lainnya di Korea:

  1. Korea – Warna Warni Istana Deoksugung
  2. Ada Bahasa Indonesia di Seoraksan
  3. Hwangseong Fortress – Menjadi Warisan Dunia karena Sebuah Buku Tua
  4. Di Haeinsa Mahakarya Kayu Dijaga Berabad-abad

Korea – Warna-Warni Istana Deoksugung


Sebenarnya masih ingin berlama-lama di balik selimut. Saya ini kan sedang liburan, bukan dikejar target destinasi. Apalagi pagi di awal bulan November di Seoul itu sungguh dingin. Walaupun katanya 11°C tetapi menurut saya rasanya lebih dingin dari 7°C di Tokyo yang pernah saya alami di musim semi. Rencananya hari ini saya akan mengelilingi Seoul walaupun sedikit menyesal karena hari ini diramalkan akan hujan. Mengingat akan hujan itulah yang membuat saya bergegas walaupun tahu hari telah terlambat untuk dimulai.

Akhirnya saya melambaikan tangan pada penginapan itu, berjanji akan kembali untuk mengambil ransel pada sore harinya. Kamarnya yang modern, nyaman untuk solo-traveler seperti saya, tidak gaduh dan lokasinya di seberang Exit Seoul Station membuat saya mudah kemana-mana. Hari ini saya akan mengunjungi Istana Deoksugung, satu diantara empat istana yang terkenal di Seoul.

Deoksugung dapat dicapai dengan mengendarai subway line 1 dari Seoul Station dan turun di City Hall, Exit-2. Petunjuk arah jelas dengan karakter latin selain karakter Hangeul. Seandainya seluruh destinasi wisata di luar kota Seoul juga sejelas ini, tentu perjalanan saya ke provinsi-provinsi di Korea Selatan tidak seheboh itu.

Prosesi Penggantian Penjaga Istana

Tak perlu lama berjalan dari Exit-2, saya sudah di depan gerbang Daehanmun. Ketika melihat sebuah drum berlukis indah di pelataran di depan gerbang, saya menjadi ragu untuk langsung menjelajahi ke dalam istana. Benarlah, petugas tiket membenarkan bahwa prosesi penggantian penjaga istana akan dimulai tepat pk 11.00 Tak mungkin dalam waktu kurang dari 1 jam saya menjelajah istana yang luas ini, sehingga saya memilih untuk menanti prosesi itu.

Prosesi penggantian penjaga Istana yang menyerupai prosesi  di Istana Buckingham di London itu diwujudkan kembali sejak tahun 1996 setelah melalui riset mendalam dan komprehensif oleh para ahli sejarah Korea. Memang segala sesuatu yang terjadi di balik tembok Istana atau yang berkaitan dengan Kerajaan selalu menarik perhatian kaum kebanyakan, bisa jadi karena tidak semua orang beruntung terlahir dalam kalangan Istana Kerajaan.

Seperti makan obat, prosesi itu memiliki jadwal tiga kali sehari (pk 11:00, 14:00 dan 15:30) dan berlangsung selama 30 menit serta selalu mengikuti aturan baku. Dimulai dengan iringan musik tradisional, pasukan penjaga berpakaian indah penuh warna-warni berjalan dalam barisan rapi lalu komandan pasukan pengganti menemui komandan pasukan yang sedang berjaga untuk saling bertukar password sebagai verifikasi dan memastikan keaslian penugasan. Kemudian dilanjutkan dengan penggantian posisi penjaga dan diakhiri dengan prosesi barisan. Bagi saya, tanpa mengerti prosedurnya, acara itu sudah sangat menarik karena keindahan warna pakaian tradisionalnya. Ada yang seperti Lee Min-ho gak yaaa? Hehehe…

Istana Deoksugung

Selesai prosesi di depan gerbang, saya pelan-pelan menyusuri jalan yang di pinggirnya tumbuh pepohonan maple yang sedang berganti warna dari hijau menjadi kuning. Kadang dedaunan itu gugur terbang terbawa angin. Indah…

Dan seperti kebanyakan nasib istana-istana yang menjadi saksi diam atas perubahan peta kekuasaan baik secara terhormat maupun secara paksa yang menyedihkan, demikian juga kisah dari Istana Deoksugung ini. Istana ini sebenarnya dibangun untuk digunakan sebagai kediaman Pangeran Wolsandaegun, kakak dari Raja terkenal Seongjong dari Dinasti Joseon di abad-16, dan bukan menjadi Istana utama Raja, namun sejarah bisa bercerita lain.

Melalui sebuah gerbang dalam, saya berjalan menuju Junghwajeon, -bangunan ruang tahta yang direkonstruksi pada tahun 1906 setelah terbakar di tahun 1904-, yang terlihat megah berdiri di tengah-tengah ruang terbuka. Jalan pelintasannya dibuat dengan indah dengan kolom-kolom kecil sepanjang jalan menuju ruang tahta. Di bagian depan terdapat prasasti batu berhias yang tampaknya sangat bernilai karena diberi pagar pelindung. Sejarah mencatat dua Raja keturunan Dinasti Joseon naik tahta di istana ini yang salah satunya adalah Raja Gwanghaegun yang mengganti nama istana ini menjadi Gyeongungung.

Ketika melihat ke dalam ruang tahta, -yang merupakan pusat diskusi politik yang hangat antara pejabat tinggi pemerintahan selama periode Daehanjeguk yang dideklarasikan oleh Raja Gojong dan membawa Korea ke abad 20-, terlihat dekorasi sepasang naga yang menghiasi kanopi di atas tahta. Hiasan berbentuk Naga yang terlihat juga di langit-langit merupakan hiasan khas dari Istana Deoksugung.

Bersebelahan dengan ruang tahta Junghwajeon adalah Hamnyeongjeon, wilayah pribadi Sang Raja dan Ratu yang sangat luas. Jadi berbeda dengan kaum kebanyakan yang hanya memiliki satu ruang tidur untuk suami isteri, Raja maupun Ratu memiliki bangunan pribadinya sendiri-sendiri. Dan tentu saja, walaupun berjabatan sebagai Ratu, tetap saja memiliki prosedur yang harus dilakukan agar bisa bertemu suaminya, Sang Raja. Jadi siapa bilang nyaman jadi Ratu atau Raja?

Hamnyeongjeon, private residential area
Hamnyeongjeon, private residential area

Jeonggwanheon, -terletak di atas bukit kecil di bagian belakang menghadap istana-, merupakan bangunan dengan campuran gaya Barat dan Korea yang pertama kali dibangun pada tahun 1900 oleh arsitek Rusia, A I Sabatin. Walaupun menurut saya, bangunan itu sedikit mengganggu harmoni arsitektur tradisional Korea secara keseluruhan, tetapi siapa yang bisa mengerti jalan pemikiran Raja yang berkuasa saat itu? Entah apa yang ada dalam pikiran Raja Gojong saat menghabiskan waktu luang di tempat ini yang memang merupakan kebiasaannya. Dibangun sebagai tempat rehat dan bersukacita, bangunan ini mungkin juga untuk melupakan peristiwa kematian permaisurinya, Ratu Min, yang terbunuh di usia 43 tahun yang akhirnya membuat Raja Gojong menyelamatkan diri ke Agwan Pacheon yang merupakan gedung Perwakilan Rusia. Ah, saya jadi membuka-buka sejarah dunia…

Jeonggwanheon, designed by Russian Architect
Jeonggwanheon, designed by Russian Architect

Singkat cerita, akibat pembunuhan Ratu Min, -Permaisuri Raja Gojong yang pro China dan Rusia namun sangat anti Jepang-, oleh pasukan Jepang di istana Gyeongbokgung pada tahun 1895, menyebabkan Raja Gojong melarikan diri dari Istananya melalui lorong bawah tanah ke Agwan Pacheon karena keselamatan dirinya terancam. Rusia yang saat itu di pihak yang berseberangan dengan Jepang, mendapat ‘keuntungan’ dari peristiwa pembunuhan itu. Raja Gojong dan Putra Mahkotanya menetap di Agwan Pacheon hingga akhirnya kembali ke Istana Deoksugung pada tahun 1897 untuk menyatakan Kekaisaran Korea.

Lantai batu Istana yang indah lagi-lagi menjadi saksi bisu saat Kaisar Gojong memilih tetap tinggal di Istana Deoksugung setelah dipaksa untuk menyerahkan tahta kepada putranya, -yang akhirnya menjadi Kaisar Sunjong dan dikenal sebagai Kaisar terakhir Korea-, karena desakan Jepang. Pada masa inilah istana ini berganti nama kembali, dari Gyeongungung menjadi Deoksugung, sebagai harapan umur panjang dari (orang-orang) yang berbudi luhur yang menempatinya.

Bangunan Bergaya Barat

Istana Deoksugung yang berusia 5 abad itu itu memang unik. Di dalam kawasan istana dibangun beberapa gedung modern bergaya Barat diantara bangunan-bangunan khas tradisional Korea yang terlihat saling berbenturan gaya, namun ternyata disitulah kekuatan utama istana ini, unik. Dalam posisi tertentu, kita bisa tak yakin berada di kawasan istana di Seoul.

Seokjojeon (yang kini menjadi galeri seni) merupakan bangunan gaya Barat yang dibangun di Deoksugung. Karena Won yang menipis, saya tak masuk ke dalamnya namun bangunan dengan taman cantik berair-mancur inilah yang membuat saya tak percaya dengan mata sendiri, saya ini sedang berada di Seoul atau di Eropa…

Seokjojeon - is it in Seoul or not?
Seokjojeon – is it in Seoul? 🙂

Saya bergegas keluar karena hendak melanjutkan ke istana lain, walau tak yakin bisa memenuhi semua target yang ingin saya kunjungi di Seoul. Daun-daun berwarna kuning itu masih berjatuhan melayang tertiup angin musim gugur, memberi kenangan tersendiri tentang sebuah istana di Seoul.

Seri cerita sebelumnya di Korea:

  1. Ada Bahasa Indonesia di Seoraksan
  2. Hwangseong Fortress: Menjadi Warisan Dunia Karena Sebuah Buku Tua
  3. Menuju Seoul Dengan ‘Shinkansen’-nya Korea
  4. Haeinsa Trip: Beautiful Life Lessons with Ups & Downs
  5. Di Haeinsa Mahakarya Kayu Dijaga Berabad-abad
  6. Bercermin Diri dalam Harmoni Kuil Haeinsa

*****

Tambahan info

Buka 09:00 – 21:00 (terakhir pembelian tiket pk. 20:00)

Harga Ticket

  • Dewasa 1,000 won / lebih dari 10: 800 won
  • Remaja 500 won / lebih dari 10: 400 won
  • Gratis bagi anak 6 tahun kebawah, atau Lansia 65 tahun ke atas atau bagi yang mengenakan Hanbok atau setiap hari Budaya (Setiap hari Rabu terakhir setiap bulan)
  • Terusan 10.000 Won mencakup Istana Changdeokgung termasuk Huwon dan Secret Garden, Istana Changgyeonggung, Istana Deoksugung dan Istana Gyeongbokgung serta Jongmyo Shrine, yang dapat digunakan dalam waktu satu bulan setelah pembelian.

Jadwal Tutup

  • Setiap Senin: Istana Changdeokgung, Istana Deoksugung, Istana Changgyeonggung
  • Setiap Selasa: Istana Gyeongbokgung dan Jongmyo Shrine