Karena tak pernah menggunakan jasa agen dalam melakukan perjalanan, saya telah berjanji pada diri sendiri untuk ‘patuh’ pada itinerary yang dibuat agen perjalanan ketika berangkat Umroh meskipun pada akhirnya saya sering sekali geleng-geleng kepala dalam perjalanan itu. Takjub, dalam arti yang bukan positif. Bagaimanapun, karena ini adalah perjalanan ibadah, -perjalanan ke relung-relung hati antara manusia dan Tuhannya-, saya menerima semua peristiwa yang terjadi sebagai sesuatu yang memperkaya jiwa.
Semua yang terjadi patut disyukuri, meskipun tidak selalu menggembirakan hati. Karena kenyataan yang paling mendasar bagi saya, perjalanan ini sendiri merupakan sebuah kemewahan yang tak terperi, rejeki yang luar biasa dan semua yang tidak sesuai dengan harapan, tidak mengubah nilai kemewahan dan keluarbiasaan perjalanan ini. Bahkan hal-hal yang tak menggembirakan hati itu pun tak ada artinya sama sekali.
Waktu memang berpacu, hari-hari ibadah di Madinah sudah berlalu dan kini, tak lama lagi kami pun harus mengucap selamat berpisah kepada Mekkah, tempat kami berhari-hari bermuhasabah. Siang atau malam, di kota yang di dalamnya terdapat Ka’bah dengan aliran manusia yang tak pernah berhenti bermunajat kepada Allah, Pemilik Semesta.
Datang juga saatnya. Roda bus bergerak perlahan, seakan mengetahui betapa berat hati kami menjauh dari kawasan Masjidil Haram. Tapi sebagaimana tertulis dalam begitu banyak kitab kebajikan, setiap pertemuan memiliki perpisahan, setiap awal berujung pada akhir. Demikian juga perjalanan indah di Mekkah ini. Kawasan yang begitu bercahaya dan berpatokan pada jam di menara tertingginya, terlihat makin menjauh. Di pagi yang belum datang dan masih berselimut gelap, bus kami telah menyusuri aspal, perlahan meninggalkan kota Mekkah dan membuat mata basah. Kota kecintaan ini akan membuat berjuta rindu, penuh harap akan kesempatan-kesempatan untuk kembali lagi mengunjungi kota yang ada di hati setiap Muslim ini.
Sungguh rasanya tak ingin menengok ke belakang karena cahaya kota Mekkah makin memudar…
Menit-menit berlalu dalam sepi, sesekali terdengar bisik antara anggota rombongan, seakan tak mau mengganggu ketenangan mereka yang kembali terlelap di dalam bus. Saya tak mampu memejamkan mata kembali. Rasa galau berpisah dengan Mekkah itu masih terasa, apalagi di saat yang sama bus ini menuju Jeddah. Sebuah wajah otomatis menyeruak keluar dari dalam jiwa. Jeddah adalah tempat almarhum Papa berpuluh tahun lalu berlabuh, mengantar mereka, -para calon haji-, meraih impian menjejak Tanah Suci untuk menunaikan kewajiban agamanya. Perjalanan yang ditempuh dengan begitu banyak kesulitan dan perjuangan, mengarungi samudera, melawan ombak ganas, -bukan hitungan jam atau hari-, melainkan berminggu-minggu. Menggenggam harap meski derita datang silih berganti.
Perjuangan mereka itu berbanding terbalik dengan apa yang dialami jaman sekarang. Dari Tanah Air tak sampai 12 jam terbang, jamaah bisa sampai di Tanah Suci, dengan segala anugerah makan dan minum yang enak, kendaraan yang nyaman dan semua kenikmatan lainnya. Bagi saya, apalah artinya koper yang hilang (baca di sini kisahnya) dibandingkan dengan segala derita dan perjuangan yang dialami calon Haji pada jaman Almarhum Papa membawanya? Ada rasa syukur yang begitu berlimpah, namun juga bercampur dengan kerinduan yang amat dalam kepada beliau yang telah berpulang setahun yang lalu. Secara otomatis lamat-lamat saya membaca Al Fatihah dan serumpun doa untuk beliau yang tercinta.

Tak perlu waktu lama, pijar lampu makin menerangi jalan raya menandai wilayah kota Jeddah telah dimasuki. Bangunan makin padat dan makin terasa internasional. Berbeda dengan Mekkah, Jeddah memang dapat dimasuki oleh semua orang dari berbagai agama, berbagai komunitas.
Masjid Juffali
Subuh masih merayap dalam senyap ketika bus terasa melambat. Ternyata bus meliukkan raga besinya itu ke halaman sebuah Masjid agar kami bisa menunaikan ibadah shalat Subuh. Dari atas bus sudah terlihat Masjid begitu cantik dengan cahayanya, teramat kontras dengan warna Subuh yang masih gelap. Berada di seberang Kantor Urusan Luar Negeri yang terpisah oleh jalan raya, tempat ibadah umat Islam ini rupanya dibangun tahun 1986 oleh seorang saudagar Arab yang amat kaya bernama Syeikh Ibrahim Al Juffali. Tak heran, dengan sentuhan tangan Abdul Wahid al-Wakil, seorang arsitek terkenal berkebangsaan Mesir, masjid ini terlihat menawan dengan 26 kubah kecil-kecil dengan satu menara tinggi di sudut Timur.


Namun di balik segala keindahan yang memanjakan mata itu, Masjid itu berselimut peristiwa-peristiwa getir dan muram yang terjadi sejak dulu (dan rupanya hingga kini). Di sebuah pelataran di halaman Masjid ternyata merupakan tempat berlangsungnya hukuman pancung terpidana yang dilakukan oleh seorang algojo. Terdengar begitu menyeramkan dan barbar, namun memang itulah yang terjadi di Masjid Juffali atau bagi Jamaah Indonesia lebih terkenal dengan nama Masjid Qisas.
Qisas sendiri memang merujuk pada istilah dalam hukum Islam yang artinya pembalasan. Dengan kata lain, memberikan hukuman setimpal. Mungkin lebih sering kita mendengar istilah mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa. Begitulah, apabila seseorang terlibat dalam kasus pembunuhan, maka dalam aturan Qisas, keluarga korban memiliki hak untuk meminta hukuman mati kepada pelaku dengan cara dipancung di depan umum dan di bumi Arab ini dilaksanakan seusai shalat Jumat, di pelataran tadi yang berukuran 5 x 5 meter berlantai keramik.
Jangan tanyakan prosesnya karena saya tak pernah (dan takkan mau) menyaksikannya. Konon saat pelaksanaannya, sang Algojo akan berdiri dengan jarak tiga langkah dari terpidana. Keluarga korban ada di bagian depan. Ketika tiba waktunya, Algojo mulai melangkah, langkah pertama, kedua dan ketiga. Jika tidak ada tanda, aba-aba atau pergerakan dari keluarga korban, maka Algojo akan menuntaskan pekerjaannya. Namun jika ada pergerakan berupa tangan atau mulut dari keluarga korban, maka Algojo segera menghentikan esksekusinya. Pergerakan, tanda atau aba-aba dari keluarga korban itulah yang menjadi symbol atau makna bahwa keluarga korban telah memaafkan terpidana.
Membayangkan saja sudah membuat perut terasa mulas, tetapi begitulah… Sengeri itu pelaksanaannya namun sesederhana itu pula pengampunannya.
Namun kelihatannya proses eksekusi ini dinilai ‘setengah hati’. Di satu sisi merupakan penerapan dari sebuah intepretasi hukum Islam dan di sisi lainnya adalah pertimbangan politik negeri itu. Karena tidak sedikit petugas intelijen Kerajaan Arab Saudi diterjunkan di antara massa yang menyaksikan peristiwa eksekusi itu sebagai pengawas untuk memastikan proses eksekusi itu tidak tersebar ke dunia luar. Hukumannya tidak main-main karena kebebasan adalah taruhannya. Seseorang bisa langsung dipenjara jika ketahuan membocorkan peristiwa itu ke dunia luar. Ngeri kan?
Setelah cukup waktu di Masjid Qisas, kami melanjutkan perjalanan menuju bandara internasional King Abdul Aziz. Tetapi sebelumnya bus berhenti sejenak di pinggir jalan agar Pak Ustadz bisa memberitahu secara sekilas. Rupanya kami berhenti di luar pagar dari tempat yang dipercaya sebagai makam dari perempuan pertama yaitu Siti Hawa.
Dari atas bus yang hanya berhenti beberapa detik, apalagi hari masih gelap serta pencahayaan yang temaram, saya hanya bisa melihat permukaan dinding yang panjang. Apakah itu dinding pembatas sebelum masuk ke kawasan makam atau bukan, saya sendiri tak bisa memastikan. Seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya, saya hanya bisa menganggguk-angguk pada apa yang saya dengar dari Pak Ustad dan semampunya berdoa dalam hati.
Seperti yang diketahui semua orang, sebagai manusia perempuan pertama, Siti Hawa merupakan istri dari Nabi Adam AS. Saat musim haji, makam Siti Hawa ini merupakan salah satu destinasi yang ramai dikunjungi oleh para peziarah seluruh dunia. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang meragukan kebenaran tempat itu sebagai makam dari ibu seluruh manusia di dunia karena kurangnya bukti.


Roda bus bergerak kembali menyusuri jalan-jalan di kota Jeddah. Sebuah bangunan besar terlewati, hmmm… Mall of Arabia, mall yang terbesar di kawasan ini, terlihat sepi. Warna keemasan makin merona di ufuk Timur. Terasa ada denyut dalam hati yang membuat saya menarik napas panjang. Jauh di dalam lubuk hati, saya menggerakkan jemari dan melambaikan tangan ke arah pelabuhan yang telah mengukir jejak almarhum Papa berpuluh tahun silam.
Hati terasa menghangat membisikkan kata, “Saya telah sampai di Jeddah, Pa. Tapi maaf, tak bisa menjejak di pelabuhan, di tempat kapal Papa dulu bersandar. Tapi tidak apa-apa ya Pa, bukankah jejak-jejak kita di kota yang sama selalu bertaut dan menjadi kenangan selamanya?”
Satu tarikan nafas melepas ikhlas. Langit Timur terlihat makin terang, bandara internasional Jeddah di depan mata seakan membuka tangannya menyambut kedatangan kami untuk berhenti sejenak sebelum terbang meninggalkan negeri padang pasir ini. Tak lama lagi, dalam hitungan jam, bibir ini akan berucap, Sampai Jumpa lagi Tanah Suci…
