Expect Nothing, Appreciate Everything


 

Rasanya hampir setiap orang, -bahkan mungkin semua orang-, pernah merasakan kecewa karena memiliki harapan akan sesuatu yang tidak berjalan semestinya. Alih-alih mendapat apa yang menjadi harapannya, namun kenyataan yang diterimanya adalah zonk. Hati ambyar seketika dan dampaknya bisa terasa seharian atau bahkan lebih lama.

Hal yang sama bisa terjadi saat melakukan perjalanan.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika melakukan perjalanan ke Korea Selatan, saya memiliki harapan yang amat tinggi terhadap negara itu. Bagi saya saat itu, Korea Selatan merupakan negara yang sudah maju di Asia. Dalam pikiran saya, tidak berbeda jauh dengan Jepang. Apalagi dalam perjalanan ke Jepang, -sebelum travelling ke Korea Selatan-, saya mengalami perjalanan yang amat berkesan dengan berbagai kemudahan, kenyamanan dan keramahan orang Jepang.

The pond near Bulguksa temple
The pond near Bulguksa temple, Gyeongju

Kenyataannya di Busan, -kota pertama di Korea Selatan saat memulai perjalanan-, saya mengalami kejutan-kejutan yang cukup menimbulkan rasa cemas di hati (baca cerita lengkapnya di pos dengan judul Berkenalan dengan Busan). Semua berawal dari tingginya ekspektasi saya terhadap negeri penghasil ginseng itu sebagai negara maju yang sudah siap menerima turis mancanegara. Saya sama sekali tidak menduga bahwa jarang tulisan latin dan penduduk lokal banyak yang tidak bisa bahasa Inggeris! Kecemasan saya berkelanjutan sesuai rute trip hingga ke Seoul, seperti saat ke Gyeongju, juga saat ke Haeinsa Temple yang hampir membuat saya menyerah. Praktis saya pulang ke Indonesia dengan membawa pengalaman perjalanan yang amat melelahkan jiwa raga.

Tetapi seperti yang saya tulis kemudian dalam Hikmah terserak di Perjalanan Korea, semua peristiwa yang terjadi seharusnya dapat lebih dikendalikan jika saja saya tak memiliki harapan terlalu tinggi akan kemudahan dan kenyamanan perjalanan di Korea Selatan serta mau mensyukuri apapun yang terjadi.

Dengan tidak memiliki pengharapan, artinya saya menerima apapun yang terjadi sebagai sebuah keunikan negeri yang dikunjungi. Seharusnya tidak akan timbul kekecewaan jika saya bisa menerimanya sebagai sebuah keunikan.

But there are no mistakes, only lessons.

Saya belajar dari perjalanan Korea itu, sebuah pembelajaran yang amat besar. Untuk tidak memiliki ekspektasi atau pengharapan dalam sebuah perjalanan dan bisa menerima segala sesuatu yang terjadi sebagai berkah. Jadi sejak itu, sebisa mungkin sebelum melakukan perjalanan ke sebuah tempat, saya mereset pengharapan atas tempat tujuan (meskipun kadang lupa juga hehehe)

*

IMG_0175
Expect Nothing, Appreciate Everything

Sebenarnya hal yang sama bisa dilakukan pula terhadap makhluk lain yang namanya manusia. 🙂 Dalam berinteraksi dengan orang lain, tanpa sadar kita telah menetapkan standar harapan terlalu tinggi kepada seseorang dan merasakan kecewa, marah, ilfil jika orang tersebut tidak bisa memenuhi level harapan kita.

Contohnya sangat mudah dicari. Paling gampang ya pengalaman saya sendiri dulu saat masih pacaran dan belum ada ponsel yaa…

Rasanya jengkel sekali jika mantan pacar yang sekarang jadi suami saya itu, tidak memberi kabar seharian. Saya bukannya hendak memonopolinya, tetapi saya cemas jika terjadi apa-apa padanya. Seperti kebanyakan perempuan lain, bisa jadi saya kebanyakan berpikir, tapi sungguh rasanya tidak enak sekali jika dia tidak menghubungi saya seharian. Akhirnya ketika dia menghubungi saya, ujung-ujungnya bertengkar.

Sementara saya berharap dia menghubungi saya barang semenit dua menit, dia sama sekali tidak tahu kalau saya memiliki pengharapan itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tidak memberi kabar seharian itu memberi dampak cemas di saya. Dia tidak tahu karena saya tidak mengungkapkan ke dia dan saya berharap dia bisa memahami apa yang saya rasakan. Bisa jadi saat itu dia sama seperti laki-laki lain yang sering pusing dan bingung menghadapi sikap perempuan. 

Saat itu saya memiliki ekspektasi kepada dia untuk mengerti dan bisa membaca perasaan saya yang akhirnya membuat saya kecewa, marah karena dia tidak bisa memenuhi harapan saya itu. Belakangan saya sadar telah salah (tapi gengsi untuk mengakui hihihi…) dan geli sendiri saat mengingat wajahnya yang ‘pasrah dan bingung’ atas kesalahannya tidak memberi kabar seharian! Seharusnya saya menerima kondisi dia tidak menghubungi sebagai sebuah berkah untuk dimanfaatkan yang positif dan menerima saat dia menghubungi berikutnya sebagai sebuah berkah.

Kita yang memiliki pengharapan kepada orang lain, lalu kita yang jengkel, kecewa atau marah karena dia tidak bisa memenuhi apa yang menjadi harapan kita kepadanya. Kan dia tidak bisa baca pikiran dan perasaan kita ya? Lagi pula pengharapan itu ada pada kontrol kita kan? Bisa dikendalikan kan?

Coba dibalik situasinya.

Bagaimana seandainya dia marah atau jengkel atau mendadak diam seribu bahasa, hanya karena kita tidak bisa memenuhi harapannya. Bingung dan jengkel juga kan? Memangnya kita bisa baca pikiran dan harapannya kalau tidak diungkapkan?

*

Tetapi memang tidak mudah untuk mereset ekspektasi, apalagi menerima segala sesuatu sebagai berkah. Tetapi bukan berarti tidak bisa dilakukan, paling tidak mulai belajar dilakukan.

Jadi, mau travelling kemanapun, atau kepada orang lain, termasuk keluarga, pacar, calon pacar, rekan kerja, sahabat, teman perjalanan, saya sih merekomendasi untuk expect nothing, appreciate everything. Hidup akan berjalan terasa lebih nyaman dan membahagiakan, jauh dari rasa kecewa.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-3 ini bertema Rekomendasi agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Korea – Warna-Warni Istana Deoksugung


Sebenarnya masih ingin berlama-lama di balik selimut. Saya ini kan sedang liburan, bukan dikejar target destinasi. Apalagi pagi di awal bulan November di Seoul itu sungguh dingin. Walaupun katanya 11°C tetapi menurut saya rasanya lebih dingin dari 7°C di Tokyo yang pernah saya alami di musim semi. Rencananya hari ini saya akan mengelilingi Seoul walaupun sedikit menyesal karena hari ini diramalkan akan hujan. Mengingat akan hujan itulah yang membuat saya bergegas walaupun tahu hari telah terlambat untuk dimulai.

Akhirnya saya melambaikan tangan pada penginapan itu, berjanji akan kembali untuk mengambil ransel pada sore harinya. Kamarnya yang modern, nyaman untuk solo-traveler seperti saya, tidak gaduh dan lokasinya di seberang Exit Seoul Station membuat saya mudah kemana-mana. Hari ini saya akan mengunjungi Istana Deoksugung, satu diantara empat istana yang terkenal di Seoul.

Deoksugung dapat dicapai dengan mengendarai subway line 1 dari Seoul Station dan turun di City Hall, Exit-2. Petunjuk arah jelas dengan karakter latin selain karakter Hangeul. Seandainya seluruh destinasi wisata di luar kota Seoul juga sejelas ini, tentu perjalanan saya ke provinsi-provinsi di Korea Selatan tidak seheboh itu.

Prosesi Penggantian Penjaga Istana

Tak perlu lama berjalan dari Exit-2, saya sudah di depan gerbang Daehanmun. Ketika melihat sebuah drum berlukis indah di pelataran di depan gerbang, saya menjadi ragu untuk langsung menjelajahi ke dalam istana. Benarlah, petugas tiket membenarkan bahwa prosesi penggantian penjaga istana akan dimulai tepat pk 11.00 Tak mungkin dalam waktu kurang dari 1 jam saya menjelajah istana yang luas ini, sehingga saya memilih untuk menanti prosesi itu.

Prosesi penggantian penjaga Istana yang menyerupai prosesi  di Istana Buckingham di London itu diwujudkan kembali sejak tahun 1996 setelah melalui riset mendalam dan komprehensif oleh para ahli sejarah Korea. Memang segala sesuatu yang terjadi di balik tembok Istana atau yang berkaitan dengan Kerajaan selalu menarik perhatian kaum kebanyakan, bisa jadi karena tidak semua orang beruntung terlahir dalam kalangan Istana Kerajaan.

Seperti makan obat, prosesi itu memiliki jadwal tiga kali sehari (pk 11:00, 14:00 dan 15:30) dan berlangsung selama 30 menit serta selalu mengikuti aturan baku. Dimulai dengan iringan musik tradisional, pasukan penjaga berpakaian indah penuh warna-warni berjalan dalam barisan rapi lalu komandan pasukan pengganti menemui komandan pasukan yang sedang berjaga untuk saling bertukar password sebagai verifikasi dan memastikan keaslian penugasan. Kemudian dilanjutkan dengan penggantian posisi penjaga dan diakhiri dengan prosesi barisan. Bagi saya, tanpa mengerti prosedurnya, acara itu sudah sangat menarik karena keindahan warna pakaian tradisionalnya. Ada yang seperti Lee Min-ho gak yaaa? Hehehe…

Istana Deoksugung

Selesai prosesi di depan gerbang, saya pelan-pelan menyusuri jalan yang di pinggirnya tumbuh pepohonan maple yang sedang berganti warna dari hijau menjadi kuning. Kadang dedaunan itu gugur terbang terbawa angin. Indah…

Dan seperti kebanyakan nasib istana-istana yang menjadi saksi diam atas perubahan peta kekuasaan baik secara terhormat maupun secara paksa yang menyedihkan, demikian juga kisah dari Istana Deoksugung ini. Istana ini sebenarnya dibangun untuk digunakan sebagai kediaman Pangeran Wolsandaegun, kakak dari Raja terkenal Seongjong dari Dinasti Joseon di abad-16, dan bukan menjadi Istana utama Raja, namun sejarah bisa bercerita lain.

Melalui sebuah gerbang dalam, saya berjalan menuju Junghwajeon, -bangunan ruang tahta yang direkonstruksi pada tahun 1906 setelah terbakar di tahun 1904-, yang terlihat megah berdiri di tengah-tengah ruang terbuka. Jalan pelintasannya dibuat dengan indah dengan kolom-kolom kecil sepanjang jalan menuju ruang tahta. Di bagian depan terdapat prasasti batu berhias yang tampaknya sangat bernilai karena diberi pagar pelindung. Sejarah mencatat dua Raja keturunan Dinasti Joseon naik tahta di istana ini yang salah satunya adalah Raja Gwanghaegun yang mengganti nama istana ini menjadi Gyeongungung.

Ketika melihat ke dalam ruang tahta, -yang merupakan pusat diskusi politik yang hangat antara pejabat tinggi pemerintahan selama periode Daehanjeguk yang dideklarasikan oleh Raja Gojong dan membawa Korea ke abad 20-, terlihat dekorasi sepasang naga yang menghiasi kanopi di atas tahta. Hiasan berbentuk Naga yang terlihat juga di langit-langit merupakan hiasan khas dari Istana Deoksugung.

Bersebelahan dengan ruang tahta Junghwajeon adalah Hamnyeongjeon, wilayah pribadi Sang Raja dan Ratu yang sangat luas. Jadi berbeda dengan kaum kebanyakan yang hanya memiliki satu ruang tidur untuk suami isteri, Raja maupun Ratu memiliki bangunan pribadinya sendiri-sendiri. Dan tentu saja, walaupun berjabatan sebagai Ratu, tetap saja memiliki prosedur yang harus dilakukan agar bisa bertemu suaminya, Sang Raja. Jadi siapa bilang nyaman jadi Ratu atau Raja?

Hamnyeongjeon, private residential area
Hamnyeongjeon, private residential area

Jeonggwanheon, -terletak di atas bukit kecil di bagian belakang menghadap istana-, merupakan bangunan dengan campuran gaya Barat dan Korea yang pertama kali dibangun pada tahun 1900 oleh arsitek Rusia, A I Sabatin. Walaupun menurut saya, bangunan itu sedikit mengganggu harmoni arsitektur tradisional Korea secara keseluruhan, tetapi siapa yang bisa mengerti jalan pemikiran Raja yang berkuasa saat itu? Entah apa yang ada dalam pikiran Raja Gojong saat menghabiskan waktu luang di tempat ini yang memang merupakan kebiasaannya. Dibangun sebagai tempat rehat dan bersukacita, bangunan ini mungkin juga untuk melupakan peristiwa kematian permaisurinya, Ratu Min, yang terbunuh di usia 43 tahun yang akhirnya membuat Raja Gojong menyelamatkan diri ke Agwan Pacheon yang merupakan gedung Perwakilan Rusia. Ah, saya jadi membuka-buka sejarah dunia…

Jeonggwanheon, designed by Russian Architect
Jeonggwanheon, designed by Russian Architect

Singkat cerita, akibat pembunuhan Ratu Min, -Permaisuri Raja Gojong yang pro China dan Rusia namun sangat anti Jepang-, oleh pasukan Jepang di istana Gyeongbokgung pada tahun 1895, menyebabkan Raja Gojong melarikan diri dari Istananya melalui lorong bawah tanah ke Agwan Pacheon karena keselamatan dirinya terancam. Rusia yang saat itu di pihak yang berseberangan dengan Jepang, mendapat ‘keuntungan’ dari peristiwa pembunuhan itu. Raja Gojong dan Putra Mahkotanya menetap di Agwan Pacheon hingga akhirnya kembali ke Istana Deoksugung pada tahun 1897 untuk menyatakan Kekaisaran Korea.

Lantai batu Istana yang indah lagi-lagi menjadi saksi bisu saat Kaisar Gojong memilih tetap tinggal di Istana Deoksugung setelah dipaksa untuk menyerahkan tahta kepada putranya, -yang akhirnya menjadi Kaisar Sunjong dan dikenal sebagai Kaisar terakhir Korea-, karena desakan Jepang. Pada masa inilah istana ini berganti nama kembali, dari Gyeongungung menjadi Deoksugung, sebagai harapan umur panjang dari (orang-orang) yang berbudi luhur yang menempatinya.

Bangunan Bergaya Barat

Istana Deoksugung yang berusia 5 abad itu itu memang unik. Di dalam kawasan istana dibangun beberapa gedung modern bergaya Barat diantara bangunan-bangunan khas tradisional Korea yang terlihat saling berbenturan gaya, namun ternyata disitulah kekuatan utama istana ini, unik. Dalam posisi tertentu, kita bisa tak yakin berada di kawasan istana di Seoul.

Seokjojeon (yang kini menjadi galeri seni) merupakan bangunan gaya Barat yang dibangun di Deoksugung. Karena Won yang menipis, saya tak masuk ke dalamnya namun bangunan dengan taman cantik berair-mancur inilah yang membuat saya tak percaya dengan mata sendiri, saya ini sedang berada di Seoul atau di Eropa…

Seokjojeon - is it in Seoul or not?
Seokjojeon – is it in Seoul? 🙂

Saya bergegas keluar karena hendak melanjutkan ke istana lain, walau tak yakin bisa memenuhi semua target yang ingin saya kunjungi di Seoul. Daun-daun berwarna kuning itu masih berjatuhan melayang tertiup angin musim gugur, memberi kenangan tersendiri tentang sebuah istana di Seoul.

Seri cerita sebelumnya di Korea:

  1. Ada Bahasa Indonesia di Seoraksan
  2. Hwangseong Fortress: Menjadi Warisan Dunia Karena Sebuah Buku Tua
  3. Menuju Seoul Dengan ‘Shinkansen’-nya Korea
  4. Haeinsa Trip: Beautiful Life Lessons with Ups & Downs
  5. Di Haeinsa Mahakarya Kayu Dijaga Berabad-abad
  6. Bercermin Diri dalam Harmoni Kuil Haeinsa

*****

Tambahan info

Buka 09:00 – 21:00 (terakhir pembelian tiket pk. 20:00)

Harga Ticket

  • Dewasa 1,000 won / lebih dari 10: 800 won
  • Remaja 500 won / lebih dari 10: 400 won
  • Gratis bagi anak 6 tahun kebawah, atau Lansia 65 tahun ke atas atau bagi yang mengenakan Hanbok atau setiap hari Budaya (Setiap hari Rabu terakhir setiap bulan)
  • Terusan 10.000 Won mencakup Istana Changdeokgung termasuk Huwon dan Secret Garden, Istana Changgyeonggung, Istana Deoksugung dan Istana Gyeongbokgung serta Jongmyo Shrine, yang dapat digunakan dalam waktu satu bulan setelah pembelian.

Jadwal Tutup

  • Setiap Senin: Istana Changdeokgung, Istana Deoksugung, Istana Changgyeonggung
  • Setiap Selasa: Istana Gyeongbokgung dan Jongmyo Shrine

WPC – Lantern Festival On A Stream


Lantern Festival On Cheonggye-Cheon Stream
Lantern Festival On Cheonggye-Cheon Stream

When visiting Seoul several years ago, I was lucky having the chance to see the annual lantern festival on Cheonggye-Cheon Stream. I walked along the bank of the stream in a cool November night, looking at the beautiful lanterns one by one which were installed on a base around 50 cm above the surface of the water.

Now Cheonggye-Cheon Stream is a famous tourist spot, a must-visit, in Seoul but actually it was a neglected waterway hidden by an overpass before 2003. Then it was the brilliant idea of Seoul’s mayor, Lee Myung-bak, to restore the forgotten stream in two years to become a haven of natural beauty amidst the bustle of Seoul’s city life. The seemingly impossible project was successful although it’s a high cost project. It becomes an area of a vehicle-free zone on holidays, some art performance or festivals, and gives more leisure space for pedestrians. I had to admit that Cheonggye-Cheon Stream is the great place for those who are seeking refreshment and surely, for me a nice cultural experience.

The Welcoming Blue Waterfall
The Welcoming Blue Waterfall
The Stepping steps in Cheonggye Cheon Stream
The Stepping steps in Cheonggye Cheon Stream

*

In response to the Daily Post Weekly Photo Challenge with the theme of H20

Weekly Photo Challenge: Orange – Sunrise to Sunset Daydreaming


Sunrise across the Mekong river, Phnom Penh, Cambodia
Sunrise across the Mekong river, Phnom Penh, Cambodia

Feeling the morning breeze on my face, suddenly I woke up in a river bank. Disoriented but could not help watching the nice orange sunrise across the big river. Am I home? It must be the Great Mekong in Cambodia.

*

Without any chance to think, my body became lighter and lighter. Momentary blinded for a blink, the sun disappeared and now I saw local monks in orange robes walking around Angkor Wat, home of the souls.

*

Secretly following them through the wind, watched them chanting in front of the Giant Buddha. But, heiii… there’s no Giant Buddha in Angkor. Time had played with me and brought me to a temple with gold, yellow and orange color in Thailand, home of the smiles.

*

Blue bench under the flamboyant tree in Bagan, Myanmar
Blue bench under the flamboyant tree in Bagan, Myanmar

A moment or two taking delight, then I had to tiptoe out quietly. This country-hopping drained my energy. One step means hundreds kilos to fly in bewilderment. I should take a rest for a while. I could not believe my eyes stuck to the blue bench under the orange flamboyant tree in Bagan, Myanmar. Another hopping to the home of new hope.

*

A orange backhoe in Kuta, Bali, Indonesia
A orange backhoe in Kuta, Bali, Indonesia

I fell asleep on the bench that brought me to the seat inside the orange heavy vehicle in Bali. What’s going on? I drove it to clean the beach. Lots of trash came from the ocean and brought those back to the shore of island of gods. I have the faith that cleaning is a way to purify.

*

A Plane and A Pagoda in Hong Kong
A Plane and A Pagoda in Hong Kong

The heat and sweat made my day. Within less than a second I was in the plane that flew over an orange pagoda in Hong Kong, the hidden oasis to make a solemn request for peace.

*

Autumn leaves after the rain, Secret Garden in Changgyeonggung, Seoul, Korea
Autumn leaves after the rain, Secret Garden in Changgyeonggung, Seoul, Korea

Landed in South Korea with autumn vista. Being a tropical mind who knew only rain and summer seasons, I was always amazed by the red, yellow and orange maple trees, the special autumn colors as a delicate bridge to welcome winter sonata.

*

But again, time flew and no more for loving the autumn colors. I stood still in front of an orange big gate in Japan. Too big for small me walking through it before I stopped in front of an orange shrine. Somebody whispered it’s a love shrine, although the true love shrine is in the heart of people…

I walked through a tunnel of thousands orange torii or gates in Fushimi Inari in Kyoto, one step to another, believe there is an end in everything

*

Lantern Festival in CheonggyeCheon Stream, Seoul, Korea
Lantern Festival in CheonggyeCheon Stream, Seoul, Korea

Finally all torii disappeared and became lantern characters in orange atmosphere. The King himself deliberated with his Royal members to prosper his people life

*

Sunset in Kuta Beach, Bali, Indonesia - Heaven on Earth...
Sunset in Kuta Beach, Bali, Indonesia – Heaven on Earth…
A silhouette in Discovery Beach, Bali
A silhouette in Discovery Beach, Bali

Time ticked and I was kicked. The bright orange color decorated the western sky of Indonesia, as a sign for sunset. Kuta Beach in Bali will be my witness.  Like a movie, the picture faded away and a silhouette of tree with orange background was emerged, night was on the way to come.

*

Hanging Orange Lamps in Sampoerna Museum, Surabaya, Indonesia
Hanging Orange Lamps in Sampoerna Museum, Surabaya, Indonesia

Quietly I switched on the orange lamps for giving some lights through the mysterious darkness of the night

*

Museum of Bank Mandiri, Jakarta, Indonesia
Museum of Bank Mandiri, Jakarta, Indonesia

A day has been gone and be part of a place we called a museum. We can visit to make a remembrance but it has been bygones. Just like the one with the colonialism orange atmosphere…

*

Orange BMW 2002
Orange BMW 2002

Suddenly all’s gone and I tumbled down. I pinched myself and realized that I had a daydreaming in an orange old BMW!

And the last but not least, a question… do you know the production year of that BMW? 🙂

*

in response to Weekly Photo Challenge with the theme for this week

Orange

Hwaseong Fortress: Menjadi Warisan Dunia Karena Sebuah Buku Tua


Dari sebuah benteng yang dirancang untuk menjadi Ibukota

Disusun dan dibangun dengan perhitungan rinci tanpa cela

Namun perlahan terlupakan karena pergantian para penguasa

Lalu hancur total akibat Jepang menyerang juga Perang Korea

Dua ratus tahun setelahnya Hwaseong seakan tak pernah ada

Namun dari sebuah buku, Hwaseongseongyeokuigwe namanya

Para ahli bersatu padu bekerja sama membangun sebuah citra

Dan dalam dua tahun Hwaseong Fortress yang hilang kembali ada

Abad-18 Hwaseong hanya merupakan bagian dari Istana Raja

Abad-20 Hwaseong telah menjadi bagian dari Warisan Dunia

*

Menjelang sore pada musim gugur di Suwon, Korea Selatan…

Hwaseong Fortress, salah satu UNESCO World Heritage Site di Korea Selatan, berdiri dengan megah. Benteng atau Fortress ini pada awal pembangunannya merupakan bagian dari Istana Haenggung, tempat kediaman sementara para Kaisar dari Dinasti Joseon di luar kediaman resminya di ibukota negeri. Dan Kaisar Jeongjo-lah yang menginstruksikan pembangunan benteng pertahanan sepanjang 5.5km ini mengelilingi sebuah kota yang dirancang mandiri sebagai pengungkapan bakti Sang Kaisar kepada ayahnya, Putra Mahkota Sadosaeja. Selain mendirikan benteng, sepanjang pemerintahannya, Kaisar Jeongjo senantiasa berupaya berbakti dengan cara membersihkan nama ayahnya yang dibunuh oleh tangan kakeknya sendiri.

Hwaseong Fortress - Suwon
Hwaseong Fortress – Suwon

Kata “Hwaseong” sendiri sesungguhnya memiliki makna filosofis yang sangat dalam, karena berasal dari salah satu pengajaran Konfusianisme, Jangja. Dalam karakter China, Hwaseong merupakan tempat yang diperintah oleh seorang tokoh legenda yang bijak dan bermoral sempurna yakni Kaisar Yao. Beliau adalah kaisar legendaris dalam sejarah Cina kuno yang kebajikannya digunakan sebagai model untuk kaisar Cina pada masa-masa selanjutnya. Masa pemerintahan Kaisar Yao merupakan waktu yang paling damai dan makmur dalam sejarah Cina kuno. Dengan dilatarbelakangi oleh pemahaman filosofis yang dalam itu, pembangunan Hwaseong Fortress di Korea Selatan menjadi luar biasa.

Hingga kini Hwaseong Fortress menjadi benteng dengan struktur terhebat dan penuh perhitungan yang pernah dibuat di dunia. Memiliki empat gerbang di setiap arah mata angin. Janganmun di Utara, Paldamun di Selatan, Changnyongmun di Timur dan Hwaseomun di Barat. Bahkan katanya setiap lubang diantara batu batanya diukur dengan presisi sehingga dapat menembakkan senjata, panah atau tombak panjang.

Dan kehebatan Hwaseong Fortress tidak berhenti sampai disitu. Benteng ini bahkan menjadi pelopor perencanaan pembangunan kota di tingkat dunia, dilihat dari segi kelengkapan sarana dan prasarana serta perencanaan matang yang sistematis dibandingkan pembangunan kota yang serupa pada jamannya seperti Saint Petersburg di Rusia atau bahkan Washington DC di Amerika. Sebuah pemikiran yang sangat hebat dari Kaisar Jeongjo, orang yang menginstruksikan pembangunan Hwaseong Fortress ini.

Sejarah mengisahkan ketika Kaisar Jeongjo bertempat tinggal sementara di Istana Haenggung dalam rangka kunjungan ke wilayah Suwon, Sang Kaisar mulai menginstruksikan pembangunan Hwaseong Fortress termasuk kota di dalamnya. Pada awalnya Kaisar Jeongjo merencanakan Hwaseong menjadi ibukota kedua dari Dinasti Joseon. Untuk itu, Kaisar Jeongjo berencana akan pindah ke istana Haenggung, untuk menikmati kota Hwaseong-nya, setelah ia menyerahkan tahtanya kepada penerusnya. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Kaisar Jeongjo mangkat dalam usia yang relatif muda pada tahun 1800 menyebabkan Hwaseong perlahan-lahan terlupakan oleh peradaban.

Janganmun North Gate of Hwaseong Fortress, Suwon (means capital city and welfare of the people)
Janganmun North Gate of Hwaseong Fortress, Suwon (means capital city and welfare of the people)

Dan UNESCO pun mencatat Hwaseong Fortress dalam daftar World Heritage Site…

Sebenarnya Hwaseong Fortress masih relatif berumur muda, sekitar 200 tahun, jika dibandingkan dengan seribuan obyek lainnya yang bisa mencapai ribuan tahun, untuk tercatat dalam daftar UNESCO World Heritaga Site. Ditambah lagi sebagian besar struktur asli sudah hancur karena penyerangan Jepang dan akibat perang Korea. Lalu apa yang menyebabkan tempat itu bisa terdaftar sebagai World Heritage Site?

Dan karena sebuah buku kuno, Hwaseongseongyeokuigwe, sehingga Hwaseong Fortress dapat direkonstruksi kembali mengikuti struktur aslinya. Hwaseongseongyeokuigwe merupakan buku arsip yang terperinci mengenai pembangunan Hwaseong Fortress. Di dalam buku ini seluruhnya tersimpan baik penjelasan arsitektur dan prosedur teknis yang diterapkan, lengkap dengan gambar-gambar dan disain strukturnya, dimensi struktur, penggunaan dan sumber bahan baku yang digunakan dan hal-hal kecil lainnya. Sungguh menakjubkan berdasarkan satu buku kuno berumur ratusan tahun itu, pembangunan kembali benteng ke bentuk aslinya bisa dilakukan dengan sangat mudah.

Para insinyur dan ahli teknik masa kini benar-benar mengikuti semua petunjuk yang diberikan dalam buku Hwaseongseongyeokuigwe, yang dimulai dari menemukan jenis yang tepat untuk menghasilkan bentuk dan kualitas batu bata yang digunakan. Setelah batubata diproduksi dengan benar, kumpulan batu itu digunakan untuk membangun tembok benteng seperti yang dijelaskan dalam dokumen.

Hwaseong Fortress sepertinya merupakan kasus pertama kali dan satu-satunya hingga kini, sebuah monumen sejarah yang hancur total dibangun kembali hanya berdasarkan dokumen tertulis. Kelengkapan Hwaseongseongyeokuigwe, yang penuh informasi ilmiah yang sangat detail, membuat monumen ini memungkinkan memenangkan gelar sebagai UNESCO World Heritage Site.

*

Setelah membayar tiket masuk, rencana melihat Gukgung (Korean Traditional Archery) di dekat pintu masuk batal karena saat itu merupakan trip terakhir kereta kelilingHwaseong Fortress. Saya sedang malas mendaki berkilo-kilometer sehingga tawarannaik kereta keliling disambut gembira. Sebenarnya para penumpang diberikan informasi mengenai tempat-tempat menarik sepanjang perjalanan, tetapi sayangnya dalam bahasa Korea!

A corner in Hwaseong Fortress in Suwon. It's believed to have been constructed very scientifically — at Hwaseong Fortress.
A corner in Hwaseong Fortress in Suwon. It’s believed to have been constructed very scientifically — at Hwaseong Fortress.

Sudah beberapa gerbang dan tempat pemantauan benteng terlewati. Kereta masih menyusuri tembok benteng yang berdiri tegak, seakan angkuh terhadap kemungkinan serangan musuh. Kemudian berjalan perlahan mendaki bukit. Tampak seluruh permukaan tanah tertutup dengan rumput hijau yang terpelihara. Pemerintah Korea Selatan bersama warga sekitar bersama-sama menjaga lingkungan agar tetap indah dan di sudut lain, tampak tembok benteng menjulang di balik rimbunnya rumput keladi yang berbunga.

Tak lama kemudian kereta memasuki wilayah dengan pepohonan berwarna khas musim gugur yang terhampar di depan mata. Merah, hijau, kuning keemasan dan jalanan yang sepi. Ketika kereta melewati perlahan sebuah pelataran dengan patung besar, terlontar keinginan untuk turun menikmati pemandangan. Dan ternyata kereta memang berhenti di situ, menurunkan semua penumpangnya dan kembali kosong. Dan memang trip terakhir kereta tidak termasuk kembali ke tempat awal sehingga saya harus berjalan kaki untuk kembali.

Setelah mengeksplorasi pelataran berisi patung besar Kaisar Jeongjo, saya menikmati jalan-jalan di sekitarnya dalam suasana musim gugur. Sebagai orang tropis, saya menikmati sekali pengalaman berjalan-jalan diantara pohon-pohon yang berwarna-warni dengan gugurnya dedaunan. Banyak juga warga lokal dari segala umur yang berjogging. Bahkan disediakan peralatan olahraga di area terbuka.

The Bronze Statue of King Jeongjo The Great
The Bronze Statue of King Jeongjo The Great
The Map & Pictures of Hwaseong Fortress on the Wall next to the Statue
The Map & Pictures of Hwaseong Fortress on the Wall next to the Statue
Public Park in Autumn inside the Hwaseong Fortress
Public Park in Autumn inside the Hwaseong Fortress

Belum ingin berpisah dengan indahnya suasana, saya bahkan mendaki ke puncak bukit. Dan sampai di atas, terhampar pemandangan yang jauh lebih indah dari kota Suwon, apalagi menjelang malam, lampu-lampu kota dinyalakan. Saya duduk menikmati malam. Seandainya Kaisar Jeongjo masih hidup, tentunya ia juga suka melihat pemandangan ini. Pemandangan lepas, udara dingin, sangat tepat untuk berpikir strategis memikirkan bangsa dan negara.

Malam merangkak pelan. Waktu juga yang memutuskan. Saya berjalan turun perlahan sambil melamunkan keluarbiasaan situs warisan dunia, Hwaseong Fortress ini. Yang tadinya hancur, dalam waktu dua tahun bisa kembali berdiri megah. Hanya karena sebuah buku tua. Saya belajar bahwa dari dokumentasi yang detil dan menyeluruh, apa yang hancur bisa kembalikan ke semula. Ah, rasa terima kasih tak terhingga untuk Kaisar Jeongjo!

A part of 5.5km of the Hwaseong Fortress
A part of 5.5km of the Hwaseong Fortress
Seojangdae (Western Command Post), built 1794 on the summit of Mt. Paldal
Seojangdae (Western Command Post), built 1794 on the summit of Mt. Paldal
Hwaseong Fortress at night
Hwaseong Fortress at night

*

Hwaseong Fortress dibuka setiap hari untuk umum, pk. 09.00 – 18.00 kecuali musim dingin dari pk. 09.00 – pk. 17.00 dengan harga tiket masuk 1000 Won (dewasa) dan 500 Won (anak-anak).

Menikmati Malam di Gyeongju, Korea


Gyeongju, Korea merupakan kota dengan sebutan museum tanpa dinding, karena berseraknya tempat-tempat bersejarah di kota kecil sekitar 1 jam berkendara dari Busan itu. Tetapi apabila tak tertarik dengan sejarah pun, kita tetap masih bisa menikmati kota itu, terutama pada malam hari. Jadi, lupakan sejarah sesaat, nikmati saja keindahan di Gyeongju yang sejuk (atau karena saya datangnya pas musim gugur ya?).

 

Anapji Pond

Saya bersyukur karena mengunjungi tempat ini di kala senja dan menikmatinya hingga malam bertandang. Saya coba lupakan sejenak sejarahnya, dan membiarkan rasa yang menuntun langkah-langkah saya pada malam itu.

Saya hanya menyentuh pagar pembatas area yang di dalamnya terdapat bulatan-bulatan bekas fondasi bangunan itu sebagai tanda permintaan maaf karena ketakmampuan saya melepaskan diri sepenuhnya dari sejarahnya. Aura peninggalan yang sangat kuat tetap terasa membumbung di udara, sehingga saya hanya bisa terdiam hening sebagai penghormatan walaupun kali ini saya hanya ingin menikmati malam di Anapji Pond.

Sisi dari Anapji Pond
Sisi dari Anapji Pond
Lihat! Ada ikan-ikan diantara lampu kolam
Lihat! Ada ikan-ikan diantara lampu kolam
Bangunan Utama di Anapji Pond
Bangunan Utama di Anapji Pond
Detil Atap Bangunan di Anapji Pond
Detil Atap Bangunan di Anapji Pond
Refleksi di Anapji Pond
Refleksi di Anapji Pond
Anapji Pond At Night
Anapji Pond At Night
Anapji Pond dari sisi seberang
Anapji Pond dari sisi seberang

Terlepas dari cerita hebat di baliknya, Anapji Pond tetaplah sebuah kolam, yang berisikan ikan-ikan cantik berenang diantara lampu yang menyinari bangunan-bangunan tradisional berukir indah.

Namun entah kekuatan apa yang menyelimuti saat itu, tetapi terasa sekali pada malam itu atmosfer kaum bangsawan berjalan perlahan menikmati malam, berawal dari aula utama menyusuri bangunan-bangunan cantik di tepi kolam berhias cahaya yang memantul dari air kolam yang tenang. Memberikan efek refleksi yang sempurna. Berpikir sangat dalam mengenai kehidupan bernegara, kehidupan sehari-hari rakyat dan kehidupan romansa pribadi para keluarga kerajaan.

Tidak perlulah mengetahui siapa Raja, siapa Perdana Menteri atau silsilah keturunannya, atau Dinasti yang mengelolanya. Cukuplah untuk menikmati dengan sepenuh hati, merasakan aura kehidupan para pemilik darah biru, merasakan keindahan terangkai sepanjang malam di Anapji Pond. Dan saya pun berjebak dalam semesta keindahan Anapji Pond.

 

Cheomseongdae Observatory

Tak jauh dari Anapji Pond, bisa dicapai dengan berjalan kaki, berdirilah Cheomseongdae Observatory dengan anggunnya di tengah-tengah taman di pusat kota.  Pemerintah setempat telah membuat bangunan kuno itu semakin tampil dramatis dengan sorotan lampu yang memecah kegelapan malam.

Tanpa perlu mengetahui secara dalam kekuatan sejarah di balik keanggunan Cheomseongdae Observatory, siapapun yang melihatnya malam itu akan merasakan hal yang sama. Keindahannya melebihi keingintahuan orang akan fungsi bangunan itu.

Cheomseongdae Observatory - Peninggalan dari Seorang Perempuan
Cheomseongdae Observatory – Peninggalan dari Seorang Perempuan

Saya hanya duduk dalam keheningan di bangku taman dan menikmati Cheomseongdae Observatory yang luar biasa di hadapan. Saya tak melihat sisi sejarahnya, saya tak mencari tahu fungsi bangunannya. Saya hanya diam dalam hening. Suasana yang tercipta terasa magis dan menerbangkan saya untuk melihat ke dalam jiwa mengenai makna kehidupan. Dan malam pun terus merangkak pelan…

Saya tetap tak bisa melepaskan dari kekuatan sejarahnya. Tetapi, lagi-lagi saya berusaha melupakannya sesaat. Saya hanya mengingat bahwa Cheomseongdae merupakan warisan dunia dari seorang perempuan! Dan hidup sebagai perempuan, saya seperti jatuh ke dasar jurang tak bertepi, berhadapan dengan peninggalan dengan tingkat dunia yang seakan bertanya langsung kepada saya, apa yang telah kau berikan kepada dunia sebagai warisan?

Arrggghhh… Cheomseongdae yang indah tetapi membantingku KO.

 

Tumuli Park

Di arah yang berlawanan dari Cheomseongdae Observatory, tersebar tumuli-tumuli (gundukan) yang di dalamnya menyimpan sejarah Korea yang panjang. Tapi malam itu, tak perlu melihat sejarah, tak perlu memikirkan apa yang ada di balik tumuli itu. Lihat saja keindahan lengkung-lengkung rerumputan hijau yang tertata rapi dan disinari lampu sorot.

Lagi-lagi saya terdiam dalam hening. Saya tahu tumuli adalah makam dan hal itu yang menghenyakkan saya dalam keheningan. Saya hanya ingin menikmati dalam hening dan tak ingin terlalu filosofis melihatnya. Tetapi rasa dari dalam itu begitu membuncah Sudahkah saya memikirkan mati? Lalu bagaimanakah saya ingin diingat ketika saya sudah mati? Apakah saya sudah bernilai hingga sekarang ini, sebelum saya mati? Dan masih banyak lagi karena saya berhadapan dengan makam!

Tumuli adalah Makam!
Tumuli adalah Makam!

Tak perlu menilik sejarahnya, tak perlu tahu siapa yang ada di baliknya, hanya makna sebuah makam dan saya pun berlari bergidik, karena tahu belum cukuplah bekal untuk itu.

Kuliner

Di depan area tumuli itu terdapat deretan rumah makan dan kios-kios yang menawarkan makanan Korea atau makanan ringan, yang bagi para wisatawan penggila kuliner bisa langsung menikmatinya setelah lelah berjalan-jalan. Saya sendiri tidak mencicipinya karena saya masih harus berjuang mencari jalan pulang ke penginapan yang lumayan jauh.

***

Jika saja masih ada waktu bagi saya untuk berkeliling lagi, tentu masih banyak tempat wisata lain yang bisa dikunjungi. Tidak apa-apa, saya menyimpannya untuk kunjungan kesana lagi, kapan-kapan ketika kesempatan lain datang…

(DISCLAIMER: All photos are mine unless otherwise stated. Please put the link or e-mail me if you wish to use it personally)

Menuju Seoul dengan ‘Shinkansen’-nya Korea


Pagi jelang siang di Daegu

Sambil memejamkan mata, saya mengucap selamat berpisah kepada kamar penginapan yang telah menjadi saksi diam atas pengalaman spiritual penuh emosi semalam sekembalinya saya dari Haeinsa (klik disini kalau mau baca). Tiga kota Korea Selatan yang telah mengharubiru hati sudah terlewati dalam perjalanan ini dan tiba saatnya untuk berpindah kembali.

Semalam, diantara airmata bahagia yang tumpah dan pengalaman-pengalaman luar biasa selama perjalanan ini, sebuah  keputusan harus ditetapkan. Saya harus menghapus trip ke Naejangsan National Park. Taman Nasional Naejangsan, yang terkenal keindahannya saat musim gugur bukan menjadi rejeki saya untuk dikunjungi kali ini. Waktunya tidak akan cukup untuk sampai juga ke Suwon dan Seoul pada hari yang sama. Dan kalaupun dipaksakan juga, kunjungan terburu-buru ke Naejangsan pastilah tidak menyenangkan. Itupun kalau lancar dan tidak tersesat! Mudah-mudahan ada kesempatan lagi untuk bisa berkunjung kesana di lain waktu.

KTX Kereta Super Cepat Korea Selatan
KTX Kereta Super Cepat Korea Selatan

Membatalkan pergi ke Naejangsan adalah satu hal, tetapi hari itu untuk bisa sampai ke Seoul dari Daegu dengan selamat adalah hal lain yang berbeda sama sekali. Berdasarkan pengalaman-pengalaman mengejutkan sejak hari pertama tiba di Korea Selatan, hal sekecil apapun bisa menjadi hal yang prosesnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Tentu saja kejutan seperti itu benar-benar bisa membuat cemas, deg-deg-an, hati ketar-ketir atau apapun seperti itu. Dan… hal sepele itu termasuk mengurus tiket kereta super cepat Korea Selatan, Shinkansen-nya Korea, yang disebut KTX.

Setelah check-out, dengan menggendong ransel saya berjalan kaki ke station Dong Daegu, yang terintegrasi dengan stasion KTX, kereta api super cepat Korea Selatan. Beberapa toko roti yang saya lewati menebarkan aroma harum menggugah perut yang berontak belum sarapan. Karena tidak mau teralihkan dengan wangi harum itu, saya memaksa diri menggunakan kacamata kuda, meneruskan langkah menuju stasion kereta. Tukar tiket KTX dulu baru sarapan, demikian yang saya teriakkan kepada si perut.

Lagi! Di Stasion KTX

Stasion KTX di Daegu cukup megah. Sebagai orang yang sudah tercemar dampak dunia kapitalis konsumtif, saya merasa kembali ke peradaban modern ketika memasuki gedung station KTX setelah semalam sebelumnya berkutat di Gayasan National Park. Modernitas telah mengangkat rasa optimisme saya.  Merasa ‘hidup’ dengan atmosfer kesibukan kerja, penuhnya kios-kios kopi dan makanan dengan para profesional. Ah, sepertinya saya sedang mendekat pada dunia yang saya kenal, seharusnya semua akan berjalan normal, demikian perasaan saya berkata.

Lorong menuju Main Hall Stasion KTX Daegu
Lorong menuju Main Hall Stasion KTX Daegu

Seperti seekor doggie yang menandai daerah jelajahnya, saya berjalan mengelilingi station KTX dari ujung ke ujung, hanya supaya mengetahui situasi dan kondisinya di station Daegu. Setelah puas, saya kembali ke arah counter untuk menukarkan E-ticket KRPass 1 day yang saya miliki. Semoga lancar.

Setelah mengantri pada antrian yang terpendek, sampai juga giliran saya ke depan counter. Saya serahkan print-out e-ticket sebagai bukti pembayaran dan paspor. Perempuan di balik counter hanya bertanya, “1 day Pass, today?” Saya mengangguk, menjawab, “Yes. Today. To Seoul Station” Kemudian dia sibuk dengan komputernya. Jam pasir mulai bergulir.

Seperti juga JRPass di Jepang, KRPass adalah kartu transportasi yang khusus untuk oleh turis asing dan dibeli di luar negara korea, untuk digunakan tanpa batas pada kereta-kereta api yang tergabung dlm Korail, kecuali subway dan kereta turis. KR Pass tersedia dalam beberapa periode, 1, 3, 5, 7 atau 10 hari dengan berbagai variasi harga.

KR Pass seukuran kartu nama & Ticket Kereta
KR Pass seukuran kartu nama & Ticket Kereta

Saya membeli KRPass 1 hari secara online karena pertimbangan kemudahan dan kecepatan mendapatkan transportasi dalam sehari sesuai rencana awal perjalanan saya. Awalnya, saya mau ke Naejangsan dan pada hari itu juga saya harus sampai ke Seoul, maka saya harus berganti-ganti kereta. Dan karena saya tidak mau dipusingkan dengan rute dan jadwal, maka dari itu KTX menjadi pilihan utama saya dan jadilah saya membeli KRPass 1 hari itu. Sebenarnya dengan pembatalan ke Naejangsan, perjalanan saya lebih simple, saya hanya perlu tiket Dong Daegu ke Seoul. Tetapi semenit, dua menit petugas perempuan di depan saya masih tetap memencet-mencet keyboardnya. Ah, lagi! Tanda-tanda buruk di depan mata, sesuatu yang tak semudah membalikkan telapak tangan…

Benarlah! Ia meminta saya menunggu sebentar, lalu pergi dan tidak berapa lama ia kembali bersama seorang perempuan lain yang seperti supervisornya. Sang Supervisor memperhatikan e-ticket saya, lalu berbicara dengan petugas tadi dalam bahasa Korea yang tidak bisa saya mengerti. Blah-blah-blah… Sang Supervisor memencet-mencet keyboard lalu kembali ia meminta saya menunggu dengan manis. “Anything wrong?” tanya saya ketar-ketir. Di kiri kanan antrian sudah bergerak banyak dan di belakang saya mulai tak sabar. Dia tersenyum menggeleng dan pergi meninggalkan saya.

Saya agak putus asa menyaksikannya pergi  namun agak tenang melihatnya kembali lagi dengan buku notes di tangan. Ia meminta saya pindah ke counter yang paling ujung sehingga tidak mengganggu antrian di belakang saya. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, saya menurut saja. Kemudian Sang Supervisor itu membuka terminal dan mulai membaca buku catatan yang dibawanya. Membiarkan saya menyaksikan semua itu. Hmmm… ia membaca ke buku ‘manual’nya, lalu ke terminal, memencet keyboard lagi, membaca lagi. Dan seorang perempuan lain lagi bergabung membantu. Luar biasa, untuk penukaran e-ticket KRPass saya itu sampai 3 orang yang melayani. Entah kenapa, pikiran saya terbang ke saat-saat memberikan pelatihan di kantor, muka bingungnya terlihat serupa. Dalam sekejap saya berkesimpulan bahwa di Daegu jarang yang menukarkan e-ticket KRPass. Mungkin jamak di Seoul atau Busan, tetapi mungkin tidak banyak di tempat selain dua kota itu.

Stasion KTX Daegu, Korea Selatan
Stasion KTX Daegu, Korea Selatan

Akhirnya kesabaran saya menunggu berbuah juga, berhasil mendapatkan KRPass dan mendapat tiket kereta KTX ke Seoul. Sambil menunggu kereta dan menenangkan hati yang lagi-lagi diberikan kejutan pagi,  saya mencari sarapan roti baguette. Karena sejak kecil dicekoki dengan makanan setipe satu ini, akibatnya kalau belum ketemu roti, rasanya belum sarapan!

KTX, si kereta berhidung aneh

Kemudian jelang waktu keberangkatan, saya melangkah menuju peron menunggu si kereta dengan hidung aneh ini datang. Berbeda dengan rel Shinkansen di Jepang yang terdiri dari 3 rel paralel, rel KTX ini tampak tidak berbeda dengan rel kereta biasa dengan dua bilah besi paralel walaupun secara teknologi mungkin berbeda spesifikasinya. Berdasarkan informasi wiki, infrastrukturnya didisain agar kereta dapat berjalan baik dengan kecepatan hingga 350km/jam. Hebat…

Tidak perlu lama menunggu, kereta saya pun datang dan naiklah saya ke kereta super cepat buatan Korea ini. Disebelah saya duduk seorang bapak dengan tampang eksekutif yang tampaknya tak mau diajak bicara karena sibuk dengan catatan-catatannya. Mungkin lebih baik, karena saya juga ingin melanjutkan tidur di kala bosan melihat pemandangan keluar jendela.

Perkiraan mendapatkan pemandangan indah sepanjang perjalanan tidak tercapai karena yang terlihat kebanyakan hanyalah pagar tembok batas kereta, kadang sisi belakang perumahan kota. Sedikit sekali pemandangan gunung dengan warna musim gugurnya. Entahlah, mungkin saya sedang tertidur saat pemandangan indah terhampar.

Yang ajaib, saya berharap di gerbong kereta terdengar informasi suara saat memasuki stasion kota-kota besar yang disampaikan dalam bahasa Inggeris, selain Korea tentu. Tetapi dalam gerbong KTX yang saya naiki ini sama sekali tidak terdengar bahasa Inggeris, hanya bahasa Korea. Wow! Saya hanya membaca satu persatu nama-nama stasion ketika kereta berhenti. Itupun jika tidak tertidur. Sebuah hal yang sangat mendasar, bagaimana mungkin dalam gerbong kereta yang ditujukan sebagai pendukung utama turisme Korea tidak disampaikan dalam bahasa internasional? Padahal harga tiketnya mahal dan dijual di luar Korea! Entahlah, tetapi pada hari itu, sejak dari Stasion  Daegu hingga mencapai Seoul Station, tidak ada satupun bahasa Inggeris terdengar dari loudspeaker di gerbong saya. <Catatan: tetapi ketika menggunakan kereta dengan kelas yang lebih rendah menuju Suwon, saya mendengar informasi yang disampaikan dalam bahasa Inggeris!>

Akhirnya KTX sampai di Seoul Station
Akhirnya KTX sampai di Seoul Station

Untunglah, saya selamat sampai di Seoul Station, station di Seoul dimana semua penumpang berhenti dan turun. Jika tidak, mungkin kejadian salah turun stasion seperti ketika di Thailand akan terulang lagi (klik disini kalau mau baca pengalaman salah turun stasion di tengah malam).

When I Smell the Fragrance of Heaven in Bulguksa Temple…


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Mid-day in Gyeongju, South Korea…

When the local bus stopped at Bulguksa and the visitors got off the bus, it didn’t mean they had arrived at the temple. Actually all visitors should walk around 200m uphill along a nice walkway to reach the ticket booth. Then walk along a natural path to the temple’s gate.  But while walking the beautiful scenery will surround us in 360. Seems the Koreans love to build temples and monasteries in harmony with the mountains since long time ago.

The walkway was comfortably made, wide and neat, with food or souvenir stalls in each side. The beautiful autumn scenery with red and yellow maple leaves with fresh atmosphere and the happiness of family picnics on the greenery grass removed the tiredness of walking.

And after walking for a while, finally I reached the iconic stone with UNESCO World Heritage Site symbol on it in Roman and Hangul. Bulguksa Temple itself was designated as a World Cultural Asset by UNESCO in 1995, which is home to many important cultural relics.

My heart smiled when I stepped into the natural path, sensing the aura of beauty. A picturesque pond welcomed me with autumn colored trees around it and the motionless water showed its total reflection. Very beautiful. It’s Bulguksa! As the name indicates, it was designed as a realization of the blissful land of the Buddha in the present world. It was intended to be the happy land where all beings are released from the suffering by following Buddha’s teachings. Meaning, the temple had to be not only faithful to Buddha’s teachings but beautiful as well. It works, I felt it.

I stopped for a while in the gate with four statues of heavenly gods inside as temple’s guardians, watching some Koreans gave a slight bow to each god with both palms met in front of the chest, some others passed as nothing was important. From the gesture and the intimidating stares of the gods, they looked like asking me the reason going to Bulguksa. Hmm.. I thought of this Korean trip. Bulguksa Temple was in my bucket list since my first plan going to South Korea last year. But it’d never happened because of the warming political situation between North and South Korea in the first quarter of 2013. I had to cancel the trip although all was ready. Well, no regret at all, there’s price I had to pay for extending my trip in Japan instead of going to South Korea at that time. Fortunately I got the beautiful chance to go in autumn. In November 2013 my dream came true, arrived in Bulguksa temple, -a complex of beautiful wooden buildings and stone pagodas built upon decorative stone terraces-, and here I was standing on my own feet.

It was a heartwarming moment, like a kid got unexpected gift. I walked slowly, enjoying moments in this representative relic of Gyeongju, and was known worldwide for the amazing details and the touch of stone relics.  In front of my own eyes, I saw the famous White Cloud and Blue Cloud Bridge which are the thirty-three stone-stairs adorned with elaborate railings, -which symbolize the thirty-three heavens-, that originally to reach the elevated compound of the temple.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Then after a while, avoiding the crowds of people at Tourist Information hut, I went to a small shrine on the right side which was less people visited but interesting. There were stone tub filled with water for purifying all beings before praying. Looking at the tub with lotus petals in each foot and details where the water comes out, reminded me of Yoni, as one pair with Lingam in Hinduism.

I walked slowly and entered the main yard from the right side of the temple. The long wooden terrace was so lovely with adorned detail pillars and roof. I closed my eyes and took a deep breath trying to absorb all the beauty of the temple. My mind was flying back many centuries ago, giving me a flash of its history. Originally called Hwaeombeomnyusa or Beopryusa Temple, a small wooden temple, -built in 528 during the reign of King Beop-Heung-, was for the Queen to pray for the welfare of the kingdom. It took hundreds years to be redeveloped. The current temple was built by Kim Dae-Seong, -a devoted believer and the architect of the original temple with a remarkable eye for beauty and legendary reincarnated into the prime minister-, in 751 during the reign of King Gyeong-Deok and completely built in 774. After that the temple logged a long history of reconstructions and numerous renovations from the Goryeo Dynasty to the Joseon Dynasty included burned down during the Imjin Waeran war following Japanese Invasion in the end of 16th century. Then it was reconstructed again in 1604 during the reign of King Seon-jo of the Joseon Dynasty and had continuous renovation for 200 years.

The chitchat of other visitors woke me up from the daydreaming and realized that I’d been on the land of Seokgamoni Buddha as part of the temple’s main yard. Actually Bulguksa’s cloistered sanctuary is divided into two, the land of Seokgamoni Buddha and the land of Amitabha, means the Buddha of Boundless Light. The land of Seokgamoni Buddha, -the impure land-, is larger and higher than Amitabha’s, the pure one. Some said that Seokgamoni, or Sakyamuni, is praised as the more noble to appear in the mundane world out of his great compassion.

One of the buildings in the land of Seokgamoni Buddha is Daeungjeon, hall of great enlightenment, which enshrines a gilt-bronze Buddha and is the main hall for worshiping. The other important one is  Musolijeon, the Hall of No Discourse, as the lecture hall.

But I was amazed with view in front of me. Between Daeungjeon and Jahamun (Mauve Mist Gate), stand the famous pagodas, Tabotap, the Pagoda of Many Treasures, and the other should be the Seokgatap (the Seokgamoni Pagoda). Unfortunately on my visit, the sacred Seokgatap was being under 3 years restoration.

I walked into the Jahamun, the Mauve Mist Gate that is full of delicate detailed decoration on the wooden roof and pillars. Jahamun was the gate for people to reach Daeungjeon from the outside by using staircases. But considering the age and value, visitors cannot use the staircases anymore.

The staircases, although they are called as bridges, have deep meaning. The staircase which is in the lower part is Cheongungyo or Blue Cloud Bridge and has 17 steps. The staircase which is in the upper part is Baegungyo or White Cloud Bridge and has 16 steps. These staircases symbolically connect the earthly world below and the world of Buddha above. In the other version, some wise people said that the staircases are the symbol of man’s journey from youth to old age.

Back to the land of Seokgamoni Buddha,  among the many treasures of Bulguksa, the famous pagoda pair in the main yard have an unmatched reputation. Seokgatap and Tabotap, have stood for over 12 centuries surviving the flames of war that engulfed all of the temple’s original wooden structures. And it’s surprising me that a legend inspires the arrangement of them. When Seokgamoni preached the Lotus Sutra, the pagoda of Prabhutaratna emerged out of the earth in witness of the greatness and truth of his teaching. Some other said that both pagodas are the manifestations of the Buddha’s contemplation and detachment from the world. Because of the legend and amazing history of them, none of thousands pagodas scattered across South Korea surpass those two pagodas for the philosophical depth. 

Seokgatap

Based on many sources, Seokgatap, or the Seokgamoni Pagoda, represents the finest traditional style of Korean Buddhist pagodas that was inspired from China’s one. As proven by many people, the three-story pagoda is admired for its proportions, simple with minimal decoration but graceful style. Unfortunately I was not able to see the glorious height of Seokgatap because of its current restoration process.  However, during restoration when the second roof was removed, it’s showed a gilt bronze casket containing, for those who believe, was the relics of Sakyamuni.

It was like in 1966, during repairing a collection of precious treasures was found in the Seokgatap. They included a paper scroll of the Pure Light Dharani Sutra, printed between 706 and 751. The scrolling Sutra, 6m long 7cm wide, was one of the world oldest printed materials. The other treasures found were three sets of beautiful decorated relic containers including a gilt-bronze box in elaborate openwork, a gilt-bronze box with a fine engraving of bodhisattvas and heavenly gods, and a glass bottle containing 46 grains of holy relics. No wonder Seokgatap is so sacred.

Beside the sacredness of Seokgatap, I was told about its legend. Among the Koreans, Seokgatap is also called as the Pagoda without Reflection. It referred to the sad legend of Asanyeo, wife of the Asadal, who built this pagoda. The poor woman came to Gyeongju to see her husband as years had gone without any news. At that time, no outsiders were allowed to come into the holy site and she had to wait by a pond near the temple until the the water showed a reflection of the pagoda. But that reflection was never showed up, she gave up waiting in vain and finally she threw herself into the pond.

Tabotap

This beautiful pagoda is symbolizing Prabhutaratna Buddha, -the one that emerged out of the earth in witness of the greatness and truth of Seokgamoni’s teaching. The highly ornate pagoda representing the skill of Silla’s craftsmanship, looks like a shrine with railings supported by a square slab roof on four pillars, and seems unbelievable that was constructed of stone. Those pillars stand on an elevated platform approached by four staircases in each side with 10 steps, symbolizing the 10 paramitas, or great virtues in Buddhism.

Considering the name of Tabotap which is called as Pagoda of Many Treasures, there was no record about the treasures found inside it.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Slowly I continued to walk to the quietness of the backyard by using a steep stairs. I saw here Gwaneumjeon or Avalokitesvara’s Shrine, the Boddhisattva of Perfect Compassion. It is called as the shrine of the One who Listens to the Cries of the World. I noticed that few people worshiped here. Perhaps it was a good sign that most Koreans had solved their own problems.

From Gwaneumjeon, I had to go downstairs for reaching Birojeon. It was similar with the adjacent building with more people worshiped. Birojeon is the hall in which enshrined the Golden Bronze Vairocana Buddha Sitting Statue, which was believed for the Truth, Wisdom and Cosmic Power. At the corner of Birojeon’s yard, there is a small building which houses the Sarira or Relic Stupa.

Leaving Birojeon then passing the Beophwajeon, -the area of stone foundation-, and my journey in Bulguksa was approaching the land of Amitabha, the pure land with Geungnakjeon or the Paradise Hall as the main hall. From many resources, Amitabha, -who vowed that all who believed in him and   called upon his name would be born into his paradise-, has a broad following among Koreans. It’s proven by lots of fresh beautiful and colorful flowers arranged in front of this hall and of course, the crowds in the Shrine. In front of this main hall, stand the Anyangmun Gate -the Pure Land Gate- and a big golden mouse statue in between.

Similar to Jahamun Gate in the eastern of the temple, Anyangmun Gate in the western part was the gate for people to reach Geungnakjeon from the outside by using staircases. But, again, considering the age and value, of course visitors are not allowed to use the staircases anymore.

These are 18-step stone staircases, the lower part of staircase called Yeonhwagyo or Lotus Flower Bridge and has 10 steps. Long time ago, this staircase was graced by the delicate lotus blossom carvings. The upper part of the staircase called Chilbogyo or Seven Treasure Bridge and has 8 steps. It is said that only those who reached enlightenment could use these stairs. Although these structures are smaller than the eastern one, both are similar in design and structure form.

My journey in Bulguksa was almost completed. I stopped for a minute in a building that stores a big heavy bell. My mind flew back again centuries ago and the sound of the bell heard over every corners of the temple, waking up the monks in grey robe to start the day with their daily routines.

Then I was back again in the front yard of Bulguksa Temple in the western side. From this corner people usually take the picturesque Bulguksa Temple in Autumn, with red and yellow colorful trees. My eyes absorbed the beauty in front of me. This was truly heaven on earth.

From the western corner I walked slowly to face the central façade of the temple. I saw Beomyeongnu or the Overflowing Shadow Pavillion, an elevated center building between Anyangmun and Jahamun Gate and originally constructed in mid of 8th century for placing the Dharma Drum. Its shape represents of Mt. Sumeru, an imaginary mount considered to be in the center of the universe in Buddhist cosmology. The current structure was restored in 1973, which is smaller than the original. Particularly unique are the stacked pillars, using 8 differently nice shaped stones and their placement, facing each of the four cardinal directions. The workers seemed in meditative state when putting the stones into the arrangement. 

Before leaving Bulguksa, I sat facing the temple and enjoyed the view. Closing my eyes and imagined a lotus pond that once existed beneath the staircases leading up to the main courtyard gave a fresh atmosphere. Seems I could smell the fragrance of heaven here…