Kamboja, Negeri Penuh Makna


Rasanya masih ingat moment istimewa jelang akhir tahun 2010 itu, saat hendak menentukan mau ke negara mana lagi di kawasan Asia Tenggara. Ketika itu saya memegang buku Lonely Planet Southeast Asia on A Shoestring dan sudah menentukan prioritas, Vietnam berada di peringkat atas dan Kamboja berada paling bawah. Alasannya sederhana. Saya meletakkan Kamboja  paling bawah karena saya takut hantu dari orang-orang yang meninggal tak wajar dan Kamboja bisa dibilang jawaranya, karena belum lama keluar dari masa kelam akibat genosida Khmer Merah itu. Seorang teman yang sering menakut-nakuti selalu bilang, anggaplah 1 persen dari korbannya menjadi hantu, itu artinya 16.000 dan itu banyaaaakkk!

Tetapi faktanya, seperti bumi dan langit. Setelah momen itu, di kuartal pertama tahun berikutnya saya justru mengunjungi Kamboja, bahkan hingga berkali-kali bolak balik ke negeri itu dan Vietnam baru saya kunjungi di penghujung akhir tahun 2015, itu pun hanya satu kali ke Vietnam Tengah yang hingga kini angka itu belum berubah 😀

Lalu apa yang membuat saya ke Kamboja?

Angkor Archaeological Park 

Sebagai penggemar sejarah dan candi-candi Hindu Buddha, bisa dibilang saya ternganga ndhlongop saat pertama kali ke kompleks candi Angkor, yang jumlah bangunannya banyak sekali dan tidak cukup tiga hari dikelilingi. Angkor Wat saja sudah luas sekali, Belum lagi di tambah Phnom Bakheng dan kawasan Angkor Thom yang ada Baphuon, Bayon, kawasan Royal Palace lengkap dengan Phimeanakas, lalu Terrace of The Elephants dan Terrace of the Leper King. Tentu saja dengan ke lima gerbang Angkor Thom yang keren-keren itu. Dan yang pasti Ta Prohm temple yang selalu dihubungkan dengan film Tomb Raider-nya Angelina Jolie. Ada yang sudah pernah ke Preah Khan temple atau Banteay Kdei? Hmmm, bagaimana dengan Ta Som, Neak Pean, East Mebon, Takeo, Pre Rup dan Prasat Kravan serta kompleks candi Roluos atau Banteay Samre dan Banteay Srei?

Bahkan saya tak puas hanya sekali atau dua kali, sehingga setiap ada kesempatan ke Kamboja saya selalu mengupayakan ke Angkor. Tidak heran, hampir semua candi itu sudah saya datangi. Hampir semua, supaya ada alasan untuk kembali lagi!

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Tidak hanya itu, bisa dibilang saya telah meninggalkan jejak di hampir seluruh kompleks candi di Kamboja, termasuk kompleks candi yang sangat remote. Di Preah Vihear yang di perbatasan dengan Thailand, atau Beng Mealea dan Koh Ker. Bahkan kompleks candi Preah Khan Kp. Svay yang sangat jauh dari perkampungan manusia pun saya kejar. Juga kawasan percandian Sambor Prei Kuk yang belakangan ini mendapat gelar UNESCO World Heritage Site. Selain candi-candi kecil di dekat Battambang atau Phnom Penh, saya mendatangi juga kawasan percandian Banteay Chhmar yang lokasinya dekat dengan Sisophon, tak jauh dari perbatasan Thailand. Dan bagi saya ini, masih banyak tempat yang bisa saya datangi untuk melihat candi.

Jadi kalau ke Kamboja, tidak ke Angkor… itu namanya belum ke Kamboja hehehe…

Tuol Sleng & Choeung Ek

Meskipun saya ini penakut, saya memberanikan diri pergi ke “ground zero“-nya penyiksaan Khmer Merah ini. Kok nekad? Karena saya percaya dengan nasehatnya Nelson Mandela yang mengatakan The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear. Dan mengalahkan ketakutan saya ini membukakan pintu-pintu pemahaman dan makna buat saya.

Bahwa demi ideologi, bagi sebagian manusia, nyawa manusia lainnya menjadi tak berarti hanya karena berbeda.

Di tempat ini saya juga belajar bahwa penggiringan falsafah tanpa keberagaman akan membawa kepada konsep diktator yang merusak tatanan kehidupan. 

Jika datang kedua tempat ini tidak dapat menggerakkan rasa kemanusiaannya, sepertinya diragukan kenormalannya sebagai manusia yang berperasaan hehehe…

IMG_5453

Wajah Maaf & Kebesaran Jiwa

Sebagai akibat peristiwa genosida yang menghabisi satu generasi, tak jarang saya menyaksikan wajah penuh maaf dan toleransi pada penduduk lokal Kamboja, Ketika perang sipil berlangsung dalam waktu yang panjang dan mengakibatkan penderitaan tak berkesudahan, satu-satunya jalan untuk hidup lebih baik adalah pemberian maaf, toleransi dan memiliki kebesaran jiwa. Dendam tak akan pernah membawa kebaikan, kecuali hanya membawa derita. Bagaimana mungkin mendendam kepada orang yang sama-sama menderita, yang mungkin sama-sama dikenal, mungkin sama-sama tetangga di kiri kanan rumah, bahkan mungkin sebagai kerabat. Hanya orang yang memiliki kebesaran jiwa yang bisa keluar seutuhnya dari neraka kemanusiaan yang pernah terjadi di bumi Kamboja.

Jika Anda ke Kamboja dan bisa menjadi saksi wajah maaf dan kebesaran jiwa yang dimiliki sebagian penduduk tua di Kamboja, maka berbahagialah. Sesungguhnya tak mudah menemukan hal itu sekarang.

Kemiripan Budaya 

Saya yang termasuk picky terhadap makanan asing, ternyata lidah saya bisa menerima dengan nyaman makanan dari Kamboja, terutama fish amok yang luar biasa enak itu. Campuran bumbu yang ada di dalamnya membuat lidah saya sepertinya ‘kenal’ dengan yang biasa saya telan di negara sendiri, sehingga saya welcome saja dengan makanan Kamboja. Bisa jadi karena tradisi memasak sesungguhnya berakar dari sumber yang sama yaa… Belum lagi cara mereka membungkus makanan atau kue-kue yang juga menggunakan daun pisang. Tidak jauh beda dengan kita kan?

Saya juga teringat dengan minuman selamat datang yang diberikan hotel saat saya check-in. Saya mengira akan diberikan minuman rasa jeruk, apel atau buah-buahan standar lainnya tetapi mereka justru memberikan saya sereh (lemongrass) yang amat segar. Meskipun berbeda dari biasanya, lidah saya mengenal rasa itu seperti di Indonesia. Saya justru terkejut gembira mendapatkan sesuatu yang familiar seperti di negara sendiri.

Dan selagi di sana, saya biasanya memperhatikan wajah penduduk asli Khmer. Meskipun menurut saya hidung orang Indonesia lebih bagus, wajah penduduk asli Kamboja bisa dibilang lebih mirip dengan kita, dibandingkan dengan Malaysia. Ini menurut saya lho… Dan karena sejalan dengan penyebaran Indianisasi, banyak kata-kata bahasa Khmer yang dari pengucapan bisa dibilang mirip atau tak jauh dengan bahasa Indonesia. Dan mengetahui hal ini, sangat menggembirakan saya dan mencari tahu lebih banyak lagi… Contohnya, Guru dan Krou (dengan huruf o-nya hampir hilang), Kampung dan Kompong, Kerbau dan Krabei (i-nya hampir hilang), Pasar dan psar, Kapal dan Kbal. Muka dan muk. Menarik kan? Ada yang pernah tahu kata-kata apalagi yang mirip?

Kalau bicara seni tradisional, wah bangsa Kamboja juga memiliki pertunjukan wayang, meskipun ukuran wayangnya besar (bisa lebih dari 1 meter) dan dimainkan oleh lebih dari satu orang dan layar putihnya panjang sekali. Saya sendiri menikmati pertunjukan wayang Kamboja ini justru di Jakarta dan belum pernah menyaksikan langsung di tempat asalnya. Malam itu, -disaat semua orang sedunia menyaksikan pernikahan agung Pangeran William dan Kate Middleton di London-, saya justru menikmati cultural performance dari Kamboja di Jakarta, hehehe…

Selain itu di Kamboja juga memiliki tarian tradisional yang dilakukan berpasang-pasangan dengan menggunakan tempurung kelapa yang saling diketok satu sama lain, seperti tarian tempurung di Indonesia. Pernah lihat?

Nah, siapa diantara kita yang suka kerokan ketika sedang ‘masuk angin‘? Kebiasaan turun temurun dari para leluhur yang dikenal dengan sebutan kerokan itu ternyata dikenal juga lho di Kamboja. Meskipun namanya bukan kerokan, melainkan goh kyol.

Dan bertemu teman-teman Indonesia…

Di Kamboja, saya memiliki teman-teman baru yang memiliki keterikatan yang kuat dengan Kamboja. Entah yang seperti saya yang sekedar berkunjung, atau mereka yang bekerja di sana. Apapun itu, mereka adalah orang-orang hebat. Dan bukan di kedutaan kami bertemu, melainkan di sebuah warung. Warung Bali di Phnom Penh, tepatnya. Tempat itu sudah seperti kedutaan Indonesia yang tak resmi, yang berlokasi sangat strategis karena hanya selemparan batu dengan Museum Nasional dan Royal Palace serta tempat hang-out di sekitaran kawasan riverside di Phnom Penh. Dan jika beruntung, kita bisa berdiskusi hangat di sana sambil diselingi humor. Rugilah kalau ke Kamboja tidak sempat mampir ke Warung Bali. Makanannya enak-enak dan lidah bisa istirahat sejenak dari berbahasa Inggeris terus di sana…

Terlepas dari berita-berita negatif tentang Kamboja yang dialami pejalan dari Indonesia, seperti penjambretan tas di tuktuk, atau korupsi kecil-kecilan di perbatasan, atau kesan ‘Kamboja itu gak ada apa-apa’, atau ‘negara miskin’, bagi saya pribadi Kamboja tetap menjadi negara yang akan saya datangi secara rutin di kemudian hari selama Tuhan mengizinkan. Dimanapun kita harus tetap waspada dengan barang-barang kita sendiri. Dan soal korupsi, selama negara sendiri belum bebas sepenuhnya dari kata itu, sebaiknya kita tak menunjuk negara lain, karena meskipun hanya satu noktah, kita terpapar juga.

Lagi pula bagi saya, berkunjung ke negara lain itu untuk mencari makna perjalanannya sendiri dan bersyukur punya negara sendiri serta bukan menjadi sebuah pertandingan untuk banyak-banyakan stamp imigrasi (Lhaa… kalau mau banyak-banyakan, bisa susun itinerary 1 hari 1 negara, atau langsung terbang lagi setelah dapat stamp, sampai mabok! 😀 😀 😀 )


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-31 ini bertema Cambodia agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – The Mirror Of Nature


Last month I visited Angkor Wat in Cambodia for the umpteenth time. Angkor Wat is the place in the world which I feel I belong to; a place for recharging my energy. No matter how many other beautiful places I visit, I always feel the magical spark in me when I stand in the ancient walkway of Angkor Wat. I feel so comfortable to walk along the cozy corridors or the surrounding forest which perhaps, nothing special for other person.

DSC043621
Another Sunrise in Angkor Wat

So, it was early morning of Khmer New Year, -it’s in the mid of April-, and I found myself standing in front of a small pond in Angkor Wat. I joined the other people to watch beautiful sunrise there before I enjoyed my walk in the lush forest around it.

The small pond in southern part of main entrance is different to the similar pond in northern part which is full of lotus. This time I felt so lucky with the small water in it. Just perfect as a mirror of the nature with its majestic temple. I could see the small ripple of water when something disturbed it. Totally perfect for me. Right place, right moment.

Like water which can clearly mirror the sky and the trees only so long as it surface is undisturbed, the mind can only reflect the true image of the Self when it is tranquil and wholly relaxed.

Cambodia – Finally Sambor Prei Kuk


Ada rasa haru ketika kaki akhirnya menjejak tanah di kompleks Sambor Prei Kuk, sebuah kompleks percandian yang lebih tua daripada Angkor, yang berada di wilayah Kompong Thom, sekitar 200 kilometer Barat Laut Phnom Penh. Ah, bumi Kamboja memang penuh monumen kuno yang selalu memanggil saya untuk datang… 

*

Sambor Prei Kuk, memang lebih jarang dikunjungi oleh pengunjung Angkor, mungkin karena lokasinya yang ‘nanggung’, – dipertengahan jarak antara Siem Reap dan Phnom Penh -, ditambah dengan kondisi tak banyak obyek wisata lain yang terlalu menarik untuk dikunjungi. Mungkin hanya diminati oleh para penggemar candi, seperti saya misalnya 🙂

Prasat Tao atau Prasat Boram (Group C – Tengah)

Diiringi suara khas desir angin pagi diantara pepohonan, saya melangkah melewati pagar pembatas kuno dan merasa disambut hangat di candi yang justru paling akhir dibangun, sekitar abad-9 atau awal abad-10 oleh Raja Jayavarman II yang dikenal sebagai penguasa pertama kerajaan Angkor. Prasat Boram oleh penduduk lokal biasa disebut Prasat Tao yang artinya singa, karena memang di tiap sisinya terdapat sepasang arca singa walaupun hanya tinggal satu sisi yang masih lengkap.

Decor on top of the door at Prasat Tao

Walaupun kini Prasat Tao hanya tinggal sendiri karena candi-candi kecil sekitarnya telah runtuh, menyisakan gundukan tak berbentuk, Prasat Tao tampak anggun seperti bermahkota tumbuhan liar hijau. Sisa kecantikan bangunan abad-9 dengan ketinggian 20 meter ini masih terasa dengan adanya sisa hiasan pada dinding dan pintu. Pada masa jayanya pastilah indah. Terlihat para ahli restorasi bersusah payah membuat replika hiasan dari bahan modern semirip aslinya, – yang serupa di candi abad-9 di Phnom Kulen -, walaupun hiasan itu terasa janggal, tak cocok waktu.

Mata saya langsung mengarah pada sepasang singa penjaga pintu yang duduk dengan kaki depan tegak, kepala menghadap depan dengan mulut membuka, terlihat sangat gagah dan kokoh. Kedua singa itu memiliki surai ikal yang amat cantik. Sebenarnya di keempat sisi lainnya ada juga pasangan singa, namun kini hanya tinggal cakarnya saja atau bahkan hilang sama sekali karena diambil paksa oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Lalu seakan meminta izin dari singa sang penjaga, saya melangkah masuk ke ruang dalam candi yang luas namun kosong. Sinar matahari masuk melalui lubang lebar di puncak bangunan, menjadikan situasi yang eksotis. Entah puncak itu memang sejak awal berlubang atau tertutup dengan bahan lain, tak pernah diketahui. Tepat di bawahnya berseberangan dengan pintu masuk, terdapat sebuah altar sederhana berisi arca kecil Buddha. Walaupun sejarah mencatat Sambor Prei Kuk didedikasikan kepada Dewa Shiva sebagai salah satu dewa utama Hindu, tempat-tempat yang dipercaya sakral oleh penduduk lokal masih difungsikan sebagai tempat untuk melantunkan doa dan pujian sesuai kepercayaannya kini.

Tak lama kemudian, saya melangkah keluar dan berbisik pada singa penjaga lalu melanjutkan langkah ke group lain di kompleks candi itu, meninggalkan Prasat Tao yang diam berdiri sendiri dalam hening.

Prasat Yeai Poeun (Group S – Selatan)

Kerumunan anak kecil dengan rayuan maut ‘One Dollar’ diusir dengan kasih sayang oleh pemandu saya. Ia, yang juga menjadi salah satu tenaga konservasi, menunjukkan saya jalan menuju Prasat Yeah Puon melalui jalan setapak. Tak perlu bahasa Inggeris sempurna, cukuplah ditambah bahasa tubuh dan senyum universal, komunikasi saya dengannya bisa terjalin hangat. Desir angin lagi-lagi mengantar saya di bawah rindangnya pepohonan, menyusuri pagar bata kuno –di satu sisi panjangnya mencapai 250meter dan sisi lainnya hingga 2 km-, yang menjadi saksi bisu perjalanan waktunya.

Octagonal Shrines with Flying Palace, Sambor Prei Kuk

Tak lama berselang saya melihat lima bangunan candi bata berbentuk segi delapan, yang kondisinya tak jauh beda dengan Prasat Tao bahkan mungkin lebih mengenaskan karena dibantu besi-besi penopang.  Mata ini dimanjakan dengan bentuk oktagonalnya yang merupakan arsitektur Khmer yang luarbiasa unik, tak ada lagi di tempat lain. Pada tiap sisinya terdapat dekorasi Flying Palace, -sebuah dekorasi yang menggambarkan istana dewa-dewi beserta isinya-, yang masing-masing berbeda di tiap bangunan, namun sayang sudah tak begitu jelas lagi karena dimakan waktu. Padahal menurut literatur, banyak penggambaran makhluk-makhluk khayangan yang tak biasa di dekorasi itu, termasuk kuda bersayap!

Selepas itu, saya melangkah memasuki bangunan yang berada tepat di depan candi utama, yang disebut Mandapa. Bangunan yang masih direnovasi karena rusak berat akibat hujan berkepanjangan di musim monsoon tahun 2006 lalu, dulunya merupakan tempat penyimpanan arca perak Nandi, kendaraan Dewa Shiva. Walaupun keberadaan Nandi perak itu tak lagi diketahui, ada yang menarik di Mandapa ini. Di dalam bangunan bata ini terdapat struktur sandstone, bukan bata, yang penuh dengan hiasan dan inskripsi abad-7 yang menyatakan Raja Isanavarman I telah mengalahkan dinasti Funan dan mendirikan bangunan ini.

Tetapi tak hanya itu, uniknya lagi, terdapat ukiran kepala yang disebut Kudu, yang diduga serupa dan sejaman dengan aliran budaya Hellenisme! Serta merta sebuah pertanyaan terbersit keluar, benarkah ini? Jelas sekali hiasan ini terpengaruh oleh budaya India, tetapi bukannya tidak mungkin pengaruh juga datang dari negeri-negeri yang lebih Barat? Hellenisme di Kamboja pada abad-7… wow!

Masih terkagum dengan kenyataan Hellenisme di Kamboja, saya menuju bangunan utama Prasat Yeai Poeun yang tingginya mencapai 25 meter dengan puncak terbuka. Saya berlama-lama di ruang itu, menikmati setiap hiasan pedestal yang teramat cantik walau hanya berupa rekonstruksi. Pedestal besar tempat Lingga Yoni didirikan, mengandung inskripsi yang menyatakan ada Arca Emas Dewa Siwa yang Tersenyum didirikan diatasnya. Tapi ah, rasanya mustahil melihatnya karena hingga kini arca itu tak ketahuan bentuk dan keberadaannya.

Sebelum meninggalkannya, saya berdiri diam menghadap grup Prasat Yeah Puon ini. Sambor Prei Kuk yang terdaftar sebagai Tentative List of UNESCO World Heritage Site ini turut menjadi korban alam dan keganasan perang. Tak sedikit bangunan bersejarah hancur ditelan waktu dan juga terkena bom-bom oleh pasukan Amerika saat perang dulu sehingga tak heran, kawah-kawah bom ada disana sini.

Saya melangkah menuju sebuah lempeng batu rekonstruksi yang berbentuk lingkaran dengan ukiran yang cantik yang lokasinya tak jauh dari bangunan candi yang sebagian dindingnya berselimut akar-akar pohon. Eksotis!

Decor on an upper part of circle pedestal
Decor on the lower part of circle pedestal

Prasat Sambor (Group N – Utara)

Kelompok candi terakhir yang saya kunjungi adalah Prasat Sambor yang terletak di bagian Utara dan merupakan group terbesar di kompleks Sambor Prei Kuk karena dinding pembatas luarnya hampir 400 meter dan sisi lainnya mencapai 2 kilometer. Prasat Sambor yang dibangun oleh Raja Isanavarman I di kota Isanapura ini diyakini menjadi candi utama Kerajaan Chenla.

Prasat Sambor, the 7th century main temple

Saya tergerak menuju sudut yang tadinya berdiri sebuah bangunan namun kini hancur tinggal dinding bawahnya saja, di tengahnya terdapat linggayoni. Sungguh miris rasanya melihat peninggalan-peninggalan sejarah terbengkalai di ruang terbuka terkena panas dan hujan. Kemudian saya melanjutkan menuju sebuah bangunan bata lain yang juga telah dihiasi tumbuhan liar disana sini. Didalamnya terdapat arca yang sangat menawan. Dewi Durga! Apalagi sinar matahari datang dari lubang atas yang berlatar batu bata merah. Eksotis sekali, walaupun arcanya merupakan replika (arca asli tersimpan aman di museum).

Menyusuri pinggir Prasat Sambor, di sudut lainnya saya memasuki bangunan yang berisikan arca Harihara yang menurut tradisi Hindu merupakan Dewa Shiva dan Dewa Vishnu dalam satu sosok. Walaupun hanya berupa replika, -aslinya dapat dilihat di Museum Nasional di Phnom Penh-, arca Harihara terlihat eksotis dengan sinar matahari dari atas dilatari bata merah.

Matahari sudah tinggi ketika saya selesai mengelilingi Prasat Sambor. Tinggal tersisa candi utama yang berada di tengah-tengah. Saya mendekati Candi Utama sambil melihat masih banyak dudukan lingga-yoni berbentuk bundar atau segi delapan yang terserak di sekitaran candi.

Selayaknya bangunan utama, ia berdiri sendiri di atas teras tanpa pepohonan pelindung lagi. Matahari terasa memanggang tanpa ampun. Tak ada pilihan lain kecuali segera menaikinya untuk berteduh sejenak dari sengatan matahari. Uniknya, candi utama ini memiliki pintu di empat sisinya. Di tengahnya terdapat dudukan Lingga-yoni (yang ditemukan dalam pecahan di sekitar candi), dengan diameter lubang lebih dari 1 meter! Sangat besar! Tak terbayangkan besarnya arca Gambhiresvara yang menurut inskripsi didedikasikan di candi ini, namun sayang hingga kini tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang bentuk dan keberadaannya.

Main pedestal Prasat Sambor with 1 meter diameter

Saya masih mendapat bonus dari kunjungan saya di Sambor Prei Kuk untuk menyaksikan Prasat Chrey yang seakan dipeluk erat oleh akar-akar pohon, terlihat sangat melindungi. Di kompleks Sambor Prei Kuk ini saja ada dua bangunan yang diliputi penuh dengan akar pohon, belum terhitung di Koh Ker atau seperti yang terkenal di Ta Prohm dan ditempat-tempat lainnya.

Rasanya selalu berat meninggalkan sebuah kompleks percandian, tetapi saya harus melanjutkan perjalanan. Seperti juga hidup, ada saat berjumpa, bersama dan tak boleh lupa waktunya berpisah. Sambil berterima kasih dalam hati saya melambaikan tangan pada kompleks Sambor Prei Kuk.

Weekly Photo Challenge – Partners


The magical moment of two birds
The magical moment of two birds

One beautiful morning in front of Royal Palace, Phnom Penh, Cambodia. Whether there’s a celebration of something or not, all the birds are free to live and fly. At that time I was just sitting and walking on the bank of Mekong River just to feel the morning breeze. People were jogging and exercising while the birds were flying here and there.

Suddenly a magical moment I saw above my head, two birds with harmonious flying. Ah, I was so blessed being able to capture the great moment.

Beyond even the darkest clouds, the wide open blue sky goes on forever.

Trust, let go and allow yourself to take flight.

So fly! Only then can you soar.

(Martta Karol)

*

I select this one as my contribution to the Daily Post Weekly Photo Challenge with the topic of this week: Partners

 

 

WPC – Admiration of the Asian Heritages


Been to lots of historical temples in my country since I was kid, made me admiring of the heritage sites, especially temples. When I was in a temple as a kiddie tourist, my mind was full of imagination of the life of people, the communities, their culture and the kingdoms around that time, and the relationships between the kingdoms as well…

As time go by, I can’t help myself not to go to the heritage sites in neighboring countries. With the same curiosity and eagerness seeing the temples, finally I visited to the heritage sites of the related kingdoms in South East Asia. And there I was still imagining the life of people and their culture during the temples’ golden era.

From Indonesia, the Borobudur…

IMG_5394
A guy performs a Pradaksina, the rite of clockwise circumambulating in Borobudur, World Heritage Site in Indonesia

to Cambodia, the Angkor Wat…

IMG_0223e
Sunrise at Angkor Wat – World Heritage Site in Cambodia

Also Preah Vihear, a world heritage temple in Cambodia, near the border to Thailand…

P1020784
Preah Vihear, World Heritage Site in Cambodia

Then to Thailand, the kingdom of Ayutthaya

IMG_7391
Ayutthaya at Night, World Heritage Site in Thailand

Also Sukhothai in Thailand

IMG_6621
Sukhothai – World Heritage Site in Thailand

And to temples of Bagan in Myanmar…

IMG_3370a
Beautiful Heritage Site in Bagan, Myanmar

Then the unforgotten My Son Champa ruins in Central Vietnam

P1030780
My Son, Champa ruins – World Heritage Site in Vietnam

And recently, last week exactly… Wat Phou in Lao PDR

IMG_1172
Wat Phou Champasak, World Heritage Site in Lao PDR

In response to the Daily Post Weekly Photo Challenge with the topic of Admiration

WPC – Eye Spy in Angkor Wat


A young monk in the window of Angkor Wat
A young monk in the window of Angkor Wat

It was my first time exploring Angkor Wat, several years ago. Walking along the corridor of the inner gallery of this majestic temple, I felt so excited. I found fewer tourists in this area, perhaps it was April, the hottest month in Cambodia. I did not want to be burnt by the heat in the open area of Angkor 🙂 that’s why I walked and captured the beauties of the temple in the morning a little bit in hurry like I raced with the heat of the sun.

And about the photo I submit for this challenge…

Actually I wanted to take a photo of Angkor Wat’s window which has small stone-columns décor and a sitting young monk in orange robe facing outside of the temple as the background. But at the time I pushed the button; he was turning his head and looking at me… and Ta Daaa…

Inspired by the theme of Daily Post Weekly Photo Challenge – Eye Spy

WPC – Be Careful


Be Careful!

It was the automatic words came out from my local guide when he saw me sitting easily on the edge of the cliff with feet hanging in the air. His face expressed the fear that I might fall down. But slowly he accepted the fact that I was more insane than he thought hahaha…

P1020863

At that time I enjoyed being the only tourist at Prasat Preah Vihear, a UNESCO World Heritage Site in northern part of Cambodia. It’s a very remote temple with limited access compared to the majestic Angkor Wat complex. And not only that. For making it worse, at that time, Prasat Preah Vihear was still in conflict zone, a true military clash could be happened at any time.

Well, for a temple-lover like me, it’s really a challenge. I did a quick research about the safety before visiting the 11th century Hindu temple which is located in the disputed area. But finally my dream to see the temple and the beautiful scenery from the Dangrek Mountains wins over the lengthy dispute. I had to go there.

And after walking around the temple, seeing the holes on temple walls because of the previous line of fires and military clash, then I sat on the edge of 600 meters cliff with feet hanging in the air, and not only that, I watched the sunset there…

*

This is my post as a contribution of The Daily Post’s Weekly Photo Channel with the theme: Careful and also the theme on 23rd January: Express Yourself

WPC – Lotus from Every Angle


When I visited Silver Pagoda in Phnom Penh, Cambodia 2 weeks ago, I saw this beautiful flower. A lotus. I could not help myself not to capture it with my pocket camera. Well, here is my submission to this week’s photo challenge with the theme From Every Angle.

and another one…

Lotus from the height level
Lotus from the height level