Myanmar2 – Menikmati Golden Rock


Setelah terik matahari di Mon State ini terasa mereda, saya mulai melangkah keluar hotel dan berjalan kaki menuju lokasi Golden Rock yang letaknya hanya selemparan batu. Jalannya cukup bagus, tetapi yang membuat saya terpana saat berada di luar adalah banyaknya orang yang akan beribadah. Selalu seperti inikah? Saya bertanya-tanya dalam hati, teringat juga penuhnya Shwedagon saat saya ke sana tujuh tahun yang lalu. Golden Rock, serupa dengan Shwedagon, merupakan salah satu dari kuil-kuil sakral di Myanmar. Tetapi aduh, kepadatan ini, pastinya menjadi tantangan tersendiri untuk memotret di Golden Rock.

DSC07515
The Gate and The Chinthe

Saya sampai di gerbang dengan sepasang chinthe besar, -patung menyerupai singa-, yang dibuat indah sebagai penjaga kesucian kawasan. Seingat saya, kisah klasik tentang chinthe berawal dari Mahavamsa, sebuah epos dari Sri Lanka.

Konon, seorang Putra dilahirkan dari pasangan putri bangsawan dan seekor singa. Namun sejak ditinggalkan selama bertahun-tahun, singa menjadi marah dan menyebar terror ke seluruh negeri. Sang Putra maju untuk menghentikan terror dan berhasil membunuh singa itu. Sesampainya di rumah sambil mempertontonkan singa yang berhasil dibunuhnya itu, barulah Sang Putra tahu sesungguhnya singa itu adalah ayahnya sendiri. Dengan penyesalan yang sangat dalam, Sang Putra lalu membangun patung singa untuk menjaga kuil sebagai penebusan dosanya.

Keberadaan Chinthe menunjukkan batas suci, sehingga saya harus menanggalkan alas kaki dan tentunya berpakaian sopan, sesuai peribahasa kita, Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Melangkah tanpa alas kaki sudah menjadi pemandangan biasa di Myanmar, meskipun kuil yang akan dijelajahi itu luas sekali.

StoneBoatPagoda
Kyaukthanban Pagoda or the Stone Boat Pagoda

Belum lama berjalan, saya sudah sampai pada Stupa Kyaukthanban atau yang dikenal dengan nama Stupa Perahu Batu. Berbentuk perahu di atas sebuah batu besar, batu ini memiliki kaitan dengan kisah legenda Golden Rock. Menariknya, selain bisa melihat Golden Rock dalam jarak 300 meter, di bawah batu besar ini terdapat beberapa stupa mini yang sepertinya diletakkan oleh para peziarah, yang membuat saya mengingat kembali kisah legenda Golden Rock.

GoldenRockFar
Golden Rock from a far

Konon, Buddha memberikan sejumput rambutnya kepada seorang pertapa bernama Taik Tha. Sang pertapa, yang telah menyelipkan rambut Buddha di kepalanya, kemudian memberikannya kepada Raja, untuk disimpan dalam sebuah batu emas yang berbentuk seperti kepala pertapa itu. Sang Raja yang memiliki kekuatan gaib warisan dari ayahnya yang bernama Zawgyi, seorang ahli alkimia, dan ibunya yang merupakan seorang putri naga ular, menemukan batu yang dimaksud di dasar laut. Dengan bantuan Raja Surga dalam kosmologi Buddhis, batu itu bisa ditempatkan secara sempurna di Kyaiktiyo untuk selanjutnya dibangunlah sebuah Pagoda. Menurut legenda, sejumput rambut itulah yang menjaga agar batu tak terguling dari bukit. Dan perahu yang digunakan untuk mengangkut Golden Rock, juga telah berubah menjadi batu. Batu berbentuk perahu inilah yang kini dikenal dengan Stupa Kyaukthanban atau stupa perahu batu, terletak 300 meter dari posisi Golden Rock.

Menjelang Golden Rock itu sendiri, terdapat bangunan-bangunan yang mungkin merupakan rumah-rumah ibadah dan tempat tinggal dari para monk. Bangunan-bangunan itu terlihat sangat menawan, apalagi warna-warnanya kontras dengan birunya langit. Saya suka dengan ornamen-ornamen yang ada.

Setelah mengambil foto bangunan-bangunan itu, selagi melanjutkan langkah ke Golden Rock yang berada 1100 meter (3615 ft) di atas permukaan laut, saya melihat patung-patung yang –maaf-, sepertinya tidak senada dengan kompleks beribadatan, seperti laki-laki kekar layaknya Indian, laki-laki pemburu. Entahlah, namun bisa jadi semua ini merupakan hiasan perjalanan dan impian masyarakat sekitar.

Tak lama saya sampai pada sebuah pelataran yang diatasnya terdapat beberapa genta yang umum ada di kawasan pagoda Buddha. Genta itu diberi sentuhan tradisional sehingga terlihat keren. Jelang sore itu Golden Rock semakin berkilau, juga perbukitan yang berada di kejauhan tampil berlapis-lapis dan sangat indah.

Buildings
The Buildings In Golden Rock Pagoda complex

Saya semakin dekat dengan Golden Rock. Peziarah terlihat semakin menyemut ke arah Golden Rock. Tak heran, dalam hal kesakralan Golden Rock menempati urutan ketiga setelah Shwedagon di Yangon dan Mahamuni di Mandalay. Karena banyaknya peziarah, untuk sampai ke pelataran tempat Golden Rock berada, saya harus bergiliran. Uh, rasanya tak mungkin mengambil foto Golden Rock yang bersih tanpa manusia dalam frame.

Selain jam besar hasil pemberian perusahaan Jepang, di pelataran terbuka juga terdapat monumen tinggi yang menjulang sebagaimana biasa di kawasan pagoda di Asia Tenggara. Namun di Golden Rock ini, bagian dasarnya dihiasi empat patung Nat (spirit pelindung khas Myanmar). Dan tak heran bila di dekatnya juga terdapat pohon Boddhi yang rindang. Melihat pohon Boddhi ini, saya teringat saat diberi selendang oleh Biksu di Lumbini, tepat di bawah pohon Boddhi juga.

MalePrayers
Only Male Worshipper can touch the Golden Rock
FemalePrayers
Female Prayers

Pelan-pelan saya mendekat ke Golden Rock yang tingginya sekitar 7 meter itu. Sesuai namanya, batu besar itu benar-benar dilapisi lembar emas (gold leaf) yang ditempelkan hanya oleh peziarah laki-laki. Perempuan dilarang, karena dalam tradisi Buddhist, perempuan tidak boleh menyentuh biksu laki-laki, dan sesuai legendanya, Golden Rock ini dipercaya sebagai kepala biksu (meskipun rasanya saya tak pernah melihat perempuan menempelkan goldleaf di pagoda-pagoda dimanapun di Myanmar). Perempuan yang berziarah hanya dapat beribadah di tempat yang disediakan di bagian bawah atau di pelataran atas.

Tanpa ingin mengganggu mereka yang ingin beribadah, saya melipir ke pinggir. Sebenarnya saya ingin tahu posisi kritis Golden Rock yang terdiri dari dua batu besar yang saling independen itu dan ketika menemukannya, saya terpesona juga. Sekitar setengah bagian dasar Golden Rock itu sebenarnya menggantung dari batu alasnya yang permukaannya miring. Dan luarbiasanya, dari tempat saya berdiri terlihat betapa kecilnya luas batu yang menahan batu besar di atasnya dengan bidang kontak yang miring. Benar-benar awesome jika dilihat dari sisi gravitasi bumi. Pikiran melenceng yang selintas lewat ‘seandainya ada gempa besar’ cepat-cepat saya hapus…

DSC07435
Can You See the Critical Area?

Sebagai turis mata saya terpusat pada Golden Rock itu dan mengamati, tetapi saya harus minta maaf karena tak mampu melihat kemiripan Batu dengan bentuk kepala. Karena sesuai legenda, Kyaiktiyo itu berarti pagoda diatas kepala biksu, (kyaik berarti pagoda, yo berarti membawa di atas kepala dan ithi berarti Biksu).  Entahlah, mungkin saya saja yang bukan pemerhati serius…

GoldenRockDiffloc
Golden Rock on different angle

Saya menikmati sekali berada di kawasan Golden Rock yang batu alasnya dihias serupa bunga lotus meskipun sebagai perempuan akses saya terbatas. Golden Rock merupakan area terbatas dan hanya bisa diakses oleh laki-laki dengan seorang penjaga yang berwajah tegas dan siap mengusir siapapun yang bisa membatalkan kesucian tempat sakral itu. Saya melipir ke tempat-tempat yang diperbolehkan, menyaksikan para penziarah menyalakan lilin, memberikan persembahan, membaca doa dan melantunkan sutra.

Sebuah pemandangan yang menghangatkan hati saat melihat peziarah begitu khusuk berdoa dengan mata tertutup dan penuh pengharapan, tua muda, laki dan perempuan, yang tak berpunya maupun yang berkecukupan. Dan tetap saja ada pemandangan yang menggemaskan ketika biksu-biksu kecil berdoa tanpa bisa melepaskan sifat kanak-kanak mereka yang menyelipkan kesempatan untuk bermain dan bercanda. Pemandangan yang meluluhkan hati.

Worship
An Old Lady’s Offerings
LittleMonks
Little monks

Karena matahari hampir tenggelam, sebisanya saya mengambil tempat terbaik dengan Latar depan Golden Rock dan posisi matahari di sebelahnya. Meskipun saya tak bisa mengambil perbukitan yang berlapis-lapis di bawahnya.

GoldenRockAtDusk
Golden Rock at Sunset

Luar biasa memang sunset di tempat ini.

Setelahnya, saya berkeliling kompleks lagi. Peziarah bukannya semakin sedikit, malah semakin padat. Rupanya mereka menginap di pelataran dan tidur beralaskan tikar berlangitkan bintang-bintang yang sangat indah. Tadinya saya berpikir akan bisa memiliki foto Golden Rock yang sepi, tetapi ternyata saya salah. Wisma, restoran, toko-toko semua penuh peziarah.

DSC07492
Golden Rock At Night

Saya mulai lelah dan ingin beristirahat. Sekali lagi saya membuat foto Golden Rock saat malam dari berbagai sudut. Suasananya memang magis dengan langit kelam dan batu emas yang sangat kontras serta lilin-lilin dan asap dupa yang naik ke udara.

Karena tahu tidak bisa mengabadikan situasi yang hening dan sepi di Golden Rock, saya berjalan balik ke hotel untuk kembali ke Golden Rock esok pagi.

Crowded
From The Afternoon, Evening, Night and Morning, there’s a non-stop crowd

Namun malam itu, melihat kepadatan manusia di pelataran Golden Rock, saya sedikit kehilangan mood untuk keluar melihat matahari terbit keesokan harinya. Meskipun tetap berharap bahwa rombongan peziarah akan pulang sehingga kepadatannya akan berkurang pada pagi harinya. Harapan saya tidak terjadi, yang datang dan yang pergi sama banyaknya. Luar biasa sekali. Sepertinya mereka datang tumplek blek ke Golden Rock dari segala penjuru Myanmar.

Meskipun demikian, saya tetap kembali ke pelataran dan tersenyum pahit melihat banyaknya peziarah yang melantunkan doa dengan khusuk atau hanya sekedar berdoa sambil lalu. Pasrah, akhirnya saya membuat beberapa foto lagi sebelum saya meninggalkan Golden Rock.

DSC07517
Sunrise at Golden Rock’s valleys
Pindapatta
Pindapatta in the morning

Sebelum meninggalkan kawasan, saya melihat ke perbukitan yang ada di bawah. Uh, saya tak terbayangkan melakukan trekking 11 km dari desa terdekat Kinpun ke Golden Rock, yang katanya, jika dilakukan tiga kali dalam setahun akan mendapat berkat kaya dan kehormatan. Dari beberapa blog yang saya baca, kelihatannya jalur trekking yang ada cukup terjal dan berbahaya, meskipun sekarang banyak kuil baru sehingga bisa menjadi alternatif kunjungan. Tetapi, faktor keselamatannya rasanya tidak janji.

Saya kembali ke hotel untuk berberes. Hari ini saya melanjutkan ke Hpa’An dan belum tahu bagaimana saya menuju ke sana, termasuk belum beli tiket. Hari ini pasti seru… dan nyatanya memang begitu…

 

Myanmar 1 – Menuju Golden Rock


Love recognizes no barriers. It jumps hurdles, leaps fences, penetrates walls to arrive at its destination full of hope ~ Maya Angelou

Bisa jadi quote Maya Angelou di atas mewakili rasa perjalanan saya kembali ke Myanmar setelah tujuh tahun. Untuk pertama kalinya saya memilih terbang tengah malam dengan AirAsia ke Yangon via Kuala Lumpur dengan harapan bisa mengejar bus pagi agar sampai di Golden Rock sebelum matahari terbenam. Memang sedikit melelahkan bepergian dari tengah malam hingga jelang malam berikutnya, tapi cinta pada perjalanan sepertinya mampu mengalahkan semua hambatannya. Lagipula saya bisa istirahat di pesawat dan di bus, serta tentu saja menghemat hotel, makan serta kemungkinan belanja karena toko masih tutup ‘kan?

Namun kenyataannya, sayapun terjatuh pada ‘kerikil’ perjalanan. Kesombongan mencintai perjalanan diuji saat boarding tengah malam itu. Tanpa periksa lagi, saya bersikap angkuh, dengan nada tinggi menuntut hak kursi di jendela 16F kepada orang yang sudah setengah tertidur menduduki kursi. Nada tinggi saya membangunkannya dan dengan sebalnya akhirnya ia menunjukkan boarding passnya yang bernomor 17F! Woilaaaa…. Langit rasanya runtuh… ternyata kursi saya terlewati dan kursi saya itu ada didepannya dan kosong!!! Malunya disaksikan satu pesawat itu tak tertahankan! Tanpa pikir panjang saya duduk, menutupi muka dengan jaket lalu pura-pura tidur… 😀

7
Do you see the Cable Cars?

Penerbangan berjalan lancar hingga mendarat di KLIA2. Masih setengah mengantuk, saya menyusuri travelator menuju ruang transfer antar bangsa untuk kemudian melihat gate penerbangan selanjutnya. Sambil berjalan menuju gate saya tersenyum melihat banyak orang tidur meringkuk di sudut-sudut nyaman lantai bandara yang berkarpet atau di kursi-kursi panjang. KLIA2 memang termasuk bandara yang nyaman untuk tidur overnight. Tersedia air panas untuk minum atau sekedar pelarut makanan instan dan yang paling penting bagi saya adalah kamar mandi, yang semuanya gratis.

Tidak ada yang menarik dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Yangon, kecuali kebanyakan saya tertidur dan baru terjaga jelang mendarat. Dan ketika akhirnya roda pesawat menyentuh runway dengan mulus, sekelumit rasa haru meliputi saya. Akhirnya saya bisa kembali ke negeri ini, Pa dan nanti saya akan ke tempat itu…

Rasa haru itu tak lama karena saya terpesona ketika memasuki terminal kedatangan. Bandara ini telah berubah banyak dalam tujuh tahun dan tidak kalah hebatnya dengan bandara-bandara internasional lainnya, bahkan tidak perlu lagi arrival card untuk imigrasi yang layanannya juga cepat. Ah, tiba-tiba saya teringat tujuh tahun lalu harus bolak-balik mengurus visa ke Kedutaan Myanmar di Jakarta dan kini saya melenggang masuk, melewati ban-ban berjalan itu karena saya tidak membawa bagasi.

Dalam sekejap pemandangan laki-laki berlongjyi dan perempuan berkain yang telah begitu lama tidak saya lihat, kini terhampar di depan mata, dimana-mana. Kenangan tujuh tahun lalu menari-nari di benak yang dengan cepat saya hilangkan karena perlu segera ambil uang via ATM yang terletak dekat KFC. Dengan salah satu kartu Bank Swasta Nasional kita, uang dengan mudah keluar. Tujuh tahun lalu, saya harus ketar-ketir menjaga kecukupan Bank Notes USD yang harus keluaran terbaru dan licin karena belum ada jaringan ATM Internasional. Belum lagi money changer terpercaya yang hanya terbatas, kalaupun ada yang lain, nilai tukarnya mengerikan. Betapa sekarang semakin mudah!

Setelah memegang uang lokal Kyat atau MMK, saya menuju konter taksi dan petugasnya langsung memberi harga standar US$ 7 atau 10000 MMK untuk tujuan ke terminal bus Aung Mingalar, yang menurut saya seharusnya bisa lebih murah untuk jarak itu. Tapi sudahlah, bukankah itu juga bagian dari peristiwa-peristiwa yang ada dalam perjalanan?

Karena telah memegang tiket bus Win Express menuju Kinpun yang dipesan online seminggu sebelumnya sebesar US$7.6, pengemudi taksi menurunkan tepat di depan bus dan tempat tunggunya. Saya tak lama menunggu di konter itu karena setelah beberapa menit bus berangkat menempuh perjalanan panjang sekitar 6 jam.

Saya memilih bus Win Express sesuai rekomendasi sahabat Celina yang pernah ke Golden Rock sebelumnya. Menurut penuturannya, banyak turis sebenarnya mau ke Golden Rock tapi mengatakannya ke Mt. Kyaikto, karena memang Golden Rock itu berlokasi di Mt. Kyaikto. Masalahnya, Kyaikto sendiri merupakan sebuah kota kecil yang masih cukup jauh dari Golden Rock dan harus naik bus lagi melalui desa Kinpun untuk mencapai Golden Rock. Sehingga kata kuncinya adalah Golden Rock bukan Mt. Kyaikto untuk menghindari salah komunikasi, atau bisa juga Kinpun.

Nah, meskipun banyak bus lain menawarkan harga yang lebih murah, tapi tidak sedikit yang hanya sampai Kyaikto saja dan cari sendiri transportasi lain ke Kinpun. Bus Win Express ini langsung berangkat dari Yangon ke Kinpun serta jadwalnya sesuai waktu yang saya rencanakan. Menyenangkan kan? Apalagi terus mendapatkan kemudahan hingga bisa berada dalam bus menuju Golden Rock itu, benar-benar anugerah ya…

Tetapi selalu ada kerikil lagi…

Rencana saya untuk melanjutkan tidur di bus langsung batal karena saya lupa beli SIM lokal untuk ponsel. Aduh, dasar saya yang suka lupa umur, pikirannya langsung ke pertanyaan bagaimana agar bisa tetap eksis dan nampang di medsos 😀 😀 😀 Tetapi, ya ampuuun… ketika mengakses aplikasi MyTelkomsel untuk membeli paket roaming, transaksi gagal. Serta merta saya seperti diguyur air es, panik! Dengan hati berat saya ON-kan roaming untuk minta pertolongan dari Indonesia, tetapi semua tidak berhasil. Saya mulai berpikir untuk offline selama perjalanan kecuali ada WIFI. Huaaaa…. :”(

Tetapi saya belum putus asa, mencoba lagi dengan cara lama sebelum adanya apps yaitu dengan cara Unstructured Supplementary Service Data (USSD). Dan… horeee…. Berhasil!!! *Dansa-dansa duluuu… Akhirnya tidak jadi komplen ke provider, yang penting bisa online, kan?

Setelah itu, baru saya memperhatikan keadaan bus yang lay-out kursinya dua-dua ini, ditambah AC yang cukup dingin menjadikan perjalanan selama 6 jam menjadi lebih nyaman. Di tengah perjalanan saat 30 menit break makan siang, saya menuju kios sebelah untuk membeli keripik kentang dan minuman botol. Meskipun terkendala bahasa, transaksi bisa berjalan baik, uang dan barang saling bertukar tempat ditambah senyum lebar tanda saling memahami. Inilah salah satu yang saya sukai dalam sebuah perjalanan, hubungan antar manusia itu tetap bisa terjalin meskipun beda bicara. Dengan saling melempar senyum, berprasangka baik diiringi hati yang terbuka. Indahnya dunia…

1
Lunch Break on the way to Golden Rock

Saat berhenti itu pula saya gunakan untuk toilet break yang mengesankan, karena pintu di toilet perempuan tidak dapat ditutup sempurna sehingga saya cukup was-was saat melakukan ritual itu. Entah apa jadinya jika tiba-tiba pintu dibuka dari luar 😀 Untunglah tak terjadi.

Setelah semua penumpang lengkap, bus melanjutkan perjalanan menuju Kinpun.

Ketika sampai di Kinpun, ternyata bus itu berhenti bukan di terminal melainkan di hotel yang menjadi grupnya. Bersama penumpang lainnya, saya turun dan berjalan kembali ke terminal keberangkatan truk. Truk? Iya, truk yang bagian bak belakangnya dimodifikasi dengan diberi besi-besi melintang ditambah bantalan sebagai dudukan sehingga banyak orang bisa duduk. Penumpang harus naik dulu ke platform tinggi bertangga seperti layaknya mau naik gajah wisata.

Dan jangan salah, di terminal itu jalur truknya tidak hanya ke Golden Rock tetapi banyak juga ke tempat lain dan jangan harap ada tulisan latin! Wajah saya menunjukkan kebingungan tapi banyak juga orang yang mau menolong. Sekali bertanya, saya langsung ditunjukkan truk yang akan ke Golden Rock. Alhamdulillah!

Saya harus membayar 2000MMK atau 2000 Kyat untuk ke Golden Rock karena dengan lembaran uang 5000MMK yang saya berikan, kondekturnya mengembalikan 3000MMK. Saya duduk di pinggir dengan ransel di antara kaki.

2
Onboard the Truck to Golden Rock
3
From Kinpun to Golden Rock
4
From Kinpun to Golden Rock with Sharp Turn

Perjalanan truk ke Golden Rock cukup membuat deg-degan apalagi duduk di pinggir. Saya lebih banyak melihat jurang daripada tanah yang datar. Terutama kalau jalannya menanjak tinggi atau berbentuk tikungan tajam. Saya hanya bisa berdoa, karena tak yakin apakah ada asuransi yang bersedia mencover dengan menaiki truk modifikasi ini. Saya tidak berani membayangkan truk ini terguling. Uh, amit-amit. Tetapi setahu saya, insiden seperti ini rendah sekali atau nyaris tidak ada (meskipun mungkin tidak pernah di-publish atau juga karena saya tidak bisa baca tulisan mereka).

Di tengah perjalanan, truk berhenti di sebuah tempat yang ternyata merupakan tempat minta donasi. Ada lebih dari satu orang laki-laki di bagian depan bicara dengan seru, kelihatannya sedang memberikan penasehatan iman (meskipun pendengarnya banyak yang mengabaikan dan ngobrol sendiri, tapi pada akhirnya mengulurkan juga donasinya). Saya tersenyum sendiri, karena sering melihat peristiwa serupa dengan latar agama yang berbeda.

Truk berjalan lagi melintasi jalan yang berkelok-kelok hingga satu tempat agak terbuka, saya terpesona juga dengan apa yang saya lihat. Ada kereta gantung di Myanmar! Dan truk pun pergi menuju stasion awal kereta gantung itu untuk memberi kesempatan turun bagi penumpang yang ingin menaiki kereta gantung itu. Sebenarnya saya ingin turun tetapi saya tidak tahu tujuan akhirnya. Jadi saya diam saja di truk. Melihat perkembangan transportasi ini, saya merasa sedikit kontradiktif. Di Myanmar ini, sementara saya berada di bagian belakang truk yang dimodifikasi sederhana, ada juga transportasi kereta gantung yang memerlukan teknologi dan pengamanan tinggi.

5
Cable Car view from the Truck

Tak lama kemudian bus melanjutkan perjalanan menuju Golden Rock. Dan setelah beberapa kali badan ini terhimpit oleh ibu-ibu di sebelah saya karena tikungan-tikungan tajam, akhirnya sampai juga saya di terminal akhir Golden Rock. Dengan intuisi seadanya, saya mengikuti saja jalannya penduduk lokal karena seharusnya mereka akan Pagoda juga kan? Sebenarnya nekad juga ya… tetapi entah kenapa saya meyakininya. Dan benarlah, karena kemudian saya mengenali situasi seperti yang saya lihat di google street dan youtube. Horeee…

Setelah beberapa langkah, saya sampai pada tempat tiket masuk. Sebagai foreigner, saya dikenakan 10000MMK untuk masuk ke pelataran Golden Rock lalu diberikan kalung bertanda tamu asing yang sampai pulang saya tidak kenakan. 🙂 🙂 Bagi penduduk lokal, tidak dikenakan biaya masuk.

Tidak jauh dari tempat tiket, sampailah saya pada hotel yang telah saya pesan. Sebenarnya bisa saja tidak menginap di Golden Rock, tetapi buat saya, menyaksikan matahari tenggelam di Golden Rock itu must-see dan jika memungkinkan juga saat matahari terbit. Lagi pula, truk terakhir turun jam 5 atau 6 sore sehingga dengan menginap saya memiliki kebebasan untuk menjelajah sepuas hati.

Setahu saya hanya ada tiga hotel di sekitaran Golden Rock yaitu Mountain Top Hotel, Kyaikhto Hotel dan Yoe Yoe Lay Hotel dan semuanya terasa kemahalan untuk fasilitas yang disediakan. Tetapi tidak bisa mengajukan complaint karena mahalnya itu disebabkan oleh nilai dekatnya jarak dengan Golden Rock. Jika tidak mau mengeluarkan uang, mungkin bisa saja tidur di lantai pelataran pagoda 🙂 Tetapi maaf ya, saya tidak tahu pasti apakah foreigner boleh tidur di pelataran pagoda seperti penduduk lokal. Bagaimanapun menginap kemahalan di salah satu hotel itu pasti ujung-ujungnya adalah ada harga, ada barang ‘kan? Sunset, bintang bertaburan saat malam dan sunrise, serta kebebasan untuk menjelajah… mungkin bagi saya menjadi faktor penting yang tidak bisa diabaikanbegitu saja…

<Bersambung>

Ketika Semua Terasa Sempurna di Bangkok


Bagi saya pribadi, Bangkok selalu menjadi salah satu kota untuk recharge mood. Bukan saja karena selalu ada yang bisa dinikmati di kota itu, tetapi Bangkok merupakan destinasi solo-trip pertama saya bertahun-tahun lalu. Pengalaman pertama jalan sendiri dengan segala rasa campur aduk cemas, kuatir,  optimis, waspada, deg-degan, ingin tahu, gembira dan bahagia yang menjadi satu, selalu menimbulkan kesan tersendiri yang tak terlupakan. Sehingga di kala mood berada di level rendah, kembali ke Bangkok jadi salah satu cara untuk lebih hidup.

Dan demikianlah, setelah terus menerus berada di rumah sakit untuk perawatan ibu yang patah bonggol sendi pinggul serta drama tak penting yang terjadi belakangan ini, saya memutuskan kembali ke Bangkok untuk mencari pembenaran saya perlu liburan 😀

Bangkok with the BTS

Sebenarnya rencana akan dilakukan sekitar pertengahan November, tetapi gara-gara bisikan jiwa :-), saya memajukan ke awal bulan November. Itupun tiket pesawat baru dibeli H-1 dan hotelnya dipesan pada hari H. Tetapi seperti kata Carl Jung, In all chaos there is a cosmos, in all disorder a secret order, maka saya pun menari bahagia dalam kekacauan itu dan mendapatkan keindahan yang bagi saya terwakili oleh satu kata: sempurna!

Sejatinya saya tidak mengerti 100%, mengapa tiba-tiba mengubah perjalanan ini. Terbersit harga tiket pastilah mahal, tetapi lagi-lagi saya dapat harga yang pantas (tidak murah juga sih) tetapi minimal masih memadai untuk ukuran mendadak. Dan pada saat web check-in saya sudah siap menerima penempatan kursi yang diatur acak. Tetapi ternyata baik penerbangan pergi maupun pulang saya dapat window-seat, tanpa beli bahkan kursi sebelah kosong pada penerbangan pulang! Aha, tangan-tangan tak terlihat bekerja keras untuk saya rupanya.

Pada hari-H selepas imigrasi bandara, saya masih memikirkan kepastian penginapan di Bangkok karena reservasi sebelumnya selalu gagal. Sebagai pejalan yang tidak pernah mau mengisi asal-asalan alamat pada kartu kedatangan (di negara manapun sih), saya menghargai  aturan keimigrasian Thailand atau dimanapun destinasinya.  Apalagi, -karena sesama ASEAN-, Thailand memberi visa exemption ke pemegang paspor Indonesia.

Jadi saya coba reservasi lagi hotel yang semalam gagal, namun tetap saja gagal walaupun kamar masih tersedia. Aneh! Namun mengingat suami minta untuk menginap di hotel yang baik, akhirnya saya memesan hotel lain yang sejak dulu ingin sekali saya coba walaupun harganya mahal (untungnya kali ini suami tercinta berkenan menambah dana :p ). Dalam sekali reservasi, pemesanan hotel lain itu berhasil. Yaaiy!

Lalu ketika boarding, saya sudah mempersiapkan diri tidak ada tempat sisa di kabin atas karena diambil penumpang lain dan benarlah! Saya tidak mau pusing dengan kebiasaan penumpang lain itu, maka saya jejalkan saja ransel ke bawah kursi lalu bersiap tidur. Dan berulang untuk kesekian kalinya, saya jatuh tertidur dan terbangun lagi, pesawat masih dalam antrian mendapatkan ijin lepas landas. Tertidur lagi, terbangun lagi, entah kapan terbangnya.

Bahkan mata saya terus terasa lengket selama tiga jam penerbangan ke Bangkok untuk menggantikan kekurangan jam tidur sebelumnya hingga saat roda pesawat menyentuh landasan bandara Don Mueang. Rasanya saya masih mengumpulkan nyawa saat pesawat akhirnya berhenti, lalu tontonan itu langsung terpampang jelas. Hampir semua orang langsung sigap membuka sabuk keselamatan walaupun lampu tandanya masih menyala, lalu berdiri membuka kabin atas dengan tangan-tangan bersliweran di atas kepala mengambil tas-tasnya tanpa peduli kepala-kepala yang dilewati. Kebanyakan ingin menjadi nomor satu keluar dari pesawat seakan-akan bisa dapat piala untuk itu. Bahkan prosedur buka pintu pesawat pun belum dimulai, tetapi lorong telah penuh orang yang tak sabar, mengabaikan aturan untuk tetap duduk, tak sedikit yang berisik, kadang tetap merangsek ke belakang untuk mengambil tas memaksa melewati orang lain, entah berapa nilai ketertiban kita dari skala 10.

Menjejak kembali di Bangkok, saya menuju pintu keluar nomor 6 lalu menaiki bus A1 berwarna kuning yang menuju Stasiun BTS Mo Chit dengan tiket seharga 30THB, kemudian melanjutkan perjalanan dengan BTS ke Siam. Ah, kembali ke kota yang penuh senyum!

Dan akhirnya saya paham mengapa gagal terus di pemesanan hotel sebelumnya yang membingungkan itu. Karena pada saat saya check-in, manajer hotel itu berkenan upgrade kamar saya. Saya tak percaya! Benar-benar luar biasa! Hadiah! Saya gagal reservasi di hotel pertama yang cukup baik, tetapi Pemilik Semesta berkenan memberikan kesempatan menginap di hotel lain, hotel idaman saya, bahkan di kelas yang lebih tinggi, di lantai-lantai teratas. Ah, rejeki memang bisa datang dari mana saja. Sesuatu yang tidak dapat diraih, digantikan dengan hadiah yang lebih baik. Keajaiban itu berulang. Lagi! Dia yang selalu memenuhi janji, yang selalu setia…

Di kamar, saya beristirahat sambil memesan room service karena lapar namun terlalu malas untuk keluar. Jauh-jauh ke Thailand dengan begitu banyak makanan enak, saya tetap saja memesan Nasi Goreng Indonesia 😀 tetapi memang kali ini berbeda dengan biasanya karena saya ingin menikmati liburan singkat tanpa dikejar target destinasi.

Tetapi setelah ‘diingatkan’ akan tujuan awal ke Bangkok, dengan menggunakan tuktuk saya menuju Sanam Luang, tempat kremasi mendiang Raja Bhumibol Adulyadej yang telah dilakukan bulan Oktober lalu. Saya turun di kawasan Grand Palace. Lagi-lagi saya beruntung karena tidak ada antrian disitu. Paspor yang sudah disiapkan ternyata tidak diperiksa sama sekali oleh polisi. Bisa jadi karena wajah saya mirip lokal 🙂

Grand Palace at Sunset

Matahari yang telah condong ke Barat memburatkan sinar keemasan menjadikan kawasan Grand Palace semakin cantik dengan bentuk atap tradisionalnya yang khas. Saya masih menikmati situasi hampir senja ketika tiba-tiba petugas-petugas berseragam menyebar menyuruh publik mengosongkan jalan dan berkumpul di trotoar. Tanpa disuruh dua kali saya mengikuti semua orang melipir dan duduk di trotoar seperti orang lokal tanpa mengetahui yang akan terjadi.

Hebatnya rakyat Thailand, mereka duduk diam hingga saya mengikutinya. Hening, sama sekali tidak bicara. Tiba-tiba seorang petugas di belakang saya meminta seorang laki-laki, -bergaya turis-, yang sedang berdiri untuk duduk. Turis itu bersikukuh untuk tetap berdiri. Wajah-wajah lokal mulai memperhatikannya sehingga petugas itu perlu menjelaskan bahwa Raja akan lewat sehingga seluruh yang hadir diminta untuk melakukan penghormatan.

Saya tersenyum terhenyak mendengar penjelasan itu. Yang Mulia Raja Maha Vajiralongkorn atau Rama X akan lewat! Saya langsung terdiam menyusuri lorong kalbu, berterimakasih akan setiap kesempatan dan ‘hadiah’ yang dilimpahkan serta mencoba memahami alasan saya di’undang’ secara mendadak pada akhir pekan ini dan bukan pada jadwal yang saya rencanakan. Tidak semua orang bisa berada di waktu tepat dan diantara masyarakat lokal saat Raja mereka lewat. Ini kesekian kalinya saya berkesempatan melihat rombongan Raja, setelah bertahun-tahun lalu beberapa kali berkesempatan serupa di Kamboja.

Tanpa terasa mata mengabur haru. Dia Yang Maha Baik melimpahkan begitu banyak kejutan manis dalam keseharian saya, juga menyerakkan hikmah dan makna seseorang yang akan lewat, seorang Raja yang memiliki tanggung jawab besar sejak dilahirkan agar bisa mengayomi seluruh aspek kehidupan di negerinya. Pembelajaran singkat itu, -dan karena hanya ada seorang Raja di Thailand diantara sekian puluh juta rakyatnya-, membuat saya yang duduk bersimpuh di trotoar turut mengatupkan kedua tangan di depan wajah sebagai penghormatan kepada Raja ketika rombongan lewat. Semua bersikap sama, tanpa ada yang berupaya mengambil foto, paling tidak itu yang terjadi di sekitar saya.

The Crematorium

Setelah rombongan Raja berlalu, barulah saya mengikuti ratusan orang lokal berbondong-bondong menuju pintu masuk, menerima minuman kemasan yang dibagikan gratis, ikut tergopoh-gopoh dalam antrian, kadang saya dirangkul seorang ibu dengan senyuman, lalu duduk menunggu di tempat yang disediakan, padahal tak ada satupun kata yang saya mengerti. Namun semuanya tertib, sehingga tak lama setelahnya saya sudah berada di dalam area Phra Merumas (Krematorium Kerajaan).

Saya hanya bisa terpana dengan yang ada di depan mata. Megah dan luar biasa cantik. Tidak percaya, karena semua kemegahan ini hanyalah sementara. Bagi mereka yang percaya, semegah apapun, namun membiarkan tempat perabuan tetap berdiri akan membawa ketidakbaikan. Bukankah hidup ini hanyalah sementara? Awalnya pada akhir bulan November seluruh bangunan utama krematorium dan bangunan pendukungnya akan dirobohkan, tetapi akhirnya Raja memberi ijin untuk memperpanjang hingga akhir tahun ini.

Tradisi mendirikan tempat perabuan untuk para bangsawan (Phra Merumas), -yang menempati dua pertiga luas Sanam Luang ini-, konon dimulai sejak periode Ayutthaya. Karena mereka percaya Raja merupakan Dewa maka tempat perabuannya perlu mengadopsi filosofi Gunung Sumeru sebagai pusat semesta kosmologi Buddha, bercampur dengan pengaruh Thailand kuno, Hindu dan aliran kepercayaan lainnya. Maka akhirnya di Phra Merumas ini semua diwujudkan.

Tetapi siapa yang melihatnya sebagai sesuatu yang temporer belaka? Bangunan-bangunan berkilau keemasan ini terlihat begitu megah walaupun sebenarnya hanya terbuat dari kayu bertulang besi dengan atap tradisional bertingkat. Bangunan utama keemasan sebagai pusat tempat perabuan dengan tiga permukaan lantai terletak di tengah-tengah, memiliki pelindung putih sembilan tingkat di puncak atapnya, dengan ketinggian total mencapai 50 meter.

Berbatas dengan area pengunjung terlihat kolam yang diibaratkan sebagai kolam surgawi, menempati empat sisinya dan berhiaskan patung-patung suci seperti gajah, kuda, sapi dan singa, termasuk patung-patung makhluk mitos yang konon hidup dalam hutan di Gunung Sumeru.

Bisa dilihat juga di tiap sudut bangunan utama terdapat patung-patung penjaga dunia yang disebut Thao Chatulokkaban. Dan pada level berikutnya terdapat patung-patung Garuda (Phra Khrut Pha), -yang menjadi lambang negara Thailand-, dan dalam konsep Hindu, Garuda merupakan kendaraan Dewa Vishnu yang salah satu titisannya adalah Rama (Raja-raja Thailand bergelar Rama). Kemudian di lantai ketiga terdapat tempat di setiap sudut untuk para bhiksu melantunkan puji-pujian atau membaca Sutra. Yang saya sukai di pelataran utama banyak dihiasi dengan tanaman bunga berwarna kuning sebagai warna hari Senin, hari lahirnya mendiang Raja Bhumibol.

Sambil menyusuri museum yang memajang semua peninggalan mendiang Raja Bhumibol, saya mengambil foto yang menarik hati, seperti foto bersama Presiden Soekarno saat berkunjung ke Indonesia. Juga pandangannya sebagai Raja yang harus mengayomi seluruh rakyatnya. Di dekat pintu keluar, saya tidak mampu berlama-lama menyaksikan video mangkatnya yang diiringi musik indah, karena begitu menyayat hati melihat duka rakyatnya.

Malampun semakin pekat walau bulan tampak terang diantara puncak-puncak lancip Phra Merumas. Saya meninggalkan kawasan Sanam Luang dengan satu rasa, betapa mendiang Raja Bhumibol dicintai rakyatnya. Sempurna.

Catatan.

Royal Crematorium dibuka 2 November – 31 December 2017 pk 06.00 – 22.00. Dress code seperti ke Grand Palace, dilarang mengenakan celana pendek, kaos tanpa lengan/tanktop dan sandal jepit. Semua pengumuman disampaikan dalam bahasa Thai, penggunaan bahasa Inggeris terbatas.

Grand Palace at night

 

WPC – A Temple’s Corner


Wat Phra That Nong Bua

A couple years ago I had a chance to visit Ubon Ratchathani, a nice border city in North-Eastern Thailand. And one of the sacred landmarks in Ubon Ratchathani is Wat Phra That Nong Bua, a must-see Buddhist temple. The gleaming gold and white chedi at this temple loosely resembles the Mahaboddhi stupa in Bodhgaya, India.

The temple is the place where Buddha relics are housed in the 55meter height square-based stupa and stands in the middle of a marble slabs, with smaller stupas at each corner in the inner yard. The people seem to keep the inner yard clean from the falling leaves of the trees surrounding the complex.

I took off my shoes to explore this beautiful temple which was built in 1956 to honor of 2500 years of Buddhism. I noticed in each corner of the main temple, there was decorated with a serpent with seven heads.

As other Buddhist temples in Thailand, I feel like the other visitors who can come at anytime, pay respect and experience peaceful nice environment.

Stupa in the corner of inner yard
Wat Phra That Nong Bua

 

 

 

 

 

 

Korea – Incheon, What Incheon?


Incheon, bandara Seoul yang katanya megah itu…

Katanya?

Memang benar! Katanya…

Bagi penggemar Korea, mohon maaf dan jangan marah dulu karena saya memang tidak merasakan kemegahannya, karena ada ceritanya tersendiri…

*

Salah Mengartikan Peta

Berawal dari pulang jalan kaki pada malam sebelumnya. Dengan kaki yang rasanya sudah mau lepas dari tubuh karena jalan tak habis-habis serta naik turun tangga di area Myeongdong, saya memaksa diri untuk membaca jadwal bus bandara yang haltenya ada di depan Hotel Sejong. Dengan mata yang sudah lelah dan penerangan yang tidak terlalu terang, saya melihat route bus tersebut. Rute kembali ke Bandara lebih dekat dari pada datang dari bandara. Jadi sepertinya saya bisa lebih santai besok, apalagi pesawat akan terbang pada jam 09.35 waktu setempat.

Route Bus 6105 from Sejong Hotel - Myeongdong (dari Sejong.co.kr)
Route Bus 6105 from Sejong Hotel – Myeongdong (dari Sejong.co.kr)

30 Menit Yang Menyesatkan

Entah kenapa, sejak berada di Korea, saya memiliki persepsi untuk ke bandara Incheon hanya memerlukan waktu 30 menit dari pusat kota Seoul! Bahkan saya sangat meyakini hal itu sehingga tak memeriksa kembali melalui internet. Dan memang demikianlah jadinya, saya packing dengan santai dan sempat sarapan terlebih dahulu di hotel dengan enaknya lalu melangkah ke bus stop yang ada tepat di depan Hotel Sejong tepat sebelum jam 07.00.

Namun antrian sudah cukup banyak sehingga ketika saya tidak mendapat tempat di bus jam 07.00. Itu artinya saya harus menunggu bus berikutnya. Baiklah… saya masih ada waktu kan? Hanya 30 menit ke bandara…

Bukan 30 Melainkan 90!

Tidak berapa lama, bus berikutnya datang. Segera saya naik dan membayarnya lalu duduk di bagian kiri. Matahari muncul seakan memberi kehangatan pagi untuk semua warga Seoul di musim gugur ini. Setelah beberapa menit akhirnya bus berangkat meninggalkan wilayah Myeongdong. Saya menikmati pemandangan seantero Seoul yang belum puas saya jelajahi. Masih banyak destinasi indah di Seoul yang suatu saat nanti akan saya datangi kembali.

Selagi melewati Namdaemun, saya sempat melihat jam 07.35. Saat itu saya merasa bus berjalan lambat. Bukankah Namdaemun hanya berjarak 1 halte dari Myeongdong? Jalan memang lumayan padat tetapi belum sampai macet. Entah kenapa saya merasakan ada yang salah saat itu… Something is very wrong… dang-ding-dong…

Kemudian rasa aneh itu membawa saya untuk googling. Dan bagaikan disengat listrik, saya terkejut sekali membaca informasi bahwa perjalanan bus dari Myeongdong ke Incheon Airport rata-rata memerlukan waktu 1 jam 30 menit. 90 Menit! Haaaa…?? Tidaaaaakkk….

Rasa terkejut seketika berubah jadi senewen, cemas, kuatir, deg-degan tingkat teratas. Rasanya inilah kejadian paling dodol yang pernah saya lakukan. Tidak habis-habisnya saya mengomel ke diri sendiri. Betapa saya ceroboh, tidak aware, tidak check-and-recheck dan masih jutaan omelan ke diri sendiri.

Tetapi semua itu tidak cukup. Apa yang harus saya lakukan selain mengomel? Tidak Ada!

Jika pk. 07.35 masih di Namdaemun ya kira-kira pk. 09.00 kurang baru sampai di Incheon! Padahal belum check-in, belum kembalikan si Egg (pocket WIFI), belum antri imigrasi… Pesawat akan lepas landas pk. 09.35! Terbayang langsung di benak, saya ditinggal pesawat dan uang yang terbang melayang dua kali karena harus membeli tiket baru *slowmotion

Dan setiap halte tempat bus berhenti sejenak, saya semakin senewen, berdoa agar bisa lebih cepat. Di halte Seoul Station, please cepetan… Di halte Brown’s Suite tolong Ya Tuhan, jangan lamaaa… Di halte Chungjeongro Station, Ya Allah… kumohon keajaibanMu… dan berulang terus. Sungguh sebuah perjalanan bus yang rasanya paling lama dan tidak sampai-sampai…

Akhirnya bus berhenti di bandara Incheon, tapi saya harus kembali bersabar (walaupun rasanya sudah di tepi sabar) karena terhalang orang-orang yang duduk di depan saya yang juga ingin keluar dari bus. Saya sudah tak sempat lagi untuk melihat jam di tangan saya, yang penting adalah lari menuju layar besar yang memperlihatkan konter check-in Air Asia.

Wiki - Incheon International Airport - Departure Terminal
Wiki – Incheon International Airport – Departure Terminal

 Lari!!!

Saya lari ke bagian check-in counter dan menyerahkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Begitu melihat penerbangan saya, petugas perempuan itu tampak sangat sigap memproses. Hanya perlu sebentar lalu sambil menyerahkan boarding pass dan paspor, ia mengatakan dengan wajah cemas, Anda harus cepat, sepertinya sudah boarding, sambil menunjukkan arah keberangkatan. Ya Tuhan… dia saja cemas! Aku mohon keajaibanMu, bantu aku ya Allah…

Saya langsung mengambil boarding pass dan paspor darinya lalu lari sekuat tenaga menuju arah gerbang masuk. Tetapi saya harus mengembalikan pocket WIFI dulu, dan tidak seperti di Jepang yang tinggal memasukkan ke kotak pos, saya harus mengembalikan ke konternya lalu akan dikonfirmasi setelah diperiksa oleh petugas. Dan saya tidak tahu dimana konter pengembaliannya!

Berbekal pengetahuan bahwa loket itu ada di lantai yang sama untuk check-in, lagi-lagi saya memaksa diri untuk lari. Kemana? Yaa… Lari memutari seluruh konter check-in di lantai itu! Gedung terminal keberangkatan itu luas, tak beda dengan terminal di Hong Kong dan saya harus mencari loket pocket WIFI itu. Rasanya sudah kehabisan nafas tetapi saya tidak boleh menyerah. Saya masih lari dan benar-benar lari mengelilingi area check-in sambil mata membaca konter si Egg.

Setelah lengkap memutari area check-in satu putaran dan tidak ketemu, saya harus lari lagi dan kali ini Tuhan berkenan menjawab doa saya dengan menyembulkan loket itu tepat di depan mata. Ternyata tak jauh dari konter Air Asia tapi kepanikan itu membuat saya tak awas sehingga melewatinya. Sambil terengah-engah kelelahan, saya mengembalikan semua peralatan itu lalu menunggu dicheck kembali oleh petugas. Saya hanya menatap matanya. Begitu ia tersenyum dan mengangguk saya langsung melesat lagi, lari lagi, kali ini menuju pintu imigrasi.

Ya Tuhan… semoga antriannya tidak panjang… Ternyata… tetap panjang! Aduuuh…

Antrian ini tidak bisa disela, walaupun terengah-engah saya mencoba mengatur nafas dan beringsut maju pelan-pelan. Untung seluruh petugas bekerja dengan sangat efisien, jadi walaupun antrian panjang, prosesnya cepat.

Begitu paspor saya dicap, saya langsung mengambilnya dengan cepat diiringi ucapan terima kasih lalu melihat arah gerbang keberangkatan. Dan saya sudah tak berani lihat jam. Saya hanya punya satu tujuan, saya harus mencapai gate secepat mungkin dengan lari. Dengan ransel yang lumayan berat ditambah tas tangan, saya lari… dan lari… dan lari…*nafasmauputusrasanya

Rasanya tidak sampai-sampai… jauh sekali…

Fokus saya hanya satu, mencapai gate!

From Wiki - Duty Free Shops
From Wiki – Duty Free Shops

Dan saat lari, saya hanya melihat toko-toko sepanjang koridor tempat saya lari, terlihat melesat cepat ke belakang, artinya kecepatan lari saya lumayan. Sempat-sempatnya juga saya teringat pada film Home Alone ke sekian yang lari-lari di bandara. Inikah rasanya mengejar pesawat?

Rasanya sudah berkilo-kilometer saya lari sampai nafas mau putus rasanya. Ya Tuhan, tolong saya… beri kesempatan saya sampai di Gate pada waktunya.

Dan Tuhan Selalu Baik…

Gate sudah terlihat dan sudah sepi. Dengan ekor mata, saya melihat tujuan Kuala lumpur. Saya tak menghentikan kecepatan saya, terus sampai titik darah penghabisan! Saya tak mau menyerah.

From Wiki - The Gate of Incheon
From Wiki – The Gate of Incheon

Di ujung lorong, masih ada petugas tetapi di depan saya sudah tak ada orang sama sekali. Saya menarik nafas panjang. Alhamdulillah, Segala Puji bagiMu Yaa Allah… Allah Maha Baik…

Dan ketika saya menapak ke badan pesawat Air Asia itu, saya melihat sekilas pesawat telah penuh dengan penumpang. Di lorong dekat nomor tempat duduk, saya meminta maaf kepada orang yang telah duduk karena harus melalui mereka, kemudian saya duduk di kursi dengan keringat yang mengucur deras. Sambil mengeringkan keringat, saya sempat melihat ke arah pintu pesawat yang kemudian ditutup…

Saya langsung membuang pandang ke arah luar jendela, tak mau terlihat airmata yang mengembang… Terlambat sedikit saja, saya pasti ditinggal pesawat. Lagi-lagi ini berkat campur tangan Yang Maha Kuasa. Saya menggigit bibir, Korea Selatan, begitu banyak huru-hara dan ujian dalam trip ini, tetapi kasih sayangNya juga berlimpah teramat banyak…

*

Jadi jangan tanya bagaimana kemegahan Incheon yang katanya megah itu, karena jangankan mau menikmatinya, melihat dan memperhatikan saja saya tak sempat. Saya hanya bisa mencoba mengingat melalui foto-foto di internet walaupun saya pernah berada disana. Merasakan luasnya memang iya…

Jadi, pembelajarannya adalah check and recheck jarak bandara dan datanglah lebih awal…

Korea: Menapak Huwon, The Secret Garden


Walaupun belum puas berkeliling Istana Changdeokgung, tetapi waktu untuk mengikuti tour Huwon tinggal beberapa saat lagi sehingga saya bergegas menuju titik pertemuan di Hamnyangmun, gerbang masuk Huwon, the Secret Garden yang berada di belakang Istana Changdeokgung. Peraturan sangat ketat untuk Huwon, tak seorangpun diperkenankan memasuki kawasan Huwon bila tidak dalam rombongan yang memiliki pemandu resmi. Lagi-lagi karena kemalasan saya yang tidak mencari tahu jadwal tour berbahasa Inggeris sehingga saya tertinggal karena jadwalnya sudah terlewat. Walaupun begitu, saya nekad mengikuti rombongan berikutnya yang berbahasa Korea yang tidak saya mengerti. Daripada tidak bisa masuk sama sekali kan…?

Melewati gerbang Hamnyangmun, saya berjalan pelan di buntut rombongan sambil mengabadikan Huwon yang dikenal sebagai tempat istirahat raja-raja Dinasti Joseon dengan tamannya yang memiliki pohon raksasa berusia ratusan tahun. (Betapa bangsa Korea ini sangat menghargai pepohonan karena saya langsung teringat akan pohon pertama yang ditanam di Kuil Haeinsa yang telah tinggal sisa, -karena terkena petir-, masih tetap dipelihara dengan baik). Sambil melangkah, mata dan jiwa rasanya sangat dimanjakan oleh pemandangan dedaunan yang sedang berganti warna, rasanya seperti sedang melangkah di negeri dongeng.

Starting the tour, leaving the gate of Huwon
Starting the tour, leaving the gate of Huwon

Huwon, sejatinya berarti Taman Belakang, mengambil lahan seluas 32 hektar di belakang Istana Changdeokgung dan Istana Changgyeonggung yang berada disisinya. Namun siapa yang sangka, taman yang dibangun saat Raja Taejong berkuasa pada awalnya dikhususkan untuk keluarga kerajaan dan para perempuan Istana, kini menyimpan banyak cerita di sudut-sudutnya? Setiap pondok kecil, tempat-tetirah, kolam teratai dan pepohonan yang berjumlah 26.000 spesies, tampaknya hanya bisa berdiam diri selama ratusan tahun menyimpan rahasia para manusia yang pernah hidup di dekatnya.

Bahkan pernah suatu masa hanya Raja yang bisa memasukinya, hingga taman itu dinamakan Geumwon (Taman Terlarang). Jangan masyarakat biasa, petinggi-petinggi Istana hanya bisa memasukinya bila mendapat izin dari Raja sendiri. Waktu pun berjalan lambat hingga taman indah itu berganti nama menjadi Naewon yang berarti Taman Dalam, maksudnya mungkin taman dalam lingkungan Istana. Belakangan masyarakat Korea Selatan menamakannya dengan nama Biwon (Taman Rahasia) sesuai nama kantor yang ada di tempat itu pada abad-19. Namun hingga kini, taman itu dikembalikan dengan nama Huwon, -sesuai namanya semasa dinasti Joseon yang membangunnya-, walaupun untuk kepentingan pariwisata, Huwon diterjemahkan sebagai The Secret Garden.

Secret Garden in Autumn
Secret Garden in Autumn

Berjalan kaki di Secret Garden saat musim gugur memang seperti memasuki negeri dongeng yang banyak tergambar dalam lukisan. Indah. Mungkin karena dibangun mengikuti topografi alamnya dengan menekan sesedikit mungkin pembuatan taman buatan. Taman-taman yang lebih kecil dibuat lebih intim dengan tambahan kolam teratai seperti yang terlihat di Buyongji, Aeryeonji dan Gwallamji serta jeram kecil Ongnyucheon yang semuanya mengikuti aliran air yang ada di Secret Garden. Puncak Bukit Maebong yang berada di belakang Secret Garden menambah keharmonisan dengan alam sekitarnya. Siapa yang mau menolak merasakan sendiri sensasi rasa, -sebuah perjalanan waktu-, saat Secret Garden masih digunakan sebagai tempat menulis puisi-puisi indah, bermeditasi atau perjamuan kerajaan bahkan sampai latihan panah yang disaksikan Raja?

Tetapi walaupun keindahannya di depan mata, rasanya saya masih ingin mengetahui sesuatu yang terus mengganjal di pikiran. Apa yang rahasia? Apakah karena tersembunyi di belakang Istana hingga tak langsung terlihat? Ataukah ada kegiatan rahasia yang dilakukan di taman ini? Bisa jadi, karena ada sebuah bangunan yang didirikan sebagai tempat diskusi politik yang hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu yang dipercaya oleh Raja. Bukankah itu sesuatu yang rahasia? Masih ada alternatif lain. Bisa jadi karena aktivitas kalangan Istana yang tak pantas terlihat oleh mata masyarakat umum, seperti Raja yang memancing di Buyongji, atau Raja dan Permaisuri yang giat berkebun dan beternak ulat sutra. Atau mungkinkah ada kisah-kisah romantis yang terlarang di tempat ini yang tak pernah terungkap? Semua bisa terjadi… tetapi saya hanya mendengar desir angin dari antara pepohonan.

Buyongjeong Pavillion
Buyongjeong Pavillion

Buyongjeong

Saya tertinggal beberapa meter saat rombongan telah berhenti mendengarkan cerita si pemandu di dekat Kolam Buyongji dan Bangunan Juhamnnu, yang merupakan tempat belajar dan pelatihan diri dari anggota keluarga Istana. Perpustakaan kerajaan yang dikenal dengan nama Gyujanggak dan Seohyanggak juga didirikan di wilayah ini. Namun tak itu saja, di depan Yeonghwadang sering kali acara perjamuan kerajaan diselenggarakan, termasuk ujian Negara yang disaksikan oleh Raja! Entah apa rasanya mengerjakan ujian Negara disaksikan Raja.

Buyongjeong yang menghadap kolam teratai Buyongji dan berada di seberang Juhamnu memang sangat tepat digunakan sebagai tempat bermeditasi dari anggota keluarga kerajaan. Saya beruntung karena pondokan Buyongjeong sudah dibuka kembali setelah direstorasi selama setahun. Bangunan cantik dua lantai Juhamnu dibangun di bagian atas yang dapat dicapai setelah melalui gerbang Eosumun. Dan konon di tempat ini Raja sering membaca sambil melihat-lihat keadaan sekitar yang tentu saja indah. Jika musim gugur dihiasi dengan dedaunan penuh warna, musim dingin dengan salju putih yang memukau namum misterius dan tentu saat musim semi harum bunga menyerbak kemana-mana.

Two stories Juhamnu and the gate Eosomun
Two stories Juhamnu and the gate Eosomun
Yeonghwadang for the banquet
Yeonghwadang for the banquet

Berjalan sendiri di tempat yang indah seperti di Secret Garden ini, saya merasa ada yang kurang sehingga saya mendekati seseorang yang juga berjalan sendiri untuk berkenalan dan berbagi keindahan. Dia seorang female solo traveler yang menyenangkan dari  Philippines. Akhirnya saya bisa bicara banyak dengan seseorang di Seoul! Kami berdua, -sampai akhir perjalanan di Secret Garden- saling berbagi pujian keindahan dan bertukar cerita tanpa perlu menanyakan nama dan latar belakang. Sepertinya situasi kami sama, hanya merindukan orang lain agar bisa berkomunikasi normal. Saat itu hanya kami yang berbicara dalam bahasa Inggeris. Di Korea Selatan, jauh dari negeri sendiri, saya mendapat pembelajaran, betapa berharganya, -sebuah berkah luar biasa-, bisa berkomunikasi dalam bahasa yang sama, untuk bisa saling memahami, walaupun tengah berada diantara kerumunan manusia.

Aeryeonjeong

Pemandangan pepohonan dengan daun warna-warni terus berlangsung sampai di area Aeryeonjeong yang dibangun saat Raja Sukjong berkuasa pada akhir abad-17. Aeryeonjeong sepertinya merupakan area memorial karena Putra Mahkota Hyomyeong, anak pertama dari Raja Sunjo, -yang berbakat luar biasa dan telah dipercaya mengurus tata Negara atas nama Raja Sunjo sejak usia 18 tahun-, hanya berkesempatan hidup sebentar, hingga berusia 22 tahun. Dengan bakatnya, ia telah membangun banyak fasilitas di wilayah ini. Melalui gerbang Bulromun yang terasa magis, saya menyaksikan tempat belajarnya yang dikenal dengan nama Uiduhap, yang dibangun sangat sederhana tanpa dekorasi dan merupakan satu-satunya bangunan yang menghadap Utara sehingga sangat tepat untuk membaca dan bermeditasi. Lengkap dengan kolam teratainya, dan tentu saja karena sedang musim gugur ini, keadaan sekitarnya begitu indah.

Alam yang sedang tampil indah di Secret Garden sepertinya masih mau mempercantik dirinya dengan menurunkan rintik hujan. Lengkap sudah, alam yang cantik, rintik hujan dan udara dingin. Sempurna.

Saya pun bergegas membeli payung di sebuah toko cinderamata lalu bersama teman perempuan Philippines itu, kami mengejar rombongan sambil menatap hujan. Seandainya bisa, kami ingin menari di bawah hujan di tengah Taman Rahasia ini…

Ongnyucheon

Tempat ini terkenal dengan kolam dengan jeram kecilnya yang indah terbuat dari batu pualam dengan beberapa pondokan menghiasi pinggirannya sehingga menjadikannya tempat terbaik untuk menulis puisi. Romantisnya sangat terasa, apalagi di saat hujan seperti ini. Dan sementara yang lain sibuk berfoto dengan pasangan masing-masing, saya memilih mengabadikan dedaunan merah, oranye, kuning yang tertimpa rintik hujan.

Saya terpukau dengan bentuk Gwallamjeong, sebuah pondokan yang dibangun di situ. Walaupun sekilas terlihat seperti umumnya bangunan tradisional Korea, namun jika diperhatikan lebih jauh, bagian dasarnya dibangun menyerupai bentuk kipas yang tentu saja jadi terasa berbeda, apalagi jika diperbolehkan duduk di tempat itu. Ah, pikiran saya terbang liar, siapa ya yang pernah duduk menitikkan air mata yang mengalir seperti aliran jeram di tempat itu?

Jongdeokjeong juga merupakan pondokan yang didirikan di wilayah Ongnyucheon. Dibangun dengan pilar-pilar kayu di enam sisi, pondokan paling tua ini terlihat cantik dengan bentuk atap dua tingkat khas Korea yang cantik. Apalagi dengan latar belakang cantik warna-warni musim gugur. Tak salah memang, perjalanan di Secret Garden ini mata dimanjakan dengan keindahan dan imajinasi bisa liar menari. Lagi-lagi saya bertanya dengan diri sendiri, adakah kisah cinta yang terjadi di sudut ini?

Walau pelan kaki melangkah, akhirnya saya sampai juga di ujung perjalanan. Saya akan mengucapkan selamat berpisah kepada Huwon, The Secret Garden yang membentuk harmoni dengan lingkungan alam sekitar, yang pastinya tak akan mudah hilang dari ingatan. Sudut-sudutnya yang diam menyimpan begitu banyak kisah rahasia. Indah, romantis sekaligus misterius.

Akses

  • Subway
    • Jongno 3 (sam)-ga Station (Line 1, 3 or 5), Exit 6. Jalan 10 menit, atau
    • Anguk Station (Line 3), Exit 3. Jalan lurus ke Timur selama 5 menit
  • Bus
    • 7025, 151, 162, 171, 172, 272 atau 601 turun di halte Istana Changdeokgung

Tutup : Setiap Senin

Jam Buka

  • Feb-Mei, Sep-Okt 09:00-18:00 / Jun-Ags 09:00-18:30 / Nov-Jan 09:00-17:30
  • Tiket terakhir dijual 1 jam sebelum tutup.
  • Akses Huwon, hanya melalui tur yang dipandu selama 90 menit, dijual secara terbatas maksimal untuk 100 orang (online 50 orang, sisanya dapat dibeli di tempat)

Harga Tiket

Dewasa                Istana 3,000 won / Huwon 5,000 won
Anak-anak          Istana 1,500 won / Huwon 2,500 won

Korea – Istana Changdeokgung Seoul


Setelah mengunjungi Deoksugung, Istana selanjutnya yang saya kunjungi di Seoul adalah Istana Changdeokgung. Dodolnya, saya tidak memperhatikan lokasi tepatnya dan karena menggunakan subway, saya harus turun tangga ke platform kereta, lalu naik tangga (lagi) ke permukaan bumi yang pintu Exit-nya ternyata salah sehingga harus jalan kaki (lagi) untuk kembali kearah yang benar. Kaki rasanya mau putus akibat rendahnya awareness saya pada lingkungan.

Padahal Istana Changdeokgung dicatat sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 1997 dan dinyatakan sebagai contoh luarbiasa dalama kategori arsitektur istana dan kebun di kawasan Timur Jauh, terlebih lagi karena bangunan-bangunannya terintegrasi dengan lingkungan alam sekitarnya yang sangat harmonis.

p1040036
The 2 stories Donhwamun, the gate of Changdeokgung

Karena alasan itulah, -walau dengan kaki yang diseret-seret pun-, saya memaksa diri dan akhirnya saya sampai juga di Donhwamun, pintu gerbang utama Istana Changdeokgung, yang terlihat megah di hadapan. Gerbang Donhwamun ini dibangun pada tahun 1412, dengan struktur kayu dua lantai dan merupakan yang terbesar dari semua gerbang istana. Seperti banyak bangunan lain di Korea Selatan, Donhwamun inipun dibakar selama invasi Jepang pada tahun 1592 dan dibangun kembali pada 1608. Dan seperti juga gerbang-gerbang lain di Istana manapun di dunia ini, dalam perjalanan sejarahnya, walaupun diserang, dirubuhkan, dihancurkan, tetap saja ada yang membangun kembali untuk menjaga bangunan yang lebih penting yang berada di baliknya.

Melewati Donhwamun, saya menyaksikan konter tiket penuh dengan pengunjung sehingga saya memilih mundur sesaat untuk membaca situasi. Wisata ke Istana Changdeokgung memang terbagi dua ada yang hanya membeli tiket istana saja dan ada juga yang membeli tiket Istana termasuk Taman Rahasia (Secret Garden).  Saya memilih yang kedua dan karenanya saya memiliki waktu untuk menjelajah Istana hanya beberapa saat, sebab untuk ke Taman Rahasia, saya diharuskan ikut dalam sebuah rombongan dengan guide dan tidak diperkenankan sendiri berkeliaran. Petugas tiket meminta saya untuk datang pada waktu yang ditentukan di gerbang Secret Garden. Sementara itu, saya akan berkeliling Istana yang tidak kalah besar dari Deoksugung. Semoga kaki saya masih kuat…

Sebagai istana resmi kedua dari Dinasti Joseon (1392 – 1897), -setelah Istana Gyeongbukgung-, Istana Changdeokgung dengan luas sekitar 45 hektar di daerah Jongno di kota Seoul ini, sejatinya dibangun pada abad-14 sebagai rumah kediaman kerajaan. Dan sesuai arti dari Changdeokgung, harapan dapat memberikan kemakmuran dan kebajikan sepanjang masa, sepertinya terwujud karena hingga kini Istana ini yang paling terawat dari empat lainnya yang ada di Seoul.

Melangkah di atas jembatan yang belakangan saya tahu namanya Geumcheongyo merupakan langkah luar biasa karena itu artinya saya melangkah di atas jembatan yang telah berusia ratusan tahun dan bertahan hingga kini. Dibangun pada tahun 1411, jembatan ini memiliki struktur dua lengkungan dan ukiran hewan mitos yang disebut Haetae di selatan dan patung kura-kura yang disebut Hyeonmu di utara. Konon selain patung-patung itu, masih ada ukiran lain yang bertujuan untuk mengusir roh jahat, dimana-mana ada ya upaya seperti itu yaa… Saya melewati jembatan yang juga memiliki lubang angin dan hiasan kelopak teratai di sisi samping.

Entah kenapa setiap melangkah memasuki kawasan istana, saya melangkah hati-hati seakan meminta ijin lewat pada setiap saksi bisu dari begitu banyak kisah getir kehidupan Istana. Setelah melewati sebuah gerbang lainnya, saat semua orang bergegas menuju bangunan Utama, saya berbalik arah mengikuti suara hati yang berbisik. Nafas saya tertahan sejenak melihat indahnya warna warni dedaunan di musim gugur yang menjadi latar belakang dan terbingkai dalam pintu gerbang kayu yang lebar. Jika saya tak berbalik tadi, pemandangan indah ini takkan terekam dalam benak.

Mungkin keindahan seperti ini yang menggerakkan hati Raja Seongjong, Raja ke-9 dari Dinasti Joseon, yang menjadikan Istana Changdeokgung sebagai kediaman resminya. Sayang, pada tahun 1592 saat keluarga istana menyelamatkan diri dari upaya invasi Jepang ke Korea, rakyat menjadi sangat marah hingga membakar seluruh bangunan istana. Kemudian berkat upaya Raja Seonjo istana dibangun kembali dua dekade setelah pembakaran. Namun begitulah kehidupan Istana yang tak bisa lepas dari perebutan kekuasaan dan pengkhianatan, sehingga di tahun 1623 Istana Changdeokgung kembali dihancurkan. Dalam sejarahnya, walaupun diserang juga oleh Dinasti Manchu dari China, tetapi Istana Changdeokgung ini tetap dibangun kembali dengan disain awal hingga kini.

Bahkan Kaisar terakhir Korea, Sunjong, menghabiskan saat-saat terakhirnya di Istana ini hingga ajal menjemputnya di tahun 1926. Sepeninggal Kaisar Sunjong, Putra Mahkota Yi Un diperbolehkan tinggal di Bangunan Nakseonjae bersama isterinya Puteri Bangja dan adiknya Puteri Deokhye hingga akhir hayat, meskipun fasilitas ini kadang ditentang oleh pemerintahan Korea yang silih berganti. Perubahan bentuk pemerintahan Korea yang tak lagi bersifat monarki ini berdampak pada kejiwaan anak Sang Putera Mahkota yang bernama Yi Gu. Walaupun bisa tinggal beberapa saat di Istana ini, akhirnya ia lebih memilih meninggalkan Seoul untuk menetap di Tokyo.

Injeongjeon

Saya sampai di Injeongmun, gerbang yang langsung menghadap Injeongjeon. Bangunan Injeongjeon merupakan ruang tahta Istana Changdeokgung yang digunakan untuk urusan resmi kerajaan termasuk penobatan raja baru dan menerima utusan asing. Sebagai bangunan utama di Istana Changdeokgung, Injeongjeon dibangun pada tahun 1405 dan mengalami penghancuran beberapa kali namun tetap dibangun kembali. Di depan pintu terdapat inskripsi berangka tahun 1609 yang menjelaskan jalan resmi dan halaman berdasar batu pipih. Selain itu ada pula yang menjelaskan ranking jabatan di kalangan  pejabat Istana. Setiap orang harus berdiri di belakang nomor batunya masing-masing, semakin tinggi jabatannya semakin dekat tingkat berdirinya dengan Raja.

Saya melongok ke dalam ruang tahta yang penuh dengan pilar-pilar kayu kokoh bernuansa merah dengan tahta berkanopi penuh hiasan. Entah berapa Raja yang pernah menduduki tahta itu. Tahta bisu yang tak menghakimi menyaksikan siapapun dengan hati penuh kemuliaan atau justru penuh khianat demi bisa mendudukinya. Begitulah sifat kekuasaan yang terus menggoda hati manusia…

Namun siapapun yang menduduki tahta, Istana Changdeokgung sepertinya memiliki keberuntungannya sendiri. Bisa jadi karena dibangun berdasarkan perhitungan rumit Feng Shui, dengan Gunung Bugaksan di bagian belakang Istana dan Sungai Geumcheon berada di bagian depan. Kondisi ini membuat bangunan-bangunan tampak absurd dalam penataan, tetapi sesungguhnya semuanya terbangun dalam sebuah harmoni dengan lingkungan sekitarnya.

Seonjeongjeo

Saya melanjutkan perjalanan menuju Seonjeongjeon. Disinilah tempat Raja berkantor, menerima pejabat Negara, melakukan pertemuan setiap hari dengan menteri, melaporkan pada urusan negara dan seminar di sini. Entah saya yang salah persepsi atau apa, tetapi untuk ukuran seorang orang nomor satu di sebuah Negara, menurut saya Seonjeongjeon tidak terlalu luas, walaupun ada juga ruangan lain untuk para pembantunya, kalau sekarang mirip dengan fungsi Sekpri kali yaa… Namun tak hanya itu fungsinya Seonjeongjeon, karena selain untuk kantor, Seonjeongjeon ini juga dipakai sebagai ruang doa jika ada keluarga kerajaan yang mangkat. Hiiii… dan biasanya doa persemayaman untuk keluarga kerajaan itu akan lama sekali, bisa berbulan-bulan, bahkan jika Raja bisa setahun! Lalu kantor sehari-hari pindah kemana ya?

Menariknya, ada koridor yang menghubungkan Seonjeongjeo dan gerbangnya (Seonjeongmun), bisa jadi agar tidak kehujanan saat berdoa untuk persemayaman. Inilah kelebihan Seonjeongjeon, bahkan di Injeongjeon (ruang tahta) tidak ada koridor yang menghubungkan gerbang dan ruang tahtanya.

Kaki mengajak tubuh ini melangkah kearah Timur, menuju Huijeongdang, yang dikenal dengan ruangan pribadi Raja. Saya berpikir akan menemukan ruang tidur, namun yang terlihat adalah ruang kerja lengkap dengan seperangkat kursi. Ternyata memang sejarah mencatat perubahan fungsi Huijeongdang ini. Apa yang saya rasakan bahwa Seonjeongjeon terlalu kecil ternyata benar, karena Raja  memindahkan kantornya ke Huijeongdang dan menjadi Pyeonjeon (Ruang Kerja Raja). Walaupun Huijeongdang hancur terbakar pada tahun 1917, Huijeongdang direkonstruksi kembali namun berubah dari disain aslinya dengan menambahkan gaya Barat pada akhir masa fungsinya seperti adanya tempat parkir kendaraan di bagian depan, jendela kaca dan lampu gantung listrik, fasilitas modern pada kamar mandi dan furniture bergaya baroque.

Saya masih dapat melongok ke dalam ruang tidur Raja, namun dengan segera menghilangkan pikiran-pikiran jahil saat melihat lorong-lorong tertutup menuju kamar-kamar lain. Sudahlah… itu biasa… 😀

Berdekatan dengan Huijeongdang terdapat bangunan yang dikenal dengan nama Daejojeon, yaitu tempat tinggal resmi permaisuri. Sayangnya Daejojeon terbakar pada tahun 1917 dan direkonstruksi dengan bahan yang diambil dari Istana Gyeongbokgung. Sejarah juga mencatat bahwa Daejojeon terakhir digunakan oleh permaisuri terakhir Joseon, sehingga saya bisa memperkirakan bagaimana perjalanan rumah tangga kerajaan Dinasti Joseon pada masa-masa terakhirnya.

img_9884
Huijeongdang and Daejojeon, the private area for the King and Queen

Walaupun masih ada tempat-tempat lain yang mungkin menarik, saya diingatkan oleh bunyi alarm agar segera bergegas menuju titik pertemuan tour ke Taman Rahasia (Secret Garden) Changdeokgung, karena jika terlambat, saya tidak akan bisa masuk ke Taman Rahasia itu. Ah, segala sesuatu yang rahasia, akan terasa menarik…

*****

Akses  
[Subway]

  1. Jongno 3 (sam)-ga Station (Subway Line 1, 3 or 5), Exit 6. Jalan sekitar 10-menit untuk ke gerbang
  2. Anguk Station (Seoul Subway Line 3), Exit 3. Jalan lurus ke timur sekitar 5 menit untuk ke gerbang.
    [Bus]
    Bus No. 7025, 151, 162, 171, 172, 272 or 601 turun di Changdeokgung Palace Bus Stop

Tutup Setiap Senin

Jam Buka  Feb-Mei, Sep-Okt 09:00-18:00 /  Jun-Ags 09:00-18:30 / Nov-Jan 09:00-17:30

Harga tiket  Dewasa (19-64): 3,000 won / Anak-anak & Remaja (<18): 1,500 won

****

Beberapa Cerita perjalanan lainnya di Korea:

  1. Korea – Warna Warni Istana Deoksugung
  2. Ada Bahasa Indonesia di Seoraksan
  3. Hwangseong Fortress – Menjadi Warisan Dunia karena Sebuah Buku Tua
  4. Di Haeinsa Mahakarya Kayu Dijaga Berabad-abad

Korea – Warna-Warni Istana Deoksugung


Sebenarnya masih ingin berlama-lama di balik selimut. Saya ini kan sedang liburan, bukan dikejar target destinasi. Apalagi pagi di awal bulan November di Seoul itu sungguh dingin. Walaupun katanya 11°C tetapi menurut saya rasanya lebih dingin dari 7°C di Tokyo yang pernah saya alami di musim semi. Rencananya hari ini saya akan mengelilingi Seoul walaupun sedikit menyesal karena hari ini diramalkan akan hujan. Mengingat akan hujan itulah yang membuat saya bergegas walaupun tahu hari telah terlambat untuk dimulai.

Akhirnya saya melambaikan tangan pada penginapan itu, berjanji akan kembali untuk mengambil ransel pada sore harinya. Kamarnya yang modern, nyaman untuk solo-traveler seperti saya, tidak gaduh dan lokasinya di seberang Exit Seoul Station membuat saya mudah kemana-mana. Hari ini saya akan mengunjungi Istana Deoksugung, satu diantara empat istana yang terkenal di Seoul.

Deoksugung dapat dicapai dengan mengendarai subway line 1 dari Seoul Station dan turun di City Hall, Exit-2. Petunjuk arah jelas dengan karakter latin selain karakter Hangeul. Seandainya seluruh destinasi wisata di luar kota Seoul juga sejelas ini, tentu perjalanan saya ke provinsi-provinsi di Korea Selatan tidak seheboh itu.

Prosesi Penggantian Penjaga Istana

Tak perlu lama berjalan dari Exit-2, saya sudah di depan gerbang Daehanmun. Ketika melihat sebuah drum berlukis indah di pelataran di depan gerbang, saya menjadi ragu untuk langsung menjelajahi ke dalam istana. Benarlah, petugas tiket membenarkan bahwa prosesi penggantian penjaga istana akan dimulai tepat pk 11.00 Tak mungkin dalam waktu kurang dari 1 jam saya menjelajah istana yang luas ini, sehingga saya memilih untuk menanti prosesi itu.

Prosesi penggantian penjaga Istana yang menyerupai prosesi  di Istana Buckingham di London itu diwujudkan kembali sejak tahun 1996 setelah melalui riset mendalam dan komprehensif oleh para ahli sejarah Korea. Memang segala sesuatu yang terjadi di balik tembok Istana atau yang berkaitan dengan Kerajaan selalu menarik perhatian kaum kebanyakan, bisa jadi karena tidak semua orang beruntung terlahir dalam kalangan Istana Kerajaan.

Seperti makan obat, prosesi itu memiliki jadwal tiga kali sehari (pk 11:00, 14:00 dan 15:30) dan berlangsung selama 30 menit serta selalu mengikuti aturan baku. Dimulai dengan iringan musik tradisional, pasukan penjaga berpakaian indah penuh warna-warni berjalan dalam barisan rapi lalu komandan pasukan pengganti menemui komandan pasukan yang sedang berjaga untuk saling bertukar password sebagai verifikasi dan memastikan keaslian penugasan. Kemudian dilanjutkan dengan penggantian posisi penjaga dan diakhiri dengan prosesi barisan. Bagi saya, tanpa mengerti prosedurnya, acara itu sudah sangat menarik karena keindahan warna pakaian tradisionalnya. Ada yang seperti Lee Min-ho gak yaaa? Hehehe…

Istana Deoksugung

Selesai prosesi di depan gerbang, saya pelan-pelan menyusuri jalan yang di pinggirnya tumbuh pepohonan maple yang sedang berganti warna dari hijau menjadi kuning. Kadang dedaunan itu gugur terbang terbawa angin. Indah…

Dan seperti kebanyakan nasib istana-istana yang menjadi saksi diam atas perubahan peta kekuasaan baik secara terhormat maupun secara paksa yang menyedihkan, demikian juga kisah dari Istana Deoksugung ini. Istana ini sebenarnya dibangun untuk digunakan sebagai kediaman Pangeran Wolsandaegun, kakak dari Raja terkenal Seongjong dari Dinasti Joseon di abad-16, dan bukan menjadi Istana utama Raja, namun sejarah bisa bercerita lain.

Melalui sebuah gerbang dalam, saya berjalan menuju Junghwajeon, -bangunan ruang tahta yang direkonstruksi pada tahun 1906 setelah terbakar di tahun 1904-, yang terlihat megah berdiri di tengah-tengah ruang terbuka. Jalan pelintasannya dibuat dengan indah dengan kolom-kolom kecil sepanjang jalan menuju ruang tahta. Di bagian depan terdapat prasasti batu berhias yang tampaknya sangat bernilai karena diberi pagar pelindung. Sejarah mencatat dua Raja keturunan Dinasti Joseon naik tahta di istana ini yang salah satunya adalah Raja Gwanghaegun yang mengganti nama istana ini menjadi Gyeongungung.

Ketika melihat ke dalam ruang tahta, -yang merupakan pusat diskusi politik yang hangat antara pejabat tinggi pemerintahan selama periode Daehanjeguk yang dideklarasikan oleh Raja Gojong dan membawa Korea ke abad 20-, terlihat dekorasi sepasang naga yang menghiasi kanopi di atas tahta. Hiasan berbentuk Naga yang terlihat juga di langit-langit merupakan hiasan khas dari Istana Deoksugung.

Bersebelahan dengan ruang tahta Junghwajeon adalah Hamnyeongjeon, wilayah pribadi Sang Raja dan Ratu yang sangat luas. Jadi berbeda dengan kaum kebanyakan yang hanya memiliki satu ruang tidur untuk suami isteri, Raja maupun Ratu memiliki bangunan pribadinya sendiri-sendiri. Dan tentu saja, walaupun berjabatan sebagai Ratu, tetap saja memiliki prosedur yang harus dilakukan agar bisa bertemu suaminya, Sang Raja. Jadi siapa bilang nyaman jadi Ratu atau Raja?

Hamnyeongjeon, private residential area
Hamnyeongjeon, private residential area

Jeonggwanheon, -terletak di atas bukit kecil di bagian belakang menghadap istana-, merupakan bangunan dengan campuran gaya Barat dan Korea yang pertama kali dibangun pada tahun 1900 oleh arsitek Rusia, A I Sabatin. Walaupun menurut saya, bangunan itu sedikit mengganggu harmoni arsitektur tradisional Korea secara keseluruhan, tetapi siapa yang bisa mengerti jalan pemikiran Raja yang berkuasa saat itu? Entah apa yang ada dalam pikiran Raja Gojong saat menghabiskan waktu luang di tempat ini yang memang merupakan kebiasaannya. Dibangun sebagai tempat rehat dan bersukacita, bangunan ini mungkin juga untuk melupakan peristiwa kematian permaisurinya, Ratu Min, yang terbunuh di usia 43 tahun yang akhirnya membuat Raja Gojong menyelamatkan diri ke Agwan Pacheon yang merupakan gedung Perwakilan Rusia. Ah, saya jadi membuka-buka sejarah dunia…

Jeonggwanheon, designed by Russian Architect
Jeonggwanheon, designed by Russian Architect

Singkat cerita, akibat pembunuhan Ratu Min, -Permaisuri Raja Gojong yang pro China dan Rusia namun sangat anti Jepang-, oleh pasukan Jepang di istana Gyeongbokgung pada tahun 1895, menyebabkan Raja Gojong melarikan diri dari Istananya melalui lorong bawah tanah ke Agwan Pacheon karena keselamatan dirinya terancam. Rusia yang saat itu di pihak yang berseberangan dengan Jepang, mendapat ‘keuntungan’ dari peristiwa pembunuhan itu. Raja Gojong dan Putra Mahkotanya menetap di Agwan Pacheon hingga akhirnya kembali ke Istana Deoksugung pada tahun 1897 untuk menyatakan Kekaisaran Korea.

Lantai batu Istana yang indah lagi-lagi menjadi saksi bisu saat Kaisar Gojong memilih tetap tinggal di Istana Deoksugung setelah dipaksa untuk menyerahkan tahta kepada putranya, -yang akhirnya menjadi Kaisar Sunjong dan dikenal sebagai Kaisar terakhir Korea-, karena desakan Jepang. Pada masa inilah istana ini berganti nama kembali, dari Gyeongungung menjadi Deoksugung, sebagai harapan umur panjang dari (orang-orang) yang berbudi luhur yang menempatinya.

Bangunan Bergaya Barat

Istana Deoksugung yang berusia 5 abad itu itu memang unik. Di dalam kawasan istana dibangun beberapa gedung modern bergaya Barat diantara bangunan-bangunan khas tradisional Korea yang terlihat saling berbenturan gaya, namun ternyata disitulah kekuatan utama istana ini, unik. Dalam posisi tertentu, kita bisa tak yakin berada di kawasan istana di Seoul.

Seokjojeon (yang kini menjadi galeri seni) merupakan bangunan gaya Barat yang dibangun di Deoksugung. Karena Won yang menipis, saya tak masuk ke dalamnya namun bangunan dengan taman cantik berair-mancur inilah yang membuat saya tak percaya dengan mata sendiri, saya ini sedang berada di Seoul atau di Eropa…

Seokjojeon - is it in Seoul or not?
Seokjojeon – is it in Seoul? 🙂

Saya bergegas keluar karena hendak melanjutkan ke istana lain, walau tak yakin bisa memenuhi semua target yang ingin saya kunjungi di Seoul. Daun-daun berwarna kuning itu masih berjatuhan melayang tertiup angin musim gugur, memberi kenangan tersendiri tentang sebuah istana di Seoul.

Seri cerita sebelumnya di Korea:

  1. Ada Bahasa Indonesia di Seoraksan
  2. Hwangseong Fortress: Menjadi Warisan Dunia Karena Sebuah Buku Tua
  3. Menuju Seoul Dengan ‘Shinkansen’-nya Korea
  4. Haeinsa Trip: Beautiful Life Lessons with Ups & Downs
  5. Di Haeinsa Mahakarya Kayu Dijaga Berabad-abad
  6. Bercermin Diri dalam Harmoni Kuil Haeinsa

*****

Tambahan info

Buka 09:00 – 21:00 (terakhir pembelian tiket pk. 20:00)

Harga Ticket

  • Dewasa 1,000 won / lebih dari 10: 800 won
  • Remaja 500 won / lebih dari 10: 400 won
  • Gratis bagi anak 6 tahun kebawah, atau Lansia 65 tahun ke atas atau bagi yang mengenakan Hanbok atau setiap hari Budaya (Setiap hari Rabu terakhir setiap bulan)
  • Terusan 10.000 Won mencakup Istana Changdeokgung termasuk Huwon dan Secret Garden, Istana Changgyeonggung, Istana Deoksugung dan Istana Gyeongbokgung serta Jongmyo Shrine, yang dapat digunakan dalam waktu satu bulan setelah pembelian.

Jadwal Tutup

  • Setiap Senin: Istana Changdeokgung, Istana Deoksugung, Istana Changgyeonggung
  • Setiap Selasa: Istana Gyeongbokgung dan Jongmyo Shrine