Menjejak Kembali Langkahmu


Sadly missed along life’s way, quietly remembered everyday…

No longer in our life to share, but in our hearts you’re always there

-Unknown

Ketika seorang sahabat mengajak untuk menuliskan cerita tentang menapak tilas, pikiran ini langsung terbang ke sebagian perjalanan-perjalanan yang saya lakukan selama ini. Perjalanan-perjalanan menapak tilas seseorang yang selalu ada dalam jiwa,dan sebagian besarnya sudah saya tuliskan di blog ini. Bagi saya pribadi hanya ada satu perjalanan menapak tilas, yaitu menapak tilas perjalanan almarhum Papa. Tapi ah, bisa jadi, saya sudah terlalu lelah untuk membongkar ruang-ruang hati dan ingatan mencari tahu perjalanan lain yang berupa menapak tilas.

Meskipun kamus rujukan mendeskripsikan menapak tilas adalah melakukan perjalanan dengan menelusuri tempat-tempat yang pernah didatangi dan dilalui oleh seseorang pada jaman dahulu untuk menghidupkan kenangan atau sejarah, saya sendiri mengartikannya secara bebas. Karena menapak tilas bagi saya pribadi mencakup juga kegiatan mendatangi kota-kota yang pernah didatangi atau ditinggali oleh seseorang yang berarti. Dan itu artinya adalah Papa!


Saya telah menjejak Hong Kong, negeri tempat Papa dan Mama menikmati honeymoon yang ke sekian kali. Merasakan gempitanya Kowloon, melihat kerlap-kerlip lampu kota seperti yang Papa Mama ceritakan. Dan saya ceritakan pula kepada mereka tentang sudah adanya jalan mobil dan kereta yang menghubungkan tempat-tempat yang terpisahkan oleh laut meskipun saya tetap mencoba menaiki ferry yang sangat khas itu. Tak lupa saya ceritakan bandara yang tak lagi di Kaitak sehingga saya tak bisa lagi merasakan debaran jantung saat mendarat karena dekatnya dengan perairan. Hong Kong yang modern telah jauh berbeda dengan Hong Kong yang dulu Papa Mama datangi, berpuluh tahun silam. Meskipun demikian, jauhnya perbedaan itu tetap tak mampu menghilangkan kenangan yang terpaut di dalamnya.

Tak lupa, saya pun telah menjejak langkah Papa di Jepang, termasuk di Kamakura, berfoto di Daibutsu, patung Buddha yang besar itu. Bahkan saya sempat menginap satu malam di Yokohama, kota pelabuhan tempat kapal Papa dulu berlabuh. Malam itu, saya berjalan sendiri sekitaran Yokohama, menghirup harumnya udara laut sambil mengenang langkah-langkah Papa. Dan yang paling meninggalkan kesan ketika saya bisa berpose serupa foto Papa di depan Gedung A-Dome di Hiroshima. Dan semua pengalaman itu telah saya ceritakan kepadanya ketika Papa masih terbaring tak berdaya karena stroke yang menyerangnya. Meski demikian, kegembiraan dan semangat selalu terpancar pada raut wajahnya saat kami bertukar cerita tentang Jepang.

Saya sendiri mengalami rasa emosi yang menggelegak saat berdiri di depan Shwedagon Paya, Myanmar. Karena saya mengenal nama pagoda besar di Myanmar itu sejak masih teramat kecil. Buat seusia itu, mengucapkan Shwedagon teramat susah, apalagi membayangkan letaknya. Namun nama itu begitu kuat menempel di benak sehingga tercetus, one day saya akan sampai ke sana. Dan benarlah saya bisa menjejak ke tempat itu, ke tempat Papa dulu juga berfoto. Sepulangnya saya dari Myanmar, cerita tentang itu teramat membahagiakan Papa. Cerita itu bagaikan tak berakhir, menjadi penyemangat Papa di kala sakit mendera, sesemangat saya menceritakan kepadanya.


Akhir Desember 2019

Dalam bus yang bergerak meninggalkan kota Mekkah setelah melakukan ibadah Umroh, saya diliputi berbagai rasa. Ada kesedihan meninggalkan kota Mekkah, ada juga kegembiraan karena kami sedang menuju Palestina. Dan diantara rasa-rasa yang bercampur aduk itu, di salah satu sudut ruang hati ada denyutan yang teramat pribadi. Yang mungkin tidak terasakan oleh rombongan kami, namun hanya saya sendiri yang merasakan.

Denyut itu begitu kecil tapi jelas, laksana genta-genta yang digoyangkan oleh biksu penjaga kuil yang menghasilkan denting indah yang merambat jauh. Dan denyut itu terjadi karena bus sedang menuju kota yang pernah disinggahi Papa. Jeddah!

Berpuluh tahun silam ketika penerbangan merupakan transportasi termahal sehingga biayanya tak terjangkau bagi kalangan biasa untuk menunaikan ibadah haji, para jamaah hanya memiliki pilihan menggunakan kapal laut. Berminggu hingga berbulan lamanya dari Indonesia untuk mencapai Mekkah dan selama itu kehidupan berjalan tak mudah bagi yang tak biasa. Ombak mengayunkan manusia-manusia yang berjalan, titik keseimbangan raga tak pernah tetap. Bagi yang tak tahan, kepala pusing bahkan sampai mengeluarkan isi perut merupakan peristiwa yang terlalu sering terjadi sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan. Dan para jamaah tamu Allah yang kebanyakan telah lanjut usia itu bertahan semampunya. Bahkan kota-kota yang disinggahi pun tak terlihat menarik lagi karena Jeddah merupakan kota pelabuhan terakhir sebelum akhirnya para jamaah berduyun memasuki Mekkah, kota kecintaan mereka. Tak semua bisa mencapainya, karena sebagian darinya telah syahid dalam perjalanan haji mereka. Dan sesuai protokol yang ada dalam setiap perjalanan di laut, bagi mereka yang dipanggil pulang ke HadiratNya dan freezer tak mampu menampung lagi, satu-satunya jalan adalah mengembalikan jasad yang telah kaku itu ke alam semesta melalui pelarungan.

Saya telah mendengar kisah itu sejak kecil dari bibir almarhum Papa, termasuk manusia-manusia tak sabar yang menyangka pelabuhan-pelabuhan sebelumnya yang disinggahi adalah Jeddah. Mereka sudah tak lagi sabar, ingin segera turun, bersujud mencium harumnya Bumi Mekkah.

Kisah-kisah tentang Jeddah semakin cepat silih berganti menghias benak saya ketika bus mendekati kota yang menimbulkan kenangan itu. Ada sejentik air yang mengembang di sudut mata, sejumput doa terucap dari hati yang paling dalam. Saya menarik nafas panjang untuk menguatkan jiwa. Kali ini, tak ada lagi telinga Papa yang siap mendengar cerita-cerita saya saat mengunjungi kota yang pernah ia singgahi dalam perjalanan dengan kapalnya. Papa telah dipanggil pulang dua tahun lalu.

Masjid Qisas, Jeddah

Meski Jeddah semakin dekat, saya tahu takkan bisa mengunjungi pelabuhannya karena tak pernah ada dalam itinerary. Namun, bisa mencapai kotanya saja, bisa menjejak di bumi Jeddah dan bisa mencium harum udaranya, saya sudah sangat bersyukur. Tak ada waktu untuk singgah kecuali melihat dari atas bus, juga pelabuhannya yang hanya bisa terlihat dari kejauhan. Seperti biasa di bus, saya menempelkan telapak tangan di jendela untuk menyapa tempat-tempat yang mampu mengaitkan kenangan dan juga membisikkan kata dalam jiwa. Dan ketika menjejak bandara Jeddah, pikiran saya terbang ke pelabuhan Jeddah somewhere out there,

Saya telah sampai di Jeddah, Pa, di kota tempat Papa dulu pernah melangkahkan kaki.

Berjuta cerita ingin saya sampaikan kepadanya, karena saya begitu beruntung bisa sampai ke Mekkah dan selepasnya bisa melewati Jeddah dengan sangat cepat, hanya belasan jam penerbangan dan juga dengan bus yang nyaman melalui jalan bebas hambatan. Sungguh tak perlu seperti mereka yang dulu ikut dalam kapal Papa, yang begitu lengkap deritanya, yang begitu panjang perjuangannya.

Ya Allah, begitu banyak saya ingin bercerita kepadanya…


April 2019

Saya memang terlambat melakukan perjalanan ke Mawlamyine (sebuah kota yang diminta Papa untuk saya datangi, ketika kami bertukar cerita tentang Shwedagon). Mawlamyine merupakan kota pelabuhan yang pernah disinggahi Papa dulu. Saya melakukannya 102 hari setelah Papa meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Setelah sore yang mengharu biru (jika berkenan, baca kisahnya Hadiah Manis di Mawlamyine), keesokan paginya saya berjalan kaki menyusuri sungai lebar di depan hotel itu, melepas semua rasa yang ada, membiarkan angin menunjukkan arah kaki melangkah. Sunset yang rupawan sore kemarin tak menyediakan tempat bagi sunrise untuk bertanding dengannya. Kapal tambang yang terbengkalai namun tertambat di pinggir, menambahkan kerak yang tak enak dilihat. Air keruh sungai juga tak mengubah keadaan menjadi manis. Satu-satunya yang mampu melipur jiwa adalah kabut yang melingkupi sebagian dari jembatan membuat pemandangan terlihat magis karena sebagian jembatan seperti hilang ditelan kabut.

Meski tak mengerti banyak hal, saya mencoba memahami denyut kota pelabuhan Mawlamyine itu. Papa tak pernah mengatakan kepada saya secara langsung apa yang menarik dari kota itu sehingga saya harus menemukannya sendiri. Dan setelah mendapatkan hadiah manis seperti yang saya ceritakan pada link di atas, pagi ini saya harus menemukannya kembali. Apakah kabut magis yang menutupi sebagian jembatan itu atau bukan, saya hanya bisa menduga-duga.

Dan langkah-langkah pagi itu membukakan mata saya. Di sepanjang jalan yang disusuri, saya menemukan banyak masjid bahkan Masjid Sunni dan Syiah berdekatan. Di hari itu saya juga berkeliling kota sunset itu. Begitu banyak gereja Kristen maupun Katolik dan aliran lain didirikan di kota Mawlamyine. Bahkan di negeri yang mayoritas penduduknya menganut Buddha ini, saya juga menemukan kuil Hindu yang luas. Dan tentu saja ada banyak kuil Buddha yang amat indah dengan stupa-stupanya yang berlapis emas.

Perlahan saya memahami, mungkin ini yang dimaksud Papa mengenai keindahan Mawlamyine. Kehidupan beragama mereka begitu penuh toleransi. Sebuah teladan yang selalu Papa ajarkan kepada saya, kepada seluruh anaknya. Dan Papa meminta saya untuk ke Mawlamyine, untuk menemukannya. Sebuah keindahan yang saya saksikan namun tak bisa lagi saya ceritakan kepadanya. Saya 102 hari terlambat mengunjungi Mawlamyine…

Terlalu banyak kenangan manis di Myanmar terkait dengannya.


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 5 dan bertema Napak Tilas agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

Shibuya Crossing


Siapa yang tak mengenal Simpang Shibuya (Shibuya Crossing) yang terkenal dengan situasi scramble pada saat lampu lalu lintas bagi pejalan kaki berubah menjadi hijau? Di sana semua kendaraan berhenti dan pejalan kaki diperbolehkan menyeberang dalam marka pejalan kaki, ke jalan di sampingnya dan juga jalan di depannya atau bahkan ke arah diagonal dari kotak persimpangan. Rasanya sebuah situasi yang sangat familiar melihat gambar atau video di Jepang ini karena memperlihatkan begitu banyak orang melintasi sebuah persimpangan dalam satu waktu.

Shibuya Crossing

Bermula dari kemenangan menghadang penjahat yang melakukan penyerbuan ke Imperial Palace di Kyoto jelang akhir periode Heian (sekitar abad ke-11), Kaisar menganugerahkan gelar Shibuya menjadi nama keluarga kepada seorang ksatria yang telah berjasa menjaga eksistensi istana kerajaan itu. Lalu sesuai dengan rencana strategis kekaisaran untuk menjadikan Edo sebagai ibukota Timur (yang saat ini dikenal sebagai Tokyo), sang ksatria membangun kediamannya yang lokasinya tak jauh dari Edo, sebelah barat daya ibukota baru itu. Dan kastil Shibuya itu yang mampu bertahan lebih dari setengah millenium telah menjadikan daerah sekitarnya menjadi sebuah kawasan pedesaan yang kian ramai.

Keramaian sejak berabad lalu itu menunjukkan perkembangan selanjutnya. Tahun 1885 Shibuya menjadi sebuah stasiun kereta di jalur Akabane – Shibuya, yang dalam perkembangan di jaman modern menjadi jalur JR Yamamote line yang terkenal sebagai jalur kereta yang melingkari Tokyo. Di abad ke-19 itu pula karena banyak pabrik bermunculan, pembangunan rumah juga meningkat. Apalagi setelah gempa besar yang melanda Tokyo dan juga kebakaran besar akibat Perang Dunia II, Shibuya tidak turun pamornya sebagai pusat kegiatan masyarakat. Bahkan saat itu Shibuya menjadi lebih terkenal, karena pasar gelapnya mengingat masyarakat perlu menghidupi diri mereka sendiri terutama di masa ekonomi yang suram. Waktu berjalan terus dan sejalan dengan membaiknya perekonomian Jepang, Shibuya semakin menancapkan kukunya sebagai pusat kegiatan perekonomian di Tokyo. Toko dan pusat-pusat perbelanjaan megah, perkantoran, stasiun kereta yang semakin besar dan terintegrasi dibangun di Shibuya.


Beberapa kali melakukan perjalanan ke Tokyo, biasanya saya menyempatkan diri ke distrik Shibuya yang sibuk itu. Tentunya saya naik kereta dan berhenti di Stasiun Shibuya legendaris yang konon memiliki banyak pintu keluar. Tapi tentu saja, paling sering saya keluar melalui Gerbang Hachiko karena melaluinya saya bisa mencapai banyak destinasi. Lewat gerbang Hachiko ini, -selain menemui patung anjing Hachiko yang terkenal sebagai simbol kesetiaan-, saya bisa secara cepat mencapai Shibuya Crossing yang terkenal seantero dunia itu. Rasanya memang menarik melihat situasi “scramble” dari pejalan kaki. Bayangkan saja, dalam satu hari lebih dari ratusan ribu orang bisa melintasi penyeberangan itu dari segala arah menuju tujuannya masing-masing. Luar biasa kan? Benar-benar sebuah kawasan yang hectic di negeri Sakura itu.

Tak jauh dari Patung Hachiko, biasanya saya berdiri di sudut Shibuya Crossing dan menyaksikan keluarbiasaan di depan mata. Seperti melakukan countdown saat pergantian tahun baru, para pejalan kaki berdiri di pinggir jalan sambil menghitung dalam hati lampu lalu lintas berubah hijau untuk pejalan kaki. Begitu banyak manusia berdiri di sudut-sudut jalan menanti lampu berubah menjadi hijau lalu serta merta pejalan kaki tu memenuhi ruang dalam persimpangan. Seperti ratusan lebah yang terbang karena sarangnya dirusak, semua pejalan kaki yang tadinya berdiri di pinggir jalan tiba-tiba bergerak cepat menyeberang tanpa menabrak satu sama lain. Pemandangan yang luar biasa! Seakan memastikan bahwa Shibuya memang sebuah hub sejak berabad-abad lalu.

Ada banyak turis di dalam ratusan orang yang menyeberang dalam satu kesatuan waktu itu, berbaur bersama orang-orang lokal yang benar-benar membutuhkan simpang Shibuya itu. Turis lebih banyak terjun ke “kolam penyeberangan” hanya untuk merasakan sensasi berada di Shibuya Crossing. Mereka menyeberang dan kembali lagi, melakukan selfi atau wefie. Tidak jarang membuat video proses scramble itu dengan berbagai efek, termasuk efek Boomerang-nya Instagram. Pokoknya eksis di Shibuya 😀 😀 😀

Waiting for the green light
A shuttle bus passing by…

Apalagi dengar-dengar katanya Stasiun Shibuya akan direvitalisasi, pastinya akan lebih megah dan tentunya berakibat Shibuya Crossing akan semakin hectic. Dengan semakin banyak gedung pencakar langit yang berisi perkantoran, mal dan tempat belanja eksklusif di sana, tidak heran Shibuya semakin ramai. Sekarang saja, amat mudah menemukan orang yang berbelanja di Shibuya 109, mal 10 lantai yang populer di kalangan perempuan muda. Termasuk bangunan baru Shibuya Stream yang memiliki 35 lantai yang penuh dengan toko, restoran, dan kafe.

Memang, Shibuya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dan akan terus menjadi primadona sebagai destinasi utama di Tokyo!


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-51 bertema Hectic agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Kyoto, Satu Hari Dalam Musim Gugur


Salah satu musim terbaik untuk mengunjungi Kyoto, Jepang adalah musim gugur, meskipun musim-musim lain tidak kalah menariknya. Tetapi ini soal selera ya, karena saya lebih suka musim gugur daripada musim semi yang juga membuat Kyoto itu sangat cantik luar biasa. Lagi pula udaranya sejuk, belum terlalu dingin.

Jadi awal bulan Desember beberapa tahun lalu, saya mengajak suami, berdua saja, untuk kembali menikmati Jepang. Dan saat menginjak Kyoto, uh, rasanya tidak ingin pulang ke Indonesia. Tentunya pada pagi hari kami mengunjungi Kinkakuji, kuil emas yang sangat terkenal seantero Kyoto dan menjadi icon kota tradisional ini. Dan berkali-kali ke Kinkakuji tidak pernah membuat saya bosan, meskipun tahu tempat ini selalu dipenuhi pengunjung!

IMG_0817
One perfect morning At Kinkakuji

Herannya kalau sedang liburan itu, waktu terasa seperti kilat alias cepat sekali jalannya. Gara-gara waktu yang berjalan cepat ini juga, kami secepat kilat menuju Higashiyama untuk mengunjungi Kiyomizudera, yang sayangnya sebagian tempatnya sedang direnovasi.

Bagi yang pernah ke kuil ini, tentu tahu bahwa Kiyomizudera sangat luas. Dan sang suami tertarik untuk menikmati semua sudutnya. Alhasil kami berdua seperti anak muda yang sedang jatuh cinta, jalan pelan-pelan berdekatan dan setiap tempat yang penuh warna kami berfoto 🙂  (Tapi sudah gak ada gombal-gombalan deh karena semua kartunya dah ketauan  😀 😀 😀 )

Tapi tak ada yang bisa menolak bahwa Kiyomizudera memang sangat cantik saat musim gugur, kontras sekali dengan langit Kyoto yang biru. Meskipun jauh mengelilingi halaman kuil, kami tak merasakan karena banyak berhenti untuk foto. Asli sampai lupa urusan perut sampai tidak diperhatikan.

Akhirnya di ujung pintu keluar, -sebenarnya waktu juga yang mengingatkan karena sudah agak sore-, barulah kami mendengar suara naga di perut kami berdua. Masalahnya lidah kami berdua tidak begitu cocok dengan makanan Jepang. Susah kan… mosok mau makan gudeg di Jepang? Kami menyusuri toko-toko yang sangat khas Jepang, berharap menemukan restoran yang sesuai lidah kami. Dan untunglah, Semesta Mendukung kami menemukan rumah makan yang menyajikan makanan yang sesuai lidah dan perut.

Urusan perut selesai, kami melanjutkan perjalanan lagi dengan berjalan kaki menuju kuil Kodaiji. Di tengah perjalanan, beruntung kami bisa bertemu dengan pengantin yang kelihatannya sedang terburu-buru sambil mengangkat gaun putihnya agar tak terinjak. Tiba-tiba saya tersadarkan, tempat kami berjalan merupakan kawasan untuk pejalan kaki. Jadi kasihan juga pengantin itu, harus turun dari mobil jauh di ujung jalan lalu berjalan ke kuil tempatnya ia menikah. (Betapa nyaman ya menikah di Indonesia, pengantin bisa turun dekat dengan tempat nikahnya!)

Kami juga bertemu dengan perempuan-perempuan yang mengenakan pakaian tradisional Jepang dengan wajah putihnya layaknya geisha. Melihat warna kerahnya, saya menduga mereka adalah turis yang sengaja berdandan seperti maiko atau geiko (geisha). Tetapi mereka sepertinya berkenan menjadi obyek foto dari orang-orang yang terpesona dengan pakaian dan dandanannya, termasuk saya sih hehehe…

Kuil Kodaiji tak jauh lagi. Kuil ini memang salah satu kuil di Kyoto yang must-visit selama musim gugur karena terkenal keindahan iluminasinya. Lampu-lampu diletakkan sedemikian rupa sehingga keindahan warna musim gugur tetap bisa terlihat pada saat malam! Dan beruntung sekali, saat sampai di kuil itu, langit belum gelap namun beberapa lampu telah dinyalakan. Mata kami dimanjakan dengan keindahan saat matahari masih terjaga di Kyoto dan saat matahari telah terbenam. Apalagi ada bulan sabit terbit di langit malam! We’re so blessed!

Jaket mulai dikenakan karena angin malam semakin terasa menusuk. Bersama pengunjung lain, kami mengarah ke tengah taman Kodaiji yang terkenal. Di dekat kolam taman kami terpesona. Airnya yang tenang menjadi pemantul sempurna dari keindahan pohon-pohon warna-warni di atasnya. Masya Allah…

Menyaksikan keindahan itu, terdengar begitu banyak suara shutter kamera, yang bukan hanya dari turis melainkan juga dari masyarakat lokal Jepang yang menyukai keindahan.

IMG_1051

Tanpa terasa malam semakin pekat, seakan mengingatkan kami harus mengakhiri perjalanan hari ini. Kaki kami terasa pegal (tapi bukankah di Jepang, kaki selalu terasa pegal? 😀 ). Namun keindahan kuil Kodaiji belum berakhir.

Meskipun dengan kaki yang mulai terasa berat untuk melangkah, sambil menuju pintu keluar kami menyaksikan hutan bambu seperti di Arashiyama yang diberi pencahayaan ke atas. Wah! Saya pernah membaca bahwa pada musim gugur, hutan bambu Arashiyama diberi lampu yang pasti terlihat magis sekali tetapi sayangnya untuk melihatnya harus menginap di dekatnya karena akses transportasi yang terbatas. Dan di sini, di kuil Kodaiji, kami menemukan pemandangan yang serupa hutan bambu yang diterangi dengan pencahayaan ke atas, -tanpa perlu ke Arashiyama-, tentu hal ini sebuah anugerah luar biasa banget!

Malam itu dengan rasa syukur mendapatkan semua yang begitu indah dalam satu hari, kami kembali ke hotel. Meskipun terseok-seok untuk mencapai hotel dan tidak mau menggunakan taksi mengingat mahalnya, bagi kami berdua hari itu merupakan salah satu hari yang sempurna dalam perjalanan hidup kami.

Ke Kyoto memang tak cukup satu hari!

IMG_1090
Bamboo groves at night in Kodaiji Temple, Kyoto

*


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, danCerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-38 ini bertema A Day In Life agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Sepenggal Jalan Tanpa Warna



Tokyo, satu hari sebelum Natal 2018

Sebenarnya hari itu adalah ulang tahun saya, tetapi bagi saya hari itu masih tanpa warna meskipun tepat pk. 00.00 malam suami dan anak-anak telah memberi surprise berupa kue ulang tahun di tempat tidur. Saya tahu usaha mereka untuk membuat saya kembali ceria dan saya pun berupaya untuk tegar, meski rasanya sangat tidak mudah mengabaikan rasa bahwa saya masih berduka.

Tiga hari sebelumnya, Papa dipanggil pulang oleh Yang Maha Kuasa setelah bertahun-tahun hanya mampu berbaring karena stroke yang dideritanya. Dan karena kakak dan adik seluruhnya ada di Jakarta, dengan persetujuan Mama, kami mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir pada hari yang sama meskipun gelap malam telah menyelimuti. Hari itu semua urusan selesai dengan doa-doa tak putus bagi yang pergi maupun untuk yang ditinggalkan agar ikhlas dan tabah menjalani hari.

Namun bagi saya, itulah hari ketika saya kehilangan warna-warni.

Satu hari setelahnya, saya sekeluarga meninggalkan Jakarta menuju Jepang, meninggalkan keluarga besar dan kerabat yang meriung di rumah Mama merapal ayat-ayat suci dan doa-doa. Sebenarnya rencana pergi ke Jepang sudah hancur berantakan saat mendengar Papa berpulang, tapi di atas pusara malam itu semuanya berubah. Di antara duka yang menyelimuti tergambar di benak kebahagiaan Papa bila saya berangkat ke Jepang mewujudkan impiannya.

Saya seperti ditarik kedua arah yang berlawanan; tinggal bersama mereka berbagi airmata duka dan di sisi lain pergi meninggalkan sekumpulan duka. Padahal Jepang awalnya adalah liburan namun juga menjadi tempat kenangan Papa. Entah kenapa situasi seperti itu, -yang saling berlawanan kutub-, sudah terlalu sering hadir secara bersama-sama dalam keseharian kehidupan saya.

Dan hari itu, tepat hari ulang tahun saya, hati saya masih sama, tanpa warna. 


 

Shinkansen Joetsu dengan kereta bernama Tanigawa itu akhirnya berhenti di Stasiun Gala Yuzawa, setelah sekitar 75 menit meninggalkan Tokyo. Kedatangan kami di stasiun itu disambut dengan serangan udara dingin dan hujan salju tipis! Brrrrr….

Meskipun ingin cepat bermain salju tapi sebagai perempuan tetap saja penampilan dipertimbangkan baik-baik. Alhasil perlu waktu cukup lama untuk urusan sewa menyewa sepatu boot, sarung tangan dan peralatan bermain salju. Rasanya sibuk sekali untuk urusan receh seperti ini. Pantas atau tidak, apakah kebesaran atau kekecilan, apakah ini atau itu… belum lagi ditambah, cantik gak ya nanti… bla-bla-bla… *suami nungguin para perempuan dandan, di pojokan  😃

Tak lama sampailah kami pada awal dari sepenggal jalan tanpa warna itu. Kami berempat harus naik kereta gantung, -disebut Gondola di Gala Yuzawa-, untuk sampai pada tempat bermain salju itu. Antrian naik Gondola tidak panjang dan tak lama kami berempat telah duduk dengan hati berdegup kencang jelang berangkat.

Empat manusia tropis dalam Gondola itu tak berucap satu patah kata pun pada detik pertama kereta gantung meninggalkan stasiun. Yang pasti semuanya, termasuk saya, terpesona menyaksikan alam tertutup salju. Putih semua, hanya menyisakan sedikit warna gelap yang tak dapat dijangkau salju. Titik-titik air yang menempel di kaca Gondola tidak menjadi halangan untuk mengagumi keindahan pemandangan alam.

Saya tersadarkan dan merasa ditegur untuk melihat dan mensyukuri apa yang telah diberikan. Yang Maha Kuasa menghamparkan kado ulang tahun terindah buat saya, pemandangan alam yang sangat cantik, yang luarbiasanya, ternyata senada dan selaras dengan sendu hati saya yang sedang kehilangan Papa tercinta.

DSC06817
The trip to Gala Yuzawa

DSC06822
Raindrop on the window

Kereta gantung atau Gondola membawa kami semakin tinggi, bergulir di kabel yang terentang di antara tiang-tiang yang berdiri dalam diam. Begitu banyak pohon dengan ranting-rantingnya yang terlihat berat oleh salju yang bertumpuk-tumpuk. Melihat pemandangan sekitar, seakan-akan alam pun menyesuaikan dengan perasaan saya yang sesungguhnya. Tanpa warna, kelabu. Putih hitam dengan seluruh nuansa kelabu diantaranya.

Meskipun tak bisa menghilangkan denyut duka dalam hati, saya tetap terpesona dan mengucap syukur atas kado ulang tahun berupa keindahan alam yang terhampar di depan mata. Alam Semesta yang begitu indah, meski tanpa warna. Keindahan yang berbeda, yang tak biasa, seperti dunia mimpi, dunia dongeng yang magis dengan peri-peri yang bersembunyi di balik pohon-pohonnya.

Seakan menjelaskan dalam situasi nuansa hitam putih pun, selalu ada keindahan. Di balik duka itu ada bahagia dalam wajah yang sama.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Sepenggal jalan tanpa warna itu hanya berlangsung kurang dari 10 menit, terasa begitu cepat. Pemandangan alam penuh salju, bukan merupakan pemandangan biasa bagi orang-orang tropis seperti kami. Sejauh mata memandang, semua tertutup salju. Belum tentu setahun sekali kami bisa melihatnya dan merasakannya.

Sesampainya di tempat bermain ski, begitu turun dari Gondola, anak-anak langsung menghambur keluar. Ingin langsung merasakan salju di sepatu bootnya, di tangannya, di wajahnya. Rupanya kado ulang tahun saya belum selesai, alam masih menambahkan berupa hujan salju tipis. Membuat mereka semua tertawa bahagia sambil foto-foto untuk Instagramnya. Butir-butir salju jatuh di beanie berjambul dan jaket musim dingin yang mereka kenakan. Saya tahu meskipun airmata di dalam hati belumlah kering, namun Allah Yang Maha Baik selalu bisa menggembirakan dan membahagiakan saya, apalagi pada hari spesial.

Tidak hanya kami, di sana orang-orang dewasa pun tanpa malu-malu melupakan ‘jaim’-nya mereka dengan bermain dan melempar salju, meluncur dari atas bukit dengan luncuran plastik yang kekecilan untuk ukuran tubuhnya dan membiarkan tubuh mereka terlonjak oleh gundukan salju dalam tawa yang tak habis-habis. Di sana, duka bersembunyi, yang ada dimana-mana hanyalah gembira dan tawa. Juga saya yang sedang belajar tertawa bersama mereka semua.

Seperti juga semasa kecil, saat bermain adalah saat-saat paling menyenangkan. Bermain, makan lalu bermain lagi, adalah yang terjadi pada kami semua di Gala Yuzawa. Kami semua tak ingin kesempatan bermain salju cepat berlalu. Apalagi saat winter, hari sangat pendek, matahari terbitnya terlambat namun matahari juga cepat tenggelam, jam 5 sudah gelap. Dan waktu jugalah yang akhirnya menyadarkan kami semua, setiap awalan memiliki akhir.

Dan kami harus menempuh lagi jalan itu, sepenggal jalan tanpa warna. Kali ini menurun menuju lembah. Dari sebuah posisinya yang tertinggi, kami masih tetap saja terkagum-kagum bisa melihat Stasiun Shinkansen jauh di bawah sana, tempat kereta yang akan membawa kami kembali ke Tokyo.

Bagi saya sendiri, perjalanan hari itu merupakan perjalanan penuh rasa yang saling bertolakbelakang namun berada di hati yang sama dan tak terpisahkan, dengan pengelolaan yang seharusnya seimbang pula. Sebuah pembelajaran yang mengingatkan saya kepada Sang Nabi-nya Kahlil Gibran dalam Suka & Duka

Bahwa keduanya tidak terpisahkan.
Bersama-sama keduanya datang, dan bila yang satu sendiri bertamu di meja makanmu,
Ingatlah selalu bahwa yang lain sedang ternyenyak di pembaringanmu.

DSC06818

The Gondola of Gala Yuzawa

DSC06819
The valley

DSC06832
Shinkansen Station is down there


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-34 ini bertema Black & White agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Api Perdamaian Di Tengah Hujan


Hiroshima Peace Memorial Park
Hiroshima Peace Memorial Park – Do you see the eternal peace flame?

Saya tidak bisa melupakan momen itu, momen melihat api perdamaian di tengah hujan lebat saat berteduh di bawah Sky Bridge Museum Perdamaian Hiroshima. Antara keringat, -karena berlari dari Gedung Atomic Bomb hingga ke Sky Bridge-, dan basah karena kehujanan serta air tampias membuat saya agak kedinginan di tengah musim panas itu. Angin berhembus cukup kuat di bawah Sky Bridge, tapi saya tetap terpaku pada apa yang saya lihat. Api Perdamaian yang tetap menyala meskipun di tengah hujan lebat, dan bisa terlihat meskipun saya berjarak cukup jauh dari api perdamaian itu.

Hujan membuat saya berpikir lebih dalam di tempat saya berdiri, yang 71 tahun lalu rata dengan tanah karena di bom atom. Disini, di tempat saya berdiri, merupakan ground-zero, tempat yang semuanya pernah musnah dalam sekejap, apalagi manusia yang hidup di dalamnya. Namun dari Hiroshima dan Nagasaki, dunia belajar mengatasi kecintaan manusia kepada kekuasaan, Seperti kata Jimi Hendrix,

When the power of love overcomes the love of power, the world will know peace

Di tempat saya berdiri, empat unsur kehidupan seakan sedang berlomba menunjukkan diri di panggung. Udara yang menyediakan ruangnya, Tanah yang menyediakan tempat berpijaknya, Api yang menyala serta Air hujan yang turun dari langit. Di tempat yang berpuluh-puluh tahun lalu hancur luluh lantak akibat keserakahan manusia dan dunia perlu waktu yang sangat lama (hingga kini masih) untuk bisa mengatasinya. Dan saya terperangah saat mencoba memahami maknanya

Api dan Air, dua elemen kehidupan yang sepertinya berpunggungan. Seperti diri dan bayangan, dua bagian dari yang satu, tapi tetap terpisahkan. Tetapi, kedua unsur itu juga merupakan unsur dinamika, unsur perubahan yang selalu dinamis. Dan bersama elemen lainnya, membuat kehidupan itu bergulir dengan segala bentuk dinamikanya.

Saya terpesona saat Semesta menghamparkan pembelajaran di depan mata. Berpuluh tahun silam, perdamaian diluluhlantakan di ground-zero ini oleh manusia-manusia haus kuasa, memenangkan api dengan menjatuhkan bom atom yang membakar, dan mereka yang sempat tersisa mencoba hidup mencari air yang tinggal sedikit di tengah udara yang tak lagi bersih. Dan bumi menangis.

Dan 71 tahun kemudian, saat saya berdiri di ground-zero itu, Hujan lebat turun dari langit, Alam tak menghendaki api abadi perdamaian itu meredup dan mati, Api itu tetap menyala, sebagai simbol, dua yang satu, yang tidak memenangkan satu unsur terhadap yang lain.

Api yang menyala terus itu simbol perdamaian, salah satu elemen hidup yang sepenting empat unsur lain dalam kehidupan, -Udara, Air, Api, Tanah-, yang seharusnya terus menyala dalam setiap jiwa manusia. Sayangnya, perdamaian merupakan unsur yang paling sering dan paling mudah dirusak manusia.

Peace is one of life’s most vital element that is as important as air, water, fire or earth. Unfortunately, it is the most undermined, but yet inevitable (Ayeni Solomon Ayodele)

Saat itu, sepertinya saya tak ingin hujan berhenti. Rasanya terlalu indah menyaksikan pemandangan api yang terus menyala di tengah hujan lebat. Bagi saya, saat itu sangat menggetarkan jiwa. Bisa jadi karena tempatnya, atau karena momentumnya.

Lalu, seakan ditunaikan, keinginan saya agar hujan tak berhenti langsung diwujudkan dalam penggambaran mini. Di kaki air hujan yang tak tertampung drainase mulai mengalir membasahi area dan membuat genangan kecil. Saya terperanjat, menyadari kesalahan berkeinginan, Air, seperti juga api, bila tak terkendali dalam keseimbangan, bisa sangat merusak.

Dan dalam banyak hal, seringkali manusia penyebabnya.



Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina, A Rhyme in My Heart dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-10 ini bertemakan Hujan agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

 

What Do You Think About Kyoto Station?


Pertama kali menginjakkan kaki di Kyoto, -setelah sekitar 2,5 jam naik Shinkansen dari Yokohama-, saya benar-benar dibuat terpesona akan kemegahan stasiun di kota yang dulu pernah menjadi ibukota resmi kekaisaran Edo. Awalnya terbayang sesampainya di Kyoto saya akan melihat gedung penuh budaya tradisional Jepang, namun kenyataannya adalah gedung megah multi-level yang menggunakan struktur baja setinggi 60 meter dengan gayanya yang ultra-modern. Asli keren!

Begitu turun dari kereta peluru Shinkansen itu, saya berbaur dengan begitu banyak orang pengguna stasiun kereta yang katanya terbesar nomor 2 setelah Nagoya (Bahkan Tokyo saja kalah, padahal Tokyo Station itu rasanya besaaaarr sekali!) Bahkan tak hanya stasiun, di gedung ini juga terintegrasi hotel, restoran, toko-toko, tempat hiburan, panggung dan banyak fasilitas lain untuk memenuhi kebutuhan pengunjung.

p1030176
Inside Kyoto Station

Dan ternyata sejarah stasiun ini menarik juga. Gedung stasiun kereta pertama kali dibangun tahun 1877 menggunakan bata merah (saat itu penggunaan bata merah merupakan bahan paling modern) dan berlokasi agak ke Utara dari lokasi sekarang. Bahkan Kaisar Meiji sendiri hadir dalam pembukaan stasiun pertama itu. Hebat ya? Lalu karena semakin banyak orang yang memanfaatkan stasiun, maka stasiun kedua dibangun pada tahun 1914 bertepatan dengan upacara penobatan Kaisar Taisho. Menempati lokasi di gedung saat ini, stasiun kedua itu dibangun menggunakan kayu pohon cemara dengan gaya Renaissance yang menawan dan menjadi kebanggaan perkeretaapian nasional Jepang, sementara stasiun pertama diubah menjadi alun-alun publik. Sayangnya akibat terbakar habis di tahun 1950, stasiun Kyoto dibangun kembali secara terburu-buru dengan menggunakan beton agar fungsinya bisa berlanjut. Baru pada tahun 1990-an untuk memperingati 1200 tahun berdirinya kota Kyoto, setelah musyawarah berkepanjangan selama dua puluh tahun, diadakan kompetisi pembangunan baru dengan melibatkan tujuh arsitek kelas dunia. Akhirnya Hiroshi Hara yang memenangkan kompetisi, dengan menggunakan struktur kaca dan baja yang sangat futuristik. Disain itu mendapat kritikan keras dari masyarakat setempat karena katanya, merusak pemandangan Kyoto sebagai kota tradisional. Tapi bangunan 15 lantai itu selesai juga dalam waktu tiga tahun lebih dan dibuka pada tahun 1997. Walau hingga kini masih menuai kritik, tapi perhatikan saja, banyak wajah yang terkagum-kagum, termasuk saya, melihat kemegahan futuristik Stasiun Kyoto.

Dalam menjelajah Stasiun Kyoto, sambil menunggu jadwal kereta, saya sempat menyaksikan pertunjukan musik Hawaii-an yang mengalun, lengkap dengan ibu-ibu yang tidak muda lagi, menyanyi sambil berlenggak-lenggok. Saya benar-benar terhanyut mendengar musiknya. Selain itu , di lantai paling atas, -The Sky Garden-, kita bisa melihat seantero kota Kyoto. Tapi perlu diingat ya, arsitektur stasiun ini dibuat terbuka sehingga dari ketinggian lantai-lantai atas, kita bisa melihat langsung kesibukan di lantai-lantai bawahnya secara langsung. Bagi yang punya phobia ketinggian, be aware ya!

p1030229
Hawaiian Music… Alohaaa…

img_8229
Kyoto Station from top

Orientasi Arah di Stasiun Kyoto

Untuk mudahnya, stasiun ini bisa dimasuki dari arah Utara dan Selatan. Pintu masuk utama berada di sisi Utara, yang langsung berhadapan dengan stasiun bus dan menara Kyoto (Jadikan menara ini sebagai pegangan agar tidak mudah tersesat). Pintu Utara ini dikenal sebagai Gerbang Chuo atau sering juga disebut Sisi Karasuma (karena jauh di Utaranya terdapat stasiun Subway Karasuma, yang merupakan stasiun interchange untuk kedua jalur subway). Sedangkan sisi selatannya disebut Sisi Hachijo, sesuai nama jalan di depannya, disini terdapat hotel dan mal. Di sisi Selatan ini merupakan peron Shinkansen.

Nah jika masuk dari Pintu Utara mau ke peron Shinkansen yang ada di Selatan, naiklah ke lantai 2 bagian Barat stasiun. Disini ada jalur pejalan kaki yang membentang dari Utara hingga Selatan, melewati pertokoan Isetan, Gerbang Barat untuk Kereta JR dan akhirnya Peron Shinkansen di Selatan (sebenarnya tenggara sih 🙂 ) atau di sebelah kiri dari tempat jalan kaki.

Cara lain, dengan melalui jalur bawah tanah (basement) yang terletak di bagian Timur stasiun dan membentang dari Utara ke Selatan juga, serta menghubungkan ke pintu-pintu masuk JR Lines, Shinkansen maupun Subway. Di Bagian Utara basement terdapat pusat perbelanjaan Porta yang memungkinkan untuk muncul di Stasiun Bus atau bahkan ke Subway.

Jangan takut, semua petunjuk nomor peron terlihat jelas, baik dalam bahasa Inggeris maupun bahasa Jepang (jika bisa baca tulisan Jepang ya)

img_8227
Sky Garden Kyoto Station

Jalur Kereta JR

Bagi pemegang JR Pass untuk pergi ke daerah wisata dari Kyoto, bisanya mengakses kereta-kereta JR melalui nomor peron di bawah ini (karena gratis kan..)

  • Peron 0 untuk kereta Thunderbird Limited Express di Jalur Hokuriku menuju Kanazawa & Toyama (untuk menuju kawasan wisata Shirakawago, Alpine Route dan lain-lain).
  • Peron 4 dan 5: untuk kereta JR Kyoto Line menuju Osaka atau Himeji (terkenal kuil yang berwarna putih sebagai UNESCO World Heritage Site)
  • Peron 6 dan 7: untuk kereta Super Hakuto Limited Express di Jalur Chizukyuko menuju Tottori & Kurayoshi. Juga untuk kereta Kuroshio Limited Express di Jalur JR Kinokuni yang menuju Wakayama (yang terkenal dengan pemandangan airterjun tinggi di sisi kuil merah).
  • Peron 8, 9 dan 10: untuk kereta Jalur JR Nara menuju Inari, Uji & Nara (untuk ke kuil Fushimi Inari yang terkenal dengan ribuan tori dan ke Nara yang terkenal dengan Buddha Raksasa dan kejinakan rusa-rusanya)
  • Peron 30 yang ada di sudut barat laut Stasiun: Untuk kereta Haruka Express Limited, menuju Bandara Internasional Kansai (KIX) di Osaka
  • Peron 31, 32 dan 33 yang juga ada di sudut Barat Laut Stasiun: untuk kereta Jalur JR Sagano menuju Nijo (kastil terkenal), Saga-Arashiyama (untuk ke kawasan hutan bamboo atau kawasan turis yang terkenal keindahannya saat musim gugur atau musim semi)

Shinkansen

Seperti yang sudah saya tulis di atas, peron Shinkansen terletak di sisi Selatan atau persisnya di sisi tenggara Stasiun Kyoto, yang melayani jalur kereta Tokaido Shinkansen antara Tokyo dan Shin-Osaka.

  • Peron 11 dan 12: untuk naik kereta Shinkansen menuju Tokyo atau Nagoya.
  • Peron 13 dan 14: untuk naik kereta Shinkansen menuju Osaka (Stasiun Shinkansen Osaka berada di Shin-Osaka, bukan di Osaka Stasiun ya) dan Fukuoka/Hakata (termasuk ke Okayama, yang terkenal kastilnya atau Hiroshima, kawasan memorial bom atom)

img_8230
From the top corner of Kyoto Station

Kereta Bawah Tanah Kyoto

Jalur Subway Kyoto hanya ada 2, Jalur Karasuma yang membentang dari utara ke selatan melalui pusat kota Kyoto. Jalur ini digunakan untuk pergi dari Stasiun Kyoto ke Kokusaikaikan di Utara atau ke Takeda di Selatan, dan bisa transfer di Karasuma Oike (kearah Utara) untuk mengganti ke subway lain yaitu Jalur Tozai yang membentang dari timur ke barat melalui pusat kota.

Pintu masuk ke Stasiun Subway tersebar di seluruh gedung Stasiun Kyoto, namun yang paling mudah berada di bagian Timur gedung. Atau jika sedang berada di luar Stasiun Kyoto atau di area Stasiun Bus yang berada di bagian Utara, banyak petunjuk arah menuju pusat perbelanjaan bawah tanah Porta, tempat yang memilikii akses langsung ke Stasiun Subway Kyoto.

*

Nah bagi saya, berada di Stasiun Kyoto sudah merupakan kenikmatan tersendiri. Saat menunggu jadwal kereta berikutnya atau ketika ingin sedikit bersantai tanpa mengeluarkan biaya apa-apa, berada di Stasiun Kyoto sudah merupakan kesenangan tersendiri. Apalagi jika lapar, banyak sekali restoran disini, tinggal dipilih….

****

Pos ini sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-3 ini bertemakan Stasiun, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Warna-Warni Rute Subway di Tokyo


Sejak pertama kali menjejak Tokyo bertahun-tahun lalu, selain menggunakan kereta komuter JR Yamamote line yang ada di atas tanah, saya selalu menggunakan kereta bawah tanah (Subway), -yang jaringannya sudah mirip Spaghetti-, untuk mencapai destinasi yang saya inginkan, tentunya dengan bantuan aplikasi juga seperti hyperdia(dot)com dan Tokyo Metro(dot)com juga. Saya ingat, pertama kali memandang peta subway Tokyo ini, saya ngakak abis, sambil geleng-geleng kepala, pasrah menghadapi ruwetnya…

Tetapi saya yakin tak sendirian karena, jangankan turis yang baru pertama kali, orang lokal saja kadang terdiam mengamati papan rute kok. Untungnya (iya, selalu ada untungnya kan?), jalur itu dibuat warna-warni. Selain memudahkan untuk menelusurinya, bagi saya peta itu terlihat indah dengan warna-warni rutenya. Satu jalur satu warna, coba bayangkan bila rute itu hanya dibuat hitam putih! :p

tokyo metro

Terima kasih Wikipedia karena katanya, salah satu jalur subway di Tokyo yaitu Jalur Ginza antara Ueno dan Asakusa sepanjang 2,2 km itu, merupakan jalur subway pertama di Jepang yang dioperasikan untuk publik di tahun 1927. (Duh, Indonesia ketinggalan banget ya, hampir 100 tahun bedanya dengan Jepang, padahal di dunia subway pertama kali berfungsi tahun 1863 di London!).

Sekarang ini, di Tokyo tersedia 13 jalur subway yang terdiri dari 9 jalur yang dikelola oleh Tokyo Metro dan 4 jalur yang dikelola oleh Toei Subway, yang melintasi lorong-lorong bawah tanah Tokyo yang bertingkat-tingkat kedalamannya. Setiap stasiun pasti ada lift untuk mereka yang mendapatkan prioritas seperti para lanjut usia dan anak-anak. Maaf ya, saya kadang mencuri kesempatan naik lift itu karena kaki sudah mau putus rasanya…

Seperti yang dilihat pada gambar di atas itu, jalur-jalur subway di Tokyo mencakup:

Jalur Subway Yang Dikelola oleh Tokyo Metro

  1. Jalur Ginza, yang berwarna oranye, mencakup 19 stasiun dari Stasiun Shibuya hingga Stasiun Asakusa, melewati stasiun-stasiun besar seperti Akasaka, Shimbashi, Ginza, Ueno untuk mencapai tempat-tempat turis yang terkenal dan 16 stasiun diantaranya merupakan stasiun transfer dengan jalur lain. Di Shibuya sendiri, sebagai awalan jalur Ginza dan juga dilewati oleh jalur Yamamote, terkenal dengan Patung anjing setia Hachiko dan Persimpangan Pejalan Kaki (Shibuya Crossing), selain menjadi surga bagi yang suka belanja. Saya termasuk pengguna setia jalur ini karena saya biasanya menginap di daerah Asakusa atau Ueno.
  2. Jalur Marunouchi, yang berwarna merah, mencakup 25 stasiun, dari Ogikubo yang ada di Barat Tokyo hingga Ikebukuro, melewati daerah bisnis Marunouchi yang berada di kawasan Stasiun Tokyo. Uniknya, Jalur Marunouchi ini bercabang, sehingga ada sebagian kereta yang melewati 4 stasiun yang berbeda tapi parallel, di wilayah Suginami dan wilayah Nakano. Rasanya, jalur Marunouchi ini satu-satunya jalur subway yang bisa transfer di Stasiun Tokyo (bukan dengan stasiun lain yang terintegrasi dengan Stasiun Tokyo ya), dengan kereta Shinkansen dan kereta-kereta komuter yang berfungsi di atas permukaan tanah.
  3. Jalur Hibiya, yang berwarna perak abu-abu, mencakup 21 stasiun, dari Naka-Meguro di Barat Daya Tokyo hingga Kita-senju. Bahkan dari stasiun terakhir ini, bisa transfer dengan kereta Tobu-Skytree yang menuju Sky-tree. Jalur Hibiya ini juga melewati daerah Ebisu, Roppongi (dekat Tokyo Tower), Tsukiji (untuk mencapai Tsukiji Fish Market), Ueno (untuk transfer dengan Shinkansen yang ke Utara Jepang).
  4. Jalur Tozai, yang berwarna biru langit, mencakup 23 stasiun dari Nakano hingga Nishi Funabashi. Kereta jalur Tozai ini termasuk kereta cepat (Rapid) karena tidak berhenti di beberapa stasiun setelah Toyocho.
  5. Jalur Chiyoda, yang berwarna hijau, mencakup 20 stasiun dari Yoyogi-uehara hingga Ayase atau Kita-ayase untuk jalur cabangnya dari Ayase. Jalur ini digunakan untuk mencapai Mesjid Tokyo yang terletak tak jauh dari Yoyogi-uehara. Jalur ini juga bisa digunakan untuk menuju Taman Yoyogi (turun di Yoyogi-koen)
  6. Jalur Yurakucho, yang berwarna kuning keemasan, mencakup 24 stasiun dari Wakoshi di wilayah Saitama hingga Stasiun Shin-Kiba di sebelah Timur Tokyo. Lucunya, 9 stasiun pertama dari Wakoshi hingga Ikebukuro, jalur Yurakucho ini berbagi stasiun yang sama dengan jalur Fukutoshin. Akhir dari jalur Yurakucho adalah Shin-Kiba yang merupakan 1 stasiun sebelum Stasiun Maihama yang merupakan stasiun transit menuju Disneyland
  7. Jalur Hanzomon, yang berwarna ungu, mencakup 14 stasiun dari Stasiun Shibuya hingga Stasiun Oshiage, yang keseluruhan stasiunnya merupakan stasiun transit dengan jalur lain, kecuali Hanzomon yang merupakan stasiun untuk menuju Gerbang Barat Imperial Palace yang terkenal sebagai tempat turis di Tokyo. Selain itu, stasiun akhir Oshiage merupakan stasiun terdekat untuk mencapai Skytree.
  8. Jalur Namboku, yang berwarna hijau biru toska, mencakup 19 stasiun dari Meguro di wilayah Shinagawa hingga Stasiun Akabane-iwabuch di wilayah Kita. Sebagai warga Indonesia, jika ingin ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo, turunlah di Stasiun Meguro, dan berjalan kaki sekitar 10 menit. Dari tempat ini juga bisa menuju Mesjid Indonesia SRIT di Tokyo, dengan berjalan kaki sekitar 15 menit (walaupun saya sendiri belum pernah kesana ya)
  9. Jalur Fukutoshin, yang berwarna coklat, mencakup 16 stasiun dari Wakoshi hingga Shibuya, melewati stasiun-stasiun penting untuk mencapai destinasi turis, seperti Ikebukuro, Shinjuku, Harajuku. Serunya, stasiun ini merupakan stasiun terdalam hingga 27 meter ke bawah tanah, bahkan di Higashi Shinjuku mencapai 35meter, kata Wikipedia lho…

Jalur Subway Yang Dikelola oleh Toei Subway,

  1. Jalur Asakusa, yang berwarna pink atau merah jambu, mencakup 20 stasiun dari Nishi Magome di wilayah Ota hingga ke Oshiage di Sumida. Bagi yang menginap di daerah Asakusa atau yang mau ke Sensoji Temple, jalur Asakusa ini pastilah sering digunakan selain Jalur Ginza. Jalur Asakusa ini melewati Daimon yang merupakan stasiun interchange dengan Hamamatsucho, yaitu stasiun yang menghubungkan kereta monorail dari Haneda. Jalur Asakusa ini juga sering saya gunakan.
  2. Jalur Mita, yang berwarna biru, mencakup 27 stasiun dari Meguro di wilayah Shinagawa hingga Nishi-takashimadaira di wilayah Itabashi, merupakan salah satu jalur subway yang paling banyak memiliki stasiun pemberhentian.
  3. Jalur Shinjuku, yang berwarna hijau daun atau hijau muda, mencakup 21 stasiun yang berawal dari Stasiun Shinjuku yang sangat luas itu hingga Stasiun Motoyawata di wilayah Chiba.
  4. Jalur Oedo, yang berwarna ruby atau magenta mencakup 38 stasiun dari Tochomae (aneh ya mulai dari stasiun nomor E28), kemudian Shinjuku Nishiguchi, E01 lalu berputar melalui Lidabashi, Ueno Okachimachi, Tsukijishijo, Shiodome, Daimon, Roppongi, kembali ke Shinjuku lalu tadaaa… kembali ke Tochomae (E28) dan lanjut hingga Hikarigaoka. Stasiun ini merupakan salah satu yang terdalam, sekitar 48 meter di bawah permukaan tanah (source: Wikipedia) termasuk saat melintasi di bawah Sungai Sumida.

JR Pass dan Subway di Tokyo

Banyak orang mengira dengan memiliki JR Pass yang mahal itu maka semua moda transportasi di Jepang seluruhnya sudah tercakup didalamnya, padahal samasekali salah. JR Pass akan sangat efektif bila dipakai untuk transportasi antar kota dengan kereta JR, namun rugi jika hanya dipakai di satu kota. Di Tokyo sendiri, memegang JR Pass berarti hanya bisa naik kereta JR (Yamamote dan Chuo-Sobu). Jalur Yamamote yang memutar Tokyo memang melewati hampir semua tempat-tempat turis. HAMPIR lho… -kecuali mau jalan kaki-, karena masih banyak tempat yang bagus yang lumayan jauh (buat saya) kalau jalan kaki. Jadi mending naik subway! Dan yang  pasti adalah: JR Pass tidak berlaku untuk naik Subway.

Jadi apabila JR Pass masih berlaku dan ingin keliling Tokyo, maka kita harus pandai-pandai mengatur tujuan. Jika tujuannya jauh dari stasiun JR Yamamote (bisa naik Yamamote gratis dengan menunjukkan JR Pass), maka sebaiknya membeli tiket subway. Kalau saya, karena malas berpikir, saya beli saja Subway passes, yang 1 atau 2 atau 3 hari (dengan harga masing-masing 800/1200/1500Yen) selama hari itu akan keluyuran di Tokyo sampai kaki pegal-pegal mau copot!

Jika dibandingkan, antara membeli tiket kereta satu per satu sesuai jarak stasiun yang makin jauh makin mahal, saya memilih tiket harian itu. Karena tiket harian bisa digunakan sampai 24/48/72 jam setelah efektif penggunaan kereta pertama kali. Jika jarak terdekat sudah dihargai 170Yen, rasanya tak mengapa saya membeli Subway Pass. Lagipula, dengan kebiasaan saya yang suka tersesat, rasanya tak perlu menyesal kalau salah arah karena tinggal balik lagi kan? Selain itu, tidak perlu lagi pencet-pencet di mesin tiket, apalagi jika mesin penuh maka harus antri, dan itu artinya buang waktu.

Jika menggunakan PASMO/Suica Card (serupa kartu e-money) untuk naik subway, ya hitung saja secara seksama. Dengan menggunakan kartu-kartu itu, tetap saja harga berkisar tak jauh dari 170Yen hanya kita mendapat diskon. Kalau 10 kali sudah 1700 Yen kan? Padahal dengan harga yang sama, saya bisa mendapat kartu pass subway untuk 3 hari dan masih sisa 200 Yen.

Belinya dimana? Ya di semua stasiun subway melalui vending machine. Jangan takut ada bahasa Inggeris kok di setiap mesin itu.

Oh ya, seluruh operasional kereta di Jepang tidak berfungsi 24 jam lho…, ada sih yang sudah beroperasi dini hari, tetapi biasanya sekitar tengah malam sudah berhenti beroperasi. Jadi jangan ketinggalan kereta ya, gak ada kereta lagi yang akan lewat… 😀

<><><>

Pos ini sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu 1 bertemakan Colourful Everywhere, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – Building with A Million Lines


Tokyo International Forum.

Completed 3 years ahead of the millennium, this magnificent building made me amazed with its sophisticated grandeur. It is really an architectural marvel I’ve ever seen. No wonder, it needed a well-planned project that spanned over ten years before finally started to build.

Tokyo International Forum is Tokyo’s first convention and art center which consists of a glass atrium and four buildings with a different design for each.

The glass atrium made me jaw-dropped. It showcases a design of a ship supported by grand and tall pillars. Walking inside the building and looking up, cast a surreal experience for me with breathtaking patterns and lines.

lines1
The up lighted floor near Tokyo International Forum

lines2
Inside Tokyo International Forum

lines3
A Wall of Wooden lines in Tokyo International Forum

Tokyo International Forum
Tokyo International Forum