Berperahu Naga Sepanjang Sungai Parfum


Kota Huế – Vietnam Tengah di bulan Desember

Setelah semalam berkeliling kota Huế dengan menggunakan becak, pagi ini saya menyempatkan diri melakukan tour berperahu sepanjang Sungai Parfum, sungai yang berlimpah bunga di hulu selama musim gugur sehingga konon menjadi harum baunya (tapi saya tidak membauinya lho 🙂 )

Perfume River from my hotel in Hue

Kota Huế di Vietnam Tengah yang memiliki tingkat hujan yang lumayan tinggi di bulan Desember ini, pagi itu tampak berawan, muram dan gloomy, tak beda jauh dengan situasi kota Hoi An yang telah saya tinggalkan sehari sebelumnya. Tetapi saya tak ingin terbawa suasana yang menggiring untuk berlama-lama di balik selimut. Setelah bersiap dan sarapan, segera saja saya menuju tempat perahu bersandar yang tak jauh dari hotel.

Sambil menunggu waktu keberangkatan, saya mengamati perahu wisata yang akan saya naiki. Bentuknya lucu, seperti ada dua kepala Naga di depan. Jika perahu Naga yang asli, kepala Naga benar-benar menyatu dengan badan perahu sedangnya versi KW ini kepala Naganya hanya berupa hiasan. Bagi saya hiasan ini malah menarik perhatian. Siapa sih yang memperhatikan asli atau tidak? Bukankah jika dilihat dari jauh tetap terlihat seperti perahu Naga? 😀

The Dragon Boat

Pada jam yang ditentukan seluruh peserta tur berkumpul, termasuk beberapa turis kulit putih. Kemudian perahu wisata berkepala Naga itu mulai bergerak menyusuri Sungai Perfume yang membelah kota Huế. Tak lama pemandu tur yang berusia tiga puluhan itu mulai mengeluarkan jurusnya bercerita tentang perjalanan hari itu. Sedikit berbeda dengan gaya ngebolang sebelumnya, saya tidak melakukan persiapan dan riset tentang tempat-tempat yang akan dikunjungi. Kali ini, sekali-sekali saya menjadi turis yang nurut pada omongan pemandu, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Dalam hitungan menit perahu melaju ke pinggiran kota Huế, kepadatan kota terasa berkurang dan berganti dengan hijaunya pepohonan serta coklatnya Sungai Parfum. Pikiran saya melayang ke pengalaman di Bangkok, ketika menyusuri sungai Mae Chao Phraya, hanya beda pemandangan. Selagi masih menikmati pemandangan sekitar sungai, mendadak saya merasa perahu mengarah ke kanan dan melambat. Pasti ini pemberhentian pertama.

Rumah Taman An Hiên (Nhà vườn An Hiên)

Setelah turun dari perahu dengan melewati sedikit belukar, kami sampai di gerbang rumah An Hiên. Gerbang rumah dengan lengkung kuno ini terlihat lembab dan memudar meskipun masih terdapat jejak indahnya. Di bagian atas, terdapat hiasan berupa karakter China yang mungkin berarti An Hien dan di bawah lengkung terdapat hiasan bersulur.

Melewati gerbang, terhampar jalan setapak menuju rumah dengan dahan dan ranting-ranting tanpa daun, melengkung membentuk terowongan panjang. Cantik sekaligus menimbulkan misteri. Dan di ujung terowongan itu terdapat pagar berdinding yang sedikit berlumut dengan lubang lingkaran yang membentuk simbol kata Mandarin yang biasanya bernada kebaikan.

Berbelok di ujung jalan, terdapat pintu untuk masuk ke halaman rumah yang penuh dengan tanaman. Sebuah kolam ikan dibuat di bagian depan rumah mungkin bertujuan untuk mendinginkan dan menyegarkan suasana rumah.

Rumah Taman An Hiên yang sudah berusia lebih dari seabad ini relatif masih cukup bagus, pintu dan tiang-tiang kayu di bagian depan cukup baik (meskipun saya teringat rumah-rumah kuno di daerah pecinan yang serupa dan terpelihara dengan lebih baik). Hiasan atapnya cukup menarik perhatian saya. Dan seperti juga turis-turis lain, saat memasuki rumah itu, saya melihat ada altar lengkap dengan foto-fotonya, seperangkat alat minum teh, ruang-ruang kosong berisi tempat tidur kayu. Sayangnya sama sekali tidak ada penjelasan apapun bahkan pemandu tur entah dimana 😀 Saya hanya merasa di negeri antah berantah…

Belakangan baru diketahui, konon, putri ke-18 dari Kaisar Duc-Duc, –yang kontroversial karena penobatannya tak selesai dan hanya memerintah selama 3 hari, 20 – 23 July 1883-, menempati rumah An Hiên sampai tahun 1895, lalu setelah beberapa kali berpindah kepemilikan, akhirnya tahun 1938 rumah ini menjadi milik Nguyen Dinh Chi, seorang kepala daerah setingkat provinsi. Istrinya, Dao Thi Yen, terus merawat rumah ini bahkan mempelopori gerakan melawan kolonialisme Perancis yang terjadi saat itu di Vietnam. Bisa dikatakan rumah An Hiên ini menjadi saksi bisu kegiatan aktivis nasional Vietnam terutama yang berkontribusi besar untuk kota Huế.

Tidak banyak mendapatkan informasi tentang isi rumah, saya kembali ke halaman lagi. Meskipun tidak sempat memperhatikan keberadaannya, konon di halaman ini terdapat berbagai bunga, seperti anggrek dan mawar impor dari Eropa serta berbagai pohon buah seperti manggis, durian, lengkeng dan kesemek langka Tien Dien yang istimewa karena lezat dan tanpa biji. Buah kesemek ini khusus dibawa dari wilayah Nghi Xuan oleh cicit penyair besar Nguyen Du sebagai hadiah untuk keluarga Nguyen Dinh Chi.

Rasanya tak ada yang istimewa saat berkunjung ke rumah Taman An Hiên ini. Mungkin saja rumah ini memiliki nilai historis bagi penduduk Vietnam tapi sayangnya ketiadaan informasi yang melatari rumah ini, membuat pengunjung non-lokal seperti kehilangan spirit dan nilainya (Meskipun saya jadi introspeksi diri, apakah tempat-tempat wisata di Indonesia serupa rumah An Hien ini sudah memberikan informasi cukup dalam bahasa Inggris mengenai tempatnya?)


Setelah semua berkumpul kembali di perahu, kami melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Perfume. Pemandangan yang menarik membuat saya meninggalkan tempat duduk dan melangkah keluar menuju area kepala Naga tempat turis mengabadikan pemandangan sekitar.

Seseorang di antara mereka, -kelihatannya cukup berumur-, menghampiri saya dan mengajak ngobrol mengenai wisata menyusuri sungai ini. Mendengar ceritanya, saya sebagai frequent-traveler ke Cambodia merasa terhenyak juga mengetahui ia baru saja melakukan perjalanan wisata sungai dari Tonle Sap hingga ke Phnom Penh Cambodia, sebuah perjalanan yang masih menjadi impian saya. Ceritanya menginspirasi untuk segera mewujudkan perjalanan itu. Obrolan kami terhenti karena perahu berhenti di sudut sungai yang agak lebih tinggi. Saya terpesona dengan apa yang saya lihat, ada pagoda tua di antara rimbunnya pohon.

Thien Mu Pagoda

Thien Mu Pagoda

Sebagai tempat ibadah kuno berarsitektur indah, tak heran jika Kuil Thien Mu selalu menjadi tempat wisata yang didatangi wisatawan saat berkunjung ke Huế. Pagoda yang juga terkenal dengan nama Heaven Fairy Lady Pagoda itu terletak di Ha Khe Hill, desa Huong Long, di pinggir sungai Perfume atau bisa juga berkendara sekitar 5 km dari Huế.

Pagoda ini memiliki keunikan sendiri karena ada legenda yang menyelimutinya. Dahulu kala, seorang wanita tua muncul di bukit tempat lokasi pagoda sekarang, memberitahu penduduk setempat bahwa seseorang yang sangat berkuasa akan datang dan membangun Pagoda Buddha untuk kemakmuran negara. Waktu berlalu dan legenda tetap menyelimuti kawasan itu. Kemudian, karena legenda itu juga sang pendiri dinasti Nguyen, Lord Nguyen Hoang, -saat itu beliau gubernur provinsi Thuan Hoa (sekarang Hue)-, pada tahun 1601 memerintahkan pembangunan pagoda Thiên Mụ (atau disebut juga Linh Mụ) dan faktanya setelah itu memang membawa kemakmuran bagi negara. Bisa jadi legendanya misterius, tapi tak bisa diabaikan bahwa pagoda selalu dikunjungi orang, dari dalam dan luar negeri. Entah memang untuk melihat pagoda atau untuk membuktikan legenda itu sendiri.

Thien Mu Pagoda

Tentu saja seperti turis lainnya, saya tertarik untuk melihat lebih dekat menara pagoda yang menjulang tinggi. Menara ini dikenal dengan nama Phuoc Duyen, sesuai nama personal dari pendirinya, Kaisar Thieu Tri, dan telah menjadi simbol tidak resmi dari kota Hue. Menara segi delapan yang memiliki tujuh lantai ini menjadi bangunan serupa stupa yang tertinggi di Vietnam, bahkan biasa diasosiasikan (meski tak resmi) dengan ibukota kekaisaran yang berpusat di Hue.

Di dekatnya ada beberapa bangunan lain yang tak kalah menarik, seperti tempat yang menyimpan Dai Hong Chung, sebutan untuk genta sangat besar dari Lord Nguyen Phuc Chu, sejak tahun 1710 yang berukuran 2.5 meter dan beratnya lebih dari 3 ton. Tak jauh juga ada prasasti dari tahun 1715 yang dibuat berdiri di punggung kura-kura marmer besar yang menjadi lambang umur panjang. Saya juga menyempatkan memasuki Aula utama Dai Hung yang megah dan terlihat modern. Isinya barang-barang antik yang amat berharga.

Sambil menunggu peserta tur kembali, saya sedikit googling mengenai sejarah Thien Mu dan terkejut juga membaca hasilnya. Rupanya tak hanya kecantikan arsitekturnya, tetapi ada nilai historis kental dimiliki Pagoda Thien Mu ini yang membuat semangat kebuddhaan di tempat ini tetap terjaga.

Tahun 1963, Hue bergolak. Kebanyakan rakyatnya yang menganut Buddha melayangkan protes anti pemerintahan. Saat itu, Presiden Ngo Dinh Diem, yang naik ke tingkat kekuasaan tertinggi sejak tahun 1955, diduga telah menunjukkan perilaku diskriminasi. Konon, sebagai presiden, ia cenderung memprioritaskan umat Katolik dan melakukan diskriminasi terhadap umat Buddha di bidang ketentaraan dan pelayanan publik serta distribusi bantuan, yang membuat sebagian rakyat Vietnam tidak puas.

Ketidakpuasan akhirnya meledak di Hue di dalam musim panas tahun itu karena terhitung sembilan penganut Buddha tewas oleh tentara dan polisi dari Presiden Ngo Dinh Diem, yang malangnya terjadi pada hari Waisak, hari lahir Sang Buddha Gautama. Protes itu menyebar ke seluruh negeri dan membesar. Dan pusat gerakan umat Buddhist semasa bersejarah itu berada di Pagoda Thien Mu, dalam bentuk mogok makan, tempat barikade manusia dan protes damai.

Tetapi hari itu, saat saya menapaki kawasan Pagoda Thien Mu, rasanya sungguh damai dan tenang karena tempat itu ditata dengan indah, banyak bunga dan pepohonan. Bahkan di bagian belakang taman, terdapat hutan pinus yang wanginya terasa sampai ke tempat saya berdiri. Sungguh tak meninggalkan jejak sama sekali bahwa pernah terjadi gerakan karena sebuah tragedi di tempat yang indah itu.

Waktu berlalu, kami harus melanjutkan perjalanan berperahu. Sayang tak bisa menyaksikan rombongan biksu beribadah saat matahari tenggelam yang konon amat indah di sini. Tapi ah, hari itu, suasananya masih gloomy


Temple of Literature

Meninggalkan Thien Mu, perahu kami melaju melewati Temple of Literature yang lokasinya hanya 1 km dari Pagoda Thien Mu. Pagoda yang juga dikenal dengan nama Van Mieu Hue or Van Thanh ini merupakan tempat untuk pembelajaran ajaran Confusius yang terkenal di China, Korea, Jepang dan Vietnam.

Sayang karena waktu yang terbatas, kami tidak dapat mampir di tempat terkenal yang didirikan pada tahun 1908 semasa pemerintahan Kaisar Gia Long.

Perahu terus melaju menyusuri Sungai Perfume di hari yang berawan. Tak terlihat lagi rumah-rumah penduduk, yang ada hanyalah pepohonan dan perbukitan di kejauhan. Di beberapa pinggir sungai terlihat tempat penangkapan ikan. Serupa di negara-negara lain, sungai merupakan salah satu tempat mata pencaharian yang bisa diandalkan seperti perikanan.

Setelah beberapa lama, akhirnya perahu melambat dan berhenti pada sebuah kaki bukit. Inilah persinggahan terakhir dalam perjalanan dengan perahu. Sebuah kuil kecil yang cantik di antara rimbun pohon.


Hon Chen Temple

Berada di tepian sungai sekitar 10 kilometer dari kota Hue, Kuil Hon Chen merupakan obyek wisata yang terkenal di Hue.

Saya tersenyum saat menjejak di tempat ini karena sehari sebelumnya telah berkeliling My Son, sebuah kompleks percandian Kerajaan Champa. Seperti ada benang merah mengunjungi My Son dan ke Kuil Hon Chen, yang keduanya terkait pada etnis Champa.

Hon Chen Temple
Hon Chen Temple

Dan sebagai tempat ibadah Po Nagar, -junjungan yang dipercaya oleh etnis minoritas Champa-, Kuil Hon Chen menarik untuk didatangi. Karena menurut legenda etnis Champa, Po Nagar adalah putra Raja yang diutus ke bumi untuk menciptakan bumi dan segala jenis kayu dan beras.

Etnis Champa percaya bahwa kuil ini sudah dibangun di lokasinya sekarang berabad-abad lalu dalam bentuk yang paling sederhana namun mengalami penyesuaian dan adaptasi dari waktu ke waktu sesuai perkembangan jaman. Tak heran Hon Chen menjadi tempat untuk recharge kehidupan spiritual dan budaya masyarakat setempat.

Rasanya tak cukup waktu untuk mengabadikan setiap detil yang indah di tempat yang tidak luas namun cantik ini. Apalagi gerimis turun menghiasi hari. Dan si pemandu tur pun sudah memanggil-manggil…

Meski berperahu naga di sepanjang Sungai Parfum telah berakhir di Kuil Hon Chen ini, tur sehari di Hue ini masih berlanjut… Sayangnya suasana masih gloomy


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-46 bertema Sepanjang agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Museum of Champ Sculpture, Da Nang


Hanya beberapa jam untuk menikmati kota Da Nang sebelum kembali ke Tanah Air saat solo-travelling ke Vietnam Tengah, saya menyempatkan diri berkunjung ke Museum of Champa Sculpture, yang lokasinya hanya selemparan batu dari tempat saya menginap. Museum yang menyimpan banyak sekali artefak kerajaan Champa ini memang menjadi tujuan utama saya di kota Da Nang, sebagai pelengkap kunjungan ke My Son, tempat reruntuhan kerajaan negeri Champa berabad lalu.

Sayangnya seperti juga di Indonesia, museum yang menyimpan banyak sejarah kejayaan Vietnam jaman dulu ini tampaknya belum menjadi tujuan wisata dari orang lokal maupun turis asing karena dalam dua setengah jam saya berada di sana, belum banyak orang yang datang berkunjung.

Meskipun akhir pekan, -mungkin saya yang kepagian, namun hingga sampai pulang pun-, sepertinya bukan merupakan waktu berkunjung yang nyaman untuk ke museum. Yang pasti saya memang pengunjung pertama, yang menunggu sejenak hingga gerbang dibuka lalu membayar sekitar 40000 VND untuk masuk.

Ketika masuk ke dalam ruangan, patung batu dewa-dewa utama Hindu beserta pasangannya, Dewa Siwa, Brahma, Wisnu serta Uma, Saraswati dan Laksmi seakan-akan menyambut kedatangan saya (Lhaaa… pikiran saya jadi lari ke film Night in The Museum, yang penghuninya menjadi hidup sepanjang malam)

Sebenarnya kata Champa tidak terlalu asing untuk telinga orang Indonesia, karena dalam pelajaran sejarah saat sekolah dulu (entah sekarang masih diberikan di sekolah atau tidak), kita pernah dengar kisah mengenai Putri Campa yang cantik menikah dengan Raja Jawa. Ada yang masih ingat?

Ada begitu banyak peninggalan Champa yang disimpan di Museum ini, tidak hanya dari reruntuhan My Son, tetapi juga di tempat-tempat lain (dan uuh, akhirnya mampu menimbulkan keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat itu suatu saat nanti)

Bagi saya yang merupakan penggemar candi, membayangkan keindahan seni pada bangunan candi pada masanya memang menyenangkan. Jika di kompleks Angkor Wat ada penggambaran apsara yang sedang menari, di sini terlihat bentuk-bentuk serupa seperti apsara meski berbeda posenya. Saya berlama-lama di tempat ini karena amat menikmati bentuknya yang sedang meliuk-liuk menari itu. Hiasan pada tubuhnya, serta mahkotanya amat menarik hati.

Tak hanya makhluk-makhluk kayangan yang memenuhi museum ini, melainkan ada juga penggambaran kehidupan masyarakat biasa yang sepertinya menggunakan kereta beroda dan juga hewan-hewan yang hidup bersama dalam masyarakat. Ketika melihat sebuah kereta beroda yang amat jelas penggambaran rodanya, saya amat terpesona. Terbayang pada masa itu, roda-roda itu amatlah membantu pergerakan masyarakat.

Lalu melihat adanya sapi, gajah yang tak berhiasan, kuda yang juga ada di antara kereta beroda itu, burung-burung serta kera, seakan memberi konfirmasi ke jaman sekarang bahwa hewan-hewan itu dapat hidup secara baik di antara masyarakat Champa pada saat itu.

Tidak hanya penggambaran hewan-hewan yang hidup secara baik di dalam masyarakat, namun juga mahkluk-makhluk mitos yang dikategorikan suci atau hewan yang digunakan oleh kalangan atas yang tak terjangkau oleh masyarakat biasa. Seperti gajah yang biasa digunakan untuk Raja atau kaum bangsawan biasanya dihias dengan indah, seakan tak akan kalah dengan yang menungganginya. Juga hiasan-hiasan pada sudut bangunan yang biasanya diisi oleh sejenis burung mitos atau singa yang juga dihias dengan indah, dengan hiasan leher yang berumbai. Dan sesuai dengan kepercayaan pada waktu itu, Naga berkepala angka ganjil (lima, tujuh atau sembilan) senantiasa ada pada bangunan-bangunan suci.

Dan saya mencari Garuda, -hewan yang memuja dan menjadi tunggangan Dewa Wisnu-, karena ingin mengetahui bagaimana bentuknya. (Saya jadi terkenang akan Garuda yang dibuat amat indah di dekat kuil Narayan di Kathmandu, Nepal).

Garuda, lengkap dengan detil bulu-bulu dibuat cukup baik. Paling tidak saya bisa menebak dengan benar tanpa melihat informasi yang ada di sebelahnya. Meskipun tak terlalu jelas, Garuda masih tampak mengenakan hiasan-hiasan pada kepala, telinga, leher hingga dada dan pinggulnya. Adanya hiasan-hiasan itu seakan-akan menunjukkan ketinggian tingkatannya.

Di bagian lain, saya juga bisa menikmati penggambaran dengan detil yang menarik. Seakan-akan seseorang yang dihormati sedang menari. Saya hanya bisa menduga, namun tak bisa menyakinkan diri bahwa penggambaran itu adalah The Dancing Shiva.

Selain itu, juga terdapat relief Dewa Wisnu yang sedang duduk di atas Anantasesha dan dipayungi oleh kepala-kepalanya. Uniknya dalam penggambaran ini, Ananta berkepala sebelas, yang biasanya hanya lima atau tujuh.

Saya begitu menikmati semua peninggalan yang ada di Museum ini meskipun informasi yang menyertainya bisa dibilang minim. Tetapi tak mengapa, kadang dengan keterbatasan informasi ini membuat saya lebih tertantang untuk selalu bertanya, siapakah dia, apakah ini, apakah itu dan sebagainya.

Selanjutnya di ruangan tengah, terdapat sekumpulan batuan besar yang dibentuk dengan tatahan yang amat rumit dan agaknya menjadi bagian dari sebuah bangunan suci. Saya bisa melihat gerbang lengkap dengan hiasan melengkung serta dua penjaga gerbangnya. Relief yang amat indah yang menceritakan kehidupan saat itu.  Sayang saya tak bisa berlama-lama menikmatinya karena keterbatasan waktu padahal sangat menarik…

Meneruskan langkah, sampailah saya di sebuah patung perempuan yang dipercaya sebagai Dewi Tara dan tak jauh darinya terdapat patung seorang dewa yang mendapat pencahayaan khusus di sebuah ruangan. Sayangnya saya tidak mengetahui lebih jauh tentang mereka. Pastinya mereka amat dihormati dan amat bernilai dilihat dari pencahayaan dan penyimpanan yang khusus.

Tidak terasa saya sudah sampai di penghujung waktu yang bisa digunakan karena harus segera check-out dari hotel dan kembali ke Tanah Air. Rasanya selalu sama, enggan untuk meninggalkan tempat yang penuh dengan batu-batuan yang dibentuk dengan indah dan penuh makna, padahal waktu tak lagi bersahabat.

Kunjungan ke Museum of Champ Sculpture ini mengakhiri perjalanan saya di Vietnam Tengah dan meninggalkan banyak tempat yang masih harus dikunjungi di Vietnam ini, Na Trang masih menggoda, Vietnam Utara dengan campuran budayanya yang khas… ah, semakin banyak tempat yang belum dikunjungi tapi waktu ini amat terbatas.


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-7 ini bertema Museum agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Ketika Rasa Kehilangan Mendera


 


November 2013 di Gayasan National Park, Korea Selatan 

Di musim gugur malam datang lebih cepat. Saya melangkah pulang mengikuti jalan setapak yang masih menanjak di tengah hutan, sendirian dalam kelam dan dingin. Manusia-manusia lain sudah lenyap dari pandangan, langsung masuk ke rumah setelah gelap datang. Apalagi mereka hampir semua tak bisa berbahasa Inggris. Saya hanya bisa mengira-ngira arah pulang ke terminal bus karena sebelumnya, seperti penumpang lain, diturunkan di tengah jalan dan bukan di terminal karena macet total akhir pekan. Saya menepis rasa takut yang terus menyerang, menahan airmata yang hampir jatuh, mencoba fokus dari kebingungan yang mendera. Praktis saya di ujung putus asa karena kehilangan arah

Akhir Tahun 2014 di Macau 

Di depan konter check-in hotel itu, muka saya langsung pias, -tak bisa melakukan open-deposit-, karena tak menemukan dompet di dalam tas meskipun isinya sudah dikeluarkan semua. Dompet saya hilang! Paniknya tak dapat dirangkai dalam kata-kata. Masih untung perempuan cantik di balik konter itu membolehkan saya sekeluarga memasuki kamar karena semua sudah dibayar lunas. Di dompet yang hilang itu tersimpan semua lembaran uang dengan nominal besar dan kartu-kartu kredit yang menjadi andalan kami untuk berlibur akhir tahun. Dan seketika liburan itu berada di ujung tanduk…

Desember 2015 di Hoi An, Vietnam

Pagi itu di tempat tidur seperti ada yang membangunkan saya untuk memeriksa kembali isi tas. Ketika saya melakukannya, saya tidak dapat menemukan paspor di tempatnya ataupun di tas lainnya! Seketika rasa dingin menyerang ke seluruh permukaan kulit. Setahun lalu dompet, kini paspor! Saya panik tapi mencoba berpikir dengan begitu intens. Membuat rencana. Siapa tahu paspor jatuh di jalan sepanjang malam sebelumnya, harus ke kantor polisi untuk melaporkannya, harus terbang ke Hanoi untuk laporan kehilangan paspor di Kedutaan Besar Indonesia, harus menyiapkan uang tambahan untuk penginapan di Hanoi dan yang pasti sisa liburan pasti berantakan hanya karena paspor tidak ada di tas! Saya mandi yang tak terasa mandi, rasanya lunglai tak berenergi…

 

Siapapun tak ingin menghadapi halangan saat melakukan perjalanan, apalagi saat bepergian ke luar negeri. Namun tak pernah ada perjalanan yang selalu sempurna tanpa halangan. Seperti yang saya alami di atas, mau tidak mau tiga situasi karena rasa kehilangan di atas dan penuh kebingungan harus saya hadapi.

P1030976e
Sign to Haeinsa

Seperti saat hendak pulang di Gayasan National Park, -setelah selesai berkunjung ke Kuil Haeinsa-, saya hanya bisa berjalan berdasarkan intuisi, -sungguh seperti meraba-raba dalam gelap-, berjalan terus tidak tahu apakah benar atau salah arahnya. Saya benar-benar di ujung rasa putus asa namun saya tak mau menangis dan menyerah kalah. Menangis tidak menyelesaikan masalah bahkan memperlemah diri di saat harus tegar menghadapi kebingungan. Saya harus kuat dan hanya bisa terus berdoa untuk ditunjukkan jalan.

Bagi yang pernah membaca Ziarah (The Pilgrimage) atau juga Brida, novel-novel karangan Paulo Coelho, rasanya saya menapaki apa yang disebut di buku itu sebagai Malam Kelam. Dan saya hanya bergantung perlindungan dan kasih sayang kepadaNya. Sungguh saya belajar sungguh-sungguh bergantung total kepadaNya, berserahdiri secara total kepadaNya, memohon pertolongan. Dan apa yang terjadi?

Dan kemudian Dia mengirimkan pertolongan melalui dua orang lanjut usia di sebuah pondok yang saya temui akhirnya di ujung jalan setapak yang saya lalui. Tanpa perlu mengerti bahasa Inggeris, mereka menangkap maksud “bus” yang saya ungkapkan. Mereka berdua, dalam udara dingin, berjalan sebentar lalu menunjukkan arah lampu untuk naik bus berada tempat yang saya harus ikuti (kata terminal itu misleading karena tidak ada bus, kalaupun ada hanya 1 bus). Bagaimanapun, kedua orang lanjut usia yang membantu saya adalah malaikat dalam wujud manusia yang saya temui di ujung rasa putus asa karena kehilangan arah.

*

Situasi serupa penuh dengan kebingungan terulang di Macau. Kali ini saya bertanggung jawab tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk seluruh keluarga juga. Di kamar saya diam seribu bahasa dengan tensi yang meningkat karena situasi yang dihadapi. Saya hanya minta bantuan kepada keluarga untuk mencari tahu nomor telepon hotel di Hong Kong yang pagi harinya kami keluar, nomor kapal ferry yang kami gunakan dari Hong Kong ke Macau, nomor masing-masing pelabuhan hingga nomor taxi yang kami gunakan di Macau.

wallet1

Tanpa menghitung biaya roaming, satu per satu saya menghubungi mereka semua dan semuanya mengatakan tidak ada dompet hitam milik saya. Ada yang penuh empati ingin membantu dengan memberikan nomor telepon tempat yang terkait, tetapi hasilnya sama saja. Tidak ada!

Situasinya sangat serupa, saya mencoba terus tanpa henti hingga ke titik ujung usaha dan akan masuk ke dalam situasi ‘lepaskan atau terjebak pada penghambaan benda’. Seakan diingatkan akan batas ini, saya meluruh dan akhirnya berserah diri. Jika benda itu memang ditakdirkan dipinjamkan kepada saya, ia akan kembali. Bila tidak, biarlah saya menghadapi situasi lain yang berbeda yang memang harus saya hadapi. Saat itu, saya memohon izin untuk satu kali lagi menelepon sebagai upaya terakhir kalinya sebelum saya lepaskan semuanya. Terakhir!

Di Macau itu, saya tak tahu harus menangis atau bahagia ketika suara di ujung telepon mengabarkan dia, petugas tiket ferry di Hong Kong, menemukan dompet dengan ciri-ciri yang sama dengan dompet saya!

*

Saya ingat pagi di Hoi An, Vietnam itu setelah mengubek-ubek isi tas dan mengitari kamar hotel tanpa menemukan paspor dimana-mana. Lenyap dari tempatnya. Rasa dingin seperti tahun lalu kembali menjalar ke seluruh tubuh. Saya duduk di tempat tidur, lunglai dan bertanya dalam hati kepada Dia. Sungguhkah ini? Mengapa Engkau senang sekali bergurau kepada diri ini? Jika setahun lalu dompet, kini paspor.

passport1

Saat itu, meskipun kehilangan paspor, meskipun rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh dan memiliki plan A, plan B, plan C dan seterusnya untuk mengatasi situasi yang saya hadapi saat itu, ada rasa yang sangat berbeda! Jauh di dalam sana, saya merasa dicintaiNya, saya merasa disayang olehNya, saya berlimpah Kasih SayangNya. Ada ketenangan. Saya hanya diminta untuk percaya dan bersabar akan pertolonganNya. Sebuah rasa yang muncul dalam jiwa. Tidak pernah ada yang hilang, Dia menyimpannya untuk saya.

Tapi saya tetap manusia yang penuh tarik ulur yang hebat, yang merasa mampu mendapatkan hasil dari rencana-rencana yang dibuat. Dengan perang antara logika dan rasa, saya berangkat meninggalkan kamar dengan segudang rencana namun tetap percaya PertolonganNya akan datang. Help is on the way!

Berharap mendapat pertolongan pertama dari konter depan, saya mengungkapkan kehilangan paspor sambil mengatakan hendak check-out. Petugas itu lebih concern dengan informasi kehilangan paspor daripada proses check-out. Ia tampak berpikir sebentar, lalu berbalik mencari dokumen menginap di balik konter. Ia berbalik kembali menghadap saya sambil memperlihatkan folder transparan dengan paspor saya di dalam folder itu!

***

Siapapun tak ada yang suka mendapatkan halangan dalam perjalanan. Namun halangan ada, bukan tanpa tujuan. Halangan itu ada untuk kebaikan kita sendiri dan dapat menyempurnakan perjalanan, termasuk perjalanan hidup. Seperti musuh, dari halangan dan kesulitan, kita bisa belajar sangat banyak untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Yang kita perlukan hanya satu, berpegang pada Dia yang selalu ada untuk kita dimanapun kita berada, kapanpun. Selalu dan selamanya.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-36 ini bertema The Invisible Hand agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

 

WPC – The Not-So-Rounded Lanterns


Hoi An, a small city in Central Vietnam, gave me a wonderful impression. One night a couple years ago, I walked through the small lanes of the city which is listed as a UNESCO World Heritage City. A series of beautiful  paper lanterns with various colours and shapes were lit across the lanes above the head of people. And the drizzle of the night emphasized the lovely situation, bringing a romantic atmosphere in the air. Umbrella was wide opened with two bodies of a couple under it, close to each other. I smiled to myself, thinking of  my loved ones…

But as the wise said and I believe…

Always believe that something magical is about to happen

Hoi An Lanterns

Hoi An Lanterns

 

Hoi An Lanterns

Rounded

WPC – The Curves At Night


Colorful Hanging Lamps
Colorful Hanging Lamps

The hanging lamps on streets
The hanging lamps on streets

Bamboo Lamps
Bamboo Lamps

Lamps in Hoi An
Lamps in Hoi An

Walking around at night with a steady drizzle in the old town of Hoi An, Central Vietnam gave me a feeling of romance. The lovely atmosphere -with faintly music coming from the cafés along the small streets -, was decorated with the hanging beautiful curves just above the heads, many more were displayed inside the kiosks. At that time and situation, I could not avoid my feeling that I missed my family, thousands kilometers across the ocean and hoped that they’re always alright. And thinking of my beloved ones made me smiling; because of them and remember a nice word

A smile is the curve that sets everything straight.

Inspired by the The Daily Post Weekly Photo Challenge with Curve as the topic of this week.

WPC – Spare Spot to Illuminate


IMG_0699
An Old Stone Lamp

During a trip in Central Vietnam, I took a full day river cruise on the lovely Perfume River which flows through the city of Huế. At first, we stopped on the bank of the river at a traditional Vietnam house which welcome us with twigs of leafless frangipani trees planted on its spare yard and a central pond with lotus leaves floating. Heavy clouds seen in the sky and to emphasize the gloomy atmosphere, the drizzle decorated the late morning.

But the traditional house we visited was built in the modern era. Beside several bulbs of lamps on its roof and two standing electric fans on the corner, my eyes caught a beautiful old stone lamp in the yard as spare spot for candles or natural torch to illuminate the dark nights. It might not be used anymore but its existence there made me thinking. It could beautify the garden at night if we put the candle in the stone lamp during nights…

And I was thinking further… Like that stone lamp, sometimes we forgot the use of it as time goes by although we’re passing by every day. It’s only standing there, watching us coming and going. Perhaps there are some spare places, deep in our hearts, but we treated those places like the stone lamp. It’s only needed one action to beautify our life. Just ignite it.

In response to the Daily Post Weekly Photo Challenge with the topics of Spare

WPC – Admiration of the Asian Heritages


Been to lots of historical temples in my country since I was kid, made me admiring of the heritage sites, especially temples. When I was in a temple as a kiddie tourist, my mind was full of imagination of the life of people, the communities, their culture and the kingdoms around that time, and the relationships between the kingdoms as well…

As time go by, I can’t help myself not to go to the heritage sites in neighboring countries. With the same curiosity and eagerness seeing the temples, finally I visited to the heritage sites of the related kingdoms in South East Asia. And there I was still imagining the life of people and their culture during the temples’ golden era.

From Indonesia, the Borobudur…

IMG_5394
A guy performs a Pradaksina, the rite of clockwise circumambulating in Borobudur, World Heritage Site in Indonesia

to Cambodia, the Angkor Wat…

IMG_0223e
Sunrise at Angkor Wat – World Heritage Site in Cambodia

Also Preah Vihear, a world heritage temple in Cambodia, near the border to Thailand…

P1020784
Preah Vihear, World Heritage Site in Cambodia

Then to Thailand, the kingdom of Ayutthaya

IMG_7391
Ayutthaya at Night, World Heritage Site in Thailand

Also Sukhothai in Thailand

IMG_6621
Sukhothai – World Heritage Site in Thailand

And to temples of Bagan in Myanmar…

IMG_3370a
Beautiful Heritage Site in Bagan, Myanmar

Then the unforgotten My Son Champa ruins in Central Vietnam

P1030780
My Son, Champa ruins – World Heritage Site in Vietnam

And recently, last week exactly… Wat Phou in Lao PDR

IMG_1172
Wat Phou Champasak, World Heritage Site in Lao PDR

In response to the Daily Post Weekly Photo Challenge with the topic of Admiration

My Son Yang Kehilangan Nama-Namanya


Setelah meninggalkan Hoi An dengan segala huru hara pagi yang mendebarkan, pengemudi setengah baya yang sama yang menjemput saya dari bandara sehari sebelumnya, kini membawa saya menuju My Son, sebuah kawasan UNESCO World Heritage Site di Vietnam Tengah, yang berjarak sekitar 40 km dari Hoi An. Saya tak mampu menyembunyikan kegembiraan hati, apalagi setelah menemukan rambu penunjuk arah My Son 9 km atau My Son 3 km… Seperti mau bertemu sang kekasih…

Tak menyesal saya menyewa mobil untuk sampai ke My Son, karena sepanjang perjalanan tak banyak terlihat angkutan umum ke tempat itu, apalagi jelang lokasi. Bahkan rambu penunjuk arah juga tak banyak. Sepertinya prioritas My Son sebagai kawasan wisata tak setinggi tempat lainnya. Mungkin karena hanya orang-orang dengan ketertarikan tertentu yang akan mendatangi reruntuhan bebatuan candi. Tiket masuk seharga 100.000VND (sekitar 5USD), -tanpa menghitung pengemudi yang asli Vietnam-, bisa dibeli di museum sekitar 2 km sebelum lokasi. Tak lama setelah mobil menempuh jalan sempit berliku mengikuti liuk pegunungan, saya melanjutkan dengan berjalan kaki mendaki dan menuruni bukit kecil. Dengan hati berdebar dan mata takjub saya berdiri memandangi reruntuhan candi utama di kawasan My Son. Akhirnya…!!!

My Son Sanctuary
My Son Sanctuary

Bercikal bakal dari kerajaan Lin Yi yang tercatat dalam sejarah sejak abad-2, sejumlah peperangan antar suku dan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Vietnam Tengah modern tak terhindarkan hingga seorang panglima besar bernama Fan Wen berhasil menguasai dan menetapkan batas utara dan selatannya menjelang akhir abad-4. Keberhasilan Fan Wen dilanjutkan oleh penerusnya, Fan Ho atau Fan Huda atau yang dikenal dengan nama Sansekertanya sebagai Raja Bhadravarman yang dipercaya mendirikan candi pertama yang didalamnya terdapat lingga untuk Dewa Siwa di kawasan My Son. Tidak hanya sebuah candi, bahkan Raja Bhadravarman mendedikasikan kawasan lembah My Son sebagai tempat suci untuk Dewa Siwa, -yang dikenal secara lokal sebagai Bhadresvara-, sesuai permintaannya dalam prasasti agar generasi mendatang tidak menghancurkan kawasan itu. Dan ditambahkan, berbasis pemahamannya akan karma, tertuang juga di dalam prasasti sejenis peringatan, jika lokasi itu dihancurkan maka semua amal kebaikan pihak yang menghancurkan akan berpindah ke Bhadravarman dan semua dosa Bhadravarman beralih ke pihak yang menghancurkan. Namun jika kawasan tersebut dipelihara, maka bertambahlah semua kebaikannya pada sang pemelihara. Dan faktanya permintaan itu diikuti oleh penerus Bhadravarman sehingga My Son menjadi kawasan suci berabad lamanya.

Hebatnya, generasi penerus kerajaan pada abad 7 Masehi juga membangun prasasti berharga yang menuangkan sejarah dan silsilah Raja-raja sebelumnya. Siapa yang mengira dari prasasti ini bisa diketahui Kerajaan Champa memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Khmer Isanavarman I dan sebagaimana legenda Raja-raja Khmer, Raja Prakarsadharma juga menuliskan mengenai kisah legenda pasangan brahmana Kaundinya dan putri Naga Soma. Kisah cinta yang diabadikan ke dalam permukaan batu itu ternyata mampu bertahan berabad lamanya, so sweet…

Dari prasasti abad-10 yang ada di kawasan itu juga menjelaskan fungsi My Son, yang ketika itu menjadi wilayah pusat agama dan budaya bagi masyarakat Champa dan bukan merupakan kota pemerintahan yang ketika itu berada di Dong Duong.

Namun kenyataan sebelas abad setelahnya, -sekarang ini-, tak seindah dulu. Saya menggigit bibir merasakan hati yang berdenyut menyaksikan sebuah cekungan besar berjarak hanya selemparan batu dari bangunan candi yang strukturnya terlihat sangat rapuh. Cekungan besar itu merupakan kawah akibat bom yang dijatuhkan oleh pihak Amerika Serikat pada bulan Agustus 1969. Sebuah ‘memorial’ ironis, satu dari begitu banyaknya kawah yang terbentuk akibat bom-bom yang dijatuhkan di sekitar My Son selama perang Vietnam (1955 – 1975), di antara tapak-tapak sisa candi dan di sebelah candi buatan berabad lalu yang hampir runtuh, tepat di kawasan World Heritage. Bahkan, di dalam salah satu Candi yang berfungsi sebagai museum sementara diperlihatkan juga selongsong bom diantara batu-batu peninggalan Champa yang berharga. Absurd dan ironis. Manusia mendirikan bangunan menakjubkan untuk kemudian manusia juga yang menghancurkannya sendiri demi tuntutan perubahan jaman.

Saya mendekati kelompok Candi Utama yang termasuk grup B-C-D yang paling depan dari jalan masuk walaupun hanya memiliki dua candi Utama. Candi pertama, -yang telah kehilangan dinding-dindingnya-, didedikasikan kepada Dewa Siwa yang disimbolkan dengan adanya Lingga. Candi Utama kedua di sebelah Utara berhiaskan dewi-dewi berdiri di atas gajah pada dinding-dinding candi.

Ada yang menarik di dalam salah satu bangunan (C2), terlihat pilar dari batu menempel di sudut seperti memperkuat dugaan adanya perubahan struktur candi dari pilar kayu menjadi bata.

Banyak pengunjung, termasuk saya, terpesona dengan bangunan candi atap pelana yang ikonik (B5). Dibangun pada abad-10, bangunan yang masih berdiri dengan cantik ini dulunya berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda ritual dan api suci. Atapnya yang melengkung bagai pelana menarik perhatian siapa saja yang menikmati My Son. Pintu Utama menghadap Utara, arah Dewa Kuwera dengan lengkung di atas jendela yang menggambarkan dua gajah berhadapan yang merupakan simbol dari Dewi Kecantikan dan Kemakmuran, Gaja Laksmi. Dan di sekeliling dindingnya berhiaskan pula perempuan berdiri di atas Gajah.

Candi Beratap Pelana - B5
Candi Beratap Pelana – B5

Diantara bangunan candi yang masih berdiri dalam kelompok B, sebuah candi kecil disiapkan sebagai tempat menyimpan air suci yang diambil dari pegunungan Mahaparvata yang sakral di selatan My Son, sebagai unsur penting dalam ritual upacara. Tempat penyimpan air ini berhiaskan bunga teratai. Selain itu, ada juga 7 candi kecil lainnya yang didedikasikan untuk Tujuh Bintang sebagai Unsur Utama, seperti Matahari, Bulan, Logam, Kayu, Air, Api dan Tanah.

Saya melangkah menuju percandian grup G, menyeberangi jembatan di atas sungai kecil yang membuat udara sejuk di sekitar percandian ditambah sesekali rintik hujan menerpa. Kawasan yang luar biasa. Tak heran, ada seorang turis bule duduk di bawah pohon menikmati ketenangan suasana sambil membaca buku.

The Sanctuary of My Son
The Sanctuary of My Son

Grup G bergaya Binh Dinh dari abad 12 hingga 13 ini terletak di sebuah bukit kecil, menjadikannya berfungsi sebagai candi gunung seperti layaknya konsep candi suci di Kamboja. Bahkan bentuknya pun tidak jauh dari konsep candi gunung. Kompleks candi yang menghadap Barat ini mempunya lima bagian: Candi utama, Gapura, Balai Mandapa, Bangunan Penyimpanan dan Monumen Prasasti. Prasasti yang dibuat oleh Raja Jaya Harivarman ini begitu besar manfaatnya karena menjelaskan proses pembangunan dan tujuannya. Bukit yang dinamakan Vugvan (Alam Pegunungan) ini didedikasikan untuk Dewa Siwa, kedua orang tua dari Raja dan untuk Raja sendiri. Candi Utama memiliki kekhususan karena memiliki dua pintu, -di Utara dan Selatan-, selain pintu utama di bagian Barat, yang berhiaskan Dewi Laksmi. Dan di tiap sudut dihiasi dengan patung singa dengan puluhan Kala yang terbuat dari terakota.

Dari ketinggian grup G, saya melangkah menuju grup A. Berbagai perasaan menyeruak ke atas saat berdiri di hadapan percandian grup A. Dalam benak saya terbayang candi A1 yang merupakan mahakarya abad 10 dari Kerajaan Champa yang berpusat di tengah kawasan My Son. Tingginya yang 28 meter, hampir menyamai Candi Wisnu dan Candi Brahma di Prambanan, tampaknya menjulang sendiri di kawasan ini, satu-satunya yang memiliki pintu Timur dan Barat dan dikelilingi oleh candi-candi mata angin. Dan memiliki lengkung kala makara di bagian bawah seperti candi-candi di Jawa. Sebuah teriakan untuk berselfie dari gadis-gadis lokal membuyarkan imajinasi saya untuk kembali melihat kenyataan yang sebenarnya. Di hadapan saya hanya ada gundukan bata penuh rumput. Perang Agustus 1969 telah menghancurkan mahakarya ini.

Tak beda jauh kondisi candi A10 yang berada di sebelahnya, terbengkalai dipenuhi rumput walaupun dibangun dengan gaya Dong Duong yang penuh hiasan yang cantik, terlihat dari pinggiran yang masih terbuka.

Saya harus berjalan berputar mengelilingi gundukan rumput yang menutupi candi A10 untuk mencapai candi A13 melalui jalan setapak dengan tanaman liar dan rumput setinggi paha di kanan kiri. Saya melangkah cepat menuju A13 karena tak ada manusia di sekitar dan mengambil foto Garuda di sudut atas candi lalu langsung mengambil langkah seribu meninggalkan lokasi. Selain terasa sekali aura mistis di situ, tetapi saya lebih takut ular yang bisa muncul tiba-tiba dari semak-semak.

Seperti biasanya, saya tak ingin bergegas meninggalkan kompleks percandian, tetapi waktu sudah memanggil. Saya teringat pak pengemudi mobil sewaan yang menunggu untuk mengantar saya ke Hue. Berat sekali mengambil langkah untuk meninggalkan tempat luar biasa ini, walaupun  masih bisa mampir ke percandian grup H.

Candi dalam group H dari abad 13 ini hanya meninggalkan sebagian dinding dari candi utama yang terdiri dari empat bangunan yang dulu pernah berdiri dengan anggun di atas sebuah bukit kecil di tempat ini namun telah hancur karena perang. Dan di atas pintu dari dinding ini dahulu terletak hiasan Dewa Siwa Bertangan Delapan yang senyumnya mengingatkan saya pada wajah-wajah di Bayon Temple, Angkor

Dalam perjalanan menuju Hue, saya berbisik dalam hati sambil melambaikan tangan pada lembah My Son yang tertinggal di belakang, Cam on ban, Tam Biet, Hen Gap Lai! Terima kasih, goodbye dan sampai jumpa lagi… (suatu saat kita ketemu lagi ya…)

*