Petugas hotel itu berada di seberang jalan, -salah satu tugasnya membantu untuk mencegat bus untuk dinaiki tamu hotel-, sudah memanggil saya. Saya langsung saja berterima kasih kepada gadis penerima tamu berwajah ramah yang telah banyak membantu saya selama di Hpa’an. Dia yang memiliki sifat langit dan bumi dengan gadis penerima tamu satunya lagi yang bicaranya secepat kilat tanpa perasaan, sehingga gadis baik hati ini membuat saya memiliki kesan baik akan Hostel di Hpa’an ini. Teringat saat dia menunjukkan rumah makan saat saya kelaparan di malam hari dan dia juga yang merekomendasikan untuk mencegat bus di depan hotel hanya untuk pergi ke Mawlamyine. Secepat kilat saya menyeberang membawa ransel dan menunggu bus yang sebentar lagi datang.
Bus akhirnya berhenti di hadapan lalu saya naik dan oops…
Bayangan menaiki bus seperti sebelum-sebelumnya langsung runtuh, karena bus ini sudah tua mungkin jelang tak layak jalan. Bus berjalan sangat pelan, dengan berbagai bunyi kriet-krieeet dan AC yang tak lagi berfungsi. Saya duduk tak jauh dari pintu di bagian terpapar sinar matahari. Kapanpun ada calon penumpang berdiri di pinggir jalan yang mau naik, bus akan berhenti. Baiklah… ini hadiah baru untuk perjalanan ke Mawlamyine.
Dalam melakukan perjalanan saya sudah biasa melepas ekspektasi, karena ekspektasi biasanya merupakan sumber ketidakbahagiaan. Termasuk melepas ekspektasi bus yang membawa saya ke Mawlamyine ini. Awalnya memang terlintas dalam pikiran karena pengalaman naik bus yang keren sebelumnya, namun tak pernah menjadi kekecewaan.
Bukankah yang terlihat buruk tidak selalu buruk? Bukankah pengalaman yang kurang menyenangkan bisa menjadi guru bagi kita semua?

Hadiah berada dalam bus “buruk rupa” ini mengajarkan saya banyak sekali. Ketika saya menoleh ke belakang, semua penumpang bus yang tak seberapa jumlahnya itu tampak diam terkantuk-kantuk, tak ada yang mengeluh. Mereka percaya penuh kepada sang pengemudi yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Mereka paham bahwa mengeluh karena bus berjalan pelan atau karena AC yang tidak berfungsi di bus, atau karena bus sering berhenti, semuanya tak akan mengubah keadaan. Jadi untuk apa mengeluh? Serahkan saja kepada sang pengemudi.
Saya pun mengikuti penumpang lain, duduk diam meski terpapar sinar matahari.
◊ § ◊
Satu hari Minggu pagi yang cerah di tahun 2012.
“Kota apa ya yang ada di Selatannya Yangon, Yan?”, tanya Papa sambil mengingat-ingat.
“Bago?”, jawab saya menebak, karena baru saja saya melakukan perjalanan ke Bago waktu itu.
Papa menggeleng, terlihat gemas akan dirinya sendiri yang tak mampu mengingat nama kota itu. Karena lanjut usia ditambah serangan stroke bertubi-tubi, membuat proses berpikir Papa memakan waktu cukup lama.
“Mmm…? Apa itu…? hmm…”
“Oh, Moulmein? “, saya menebak lagi, karena Moulmein adalah salah satu kota pelabuhan di Myanmar.
“Ya, Moulmein!” Wajahnya memancar bahagia karena menemukan nama kota yang dipikirkannya.
Dan selanjutnya Papa menceritakan tentang Moulmein, tentang kapal yang pernah dibawa berlabuh ke pelabuhannya, tentang sunsetnya. Cerita yang sama, tapi tak pernah membuat saya bosan. Papa dan saya selalu menjadi seru saat saling bertukar cerita tentang perjalanan-perjalanan.
Dan tiba-tiba terucap oleh Papa…
“Cobalah pergi ke Moulmein, pasti berkesan”, kata Papa sambil tersenyum waktu itu.
Momen sekejap itu langsung meluncur ke dalam hati terdalam dan berdiam di sanubari, terekam kuat. Moulmein!
◊ § ◊
Pipi saya terpapar panas matahari, tapi panas itu tak terasa. Ada rasa rindu menggelegak kepadanya. Saya sedang menuju kota yang pernah ia minta. Rasa ini sangat mengharubiru. Perjalanan menuju Mawlamyine (atau dulu terkenal dengan nama Moulmein) inilah yang membuat saya kembali ke Myanmar setelah tujuh tahun. Dengan apapun saya akan mencapai kota itu dan Tuhan membawa saya hari ini menaiki bus yang sudah renta ini, berjalan lambat, dengan AC yang tak berfungsi dengan berbagai bunyi-bunyi kerapuhannya.
Seakan mengingatkan saya akan dirinya, menggamitnya di masa tuanya, semasa ia masih bisa berjalan meskipun tertatih akibat stroke dan perlu dibantu. Ia terus berupaya maju dalam kekurangmampuannya. Sungguh tak beda dengan situasi yang saya alami sekarang. Dalam bus yang ringkih…
Setiap kriyet-kriyet bunyi bus yang telah renta, setiap rasa panas matahari yang mendera, setiap tekanan melesak ke depan akibat perpindahan gigi persneling dan setiap geyal-geyol jalannya bus, sejumlah itu pula lah untai doa yang saya panjatkan untuknya, untuk dia yang meminta saya datang ke Moulmein, namun tak sempat mendengar kisah perjalanan saya ke Moulmein ini. Karena Yang Maha Baik memanggilnya pulang 102 hari sebelum saya menjejak ke kota ini.
◊ § ◊

Kota Mawlamyine sudah di depan mata, saya bergegas melihat posisi berdasarkan GPS pada ponsel. Saya harus turun sebelum terminal karena lebih dekat jaraknya ke hotel. Dan akhirnya bus yang telah renta itu berhenti juga di halte yang saya harus turun. Saya berterima kasih kepada pengemudinya, lalu sekilas menyentuh badan bus tua itu sambil mengucapkan terima kasih dalam hati lalu meloncat keluar. Sambil menunggu bus berjalan lagi, saya menyempatkan diri menyentuh tanah seakan memberi salam kepada bumi tempat saya berpijak pertama kali, di negeri baru.
Pa, aku sampai di Moulmein!
Di kota ini, di kota yang dikenal Papa dengan nama Moulmein, kapal Papa pernah berlabuh dan sebuah insiden mengiringinya. Bendera kapal, sang Merah Putih, merupakan representasi negara Indonesia, tanpa diketahui telah diambil oleh seorang penduduk setempat. Tujuannya bukan apa-apa, bukan faktor ekonomi apalagi politik. Ia, seseorang yang sangat miskin, mengambil bendera agar ia bisa memiliki alas untuk beristirahat. Seumur-umur ia tak pernah menggunakan alas yang bersih dan bagus. Ia sungguh tak tahu akibat hukum dengan mengambil bendera kapal hingga digiring dan dituntut. Namun setelah mengetahui alasan pengambilan bendera dan kemelaratan orang tersebut, Papa tidak sanggup melanjutkan proses tuntutan karena sisi kemanusiaannya telah berbicara. Hati Papa yang penuh kasih sayang.
Dan di hari ke-102 setelah berpulangnya Papa, saya menginjakkan kaki di kota yang sama tempat Papa dulu pernah singgah dan berurusan dengan orang tak berpunya. Saya menapak tilas sebuah perjalanan batin yang amat indah.
Dan seperti memperkuat kesan yang saya harus alami sepanjang perjalanan ini, saya disuguhi pemandangan menjelang kota Mawlamyine. Desa-desa yang hanya berisi satu dua rumah sangat sederhana dengan lingkungan yang sangat kering dan tampak tak berdaya. Membuat hati saya langsung berdenyut-denyut. Di sini kehidupannya sangat tidak mudah, membuat saya otomatis mengingat kisah insiden bendera itu. Sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu, situasinya tetap serupa. Saya mendapat hadiah manis dalam perjalanan ini. Menjadi saksi akan kehidupan mereka yang sangat sederhana, yang mengharuskan kita yang melihatnya untuk selalu memiliki empati dan merendah hati.
◊ § ◊
Panas udara Mawlamyine langsung menghilang saat saya memasuki kamar hotel yang AC-nya telah dingin. Kamar yang bisa menyamankan tubuh dan menenangkan hati. Jendela lebar kamar itu membuat saya tak perlu turun ke pinggir sungai Than Lwin yang ada di hadapan. Saya bisa menyaksikan pergerakan matahari menjelang sunset langsung dari kamar. Begitu indah, seperti yang pernah Papa ceritakan. Sama seperti berpuluh-puluh tahun lalu.

Tetapi tiba-tiba…
Tampak sebuah kapal yang sedang bergerak menyusuri sungai yang lebar itu. Sebenarnya hal itu sangat biasa tetapi bagi saya hari itu, bukan sesuatu yang biasa. Entah mengapa, saya melihat kapal itu seakan-akan kapal Papa, kapal yang pergi menjauh. Seperti dirinya.
Saya langsung terbanting menangis, luruh dalam airmata mengikuti gerak pelan kapal yang akhirnya menghilang dari area pandang. Sekali lagi, kali ini sendirian di kota tempat Papa pernah singgah, saya mengucap selamat jalan untuk Papa tercinta.
Dia Yang Maha Baik telah memberikan hadiah perjalanan terindah untuk saya, yang berserak penuh tanda dan makna.
Ah, sepertinya di tempat ini saya akan menghabiskan banyak waktu berbicara dengan jiwa.
◊ § ◊
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-48 ini bertema Gift agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…