Jumat, 21 Desember 2018,
13:35
Teman-teman sekantor merayakan ulang tahun sekretaris dengan gembira, riuh mendatangkan kue mengumbar nyanyian
13:37
Masih dalam suasana riang gembira, saya sempat membaca ada panggilan tak terjawab dari rumah mama, namun belum sempat menelepon balik, sudah ada telepon lagi dari rumah mama. Saya menjawab tetapi suara saya sepertinya tak terdengar di ujung sana. Saya tak menutup tetapi telepon di ujung sana akan ditutup. Tetapi sebelum ditutup, terdengar suara mama menangis. Bresssss… terasa semburan hawa dingin tak nyata di sekujur tubuh.
13:38
Cepat saya menelepon rumah Mama, Mas No, perawat Papa yang mengangkat, menyampaikan permohonan untuk segera pulang. Something is very wrong, Saya memaksanya menceritakan fakta sesungguhnya karena saya tidak suka dengan harapan palsu. Dan saya tak akan pernah lupa suara Mas No yang menyampaikan berita itu, “Sudah tidak ada, mba”
Innalillahi wainna ilaihi roji’un…

Kahlil Gibran menitipkan pesan indah, ketika kita bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, sesungguhnya kesedihan sedang menunggu dengan sabar di pembaringan. Lalu, mampukah saya berpeluk mesra dengan kesedihan, -semesra saya memeluk kebahagiaan-, saat kesedihan menggantikan tempat kebahagiaan? Nyatanya roller-coaster hidup ini menghias keseharian saya dalam bulan Desember 2018 ini.
Desember pekan pertama, bahagia dan bangga menyelimuti, melihat ananda berbalut toga wisuda yang dilanjut adiknya yang turut berlomba antar negara. Minggu selanjutnya mata dan hati saya berbinar memeluk bahagia dapat melampaui ulang tahun berumahtangga untuk kesekian kalinya.
Dan pekan berikutnya, kesedihan datang dengan cepat, menukar tempat bahagia.
Jumat siang yang indah itu, Papa kembali kepadaNya untuk selama-lamanya. Begitu cepat dan dimudahkan semua prosesi kembalinya. Hanya enam jam setelah tarikan nafas terakhirnya, almarhum Papa telah dibaringkan dalam kuburnya.
Kematian…
Sebaik-baiknya saya mempersiapkan hati, sejatinya tak pernah 100% saya siap menghadapinya. Kepergian Papa mampu membekukan saya, dinding-dinding tebal emosi terbangun sangat tinggi, melindungi hati duniawi, menangisi dia yang pergi. Tak banyak yang melihat saya dengan airmata berlinang, sebagian mereka hanya melihat senyum datar terkembang, walau di dalam, saya tertatih menata rasa.
Papa adalah pahlawan, bagi saya, keluarga dan Negara. Mama bercerita, saat itu, kesatuan dan keutuhan Negara diragukan, Papa maju dengan risiko kehilangan nyawa dalam kegelapan laut nun jauh disana. Dengan keahlian ilmu dan ketrampilan yang dimilikinya, dalam gelap ia memberi supply bahan bakar untuk mendukung Angkatan Laut Republik Indonesia membela Negara. Papa adalah senoktah kecil peran bela Negara.
Papa, bagi saya, adalah teladan keikhlasan dan berserah diri. Tak pernah segan ia membagi yang dimiliki, tak henti ia membagi ilmu selama mampu. Bahkan setelah stroke, dengan fisik tertatih ia masih memberi pelatihan di luar kota Jakarta bahkan di luar pulau Jawa. Untuk semua yang telah ia berikan, tak pernah sekalipun ia meminta balas. Ia ikhlas atas semuanya. Juga tipu daya dan khianat yang dilakukan sebagian dari mereka yang pernah menerima dari Papa. Ikhlas yang tak bertepi.
Papa, pria pertama yang mencintai saya, -anak perempuan satu-satunya-, dan selamanya cintanya menggema.

Walau tertatih rasa, saya percaya, dalam setiap peristiwa tersebar sidik-sidik jari Yang Maha Kuasa; terutama dalam kematian, sebuah peristiwa dengan bimbinganNya yang begitu nyata. Kesedihan yang mengekor dari peristiwa kematian, bersama-sama menjadi guru pembimbing hidup. All are sent as guides from beyond. Semua itu hadir membawa kekuatan pemurnian jiwa yang tak ada dua. Seperti Candradimuka yang melahirkan manusia-manusia utama.
Dan demikianlah saya. Berjubah kegelapan, duka itu menyelimuti saya. Ya, kegelapan yang mampu menyembunyikan benda-benda di alam nyata, tetapi saya belajar, kegelapan tak mampu menyembunyikan cinta. Sesungguhnya cinta memendarkan keajaiban kemana-mana, kesegala penjuru dunia, ke tempat yang paling tersembunyi hingga alam Semesta. Cinta menembus ruang dan waktu, menembus kegelapan, dan bahkan kematian.
Rencana indah ke negeri Sakura esok harinya telah saya batalkan sejak detik pertama mendengar berita kepergian Papa. Tetapi Cinta mampu mengubah semua, di atas pusara Papa malam itu juga. Sebuah rencana yang sudah dibatalkan menjadi nyata harus dijalankan.
Ya, kurang dari dua belas jam setelah Papa berada dalam pembaringan abadinya, dengan berbagai rasa saya sudah terbang mengangkasa menuju negeri yang Papa cinta sejak lama. Gen-gen cinta dari Papa sebagai Pejalan, memberi semangat untuk tetap melangkah. Move forward, apapun yang terjadi. Dan saya hampir tak percaya, saya sungguh berdiri di sana, bersama cinta Papa akan negeri Sakura.
Lalu bukankah duka selalu beralih rupa dengan sukacita?
Tiga hari setelah kepergian Papa, di sana, di negeri yang Papa cinta, saya berulang tahun. Sebuah peristiwa untuk mengingat usia yang berkurang di dunia. Tapi bagi Papa, ulangtahun anak perempuan satu-satunya tetap sebagai peristiwa bahagia dan saya menghidupkan kenangan bahagia untuknya. Di benak saya jelas tergambarkan bagaimana ia mengumbar senyum dan tawa bahagia.

Kehadiran cinta Papa, yang telah melewati pekatnya gerbang kematian, menembus batas kematian itu. Saya percaya di setiap sudut kehidupan saya selanjutnya dan selamanya, kenangan dan cinta Papa akan hadir untuk saya serta menjadi jembatan kehidupan yang membaikkan.
Karena sejatinya, sesuai keindahan pesan yang dititipkan oleh Kahlil Gibran,
Kenangan adalah anugerah Tuhan yang tidak dapat dihancurkan oleh maut.
Kini sekembali dari Negeri Sakura, saya kembali menyambangi pusara Papa, hari demi hari, bersamaan dengan meniti kehidupan yang terus berlanjut. Dan karena harum Tahun Baru 2019 masih terasa, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan membiarkan kenangan-kenangan menjadi kunci, -bukan ke masa lalu-, melainkan untuk ke masa depan yang lebih baik.
Selamat Tahun Baru 2019.