Berjuta Kenangan Untuk Masa Depan Yang Lebih Baik


Jumat, 21 Desember 2018,
13:35
Teman-teman sekantor merayakan ulang tahun sekretaris dengan gembira, riuh mendatangkan  kue mengumbar nyanyian
13:37
Masih dalam suasana riang gembira, saya sempat membaca ada panggilan tak terjawab dari rumah mama, namun belum sempat menelepon balik, sudah ada telepon lagi dari rumah mama. Saya menjawab tetapi suara saya sepertinya tak terdengar di ujung sana. Saya tak menutup tetapi telepon di ujung sana akan ditutup. Tetapi sebelum ditutup, terdengar suara mama menangis. Bresssss… terasa semburan hawa dingin tak nyata di sekujur tubuh.
13:38

Cepat saya menelepon rumah Mama, Mas No, perawat Papa yang mengangkat, menyampaikan permohonan untuk segera pulang. Something is very wrong, Saya memaksanya menceritakan fakta sesungguhnya karena saya tidak suka dengan harapan palsu. Dan saya tak akan pernah lupa suara Mas No yang menyampaikan berita itu, “Sudah tidak ada, mba”
Innalillahi wainna ilaihi roji’un…

jp1
A sunset view from Father’s Cemetary

Kahlil Gibran menitipkan pesan indah, ketika kita bercengkrama dengan kebahagiaan di ruang tamu, sesungguhnya kesedihan sedang menunggu dengan sabar di pembaringan. Lalu, mampukah saya berpeluk mesra dengan kesedihan, -semesra saya memeluk kebahagiaan-, saat kesedihan menggantikan tempat kebahagiaan? Nyatanya roller-coaster hidup ini menghias keseharian saya dalam bulan Desember 2018 ini.

Desember pekan pertama, bahagia dan bangga menyelimuti, melihat ananda berbalut toga wisuda yang dilanjut adiknya yang turut berlomba antar negara. Minggu selanjutnya mata dan hati saya berbinar memeluk bahagia dapat melampaui ulang tahun berumahtangga untuk kesekian kalinya.

Dan pekan berikutnya, kesedihan datang dengan cepat, menukar tempat bahagia.

Jumat siang yang indah itu, Papa kembali kepadaNya untuk selama-lamanya. Begitu cepat dan dimudahkan semua prosesi kembalinya. Hanya enam jam setelah tarikan nafas terakhirnya, almarhum Papa telah dibaringkan dalam kuburnya.

Kematian…
Sebaik-baiknya saya mempersiapkan hati, sejatinya tak pernah 100% saya siap menghadapinya. Kepergian Papa mampu membekukan saya, dinding-dinding tebal emosi terbangun sangat tinggi, melindungi hati duniawi, menangisi dia yang pergi.  Tak banyak yang melihat saya dengan airmata berlinang, sebagian mereka hanya melihat senyum datar terkembang, walau di dalam, saya tertatih menata rasa.

Papa adalah pahlawan, bagi saya, keluarga dan Negara. Mama bercerita, saat itu, kesatuan dan keutuhan Negara diragukan, Papa maju dengan risiko kehilangan nyawa dalam kegelapan laut nun jauh disana. Dengan keahlian ilmu dan ketrampilan yang dimilikinya, dalam gelap ia memberi supply bahan bakar untuk mendukung Angkatan Laut Republik Indonesia membela Negara. Papa adalah senoktah kecil peran bela Negara.

Papa, bagi saya, adalah teladan keikhlasan dan berserah diri. Tak pernah segan ia membagi yang dimiliki, tak henti ia membagi ilmu selama mampu. Bahkan setelah stroke, dengan fisik tertatih ia masih memberi pelatihan di luar kota Jakarta bahkan di luar pulau Jawa. Untuk semua yang telah ia berikan, tak pernah sekalipun ia meminta balas. Ia ikhlas atas semuanya. Juga tipu daya dan khianat yang dilakukan sebagian dari mereka yang pernah menerima dari Papa. Ikhlas yang tak bertepi.

Papa, pria pertama yang mencintai saya, -anak perempuan satu-satunya-, dan selamanya cintanya menggema.

jp2
View from Father’s cemetary

Walau tertatih rasa, saya percaya, dalam setiap peristiwa tersebar sidik-sidik jari Yang Maha Kuasa; terutama dalam kematian, sebuah peristiwa dengan bimbinganNya yang begitu nyata. Kesedihan yang mengekor dari peristiwa kematian, bersama-sama menjadi guru pembimbing hidup. All are sent as guides from beyond. Semua itu hadir membawa kekuatan pemurnian jiwa yang tak ada dua. Seperti Candradimuka yang melahirkan manusia-manusia utama.

Dan demikianlah saya. Berjubah kegelapan, duka itu menyelimuti saya. Ya, kegelapan yang mampu menyembunyikan benda-benda di alam nyata, tetapi saya belajar, kegelapan tak mampu menyembunyikan cinta. Sesungguhnya cinta memendarkan keajaiban kemana-mana, kesegala penjuru dunia, ke tempat yang paling tersembunyi hingga alam Semesta. Cinta menembus ruang dan waktu, menembus kegelapan, dan bahkan kematian.

Rencana indah ke negeri Sakura esok harinya telah saya batalkan sejak detik pertama mendengar berita kepergian Papa. Tetapi Cinta mampu mengubah semua, di atas pusara Papa malam itu juga. Sebuah rencana yang sudah dibatalkan menjadi nyata harus dijalankan.

Ya, kurang dari dua belas jam setelah Papa berada dalam pembaringan abadinya, dengan berbagai rasa saya sudah terbang mengangkasa menuju negeri yang Papa cinta sejak lama. Gen-gen cinta dari Papa sebagai Pejalan, memberi semangat untuk tetap melangkah. Move forward, apapun yang terjadi. Dan saya hampir tak percaya, saya sungguh berdiri di sana, bersama cinta Papa akan negeri Sakura.

Lalu bukankah duka selalu beralih rupa dengan sukacita?

Tiga hari setelah kepergian Papa, di sana, di negeri yang Papa cinta, saya berulang tahun. Sebuah peristiwa untuk mengingat usia yang berkurang di dunia. Tapi bagi Papa, ulangtahun anak perempuan satu-satunya tetap sebagai peristiwa bahagia dan saya menghidupkan kenangan bahagia untuknya. Di benak saya jelas tergambarkan bagaimana ia mengumbar senyum dan tawa bahagia.

krans
Flowers

Kehadiran cinta Papa, yang telah melewati pekatnya gerbang kematian, menembus batas kematian itu. Saya percaya di setiap sudut kehidupan saya selanjutnya dan selamanya, kenangan dan cinta Papa akan hadir untuk saya serta menjadi jembatan kehidupan yang membaikkan.

Karena sejatinya, sesuai keindahan pesan yang dititipkan oleh Kahlil Gibran,
Kenangan adalah anugerah Tuhan yang tidak dapat dihancurkan oleh maut.

Kini sekembali dari Negeri Sakura, saya kembali menyambangi pusara Papa, hari demi hari, bersamaan dengan meniti kehidupan yang terus berlanjut. Dan karena harum Tahun Baru 2019 masih terasa, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan membiarkan kenangan-kenangan menjadi kunci, -bukan ke masa lalu-, melainkan untuk ke masa depan yang lebih baik.

Selamat Tahun Baru 2019.

Melihat dan Merasakan Yang Tak Kasatmata


Creepy and Spooky

Waktu kecil saya itu penakut (dan sampai sekarang masih juga sih walaupun kadarnya tidak separah waktu kecil). Takut karena dengar cerita-cerita horror, nonton film horror dan karenanya takut pada apa yang ada dalam pikirannya seandainya makhluk-makhluk itu muncul di depan mata. Bahkan saat kecil, saya tidak berani menyeberang ruang tengah dari rumah orangtua yang saat itu tak berplafon dan memiliki beberapa genting kaca sehingga langit malam berhias bulan bisa terlihat langsung. Dan justru itu yang menakutkan, bagaimana kalau muka makhluk mengerikan itu muncul di atas genting kaca?

Tapi herannya, walaupun penakut tetap saja nonton film-film horror yang bikin jantung deg-degan dan tidak bisa tidur semalaman. Salah satu film yang berkesan banget ya Poltergeist itu, karena tokoh iblisnya muncul siang hari! Dan makin kesini, film-film yang bikin senewen itu makin seru rasanya. Dan setelahnya pastilah terjadi situasi yang sama selama beberapa hari, minta ditemani ke kamar mandi, atau ke dapur kalau lagi kelaparan pas malam hari, pokoknya tidak mau ditinggal sendiri 😀

Masa takut di rumah sendiri? Hehehe… itu ada ceritanya deh…

Entah kenapa saya memiliki sensitivitas yang agak lebih tinggi dari kebanyakan orang. Sejak SD sudah bersinggungan dengan hal-hal seperti ini, terutama musibah atau kematian. Duluuu… pernah suatu ketika saya mengatakan ‘hati-hati di jalan’ kepada seorang sahabat yang safe-driver yang mau mudik, satu hal yang tidak pernah saya ucapkan kepada dia dan pagi itu terlontar begitu saja. Besoknya, sang sahabat cerita dia tabrakan tapi Alhamdulillah dia baik-baik saja. Sampai sekarang, ucapan yang sangat umum itu hampir selalu berhenti dibibir saya dan tak terucapkan. Mending doa yang lain saat berpisah dengan orang lain…

Yang lebih tak menyenangkan saat berhubungan dengan kematian. Biasanya benak saya dipenuhi dengan situasi berkabung, jika ada orang yang saya kenal akan menghadap Tuhan, walaupun saya tidak mengetahui pasti siapa orangnya! Biarpun saya sedang pesta atau senang-senang, gambaran di pikiran itu tidak berganti ditambah perasaan seakan-akan berada di tengah-tengah situasi berkabung itu. Tidak nyaman sama sekali dan asli, beraaat… Tau kan rasanya saat berada dalam situasi perkabungan dan hal itu terasa berhari-hari bisa seminggu lebih lalu berhenti setelah kejadian. Biasanya saya hanya mengangguk-angguk sendiri kayak sapi menyadari semua tanda itu, oh itu, oh dia… Semakin dekat hubungan keluarga, semakin berat. Saat bapak kos meninggal dunia, hampir seminggu lamanya benak saya dihiasi dengan gambaran penuh kesedihan itu yang membuat saya tidak bisa tidur.

Sampai akhirnya saya merasa tidak sanggup untuk itu dan berdoa agar diberi kekuatan dan ketenangan.

Dikabulkan sih, paling tidak kalau ada yang pergi, belakangan ini situasi yang saya hadapi tidak se-ekstrim dulu, paling mimpi atau seperti dulu tapi lebih mild dan tidak lama. Tetapi bagi saya yang sulit sampai sekarang adalah saat berada di rumah sakit, atau di rumah duka atau tempat-tempat yang bernuansa ‘berat’. Saya seperti kembali ke jaman dulu…

Nah apalagi kalau jadi bisa lihat yang tak kasatmata…

Ya begitulah, walaupun untung saja, tidak selalu dan sangaaat jarang…. (dan semoga engga lagi!)

Duluuu… saat masih awal berkarir sebagai petugas data center, malam itu saya bertugas sendirian untuk penyelesaian akhir hari. Agar tak mengganggu tangan, saya melepas gelang asesories dan meletakkan di tengah meja kerja. Sekelebat, dua kelebat sih sering terlihat melalui ekor mata, kadang membuat bulu kuduk meremang juga. Tetapi, saat gelang saya jatuh sendiri dari meja ke lantai, kejadian itu tidak membuat saya lari ketakutan melainkan lebih kearah situasi tersinggung. Dengan santai saya ambil gelang dari lantai sambil mengatakan, jangan ganggu dong… saya kan sedang bekerja di sini. Setelahnya saya selalu aman sentosa kerja malam disitu (beda dengan rekan saya yang pernah tertidur di tempat yang sama, dan dibangunkan oleh suara dengan badan yang digoyang-goyangkan, dan sambil dihardik, jangan tidur disini!) 😀

Beberapa tahun lalu saya sering bekerja malam sendirian. Walaupun saat itu berfokus pada pekerjaan, terdengar juga sih bunyi-bunyi di kubikal belakang, desir CPU yang bekerja, bunyi kriet-kriet atau geseran kursi atau benda. Saya selalu berpikir positif saja, bisa jadi angin, binatang, atau ada rekan yang lupa mematikan PC-nya. Tetapi biasanya tidak mengganggu. Kalaupun mengganggu, itu adalah kelebatan-kelebatan yang suka terlintas di ekor mata dan kalau sudah sampai menjalar di dinding… itu saatnya saya untuk bilang, Ok.. Ok.. Aplusan yaa… saya pulang deh… 😀

Pernah sekali waktu saya ditugaskan ke Surabaya dan menginap di sebuah hotel yang terkenal di kota itu. Sekali itu saya benar-benar tidak bisa tidur, miring kiri atau miring kanan, di dalam selimut atau di luar selimut, saya merasa ditatap habis-habisan dari kursi yang ada di kaki tempat tidur saya. Ada rasa yang sangat tidak nyaman malam itu… dan untungnya itu malam terakhir di sana…

IMG_0668e

Tetapi ngomong-ngomong soal Surabaya, adik saya punya dua cerita menarik yang terjadi di Surabaya. Karena waktu itu si adik sedang dalam business trip, dia menginap di satu hotel berbintang di tengah kota yang dulu menjadi salah satu pusat peperangan jaman kemerdekaan. Setelah check-in saat malam hari, dengan santai dia menuju kamarnya. Nah karena dia mengenakan sepatu resmi, langkahnya terdengar keras tek-tok-tek-tok-tek-tok di lantai marmer lorong hotel itu. Yang menyebalkan ya itu, ada suara langkah sepatu lain yang mengikutinya tanpa ada fisiknya dan ikut berhenti kalau adik saya berhenti. Ketika melanjutkan jalan, suara langkah kaki itu terdengar lagi… tek-tok-tek-tok-tek-tok berhenti… tek-tok-tek-tok-tek-tok… Aaargh… Males ga sih kalau diikuti seperti ini?

Lain lagi ceritanya saat dia check-in di hotel brand internasional yang terkenal, masih di Surabaya. Mungkin karena lelah seharian kerja dan sudah terbiasa mengucapkan salam, tanpa sadar sepulang kerja malam itu, ia membuka pintu kamarnya yang ada di sudut di lantai hotel itu, sambil mengucapkan Assalamu’alaikum. Dan salam itu dibalas dengan manisnya tanpa ada wujud, Wa’alaikumsalam…. 😀 😀 😀

Tak beda jauh dengan apa yang dialami guru saya saat kehadiran makhluk di sekitarnya. Sekali waktu, saat sholat subuh di musholanya, setelah pembacaan surat Al Fathihah, terdengar suara di belakangnya, Aamiiiiiin…. walaupun pasti tidak ada makmum saat itu. Jujur deh… kalau saat itu jadi imam, konsen ga sih?

Mungkin sama ya seperti manusia, ada yang baik, dan ada yang suka iseng juga. Ibu saya saat mendirikan sholat di rumah kakak di Medan, pernah sekali waktu ditarik-tarik mukenanya ke belakang sampai harus berhenti sejenak. Iseng sekali kan…?

Saya sendiri mendapat pengalaman berhadapan face-to-face dengannya. Haiyaaa sebuah perkenalan…

Pagi jelang siang itu, saya sedang nonton TV sendirian di ruang tamu rumah. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba terasa udara dingin terasa lewat di belakang saya. Saya langsung berdiri dari sofa, berbalik badan dan membelakangi TV. Saat itu saya lihat sosok makhluk di hadapan saya, berwajah tapi tembus pandang, susah dijelaskan tetapi serupa uap air saat mendidih. Sepersekian detik kemudian, setengah sadar dengan apa yang ada di hadapan, saya lari tergopoh-gopoh ke lantai atas bersamaan dengan suara angin ribut menuju pintu keluar di teras belakang… jadi ini toh yang namanya perkenalan di rumah? 😀 😀 😀

Saya pikir hubungan dengan hal-hal demikian hanya di Indonesia dan putus hubungan ketika traveling ke luar negeri. Tetapi ternyata tidak…

Ketika solo-travelling ke Korea, saat berdiam di kamar hotel dikota Daegu tiba-tiba saya merasa udara sangat dingin mendatangi saya di kamar yang tadinya hangat. Karena berpengalaman dengan udara dingin yang tiba-tiba itu, saya tahu ini berhubungan dengan hal-hal yang ‘begitulah’. Dengan cueknya (walaupun bulu kuduk meremang sih), saya menyalakan TV dan memasang dengan volume keras (walaupun ga ngerti bahasa Korea!) lalu ke kamar mandi. Ah, ternyata di kamar mandi ini dinginnya ikuuuuttt… Malah lebih dingin! Sebel banget… 😀

Nah yang terakhir ini, saat ke kompleks Angkor dengan Gara, Sang Pencari Jejak. Waktu itu Gara sedang berusaha memotret di sebuah ceruk yang gelap di Candi Preah Khan. Tetapi karena gelap dan tak bisa terekam di kamera, Gara pergi keluar meninggalkan saya sendiri. Saya mencoba menggunakan ponsel yang sebelumnya bisa bekerja di tempat gelap. Nah, kalau menggunakan kamera ponsel itu kan pasti gelap dulu lalu semakin terang (walaupun banyak noisenya). Jreeeng… saat jelang terang itulah di kamera saya lihat sebuah wajah keras menggunakan atribut topi segitiga (seperti bossnya pasukan pengawal) di layar kamera saya, dan tahu pasti di ceruk itu tak ada satu orangpun. Gelap! Walaupun sesungguhnya tidak bisa berpikir secara lurus, saya tidak meneruskan mengambil foto di tempat itu. Saya menganggap dia bisa menampilkan wajah di kamera sebagai sebuah peringatan. Sepertinya pesannya cuma satu: Don’t do that! Ya sudah saya ikuti, tetapi asli dengkul lemes, ga punya kekuatan, jantung serasa berhenti… Dan dari ngobrol dengan Gara setelahnya, saya diberitahu olehnya, bahwa saya orang ke sekian yang pergi bersamanya dan melihat yang gaib… Aduh seandainya saja saya tahu sebelumnya… 😀 😀 😀

Well, apapun yang terjadi… bukankah ada Dia Yang Maha Kuasa Pemilik Semesta? Period!

Tapi by the way, Anda pernah mengalami juga? Berbagi cerita ga penting ini yuk… 😀

Uji Nyali di Pagi Hari Yang Indah


The Hanging Lanterns
The Hanging Lanterns

Pagi hari masih berada di atas tempat tidur di kamar yang hening sambil melihat kembali foto-foto kota kuno Hoi An yang indah dengan kerlap-kerlip lampion warna warni di kamera, rasanya menyenangkan sekali. Apalagi hari ini akan mengunjungi My Son, destinasi percandian yang sudah lama diimpikan. Nikmatnya My Me-Time yang sudah kesekian kali ini, memang membuat ketagihan karena rasanya seperti mencapai langit ketujuh, bisa merasa begitu dekat dengan Pemilik Semesta. Ketika segala topeng di wajah tak perlu dikenakan, ketika segala takut dan cemas bisa ditinggalkan di belakang, ketika airmata bisa mengalir kapan saja tanpa rasa dihakimi, ketika bahagia dan syukur bisa dilantunkan penuh pujian tanpa putus, ketika tak perlu merasa malu karena tak mampu dan masih banyak ketika-ketika lain yang semuanya satu. Sejatinya manusia.

Dan saat seperti ini, kejernihan suara hati lebih sering tampil ke permukaan. Tetapi apakah didengarkan atau diabaikan, semua itu tergantung dari situasi yang dihadapi. Juga pagi itu.

Sejak mendarat di Vietnam tak cuma sekali suara hati itu berusaha menggapai kesadaran saya untuk memeriksa cap paspor setelah melewati imigrasi Vietnam. Hanya sekedar mendengar, tetapi tidak bertindak, karena tidak ada negara baru yang didatangi sepanjang tahun 2015. Sebuah kebiasaan buruk sebenarnya, karena sebaiknya kita memeriksa paspor sendiri saat melewati imigrasi, mungkin kecuali Hong Kong dan Macau ya, karena dua tempat itu sudah tidak cap paspor lagi (Teringat dulu ketika naik KTM dari Singapura ke Malaysia saya tidak tahu bahwa paspor tidak dicap masuk oleh imigrasi Malaysia, sehingga harus gelagapan menunjukkan tiket pergi KTM, -yang untungnya masih disimpan-, di imigrasi Malaysia saat keluar untuk pulang ke Jakarta).

20160106_140824ee

Nah, saat leyeh-leyeh di tempat tidur itulah suara hati itu kembali mengguncang kesadaran dan akhirnya berhasil membuat saya ingin melihat bentuk cap dan warna imigrasi Vietnam. Artinya harus mengambil paspor yang ada di dompet hijau.

Sejak kehilangan dompet uang (dan Alhamdulillah ketemu lagi) ketika melakukan perjalanan ke Hong Kong – Macau di akhir tahun 2013 lalu, kini tersedia dua dompet yang berbeda untuk  uang dan kartu-kartu. Pengalaman itu luar biasa sekali stressnya. Bayangkan ada paspor, tetapi tidak punya cukup dana untuk seluruh keluarga untuk sampai ke tanggal pulang. Sejak itu, keberadaan dompet mendapat perhatian lebih. Dompet berwarna hijau dipakai untuk menyimpan paspor, dua kartu dan uang sehari-hari, dan dompet hitam yang tidak pernah dikeluarkan dari ransel kecuali sangat diperlukan.

Karena dompet hijau itu bisa dibilang nyawa perjalanan, maka selalu berada dalam jangkauan mata dan tangan serta biasanya diletakkan berdekatan dengan ponsel. Pagi itu dompet hijau berada di atas meja dekat kaki tempat tidur. Dengan sedikit malas, saya mengarah ke meja dan mengambil dompet hijau itu.

Segera saya buka ritsletingnya dan… Ya Tuhan… Paspor TIDAK ADA!!!

Mengedip sekali tak percaya, terlintas di benak kemungkinan paspor terselip di kantong sebelahnya… Langsung saja saya buka ritsleting satunya lagi…. TIDAK ADA JUGA!!!

Sepersekian detik kemudian, semua isi dompet hijau itu sudah berserakan di atas tempat tidur, uang, kartu kredit, kartu debit, lembar pesanan hotel dan boarding-pass penerbangan pulang, serta nota-nota tak penting lainnya… semua lengkap, KECUALI PASPOR!!! Huuuuaaaaaaaa…

PASS-E1

Ada rasa terkejut menyergap ke seluruh tubuh, lalu berusaha mengingat-ingat dimana dan kapan terakhir saya memegang paspor. Satu detik, dua detik dalam diam, meyakinkan diri untuk tidak panik. Harus bisa berpikir tenang agar dapat mengingat kronologis perjalanan.

Sambil tetap berusaha mengingat-ingat dan berusaha tenang, ransel daypack yang digunakan semalam untuk jalan keliling Hoi An, saya bongkar seluruh isinya dan sama seperti dompet hijau, isinya tertumpah semua ke tempat tidur. Tetapi si buku kecil bersampul hijau itu tetap lenyap tak terlihat.

Yang pasti, waktu hilangnya antara check-in kemarin hingga pagi ini, karena tidak mungkin tidak menyerahkan paspor saat check-in bukan?  Tetapi sejak saat itu hingga pagi ini, artinya bisa dimana saja, di ribuan tempat walau hanya di kota kuno Hoi An. Masih bersyukur bisa menentukan tempat dan waktunya sehingga ada batas yang jelas (tapi jelas atau tidak, paspor tetap lenyap…).

Teringat peristiwa tahun lalu, tepat perjalanan akhir tahun, sama seperti sekarang. Bedanya waktu itu bersama keluarga, kali ini sendirian. Waktu itu terbantu oleh dukungan orang-orang tercinta, kali ini tidak ada mereka disini. Situasinya hampir sama, kehilangan “Nyawa Perjalanan”, kalau tahun lalu seluruh dompet beserta isinya, kalau tahun ini PASPOR!

Walaupun memaksa diri untuk tetap tenang, ada sejumput rasa tegang yang naik dengan cepat ke permukaan tubuh. Hanya sejumput! Karenanya, saya cukup heran dengan diri sendiri, tidak ada kepanikan. Bisa dibilang tenang, bahkan terlalu tenang untuk ukuran masalahnya. Tetapi itu SAMA seperti tahun lalu, saat menyadari berada di negara orang dan tanpa uang, saat itu saya tenang, bahkan terlalu tenang. Apakah ini sebuah pertanda?

Ya Tuhan, ada apa lagi kali ini… Ada tarik ulur yang hebat antara logika dan rasa. Yang satu berkata harus cepat karena berlomba dengan waktu, yang satu berkata nikmatilah bersama sang waktu, yang satu bicara soal yang nyata yang lain lebih pada jiwa. Akhirnya saya menyerah, karena yang mendominasi rasa berserah. Ya, saya hanya perlu pasrah, percaya sepenuhnya padaNya bahwa semua akan baik-baik saja. Sabar dan tenang. (Walau tak bisa dibohongi, rasa panik mulai naik menyerang ketenangan itu…)

Bagaimana bisa tenang…???

Tetapi kesadaran saya masih berfungsi baik. Kepanikan yang tidak perlu harus diatasi sebelum menjadi liar. Panik tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ada solusi. Jadi what’s next? First thing first!

Mandi!

Ternyata tenang itu memang bermanfaat. Asli, saya bisa meletakkan masalah kehilangan itu di depan pintu kamar mandi lalu berpikir dan menetapkan langkah berikutnya secara detail sambil browsing yang diperlukan selama duduk di kloset. Yang pasti, harus kerjasama dengan pihak hotel terutama ketika berhubungan dengan pihak berwenang (polisi setempat), lalu menapak tilas rute semalam dalam satu jam karena siapa tahu ada yang berbaik hati mengembalikan paspor, lalu mengurus surat kehilangan dipastikan harus selesai hari itu, kemudian terbang ke Hanoi untuk langsung mengurus ke KBRI (karena hari itu adalah hari Jumat) dan ucapkan selamat tinggal pada liburan karena tentu saja harus langsung pulang setelah mengurus SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor). Untunglah semua dokumen penting sudah disimpan ke cloud, jadi tinggal dicetak. Tak boleh lupa harus menyediakan dana untuk hidup di Hanoi. Ketika permasalahan sudah diidentifikasi batas-batasnya, rasanya semakin tenang. Kalau pun ada rasa tidak nyaman, harusnya normal, karena berpergian dengan satu kondisi yang tidak menyenangkan. Tetapi selalu ada alasan positif kan? Bukankah saya belum pernah ke Hanoi? Pemikiran itu membuat saya mandi dengan nyaman dan sempat keramas dulu walau lebih cepat dari biasanya, hehehe…

Barang-barang telah rapi tetapi sebelum ke lobby untuk melakukan langkah pertama, saya sisihkan waktu untuk berkomunikasi dengan Dia Pemilik Semesta. Dan setelah kewajiban selesai, saya masih bersimpuh dalam diam, tak terasa airmata jatuh. Hanya ada satu kata. Pasrah. Menerima yang harus dijalani, karena saya sedang diuji. Tepat seperti tahun lalu, Desember yang sama, seakan diminta untuk Percaya, untuk Yakin, untuk Sabar akan pertolonganNya.

Satu airmata jatuh lagi, bukan karena sedih, melainkan merasa tak berdaya dengan serupanya ujian dalam selang waktu tepat satu tahun.

Namun di balik rasa tak berdaya, entah kenapa terasa bahwa Dia Yang Maha Kuasa sedang menyelipkan rasa bahagia. Saya mengenalinya melalui ketenangan itu. Setahun lalu dengan ketenangan yang sama. Tidak ada yang hilang, Dia menyimpannya dan saya harus Percaya dan Sabar. Itu saja.

Pasrah. Percaya dan Sabar. Help is on the way…

Tersentak karena tiba-tiba terlintas di benak pengalaman serupa untuk bergantung sepenuhnya padaNya, -percaya dan sabar-, ketika kehilangan arah dan kemalaman di tengah-tengah Gayasan National Park di Korea Selatan dulu… (Klik disini untuk baca ceritanya)

Bismillah.

Tetapi dasar manusia. Walaupun diupayakan tenang, kecemasan dan kepanikan mulai menghajar diri sepanjang langkah menuju lobby. Bagaimana kalau benar-benar harus ke Hanoi? Bisakah mengingat rute semalam? Bagaimana kalau nanti… Bagaimana kalau…dan banyak lagi ‘bagaimana’

Sampai di depan konter hotel, lagi-lagi saya terdiam sebentar menarik nafas sementara petugas laki-laki berwajah ramah itu tersenyum menyapa dengan standar layanan lalu menunggu.

Mmm… err…. (mulai panik)…. Hmm… I think… (bingung mau mulai dari mana dan bagaimana) I think… hmm… my passport is lost… perhaps it fell somewhere on the ancient city last night…

Dia mendengarkan seksama dan terkejut. Matanya membelalak.

“Do you mean, hmmm… err… lost? Your passport is lost?”

Saya mengangguk pasrah. Ya Tuhan… tolong saya…

Tiba-tiba petugas hotel itu diam, tampak terpikir sesuatu.

“Hold on… wait… wait… It’s lost … or we still keep it”, nada kalimatnya bertanya, mungkin ke diri sendiri.

WHAAAT??? – Tentu saja ekspresi dengan tiga tanda tanya ini hanya ada di pikiran.

Petugas hotel itu berbalik badan dan dengan cepat dia memeriksa dokumen-dokumen di balik konter dan mengambil satu folder plastik transparan. Sedetik kemudian, dia membalik dan mengangkat folder plastik tadi ke hadapannya.

Dia tak perlu membukanya karena terlihat si buku kecil berwarna hijau kebiruan di folder plastik itu!

“Yessss…that’s my passport!!!”, teriakan saya cetar membahana. Dua wajah tersenyum lebar.

20160113_071709E1

Dalam sekejap mata sekujur badan rasanya disiram air dingin. Hati yang cemas, langsung hilang. (Lagi-lagi teringat rasa yang sama setahun lalu, ketika suara di ujung telepon mengatakan bahwa dia menemukan sebuah dompet hitam di depan konternya). Rasa dingin yang mengguyur, sama rasa, tak beda.

Jadiiiii…. Selama ini mereka belum mengembalikan? Mereka menyimpannya. Mengapa tidak mengatakannya? (Lalu mengapa saya tak ingat paspor belum dikembalikan? Sedetik kemudian teringat kembali saat check-in, ada dua petugas yang melayani, -yang memberikan welcome drink dan merekomendasikan rencana tur serta yang melakukan registrasi-, berada di dua meja yang berbeda. A distraction!

Walau tak ada maaf telah memisahkan paspor dengan pemiliknya, petugas hotel itu segera menyerahkan paspor yang tentu saja diterima dengan bahagia luar biasa. Saya ciumi buku kecil itu dan ditempelkan ke dada seakan kekasih yang tak boleh lepas lagi. Sekujur tubuh tersenyum penuh rasa syukur yang tak henti. Bayangan kesulitan menghadapi polisi dan keterpaksaan terbang ke Hanoi langsung memudar dan berganti dengan gambar candi-candi kerajaan Champa di My Son. Ah, liburan kini bisa dilanjutkan lagi. Tubuh bergegas untuk sarapan yang tadinya hampir saja dilewatkan.

Sekali lagi saya diberikan kesempatan merasakan Cinta yang luar biasa, begitu lengkap, begitu dekat dan tak terbandingkan, tak terdefinisikan… I am so blessed.

WPC – Trio for the Wisdom


IMG_7113_phixr2
Cute Trio for the Wisdom

I was wandering around Wat Arun park in Bangkok when I saw these trio cute little wooden monkeys, -each around 9 cm height-, abandoned on the floor of a souvenir kiosk and separated from the main things they sell. I could not help not to capture them for their representation of ancient wisdom.

See No Evil, Hear No Evil, Speak No Evil

Based on Wikipedia, originally the three wise monkeys as symbols were coming from Japan. Mizaru who is covering the eyes as the symbol not to see evil, Kikazaru or sometimes we called Mikazaru who is covering the ears as the symbol not to hear evil and Iwazaru or sometimes we called Mazaru who is covering the mouth as the symbol not to speak evil.

Although this philosophy was carved over a door of a shrine in Japan around 17th century, it might be shortened from Confucius’ phrase from at least 4th-century BC.: “Look not at what is contrary to propriety, Listen not to what is contrary to propriety, Speak not at what is contrary to propriety, Make no movement which is contrary to propriety” The last phrase is related to ‘do no evil’.

IMG_7135_phixr
See No Evil, Speak No Evil, Hear No Evil

Incredibly, this wisdom was also represented in 6th-century golden tribal figurine which now are kept in southeast section of a gold museum in Budapest. And like the other wisdom, this one also travelled far and spread to Ethiopia which among the locals, they have the saying “Let the eye fast, let the mouth fast, let the ears fast”.

And spread to India as well, which was known in Sanskrit, Manasa (mind), Vaacha (speech) and Karmana (action). Which are together used to describe a state of consistency expected of an individual that one should strive to achieve the state where one’s thoughts, speech and the actions coincide.

World is so awesome…

But,

Since it is not easy to apply this philosophy into the daily life, sometimes people do the justification and shallow on Shizaru, -the 4th-monkey who is covering the genital or crossing the arms as the symbol of not to do evil-, and depict it with a sulking gesture and a face of have no fun 🙂

Dompetku Hilang di Luar Negeri…!!!


A Lesson with Love
A Lesson with Love

Macau, hari ketiga liburan akhir tahun 2014.

Saat check-in, Customer Service Hotel di Macau itu menunggu saya membongkar tas mencari dompet. Dan isi tas telah tumpah ruah tapi dompet isi kartu kredit dan uang tunai tidak ada wujudnya sama sekali. Hilang! Dompet saya hilang! Dan saya di Macau!!

Tetapi tetap saja saya orang Indonesia yang masih beruntung! Untung kamar sudah dibayar lunas sehingga kunci kamar bisa diserahkan tanpa harus deposit. Petugas itu mungkin kasihan terhadap saya, atau bisa juga supaya saya cepat menyingkir karena antriannya sudah panjang.

Di kamar, saya terduduk di karpet di depan jendela besar selebar kamar, membiarkan pikiran kacau balau berkecamuk dengan segala macam rasa, -galau, jengkel, takut, panik, kalut, cemas, dan segala macam rasa negatif lainnya yang menjadikan jantung berdebar, nyawa serasa hilang-, dalam diam. Segala imajinasi buruk tergambar di benak. Tidak ada cukup uang untuk beli tiket kembali ke Hong Kong. Tidak ada cukup uang untuk hotel bila mau menunggu tanggal pulang, kalau pulang sekarang, tidak cukup untuk beli tiket, belum lagi soal makan. Semua kartu kredit, kartu ATM, KTP, uang! Dompet yang lain hanya ada kurang 200 HKD. Terbayang jelas, liburan yang baru 3 hari dijalani sudah hancur lebur. Sungguh semua bayangan buruk yang mengerikan hilir mudik di benak laksana film.

Saya menarik nafas panjang untuk berpikir lebih tenang dan fokus pada apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Saya harus menelusuri ke belakang sampai saat terakhir yakin masih memegangnya.

Saya merasa yakin masih memegangnya saat check-out hotel di Tsim Sha Tsui siangnya. Lalu apakah jatuh di hotel?  Paling tidak hotel itulah saya harus hubungi pertama kali. Dengan gemetar saya meneleponi hotel di Hong Kong itu. Saya jelaskan masalahnya dan untunglah petugas cukup ramah menanggapi serta meminta saya menelepon kembali setelah 10 menit. Ah, waktu berjalan seperti kura-kura, lama sekali rasanya!

Setelah 10 menit penuh kecemasan, saat menelepon kembali terdengar suara ramah yang terasa menusuk hati ketika mereka menyampaikan penyesalan dompet hitam tidak ditemukan di lobby maupun di kamar. Tak percaya begitu saja, saya tanya lagi dan lagi, mungkin disana atau disitu. Tetapi jawaban tetap sama. Tidak ada. Menyesal, mereka menutup telepon. Satu tempat sudah saya coret. Tak ada dompet saya di sana! Woaah…

Saya kembali mengingat-ingat, tidak mungkin selama di MTR, karena saya menggunakan kartu Octopus dan tidak pernah membuka dompet. Apakah dicopet? Mungkinkah di Hong Kong ada copet??

Lost wallet
Lost wallet

Berikutnya tempat membeli tiket ferry dari Hong Kong ke Macau. Saya tidak yakin tetapi sepertinya memang saya mengeluarkan dompet hitam selain dompet paspor yang juga terselip uang untuk membeli tunai. Dompet paspor memang sengaja saya pisahkan dengan dompet uang.

Dengan bergegas saya mencari potongan tiket ferry Turbojet Hong Kong – Macau untuk mendapatkan nomor teleponnya. Berhasil. Lalu dengan berdebar saya menghubungi nomor telepon di Hong Kong itu dan beruntung ditanggapi baik oleh pihak TurboJet selaku operator Ferry dan seperti yang sebelumnya ia meminta saya waktu 15 menit untuk pemeriksaan.

Lagi-lagi saya mengalami penyiksaan waktu yang terasa berjalan sangat lambat. Dan ketika saya meneleponnya kembali, ia memberitahu bahwa baik di ferry maupun di wilayah layanan TurboJet tidak ditemukan dompet saya. Saya seperti jatuh terkapar, semakin panik dan tak mau percaya begitu saja dan saya minta mereka memeriksa di toilet karena saya sempat ke kamar kecil itu. Tetapi dengan saya minta itu, mereka justru meminta saya menghubungi gedung terminal ferry karena toilet berada di luar wilayah operator ferry. Kali ini saya terhempas seperti memasuki ruang hampa, melayang tak jelas arah! Saya di Macau, dan saya tidak tahu dompet itu apakah ada di Hong Kong atau di mana dan jika memang benar, itu artinya cross border atau melewati imigrasi… Whoaaaaa……

Saya menutup mata memohon kekuatan Ilahi. Hanya dariNya saya mendapatkan kekuatan. Dari google saya mendapatkan nomor telepon terminal ferry di Hong Kong dan langsung menghubunginya. Petugas perempuan itu ramah dan meminta waktu 15 menit untuk memeriksa. Tetapi lagi-lagi, dompet saya tak ada disana baik di ruang tunggu maupun di toilet. Saya terpuruk lagi.

Where's my wallet?
Where’s my wallet?

Pertolongan Tuhan itu datang melalui manusia lain. Sebelum menutup telepon, petugas penuh empati itu menjelaskan mengenai wilayah tanggung jawab. Jika jatuh di ferry maka itu menjadi tanggung jawab operator ferry, jika jatuh di ruang tunggu sebelum boarding atau setelah imigrasi di terminal, maka itu menjadi tanggung jawab terminal ferry. Saya bertanya bagaimana jika jatuh saat membeli tiket? Dia menjawab dengan yakin bahwa itu menjadi tanggung jawab Operator Ferry. Entah kenapa, rasanya seperti mendapatkan segelas air di gurun pasir, kali ini rasa dingin yang menguatkan.

Saya menghubungi kembali Operator Ferry TurboJet di Hong Kong. Dengan bermuka tembok walaupun dipingpong terus, saya tidak berhenti. Petugas TurboJet sepertinya jengkel dan setengah hati menjelaskan tidak ada dompet yang ditemukan di sana. Saya tidak peduli dengan nada suaranya dan ngotot minta mereka memeriksa area tempat saya membeli tiket. Dan entahlah, mungkin karena kesal menghadapi saya yang tak mau menerima kenyataan atau gembira karena bisa melemparkan tanggung jawab ke orang lain, petugas operator ferry itu menyarankan untuk langsung menelepon konter tiket. Entah mengapa, ada lagi rasa dingin yang terasa menguatkan mendapatkan informasi itu walaupun saya harus setengah mati memahami omongan angka dalam bahasa Inggeris dengan lidahnya yang penuh aksen Mandarin. My last resort!

Tetapi apapun kondisinya, dompet saya tetap lenyap. Saya tahu harus segera melakukan pemblokiran, tetapi entah kenapa seperti ada bisikan untuk tidak melakukannya dulu.

Tanpa sadar saya sudah duduk di karpet itu sepanjang siang dan sore. Hati terasa amat lelah. Saya kembali mencari kekuatan dariNya dengan refleksi diri, melihat kesalahan-kesalahan yang saya lakukan. Sebuah déjà vu, seperti pernah mengalaminya, dan semuanya karena saya melakukan kesalahan!

Tersadarkan bahwa saya sudah menjadi orang yang sangat berduri saat ini, yang menyakiti siapapun yang mendekat. Saya melihat kepada orang-orang tercinta dan tumpah memeluk mereka semua. Memohon maaf atas apapun yang saya lakukan. Kepada mereka saya katakan harus mengikhlaskan dompet yang hilang dan berharap mereka juga bisa menerima dengan ikhlas pula situasi liburan yang harus disesuaikan dengan kejadian ini.

Ya Tuhan, saya sudah ikhlas dengan kehilangan ini…

Saya memeluk mereka semua, mengikhlaskan apapun yang terjadi…

Pelukan penuh cinta itu menguatkan. Saya katakan akan menghubungi nomor telepon ini sebagai langkah terakhir. Saya akan terus berupaya selagi masih ada jalan, saya percaya pada pepatah ‘take an extra mile further while the others had already stopped’. Namun tetap berdasar pada keikhlasan. Jika dompet itu memang tidak ada, itulah yang terbaik!

The brighter side
The brighter side

Sebelumnya saya mengerahkan jiwa raga berdoa dengan khusuk, -seperti dulu ketika sudah malam dan saya masih belum bisa menemukan jalan pulang dari Gayasan National Park di Korea Selatan-. Kali ini saya menceritakan kepadaNya betapa dompet itu berarti untuk mendukung liburan yang kali ini saya dedikasikan untuk keluarga. Jauh di lubuk hati saya meminta pengampunan dan menerima semua pembelajaran ini karena saya percaya Tuhan Maha Kasih, Maha Baik. Di hadapanNya, saya serahkan semua padaNya.

Lalu dengan mengucapkan namaNya, saya menghubungi nomor telepon Hong Kong itu sebagai langkah terakhir upaya saya menemukan dompet hitam saya yang hilang. Dengan sopan saya jelaskan kasus yang saya alami kepada suara laki-laki diujung telepon. Dan seperti biasa, ia menanyakan ciri-ciri dompet yang hilang itu. Ia juga menanyakan asal negara saya dan nomor yang bisa ia hubungi. Saya berikan semua yang dia minta.

“Indonesia?”, ia mengulang pertanyaan itu sedikit ragu yang terasa di telepon. Tanpa sadar saya mengangguk mengiyakan.  Lalu dengan sedikit bergumam, ia menceritakan bahwa ia menyimpan sebuah benda hitam yang di dalamnya terdapat kartu identitas dari Indonesia, kartu kredit dan uang tunai. Saya terkesiap, dan tak menunggu dia menyelesaikan kalimatnya dan memotongnya, ‘Sorry, it means… did you keep my wallet?”

Dia tidak menjawab langsung dan mengingatkan saya tetap harus menunjukkan identitas sebagai pemilik sah dompet tersebut. Dan menegaskan ia akan menyimpannya sehingga saya tidak perlu cemas. Dia juga minta maaf karena telah memeriksa dompet dan menemukan kartu kredit dan kartu identitas Indonesia dan beberapa bank notes. Saya sebutkan bank notes yang ada di dompet dan ia membenarkan. Kali ini saya benar-benar seperti terlontar setinggi-tingginya ke angkasa. Dompet saya ada padanya. Ya Tuhan… saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar.

Walaupun belum 100%, intuisi terdalam telah memastikan memang itu dompet saya! Saya seperti terbang dengan daya maksimum yang tak terbayangkan. Sepersekian detik itu saya rasa Tuhan sedang tersenyum lebar saat orang-orang tercinta termasuk saya berteriak bersama-sama dalam kegembiraan dan kebahagiaan, “Ketemuuuuuu…..!”

Dia Yang Maha Kasih selalu punya cara yang ajaib untuk melimpahkan anugerah penuh berkah kepada saya, kadang teguran cintaNya membuat haru biru tak karu-karuan. Rasa syukur saya tak bisa disampaikan dengan kata-kata. Saya memahami pembelajarannya. Kali ini dompet saya dikembalikan sebagai pembelajaran agar lebih berhati-hati menjaga semua yang berharga. Airmata bahagia untukNya. Terima kasih Tuhan walau ungkapan terima kasih itu tidak akan pernah cukup…

Ada yang pernah mengalami hal serupa?

<><><> 

Dan untuk kembali ke Hong Kong, Alhamdulillah suami ternyata membawa kartu ATM yang jarang sekali dibawanya saat liburan. Dan dengan uang itu keesokan harinya kami kembali ke Hong Kong untuk menjemput sang dompet yang telah terpisah denganku selama 24 jam. Dan kami bisa melanjutkan liburan akhir tahun…

Tiap Langkah Penuh Cinta Untukmu, Pa


“Maaf, permisiii…”

“Sssh… Jangan, Tidak apa-apa, kita tunggu saja,“ selanya lirih

“Tidak baik menyela orang yang sedang mengambil makanan”, lanjutnya hampir tak terdengar

Sambil mengelus-elus pundak Papa dari belakang, saat itu saya dapat memastikan seperti apa wajah penuh cinta yang tak mampu menghapus guratan-guratan ketampanan walau termakan usia. Pandangan penuh kebaikan hati, berhiaskan senyum yang tersungging. Sifat Papa yang lebih mengutamakan orang lain ini, membuatnya sering terlibas oleh kejinya manusia tak berhati yang menjalankan hidup tanpa makna. Tetapi semua itu tak menghentikannya dari berbuat baik. Seperti apa yang dikatakan di sebuah hotel di Jogja pada tahun lalu…

***

Semua berawal ketika Papa akhirnya mengalah pada serangan stroke yang bertubi-tubi dan menjalani hidup keseharian di atas kursi roda. Setiap hari, sepanjang tahun dan bertahun-tahun. Hanya memiliki rute ke dokter, ke rumah sakit, ke keluarga besar, mal atau tempat yang dekat rumah. Sebuah rute yang sangat memenjarakan bagi beliau yang mencintai kebebasan untuk bepergian. Bukankah para difabel itu seperti kita juga, yang perlu rehat sejenak dari hiruk pikuk kehidupan, berwisata, apalagi bepergian adalah hobbynya. Dan walaupun tak ingin terjebak pada keharusan penggunaan istilah difabel, disabled, differently-abled, handicapped atau apapun istilahnya, -karena pada dasarnya berujung pada gambaran yang sama sebagai pengguna kursi roda-, keinginan saya hanya satu yaitu memberinya kebahagiaan saat masih diberi kesempatan. Dan semua terjadi tepat dan indah pada waktunya karena hidup memberi pembelajaran penting tentang sebuah sudut pandang yang jarang atau tak pernah saya gunakan sebelumnya.

Dan hikmah itu terserak dalam perjalanan darat bersamanya ke Jogja dan Jawa Tengah tahun lalu.

Meskipun dengan sebanyak-banyaknya upaya untuk memesan hotel, memilih restoran, obyek wisata dan mengatur perjalanan yang nyaman dan ramah difabel, hal yang di luar perkiraan kerap terjadi karena tak cukupnya saya mengambil sudut pandang Papa yang menggunakan kursi roda.

Papa tak pernah minta menginap di hotel mewah penuh bintang. Kaki Papa sulit digerakkan apalagi diangkat sehingga tak perlu ada bath-tub. Mandi pun Papa harus dibantu dalam keadaan duduk, sehingga tak perlu ada kelembutan air laksana hujan yang jatuh dari kepala shower yang fix. Villa split-level sudah pasti dicoret dari daftar. Tapi yang terpenting, kursi roda harus bisa masuk ke kamar mandi. Dan saya mengira sudah memikirkan semuanya…

The Only Disability in Life is A Bad Attitude (Scott Hamilton)
The Only Disability in Life is A Bad Attitude (Scott Hamilton)

Pembelajaran dimulai ketika sampai di Jogja, dan hendak menurunkan Papa di hotel. Tak banyak hotel yang menyediakan tempat berhenti dan turun khusus untuk para difabel sehingga pengendara lain di belakang menjadi tak sabar dan membunyikan klakson karena dirasa terlalu lama dalam menurunkan penumpang. OMG. Tetapi Papa tersenyum dan meminta kami memindahkan mobil lalu menurunkan Papa dan semua peralatannya di tempat parkir daripada di depan lobby. Mengalah.

“Mereka tidak tahu, kan?” kata Papa menenteramkan.

Papa yang fisiknya terbatas lebih memilih untuk mengalah dari orang yang lebih muda, lebih sehat dan fisiknya lebih mampu. Bagi manusia normal, turun dari mobil sesederhana naik. Tetapi tidak sesederhana itu proses menaikturunkan Papa yang fungsi kakinya sudah sangat-sangat terbatas.

Yang jelas, perlu cukup jarak dengan mobil lain sehingga tersedia ruang antara pintu mobil yang terbuka dengan kursi roda yang disiapkan terlebih dahulu di posisinya. Lalu kaca jendela di dekat Papa perlu diturunkan karena bisa jadi pegangan Papa, kemudian membantu menggeser posisi duduk Papa mulai dari menurunkan kaki perlahan hingga bisa menjejak sambil dipapah. Kami tetap harus memotivasi Papa agar memperbaiki gesture dan melangkah sekali, dua kali sambil bertumpu pada yang membantu. Kemudian berputar, melangkah mundur, satu, dua langkah yang sangat pelan namun sangat berarti buat orang yang tak mampu berdiri normal, lalu perlahan mendudukkan Papa. Setelah mengembalikan posisi pijakan untuk tempat kaki papa dan membebaskan rem, kursi roda baru bisa didorong.

Fisik pendorong harus cukup kuat untuk mendorong atau menahan bobot papa yang lebih dari 70kg saat tanjakan dan turunan. Jika ada setengah anak tangga, maka kursi roda harus diungkit sehingga roda kecil di depan terangkat. Bila jalan menurun yang tidak landai, kursi roda harus berjalan mundur sehingga bisa ditahan. Paling tidak harus ada satu orang yang membantu. Belum lagi jika turun hujan atau panas terik sehingga perlu orang yang memayungi.

Tetapi segala keruwetan itu hilang jika melihat Papa bersuka ria dan tertawa lebar bersama keluarga dan kerabat di suasana yang berbeda dan jauh dari Jakarta. Sejujurnya ada bahagia luar biasa terasa mekar di dalam. Saya hanya bisa mengerjapkan mata membuang airmata bahagia yang mengembang.

Dari beberapa kesempatan, saya belajar dari Papa yang menyadari tak sedikit orang yang sepertinya merasa berada di tempat dan waktu yang salah karena berdekatan dengan Papa saat naik atau turun mobil. Mereka tampak gagap dan gugup untuk membantu, karena takut salah, atau takut menyakiti, atau bingung harus berbuat apa. Tetapi Papa tak mau mereka kehilangan muka, karenanya Papa mengeluarkan cerita humor sambil tertawa lebar sekaligus berterima kasih atas niat mereka yang sudah tampak di wajah.

Being Unconscious is the Ultimate Disability
Being Unconscious is the Ultimate Disability

Namun bagaimana pun keberadaan sebuah kursi roda selalu menjadi perhatian. Mungkin Papa telah terbiasa, namun saya belum. Rasanya jengah melihat banyak mata memperhatikan walaupun entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Hanya karena Papa terlihat berbeda, hanya untuk memuaskan mata melihat, tanpa sebuah kesadaran apapun. Apakah pengguna kursi roda itu aneh? Apakah para difabel itu sebuah tontonan? Lagi-lagi Papa hanya melempar senyum pada mereka yang seakan melihat hantu.

Sarapan di hotel merupakan kesempatan menjadi pusat perhatian lagi, apalagi pengaturan sebagian meja hidangannya terletak di luar ruang yang satu-satunya jalan digunakan tamu untuk mengantri, termasuk untuk jalan kursi roda. Dan itulah yang terjadi sehingga saya menuliskan perkataan Papa di awal tulisan ini. Karena Papa yang hendak kembali ke kamar karena sudah selesai sarapan, terhalang oleh antrian tamu yang hendak mengambil makanan. Bagi orang normal, akan mudah meminta jalan untuk lewat, tetapi tidak demikian bagi kursi roda dan pendorongnya.

“Maaf, permisiii…” kataku berharap orang di depan menyadari kehadiran Papa

“Sssh… Jangan, Tidak apa-apa, kita tunggu saja,“ selanya lirih

“Tidak baik menyela orang yang sedang mengambil makanan”, lanjutnya hampir tak terdengar, tapi membuatku berhenti mendorong. 

Dalam sebuah kesempatan, kami mengajak Papa untuk melihat sunset di Candi Ratu Boko. Namun karena suasana liburan, saat itu tempat parkir penuh. Saya menarik nafas, karena melihat akses kursi roda yang telah disediakan terhalang mobil yang parkir didepannya dan tidak memberikan ruang sama sekali. Lagi-lagi saya merasakan bagaimana menjadi orang yang terpinggirkan, yang harus mengalah kepada suara mayoritas. Mungkin di benak sebagian besar orang hanya mempertanyakan jumlah kemungkinan pengguna kursi roda yang pergi berwisata. Jika kecil atau tidak signifikan, bukankah lebih baik tempat luangnya digunakan untuk orang lain yang lebih banyak dan lebih perlu? Atau bisa jadi karena tidak ada sanksi karena memanfaatkannya, entahlah…

Awalnya kami ingin membatalkan, tetapi Papa bersemangat untuk melihat suasananya dan bersedia dipapah. Sambil memapah Papa yang berjalan seperti kepiting di antara mobil, tertatih-tatih mencoba membuat satu, dua, tiga langkah yang sangat menguras energinya karena stroke telah membuat kaku otot-ototnya, membuat hati saya remuk redam. Wahai pengguna mobil yang telah mengambil ruang, bersyukurlah masih memiliki kaki normal sehingga dapat digunakan untuk berjalan. Setelah berjuang dengan titik-titik peluh di lehernya, akhirnya Papa bisa duduk kembali di kursi roda. Walau lelah itu tidak ditampakkan di wajahnya, Papa merasa gembira bisa datang ke Ratu Boko untuk melihat Prambanan di kejauhan dan melihat nuansa sunset di langit.

It's Not Our Disabilities, It's Our Abilites That Count (Chris Burke)
It’s Not Our Disabilities, It’s Our Abilites That Count (Chris Burke)

Salah satu momen menyenangkan selama liburan adalah acara makan di restoran favorit, tetapi kali ini saya harus mencari restoran yang benar-benar nyaman dan bisa diakses Papa. Di Jogja banyak restoran terkenal yang nyaman dan katanya ramah difabel walaupun tidak benar-benar ramah. Ada yang hanya memaksakan membuat jalan kursi roda tapi tidak bisa dimanfaatkan. Mungkin lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Namun terlepas dari itu, ada juga restoran yang memiliki karyawan yang sigap menolong, dan itu membuat Papa langsung jatuh hati. Orang santun tanpa diminta langsung menolong memang dicintai banyak orang. Orang-orang yang memiliki kesadaran hidup dan berbagi. Rasanya luar biasa bahagianya melihat Papa bisa makan dengan suasana nyaman bahkan bisa terlibat obrolan dengan orang-orang di balik restoran. Rasanya homey.

Dan akhirnya ketika meneruskan perjalanan dan harus menginap di kota yang tidak memiliki pilihan lain selain di hotel yang tidak ramah difabel dan bertangga belasan. Bahkan di sebuah ibukota kabupaten di Jawa Tengah tidak menyediakan aksesnya sama sekali. Tidak ada jalan lain kecuali memapah Papa setengah mengangkat. Terlepas dari ketidakadaan jalan akses difabel, kami bersyukur di tempat itu, karena selain dibantu oleh para karyawannya, kami bahkan bisa memotivasi Papa untuk melangkah. Belum pernah Papa naik tangga sebanyak itu dan semangat keberhasilan kami pekikkan tiap satu langkah menapak tangga dan ketika berhasil, tidak hanya papa yang senang. Kami semua luar biasa gembira dan takjub akan kekuatan cinta.

Bahkan ketika sampai di pemakaman keluarga karena Papa ingin menyekar keluarganya yang telah mendahului menghadap Yang Maha Kuasa, kami memapahnya karena memang belum ada akses kursi roda. Papa sangat berbahagia bisa sampai di sana untuk tiap langkahnya yang tertatih. Ada airmata menitik jatuh, karena bisa pergi melakukan ziarah, sesuatu yang tak terbayangkan olehnya setelah duduk di kursi roda selama ini. Melihat papa menitikkan airmata, saya melengos, tak mau terlihat bahwa mata saya pun ikut-ikutan basah. Tetapi keinginan membuat Papa, sebagai difabel, berbahagia karena bisa berwisata, jauh lebih besar daripada semua kerepotan yang ditimbulkan. Walau tempatnya ramah atau tidak ramah untuk difabel, membuat orang lain berbahagia, apalagi ayah sendiri,  itu jauh lebih membahagiakan.

Kala Sakit Menghampiri, Rasa Syukur Kian Menderas


Bila memang saatnya telah tiba, sehebat-hebatnya kita menjaga kesehatan, tetap saja sakit itu akan datang berkunjung. Kali ini bukan karena banyaknya penjaga kesehatan yang ditugaskan di tubuh, melainkan karena diri sendiri yang memperkenankan bahaya masuk.

Laksana kuda Troya, dengan suka hati saya menyambut begitu banyak sambal dan teman-temannya ke dalam tubuh. Dan tanpa disadari, pasukan ‘musuh’ menyerang dengan mudahnya pada saat lengah. Alhasil, tubuh dikalahkan oleh diare sehingga kekurangan cairan. Minum air dan oralit pun tidak mempan lagi, minum obat biasa pun tidak membawa perbaikan. Menyerah kalah, dengan tertatih saya pergi ke dokter setelah sekian puluh kali keluar cairan dari atas dan bawah tubuh. Dokter berkata dengan santainya bahwa untuk mengembalikan kondisi tubuh, sebaiknya dibantu dengan cairan infus, itu artinya menginap di rumah sakit. Duh!

Jadilah, namun selain kondisi perut dan isinya yang tidak nyaman, hampir tidak ada yang salah dengan kondisi tubuh lainnya. Kecuali, mungkin sedikit rasa sakit akibat infus. Dua kali obat antibiotik yang dimasukkan melalui selang infus, dua kali harus meringis menahan sakit. Tes alergi yang pedih karena dilakukan di bawah kulit terasa tidak ada apa-apanya. Bahkan di pengobatan antibiotik yang kedua, saya hanya bisa diam menggigit bibir berusaha mengalihkan rasa  pedih.

Lanjutkan membaca “Kala Sakit Menghampiri, Rasa Syukur Kian Menderas”

Bertetangga itu memperindah jiwa


Seumur hidup saya, yang namanya tetangga itu adalah orang yang berada di sebelah posisi kita berada, bisa sebelah rumah, sebelah meja, sebelah kursi, sebelah kamar, baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Pokoknya dia ada di bagian sebelah.  Sejak saya kecil, selalu ditekankan bahwa tetangga sebelah rumah adalah lebih penting daripada keluarga yang jauh. Indoktrinasi ini membuat saya selalu mengingat tetangga-tetangga saya.

Ketika saya masih balita, saya terbiasa hanya mengenakan celana dalam tanpa baju, karena mungkin lipatan-lipatan lemak yang membuat saya selalu kepanasan jika memakai baju lengkap. Dan sewajarnya anak kecil yang selalu lari-lari ke rumah tetangga, saya pun sering nyasar ke tetangga sebelah rumah orangtua saya untuk mencari kue atau hiburan lain. Namun karena hanya berpakaian dalam, hampir setiap sore saya pulang dalam keadaan menangis karena bokong saya selalu mendapat gigitan atau cubitan gemas dari tante yang tinggal tetangga sebelah rumah. Mungkin saat itu, saya belajar, biarpun digigit atau dicubit, tetapi datangi terus, pasti dapat kue hehehe…

Ketika masih sekolah, penghuni tetangga sebelah kursi adalah saingan saya dalam memperebutkan nilai terbaik setiap ulangan. Saat itu ulangan sains sedang digelar dan soalnya sangat susah. Saya hampir menyerah dan mengeluh sambil melihat tetangga sebelah saya yang rupanya juga menghadapi masalah yang sama, dia balik menatap saya. Dan tak sadar kami berdua terlibat dalam diskusi.  Mungkin nada diskusi kami cukup mengganggu sehingga menyadarkan Sang Guru dari tidur ayamnya. Sang Guru yang terkenal killer itu hanya menguap sambil menegur santai agar kami tidak melanjutkan diskusi. Ya iyalah… Mana ada diskusi dalam ulangan? Dan didepan guru killer lagi! Pak Guru sadar mungkin hanya kami berdua yang bisa menyelesaikan soal itu.

Kemudian ketika saya kost, saya punya tetangga kamar yang membuat saya harus cepat berpikir secara dewasa. Tetangga kamar ini seorang mahasiswi S2 yang sudah berkeluarga, masih sangat cantik untuk ukuran ibu dua anak. Suami dan anak-anaknya tinggal di Ujung Pandang. Oleh karena kamarnya dan kamar saya hanya dipisahkan oleh sebuah tripleks, maka apa yang dibicarakan pasti terdengar oleh penghuni sebelahnya. Karena gaya dan pembawaannya, apapun yang dilakukan oleh mbak mahasiswi S2 ini menjadi bahan gossip hangat di kost yang semua penghuninya adalah makhluk perempuan remaja yang belum menikah. Apalagi setelah dia terlalu dekat dengan salah satu mahasiswa seangkatannya yang kebetulan sering berkunjung ke kost.

Lanjutkan membaca “Bertetangga itu memperindah jiwa”