25 Desember 2019 Malam, Waktu Makkah
Sesegera setelah makan malam kami berkumpul langsung di lobby hotel. Hampir semua jamaah pria menyempurnakan kembali pakaian ihram yang telah dikenakan sejak miqat di Masjid Bir Ali siang tadi. (Baca dulu perjalanan dari Madinah ke Mekkah sebelumnya dengan judul Pilgrimage 4: Menuju Tempat Utama)
Pak Ustadz berdiri paling depan mengawali rombongan kami, -kecuali Nini yang melakukan umroh dengan layanan kursi roda-, kemudian kami berjalan bersama menuju Masjidil Haram sambil melafalkan doa dan kalimat talbiyah. Terasa getar halus yang merambat naik ke seluruh tubuh. Inilah dia, inilah waktunya. Semakin dekat, semakin banyak manusia. Seperti yang Pak Ustadz katakan, Masjidil Haram tak pernah sepi dari manusia, apalagi jelang waktu shalat. Dimana-mana orang akan berusaha mendekat. Merasakannya sendiri, berada diantara ribuan jamaah itu, timbul berbagai rasa dari dalam hati. Merasa kecil tapi sama-sama manusia, syukur bercampur haru, rasa asing, takut, bahagia, ada juga sedikit tak sabar, semua campur aduk menjadi satu, timbul tenggelam.
Di pelataran depan Clock Tower kami berhenti, menunggu rombongan dari hotel bintang lima bergabung. Kesempatan menunggu itu saya gunakan untuk memutar kepala, mengarahkan pandang ke gerbang Masjidil Haram. Ya Allah, begitu terang, begitu bercahaya. Begitu banyak jamaah hilir mudik dalam balutan ihramnya. Saya memindah pandang ke bawah, tak mau yang lain mengetahui airmata yang menetes, mengharu biru. Untunglah bermanja rasa itu tak lama karena harus fokus mengikuti langkah Pak Ustadz agar tak terpisah. Karena berjalan dalam satu rombongan diantara ribuan orang yang berselimut warna putih, tentu tidak semudah bicara. Apalagi di tempat tersuci, semua niat dan perkataan bisa membawa akibat.

Sebelum melakukan tawaf, kami shalat Jamak Maghrib dan Isya yang diimami oleh Pak Ustadz, karena kami semua ingin melakukannya di Masjidil Haram. Tempat yang dipercaya, sekali shalat disini mendapat ganjaran pahala 100.000 kali di bandingkan shalat di Masjid lain kecuali Masjid Nabawi dan Masjidil Aqso. Dan setelahnya, kami menuju area Mataf, area tempat Ka’bah berdiri
Ritual Umroh
Berjalan menuju Mataf, saya memanjang-manjangkan leher. Sebagai orang yang belum pernah menginjakkan kaki di Masjidil Haram, tentu saja ada keinginan yang amat kuat untuk bisa melihat Ka’bah yang menjadi arah kiblat shalat dengan mata kepala sendiri. Tetapi Masjidil Haram itu amatlah luas dan pak Ustadz dengan mudahnya berjalan seakan-akan kakinya memiliki mata, sementara saya seperti kerbau yang dicocok hidungnya untuk terus mengikutinya. Sampai akhirnya… sepasang mata saya ini melihat Ka’bah untuk pertama kalinya. Masya’Allah
Saya melihatnya sambil berjalan dengan mata tak berkedip. Bangunan yang biasa terlihat di sajadah-sajadah atau hanya bisa disaksikan via media, kini saya bisa melihatnya langsung dengan mata sendiri. Saya berkedip-kedip menahan airmata yang menggenang memenuhi pelupuk. Allah Maha Baik telah memberikan saya kesempatan berkunjung ke tempat yang suci ini. Berkali-kali saya menggigit bibir untuk memastikan saya tak bermimpi.
Sebelum melangkah ke area Mataf yang dipenuhi begitu banyak orang, pak Ustadz mengingatkan kami semua untuk tetap bersama-sama dan tak terpisah dari rombongan. Mendengar itu, langsung saja saya menggamit ujung kain ihram suami yang memang disisakan di bagian pinggang (sang belahan jiwa mengikuti arahan dari Pak Ustadz tentang cara mengenakan kain ihram yang katanya tidak akan melorot dan akan semakin kencang jika bagian sisa itu ditarik). Begitu banyak rasa ketika akhirnya saya benar-benar mengikhlaskan diri, berserah sepenuhnya saat menapakkan kaki untuk pertama kali di area Mataf, pelataran terdekat berlantai putih yang melingkari bangunan dengan sisi sekitar 12 – 13 meter itu. Ada gema khusus dari dalam jiwa saat menjejak lantainya, tak bisa dijelaskan rasanya kecuali rasa haru yang melimpah ruah.

Tawaf
Meski langit malam memayungi kota Mekkah, saat itu saya sama sekali tak merasa gelap karena cahaya lampu begitu terang. Apa yang sering saya lihat di TV atau media sosial lain, kini saya ada di dalamnya, mengikuti langkah-langkah manusia lain yang berserah diri, bermadah dan melantunkan pujian, berharap kasih sayangNya. Meski tawaf dilakukan jelang tengah malam, jumlah jamaah yang melakukannya tak juga menyurut. Udara terasa sejuk meski tak sedingin Madinah. Mungkin itu juga yang menyebabkan jamaah banyak memulai ritual umroh pada malam hari, seperti kami.
Melihat begitu banyaknya orang di area Hajar Aswat, -sebuah sudut berbatu hitam yang segarisnya menandakan awal Tawaf,- saya langsung minder. Apalagi rombongan kami tak ada yang mendekat ke Hajar Aswat. Saya melambaikan tangan sebagai lambang menciumnya lalu melantunkan bacaan dan pujian
Putaran demi putaran tak terasa lelahnya jika puji-pujian dan doa dilantunkan hanya untukNya, kadang ada desakan dan dorongan datang dari rombongan yang baru datang atau juga datang dari rombongan yang telah selesai. Tak ada umpatan, kejengkelan dan kemarahan, semua saling memberi jalan, berhenti sejenak meskipun bisa tergencet karena dorongan dari belakang. Kadang saya terhimpit dari samping oleh badan suami yang terdesak tapi tak pernah lama. Apapun, semua maklum. Hanya ada rasa berserah di RumahNya. Rombongan Indonesia amat mudah dikenali, biasanya banyak, berpakaian sama kecuali para prianya yang berihram biasa. Yang menarik perhatian adalah suara lantunan mereka yang nyaring diawali oleh pembimbingnya. Bisa jadi mereka tak sadar telah bersedekah membantu yang sulit menghafal bacaan doa dan pujian.
Dan saya mendapat keajaiban itu. Saya menyadarinya, meskipun lupa pada hitungan putaran keberapa. Awalnya saya tak percaya, tetapi keadaan itu tak berubah hingga Tawaf selesai. Saya menggigit bibir penuh rasa syukur sambil tak berhenti mengucapkan doa dan puji-pujian. Ya Allah… rasanya tak tertahankan, tak terkatakan… Di tengah padatnya manusia yang sedang berjalan itu, saya menyaksikan sendiri, sekitar semeter setengah lingkaran di depan saya selalu kosong Padahal di luar itu, langsung ada punggung orang lain. Ketika saya mempercepat jalan hingga mendekat ke orang di depan saya, maka orang di depan saya selalu bergerak lebih cepat. Selalu ada ruang sekitar 1 meter di depan saya yang kosong seakan-akan dibukakan jalan agar saya mudah melangkah, berlangsung terus hingga Tawaf selesai. Alhamdulillah.
Ya Allah, saya mengingat anugerah-anugerah penuh keajaiban yang terjadi dalam kehidupan saya, juga dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya. Sungguh saya merasa mendapat berkah yang tak habis-habis. Rasa syukur begitu memenuhi hati seakan hendak meledakkan diri, semua hanya untukNya, Dzat Yang Maha Baik.
Setelah Tawaf, jamaah mendirikan shalat sunnah di belakang maqom Ibrahim. Meskipun diberi tali pembatas, kadang jamaah yang sedang Tawaf membuatnya tergeser sehingga ruang untuk bersujud bagi jamaah yang sedang shalat menjadi lebih sempit. Namun hebatnya para petugas, yang dikenal sebagai Askar, dengan sigap mengembalikan pembatasnya dan meminta jamaah agar shalat di area yang ditentukan. Shalat pertama saya di pelataran Ka’bah membuat rasa begitu membuncah. Luar biasa sekali. Gambaran-gambaran yang begitu sering terlihat di sajadah kini terpampang di hadapan saya. Sebisanya saya merekam dalam ingatan karena lebih banyak doa dilangitkan di tempat yang konon makbul untuk berdoa.

Sa’i dan Tahallul
Gelap malam masih meliputi kota Makkah ketika kami berjalan menuju Mas’a, -tempat melakukan Sa’i-, yaitu aktifitas wajib dalam haji dan umrah yang mengharuskan jamaah berjalan (sedikit cepat) dari bukit Shafa menuju Marwah dan sebaliknya sebanyak tujuh kali, untuk mengingat upaya keras Siti Hajar demi putranya, -Nabi Ismail AS yang menangis kehausan-, sehingga Siti Hajar setengah berlari dari Shafa menuju Marwah bolak-balik untuk mendapatkan minum. Akhirnya Allah memancarkan sebuah mata air untuk mereka berdua yang belakangan dikenal Air Zamzam.
Saat itu, seperti juga Tawaf, Sa’i di tengah malam itu tetap padat luar biasa. Kembali saya terpesona, area Mas’a lengkap dengan pendingin udara dan kipas, lebarnya sekitar 20 meter yang terdiri dari dua jalur lebar untuk para pejalan kaki serta dua jalur khusus untuk jamaah difable maupun pengguna kursi roda. Tentu saja kondisi ini teramat jauh berbeda dengan kondisi orisinalnya di jaman dulu. Kini, perjalanan tujuh kali putaran sepanjang total 2,8 kilometer itu pun terasa tak melelahkan, karena sejalan dengan kaki yang melangkah, pikiran diingatkan pada upaya Siti Hajar yang selalu memohon pertolongan Allah dalam menghadapi kesulitan, dan memohon ampunan dari seluruh perbuatan dosa.

Setelah berniat, kami berjalan di antara para jamaah dengan kecepatan rata-rata. Saya, juga para muslimah dalam rombongan kami, mengimbangi kecepatan para jamaah pria yang harus berlari-lari kecil dalam kawasan yang berlampu hijau. Karena sa’i adalah salah satu rukun ibadah yang dilakukan dengan jalan cepat, lebih cepat dari jalan biasa dan lebih lambat dari lari.
Meski dalam ritual ibadah, mata ini tak mampu mengabaikan kemegahan tempat Sa’I, yang dimasukkan ke dalam bagian Masjidil Haram pada tahun 1975 ketika sedang dilakukan perluasan Masjid. Kini, di bangunan dua lantai demi mengakomodasi jumlah jama’ah yang semakin besar tiap tahunnya, kaki jamaah bisa senantiasa bersih karena menapaki lantai marmer putih yang menutupi area hingga ke bukit Shafa dan Marwah. Di bagian ujung, meski hanya sebagian kecil saja, dua puncak bukit tersebut dibiarkan terbuka apa adanya dengan batuan khas Jazirah Arab.
Saat Sa’i, mata ini sempat menangkap pandangan seorang perempuan sepuh berjalan sendiri di pinggir, tertatih dengan ritme kaki yang sudah ringkih. Raga boleh tertatih, namun mungkin baginya iman kepada Allah lebih utama. Bukankah Sa’i sendiri bermakna perjuangan hidup yang pantang menyerah, penuh kesabaran, ketakwaan dan ketawakalan terhadap Allah? Gambaran ibu sepuh tadi berakar kuat di benak, seakan mengingatkan sejatinya Sa’i tak boleh terlalu nyaman dengan lantai marmer ber-AC.
Hampir tiga kilometer ritual Sa’i dilakukan dan ketika selesai di bukit Marwah, rasa syukur lagi-lagi membuncah deras. Di dekat batuan keras bukit Marwah itu, kami semua melakukan tahallul yang ditandai dengan menggunting rambut. Tahallul sendiri menandakan selesainya ibadah umroh. Semua yang haram dilakukan selama Umroh kini telah menjadi halal kembali. Alhamdulillah.
Malam masih menyelimuti bumi Mekah ketika kami melewati sebuah pintu keluar dari area Mas’a. Langit masih gelap meski cahaya lampu bersinar amat terang. Saya melempar pandang, dimana-mana masih terlihat jamaah berpakaian serupa, bernada sama, berserah dan bermadah kepadaNya.

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 8 dan bertema Puncak agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap dua minggu.