Taj Mahal Mini di Jakarta


Dua bulan sebelum pendirinya berpulang, saya mengajak suami untuk berkunjung ke Masjid Ramlie Musofa yang berada di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Memang sudah lama saya ingin ke Masjid ini karena konon, bentuknya menyerupai Taj Mahal, sebuah bangunan indah UNESCO World Heritage Site yang berlokasi di Agra, India. Yah, tidak apa-apa ke Sunter dulu. hitung-hitung menjejak miniaturnya dulu sebelum melihat aslinya yang ada di negeri Shah Jahan itu 😀

Jadilah, jelang waktu Ashar, saya sampai di Masjid yang didominasi warna putih itu. Kesan pertama melihat masjid itu, teramat cantik dan indah. Cukup beruntung saya bisa mendapatkan tempat parkir kendaraan di pinggir jalan tepat di depan Masjid, karena sepertinya lahan untuk parkir tidak terlalu luas (meskipun petugas parkir mempersilakan untuk parkir di halaman dalam Masjid)

Masjid Ramlie Musofa

Berada di seberang Danau Sunter, Masjid Ramlie Musofa ini memang menarik perhatian karena, -selain warna bangunan yang putih mencolok mata-, bangunan ibadah ini berdiri di antara perumahan elite di kawasan Danau Sunter Selatan yang mayoritas penghuninya beretnis Chinese dan umumnya Non-Muslim. Tapi semuanya itu tentu ada kisahnya sendiri…

Tidak seperti umumnya masjid-masjid di Indonesia, nama masjid ini tergolong unik karena namanya diambil dari gabungan dari lima nama orang dalam satu keluarga. Ya, nama Ramlie Musofa merupakan gabungan nama Ram dari Ramli Rasidin, sang pemilik sekaligus pendiri Masjid;, Lie dari Lie Njoek Kim, istri sekaligus sang belahan jiwa; Mu dari Muhammad Rasidin, anak pertama; So dari Sofian Rasidin, anak kedua dan Fa dari Fabianto Rasidin, si bungsu dari keluarga Rasidin. Harapannya tentu teramat baik, sepanjang Masjid difungsikan untuk kepentingan orang banyak dan alam semesta, InsyaAllah pahalanya tetap mengalir kepada keluarga. Namun sebenarnya siapa mereka?

H. Ramli Rasidin merupakan seorang mualaf keturunan China yang lahir di tahun kemerdekaan dan menyatakan syahadat ketika masih belia yakni berumur 19 tahun, di Aceh pada tahun 1964. Dan hampir setengah abad kemudian, ia mendirikan sebuah masjid tiga lantai di atas lahan seluas 2000 meter persegi di kawasan Sunter yang pembangunannya memakan waktu hingga 5 tahun. Keelokan masjid ini bukan kaleng-kaleng, keterkenalannya sebagai bangunan cantik serupa Taj Mahal ini, membuat Imam Besar Masjid Istiqlal sendiri, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, berkenan mendatangi Masjid dan meresmikannya pada bulan Mei 2016. Hebat kan?

Masjid cantik yang menyerupai Taj Mahal ini memang sesungguhnya terinspirasi oleh filosofi bangunan yang terkenal sebagai The Wonders of The World yang berlokasi di Agra, India itu. Jika Taj Mahal yang asli didirikan sebagai persembahan cinta seorang suami terhadap isterinya, seorang Raja Mughal, Shah Jahan, terhadap Mumtaz Mahal, sang belahan jiwa yang telah memberinya 14 orang anak, maka Masjid Ramlie Musofa ini didirikan juga atas dasar cinta, namun bukan sembarang cinta. Masjid ini dibangun atas dasar cinta yang tulus dari seorang Ramli Rasidin terhadap Allah Subhana wa Ta’ala, juga terhadap agama Islam yang dianutnya dan tentunya tak dapat dipisahkan cintanya terhadap keluarga.

From the entrance stairs

Jelang Ashar itu, terik matahari masih terasa memanggang kulit sehingga saya bergegas memasuki halaman Masjid untuk mencari keteduhan di sudut halaman. Dari tempat saya berdiri, rasanya tak bisa dihindari bahwa saya terkagum-kagum melihat keindahan arsitekturnya yang memang menyerupai bangunan utama dari Taj Mahal. Memiliki tiga kubah dengan komposisi letak dan perbandingan yang serupa satu sama lainnya. Lengkap dengan menara-menara kecil yang didirikan mengitari kubah utama dan dua kubah kecil di lantai atap. Seandainya ada empat menara putih tinggi di tiap sudut halamannya, tentunya Masjid ini akan semakin lekat berlabel Taj Mahal mini. Tapi tak ada menara pun rasa Taj Mahal sudah menghampiri hati.

Saya tak bisa berlama-lama memanjakan mata karena panggilan shalat Ashar sudah terdengar. Saya tersenyum penuh syukur dalam hati, ternyata segala kemacetan panjang dari rumah hingga mencapai masjid ini memiliki maknanya sendiri. Sang Pemilik Kehidupan berkenan melimpahkan karuniaNya, menghantarkan saya agar bisa mendirikan shalat Ashar berjamaah di Masjid ini.

Memasuki ruang wudhu untuk wanita yang diletakkan di sisi Barat, membuat saya terperangah dan mambuat hati terasa hangat. Kenangan saat ibadah umroh enam bulan sebelumnya langsung mengisi kalbu. Ruang wudhu perempuan (dan tentunya juga untuk pria) dari Masjid Ramli Musofa tak jauh beda dengan ruang wudhu di masjid-masjid utama di Jazirah Arab dan juga di Palestina. Pada setiap keran yang mengalir disediakan tempat duduk batu sehingga memudahkan jamaah untuk bersuci dan tentunya aman. Setelah ruang berwudhu, terlihat pula area kecil tempat menggantung mukena-mukena bersih yang siap digunakan. Kemudian dilanjut dengan ruang terbuka yang luas dengan hamparan karet. Memang, lantai dasar digunakan sebagai ruang shalat wanita. Ada televisi layar datar yang digunakan sebagai alat monitor kegiatan ibadah Imam yang memimpin shalat. Sebelum memulai shalat, saya mencuri waktu untuk memperhatikan ruangan. Tidak ada yang istimewa kecuali ada pintu langsung ke jalan samping Masjid. Ternyata akses itu diberikan untuk calon pengantin yang akan melakukan proses pernikahan karena memang lantai dasar merupakan tempat pelaksanaan akad nikah.

Selesai shalat saya memanfaatkan waktu untuk berkeliling. Ternyata semakin dijelajahi, semakin terasa kentalnya percampuran tiga budaya yaitu Indonesia, Timur Tengah dan Timur Jauh (Tiongkok). Pada dinding di kanan dan kiri tangga utama dituliskan arti Surat Al Fatihah dalam dua bahasa. Dibuat seperti itu, konon, ditujukan kepada semua yang datang agar membaca, memahami dan memaknai Surat Pembukaan dari Al Qur’an itu. Bagi mereka yang berlatar budaya China tentu akan lebih mudah membaca dan memahaminya dalam karakter Mandarin. Bagi mereka yang hafal surat Pembukaan itu tapi belum memahami artinya, diberikan pula arti dalam bahasa Indonesia. Semua itu ditujukan seraya menaiki tangga utama sebelum menjejak lantai utama yang digunakan sebagai tempat shalat untuk laki-laki. Lalu berada di puncak tangga utama, saya menikmati lengkungan indah di atas pintu. Tak heran, bagian ini mengingatkan akan bangunan Taj Mahal dengan hiasan geometris khas Islam.

Sebelum memasuki ruang utama, saya berjalan mengelilingi selasar luar dan menikmati setiap dekorasi yang ada pada dinding-dinding Masjid hingga sampai di pintu Timur. Dari pintu di bagian Timur terlihat pemandangan di lantai utama sangat indah dengan mihrab tempat Imam memimpin ibadah yang dibuat cantik, lengkap dengan hiasan khas Islam. Sinar matahari menerobos masuk dari jendela-jendela mini di dasar kubah utama, menerangi bagian bawah seperti cahaya surga.

the mihrab in main prayer area

Dari tempat saya berdiri juga bisa terlihat lantai tiga Masjid yang terbuka ke bawah seperti sebuah mezanin. Mungkin digunakan untuk ibadah jika lantai satu tak mampu menampung jamaah yang mau beribadah. Terlihat juga pilar-pilar putih menghiasi bagian dalam masjid.

Saya memahami, waktu bagi saya untuk menikmati Taj Mahal mini di Jakarta hampir habis, sehingga saya mempercepat langkah tanpa melepas untuk mengabadikan spot-spot yang cantik karena ada sebuah bedug terlindung dalam sebuah ruang berkubah yang disokong empat pilar yang diletakkan di sudut Barat Daya.

Sungguh saya bersyukur bisa mewujudkan keinginan untuk menyambangi Masjid yang serupa dengan Taj Mahal bahkan bisa mendirikan shalat berjamaah di dalamnya. Dan meskipun pendiri Masjid Ramlie Musofa,, Haji Ramli Rasidin, telah tutup usia pada akhir bulan Agustus 2020 dalam usia 75 tahun, saya berharap Masjid yang ditinggalkannya bisa tetap bermanfaat bagi masyarakat. Dan tentu saja saya juga berharap semakin banyak muslim dan muslimat yang memakmurkan Masjid cantik ini.

Bagi yang hendak berkunjung ke Masjid Ramlie Musofa, berikut adalah alamat lengkapnya: Jalan Danau Sunter Selatan 1 blok 1/10 Nomor 12C – 14A, RT.13/RW.16, Kelurahan Sunter Agung, Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 14350


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 7 dan bertema Mosque agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

Menitipkan Doa Pada Angin


Imlek sudah berlalu hampir sebulan dan tentunya Cap Gomeh pun sudah berlalu. Seperti ada yang hilang dari biasanya, suasana kemeriahan yang tak terdengar, tak banyak hiasan. Di mal tempat saya mengitari untuk jalan siang, juga tidak ada keriuhan barongsai yang di tahun-tahun sebelumnya selalu diadakan, juga tak banyak dan tak lama hiasan Imlek dipasang. Lagi pula pengunjung mal jauh lebih sedikit, mal terasa jauh lebih lengang. Suasana yang sama sejak setahun terakhir ini. Di banyak tempat terasa senyap. Nyata sekali Covid-19 mengubah semuanya.

Merah Oriental yang biasa menjadi tema warna Imlek hanya terlihat sebentar di toko-toko. Padahal warna itu secara tak langsung telah membawa semangat bagi yang melihatnya. Tak bisa membohongi diri bahwa saya juga merasakan kehilangan suasana itu. Menyaksikan kelengangan suasana, ada sejumput doa dan harapan yang otomatis keluar dari lubuk hati, semoga pandemi ini segera berlalu, yang terpapar penyakit ini bisa segera sembuh dan semua manusia dikaruniai kesehatan dan perlindungan.

Warna merah yang biasa menjadi dekorasi Imlek sering disebut sebagai Merah Oriental. Warna ini juga sering terlihat mendominasi vihara atau pagoda di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Setiap berkunjung ke klenteng atau vihara baik di Indonesia maupun di negeri-negeri jauh, saya terbiasa mengabadikan sisi merahnya yang pastinya ‘eye-catching‘.

Tetapi mengapa disebut Oriental?

Ternyata istilah Oriental itu ada sejarahnya sendiri. Dari berbagai sumber di internet diketahui bahwa Oriental merupakan sebutan untuk Timur, atau semua yang berkonotasi dengan dunia Timur, yang tentunya dilihat dari kacamata benua Eropa (kalau dunia Barat disebutnya Occident). Arah Timur merupakan tempat matahari terbit, -sesuai asal katanya dari bahasa Latin, Oriens, yang secara harfiah berarti Timur atau bisa juga naik (dalam artian matahari terbit). Secara geografis pengertian dunia Timur mencakup sebagian besar benua Asia, termasuk Asia Barat (yang berdekatan dengan Eropa), wilayah Timur Tengah, juga Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur atau sering juga disebut Timur Jauh.

Entah siapa yang menetapkan garis batas Timur dan Barat itu. Namun konon, istilah Oriens dimulai pada masa Kekaisaran Romawi merujuk kepada Kekaisaran Bizantium yang letaknya di sebelah Timur Kekaisaran Romawi (Kekaisaran Bizantium biasa disebut Romawi Timur). Aslinya garis batas ini berada di pantai Timur Semenanjung Italia yang berhadapan dengan Laut Adriatik namun dengan berjalannya waktu, sekitar 600M garis batas ini dipindah ke kota Roma yang menjadi pusat Kekaisaran Romawi.

Dalam perkembangannya, istilah Oriens atau Oriental, dihasilkan dari pemikiran orang Eropa, akhirnya memiliki konotasi yang diskriminatif ketika merujuk kepada kehidupan masyarakat modern di Asia Timur dan Asia Tenggara. Apalagi, definisi Oriental tidak persis tepat selama berabad-abad dan sesuai perjalanan waktu mengalami pergeseran makna.

Gemasnya, jika Oriental digunakan untuk negeri-negeri sebelah Timurnya Romawi sampai Timur Jauh, istilah kebalikannya Occident, -yang berasal dari kata Latin occidens dan berarti Barat yang merupakan tempat matahari terbenam, tidak digunakan lagi dalam bahasa Inggris, karena berkonotasi negatif dan seperti tidak mendukung “dunia Barat”. Diskriminatif kan?


Terlepas dari rasa diskriminatif itu, warna merah oriental yang biasa terlihat di negeri-negeri Timur sebenarnya memiliki makna harapan untuk bernasib baik, mendapatkan keberuntungan dan keberhasilan serta perlindungan dari semua yang buruk. Warna-warna yang eye-catching itu sebenarnya merupakan sebuah harapan dan doa! Jadi semakin banyak warna merah yang terlihat, maka semakin banyak doa dan harapan yang dilangitkan. Indah kan?

Dan tidak hanya berupa tiang-tiang, patung, guci, lilin-lilin, tempat kue maupun angpao yang berwarna merah. Ketika saya berkunjung ke Vihara Buddhagaya Watugong atau terkenal juga dengan nama Vihara Avalokitesvara yang ada di pinggir jalan utama kota Semarang, saya menyempatkan diri untuk berjalan di bawah pohon Boddhi yang ditanam di halaman vihara tersebut. Saya terpesona dengan pita-pita merah yang bertulisan doa dan harapan dan pita itu diikat di ranting-ranting pohon Boddhi, pohon yang melindungi Sang Buddha saat mendapatkan pencerahan

Prayers on the red ribbon which is tied to the Boddhi tree

Mungkin mereka yang mengikat pita-pita berisi doa ke ranting pohon Boddhi itu berharap doanya bisa dititipkan kepada angin agar sampai kepada Sang Pemilik Semesta. Dengan desir angin yang membuat ranting dan daun bergerak-gerak, pita-pita merah itu ikut melambai. Salah satu yang saya lihat tertulis dalam pita merah itu adalah semoga semua makhluk hidup dalam damai dan harmoni. Saya terhenyak juga, mereka yang mengikat pita merah itu juga berdoa untuk saya… Semoga dia pun hidup berbahagia, berkecukupan dan hidup damai sejahtera.

Menyaksikan pita-pita merah yang terikat pada ranting pohon, menerbangkan ingatan saya ke Nepal, sebuah negeri yang dihiasi barisan gunung-gunung tinggi Himalaya. Di banyak tempat, digantungkan bendera doa warna-warni yang terbuat dari kain. Salah satunya berwarna merah. Tak hanya di tempat-tempat ibadah, bendera doa juga digantungkan di jembatan suspension yang tinggi, juga di tempat-tempat pencapaian seperti puncak gunung atau base camp. Mungkin angin akan membawa doa dan harapan yang tercetak di bendera doa yang terdiri dari warna biru, putih, merah, hijau dan kuning, yang masing-masing mewakili lima elemen. Biru melambangkan langit dan angkasa, putih melambangkan udara dan angin, merah mewakili api, hijau mewakili air dan kuning melambangkan bumi.

Meskipun telah robek diterpa angin dan usia, bendera-bendera doa itu tetap berkibar menerbangkan doa dan harapan ke Alam Semesta. Sebuah keindahan yang hanya ada di Asia, di dunia Timur


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 3 dan bertema Oriental agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

Kapal Dalam Botol


Setiap berkunjung ke rumah Mama, mata saya selalu melirik ke benda itu. Entah mengapa, -selain foto besarnya tentu saja -, benda itu seakan mengingatkan langsung kepada Almarhum Papa, yang telah berpulang dua tahun silam. Tapi namanya juga rumah orangtua, tanpa benda-benda fisik yang bisa dilihatpun, pastinya pikiran ini selalu mengingat kepadanya. Iya kan?

Tapi tidak heran sih, karena benda itu seakan mewakili keahliannya Papa sebagai nakhoda kapal. Jadi bagaimana saya tidak mengingat Almarhum Papa jika ke rumah Mama dan mata ini langsung memandang si benda itu, kapal dalam botol kaca!

Dan tidak hanya satu botol, melainkan dua! Yang satu, kapal dengan tiga tiang tinggi dan yang lainnya, kapal dengan dua tiang tinggi. Keduanya termasuk jenis kapal layar (sejenis phinisi). Terlepas dari dua kapal dalam botol itu, masih ada lagi hiasan patung Buddha yang ada dalam botol kaca yang merupakan cinderamata Papa dari Burma. Untuk yang terakhir ini, sudah ada sejak saya masih kecil dan menjadi salah satu ‘penggoda’ saya untuk bisa sampai ke Burma, seperti yang telah saya ceritakan di Rencana ke Myanmar: Menapak Tilas untuk Sebuah Cinta

Ship in A Bottle & Buddha in A Bottle

Miniatur kapal bertiang tinggi tiga dalam botol itu yang menarik perhatian saya dan membuat saya melirik atau menoleh. Bisa jadi karena botol itu sedikit lebih besar dari pada botol yang berisi kapal bertiang dua itu. Lagipula Mama menempatkannya di bagian depan dan lebih mudah terlihat, sedangkan botol berisi kapal bertiang dua itu diletakkan di lemari kaca yang lebih jarang diakses.

Tapi bukan hanya itu. Kapal layar bertiang tinggi tiga itu bukan miniatur sembarang kapal. Seperti yang terlihat lambung kapal, kapal itu bernama Dewaruci, sebuah nama besar yang disandang oleh sebuah kapal Indonesia.

Kapal Dewaruci

Menurut Wikipedia, kapal yang menjadi satu-satunya berjenis barquentine terbesar di Indonesia, KRI Dewaruci merupakan kapal layar milik dan dioperasikan oleh TNI AL (dulu Angkatan Laut Republik Indonesia). Karena ukurannya yang sangat besar, kapal ini dijadikan tempat pelatihan layar untuk taruna Angkatan Laut. Terbayang kerennya di pelabuhan para taruna gagah itu berdiri di tiang-tiang kapal karena Kapal Dewaruci juga menjadi duta ke seluruh Indonesia dan dunia.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Kapal Dewaruci dipesan pembangunannya di galangan H. C. Stülcken Sohn di Steinwerder, Hamburg, Jerman mulai tahun 1932. Sayangnya karena Perang Dunia II, galangan kapal tempat Kapal Dewaruci dibangun rusak parah sehingga pembangunannya tertunda. Dua dekade kemudian, Kapal Dewaruci yang membanggakan itu akhirnya diluncurkan dan selalu berlabuh di Surabaya sejak itu.

Seakan mengikuti para model gagah dan cantik yang selalu laku dalam dunia perfilman, Kapal Dewaruci dipilih oleh Studio Fox 2000 Pictures dalam film Anna and The King yang disutradarai Andy Tennant, dan dibintangi artis terkenal Jodie Foster dan Chow Yun Fat. Meskipun dalam film itu, Kapal Dewaruci disulap sebagai Kapal layar Inggris abad-18, film itu termasuk laku di pasaran dan termasuk dalam nominee Academy Awards 2000.

Mungkin memang karena penampilannya yang luar biasa keren itu, Dewaruci terus berpartisipasi dalam acara-acara rutin kapal tiang tinggi di seluruh dunia. Apalagi Kapal Dewaruci memiliki kelompok marching band sendiri, pastinya menjadi sebuah fitur yang teramat unik seperti yang terjadi di Hartlepool, -sebuah kota pelabuhan di County Durham, Inggris-, saat parade kadet Kapal Tiang Tinggi di tahun 2010. Saat itu kadet Kapal Dewaruci dan marching band-nya mendapat sambutan yang amat meriah dari pengunjung. Keterampilan luar biasa, penuh semangat dan antusiasme tinggi menghasilkan penghargaan dalam kategori kadet terbaik dalam parade. Dengan marching bandnya, para kadet juga tampil di Broadway, Newyork, USA yang mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat yang menyaksikan.

Sayangnya saat ini karena pertimbangan usia yang memasuki usia pensiun untuk ukuran Kapal Layar, Kapal Dewaruci mengurangi perjalanan panjangnya dan lebih banyak berlabuh di pelabuhan. Kini perjalanan Kapal Dewaruci banyak digantikan oleh Kapal Tiang Tinggi lainnya yaitu Kapal Bima Suci.

Bagi saya, nama Kapal Dewaruci lalu dilanjutkan dengan nama Kapal Bima Suci yang berbau pewayangan Indonesia ini memberi perhatian tersendiri. Seperti biasanya, pasti namanya mewakili kebaikan, kebenaran dan keberanian sesuai tujuan mulia kapal itu.

A Three Masts Tall Ship (Dewaruci) in A Bottle

Kisah Bima dan Dewa Ruci

Dalam Mahabharata versi Indonesia, Dewa Ruci adalah dewa mini yang ditemui oleh Bima atau Werkudara, -yang kedua dari Pandawa Lima-, ketika ia mencari air kehidupan Tirta Perwitasari. Kisah Dewa Ruci yang hanya ada di Indonesia ini, menjunjung kesetiaan dan kepatuhan murid terhadap sang guru, tentang perjuangan seseorang menemukan jati dirinya hingga bisa bertindak mandiri menjunjung kebenaran.

Berakar kuat dalam filosofi Jawa terutama mereka yang mendalami aliran kebatinan, mampu mengenal diri sendiri berarti memahami diri sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan pemahaman itu seseorang akan berusaha bertindak selaras dengan kehendakNya. Sebuah filosofi Jawa yang amat terkenal, Manunggaling Kawula Gusti

Kisah Bima mencari Air Kehidupan (Tirta Perwitasari) dimulai ketika Sang Guru, Resi Drona, memberitahu bahwa air kehidupan itu berada di dasar samudera. Sebagai murid yang patuh, tanpa pikir panjang, Bima terjun ke dasar Samudera meskipun ditentang oleh Ibu Kunti dan keempat saudara lainnya karena berpikir, semua itu adalah siasat para Kurawa melalui Resi Drona untuk menghabisi Bima. Karena Bima adalah sosok yang teguh pendirian pada keputusannya, Bima tetap berangkat mencari Air Kehidupan di dasar Samudera itu.

Dalam sekejap Samudera melumat tubuh Bima yang termasuk besar seukuran raksasa. Terhampas oleh ombak besar, seekor naga besar langsung menyambar tubuh Bima dan melilitnya. Berjuang sekuat tenaga, Bima melawan naga tersebut hingga akhirnya dengan kuku saktinya Pancanaka, Bima berhasil merobek leher naga yang berujung pada kematian sang Naga.

Lalu setelah pergumulannya dengan Naga yang cukup menghabiskan kekuatan dirinya, Bima pun menjadi pasrah dengan apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Dengan berserah diri itu, ombak yang awalnya bergejolak menjadi tenang dan tiba-tiba muncul sosok kecil di hadapan diri Bima. Sosok yang hanya sebesar telapak tangannya yang bernama Dew Ruci. Ia minta Bima untuk memasuki dirinya melalui telinga kirinya. Merasa memiliki ukuran sebesar raksasa, awalnya Bima memiliki keraguan untuk memenuhi permintaan Dewa Ruci. Tetapi akhirnya keraguan itu sirna dan Bima memasuki tubuh Dewa Ruci yang kecil itu. Saat itulah Bima melihat dunia yang besar di dalam telinga yang teramat kecil itu, sebuah tempat yang damai. Di dunia itu, Dewa Ruci memberi wejangan akan air kehidupan yang dicari oleh Bima.

Air kehidupan itu ada di dalam diri kita masing-masing. Sebagai manusia, kita bisa melihatnya asalkan kita selalu menjalani hidup sesuai kehendak Sang Illahi. Dalam setiap diri manusia terdapat sebuah Cahaya yang akan menuntun pada kebaikan, hanya saja kekuatiran dan hawa nafsu selalu mencoba menghalangi Cahaya itu. Seperti yang telah dilakukan oleh Bima setelah pergumulannya dengan Naga, sifat berserah diri kepada Sang Maha Kuasa akan menuntun manusia pada jalan kebenaran.

A Two Masts Tall Ship in A Bottle

Nama adalah sebuah doa, sehingga dengan memberi nama kapal dengan nama Dewaruci ataupun Bima Suci, diharapkan pelaut-pelaut yang lahir dari kapal ini akan menemukan jati diri sesungguhnya, -seperti ketika Bima menemukan makna kehidupan dalam diri Dewa Ruci-, sehingga pelaut-pelaut ini akan memiliki karakter yang kuat, trengginas dan tangguh dalam menjaga wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Saya masih memperhatikan miniatur Kapal Dewaruci dalam botol. Kisah perjalanan Kapal Dewaruci yang luar biasa dan membanggakan serta kisah mengenai nama Dewa Ruci itu sendiri yang memiliki makna begitu dalam. Lalu mendadak sebuah kesadaran realistis muncul di hadapan, sesuatu yang rasanya sangat mendasar dan manusiawi. Bagaimana caranya memasukkan miniatur kapal dengan nama besar itu ke dalam botol?

Pertanyaan yang sama juga terlontar untuk hiasan Buddha yang ada dalam botol. Bagaimana bisa? Awalnya saya berpikir bahwa bagian dasar botol masih terpisah saat miniatur kapal dimasukkan lalu dengan teknologi pembakaran kaca, bagian dasar botol ditempelkan ke tubuh botol. Benarkah demikian?

Ternyata bukan begitu. Ternyata memang ada manusia-manusia yang luar biasa ulet dan tangguh serta penuh seni, -seperti Bima-, yang membuat miniatur di ruang kerjanya lalu menambahkan engsel-engsel yang begitu kecil pada miniatur kapalnya sehingga miniatur kapal itu bisa rebah serupa gulungan. Lalu secara perlahan, kapal miniatur yang serupa gulungan itu dimasukkan ke dalam botol melalui kepala botol yang kecil itu. Kemudian Sang Seniman, dengan menggunakan benang dan pinset, akan menarik kapal, meluruskan engsel-engselnya kembali berdiri seperti semula yang berbentuk kapal. Luar biasa kan?

Ternyata sangat tidak mudah membuat kapal atau Buddha atau hiasan apapun di dalam botol.

Buddha in A Bottle

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang pertama dan bertema Glass agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Yang Asri Yang Menyamankan Hati


Sebagai penggiat tanaman, salah seorang teman kakak saya pernah mengatakan bahwa ia memiliki beberapa cara untuk mengelola stressnya. Namun salah satu yang paling mudah dilakukannya adalah menyiram tanaman dan hal itu beliau lakukan dua kali sehari, pagi dan sore hari. Awalnya tentu saja saya skeptis, karena amat jarang saya berhubungan langsung dengan tanaman. Lagi pula saya ini benar-benar penikmat keindahan tanaman yang sudah ditata cantik, yang sudah jadi.

Dan memang, segala sesuatu itu ada waktunya…

Ketika saya sudah bisa beli rumah yang kini ditempati, -meskipun halamannya kecil-, suami dan saya menatanya dengan keasriannya sendiri. Memang sebagian besar hanya ditanami rumput dan di sisi tembok samping diberi berbagai tanaman hias. Dasarnya hanya satu, ketika kami duduk di teras depan atau berdiri di foyer, hanya kehijauan asri yang menyamankan mata dan hati.

Dan akhirnya saya mengamini kata-kata teman kakak yang saya tulis sebagai pembuka tulisan ini. Ketika saya menyiram tanaman di pagi atau sore hari, rasanya ada ketentraman tersendiri yang muncul di jiwa. Air yang membasahi tanah memberi efek langsung harumnya petrichor (bau tanah kering saat tertimpa hujan pertama kali) yang memang saya suka. Selain itu muncul juga rasa bahagia menyaksikan tanaman-tanaman kembali segar setelah mendapatkan air sebagai unsur penting dalam kehidupannya. Terbayang betapa semua makhluk berbahagia karena bisa mendapatkan air di kala dahaga datang menyerang. Rasa bahagia yang menenteramkan ini memang bisa menjadi cara untuk mengelola stress sehari-hari.

Tak disadari bahwa faktor kenyamanan yang satu ini, -yang membuat jiwa raga lelah menjadi segar kembali-, menjadi salah satu penentu dalam memilih hotel saat liburan. Setelah berbulan-bulan disesaki oleh pandangan dinding gedung-gedung perkantoran dan hutan beton ditambah dengan pekerjaan yang datang dan pergi, membuat jiwa perlu rehat sejenak.

Kadang bukan di rumah, melainkan di tempat yang berbeda…

Pernah suatu kali saat long weekend, suami mendadak mengajak jalan ke Jogja. Tapi waktunya amat tidak tepat karena pada saat yang sama banyak penduduk Jakarta juga keluar kota membuat jalan bebas hambatan itu padat luar biasa alias macet tak bergerak! Menit-menit berlalu sampai hitungan jam. Akhirnya suami menyerah. Di gerbang keluar yang pertama ditemui, suami memilih keluar dari jalan tol, berputar arah. Dan saya usul bagaimana jika ke Puncak saja? Meski ia setuju, akhirnya bukan Puncak melainkan Rancamaya, dekat Bogor, yang menjadi tempat liburan kami. Dari rencana ke Jogja, lalu berputar ke Puncak, sampainya di Rancamaya!

Tetapi ternyata berlibur mendadak di Rancamaya membawa kejutan yang manis. Hotel yang kami inapi itu memiliki halaman yang amat luas dan hijau sejauh mata memandang. Bahkan dari jendela besar selebar kamar, kami bisa melihat gunung Salak yang menjulang dan kehijauan yang menghampar.

Bahkan saat berjalan pagi di sekitar hotel, saya bisa mendatangi sepetak tanah berpagar yang berisikan hewan-hewan jinak, diantaranya rusa tutul. Semua berada di kawasan hotel. Belum lagi instalasi-instalasi seni yang diletakkan secara harmonis dengan alam sekitar lengkap dengan tempat duduk untuk menikmati semuanya. Rasanya romantis ketika berjalan pagi bersama suami 😀

View at a hotel in Bogor
View at a hotel in Bogor

A tunnel of leaves, Bogor
A tunnel of leaves, Bogor

Lain Rancamaya, lain pula Jogja…

Seperti post sebelumnya yang pernah saya ceritakan tentang pengalaman menyenangkan menginap di hotel di Jogja, kami sekeluarga mempunyai hotel favorit di Jogja karena halamannya yang amat luas. Membuat saya tak bosan untuk berjalan pagi meskipun berkali-kali menempuh rute yang sama. Setiap ke Jogja hampir selalu menginap di tempat yang sama dan berjalan pagi melihat pemandangan yang tidak jauh berbeda. Kadang daunnya rimbun, kadang sebagian ditebang untuk pemeliharaan. Kadang tamannya sudah berganti tema ketika saya menginap di sana lagi. Bahkan pernah sampai seorang resepsionis sedikit terpana mengetahui bahwa saya sudah ‘merambah’ sampai ke sebuah taman yang disebutnya Secret Garden, karena tempat itu memang agak tersembunyi.

Sambil berjalan di halaman hotel yang amat luas itu, kadang saya bertemu dengan mereka yang bertugas. Jika memang tak terganggu, saya mengajaknya berbincang sebentar dan mengucapkan terima kasih sudah melakukan pemeliharaan yang begitu melelahkan. Merawat halaman yang luas kan melelahkan sekali…

Tapi saya tak sendiri, semakin siang biasanya tamu hotel semakin banyak yang berjalan-jalan, termasuk anak-anak yang celoteh riangnya seringkali terdengar. Senyapnya suasana akan hilang jika anak-anak sudah banyak yang bangun dan berjalan-jalan di halaman hotel.

Tetapi apakah hotel selalu harus berbatas dengan lapangan golf?

Mungkin sedikit tak adil, karena dua hotel yang saya sebut lebih dulu itu berbatas langsung dengan lapangan golf. Lalu apakah selalu harus ada lapangan golf untuk memutuskan menginap di sebuah hotel? Tentu tidak!

Hotel yang kami pilih di dekat Ambarawa tidak memiliki lapangan golf, tapi memiliki perkebunan kopi! Tentunya luas juga kan? Saya bisa berjalan kaki dengan santai mengikuti rute yang tak habis-habis. Merasakan aura kolonial dalam area perkebunan berdampingan dengan budaya Jawa yang kental, ditambah dengan hamparan pohon kopi dengan biji-bijinya yang masih tergantung sampai harumnya bubuk dalam kemasannya, semuanya dapat disaksikan dalam kawasan yang sama.

Liburan saat itu merupakan liburan yang amat menyenangkan. Bisa jadi karena saya telah lama bermimpi bisa menginap di sana dan terwujud. Salah satu the dreams come true. Saya tak perlu keluar dari kawasan itu untuk bisa menikmati alam.

Tapi yang meninggalkan kesan yang dalam sepanjang liburan-liburan kami adalah saat kami masih menjadi keluarga muda. Di Jogja kami menginap di sebuah hotel di kawasan Prawirotaman yang memiliki kolam renang di halaman belakangnya. Setiap ke Jogja hampir pasti kami kembali ke hotel itu. Sangking seringnya, pengelolanya mengenal kami sebagai tamu yang loyal dan sudah dianggap VIP. Kami selalu disediakan kamar yang sama, kamar paling belakang, paling bagus dan merupakan kamar yang terdekat dengan kolam renang.

Anak-anak kami tak akan bisa melupakan kolam renang yang ada di halaman belakang itu karena di sana mereka menjadi berani untuk berenang di kedalaman 2 meter, mereka berani memesan makanan sendiri setelah berenang, pokoknya seperti orang dewasa yang sedang berlibur meskipun mereka masih duduk di sekolah dasar. Karena lokasinya, mereka tahu kapan kolam renang kosong dan kapan waktu terbaik untuk berenang.

Sampai sekarang pun kami masih ingat kamar yang paling dekat dengan halaman belakang itu dan mungkin kapan-kapan, kami akan menginap di sana lagi. Sekedar nostalgia.

P1000297
Swimming pool at the backyard of Hotel

-§-

Tapi di antara banyak hotel yang kami inapi di Jogja, ada satu hotel yang kami inapi hanya semalam saja dan tak ingin kembali lagi ke sana. Ceritanya…, waktu itu karena check-in sudah malam, kami tak melihat keluar jendela lagi. Namun saat pagi, saat tirai jendela saya buka dan melihat ke luar halaman, saya baru tahu bahwa malam itu kami menempati kamar yang kavling sebelahnya adalah kuburan! Aaarrgh….

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-30 bertema Courtyard agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.

Pintu Gebyok Yang Tertutup


Lebaran tahun lalu, saya sempat menginap di sebuah resort bernama Sumber Watu Heritage, di Kecamatan Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tempat yang mungkin lebih dikenal orang sebagai tempat makan dengan nama Abhaya Giri itu memang cukup menguras kantong, namun worth it karena bisa memiliki akses ke seluruh tempat seharian termasuk saat sunset, ketika malam, ketika sunrise dan ketika pagi hari, yang semuanya agak susah didapat jika kita hanya berkunjung ke restoran untuk makan.

Saat jalan pagi, saya berhenti di pendopo utama yang berbentuk rumah joglo. Di dalamnya di sisi selatan terhampar sebuah gebyok yang panjangnya sekitar 8 meter. Langsung saja saya teringat jaman dulu saat mencari dekorasi pelaminan untuk pernikahan saya dan suami. Semakin panjang dan semakin bagus gebyoknya artinya semakin mahal padahal budget kami sangat terbatas.

The GebyokNotice the old style of the tiles, the jars and Loro Blonyo

Saya memutar pandangan seantero rumah joglo itu. Sepertinya area ini biasa menjadi area pelaminan dengan para tamu undangan yang hadir akan menempati kursi-kursi yang melingkari meja yang tersebar di satu level di bawahnya untuk makan. Entah kenapa, berdiri di situ seakan-akan saya mendengar tabuhan Kebo Giro, musik pengiring pernikahan adat Jawa.

Tapi bukan bayangan pernikahan yang ada di benak saya, melainkan gebyok yang panjang itu. Meskipun di dalam saya mengalir darah Jawa, saya tak pernah membayangkan memiliki sebuah gebyok di dalam rumah. Mungkin saya orang Jawa yang tersesat 🙂 atau bisa jadi saya terlalu malas untuk membersihkan ukiran-ukiran yang rumit itu sehingga tidak terbayang punya gebyok di rumah.

Main Hall (Pendopo) with A Gebyok on the Southern side Night View

Gebyok, sejauh pengetahuan saya, sebenarnya merupakan sebuah partisi penyekat ruangan yang amat tradisional namun klasik. Umumnya terbuat dari kayu jati pilihan. Meskipun awalnya berupa partisi ruangan, di jaman modern ini tak jarang kita melihat pintu gebyok yang dipasang di depan rumah sebagai pintu masuk, bahkan bisa dikombinasi dalam rumah dengan gaya minimalis. Duh, membayangkannya saja sudah ruwet dan terasa “berat”

Gebyok yang saya lihat di Pendopo Abhaya Giri ini memiliki ukiran yang amat rumit di bagian atas, termasuk di atas pintu. Pintunya sendiri tidak penuh dengan ukiran kecuali singkatan nama resort yang dibuat di bagian tengah. Saya bertanya-tanya dalam hati apakah orang dulu juga menuliskan singkatan namanya pada pintu gebyok mengingat tidak semua orang bisa memiliki gebyok di rumahnya. Karena tanpa namapun mungkin masyarakat sudah mengenalnya karena gebyok hanya mampu dimiliki oleh orang-orang yang berpenghasilan tinggi dan orang yang terpandang di masyarakat. Mungkin memiliki gebyok di rumah merupakan sebuah prestise tersendiri.

The doors of A Gebyok

Tetapi gebyok yang penuh ukiran ini tidak hanya sekedar penyangga rumah, melainkan memiliki makna spiritual yang dalam bagi pemilik rumah. Konon ukiran-ukiran itu dibuat selaras dengan filosofi tradisional Jawa yang amat dalam tentang cara manusia menyikapi kehidupannya (Sangkan Paraning Dumadi, yang kira-kira berarti dari mana manusia itu berasal dan kemana ia kembali). Hidup itu memiliki tujuan akhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian dalam menjalani kehidupan manusia perlu memegang nilai-nilai luhur ketuhanan.

Namun, pagi itu sungguh saya hanya bisa menduga-duga benang merah antara ukiran pada gebyok dan “makna dalam” dari Sangkan Paraning Dumadi, Apapun itu, saya hanya menggunakan rasa untuk menikmati keindahan gebyok itu, karena memang indah sekali! Seperti ada harmoni didalamnya.

Ukiran yang saya lihat memang cukup mengesankan dan menunjukkan tingkat kemahiran pembuatnya. Bersulur-sulur, ada bentuk seperti buah nanas, bunga-bunga dan dedaunan dengan handle pintu berbentuk ring. Dan bentuk utama di atas pintu yang amat cantik.

Tetapi semakin lama memperhatikan ukiran gebyok, saya mulai terasa mules membayangkan cara perawatan gebyok. Saya bukan tipe orang yang telatan membersihkan ukiran yang meliuk-liuk sampai ke bagian-bagian yang paling dalam dan paling rumit. Rasanya orang-orang dengan ketekunan, ketelitian, kecintaan tinggi yang bisa merawat gebyok. Karena pasti tidak hanya pakai kemoceng saja, mungkin perlu pakai kain khusus atau kuas-kuas kecil. Apalagi kalau daerahnya berdebu ya… Duh, saya langsung terpikir pakai jasa kebersihan online saja, kalau punya…

Saya harus melangkah mundur agak jauh dari gebyok agar dapat mengambil fotonya secara utuh. Saya suka dengan lantai yang membawa saya ke jaman dulu. Juga ada sepasang Loro Blonyo di kanan kiri pintu serta gentong kuning yang terletak lebih dekat ke pintu. Melihatnya secara utuh dari kiri ke kanan, simetri pada pintu gebyok, sesungguhnya kreasi seni di depan mata saya ini merupakan sebuah masterpiece dari sebuah perjalanan waktu yang menggabungkan budaya, agama, tradisi yang sudah sewajarnya kita jaga kelestariannya.

The closed doors of The Gebyok

Sesaat sebelum meninggalkan ruang, entah mengapa saya merasa ada sesuatu yang mengganjal, seperti ada sesuatu yang terlupakan. Saya diam sesaat lalu mata ini tertumbuk pada pintu gebyok yang tertutup. Rasanya seperti ada kilat yang menyambar ketika tersadarkan, mengapa gebyok kebanyakan ditampilkan dengan pintu yang tertutup?

Tak jadi melangkah pergi, saya malah merenungkan sesaat pikiran yang melintas itu. Pintu yang tertutup, bukan berarti tidak bisa dibuka, karena ada handlenya yang berupa dua ring bulat itu. Jika di dalam sebuah gebyok mengandung makna tentang kehidupan, bisa jadi pintu itu juga memiliki simbol-simbolnya.

Berada di depan pintu yang tertutup, -yang berupa simbol-, kita tak pernah tahu situasinya. Bukankah kita melangkah menuju ke depan pintu ini? Tetapi kita tak pernah tahu sebuah pintu itu terkunci atau tidak, jika kita tidak berusaha mengetahuinya. Kita hanya perlu satu tindakan. Memulainya.

Berusaha mengetahuinya.

Mengetuk dahulu, lalu menyampaikan niat yang baik untuk mendapatkan aksesnya.

Karena berupa simbol dan jika pintu itu tidak terkunci, kita hanya perlu mendorongnya, atau mungkin menariknya. Kehidupan telah membawa kita sampai ke depan pintu ini, mungkin memang pintu itu harus dilalui oleh kita. Itu kemungkinan pertama.

Kemungkinan kedua, setelah kita berusaha mendorong atau menariknya tetapi pintu tidak juga terbuka, bisa jadi pintu itu terkunci. Dan mungkin saja kita telah memiliki kuncinya yang didapat dari perjalanan kehidupan menuju ke depan pintu ini. Karena, jika memang kehidupan membawa kita harus melalui pintu ini, maka kunci yang dimiliki adalah kunci yang tepat untuk pintu ini. Dan kita hanya perlu menggunakan kunci untuk membuka pintu, hanya dengan sedikit usaha.

Yang terakhir, jika pintu terkunci dan kita sama sekali tidak memiliki kuncinya selama perjalanan hidup kita sampai ke pintu, bisa jadi kehidupan kita memang tidak akan pernah melewati pintu ini dengan begitu banyak alasan di baliknya. Bisa jadi yang ada di baliknya tidak membaikkan kehidupan kita. Pintu ini bukan untuk kita lalui. Sebuah pesan yang amat berharga untuk dimengerti sepenuhnya.

Karenanya, untuk apa berlama-lama berdiri di depannya? Selain tidak menghargai waktu kehidupan, bisa jadi kita diminta melihat arah lain yang membukakan hal-hal yang baik buat kehidupan kita. Tuhan selalu berbuat baik untuk kita, menunjukkan dan membukakan jalan terbaik untuk kita, lalu mengapa kita tetap bertahan di depan pintu tertutup? Begitu sering kita bersikukuh pada keinginan kita yang sebenarnya tidak membawa kebaikan, dan mengabaikan jalan yang lebih baik yang telah dibukakan untuk kita.


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-24 bertema Doors agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu

Kenangan Mudik Lewat Tol Trans-Java


Kecuali tahun 2020 ini, hampir di setiap liburan Idul Fitri yang panjang itu, kami sekeluarga melakukan mudik ke Jogja dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jika biasanya kami mengambil rute Jalur Selatan karena ada keluarga yang tinggal di Ciamis, maka tiga tahun terakhir ini kami mengambil jalur Utara. Pertimbangannya selain keluarga di Ciamis banyak yang pindah ke Jogja, pada tahun 2017 itu juga jalur mudik via tol yang belakangan disebut Tol Trans-Java itu sudah difungsionalkan, meskipun hanya sebagian. Dasar saya penggemar jalan-jalan, tol baru pun saat itu langsung dicoba.

2017

Karena moodnya masih bagus, saya langsung foto-foto sejak berangkat dari Jakarta. Bahkan mall pinggir jalan di kawasan Bekasi pun tak luput saya foto. Dan seperti biasanya keluarga kami mulai menghitung mobil dengan bagasi di atas yang kadang-kadang bagasinya menghebohkan. Tak luput juga pemandangan menarik khas Lebaran seperti anak atau orang yang menggunakan kendaraan bak terbuka ditutup terpal. Kebahagiaan mudik jelas terlihat, tanpa peduli kondisi yang panas bahkan bahaya.

Dan ketika sampai di gerbang awal tol fungsional yang masih dibangun secara darurat secara paralel miring itu, saya bertambah antusias. Apalagi begitu keluar gerbang, kondisi jalan tol yang masih dalam proses konstruksi itu terhampar di depan mata. Cone-cone sebagai rambu sementara diletakkan di tempat-tempat yang perlu mendapat perhatian.

Selain harus menyalakan lampu utama di setiap kendaraan, -meskipun siang hari-, pengguna jalan juga diingatkan untuk menggunakan kecepatan maksimal 40km/jam. Padahal kebanyakan pengguna jalan tol terbiasa menggunakan diatas itu, bahkan ada yang nekad sampai 100km/jam!

Start
2017 Start from Jakarta, common view, tol gate and functional road

Dan mulailah perjalanan di jalan tol yang sebenarnya masih dalam tahap konstruksi namun dapat difungsikan secara hati-hati. Sayangnya tidak semua pengguna jalan darurat ini menghargai upaya pemerintah membuat perjalanan mudik lebih nyaman. Namanya juga jalan tol fungsional, tentunya masih banyak kekurangan.

Diminta kecepatan kendaraan maksimal 40km/jam dan menyalakan lampu, tetapi lebih banyak pengguna yang tidak patuh. Tidak sedikit yang memaksa kendaraan diatas batas kecepatan membuat debu-debu beterbangan ke udara. Melupakan kenyamanan bagi orang yang tak menggunakan AC dalam kendaraannya atau yang tinggal di sekitar jalan tol itu.

Bisa jadi mereka memang tak menghargai kendaraannya sendiri. Jalan beton yang belum berlapis aspal, bisa menjadi jagal maut bagi ban kendaraan. Sepanjang jalan tidak sedikit kami melihat mobil-mobil bagus yang tadinya dikebut, mengalami permasalahan pada bannya. Tidak heran, ban memang bisa robek dihajar tepi bentukan beton yang masih tajam. Tapi bukankah sudah disarankan untuk berjalan maksimal 40 km/jam?

Selain berdebu, keriting, tak mulus, sepanjang jalan tol fungsional banyak pembangunan jembatan-jembatan. Hal ini membuat kami dan pengguna jalan lain harus menanjak curam lalu menurun yang tak kalah curamnya. Bagaimana mungkin ngebut? Apa mobilnya mau terbang kayak di film-film action Hollywood itu?

Belum lagi jembatan-jembatan daruratnya yang lumayan bikin deg-degan. Ada yang alasnya masih berlapis kayu dan mobil harus bergerak satu per satu mengikuti jalurnya. Ada juga yang masih menggunakan lempeng-lempeng baja sehingga berkendara di atasnya menghasilkan suara-suara yang berderit-derit mencekam. Meskipun ada petugas di sana-sini, tetapi tetap serem kan? Dan hampir semua jembatan masih menggunakan railing pembatas samping sementara.

Menggunakan jalan tol fungsional untuk mudik ini membuat saya sibuk dan terjaga terus sepanjang perjalanan. Sebab jarang-jarang kan bisa berkendara di jalan yang masih dalam tahap konstruksi? Kadang jalannya lurus membuat mengantuk, tapi ada juga jalan yang berliku. Kadang membuat saya tersenyum lebar melihat ada tiang listrik berdiri sendiri di atas gundukan tanah yang tidak bisa dipindahkan. Ini masalah umum dimana-mana, koordinasi antar instansi. (Teringat kondisi serupa dekat rumah saya sampai sekarang ada jalan lebar lalu menyempit pada jembatan karena jembatannya tidak bisa diperlebar sebab ada pipa besar di sebelah jembatan itu. Akibatnya jembatan itu jadi bottleneck macet. Ada yang lain lagi, Sebuah jalan yang lebar tapi terhalang masjid, dan sepertinya belum ada perbaikan hingga kini)

Menggunakan jalan tol fungsional harus siap menghadapi segala sesuatu dalam keadaan darurat. Rest-area yang darurat, atau pompa bensin darurat yang mengambil langsung dari mobil tanki Pertamina atau bensin gendong yaitu bensin yang dibawa langsung oleh petugas sesuai permintaan. Tapi yang penting dalam posisi-posisi tertentu harus tampil keren dan sadar kamera setiap saat 😀 😀 karena siapa tahu ada media yang sedang live menyiarkan  berita secara langsung 😀 😀

Lalu apa yang terjadi pada saat balik kembali ke Jakarta? Berbeda dengan saat berangkat yang lancar dan hanya tersendat di beberapa tempat, saat kembali ke Jakarta bertepatan dengan puncak arus balik sehingga mengalami macet tak bergerak, menunggu waktu untuk one way arah Jakarta. Padahal Jakarta masih jauh…

Dan sambil bermacet-macet itu, banyak penduduk lokal yang memanfaatkan kondisi. Dengan sigap mereka berjualan, dari mie instan, kopi, teh dan lain-lain. Ada demand yaaa ada supply dong…

Toll-sellerTrafficJamOnReturn


2018

Perjalanan seperti setahun sebelumnya berulang. Yah, namanya mudik kan pasti sama ya. Ada kebahagiaan tersendiri menuju kampung halaman tercinta meskipun harus melalui kemacetan. Bahkan perjalanan kami pun sudah mulai tersendat dari arah Cikarang. Tapi selalu saja kami beranggapan, kemacetan adalah bagian dari perjalanan mudik. Jadi harus dinikmati.

20180610_122146
Traffic jam

Kebiasaan kami sekeluarga menghitung jumlah kendaraan yang ada bagasinya di atap. Bukan kendaraan dengan roof rack yang mahal itu ya, melainkan bagasi yang dibungkus terpal atau plastik secara darurat. Jumlah hitungan kami, bukanlah tujuan akhir, melainkan kegembiraan melihatnya. Kami membayangkan isinya, kadangkala ada kasur, sepeda roda tiga, kursi roda sampai kardus dan koper. Kami juga memperkirakan jumlah orang yang naik di kendaraan itu hingga tak bisa meletakkan bagasi di dalam mobil, –kadang wajah lelah tapi gembira, kadang ada telapak kaki menempel di kaca belakang, kadang wajah-wajah yang ‘terhimpit’ oleh mereka yang fisiknya lebih besar. Meskipun demikian, ada kesamaan rasa yang bisa kami rasakan. Ada bahagia hendak pulang ke kampung halaman. Walaupun kendaraan terlihat menjadi ‘mblesek‘ karena terlalu berat 😀

Tapi tidak semua kendaraan yang membawa bagasi di atas itu adalah kendaraan-kendaraan yang masuk kategori mobil sejuta umat karena tidak sedikit diantaranya adalah mobil-mobil yang masuk kategori mobil mewah yang harganya mencapai ratusan juta. Dan bagasinya tidak kira-kira tingginya. Ketika kami berada di belakangnya, suara angin menghempas-hempaskan penutupnya itu terdengar menghebohkan, apalagi bentuknya yang terlihat amat besaaaar…

Bagasi
Kendaraan-kendaraan dengan bagasi di atap

Tetapi keseruan khas mudik itu tidak dapat kami nikmati lama-lama karena akhirnya perjalanan memang lancar. Pakai banget. Karena tidak ada lagi jalan tol darurat seperti setahun sebelumnya, tidak ada lagi jembatan sementara yang masih menggunakan alas baja atau kayu, tidak ada lagi jalan yang berdebu dengan kerikil lepas. Praktis kendaraan bisa melaju dengan cepat, wuuuussshh… wuuuussshh… wuuuussshh…

Persimpangan-persimpangan jalan tol terlihat cantik dengan jembatan lebar dan terhampar jelas dari jauh. Ditambah rambu-rambu berwarna hijau yang setahun sebelumnya belum ada.

Simpang
Persimpangan Jalan Tol

Tahun itu kami menginap dulu di Semarang, berwisata kuliner  sebentar di Simpang Lima sebelum melanjutkan ke Solo. Bagi kami, mudik tidak selalu berarti harus langsung sampai ke Jogja secepat mungkin. Kami menikmati perjalanan dengan berhenti di kota-kota yang memang ingin disinggahi.

Saya memang mengatur itinerary seperti itu. Menginap semalam di Cirebon sehingga jika terkena macet pun tidak terlalu melelahkan badan. Menikmati kuliner di Cirebon, jika memungkinkan berkunjung ke tempat-tempat wisata. Yang pasti tempat menginap harus memiliki tempat tidur yang nyaman dan bisa mandi yang enak! Istirahat cukup ditambah badan yang segar, mood pastilah membaik. Iya kan?

Esoknya lanjut ke Semarang lalu besoknya lagi ke Ambarawa lalu ke Solo, ngapain? Ya pengen aja ke tempat-tempat itu! Baru setelah itu ke Jogja. Padahal di kota-kota yang kami inapi semalam-semalam itu tidak ada keluarga. (Sssstttt… sebenarnya, sssst, jangan kasih tau yaa, sebenarnya kami suka hotel-hotelnya) 😀 😀 😀

20180612_133334
Indahnya Perjalanan Darat

Lalu pagi harinya perjalanan dilanjutkan lagi masih melewati jalan tol. Aduh, saya ini mudah sekali terharu. Masak melihat penanda Km.400-an itu saya jadi terharu. Sepanjang hidup saya, dulu menganggap jalan tol Jagorawi ke Bogor dan Ciawi yang 59 km itu luar biasa keren dan panjang karena itu satu-satunya jalan tol bebas hambatan yang ada dan dimiliki Indonesia. Sebelum ada Jagorawi, semasa kecil saya harus melewati Jalan Bogor lama atau via Parung hanya untuk ke Bogor. Dan bahagia sekali ketika merasakan bisa berkendara di Jagorawi.

Lalu ketika ada jalan tol yang menghubungkan Jakarta – Cikampek saya terharu lagi karena mengingat betapa lelahnya keluar dari Jakarta, selalu kena macet di perlintasan-perlintasan kereta api yang saya sebut “pintunya sudah ditutup tapi keretanya masih di Jakarta” sangking lamanya menunggu di perlintasan kereta. Apalagi setelah ada tol Purbaleunyi yang menghubungkan Jakarta – Bandung – Cileunyi sehingga tidak perlu lagi bermacet-macet di Puncak atau di Sadang jika mau ke Bandung. Jalan tol semakin panjang dan semakin menghubungkan banyak kota, sebagai warganegara saya sungguh-sungguh suka dengan perkembangan infrastruktur ini. Sehingga melihat rambu Km.400-an di luar kota Semarang itu, artinya dari Jakarta sudah lebih dari 400 km terhubung dengan jalan tol bebas hambatan. Bayangkan dengan jalan tol pertama, Jagorawi yang hanya 59 km!

20180612_121142
Sudah 422 km dari Jakarta!

Dan jalan tol itu masih belum berakhir…

Kami sekeluarga menikmati perjalan via jalan tol yang indah selepas Semarang. Jalan tol ini seperti di Bandung, menanjak dan menurun serta berliku dengan pemandangan yang amat indah.

Jalan tol yang nantinya disebut Jalan Tol Trans-Java itu memang pada tahun 2018 masih memberlakukan secara fungsional pada ruas Salatiga – Kartosuro. Memang tidak begitu rambu-rambu masih sedikit tetapi jalannya jauh lebih baik daripada jalan tol fungsional pada tahun 2017. Bahkan pada jembatan Kali Kenteng yang dihebohkan media pada waktu itu karena tingkat kecuramannya terasa landai saja. Kadang kala berita-berita hoax itu memang membuat orang menjadi cemas berlebihan. Padahal sih, jika sudah sampai di lokasinya saat itu, tidak ada yang menakutkan. Masih lebih serem melewati jalan nanjak ke Candi Cetho!

KaliKenteng
2018 – Jembatan Kali Kenteng Yang Belum Jadi

Perjalanan mudik tahun 2018 itu amatlah menyenangkan. Bahkan saat kembali ke Jakarta pun tidak mengalami kemacetan seperti pada tahun sebelumnya. Lalu bagaimana di tahun 2019?


2019

Perjalanan mudik di tahun 2019 ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan tahun 2018, terutama di perjalanan kembalinya. Dengan kondisi jalan tol yang sudah lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya tentunya perjalanan seharusnya semakin nyaman. Bahkan bagi pemudik yang langsung ke Semarang, bisa menggunakan jalur one way yang langsung keluar di Gerbang Tol Kali Kangkung. Sedangkan kami, seperti biasa masih senang menginap semalam-semalam di sepanjang jalan tol itu. Tapi tetap saja, meskipun sudah empat lajur terbuka menuju arah Timur, kepadatan lalu lintas tak dapat dihindari jelang Km 180 Cikopo – Palimanan.

DSC09208
Kepadatan Lalu lintas di Cipali

Selepasnya, perjalanan mudik seperti biasa, langsung wush-wush-wush… Jalan terasa lengang, entah kemana mobil-mobil yang lain, Mungkin mereka semua memenuhi rest area untuk beristirahat.

2019 Mudik
Jakarta – Semarang 2019

Dan saya terkesan sekali melihat Jembatan yang keren jelang Semarang, yang dikenal dengan nama Jembatan Kali Kuto. Jembatan ini dikenal sebagai jembatan yang menjadi icon dari Jalan Tol Batang – Semarang.

Sepanjang jalan tol yang lurus itu, warna merah dari lengkung jembatan amat menarik perhatian. Tidak heran kalau pengguna jalan tol akan melambatkan sedikit saat melewati jembatan ini hanya untuk mengabadikan icon unik ini.

DSC09220
Jembatan Merah Kali Kuto

Dan kami masih melanjutkan perjalanan ke Jogja, kali ini tanpa ke Solo dahulu. Sekali lagi kami melewati jalan tol dengan pemandangan indah. Perjalanan sudah lebih baik dari tahun sebelumnya. Sebelum sampai Solo, kami telah keluar gerbang tol menuju Jogja sambil berharap bahwa Jalan tol Solo – Jogja akan terealisasi dalam waktu dekat.

Mudik 2019
Perjalanan Mudik 2019 semakin nyaman

Selesai bersilaturahmi dengan keluarga di Jogja, ada saatnya kami harus kembali ke Jakarta. Dan dalam perjalanan pulangnya, masih sekitar 180 km untuk sampai ke Jakarta, kendaraan langsung mengantri, menjadi semakin padat. Tak ada lagi kebahagiaan dan wajah-wajah senyum sumringah ketika mudik. Kebanyakan berpacu siapa yang paling cepat sampai ke Ibukota.

Masih 180km untuk ke Jakarta, tapi saya biarkan dua foto di bawah ini yang berbicara yaa…

§


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-23 bertema Kendaraan agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu

Borobudur in Silhouette


Sebagai candi terbesar di Indonesia, Candi Borobudur merupakan magnet yang amat kuat bagi saya untuk dijadikan destinasi. Berpuluh-puluh tahun lalu, bersama orangtua, saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Lalu tahun-tahun berikutnya lagi dan lagi. Saat remaja, lalu ketika honey-moon, kemudian bersama anak-anak saat mereka masih kecil, lalu berulang lagi, tak lupa saat-saat berkunjung berdua saja dengan sang belahan jiwa, tetap saja Borobudur tak pernah absen dikunjungi. Dan jika Tuhan masih memberi saya umur, di masa mendatang pun saya akan ke Borobudur lagi.

Namun di antara semua kunjungan itu, ada satu yang meninggalkan kesan amat dalam. Saat itu terjadi ketika saya meluangkan waktu khusus untuk bisa berada di Borobudur saat sunset dan saat sunrise. Wajah Candi Buddha terbesar di Indonesia ketika terjadi pergantian waktu siang ke malam dan sebaliknya itu, sungguh luar biasa. Bagi saya, suasananya terasa magis apalagi bentuk-bentuk yang terjadi menciptakan siluet yang seakan menyimpan misterinya sendiri.

Memang tidak murah untuk mendapatkan semua pesona itu. Waktu itu saya perlu menginap di Hotel Manohara, sebuah hotel berbintang yang mungkin secara eksklusif mendapatkan pengecualian bisa didirikan di kawasan UNESCO World Heritage Site dengan akses langsung ke Candi Borobudur.

Memang ada hotel-hotel yang lebih ramah di kantong di sekitaran Borobudur. Tidak hanya ada, melainkan banyak sekali, dari guesthouse, hotel melati sampai yang bagus dan mahal juga ada. Tetapi tetap saja, akses masuknya dari gerbang depan. Sedangkan bila kita menginap di Hotel Manohara, ada jalan khusus untuk memasuki Kawasan Candi Borobudur. Tapi mohon jangan tanya harganya ya, karena pasti bikin mules dan jika ada pilihan lain mending dipakai buat beli tiket ke destinasi lain 😀 😀 Tetapi apapun, demi kecintaan bisa diupayakan kan?

Dan jadilah hari itu, saya mendatangi Candi Borobudur untuk kesekian kalinya jelang matahari tenggelam. Jangan ditanya jumlah pengunjung lainnya. Banyaaaak sekali! Bisa jadi karena saat itu bertepatan dengan libur sekolah yang artinya, dimana-mana saya melihat orang lain.

Tidak hanya pengunjung domestik yang memenuhi Candi Borobudur, turis mancanegara pun tak kalah banyak. Semua menanti sang mentari menghilang dari ufuk Barat untuk kembali ke peraduannya.

Tetapi sesuai kata Sang Buddha,

May every sunrise bring you hope. May every sunset bring you peace.

Apapun keadaannya dengan begitu banyak orang, saya berdamai saja dengan situasinya. Bukankah mereka juga sedang menikmati keindahan dengan cara mereka sendiri? Karena pada saat yang sama, matahari menghilang dari pandangan karena harus menyinari bagian bumi yang lain,

IMG_5294
Buddha facing Sunset

Memang menarik menanti sang mentari tenggelam di ufuk Barat. Tetapi masih ada banyak situasi lain yang tak kalah luar biasanya. Saat itu langit sore tampil begitu indah di Borobudur. Saya tak mau melewatkan sedikitpun keindahan itu sehingga saya melipir sedikit, menjauh sisi Barat untuk membuat foto siluet stupa-stupa Borobudur. Sang Buddha yang berada dalam posisi duduk tanpa cungkup stupa, terlihat amat menarik dengan latar langit yang kuning keemasan.

IMG_5263
The Buddha Among the Stupas of Borobudur

IMG_5269
Sunset time in Borobudur Temple

Candi Borobudur yang didirikan abad ke-8 di atas bukit itu oleh Wangsa Syailendra itu memang memukau. Oleh karena strukturnya yang bertingkat-tingkat, tidak pernah ada tempat yang tidak indah untuk difoto, apalagi dengan langit kuning keemasan dan bentuk-bentuk stupa serta dinding candi yang memukau.

Berjalan di tingkat Arupadhatu, saya terpukau dengan seberkas sinar matahari sore yang berhasil menembus lubang salah satu Stupa. Cahayanya berkilau seperti batu permata kualitas prima yang tertimpa cahaya. Warna kuning keemasan menghias langit Barat sementara bentuk siluet hitam Stupa yang mengerucut itu seakan menyembunyikan misterinya sendiri.

IMG_5266
Sunset light through the Stupa of Borobudur

Bahkan setelah sunset pun Candi Borobudur masih meninggalkan keindahan. Sisa-sisa warna kuning keemasan yang masih menghias langit menjadikan perbukitan di sekitar Candi Borobudur sebuah pemandangan luar biasa. Borobudur menjadi saksi bisu keindahan alam sekitarnya, terjadi setiap hari sepanjang usianya.

IMG_5306
A Stupa on top of a gate in Borobudur at Sunset

Mentari telah hilang dari pandangan, pengunjung satu per satu meninggalkan Borobudur karena waktu berkunjung telah usai. Dengan suasana Borobudur yang lebih temaram, saya merasakan kesenyapan Candi Borobudur tanpa suara-suara pengunjung lain. Saya menikmatinya selama mungkin sampai akhirnya seorang petugas menangkap keberadaan saya lalu tersenyum.

Ah, meskipun menginap di Manohara, sudah sewajarnya saya tidak bertindak egois berkeliaran sendirian di candi Buddha terbesar di Indonesia ini. Para petugas juga ingin pulang untuk bercengkrama dengan keluarganya dan mereka tak bisa melakukannya selama masih ada pengunjung di Candi.

Sambil meminta maaf, saya kembali menuju hotel melalui jalan setapak. Ketika sampai di sebuah tanah lapang di dekatnya, sebelum masuk ke halaman hotel, saya berbalik badan, menghadap kembali Candi Borobudur yang kian erat dipeluk malam. Kamera saya masih bisa menangkap siluet Candi Borobudur sebelum lampu-lampu sorot kapasitas besar meneranginya.

IMG_5325
Borobudur Temple from Manohara’s path

-§-

THEN NEXT MORNING… SUNRISE TIME!

Saya sudah tak sabar sejak Subuh. Seperti seorang anak kecil yang mendapatkan hadiah ulang tahunnya, saya langsung saja keluar hotel begitu ada kesempatan pertama. Bahkan langit yang berawan pun saya tak permasalahkan. Lalu apa jadinya sunrise dengan kondisi langit yang berawan? Saya percaya, apapun situasinya pasti ada keindahan.

Bukankah setiap hari baru itu sebuah janji dari Sang Pemilik Semesta?

Each morning we are born again. What we do today is what matters most.

Matahari menyembul keluar dari balik awan pada saat saya berada di belakang sebuah patung Buddha yang menghadap Timur. Begitu tepat waktu, Perfect! Sempurna! Seakan melantunkan adanya harapan-harapan baru yang membias luas di setiap pagi.

IMG_5375
Buddha Image facing Sunrise at Borobudur

Saya melanjutkan langkah, menaiki tangga-tangga menuju lantai Arupadhatu. Sekali lagi siluet-siluet hitam dari Stupa dan bangunan-bangunan khas Candi Borobudur ditimpa cahaya matahari dari Timur membentuk keindahannya sendiri. Puncak stupa yang mengerucut ke atas memiliki harmoni tersendiri.

IMG_5383
Stupas in Borobudur at Sunrise Time

IMG_5384
The Morning Sun and Borobudur Stupas

Sekali lagi saya dibuat terpesona dengan seberkas sinar matahari, -kali ini dari Timur-, yang berhasil menembus lubang Stupa memberikan efek kilau yang luar biasa. Seakan saya melihat sebuah stupa dengan berlian di dalamnya yang berkilauan tertimpa cahaya matahari.

Ditambah lagi seorang laki-laki yang berjalan mengikuti arah jarum jam tampak mengatupkan tangan di depan dadanya, melangkah dengan pasti mengelilingi lantai Arupadhatu. Meskipun tak lagi menjadi tempat ibadah formal, tentu bagi seorang umat Buddha melihat keberadaan Sang Buddha membuatnya hatinya tergerak untuk beribadah. Sesuatu yang amat manusiawi.

IMG_5395
Morning Sunlight through the Stupa of Borobudur

Mentari semakin meninggi. Sebentar lagi situasi Candi Borobudur akan hangat kembali dengan kehadiran pengunjung-pengunjung. Saya pun tak bisa berlama-lama di lantai Arupadhatu karena harus segera turun ke sudut untuk bisa mendapatkan gambar Candi Borobudur di pagi hari tanpa manusia lain. Sekali lagi, saya merasakan kesenyapan Candi Borobudur tanpa banyak pengunjung. Di sudut tanah lapang itu saya merasakan keanggunan Candi Borobudur, bangunan yang didirikan dua belas abad lalu, tanpa komputer, tanpa teknologi modern namun mampu tetap membuat saya terkagum-kagum.

IMG_5406
Borobudur Silhouette in the Morning

Tak lama saya kembali ke hotel melalui jalan setapak lagi. Sesaat kemudian saya berbalik badan, kembali menghadap Candi Borobudur yang kini telah terang disinari Matahari. Candi Borobudur memang luar biasa.

Indonesia memang indah.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-22 bertema Silhouette agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu

Penuh Kain Kampuh di Candi Cetho


Sudah lama saya memendam keinginan untuk bisa pergi ke Candi Sukuh dan Candi Ceto, dua kompleks candi Hindu abad-15 yang saling berdekatan di ketinggian lereng seribuan meter Gunung Lawu, gunung yang ada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun keinginan-keinginan itu tetap menjadi keinginan saja karena terlibas oleh seribu satu alasan lain yang bagi saya lebih prioritas. Lalu kesempatan itu datang begitu saja, ketika kami memiliki satu hari kosong dalam libur lebaran beberapa waktu lalu.

Jadilah dengan berkendara pribadi, berjuang mengatasi jalan yang meliuk-liuk menanjak amat curam dan sempit, sampailah kami di Candi Cetho. Sengaja kami melewatkan dulu Candi Sukuh dengan pertimbangan akan mengunjunginya setelah kembali dari Candi Cetho.

Sebelum memasuki area parkir yang tidak cukup luas, saya sudah melihat sekumpulan orang memenuhi sekitar pintu masuk namun saya menganggap itu hal biasa. Namanya juga liburan, pasti banyak orang. Dan setelahnya, saya bergegas ke loket tiket masuk lalu mengantri giliran dibantu untuk mengenakan kain kampuh, kain putih berkotak hitam seperti papan catur yang biasa terlihat di Bali.

Kain kampuh yang melingkari pinggang hingga ke paha itu sejatinya biasa digunakan oleh umat Hindu saat sembahyang ke Candi Cetho yang hingga kini masih aktif digunakan sebagai tempat ibadah. Dan untuk menjaga kesucian tempat ibadah dan menghormati sebuah budaya, hingga kini seluruh pengunjung baik Hindu maupun Non-Hindu wajib mengenakan kain kampuh itu, karena dengannya diharapkan pengunjung dapat menjaga kebersihan jiwa raga, lahir batin saat berada di area Candi Cetho,

Terlepas dari dalamnya makna kain kampuh itu, saya melihat sesuatu yang menarik melihat semua pengunjung seragam mengenakan kain kotak-kotak hitam putih itu. Keren juga sebagai penanda. Tapi sekali lagi, perasaan akan ‘keren’ itu sepertinya terlalu cepat.

Saya menikmati udara yang terasa sejuk. Candi Cetho memang berlokasi di sekitaran 1500 meter di atas permukaan laut, jadi lebih tinggi letaknya dari pada Candi Sukuh. Hebatnya lagi, Candi Cetho memiliki 13 teras yang semakin meninggi ke arah puncak yang poros tengahnya memiliki gapura-gapura, demikian yang saya ingat dalam beberapa foto teman yang sudah pernah ke tempat ini. 

Saya menaiki tangga untuk melalui gerbang gapura pertama dan drama kekagetan saya dimulai.

Dimana-mana ada orang, anak-anak dan orang dewasa yang mengenakan kain kampuh kotak-kotak hitam putih itu. Bahkan di dalam taman yang tertata indah dengan rumputnya yang telah susah payah dipelihara. Petugas yang selalu menjaga keindahan taman bisa jadi akan merasa masygul melihat kaki-kaki yang tak mengindahkan rumput-rumput yang juga memiliki kehidupan. Apakah dengan tanaman pembatas yang pendek menjadi alasan untuk melanggar batas dan menginjak-injak rumput selayaknya lapangan bola? Saya sungguh prihatin.

Dan saya hanya melihat bokong-bokong yang berbalut kain kampuh di jalur tangga menuju teras berikutnya. Saya memahami jika mereka terus berjalan atau hanya sebentar untuk pengambilan foto, tetapi kebanyakan dari mereka lupa akan orang lain yang ingin juga berdiri di sana dan berfoto. Mereka hanya tertawa-tawa tidak peduli, menguasai waktu dan areanya seperti miliknya sendiri. Keinginan saya menikmati Candi Cetho langsung lenyap…

Tetapi saya mencoba bersabar…

Candi Cetho dikenal sebagai tempat suci untuk melakukan ruwatan atau pembebasan jiwa dari kutukan, karena simbol-simbolnya yang jelas terpampang,

Di sebuah teras terbuka tersusun batu-batuan datar yang membentuk burung garuda yang sedang mengembangkan sayap dan di atasnya terdapat susunan batu berbentuk kura-kura, yang menurut informasi yang terpampang di sana menceritakan bagian dari kisah mengenai Samudramathana atau Churning of the ocean of milk atau biasa dikenal sebagai kisah Pengadukan Lautan Susu. Kisah dalam agama Hindu ini menceritakan mengenai perebutan terus menerus antara Dewa yang menjadi simbol dari sisi baik melawan Asura yang menjadi simbol dari sisi buruk, untuk mendapatkan air keabadian.

Burung Garuda dan Kura-kura, keduanya merupakan simbol-simbol yang terkait dengan Dewa Wisnu dalam agama Hindu. Dewa Wisnu sendiri menjadi seekor kura-kura untuk menopang Gunung Mandara dalam kisah Samudramathana tersebut. Dan diujung bentuk burung Garuda dan kura-kura terdapat penggambaran yang cukup erotis, seperti phallus yang bersentuhan dengan penggambaran vagina yang menjadi lambang penciptaan atau kelahiran kembali setelah terbebas dari kutukan.

IMG_0390
Selalu ada Manusia

IMG_0395
Garuda & Turtle – Cetho Temple

Di sekitaran teras tersebut, sekumpulan manusia yang datang berkunjung tak pernah sebentar. Amat mudah terlihat, kain kampuh dimana-mana. Saya seperti menjadi sang pungguk yang merindukan bulan, karena berharap terus manusia-manusia itu akan menghilang dari frame foto. Orang-orang itu memang pergi tetapi yang datang lebih banyak, bisa jadi sampai waktu berkunjung habis…

Saya memahami saat kunjungan itu saya tidak akan mendapatkan foto bersih tanpa manusia dalam frame, karena keadaan yang tidak memungkinkan. Akhirnya sebisa mungkin saya mengambil foto-foto yang penuh makna di Candi Cetho itu.

Karena belum sampai di teras tertinggi, saya menaiki tangga-tangga yang penuh dengan orang itu. Menjengkelkan sekali karena mereka berdiri dan bergaya menghalangi lalu lintas orang. Sungguh tak peduli dengan pengunjung lain yang mau turun atau naik, Kesabaran saya semakin tipis terhadap pengunjung yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Kadang saya berpikir, apakah mereka tidak pernah diajarkan oleh orangtuanya untuk memikirkan orang lain? 

Setelah berjuang melewati pengunjung-pengunjung lainnya yang menghalangi jalan, sampai juga saya di teras teratas, tempat yang paling sakral dan suci dari Candi Cetho yang merupakan tempat umat Hindu biasa beribadah,  Bagi saya, Candi Cetho yang dipercaya dibangun pada abad-15 merupakan salah satu warisan nenek moyang kita yang amat berharga dan wajib dijaga kelestariannya. Selain itu, sebagaimana tempat ibadah lainnya, bagian puncak Candi Cetho sewajarnya memiliki batas suci. Artinya, hanya boleh dimasuki atau dinaiki oleh orang-orang yang akan beribadah saja,

IMG_0479
Cetho Temple – Main Area on the highest

Sayangnya tidak ada informasi mengenai batas suci, atau tidak ada larangan untuk menaiki tangga untuk sampai ke pelataran suci. Yang ada hanya larangan masuk yang dipasang di pintu masuk yang tertutup. Dan karenanya, saya benar-benar jengkel maksimal!

Karena tidak ada larangan, maka pengunjung mungkin merasa bebas untuk menaiki pelataran atas itu untuk duduk-duduk, bersandar dan berfoto. Berombongan! Hitung saja, jika mereka berbobot rata-rata 40 kg, maka pelataran atas itu sudah menerima beban tambahan sekitar 400 kg jika dinaiki oleh 10 orang bersamaan. Padahal di salah satu sisi bangunan puncak yang menyerupai piramid itu batu-batunya sudah sedikit ambrol. Saat itu saya sungguh senewen dengan rombongan pengunjung yang tanpa rasa bersalah turun naik untuk berfoto secara berombongan di tempat yang paling suci.

Ketika saya mengambil foto sambil memutari bangunan puncak, saya mendapati beberapa pasangan menduduki pelataran atas bagian belakang untuk berdua-duan. Tepok jidat deh saya!!!

IMG_0465
Please don’t do that

Bahkan ada yang lebih gila lagi karena ada empat atau lima remaja yang berfoto sambil meloncat! Berulang-ulang. Rasanya saya ingin menangis melihat tindakan ugal-ugalan mereka terhadap candi abad-15 di pelataran yang paling suci! Sepertinya petugas yang ada di sana sudah kewalahan juga untuk memberi teguran.

Saya benar-benar kehilangan mood. Saya merasa tak minat untuk tinggal lebih lama. Kain kampuh kotak-kotak hitam putih yang digunakan pengunjung dengan harapan agar bersih lahir batin dan penuh kesadaran memasuki tempat suci, sudah kehilangan maknanya. Kain kampuh hari itu, hanya menjadi penanda saja

Saya turun melalui gapura-gapuranya yang cantik namun sepanjang jalannya dipenuhi pengunjung yang mengenakan kain kampuh tanpa menyadari makna yang amat dalam yang ada padanya.

Rasanya amat miris, masih banyak pengunjung Indonesia yang belum mampu menunjukkan sikap untuk menjaga dan memelihara peninggalan kuno bangsa sendiri yang amat berharga.

Hari itu, saya membatalkan kunjungan Candi Sukuh karena sepulangnya dari Candi Cetho, di gerbang terlihat banyak sekali pengunjung yang tak jauh beda seperti di Candi Cetho. Saya kehilangan mood. Lebih baik saya menyimpan keinginan ke Candi Sukuh dan membiarkan gambaran baik tentangnya dalam benak, daripada mengingat hal yang kurang menyenangkan seperti yang terjadi di Candi Cetho.

Pembelajaran pentingnya: jangan ke tempat wisata saat libur lebaran!

IMG_0486
The Gapuras


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nys WordPress, yang untuk tahun 2020 minggu ke-10 ini bertema Kotak-Kotak agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…