Berjuta Rasa di Masjid Al Aqsa


Mendadak saya membuka mata, setengah terjaga dan bermimpi karena merasa seakan Cinta berbisik halus di telinga, seperti biasa ketika membangunkan di akhir malam. Sekarang waktunya, bukankah impian itu perlu diwujudkan? Meski mata masih terasa lengket, ini bukan mimpi karena saya telah dihadapkan pada pilihan antara meneruskan tidur untuk memanjakan raga atau melompat bangun untuk bisa mendirikan shalat di Masjid Al Aqsa? Ah, pilihan yang sangat menggoda.

Tapi dalam sepersekian detik, gambaran keemasan kawasan Masjid Al Aqsa di kegelapan malam langsung bertengger kuat di benak (baca cerita sebelumnya di post: Al Aqsa, Ikon Keemasan Dalam Kegelapan Malam). Cinta telah berhasil membuat saya terjaga sepenuhnya karena Al Aqsa sama sekali bukan lagi pilihan, melainkan sebuah tujuan dan alasan utama saya berada di tempat ini, bisa menginjakkan kaki di Masjid Al Aqsa dan mendirikan shalat didalamnya.

Bersabarlah, sebentar lagi, sebentar lagi… kata-kata ajaib itu selalu bertalu, yang meskipun rasanya terdengar terlalu nyaring di benak namun tetap berhasil menyeimbangkan desakan keinginan yang menggebu. Saya menarik nafas panjang. Inilah waktunya…

Tanpa perlu perintah, saya bersiap dan turun segera ke lobby bergabung dengan rombongan yang berbalut jaket tebal. Suhu udara Jerusalem di hari-hari terakhir bulan Desember memang cukup dingin menggigit, apalagi jelang subuh ketika suhu udara mencapai titik terendahnya.

Dan begitu pintu depan hotel terbuka, angin dingin langsung menerpa wajah yang mengingatkan situasi serupa ketika di Madinah. Segera saya melangkah keluar menyusuri trotoar, tersenyum sendiri menyadari jiwa petualang yang melesak ingin menikmati kota Jerusalem modern. Maafkan Cinta, dua bola mata ini bergerak melihat kesana kemari, mencoba menyerap sebanyak-banyaknya situasi meski hanya di sepenggal jalan Jerusalem.

Lalu di depan mata menjulang Gerbang Herod yang terbilang paling muda usianya, -aksesnya dibuka sekitar abad ke-16. Saya hanya perlu menyeberang jalan dan Alhamdulillah Ya Allah, saya sampai juga di gerbang kota tua tiga agama ini! 

Gerbang Herod

Begitu banyak rasa yang membuncah memenuhi jiwa saat saya melangkah melalui gerbang Herod yang tebal dan kokoh serta mampu membuat kepala saya berputar menengadah. Membayangkan keadaan di masa silam, ketika sudah menjadi hal yang lumrah sebuah kota terkenal memiliki benteng keliling yang kokoh untuk menghindari serangan musuh.

Termasuk Jerusalem.

Entahlah sudah berapa ratusan atau ribuan kali benteng itu menjadi saksi bisu kota Jerusalem dikepung, diserang, diduduki dan dihancurkan, dibangun kembali, oleh orang-orang dengan nama besar. Jerusalem seperti gadis cantik yang terus menggoda untuk ditaklukan. Bahkan hingga kini pun, Jerusalem terus menjadi wilayah yang tak pernah damai dalam waktu lama. Benar-benar kota dengan dinamika yang dahsyat. Kini, saksi bisu itu masih utuh berdiri dengan delapan gerbang, -tujuh gerbang terbuka dan satu gerbang yang masih ditutup-, yang menjadi akses bagi masyarakat sekitar dan penghuninya untuk memasuki kota tua Jerusalem yang terbagi menjadi empat kawasan utama yaitu Kawasan Muslim, Kristen, Yahudi dan Armenia. Dan Gerbang Herod adalah salah satu gerbang yang digunakan untuk memasuki Kawasan Muslim.

Gerbang Herod belum lama tertinggal di belakang, suasana masih relatif sepi, -mungkin karena kota tua ini belum sepenuhnya terjaga-, meskipun di balik pintu dan jendela yang tertutup tak jarang terdengar kesibukan, menandakan manusia di dalamnya sudah bersiap menyambut hari. Makin jauh saya meninggalkan gerbang Herod, makin banyak pintu-pintu rumah sejenak terbuka dan sejumlah laki-laki berbalut jaket melangkah keluar dan bergabung bersama menuju Masjid Al Aqsa.

Assalamu’alaikum… Ah, merdunya suara sapa sesama saudara. 

Jalan menuju Masjid Al Aqsa itu sejatinya bisa disebut lorong atau gang karena membelah rumah-rumah padat penduduk yang kebanyakan dari Bangsa Palestina itu. Uniknya lorong itu kadang menanjak atau menurun mengikuti kontur alam Jerusalem yang berbukit, bisa menggunakan anak-anak tangga yang landai atau bisa juga melangkah di jalanan yang dibentuk dari lempengan batu yang rata. Hanya saja, pilihan terakhir ini kadang harus bersaing dengan kendaraan kecil beroda pengangkut barang. 

Kaki terus melangkah dan ketika sampai di sebuah persimpangan, saya membaca nama jalannya, Via Dolorosa. Pikiran ini otomatis melesat ke jaman sekolah dulu. Sebagai orang yang pernah belajar di sekolah Katolik bertahun-tahun, saya cukup paham bahwa nama jalan ini akan menggugah rasa dari kawan-kawan Kristiani. Jalan ini, lebih dari dua ribu tahun lalu,  dipercaya digunakan oleh Yesus memanggul salibnya dengan penuh penderitaan. Duh, saya tak terbayangkan bagaimana rasa mereka apabila sampai ke lokasi ini. Melakukan Jalan Salib di tempat aslinya, merasakan sendiri bisa berdiri dan berjalan di tempat yang sama, menapak tilas sebuah penderitaan yang tak terperi, tentu bisa mencuci jiwa, memperkuat rasa percaya.

Lorong masih terasa temaram ketika telinga mendengar adzan yang dilantunkan dari Masjid Al Aqsa. Allahu Akbar… Allahu Akbar… Rasanya ingin terbang segera sampai di pintu Masjid…

Otomatis saya bergegas, mungkin karena terbiasa di Indonesia jarak waktu antara adzan dan iqomah (dimulainya shalat) sangatlah sempit. Tentu saja saya tak ingin tertinggal shalat di Masjid Al Aqsa yang menjadi destinasi impian selama ini. Sudah sejauh ini, sudah melewati tantangan dan hambatan, mana mau saya tertinggal? 

Jaraknya tak lagi jauh, tetapi mata saya bisa menangkap paling tidak ada dua orang tentara Israel dengan senjata lengkap berjaga di puncak tanjakan landai. Hati saya berdesir, sepagi ini mereka sudah bersiaga. Ah saya terlupa, 24 jam mereka berjaga, tak pernah kosong dan karenanya segala sesuatu bisa terjadi. Saya mengikhlaskan segala rencana kepadaNya. Meskipun tinggal beberapa langkah bisa masuk ke kawasan Masjid, tetap saja saya berdoa agar bisa mendapat kesempatan mendirikan shalat di Masjid Al Aqsa. Bersabarlah, sebentar lagi, sebentar lagi… 

Saya menyiapkan paspor, jika mereka memintanya. Tetapi, Alhamdulillah Ya Allah, mereka melewatkan rombongan semua sambil sesekali melirik sekilas dan melanjutkan bicara di antara mereka. Sekali lagi saya mendengar bahasa yang terasa asing di telinga, sama seperti di perbatasan waktu itu (bisa dibaca di pos Kebat-Kebit di Perbatasan Israel). Saya tahu, meskipun mereka terlihat mengobrol santai di antara mereka, sikap siaga lengkap dengan senjata menunjukkan mereka sesungguhnya tidak sedang bersantai. Dalam hitungan detik mereka bisa berubah dan bersikap keji. Memang terlihat santai tetapi mereka sangat terlatih melihat gerakan kecil yang mencurigakan dan berpotensi mengubah keadaan dari aman-aman saja menjadi peristiwa mengerikan. Rasanya hanya satu, tidak nyaman berjalan di dekat mereka. 

Tetapi biarlah rasa itu berlalu karena kaki ini telah melangkah menuju pintu hijau yang tidak selamanya terbuka itu. 

Pintu menuju kawasan Masjid Al Aqsa!

Kebun Zaitun

Dan laksana melewati sebuah portal, saya berpindah ke kondisi rasa yang jauh berbeda. Saat kaki ini menginjak tanah kawasan Al Aqsa, hati ini luluh lunglai, tunduk sepenuhnya dalam genangan haru. Alhamdulillah Ya Allah tanah seluas 144.000 meter persegi itu sungguh tak mudah didatangi, namun diri ini berkesempatan menginjak dan berjalan di atasnya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala tak percaya. Sungguh nyatakah ini? 

Saya berjalan melintasi kebun zaitun dengan bergegas. Dan tampaklah kubah keemasan itu. Masjid Kubah Batu (Qubattus As Shakhrah) atau lebih dikenal dengan Dome of The Rock yang berwarna keemasan itu menerangi langit Jerusalem yang masih gelap. 

Saya tidak bisa berlama-lama menatap keindahannya karena harus segera melangkahkan kaki ke Masjid Jami Al Aqsa atau sering disebut dengan Masjid Al Qibli, yang berada di sebelah Selatan dari Masjid Kubah Batu. Mesjid ini dan juga masjid Al Qibli, sering menjadi simbol penyempitan arti dari Masjid Al Aqsa yang sebenarnya. Sejatinya Al Aqsa atau disebut juga Baitul Maqdis mencakup kawasan seluas 144.000 meter persegi yang di dalamnya terdapat tujuh buah Masjid dan semuanya berada di tanah yang suci, yang bahkan dalam beberapa tulisan menyatakan bahwa Al Aqsa berdiri di atas tanah haram yang berarti tidak diperbolehkan adanya pertumpahan darah di atasnya. Wallahu’alam. 

Pandangan saya terus terpaku di kubah keemasan Dome of the Rock sementara kaki melangkah. Mata belum puas, betapa ingin saya mengelilingi bangunan berkubah emas itu namun untuk sementara hati diluruskan pada niat untuk mendirikan shalat Subuh. Sungguh saya tak percaya bisa melewati bangunan Masjid Kubah Batu begitu saja, padahal selama ini foto-foto tentang bangunan ini memenuhi database di ponsel dan notebook. Tetapi itulah hidup, karena ada begitu banyak prioritas yang harus didahulukan. Seperti saat ini, saya sudah melewati sebuah lingkaran tempat wudhu yang terbuka, dan di hadapan mata terdapat pintu-pintu Masjid Al Qibli yang berkubah perak keabuan. 

Di pintu masuk lagi-lagi saya menggigit bibir untuk memastikan saya tak sedang bermimpi.  Alhamdulillah ya Allah, saya benar-benar bisa berdiri di tempat ini, di tempat yang saya inginkan sejak lama. Betapa besar anugerah yang Engkau limpahkan. Saya menutup mata, menyembunyikan airmata yang merebak di kelopak. 

Karpet merah yang menghampar di depan mata, tidak akan pernah saya lupakan. Karpet merah ini yang berkali-kali dinodai oleh sepatu-sepatu boot tentara Israel yang menerabas, mencoba mengatasi pertikaian tak berkesudahan antara Palestina dan Israel. 

Tanpa ragu saya menginjak karpet merah yang terasa sangat lembut di kaki. Kelembutannya tak terlupakan. Saya mengagumi semua yang ada di hadapan sehingga berjanji pada diri sendiri untuk meluangkan waktu menikmatinya. Namun kali ini, shalat dulu…

Tempat shalat untuk perempuan berada di sebelah kanan dari arah pintu masuk. Tak begitu luas, mungkin hanya sekitar seperdelapan bagian dari luas lantai, namun cukup untuk menguarkan aura penuh keakraban. Dimana-mana perempuan selalu sama, hubungan antara satu perempuan dengan lainnya cepat terjalin. Saling senyum, anggukan, mengucap salam dan doa, berbagi buah dan kue. Bahkan mata pun bisa mengungkapkan rasa penerimaan sebagai saudara. Rasanya sungguh tak terlupakan. 

Di atas karpet yang lembut ini, saya menarik nafas panjang, mengingat kembali dahulu Rasulullah melakukan Mi’raj dari kawasan ini dalam peristiwa Isra Mi’raj dan tempat ini juga menjadi kiblat shalat sebelum dipindahkan ke arah Ka’bah. Sungguh membukakan hati dan pikiran bahwa Masjid Al Aqsa bukan tempat yang biasa-biasa saja. 

Kemudian saya berdiri untuk menunaikan shalat sunnah sebelum Subuh. Semua terasa normal, kecuali rasa yang teramat berat ketika akan bangun dari sujud. Pujian kepada Allah Yang Maha Tinggi langsung bersambung doa tentang tempat ini. Tanah yang jauh dari Mekkah dan Madinah, tanah  yang selalu dipertikaikan, yang tak jarang memberitakan hilangnya nyawa para syuhada penjaga tanah yang suci ini. Ya Allah… sungguh hati ini, jiwa ini, berserah kepadaMu untuk semua yang terjadi di tanah ini.  

Belum lama selesai shalat sunnah, terdengar alunan Iqomah yang berarti Shalat Subuh segera dimulai. Kami semua berdiri, bersiap bersama menjalankan kewajiban sebagai Muslim. Shalat wajib pertama di Masjid yang luar biasa ini, shalat yang dilengkapi dengan doa Qunut yang dahsyat dan dilantunkan oleh Imam Masjid Al Aqsa langsung dari Bumi Palestina. Allahu Akbar 

Dome of the Rock Masjid Kubah Batu

Al Aqsa, Ikon Keemasan Dalam Kegelapan Malam


Seperti orang dahaga mendapatkan air, kelegaan itu terasa sekali saat melangkah keluar dari bangunan yang merupakan pos perbatasan Israel di Allenby Bridge ini (baca posnya disini: Kebat-Kebit di Pos Perbatasan Israel). Sama sekali tak perlu berpura-pura bego, sama sekali tak perlu berpura-pura tak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggeris. Mereka sama saja seperti petugas imigrasi di negara lainnya, ketika pekerjaan melakukan verifikasi terhadap seseorang selesai, mereka ingin orang itu berlalu sesegera mungkin dari hadapannya. Apapun yang menyebabkan kami serombongan tertahan lama di tempat ini, biarkan menjadi rahasia mereka

Langkah demi langkah menuju bus semakin mendekatkan saya kepada Tanah Impian. Saya menggigit bibir merasakan getar halus dalam dada. Sebentar lagi, sebentar lagi, impian itu menjadi nyata.

Sayangnya, malam telah tiba saat kami melanjutkan perjalanan menuju Jerusalem. Saya tak bisa memanjakan mata melihat pemandangan keluar jendela bus karena kegelapan telah memeluknya. Hanya saja terasa mesin bus menderu ketika roda-roda bus menapaki aspal jalan. Sungguh, semuanya seperti yang telah digariskan terjadi pada hari itu. Setelah berjuang memperpanjang sabar dalam situasi harap-harap cemas di pos perbatasan Israel, Dia Yang Maha Kuasa seakan sengaja memberi kesempatan kepada kami semua untuk rehat menutup mata untuk menit-menit ke depan, membiarkan angan berdansa dan rindu memenuhi kalbu. Save the best for last…

After Prayers at Qubbat As Shakrah

Bus terus bergerak dengan situasi didalamnya yang terasa hening, bahkan mungkin terlalu hening yang tak biasa. Entahlah, rasa yang terlalu hening tak biasa itu mampu membuat saya membuka mata. Kegelapan di luar jendela masih tak beda dari sebelumnya, namun kini bus terasa makin melambatkan kecepatan hingga akhirnya berhenti sejenak di tempat seperti gardu tol. 

Tapi, nyatanya tempat bus berhenti ini bukan gardu tol, melainkan titik pemeriksaan keamanan. Sebuah pos check-point. Ke Israel memang membawa risiko harus bersedia melalui pos-pos check-point yang sejatinya sangat menyesakkan hati. Tempat serupa gerbang tol ini menjadi saksi pemaksaan keterbatasan gerak terhadap bangsa Palestina yang dahulunya justru menempati tanah negeri ini.

Saya yang baru saja terjaga, dalam sekejap merasa nyerinya hati manusia-manusia yang diatur pergerakannya oleh manusia-manusia lain merasa lebih berhak dan lebih memiliki tanah bumi ini. Di tempat yang sama itu, saya hanya bisa mengamati dengan teramat prihatin, bagaimana orang dari bangsa Yahudi bisa bebas melenggang di jalur-jalur lain yang terbuka luas sementara orang non-Yahudi, apalagi bangsa Palestina, perlu melewati proses pemeriksaan. Cek ini, cek itu, cek lagi dan lagi, kalau perlu turun dari kendaraan untuk diverifikasi. Hati saya benar-benar berdenyut merasakan aura diskriminasi. 

Di negeri ini memang sengaja dibuat peraturan agar bangsa Palestina tidak bebas bergerak. Di tanah bumi tempat mereka dilahirkan ini, mereka perlu berbagai surat izin untuk bisa berpindah ke daerah-daerah lain, yang meskipun ada, belum tentu semulus yang diharapkan. Bangsa Palestina, seperti sekawanan domba yang hanya diperbolehkan hidup di wilayah sempit dan makin sempit. Tak peduli apakah wilayah itu layak huni atau tidak. Hanya domba yang ditandai khusus yang dapat keluar masuk wilayah itupun tidak semuanya wilayah!

(Entahlah, bisa jadi salah, namun pikiran saya sejenak terbang melayang ke kawasan-kawasan reservasi yang diatur sebagai tempat berkehidupan suku bangsa Indian di benua Amerika sana)

Dalam sekejap saya tersadarkan, di check-point ini, pemandu kami perlu menyelesaikan urusan sejenak dengan petugas, hanya karena dia bagian dari bangsa Palestina. Ugh, apa yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri ini seakan sebuah konfirmasi akan pembatasan pergerakan Bangsa Palestina di negeri ini. Sekali lagi, saya merasakan denyut yang amat memedihkan.  Di satu tempat yang sama, hukum dunia telah membedakan perlakuan dua manusia yang berbeda bangsa padahal mereka mendiami wilayah dan bumi yang sama.

Terbayangkah kita bila suku bangsa Jawa tidak boleh berpindah ke tempat lain di Indonesia tanpa surat-surat resmi yang mengurusnya pun sulit dan dipersulit? Atau suku bangsa Batak hanya boleh berada di Sumatera Utara, Bugis hanya boleh berdiam di Sulawesi Selatan? Hiiii membayangkan saja sudah bergidik….

Setelah momen pedih yang terjadi di depan mata itu, terasa bus melanjutkan perjalanan kembali di atas aspal yang mulus. Bagusnya kualitas jalan bisa dimengerti. Tidak sedikit yang bersedia membantu Israel membangun negeri yang mereka percaya sebagai Tanah Perjanjian. Bantuan datang dari negeri-negeri adidaya tempat banyak keturunan Israel hidup dan mencari penghidupan Bisa juga datang dari mereka yang percaya bahwa negeri Israel harus berdiri.  Israel makin berkembang. Sebuah ironi yang sungguh dahsyat, sementara bantuan datang untuk kemajuan Israel dari negeri-negeri yang menjunjung tinggi persamaan hak dan kebebasan sementara terlihat di depan mata, pembedaan perlakuan manusia satu dengan lainnya. 

Pikiran saya mengayun sejalan dengan pergerakan bus menuju kota Jerusalem. Semakin dekat kota, titik-titik cahaya kota semakin terlihat. Akhirnya lampu-lampu bus dinyalakan. Kami semua terjaga sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Hasan, pemandu kami menyampaikan bahwa kita sudah sampai di tepi kota Jerusalem dan juga mengingatkan agar kami semua melihat ke sisi kiri setelah keluar dari terowongan panjang yang berlimpah cahaya. 

Detik-detik itu terasa lambat, terowongan terasa amat panjang…

Akhirnya terowongan mencapai ujungnya. Berbalut kegelapan malam itu, untuk pertama kali mata saya menangkap gemilangnya cahaya keemasan kubah As-Shakhrah atau Kubah Batu yang lebih terkenal secara internasional dengan nama Dome of The Rock, yang terkena cahaya lampu. MasyaAllah indahnya…

source: dome of the rock – wikimedia commons

Berbagai rasa bercampur aduk memenuhi kalbu, melesak keluar memaksa saya untuk langsung berkali-kali mengerjapkan kelopak mata yang berair. Berpuluh tahun saya memiliki impian untuk bisa mengunjungi Masjid Al Aqsa, masjid yang terjauh jika berpatokan pada jarak Mekkah dan Madinah. Bagi saya, Masjid Al Aqsa adalah mesjid utama yang berdiri di atas negeri yang bersimbah airmata dan darah karena konflik berkepanjangan.

Dan kini dengan mata kepala sendiri, saya menyaksikannya. Indah, luar biasa indahnya!

Seperti anak kecil yang tak mau melepas mainannya, saya juga tak ingin melepas pandangan dari kubah keemasan yang berada di dalam Kota Tua Yerusalem itu. Disanalah destinasi saya selama puluhan tahun ini, meskipun bentuk jalan yang berbukit membuatnya perlahan hilang dari pandangan karena bus yang tetap begerak perlahan. Mungkin karena begitu terpesonanya, saya sampai lupa mengambil foto.

Kehilangan pandangan akan destinasi impian, membuat saya terduduk menyandar ke belakang, seakan mengumpulkan kesadaran penuh, Saya benar-benar berada di Palestina! Pikiran saya berdansa kembali.

Masjid Al Aqsa, berdiri di atas tanah yang tak biasa, meski bentuknya tetap seperti tanah dimanapun di dunia ini. Tanah ini telah bersimbah darah dan airmata, berselimut aura pertempuran tak berkesudahan, tanah yang menjadi saksi atas penderitaan manusia yang kehilangan rumah dan tempat berpijaknya, tanah yang menjadi saksi akan sepak terjang sang penguasa yang silih berganti. Begitu pilunya tanah ini berhias derita.

Bus bergerak lambat karena berada di jalan-jalan sempit yang berkelok dan naik turun. Kontur kota tua Jerusalem memang berbukit. Lalu tak lama bus berhenti di depan hotel kecil kami yang tak jauh dari gerbang Herod. Begitu turun dari bus rasanya ingin langsung ke Masjid Al Aqsa, namun pemandu kami menyampaikan bahwa Masjid telah ditutup setelah shalat Isya. Menyadari keinginan kuat kami, dia meminta kami untuk bersabar beberapa jam. Lagi pula, perjalanan panjang hari itu telah menguras tenaga kami semua ditambah olahraga hati di pos perbatasan Israel tadi.

Kami semua memahami dan menahan keinginan. Bagi saya, tertunda waktu sekian jam untuk ke Masjid Al Aqsa itu tidak masalah, karena saya telah menunggu sekian puluh tahun. Seharusnya saya bersyukur karena telah bisa melihat Masjid Al Aqsa berbalut malam dengan mata kepala sendiri. Sedikit gontai kami semua memasuki hotel untuk beristirahat dan mungkin tidak hanya saya yang kala itu tak sabar akan datangnya subuh…

Dome of The Rock or Qubbat As Shakrah

Kebat-Kebit di Pos Perbatasan Israel


Wajah-wajah mereka serupa, dingin tanpa ekspresi, kebanyakan tanpa senyum, pandangan mata acuh tak acuh, seakan bisa menutup keahlian mereka menyelidik dalam hitungan detik. Tak banyak beda, mereka laksana hakim di garis depan sebuah negeri dengan keputusan-keputusannya yang mutlak antara ya dan tidak, penentu sebuah perjalanan menjadi terealisasi atau gigit jari. Mereka, para petugas imigrasi.

Meski sudah berulang kali melewati konter mereka di berbagai negara, -selama ini tak pernah ada masalah dan semoga selanjutnya selalu demikian-, entah mengapa saya selalu merasa tidak nyaman jelang pemeriksaan di semua pos perbatasan. Selalu saja jantung jadi berdenyut lebih cepat, pemikiran negatif “bagaimana jika” dengan nakalnya melompat-lompat di benak. Apalagi tak jarang saya saksikan ketika mengantri, ada saja yang diproses lebih lama, mendapat banyak pertanyaan penuh selidik, bahkan ditolak karena berbagai alasan. Semuanya itu seakan menihilkan kelegaan atas keberhasilan melewati pos imigrasi pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Sampai-sampai saya menyimpulkan sendiri bahwa setiap melangkah sampai ke pos mereka adalah sebuah pengalaman yang selalu unik, yang tak pernah sama dari sebelumnya. Dan saya tak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika benar-benar berdiri di hadapan mereka. Seperti sedang menunggu vonis hakim, antara boleh atau ditolak masuk.

Bisa jadi rasa itu muncul karena teringat kalimat pernyataan yang pernah saya baca di lembar persetujuan visa ke Jepang dulu, yang membuat saya selalu berpikir petugas imigrasi itu memang punya kewenangan lebih. Di situ tertulis, meskipun visa telah disetujui, keputusan petugas imigrasi lebih menentukan pada saat kedatangan. Artinya, meski visa telah disetujui, belum tentu bisa masuk ke Jepang, karena alasan yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Tak heran, saya selalu tak nyaman jelang pemeriksaan imigrasi, dimanapun.

Apalagi kali ini, saya harus melewati konter imigrasi di perbatasan Israel!

((( I S R A E L )))

Mendengar namanya saja, sudah langsung terbayang negeri yang penuh kekerasan dalam waktu yang panjang, banyak polisi bersenjata lengkap dimana-mana, suasana yang rasanya jauh dari kedamaian.

Tetapi bagaimana lagi? Hanya dengan melalui negeri itu, saya bisa mewujudkan sebuah impian yang terpendam sangat lama di dalam jiwa.

Masjid Al Aqsa di Jerusalem memang menduduki puncak bucket list saya sepanjang masa. Hanya saja, bagi saya, tak mungkin mengunjungi Al Aqsa jika belum ke Mekkah dan Madinah. Masalahnya, selama ini saya merasa belum pantas mengunjungi dua tempat suci bagi umat Muslim itu. Entahlah, mungkin Allah memberi saya kesempatan menjejak tempat-tempat luar biasa seperti Lumbini dan Himalaya serta tempat-tempat extra-ordinary lainnya yang membukakan mata hati, -mungkin sebagai the connecting dots of my life-, sebelum mengundang saya ke Mekkah dan Madinah.

Lalu peristiwa berpulangnya ayah mertua dan Papa tercinta serta turun drastisnya keinginan saya untuk travelling ke negeri-negeri jauh, seakan mengerucutkan jalan itu. Disadari atau tidak, saya banyak berdiam di rumah, melakukan perjalanan-perjalanan ke dalam diri, menelusuri kalbu, membuka ruang-ruang kosong dalam hati dan menghiasinya dengan makna-makna perjalanan yang pernah dilakukan.

Memang tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, karena semua ada alasan yang melatarinya, ada rencana indah untuk setiap manusia. Termasuk saya.

Dan datanglah waktunya. Impian yang telah lama bertengger di puncak bucket list saya itu, seakan dibukakan jalannya sekaligus datangnya undangan jiwa menuju Mekkah dan Madinah. Hanya sekitar dua atau tiga bulan sebelum keberangkatan, saya mengambil sebuah keputusan sederhana untuk melakukan perjalanan spiritual sekaligus ke tiga kota suci, Mekkah, Madinah dan Jerusalem di Palestina.

Sebuah keputusan yang amat sederhana namun berdampak besar dalam keseharian saya selanjutnya. Seakan-akan membuktikan kalimat bijak dari Paulo Coelho yang ditulis dalam bukunya yang terkenal, The Alchemist, When you want something, the whole universe conspires in order for you to achieve it.

Sungguh, semuanya berjalan mengerucut mendukung keputusan itu. Semesta mendukungnya. Keleluasaan pekerjaan, keuangan, waktu dan yang lainnya. Saya masih ingat betul, setiap kemudahan yang datang itu menimbulkan sensansi luar biasa di tubuh, bulu-bulu halus di sekujur tubuh lebih cepat bereaksi, airmata penuh rasa syukur lebih mudah merebak.

Termasuk pengurusan visa Israel yang lumayan mahal dan memakan waktu pemrosesan 40 hari!

<><><>

Di malam sebelum check-out hotel di Amman, Jordan, kami repacking koper. Sebagian pakaian dimasukkan ke ransel dan meninggalkan yang tidak perlu di koper. Memang sejak dari Jakarta kami diwanti-wanti agar menggunakan ransel saja saat ke Palestina, karena kami hanya beberapa hari saja di sana. Koper-koper akan dititip di Jordan yang akan diambil lagi saat kami kembali dari Palestina. Sayangnya, ransel Nike kesayangan, harus direlakan karena tersimpan di koper yang hilang saat tiba di Madinah (baca ceritanya di link berikut ini Pilgrimage 1: Menuju Kota Cahaya) Jadi saya menitip pakaian yang hanya satu dua itu di dalam ransel suami.

Keesokan harinya itu saya mengatur hati, menjaga ekspektasi, bahwa setiap jengkal langkah adalah mendekatkan kepada impian itu. Karena setelah Madinah dan Mekkah, masih ada satu tempat yang menjadi destinasi hati, Sebelum benar-benar menjejak di sana, segala sesuatu bisa terjadi.

The Border is Jordan River

Sebenarnya dari Amman ke Jerusalem tidak jauh hanya sekitar 70 km, tetapi karena kami setengah memaksa untuk ke Petra (baca link ini: Petra Yang Tak Direncanakan), maka baru menjelang malam, kami sampai di King Hussein Bridge Border Crossing atau lebih dikenal dengan Allenby Bridge, jembatan di atas Sungai Jordan yang menghubungkan Jordan dan Tepi Barat Israel. Sebelum melintas, pemandu kami selama di Jordan berpamitan lalu turun dari bus. Sepertinya kami semua terhenyak tak menyangka, tetapi begitulah kehidupan orang keturunan Palestina di Jordan. Ia bahkan dipersulit sampai nihil kesempatan untuk kembali ke negerinya. Seperti perjalanan satu arah yang tak pernah ada jalan berbalik. Selepas pamitan itu, bus melanjutkan perjalanan hingga berhenti di sebuah bangunan, Pos Perbatasan Israel.

Saya teringat ucapan dari agen perjalanan yang tak hanya sekali keluar dari mulutnya. Pura-puralah tidak bisa bahasa Inggris, pura-puralah bodoh, Jika akhirnya ditanya petugas imigrasi Israel di perbatasan jawablah yes atau no. Jangan cerita banyak, Kalau perlu pakai bahasa Indonesia. Dan masih banyak lagi permintaannya yang terdengar tak umum di telinga saya.

Diminta demikian, karena konon makin banyak omongan di depan petugas, mereka akan makin detil bertanya untuk mengorek informasi karena kecurigaan mereka yang sangat besar. Sampai sekarang, memang Indonesia belum membuka hubungan diplomatik dengan Israel, karena terkait Palestina. Mungkin bagi mereka, pendatang dari negara yang lebih pro Palestina, -bagi mereka sering membuat ulah-, perlu lebih dicurigai.

Aduh! Di depan petugas Imigrasi diminta berpura-pura? Selama ini, sudah bersikap jujur dan apa adanya saja sudah keringat dingin apalagi kali ini disuruh berpura-pura! Tetapi demi kelancaran perjalanan agar bisa melewati pos perbatasan ini, bisa jadi cara ini yang harus dilakukan.

Source of Image : Google Map of King Hussein Border Control

Suasana tak nyaman langsung menyergap setelah melewati pintu masuk. Langsung terlihat security gate terpasang dalam jarak yang berdekatan padahal ruangannya tak terlalu besar. Semua diperiksa untuk masuk ruangan. Entah saya yang paranoid atau mereka, namun saya merasa begitu banyak mata memperhatikan kami, mungkin karena terlihat sejumlah kamera CCTV.

Kami berada di ruang tengah dengan para petugas Israel yang hilir mudik, saling bicara cukup lantang dalam bahasa yang terdengar sangat asing di telinga. Dokumen diserahkan dan dibawa masuk ke ruangan lain yang lebih luas.

Setelah sekian putaran menit, seorang petugas keluar dari ruang dalam itu dan kepala rombongan bergegas menghampirinya (seperti adegan dokter keluar dari kamar operasi dan kepala keluarga bergegas mendatanginya menanyakan tentang si sakit). Saya melihat rona kebingungan mewarnai wajah kepala rombongan yang sudah cukup sepuh itu. Suaranya lirih tetapi dampaknya bagai halilintar yang menggelegar.

Duuuuaaaarrrrrr..! Nama kami semua belum ada di dalam sistem mereka! Ya Allah…

Rasanya terhempas keras, jatuh dari ketinggian harap dan langsung segala rasa bercampur aduk.

Saya sendiri tidak memahami bagaimana proses pengajuan visanya karena diurus oleh agen perjalanan. Kami hanya diberitahu secara lisan bahwa visa Israel kami semua sudah disetujui, namun saya tak yakin pernah melihatnya langsung karena kertas dipegang oleh kepala rombongan. Dan kini, di perbatasan Israel, -negeri yang sering terdengar tak bersahabat dengan Palestina yang menjadi tujuan perjalanan-, kami terkendala karena nama-nama kami belum ada di sistemnya.

Tak mau menerima begitu saja, kami sepakat manjadikan selembar kertas yang berisi nama-nama kami menjadi bukti bahwa sebelum meninggalkan Indonesia, visa kami sudah disetujui. Saya melihat ada sejumput keraguan pada wajah petugas Israel itu. Artinya, upaya kami cukup membuatnya berpikir. Sejumput harap merambat naik ketika melihat petugas tadi masuk kembali ke ruangan mereka. Semoga mereka mau memeriksa ulang, semoga tak ada arogansi pada mereka. Tak bisa lain, kami kembali menunggu dengan harap-harap cemas.

Menunggu dalam ketidakpastian itu sungguh tidak menyenangkan. Apalagi di negara asing yang sering muncul di berita karena konflik dengan bangsa Palestina yang sering disebut sebagai penjaga Masjid Al Aqsa, tempat suci ketiga umat Muslim. Dan kini rombongan kami yang berniat mengunjungi Masjid Al Aqsa tertahan dalam ketidakpastian dalam sebuah ruang kecil di bawah otoritas Israel.

Berpuluh menit berlalu kami semua masih sama, tercenung dalam pikiran dan harapan masing-masing. Kebat-kebit hati menunggu kabar baik dari petugas yang masuk ke dalam tadi, berjalan beriringan dengan doa dan dzikir dalam hati. Sesekali saya mengamati mereka yang mengenakan topi kippah khas Yahudi di puncak kepala atau rambut cambang mereka yang disebut peyot yang bergerak seperti pegas. Meskipun kebanyakan mereka tak peduli dengan kehadiran kami, tak hanya sekali saya menangkap pandangan mereka terhadap kami dengan dagu yang terangkat tinggi. Sekali lagi, saya dibuat kebat-kebit tersadarkan bahwa saat ini nasib perjalanan kami semua berada di bawah otoritas mereka.

Akhirnya petugas yang tadi berbicara dengan kepala rombongan kami, keluar dari ruangannya. Tentu saja kepala rombongan kami bergegas mendekatinya. Tak perlu lama petugas tadi menyebut beberapa nama dalam rombongan kami yang bisa lanjut ke ruangan berikutnya. Rasa lega terasa di antara kami sambil mengucap Alhamdulillah. Saya termasuk yang belum disebut oleh petugas tadi, tetapi tak mengapa karena hal ini hanyalah masalah antrian belaka, seperti yang disampaikan petugas tadi.

A piece of paper of Stay Permit

Suami dan saya kembali duduk, kali ini sudah lebih tenang. Dan seperti yang sudah diduga, beberapa waktu kemudian, kemi berdua dipanggil untuk diverifikasi. Kami mendapat secarik kertas permission untuk memasuki Israel. Tidak ada cap stamp di Paspor, hanya secarik kertas itu.

Ketika berjalan melalui pintu dan gerbang keluar menuju bus, saya merasa sesak penuh haru. Meski tertahan beberapa jam, -mungkin sebagai ujian dariNya untuk tetap bersabar dan berharap hanya kepadaNya-, langkah ini makin mendekatkan pada impian yang mewujud nyata.

Tetapi sekali lagi saya tersadarkan, dengan visa di tangan belum tentu semua urusan masuk ke sebuah negara bisa lancar jaya, karena segala sesuatu bisa saja terjadi, in the last minute… dengan alasan yang hanya mereka yang tahu. Jadi, selalulah menjaga ekspektasi.

Petra, Yang Tak Direncanakan


Dalam itinerary final yang disampaikan agen perjalanan sebelum berangkat, Petra memang tak pernah dimasukkan dalam daftar destinasi kami, namun mereka sepertinya setengah berjanji kepada sebagian anggota rombongan bahwa kunjungan ke Petra termasuk memungkinkan, dengan syarat tersedia waktunya. Namun setelah memeriksa itinerary finalnya, saya memperkirakan Petra tidak akan sempat dikunjungi kecuali mengorbankan kunjungan-kunjungan ke tempat lainnya. Lagi pula, bagi saya Petra bukanlah destinasi yang prioritas dalam perjalanan ibadah ini.

Namun berbeda dengan sebagian anggota rombongan yang merasa dijanjikan. Ketika baru saja duduk di bus sekeluarnya dari terminal bandara Amman, mereka menagih janji untuk ke Petra, yang tentu saja disambut kebingungan Pemandu kami karena tak ada dalam listnya. Tetapi pemandu kami itu hatinya sangat baik dan mencoba mewujudkan impian untuk sampai ke Petra. Setelah telepon sana-sini dengan tangan yang mengayun-ayun di udara, akhirnya ia menyampaikan kabar gembira. Kami bisa ke Petra, dengan syarat harus siap berangkat setelah waktu subuh. Tawa riang langsung terdengar di bus, bangun subuh bukan masalah sama sekali, termasuk mengunjungi Laut Mati langsung pada hari itu juga. Cerita ke Laut Mati bisa dibaca di tulisan ini Senja Di Laut Mati, Terendah di Muka Bumi dan juga Sejumput Malam di Makam Nabi Syu’aib.

Keesokan harinya, -matahari pun masih malas bangun-, kami sudah menyusuri jalan menuju Petra yang bisa ditempuh dengan bus dalam waktu tiga hingga empat jam. Pemandangan serupa saat kami ke Laut Mati dengan perbukitan kering kecoklatan membuat saya lebih memilih mengistirahatkan mata sepanjang perjalanan.

Mata Air Musa

Suara pemandu yang memecah keheningan menyadarkan kami telah sampai di Wadi Musa, kota kecil dengan ketinggian 1000 mdpl yang terdekat dengan Kawasan Arkeologi Petra. Dan tentu saja, sesuai dengan namanya, kami mampir dulu ke lokasi Uyun Musa atau Mata Air Musa, lokasi yang dipercaya sebagai tempat Nabi Musa Alaihissalam memukulkan tongkatnya ke batu besar dan menyemburkan air saat pengikutnya kehausan (QS. Al-Baqarah: 60). Mata Air Musa ini terlindung dalam sebuah bangunan kecil serupa musholla. Melihat airnya yang sangat jernih, saya memberanikan diri untuk membasuh muka. Ya ampun, Jordan di bulan Desember sudah berada di musim dingin sehingga airnya terasa bukan lagi sejuk, melainkan dingiiiin! Meskipun Uyun Musa bukan satu-satunya tempat yang diklaim sebagai tempat Nabi Musa Alaihissalam memukulkan tongkatnya, -sebagian lain percaya ada di perbukitan Thursina, Sinai di Mesir-, tetap saja saya merasa beruntung sekali bisa merasakan dinginnya air yang mengalir cukup deras itu. Konon, kaum Nabatean membuat saluran dari mata air ini dan mengalirkannya ke Petra.

Meninggalkan Uyun Musa, saya baru menyadari bahwa kota wisata Wadi Musa itu memang sangat menarik. Berhawa sejuk, banyak hotel dan restoran yang cantik. Terbersit dalam hati, jika saja saya diberi kesempatan lagi ke Jordan, rasanya akan membahagiakan bila bisa menginap di Wadi Musa.

Tak lama kemudian, bus berhenti di depan gerbang kawasan Petra. Alhamdulillah, rasanya sangat luar biasa! Saya yang tak pernah berani memimpikan, -karena rasanya sangat tidak mudah dicapai-, namun Dia Yang Maha Kasih mengijinkan saya menginjak tanah Petra yang tercantum sebagai UNESCO World Heritage Site sejak 1985. Sebuah hadiah yang lagi-lagi datang dariNya. Sungguh rasa syukur berlomba menyeruak keluar menyesakkan dada. Ya Allah, saya sungguh beruntung…

Saya melihat sekeliling. Kawasan wisata Petra memang tertata sangat baik, dengan tempat parkir yang luas, tersedia juga museum yang relatif besar untuk pengunjung yang ingin menggali lebih dalam tentang Petra. Dan tentu saja ada banyak kios souvenir, cafe untuk makanan atau minuman. Tetapi yang pasti, saya beruntung mengunjungi Petra di bulan Desember yang membawa angin sejuk. Bayangkan saja seandainya datang di bulan Agustus, bulan terpanasnya di Petra, suhu bisa mencapai 40 derajat lebih! Padahal perlu jalan kaki untuk melihat keindahan Petra. Tapi bagi mereka yang punya dana berlebih bisa naik kendaraan sewaan serupa dokar.

Kami hanya perlu menunggu sebentar lalu setelah masing-masing memegang tiket, kami berjalan melalui pintu pagar pembatas. Pengunjung berwajah Timur Tengah mendominasi meski wajah-wajah Eropa dan Amerika tak kalah banyak. Bersama suami, saya mulai menapaki jalan setapak berbatu di padang terbuka menuju perbukitan gersang, yang berhasil menyembunyikan kota Petra beberapa millenia. Siapa yang menyangka di balik semua kegersangan itu ada kehebatan hasil seni bangsa Arab Nabatean yang menguasai daerah itu sejak satu abad sebelum Masehi hingga empat abad berikutnya, sampai gempa bumi besar membuatnya terabaikan selama hampir dua millenia! Untung saja ada seorang pengelana Swiss yang menyamar menjadi seorang Arab dan bisa memaksa pemandu Beduinnya untuk menunjukkan tempat misterius itu untuk kemudian menceritakan kembali kepada dunia. Tentang keluarbiasaan Petra, yang amat indah, ditatah penuh lekuk langsung pada wajah tebing-tebing tinggi yang berwarna kemerahan.

Djinn Blocks & The Obelisk Tomb

Sekitar 400 meter berjalan di jalur Bab Al Siq, yang berarti pintu gerbang ke ‘Siq’, saya mengenali spot pertama yang luar biasa dari bangsa Nabataean. Djinn Blocks. Bagaimana tidak? Yang namanya Djinn Blocks itu terlihat dari jauh karena ukurannya sangat besar dan eye-catching. Bahkan bagi orang yang tidak tahu apapun tentang Petra, biasanya memperhatikan batu segede gaban itu. Ya, Djinn Blocks memang terdiri dari tiga blok batu berbentuk kubus yang sangat besar, terpotong rapi, presisi dan berhias sederhana. Ukurannya sekitar 8 x 8 x 8 meter, besar sekali kan? Dan mengacu namanya yang unik, saya berpikir agak nyeleneh, Djinn Blocks mungkin menjadi tempat tinggal para makhluk jin (asal katanya ya memang itu kan). Tapi juga bisa berarti rumah spirit yang orientasinya lebih relijius. Apapun artinya itu, konon menurut orang lokal dari suku Beduin, Djinn Blocks merupakan tempat peristirahatan (tapi entah peristirahatan dalam artian makam atau memang tempat istirahat manusia dalam sebuah perjalanan panjang) karena ada juga yang mengartikan sebagai ‘tempat menyimpan air’ yang biasanya menjadi tempat pemberhentian pengelana.

The Obelisk Tomb

Puas foto-foto di Djinn Blocks, tak berapa lama setelahnya, kami bisa melihat dari kejauhan yang namanya Makam Obelisk (The Obelisk Tomb), lagi-lagi buatan bangsa Nabatean ketika Malichus II berkuasa (40-70 M) yang sayangnya tidak bisa saya eksplorasi lebih dekat karena keterbatasan waktu.

Tetapi dari jalan saya bisa melihat bentuk yang menarik di bagian atas, empat bentukan seperti piramida (disebut ‘nafesh’) dengan ceruk di bagian bawah, konon berhias relief sebagai representasi simbolis lima orang yang dimakamkan di tempat itu dan ada aula perjamuan (Triclinium) yang berada di bagian bawah. Siapa tahu saya punya kesempatan ke Petra lagi agar bisa mengeksplorasinya dan melihat prasasti dalam karakter Nabatean dan Yunani yang mendeskripsikan monumen makam yang konon ditulis sendiri oleh Abdomanchos yang akhirnya menghuni makam itu bersama keluarganya.

Kaki kami terus melangkah hingga ke awal lokasi yang disebut The Siq, yang merupakan pintu masuk utama kuno menuju kota Petra. Baru awalnya saja, saya sudah terpukau. Memang The Siq ini sangat epic karena merupakan sebuah celah, -jalan sempit-, di antara batu karang yang sangat tinggi sepanjang 1200 meter dengan lebar hanya 3 hingga 12 meter dan tingginya mencapai 80 meter atau kira-kira setinggi bangunan bertingkat 20! Gilanya, sebagian besar batu itu dibiarkan alami dan sebagian lagi dipahat oleh bangsa Nabatean dengan keindahan yang luarbiasa.

Kehadiran dua penjaga berbaju besi yang memegang tombak di bekas pintu gerbang The Siq seakan menyadarkan saya untuk berimajinasi akan kemegahan sisa gerbang kota tua itu. Hebatnya lagi, sepanjang The Siq, kita bisa melihat saluran air yang datang dari Wadi Musa berupa pipa tembikar atau juga pahatan dari batu, dengan beberapa tempat berfungsi sebagai filter air. Saya berpikir, bagaimana mungkin karena tempat saya berpijak ini sepertinya tampaknya lebih tinggi daripada Wadi Musa.

Ternyata kebingungan saya terjawab langsung. Bangsa Nabatean membuat bendungan! Saya sempat melihat dinding yang dibangun pada celah batu karang yang ternyata merupakan bagian dari Bendungan Nabatean asli yang direnovasi pemerintah Jordan pada tahun 1964 mengikuti teknologi asli Nabatean. Bendungan ini dibangun untuk melindungi The Siq sebagai jalan masuk dan juga kota Petra dari banjir ketika musim hujan. Konon, air banjir itu dialirkan ke dalam sebuah terowongan, yang kemudian diberi judul ‘Terowongan Gelap’ dan selamanya kota Petra selamat dari banjir. Hebat ya infrastruktur untuk ukuran abad pertama Masehi. Menyusuri The Siq yang dikeraskan dengan lempengan batu yang masih bisa disaksikan di beberapa tempat, saya terus dibuat kagum saat melihat patung dewa bangsa Nabataean, Sabinos, yang berdiri dekat saluran air. Tak heran karena bangsa Nabataean percaya air merupakan sesuatu yang suci, jadi patung dewa mereka harus berdiri dekat air.

Di tengah perjalanan saya dikejutkan oleh penampakan batu yang berdiri sendiri, unik, di tengah celah serta besar menyerupai bentuk hewan. Saya dan suami menebak-nebak, apakah itu gajah atau ikan.

Kami berdua masih terkagum-kagum saat berjalan di sepanjang The Siq. Tebing itu tinggi sekali sehingga tinggi manusia tiada artinya. Saya mendongak ke atas, memang teramat tinggi! Tidak heran, ada banyak film Hollywood mengambil lokasi shooting di tempat ini. Keren sekali sih. Keluarbiasaan jalan diapit tebing berwarna kemerahan itu hampir berakhir ketika cahaya semakin kuat datang dari kota tua yang bernama Raqeen yang akhirnya diganti namanya menjadi Petra, -artinya adalah batu karang-, sesuai bahasa dari bangsa yang mendudukinya, Yunani. 

The Treasury atau Khazna

Belum juga lepas dari The Siq, saya sudah melihat sebagian fasad Petra yang paling megah; Al Khazna atau Treasury. Saya seakan melihat wajah istana yang ditempelkan di tebing batu karang. Megah. Tingginya sekitar 40 meter dan didekorasi indah. Di bagian atas seperti ada guci yang biasa untuk digunakan dalam ritual penguburan, yang menurut legenda setempat menyembunyikan harta. Sayangnya ada banyak jejak bekas tembakan dan pengrusakan yang mungkin disebabkan oleh keserakahan pemburu harta karun atau penjarah makam-makam tua.

The Treasury, Petra

Saya melongo! Tak mampu membayangkan bagaimana bangsa Nabatean pada abad ke-1 SM bisa membangun fasad The Treasury yang fungsi aslinya pun masih menjadi misteri hingga kini. Banyak yang bilang tempat itu merupakan sebuah kuil meski tak sedikit ahli yang menganggap hanya sebuah tempat penyimpanan dokumen. Tetapi pada ekskavasi terakhir di bawah lantai pertama bangunan dua tingkat dengan lebar 25 meter itu ditemukan makam yang tentunya bukan makam orang sembarangan.

Petra memang menyimpan misteri, masih begitu banyak yang belum terkuak dan masih tersembunyi di bawah permukaan tanah. Tidak heran karena setelah ditaklukkan Romawi dan kepentingan perdagangannya berkurang, Petra sengaja ditinggalkan. Apalagi setelah bencana alam dan gempa bumi besar terjadi, Petra semakin terpuruk dan mencapai titik nadirnya pada abad-7 lalu perlahan hilang ditelan bumi.

Di depan Treasury saya hanya mampu diam menikmati sambil berfoto. Sepasang unta siap disewa mereka yang uangnya berlebih. Mungkin baginya, kapan lagi bisa menunggang unta di Petra? Keriuhan terjadi ketika si unta bangun dari posisi duduknya dan mengayun ke depan membuat si turis berteriak-teriak, takut terpelanting ke depan. Yang ikut menyaksikan tersenyum lebar. Bahkan suasana turistik di depan Treasury terasa menggembirakan.

Waktu berjalan tak kenal kasihan. Setelah puas berfoto, saya harus melambaikan tangan ke arah Treasury. Petra memang tidak hanya itu, sebenarnya masih banyak, masih ada jalan penuh kolom, ada juga bangunan Teater dan Makam Kerajaan bahkan bisa sampai ke Wadi Rum. Saya belum mendapat kesempatan untuk melihatnya karena waktu membatasi. Semoga Yang Maha Memiliki berkenan memberikan saya kesempatan untuk kembali ke Petra.

Pelan-pelan saya kembali menyusuri The Siq, menikmati yang terlewatkan, menyempatkan duduk di tempat peristirahatan, menyaksikan para turis datang dan pergi, semoga saya bisa kembali…

Sejumput Malam di Makam Nabi Syu’aib


Sekembalinya dari Kawasan Wisata Laut Mati, -ceritanya bisa dibaca dalam tulisan Senja di Laut Mati, Terendah Di Muka Bumi sebelum ini-, tanpa perlu dikomando lagi seisi bus duduk dalam diam. Tak ada celoteh atau suara pemandu karena temaramnya lampu di dalam bus membuat kantuk menyerang. Apalagi jalan yang mulus tanpa kemacetan membuat perjalanan menjadi nyaman. Namun bisa jadi karena kami semua sudah lelah menjalani hari yang panjang sejak meninggalkan Jeddah pagi tadi lalu terbang ke Jordan, yang dilanjut dengan perjalanan ke Laut Mati dan kini yang dirindukan mungkin hanya pembaringan.

Demikian pula keadaan saya, dengan mata yang setengah mengantuk, kadang terbuka dan kadang terlelap, saya berusaha sebisanya mengikuti perjalanan. Rasanya sayang sekali jika terlelap di negeri yang baru pertama kali saya kunjungi.

Ketika melihat banyak lampu di luar jendela bus, saya berpikir sudah sampai di Amman. Ternyata dugaan saya salah. Saat itu kami masih sekitar tiga puluh menit lagi ke kota Amman. Saya hanya ingat bus berbelok lalu bergerak lagi untuk beberapa saat lalu akhirnya berhenti di sebuah tanjakan yang disusul dengan dinyalakannya sebagian lampu dalam bus.  Lalu suara pemandu terdengar memecah keheningan. Sayangnya saya tak mendengar jelas informasi yang disampaikan. Saya hanya melihat sebuah mesjid yang terlihat indah jika difoto dengan lampu kehijauan di menaranya. Rasanya tak banyak rumah ataupun toko di sekitarnya karena terlihat kegelapan menyelimuti. Masjid itupun terang karena lampu di halamannya. Seperti berada di tempat terpencil di perbukitan yang jauh dari pemukiman.

Prophet Syu’aib Mosque and Shrine, Jordan at night

Di dalam bus, -mungkin karena lelah-, tidak ada perempuan lain yang turun dari bus kecuali saya. Yang laki-laki pun bisa dihitung tak melebihi dari jumlah jari dalam satu tangan. Saya mengambil beberapa foto di halaman Masjid lalu mendekat ke sebuah pintu. Di situ baru saya memahami, betapa beruntungnya saya mengikuti hati untuk turun dari bus karena di dekat pintu tertulis dengan sangat jelas: Makam dan Masjid Nabi Syu’aib Alaihissalam. Bukankah kita sangat beruntung bisa menjejakkan kaki di tempat orang-orang sholeh berbaring di peristirahatan terakhirnya?

Entah kenapa, saya agak takut untuk mendekat. Rasanya aura kesholehannya tetap menguar dan meliputi seluruh ruangan itu. Saya menjadi begitu insecure berada di dekat makam orang yang selama hidupnya begitu sholeh dan menjadi utusan Allah kepada orang-orang Madyan dan Ashabul Aikah. Tanpa sadar saya mundur selangkah sambil menundukkan kepala, menyadari banyaknya khilaf yang dibuat hingga kini. Rasanya tak pantas untuk mendekat, seakan bisa menjadi noda atas kesucian auranya.

Terpampang jelas di depan mata, makam Nabi Syu’aib Alaihissalam yang terletak di tengah ruangan berlangit-langit tinggi dan lantainya berkarpet tebal, diselimuti dengan kain beludru berwarna hijau berhiaskan benang emas sebagai penutup yang indah. Lalu dari tempat saya berdiri, yang berjarak hanya beberapa langkah dari makam Nabi Syuáib Alaihissalam, saya mengangkat tangan dan melangitkan doa.

Makam Nabi Syu’aib, Jordan

Sebelum meninggalkan ruangan, saya membiarkan ingatan menari-nari, mengingat kisah hidup Nabi Syu’aib Alaihissalam. Sebagai orang yang diutus Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kaum Madyan dan Ashabul Aikah, tantangan yang dihadapi Nabi Syu’aib Alaihissalam sangatlah besar. Kaum Madyan merupakan kaum yang menguasai jalur perdagangan di wilayah sekitar Laut Mati sedangkan Ashabul Aikah merupakan sekelompok orang yang percaya kepada pepohonan bahkan mereka menyembahnya. Kaum Madyan terkenal sebagai pedagang yang ulet dan banyak diantara mereka yang sukses dan berlimpah kekayaan. Sayangnya, dalam menjalankan perdagangan, mereka seringkali tak jujur dan licik. Ketidakjujurannya terlihat saat bertransaksi jual beli, mereka suka mengurangi ukuran dan timbangan. Gandum yang seharusnya ditimbang 1 kilogram dikurangi dan dijual dengan harga untuk 1 kilogram, sehingga mereka mendapatkan keuntungan dari cara tak jujur tersebut. Selain itu, seperti juga Ashabul Aikah, Kaum Madyan lebih percaya pada hal-hal selainNya yang membuat mereka hidup berlimpah harta dan bisa menguasai jalur perdagangan.

Nabi Syu’aib mengetahui hal itu dan memperingatkan mereka akan hukuman atas perbuatan kaum Madyan dan Ashabul Aikah yang tidak benar itu. Namun, bukannya berterima kasih, mau memahami dan bertobat, mereka justru makin menentangnya. Bahkan mereka mengusir Nabi Syu’aib Alaihissalam dan semua pengikutnya untuk keluar dari kota itu. Ah, sepertinya saat itu mereka berpandangan sebagai mayoritas di kota itu dan jumlahnya lebih banyak maka apa yang mereka lakukan adalah benar. Lebih benar daripada Nabi Syu’aib Alaihissalam dan pengikutnya yang menjadi kelompok minoritas karena jumlahnya sedikit.

Bagaimanapun Kebenaran hanyalah milik Yang Maha Kuasa,

Lalu, terjadilah bencana di tempat kaum Madyan bermukim. Gempa hebat terjadi di tempat itu dan meluluhlantakkan pemukiman mereka hingga tak bersisa satupun. Kaum Madyan meregang nyawa terjebak di rumah mereka sendiri.

Sedangkan bencana yang menimpa Ashabul Aikah adalah serangan udara yang sangat panas dan membakar kulit. Tentunya sangat jauh lebih panas daripada gelombang panas yang sering terjadi belakangan ini di negeri-negeri jauh. Tidak ada lagi bangunan dan pohon yang dapat dijadikan tempat berteduh dari udara yang mematikan itu. Kemudian di langit muncul segerombolan awan hitam dan berat, awan yang membawa petir dengan suaranya yang sangat keras menggelegar. Mereka tak dapat lagi menghindarkan diri dari bencana yang mengerikan itu.

Tentu saja kisah Nabi Syu’aib Alaihissalam yang diutus kepada mereka yang membuat kerusakan di muka bumi ini, dapat dibaca dalam Al Qurán. Tetapi mengingat kisah Nabi Syu’aib Alaihissalam di depan makamnya di Jordan ini, tentu jauh berbeda rasanya. Gambar-gambar imajinasi mengenai kisah itu bergerak sendiri seperti menonton sebuah film di benak, menjadikan sebuah peringatan yang menyesakkan. Sebuah pembelajaran teramat penting yang dapat diambil dari kaum terdahulu.

Keheningan berada di depan Makam Nabi Syu’aib Alaihissalam pecah saat datang pengunjung lain. Saya meninggalkan ruangan dan mengambil foto di halaman. Sayang sekali, Masjid Syu’aib yang ada di kompleks itu pintunya terkunci, padahal konon sangat indah. Pintu Masjid berada tak jauh dari bangunan kecil berkubah emas yang ada di tengah-tengah pelataran halaman dalam.

A nice place for taking the ablution, Mosque of Prophet Syuaib, Jordan

Tak banyak yang bisa diabadikan kecuali bangunan kecil berkubah emas tadi yang terbuka pada sebagian dindingnya yang tampaknya merupakan tempat mengambil air wudhu, terlihat dengan keran air dan tempat duduk batu yang melingkarinya.

Setelah puas mengambil foto yang tak seberapa, saya berbalik ke arah bus berhenti. Dalam beberapa saat saya akan meninggalkan salah satu tempat yang diklaim sebagai Makam Nabi Syu’aib Alaihissalam ini. Selain di Jordan di tempat saya berdiri ini, ada juga yang mengatakan bahwa makam Nabi Syu’aib Alaihissalam ada di Galilea Hilir, Israel. Selain itu ada yang mengatakan makamnya ada di Guriyeh, Iran. Bahkan tak sedikit yang berpendapat makam Nabi Syu’aib Alaihissalam ada di sebelah Barat Ka’bah, Mekkah. Sementara yang lain berpandangan makamnya ada di Jabal Nabi Syu’aib di Yaman. Mana yang benar? Wallahu a’lam bishawab.

Saya melangkah kembali ke dalam bus, lalu pintu-pintu bus ditutup. Roda bus mulai bergerak pelan meninggalkan kegelapan perbukitan di belakang, lampu-lampu dalam bus kembali temaram. Meski badan terasa lelah, saya merasa sangat beruntung dapat menjejak sebentar di tempat yang baru saja ditinggalkan dengan hikmah yang terserak begitu banyak. Dan kini, sepertinya saya menyerah pada dunia, hanya pembaringan yang saya rindukan…

From the courtyard of Prophet Syuaib Mosque

Senja di Laut Mati, Terendah di Muka Bumi


Katanya, belum pergi ke Jordan jika belum mengunjungi Petra dan Laut Mati, seakan-akan negeri Jordan itu hanya dikenal karena keberadaan dua tempat itu saja, bukan hal lainnya. Kenyataannya, selain Petra masih ada peninggalan sejarah di Jerash yang indah. Dan Laut Mati itu sesungguhnya tidak dikuasai seluruhnya oleh Jordan melainkan terbagi ke dalam dua kekuasaan, Jordan untuk bagian Timur dan Israel untuk bagian Baratnya. Jadi agak berlebihan juga sih dengan istilah belum ke Jordan jika belum menjejak Laut Mati dan Petra, karena Jordan tidak hanya itu!

Tapi bagaimanapun, karena kami sedang berada di Jordan, mengunjungi Laut Mati sepertinya menjadi agenda yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Jadi selepas kunjungan singkat ke Gua Ashabul Kahfi yang sudah saya tulis sebelumnya, kami semua duduk manis lagi dalam bus sekitar satu jam perjalanan dari kota Amman menuju Laut Mati.

Pinggir Kota Amman

Pemandangan kota Amman melalui jendela bus masih tak jauh berbeda, dengan bukit-bukit gundul serupa gurun berwarna kecoklatan dihiasi bangunan-bangunan kubus yang tumbuh tak beraturan. Jalan di depan mata  bisa dibilang sempurna dengan aspal mulus yang lebar. Kesan saya akan kota Amman bisa saja salah karena saya tidak mengunjungi pusat kota atau pusat bisnisnya. Rasanya tertanam di benak Amman bukanlah kota yang penuh gedung pencakar langit seperti kota-kota dunia lainnya. Ibukota Jordan ini sepertinya hanya menjadi kota tua yang berusia sembilan ribu tahun yang mewarisi sejarah panjang di bumi Timur Tengah.

Pemandangan menuju Laut Mati

Kesan saya bisa sangat salah. Seperti saat kita melihat seseorang lanjut usia yang renta. Meski terlihat tak memanjakan mata, usianya yang tua itu menyimpan banyak asam garam kehidupan. Demikian juga kota Amman, sejarahnya telah teramat panjang dan meninggalkan banyak jejak, dari sejak zaman Neolitikum, periode emasnya Kerajaan Ammon, peradaban Romawi, Byzantium, hingga Persia dan Ottoman. Bahkan alam pun meninggalkan jejaknya di sana dengan banyaknya gempa bumi dan bencana lainnya hingga sempat terabaikan sampai akhirnya ditemukan kembali di zaman modern.

Jika saja, saya memiliki waktu yang lebih panjang di Jordan, mungkin saya akan mendatangi lebih banyak jejak-jejak sejarah yang tertinggal karena pastilah semuanya menarik. Semenarik nama yang pernah disandang kota Amman. Siapa yang sangka nama Philadelphia yang memiliki makna kasih persaudaraan, -kini lebih dikenal sebagai nama kota di Pennsylvania, Amerika Serikat-, pernah disandang oleh kota Amman pada zaman dulu? 🙂 Hmmm… Amman memang bukan sekedar pintu gerbang untuk sampai ke Petra dan Laut Mati.

Menuju Tempat Terendah di Muka Bumi

Kota Amman sudah tertinggal di belakang namun saya masih terpaku melihat pemandangan keluar jendela yang menghilang cepat seirama kecepatan bus. Suara pemandu terdengar samar di antara deru bus namun ia tak bosan menyampaikan himbauan agar kami bersiap-siap menghadapi kemungkinan situasi tak nyaman pada raga. Perjalanan menuju Laut Mati memang bukan perjalanan biasa, karena Laut Mati merupakan tempat terendah di muka bumi. Tidak tanggung-tanggung, pantai Laut Mati itu berada sekitar 400 meter di bawah permukaan laut. Bisa jadi, akibat lokasinya itu, terjadi perbedaan tekanan udara yang mungkin berdampak pada tubuh.

Himbauan pemandu mengembalikan ingatan saya ketika trekking di Himalaya ke tempat-tempat dengan ketinggian di atas 3000 mdpl. Usia yang tidak lagi muda apalagi jarang berolahraga membuat saya mengalami situasi tak nyaman di tubuh. Entah karena perbedaan ketinggian atau memang karena kondisi tubuh yang sedang tidak begitu fit, saat itu saya hanya merasa cepat lelah. Pengalaman itu membuat saya cukup waspada terhadap perbedaan ketinggian tempat. Memang secara teori, makin tinggi sebuah tempat dari permukaan laut, maka tekanan udara di tempat itu makin kecil. Artinya semakin tipis kadar oksigen yang terkandung dalam lapisan udara itu. Sebaliknya semakin rendah sebuah tempat, maka tekanan udaranya akan semakin besar dan kadar oksigennya semakin banyak.

Nah, pantai Laut Mati yang berada 400 meter di bawah permukaan laut, secara teori memiliki tekanan udara lebih besar dari 1 ATM. Dari Google saya mendapatkan Laut Mati memiliki tekanan 1.09 ATM (sementara di ketinggian sekitar 3000 Meter di atas permukaan laut, tekanan udaranya mencapai 0.70 ATM). Membaca angka-angka yang terpampang, saya merasa lebih tenang karena situasi saya ketika berada di Himalaya jauh lebih buruk. Namun bagaimanapun alam tak boleh dianggap enteng.

Bus yang berbelok tajam ke arah kiri menyadarkan bahwa kami telah berkendara beberapa waktu lamanya. Matahari sudah makin condong ke Barat. Di kejauhan tampak sedikit bagian dari Laut Mati. Ah, melihat Laut Mati yang berada di kejauhan itu, saya membayangkan perjalanan masih lama.

Menyusuri Laut Mati dari bus
Some hotels and resorts at Dead Sea

Tapi berbeda dengan jalan sebelumnya yang datar dan lurus, kini bus bergerak menuruni jalan-jalan yang berliku, berbelok-belok seperti layaknya jalan di gunung. Tapi yang pasti hanya satu, berbelok atau lurus, semua jalan menurun tajam dengan sesekali melandai. Turunan-turunan yang tajam itu membuat saya terus berdoa memohon keselamatan karena terasa sekali rem bus bekerja tak henti. Mungkin saya terlalu terpengaruh terhadap berita tentang banyaknya bus di Indonesia yang seringkali masuk jurang atau kecelakaan karena remnya blong. Namun Alhamdulillah, di setiap jalan yang sesekali melandai itu mampu membuat saya menarik sedikit nafas lega.

Berpuluh menit kemudian, perjalanan dengan rasa was-was itu berakhir saat bus berbelok ke sebuah kawasan yang dikenal dengan Pantai Laut Mati. Begitu bus berhenti, tanpa diperintah lagi, kami semua turun dari bus dan menyebar mencari lokasi terbaik untuk berfoto.

Saya sendiri, ketika menjejak tanah, tidak merasakan perbedaan tekanan udara. Rasanya biasa saja, seperti di ruang terbuka dimanapun meskipun jam tangan saya menunjukkan elevasi -439 meter. Mungkin tidak akurat 100% tetapi tetap saja surprise juga melihat angka yang lumayan aneh di jam tangan itu 🙂

Dead Sea altitude at my watch

Berusaha memanfaatkan waktu yang sempit berada di Laut Mati, langsung saja saya menuruni berpuluh anak tangga agar bisa sampai ke tepi pantainya. Terlihat juga di kejauhan hotel dan resort mewah yang berada di pinggir Laut Mati tetapi sepertinya tetap saja harus menuruni banyak anak tangga untuk sampai ke pantainya, seperti di kawasan ini juga. Laut Mati yang sebenarnya danau itu tak memiliki ombak, hanya riak kecil. Saya berjongkok untuk melihat batuan yang ada di pantainya. Bukan kebanyakan pasir seperti umumnya pantai, melainkan batu-batu dan butiran garam yang mengkristal. Airnya sendiri menurut saya cenderung seperti minyak, sedikit lebih pekat atau kental dari air dan licin. Sungguh rasanya aneh saat terkena kulit tangan.

Selagi saya memperhatikan batuan kristal garam itu, datang tiga orang turis yang langsung menceburkan diri untuk berenang dan berfoto. Mau tidak mau saya turut tersenyum memperhatikan mereka yang tertawa lebar karena langsung mengapung tanpa perlu bantuan. Memang, kandungan garam di Laut Mati mencapai 33%, -sebuah angka yang ekstra tinggi dibandingkan dengan rata-rata kandungan garam di laut lainnya yang hanya 3%-, membuat manusia secara otomatis mengapung di Laut Mati.

What we see at Dead Sea Beach
The must taken pose on Dead Sea – floating

Sebuah pertanyaan nakal melintas di benak saat melihat mereka yang mengapung. Jika manusia selalu mengapung, tentunya di Laut Mati selalu aman, tidak pernah ada yang tenggelam. Apakah benar begitu? Pertanyaan itu membuat saya googling dan terkejut juga mendapatkan jawabannya. Ternyata ada kasus ‘tenggelam’ di Laut Mati. Tapi tenggelam di sini tidak seperti tenggelam di perairan biasa, melainkan celaka (yang mungkin menimbulkan kematian) karena kehabisan nafas di dalam air. Faktanya, manusia bisa dengan mudah membalikkan badan, atau dengan bantuan gerakan kaki menghentak dasar di perairan biasa, tetapi di Laut Mati dengan kadar garam 10 kali lipat dari perairan laut normal, hal itu sangat sulit dilakukan dan sangat melelahkan karena kondisi pekatnya perairan. Kondisi manusia yang mengapung dengan posisi tertelungkup sangat berisiko tinggi di Laut Mati. Maka dari itu, di Laut Mati disarankan orang berenang dengan posisi telentang yaitu wajah, dada dan perut menghadap atas.

Selain bisa langsung mengapungkan manusia, konon lumpur Laut Mati merupakan salah satu skincare terbaik. Bisa jadi karena kandungan mineralnya yang jauh lebih tinggi dari perairan biasa. Namun ketika melihat ada teman rombongan yang membeli berbotol-botol ramuan dari Laut Mati sebagai skincare, saya tetap tak tergoda. Selain mahal (mata uang Jordan itu bikin mules kalau dirupiahkan!), saya menggunakan satu rule, jika kulit semua orang lokalnya sebagus yang dipromosikan, mungkin boleh dipertimbangkan untuk dibeli. Tapi, hmm… by the way, yang bernyawa memang tidak bisa hidup di Laut Mati, namun bukan berarti perairan itu bersih dari makhluk yang pernah hidup lalu tidak bisa meninggalkan Laut Mati itu kan…? Lalu, buat skincare di wajah? 🙂

Pemikiran itu terbersit karena mengingat kisah dalam Al Quran tentang peristiwa yang menimpa kaum Nabi Luth Alaihissalam yang konon menempati kota Sodom. Peristiwa itu terjadi karena mereka telah terus menerus melakukan perbuatan maksiat dengan saling menyukai sesama jenisnya. Bahkan tiga orang tamu Nabi Luth Alaihissalam juga menjadi sasaran keinginan mereka padahal ketiga tamu yang berwajah rupawan itu adalah malaikat yang menyamar menjadi manusia.

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (Al Quran, Surat Hud, ayat 82)

Sejauh yang saya tahu, konon kota Sodom dan Gomorrah itu sudah dimusnahkan hingga tak ada lagi jejaknya. Tetapi tetap saja, ada begitu banyak alasan bagi negeri-negeri untuk bisa mem”bumi”kan kisah yang tertulis di Kitab Suci itu. Ada penelitian yang mengatakan kota Sodom itu berada di wilayah Jordan, ada juga yang mengatakan ada di wilayah Israel. Artinya semuanya ada di sekitar Laut Mati. Bisa jadi karena kisah Sodom dan Gomorrah ini berkategori keburukan, maka tidak banyak negeri yang mau mengklaimnya (Lain halnya kalau bersifat positif dan keren, pastinya banyak negara berlomba-lomba mengklaim). Yang pasti, jika kita membuka Google Map, di bagian Barat Daya Laut Mati, di wilayah Israel, ada tempat yang dinamakan Mt. Sodom yang tak jauh dari pilar garam yang disebut sebagai Statue of Lot Wife. Apakah itu berkaitan dengan peristiwa di Kitab Suci atau tidak, wallahualam.

Saya memang tidak berlama-lama di Pantai Laut Mati, tetapi merasakan berdiri di atas kaki sendiri di tempat yang konon berlatar kisah yang ada di kitab suci itu, memang berbeda. Selain indah, rasanya kita diingatkan tentang kisahnya, tentang konsekuensinya. Juga tentang kekuasaan Allah yang Maha Besar. Berdiri di tempat terendah di muka bumi, membukakan mata hati. Air di depan mata tampak seperti air biasa, padahal tidak. Permukaan air di depan mata dan tanah yang dipijak, seperti tanah biasa, padahal secara sains tempat ini tempat terdalam di muka bumi yang bisa dijejak oleh manusia secara normal. Tentunya tidak banyak manusia yang bisa merasakan berada di tempat yang “ter” di dunia, tentunya di sini maksudnya adalah yang paling rendah.

Apalagi saya bisa menikmati wajah sunset yang indah di Laut Mati. Warna kuning keemasan akibat matahari tenggelam itu sangat luar biasa. Tidak banyak orang yang bisa menikmati sunset dari tempat yang berada di 400 meter di bawah permukaan laut. Dan saya termasuk orang yang sangat beruntung dapat mengalaminya. I am so blessed…

Sunset at Dead Sea, Jordan

Menjejak Jordan, Mengintip Cave of Seven Sleepers


Lamat-lamat dalam hati saya mendaraskan doa dalam penerbangan menuju Amman yang baru saja meninggalkan bandara internasional King Abdul Azis, Jeddah. Tidak lain kecuali harapan bisa kembali lagi ke Tanah Suci. Sebuah rasa yang sejak dulu saya selalu skeptis kini benar-benar menguasai hati. Dulu, saya tak pernah mengerti mengapa orang berkali-kali mengerjakan umroh dan berhaji, bukankah ibadah itu cukup sekali saja? Kini, setelah mengalami sendiri, saya paham bahwa rasa ingin berada di Tanah Suci itu yang begitu intim, begitu personal, begitu menyenangkan, semua itu seperti minum di saat dahaga dengan damai memenuhi jiwa. 

Kesadaran berada di pesawat yang sedang mengangkasa, melahirkam setitik rasa tak rela meninggalkan bumi tempat Tanah Suci berada. Saya menarik nafas panjang, tanpa membuka mata pun saya memahami diri ini dihadapkan langsung oleh hukum kefanaan. Tidak pernah ada yang abadi, sebuah awal senantiasa memiliki akhir, sebuah perjumpaan senantiasa berujung pada perpisahan. Dan ini saatnya…

Bersamaan dengan rasa yang keluar, jauh di sudut jiwa, serangkaian kata bijak dari Jalaluddin Rumi terasa mendenting-denting di benak seakan mengingatkan. Bukankah perpisahan hanya untuk orang-orang yang mencintai dengan matanya? Bukankah untuk orang yang mencintai dengan hati dan jiwanya, tidak akan pernah ada kata perpisahan? Sekali lagi saya menarik nafas panjang, melepas dengan ikhlas, menyambut rasa yang memberi semangat baru.

Setelah dua jam penerbangan Saudi Arabian Airlines dengan pesawat A320 itu akhirnya bandara megah Internasional Queen Alia, kota Amman, Jordan menyambut kami semua. Sebagai bandara terbesar di Jordan, kemegahannya langsung terasa apalagi tak banyak orang berlalu lalang. Entahlah, bisa jadi kelengangannya lebih terasa karena saya baru datang dari Jeddah yang kerap didatangi manusia dari berbagai negara. 

Belum cukup lama mengagumi bandara megah kota Amman, kami sudah diarahkan segera keluar bangunan indah ini. Yah, seperti umumnya perjalanan yang diatur oleh sebuah agen, tidak ada istilah santai selepas imigrasi Jordan. Bersamaan dengan koper-koper yang dimasukkan ke dalam bagasi, kami pun segera menaiki bus untuk kemudian bergerak menuju tempat-tempat wisata di Jordan. 

Ashabul Kahfi (Cave of Seven Sleepers)

Dari balik jendela bus, saya mengamati pemandangan gurun yang kering kecoklatan menghias perjalanan, yang sesekali disela oleh suara pemandu wisata. Kami memang menuju Gua Ashabul Kahfi yang terletak di Abu Alanda, dekat kawasan Raqim, sekitar 30 menit berkendara dari bandara. Konon, di sana merupakan tempat yang melatari kisah yang tertulis dalam kitab suci Al Quran. Kisah tentang Ashabul Kahfi atau dikenal juga The Seven Sleepers

Kawasan Ashabul Kahfi (Cave of Seven Sleepers)

Meski masih diperdebatkan keakuratannya, gua Ashabul Kahfi atau tertulis di gerbang dengan nama Cave of Seven Sleepers yang berlokasi di Jordan ini tetap berhasil membuat saya kagum. Gerbangnya sendiri melengkung cantik, menandakan adanya campur tangan dari dunia modern. Saya tersenyum dalam hati, Jordan tidak sendirian mengklaim memiliki gua Ashabul Kahfi karena Turki pun melakukan hal yang sama, bahkan lebih dari satu tempat (Ephesus, Afsin dan Tarsus). Bagaimanapun, saya sebagai pencinta segala sesuatu yang berbau sejarah kuno, bisa merasakan Ashabul Kahfi di Jordan ini begitu menguarkan rasa ancient. Rasanya hidung saya otomatis bergerak-gerak membaui batu-batunya, temboknya, suasananya, lalu membiarkan imajinasi menari lincah membayangkan tempat yang seakan terperangkap dalam waktu itu. 

Otomatis saya teringat perjalanan ke Lumbini, Nepal beberapa tahun lalu (baca tulisan saya tentang Nepal: Khata – Syal Putih dari Lumbini). Lumbini yang dipercaya sebagai tempat lahir Sang Buddha lebih dari dua millenium lalu, memiliki situasi struktur bebatuan serupa dengan yang terhampar di Ashabul Kahfi ini. Rasanya tak jauh beda. Tanpa perlu mengetahui secara ilmiah, dari rupa bebatuannya saja sudah terasa goresan sejarah besar kehidupan berabad-abad lalu di tempat saya berpijak.  

Di depan mata terhampar kawasan selayaknya sebuah situs purbakala yang sedang diekskavasi, dengan jalan setapak yang lebarnya hanya bisa dilalui oleh manusia. Bisa jadi dulu tanah ini juga dijejaki oleh tentara Romawi yang mencari ketujuh pemuda yang menolak perintah Raja itu. Ada yang masih ingat kisah Ashabul Kahfi ini? 

Gate of Ashabul Kahfi area

Tertulis dalam kitab suci, Ashabul Kahfi atau Tujuh Pemuda Yang Tertidur merupakan kisah manis tentang kekuatan iman dari tujuh pemuda penganut agama samawi yang konon terjadi beberapa abad sebelum kedatangan Nabi Isa ‘Alaihissalam

Kala itu, penguasa (ada yang menyebutnya Raja Decius dan juga Gubernur Daqyanus) dikenal sebagai orang-orang yang dzalim dan penyembah berhala. Dengan kekuasaannya, mereka bisa memaksa siapapun dan dengan cara apapun untuk menanggalkan iman akan Dia Yang Maha Esa untuk kembali menyembah berhala. Tak heran, kemarahan penguasa langsung saja  berkobar ketika mengetahui ada tujuh pemuda yang menolak perintahnya, meski salah satu diantara tujuh orang itu adalah kerabatnya.. Akibatnya tidak tanggung-tanggung, hukuman mati atas ketujuh pemuda itu menanti apabila dalam waktu dua hari mereka tidak mau mengubah keyakinannya. 

>Ketujuh pemuda itu tetap menolak dan memutuskan melarikan diri dan bersembunyi dalam sebuah gua di kawasan pegunungan. Seperti juga kisahnya, nama ketujuh pemuda itupun senantiasa diperdebatkan, termasuk apakah ada anjing yang konon bernama Qithmir dan bertugas menjaga pintu gua. Apapun itu, nyatanya ketujuh pemuda terselamatkan dari hukuman yang keji itu. Dia, Pemilik Semesta ini menunjukkan kuasaNya dengan membuat mereka tertidur selama 300 tahun Masehi atau 309 tahun Hijriah. 

Terbangun karena rasa lapar, ketujuh pemuda ini menyangka terlelap hanya sehari. Namun, ketika salah satu pemuda itu pergi ke kota untuk mencari makanan, alangkah terkejutnya dia karena kota sudah sangat berbeda. Selain itu, uang peraknya sudah tidak berlaku untuk membayar. Serta merta seisi kota gempar mendengar ceritanya karena dia adalah salah satu dari tujuh pemuda yang telah menghilang selama tiga abad. Penduduk kota ingat betul akan kisah turun temurun tentang tujuh pemuda yang menghilang karena tidak ikhlas menjual agama kepada penguasa dzalim penyembah berhala. Dan hari itu, salah satu dari ketujuh pemuda itu berdiri di antara mereka.

Sontak saja, berita kembalinya ketujuh pemuda itu tersiar seantero negeri. Raja yang berkuasa saat itu dan penduduk negeri menyambut mereka dengan meriah dan meminta mereka tinggal di kota. Namun mereka menolak dan tetap memilih kembali ke gua. Konon, sesampainya di gua, mereka bersujud dan memohon agar Pemilik Segala Kuasa bisa menurunkan rahmatNya dan mengizinkan mereka meninggalkan dunia fana. Tak ada yang mustahil bagi Pemilik Semesta. 

Tubuh mereka dikuburkan di dalam gua, yang bisa disaksikan adanya tujuh makam batu di dalam gua. Namun kini semua tulang yang tersisa ditempatkan di salah satu makam batu, yang di satu bagiannya diberi kaca tembus pandang, agar kita bisa melihat ke dalamnya.

-o- 

Tampak depan Gua Ashabul Kahfi, pintunya rendah & ceruk gaya Romawi, di bagian atas ada reruntuhan bekas mihrab masjid
Tempat tidur sekaligus makam batu dalam gua
Hiasan dinding di dalam gua
Showcase of artefacts in the cave.

Dengan berhias ceruk khas Romawi di dekat pintu gua yang rendah, udara lembab gua yang minim sirkulasi langsung menyergap hidung ketika saya melangkah memasukinya. Gua itu tak luas, tapi cukup untuk dihuni tujuh orang. Ada bagian depan gua dan di bagian belakangnya dengan level yang lebih rendah merupakan kubur batunya. Saya mengintip ke lubang kaca, serupa tulang masih terkumpul di dalam sana dan sebuah showcase tampak diletakkan di sana untuk menyimpan segala macam artefak pendukung kisah. Entahlah, bisa jadi hanya tiruan, mungkin juga asli… Rasanya semua isi kisah terasa jumpalitan di benak. Otak ilmiah yang bertumbuk dengan kisah reliji ini bermuara pada selarik pemahaman, bisa jadi sebidang tempat ini memang terlipat dalam waktu. Wallahualam bissawab. Kebenaran hanyalah milik Allah.

Saya tidak lama berada dalam gua karena ingin melihat bagian luar yang juga terlihat menarik. Selain kucing cantik berbulu lebat yang sedang berjemur, yang terhampar hanyalah bebatuan belaka. Namun bukan sekedar bebatuan tanpa kisah karena awalnya dulu di atas gua konon dibangun sebuah gereja kecil. Bisa jadi demikian karena ada perkembangan kependudukan di wilayah yang kini masuk ke negeri Jordan itu. Tetapi pada akhirnya, seperti umumnya perjalanan waktu di negeri-negeri Timur Tengah, gereja kecil tadi dikonversi menjadi masjid. Menariknya, mihrab masjid tepat tepat di atas pintu depan untuk masuk ke gua, yang tentunya menghadap kiblat.

Meninggalkan bebatuan kuno itu, saya melangkah menuju Masjid Al Kahfi, yang didirikan di kawasan yang sama yang letaknya lebih atas. Kompleks Masjid itu sangat megah dan sangat kontras dengan lingkungan kuno Gua Ashabul Kahfi. Seperti bumi dan langit, yang satu menunjukkan modernitas, lainnya merujuk pada kekuatan alam. 

Setelah mendirikan shalat di Masjid itu, kami melangkah keluar menikmati sesaat waktu bebas untuk mengabadikan tempat bersejarah sekaligus tempat ibadah yang tak kalah indah. Sayangnya, lagi-lagi tak bisa lama, karena bus telah menunggu kami menuju persinggahan berikutnya…

Tempat terendah di muka bumi.

Masjid di atas kawasan Ashabul Kahfi
Pemandangan dari arah Masjid ke lembah

Jeddah Sekejap Mata


Karena tak pernah menggunakan jasa agen dalam melakukan perjalanan, saya telah berjanji pada diri sendiri untuk ‘patuh’ pada itinerary yang dibuat agen perjalanan ketika berangkat Umroh meskipun pada akhirnya saya sering sekali geleng-geleng kepala dalam perjalanan itu. Takjub, dalam arti yang bukan positif. Bagaimanapun, karena ini adalah perjalanan ibadah, -perjalanan ke relung-relung hati antara manusia dan Tuhannya-, saya menerima semua peristiwa yang terjadi sebagai sesuatu yang memperkaya jiwa.

Semua yang terjadi patut disyukuri, meskipun tidak selalu menggembirakan hati. Karena kenyataan yang paling mendasar bagi saya, perjalanan ini sendiri merupakan sebuah kemewahan yang tak terperi, rejeki yang luar biasa dan semua yang tidak sesuai dengan harapan, tidak mengubah nilai kemewahan dan keluarbiasaan perjalanan ini. Bahkan hal-hal yang tak menggembirakan hati itu pun tak ada artinya sama sekali.

Waktu memang berpacu, hari-hari ibadah di Madinah sudah berlalu dan kini, tak lama lagi kami pun harus mengucap selamat berpisah kepada Mekkah, tempat kami berhari-hari bermuhasabah. Siang atau malam, di kota yang di dalamnya terdapat Ka’bah dengan aliran manusia yang tak pernah berhenti bermunajat kepada Allah, Pemilik Semesta.

Datang juga saatnya. Roda bus bergerak perlahan, seakan mengetahui betapa berat hati kami menjauh dari kawasan Masjidil Haram. Tapi sebagaimana tertulis dalam begitu banyak kitab kebajikan, setiap pertemuan memiliki perpisahan, setiap awal berujung pada akhir. Demikian juga perjalanan indah di Mekkah ini. Kawasan yang begitu bercahaya dan berpatokan pada jam di menara tertingginya, terlihat makin menjauh. Di pagi yang belum datang dan masih berselimut gelap, bus kami telah menyusuri aspal, perlahan meninggalkan kota Mekkah dan membuat mata basah. Kota kecintaan ini akan membuat berjuta rindu, penuh harap akan kesempatan-kesempatan untuk kembali lagi mengunjungi kota yang ada di hati setiap Muslim ini.

Sungguh rasanya tak ingin menengok ke belakang karena cahaya kota Mekkah makin memudar…

Menit-menit berlalu dalam sepi, sesekali terdengar bisik antara anggota rombongan, seakan tak mau mengganggu ketenangan mereka yang kembali terlelap di dalam bus. Saya tak mampu memejamkan mata kembali. Rasa galau berpisah dengan Mekkah itu masih terasa, apalagi di saat yang sama bus ini menuju Jeddah. Sebuah wajah otomatis menyeruak keluar dari dalam jiwa. Jeddah adalah tempat almarhum Papa berpuluh tahun lalu berlabuh, mengantar mereka, -para calon haji-, meraih impian menjejak Tanah Suci untuk menunaikan kewajiban agamanya. Perjalanan yang ditempuh dengan begitu banyak kesulitan dan perjuangan, mengarungi samudera, melawan ombak ganas, -bukan hitungan jam atau hari-, melainkan berminggu-minggu. Menggenggam harap meski derita datang silih berganti.

Perjuangan mereka itu berbanding terbalik dengan apa yang dialami jaman sekarang. Dari Tanah Air tak sampai 12 jam terbang, jamaah bisa sampai di Tanah Suci, dengan segala anugerah makan dan minum yang enak, kendaraan yang nyaman dan semua kenikmatan lainnya. Bagi saya, apalah artinya koper yang hilang (baca di sini kisahnya) dibandingkan dengan segala derita dan perjuangan yang dialami calon Haji pada jaman Almarhum Papa membawanya? Ada rasa syukur yang begitu berlimpah, namun juga bercampur dengan kerinduan yang amat dalam kepada beliau yang telah berpulang setahun yang lalu. Secara otomatis lamat-lamat saya membaca Al Fatihah dan serumpun doa untuk beliau yang tercinta.

Sebuah Bangunan di Jeddah

Tak perlu waktu lama, pijar lampu makin menerangi jalan raya menandai wilayah kota Jeddah telah dimasuki. Bangunan makin padat dan makin terasa internasional. Berbeda dengan Mekkah, Jeddah memang dapat dimasuki oleh semua orang dari berbagai agama, berbagai komunitas.

Masjid Juffali

Subuh masih merayap dalam senyap ketika bus terasa melambat. Ternyata bus meliukkan raga besinya itu ke halaman sebuah Masjid agar kami bisa menunaikan ibadah shalat Subuh. Dari atas bus sudah terlihat Masjid begitu cantik dengan cahayanya, teramat kontras dengan warna Subuh yang masih gelap. Berada di seberang Kantor Urusan Luar Negeri yang terpisah oleh jalan raya, tempat ibadah umat Islam ini rupanya dibangun tahun 1986 oleh seorang saudagar Arab yang amat kaya bernama Syeikh Ibrahim Al Juffali. Tak heran, dengan sentuhan tangan Abdul Wahid al-Wakil, seorang arsitek terkenal berkebangsaan Mesir, masjid ini terlihat menawan dengan 26 kubah kecil-kecil dengan satu menara tinggi di sudut Timur.

Masjid Qisas
Di dalam masjid Qisas ( tempat perempuan)

Namun di balik segala keindahan yang memanjakan mata itu, Masjid itu berselimut peristiwa-peristiwa getir dan muram yang terjadi sejak dulu (dan rupanya hingga kini). Di sebuah pelataran di halaman Masjid ternyata merupakan tempat berlangsungnya hukuman pancung terpidana yang dilakukan oleh seorang algojo. Terdengar begitu menyeramkan dan barbar, namun memang itulah yang terjadi di Masjid Juffali atau bagi Jamaah Indonesia lebih terkenal dengan nama Masjid Qisas.

Qisas sendiri memang merujuk pada istilah dalam hukum Islam yang artinya pembalasan. Dengan kata lain, memberikan hukuman setimpal. Mungkin lebih sering kita mendengar istilah mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa. Begitulah, apabila seseorang terlibat dalam kasus pembunuhan, maka dalam aturan Qisas, keluarga korban memiliki hak untuk meminta hukuman mati kepada pelaku dengan cara dipancung di depan umum dan di bumi Arab ini dilaksanakan seusai shalat Jumat, di pelataran tadi yang berukuran 5 x 5 meter berlantai keramik.

Jangan tanyakan prosesnya karena saya tak pernah (dan takkan mau) menyaksikannya. Konon saat pelaksanaannya, sang Algojo akan berdiri dengan jarak tiga langkah dari terpidana. Keluarga korban ada di bagian depan. Ketika tiba waktunya, Algojo mulai melangkah, langkah pertama, kedua dan ketiga. Jika tidak ada tanda, aba-aba atau pergerakan dari keluarga korban, maka Algojo akan menuntaskan pekerjaannya. Namun jika ada pergerakan berupa tangan atau mulut dari keluarga korban, maka Algojo segera menghentikan esksekusinya. Pergerakan, tanda atau aba-aba dari keluarga korban itulah yang menjadi symbol atau makna bahwa keluarga korban telah memaafkan terpidana.

Membayangkan saja sudah membuat perut terasa mulas, tetapi begitulah… Sengeri itu pelaksanaannya namun sesederhana itu pula pengampunannya.

Namun kelihatannya proses eksekusi ini dinilai ‘setengah hati’. Di satu sisi merupakan penerapan dari sebuah intepretasi hukum Islam dan di sisi lainnya adalah pertimbangan politik negeri itu. Karena tidak sedikit petugas intelijen Kerajaan Arab Saudi diterjunkan di antara massa yang menyaksikan peristiwa eksekusi itu sebagai pengawas untuk memastikan proses eksekusi itu tidak tersebar ke dunia luar. Hukumannya tidak main-main karena kebebasan adalah taruhannya. Seseorang bisa langsung dipenjara jika ketahuan membocorkan peristiwa itu ke dunia luar. Ngeri kan?

Setelah cukup waktu di Masjid Qisas, kami melanjutkan perjalanan menuju bandara internasional King Abdul Aziz. Tetapi sebelumnya bus berhenti sejenak di pinggir jalan agar Pak Ustadz bisa memberitahu secara sekilas. Rupanya kami berhenti di luar pagar dari tempat yang dipercaya sebagai makam dari perempuan pertama yaitu Siti Hawa.

Dari atas bus yang hanya berhenti beberapa detik, apalagi hari masih gelap serta pencahayaan yang temaram, saya hanya bisa melihat permukaan dinding yang panjang. Apakah itu dinding pembatas sebelum masuk ke kawasan makam atau bukan, saya sendiri tak bisa memastikan. Seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya, saya hanya bisa menganggguk-angguk pada apa yang saya dengar dari Pak Ustad dan semampunya berdoa dalam hati.

Seperti yang diketahui semua orang, sebagai manusia perempuan pertama, Siti Hawa merupakan istri dari Nabi Adam AS. Saat musim haji, makam Siti Hawa ini merupakan salah satu destinasi yang ramai dikunjungi oleh para peziarah seluruh dunia. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang meragukan kebenaran tempat itu sebagai makam dari ibu seluruh manusia di dunia karena kurangnya bukti.

Mall of Arabia, JEDDAH
Jeddah International Airport

Roda bus bergerak kembali menyusuri jalan-jalan di kota Jeddah. Sebuah bangunan besar terlewati, hmmm… Mall of Arabia, mall yang terbesar di kawasan ini, terlihat sepi. Warna keemasan makin merona di ufuk Timur. Terasa ada denyut dalam hati yang membuat saya menarik napas panjang. Jauh di dalam lubuk hati, saya menggerakkan jemari dan melambaikan tangan ke arah pelabuhan yang telah mengukir jejak almarhum Papa berpuluh tahun silam.

Hati terasa menghangat membisikkan kata, “Saya telah sampai di Jeddah, Pa. Tapi maaf, tak bisa menjejak di pelabuhan, di tempat kapal Papa dulu bersandar. Tapi tidak apa-apa ya Pa, bukankah jejak-jejak kita di kota yang sama selalu bertaut dan menjadi kenangan selamanya?”

Satu tarikan nafas melepas ikhlas. Langit Timur terlihat makin terang, bandara internasional Jeddah di depan mata seakan membuka tangannya menyambut kedatangan kami untuk berhenti sejenak sebelum terbang meninggalkan negeri padang pasir ini. Tak lama lagi, dalam hitungan jam, bibir ini akan berucap, Sampai Jumpa lagi Tanah Suci…

Airport in the morning