Nepal – Berteman Sakit, Menjejak Poonhill


Melanjutkan kisah trekking di Nepal (kisah sebelumnya bisa dibaca disini)

Dingin masih menusuk tulang walaupun selimut tebal sudah menutup badan yang berlapis pakaian. Suara-suara riuh itu terdengar lagi, terdengar dekat dan tidak bisa diabaikan. Mau tidak mau saya membuka mata dan menemukan kegelapan dimana-mana. Suara itu tidak jauh, bahkan dekat sekali… Dari balik selimut… Dari perut saya! Seketika itu juga terasa perut yang memberontak minta isinya segera dikeluarkan. Duh tengah malam begini? Gelap lagi!

Akibat Memenangkan Nafsu

Sambil meraba-raba headlamp dan kantong peralatan mandi, semakin terasa yang di dalam perut tak dapat ditahan lagi. Harus cepat. Aduh, mengapa kunci pintu guesthouse ini sulit sekali dibuka pada saat harus bergegas? Saya tak peduli untuk menguncinya kembali dari luar, terlalu sulit. Saya hanya menutupnya lalu setengah berlari kearah toilet yang untungnya tidak jauh dari kamar sambil membiasakan mata melihat dengan cahaya headlamp. Setelah menggantung kantong peralatan mandi, membuka lapisan-lapisan pakaian secara cepat, saya langsung duduk di kloset. Tak peduli dengan suara-suara ajaib yang menyertai keluar serta hawa dingin yang menyeruak dari sela-sela toilet serta dinginnya air seperti es saat membersihkan, saya hanya ingin pemberontakan isi perut ini cepat selesai lalu melanjutkan tidur di balik selimut hangat. Namun rasa sakit melilit di perut ini membuat saya harus sedikit berlama-lama dalam kegelapan, membuat hantu-hantu Nepal sepertinya terbahak senang melihat saya menderita.

Acara ke toilet dalam kegelapan selesai juga akhirnya walaupun yaa… begitulah. Dengan tertatih saya kembali ke kamar dan langsung masuk ke balik selimut. Mencoba tidur kembali meskipun masih terasa sisa-sisa pemberontakan dari dalam perut. Dan rasanya baru terlelap sebentar, saya harus bangun lagi karena pemberontakan dari dalam perut kembali tak tertahankan. Berulang! Sekitar dua jam dari kali yang pertama saya kembali berada di toilet yang sama, kembali menderita dengan ‘keharuman’ bekas saya juga. Uh! Saya menyumpah-nyumpah nafsu minum dua cangkir susu coklat sebelum tidur. Walaupun hangat dan enak, jika tahu akan begini, tidak akan saya minum setegukpun!

Berteman Sakit Menuju Poonhill

Setelah kembali ke kamar dan menegak imodium, rasanya baru tertidur sesaat, Dipak sudah mengetuk kamar, membangunkan, agar bersiap-siap berangkat ke Poonhill menyaksikan matahari terbit. Dengan malas saya menjawab, lalu terhuyung dengan mata panda menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka. Mandi? Lupakan dulu!

Mengenakan down jacket karena udara dingin terasa menggigit, saya merasa suara-suara gila dari dalam perut sudah berkurang banyak walaupun belum hilang sepenuhnya. Imodium itu bekerja cepat, berhasil membentengi kebocoran tapi menyisakan rasa tak enak dalam perut. Saya kemudian cerita kepada Dipak mengenai masalah perut ini. Keprihatinan tampak menghias wajahnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya karena saya merupakan titik terlemah dalam rombongan dan kini harus ditambah dengan penyakit yang menggerus daya tahan.

Steep stonestairs on the way to Poonhill
Steep stone stairs on the way to Poonhill

Perjalanan menuju Poonhill dalam kegelapan itu dimulai dengan tanjakan tajam kemudian berlanjut dengan tangga-tangga lagi. Diterangi cahaya dari headlamp, berkali-kali saya menepi memberi jalan rombongan lain yang menyusul sambil mengambil kesempatan mengatur nafas. Suara-suara mereka dalam berbagai bahasa yang tadinya terdengar di belakang sekarang semakin menghilang menandakan mereka telah jauh di depan. Saya menyesalkan latihan fisik yang tetap saja terasa tidak cukup, karena tanjakan-tanjakan tanpa jeda itu rasanya terus menertawakan saya hingga semburat cahaya menghias arah Timur. Fisik benar-benar terasa diuji, tidak mudah trekking dengan kondisi perut melilit. Konsentrasi buyar blasss, bingung menentukan prioritas antara perut dan mengatur nafas.

Dipak masih menemani walau kadang ia berjalan di depan lalu menanti dengan sisa kesabarannya. Untuk kesekian kalinya, saya berhenti, tak mau memaksakan diri. Saya pernah blackout di tangga Bromo ketika memaksa diri naik saat tidak sehat, dan rasanya tak ingin mengulang kejadian itu, karena saat ini tak ada suami yang mendampingi. Saya hanya menuruti alarm tubuh, berhenti pada saat harus berhenti.

A Lovely Memorial
A Lovely Memorial

Langit semakin terang walaupun awan tebal menutupi jajaran Himalaya. Melihat awan-awan itu saya ge-er seakan alam turut iba terhadap saya. Tak mau menyerah begitu saja, saya mencoba memotret keadaan sekitar yang berawan namun menyembunyikan keindahan. Di sebuah tempat memorial saya membaca dan ikut mendoakan dia yang telah pergi. Sebuah ‘pembenaran’ untuk berhenti dan mengatur nafas, tetapi sesungguhnya, jauh di dalam diri terjadi pertempuran sengit antara menyerah pulang atau melanjutkan bersama ketidaknyamanan perut. Saya cenderung memilih yang terakhir karena perjalanan ini telah dimulai dan harus diselesaikan. Dan kecenderungan itu mendapat dukunga karena beberapa meter di atas terlihat Pak Ferry melambai sambil memberi tanda di tempatnya pemandangannya jauh lebih indah.

Akhirnya sampai juga saya di tempat Pak Ferry tadi melambai, yang tak jauh lagi dari puncak Poonhill.. Semua senang saya akhirnya menjejak tempat itu, sementara saya tak merasa gembira, entah kenapa. Orang-orang yang tadi menyusul saya kini telah turun dari puncak Poonhill. Saya tergelak dalam hati, sementara saya belum sampai ke Poonhill, mereka sudah turun.

A Glimpse of Mt. Dhaulagiri
A Glimpse of Mt. Dhaulagiri
The Beautiful Annapurna
The Beautiful Annapurna

 

Poonhill – 3210mdpl

Momen matahari terbit, -yang sayangnya sejak awal sudah tertutup awan-, memang sudah lewat ketika akhirnya saya sampai juga di puncak Poonhill. Semua sahabat menyalami atas pencapaian ini. Menjejak 3210 meter di atas permukaan laut, di ketinggian tertinggi sepanjang hidup yang saya capai dengan kaki sendiri, -tanpa pernah sekali pun mendaki gunung dimanapun-, di sini,  di bumi Nepal tempat  gunung-gunung tinggi dunia bersemayam. Saya berdiri di tempat itu dengan seribu satu rasa. Yang pasti sedikit sekali rasa bangga, banyak malunya karena untuk mencapainya lebih banyak rasa lelah, rasa mual hendak muntah, sakit melilit dan ingin tidur… Ah, saya tak ingin berpikir lebih jauh soal sakit ini.

No view at Poonhill
No view at Poonhill
Mountain Map
The mountains we should see at Poonhill

Teh hangat yang tersedia sangat membantu menghangatkan tubuh. Sambil duduk menghadap pemandangan putih yang seharusnya indah, saya hanya bisa tersenyum lebar melihat warna putih yang menghiasi pandang. Apa yang indah dari pegunungan Himalaya yang tertutup kabut dan awan tebal? Dua gadis pejalan duduk bersila berbicara keras kepada alam, memohon awan menyibak dan memperlihatkan keindahan gunung. Ah, semua orang disini pasti berharap sama, termasuk saya.

Saya duduk dalam diam, berharap sejenak bisa melihat gunung berpuncak salju di Poonhill. Tak mungkin berlama-lama disitu karena jika perut memburuk, toilet tidak menyediakan air. Sejumput doa untuk melihat keindahan alam itu terucap dalam hati, sambil meringis merasakan perut yang kembali melilit.

Dalam hitungan menit setelah doa yang terucap itu, awan-awan sedikit menyibak membuat lubang dan memperlihatkan puncak gunung bersalju yang disembunyikan dibaliknya. Saya benar-benar terkesima dengan apa yang terpampang di depan mata. Pemandangan indah itu hanya sesaat tak sempat diabadikan. Kedua gadis langsung berteriak memohon agar awan kian menyibak hingga menampakkan seluruh gunung. Rasa tak enak di badan langsung menghilang. Ini hadiah! Saya meremang, merasakan berada dalam pusaran anugerah yang datang tiba-tiba itu. Saya tahu, ini hanya sesaat, hanya sebagai tanda Kebaikan dari Pemilik Semesta dengan hikmah yang terserak.  Hanya sesaat saja, sehingga ketika awan kembali menutupinya, saya hanya bisa meluruh meraba-raba memaknai hikmah dari yang terjadi.

Saya merasa ditegur dengan keras. Bukankah ketika sampai di Puncak Poonhill, saya tak banyak bersyukur pada tubuh yang telah bekerja keras? Saya yang berharap tinggi untuk melihat pemandangan terbaik di Poonhill padahal sepanjang perjalanan banyak keindahan lainnya. Seperti di pelataran di bawah Puncak Poonhill, -tempat Pak Ferry sebelumnya melambai-, juga indah bahkan jauh lebih indah dan lebih lama memperlihatkan pegunungan bersalju dibandingkan puncak Poonhill. Saya juga mengabaikan keindahan kabut yang menari-nari di lembah-lembah.

Above the clouds
Above the clouds
Serene morning on the way to Poonhill
Serene morning on the way to Poonhill

Saya hanya berfokus memanjakan pada melilitnya perut, bukan pada keindahan yang terpampang sepanjang perjalanan. Saya telah lalai. Tetapi karena Kasih SayangNya, alam pun berbaik hati memperlihatkan apa yang seharusnya dilihat di Poonhill walaupun sekejap, -sebagai pengingat-, bahwa sesungguhnya ketika manusia meminta akan dijawab langsung.

Sambil mengerjap-ngerjapkan panasnya mata, saya paham arahnya. Perjalanan ini selalu memperkaya jiwa. Lagi-lagi diingatkan bahwa destinasi perjalanan bukanlah segalanya. Saya terdiam, menyadari kelalaian dan ikhlas menerima apapun yang akan terjadi dalam hari-hari ke depan ini.

Menit-menit berlalu dan waktu juga yang membuat kami akhirnya memutuskan turun. Kali ini saya menikmati perjalanan turun yang terasa sangat cepat untuk sampai ke hotel. Entah kenapa perasaan saya berdesir kencang saat melihat tumpukan-tumpukan batu yang disusun rapi di beberapa tempat. Ketika sampai hotel saya googling mengenai tumpukan batu ini, -yang pernah juga saya lihat di Angkor Wat, Jepang, Laos, dll.-, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Cairns,

Cairns represent a trail marker that guides one through uncertain areas in life.
They provide guidance, hope, balance, continuity and confidence on the journey down the path of life – (John P Kraemer)

P1050683
Found many cairns on the way to Poonhill

 

Di Simpang Perjalanan

Sambil mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan, di hotel pikiran saya berkecamuk. Membaca wajah Dipak sepanjang perjalanan Poonhill pulang pergi, sepertinya ada keraguan khususnya terhadap kekuatan saya untuk pergi ke Annapurna Base Camp, apalagi itinerary yang disusun sangat ketat. Ketika ada kesempatan, saya langsung menanyakan kepadanya dan ia meminta saya untuk melihat perkembangan perjalanan hingga ke Chhomrong walaupun sempat ia mengatakan bahwa perjalanan ke depan tidak bisa dibilang mudah. Saya tersenyum mendengar jawaban tak langsungnya yang tidak merekomendasi saya untuk ke ABC.

Namun bersamaan dengan itu, perasaan saya berdesir halus merambat jiwa. Saya teringat pada tumpukan batu (cairns) yang sejak pagi menarik perhatian mata dan terus menari-nari di benak. Dipak tak tahu mengenai hal ini, tidak ada seorangpun yang tahu undangan untuk melakukan perjalanan ke ABC ini. Tumpukan batu itu sepertinya penanda agar tetap yakin dan percaya.

Ini adalah perjalanan saya dan akan sampai ke sana, bagaimanapun caranya.

Dari jendela lebar di hotel Sunny Ghorepani, saya melempar pandang ke arah pegunungan yang tertutup awan. Perjalanan ini sudah dimulai dan saya hanya perlu percaya saja.

Seperti dulu, seperti yang sudah-sudah…

(bersambung)

—-

Masih ada kejadian seru lagi di cerita berikutnya, semoga saja gak ada prioritas lain yang menyalip 😀

WPC – We Want To See The Scenery Too


Buffaloes blocked the trekking way

I was on my trekking to Chomrong in Annapurna Area, Nepal, when the buffaloes blocked the way, again. It was not the first time that buffaloes blocked the trekking path. They were resting and sitting on the middle of the trail, enjoying the warm sunshine. They’re cheeky, looked at me for a while and seemed to say to me, “We want to see the scenery too…”

WPC – A Temporary Splendor in Bangkok


The Crematorium

Always bringing back the good memories of my first solo-trip, I love to travel to Bangkok. Therefore, last week I made an unplanned weekend getaway back to the city that recently held a cremation ceremony for the late King Bhumibol Adulyadej.

I was amazed when arrived at the cremation area which is located in Sanam Luang, -usually just a field park-, adjacent to the Grand Palace complex. All temporary structures there are so amazing, with the shiny golden royal crematorium and supplementary structures that cover almost two-thirds of the 30-acre ground.

This magnificent Royal Crematorium is modeled after the imaginary of Mount Sumeru, the center of the universe in Buddhist cosmology and was influenced by Hinduism as deeply rooted in the ancient Thai kingdom for centuries. In the center, the height of main structure is about 50 meters from the ground, usually made of wood with steel structure inside. The myth heavenly pond is found around the base of royal crematorium and decorated with many mythical creatures and auspicious animals, namely elephants, horses, cows, and lions.

I know the it is subject to change but this grandeur Royal Crematorium and other components will be scheduled to completely dismantled in the end of November 2017.

Temporary Surround Building

Temporary

Nepal – Annapurna Trekking, Menuju Ghorepani


Duhai Pemilik Keindahan, demi Keagungan NamaMu, benarkah yang kulihat melalui kedua biji mata ini?

Setelah kemarin berlelah-lelah, hari ini dengan tak berkedip saya membiarkan mata bermanja-manja memandang datangnya pagi bersama seluruh keindahannya melalui jendela kaca penginapan sederhana itu. Di tempat ini, fasilitas hotel bintang lima ataupun penginapan sederhana, semuanya luruh tak bermakna, terbanting oleh pemandangan indah yang terhampar di depan mata. Saya menggigil dengan sendirinya, relung bukit hijau (yang kalau di Indonesia sudah disebut gunung) yang berjajar tinggi membentuk lembah sempit sebagai latar depan dengan gunung berpuncak salju tepat di tengahnya. Melihat ini dari penginapan sederhana membuat mata terasa panas. Terundang untuk menyaksikan keindahan ini, saya merasa sangat beruntung.

Selesai bersiap dengan mandi secepat kilat menggunakan air sedingin es, pemandangan gunung berpuncak salju telah hilang tertutup awan. Saya tak menyesalinya karena tahu di sisi lain dari penginapan ini masih menyimpan pemandangan indah. Lagi-lagi ada semburan rasa syukur yang melesak dari dalam. Bumi tercipta dengan amat indah di setiap sudutnya, hanya manusia dengan keserakahan dan kesombongan kerap membuat buruk wajahnya.

Pagi itu saya menikmati sarapan dengan keindahan wajah bumi yang berlalu perlahan setiap detiknya. Undangan perjalanan ini sungguh meluluhlantakkan rasa, sering tak sadar saya menggeleng-gelengkan kepala seakan tak percaya sampai sejauh ini hanya menggunakan kaki sendiri. Lalu dengan kaki yang sama, trekking menuju Ghorepani akan dilanjutkan, entah kejutan apalagi dalam perjalanan hari ini.

Belum lama berjalan meninggalkan Pratap Guesthouse, di ujung sebuah pendakian saya melihat seorang perempuan paruh baya duduk di kios sederhana, tempat donasi pendidikan yang bangunan sekolahnya tampak lebih bawah dari jalur trekking. Saya merasa tertampar di hati. Ketika saya mampu mengeluarkan sekian juta Rupiah untuk ke Nepal, adakah bagian untuk masyarakat lokal yang menjadi haknya, apalagi setelah dihajar gempa yang meluluhlantakkan negeri indah ini? Bukankah semua manusia berhak mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang lebih baik?

Started from dooooown there

Saya tak menyesal perjalanan terhenti beberapa saat, bahkan saya mendapat sebuah khata (selendang putih) dan tika di dahi. Melihat itu, Dipak tersenyum sambil berkata, “you got the blessings for this trip”. Ah, entah kenapa tiba-tiba saya merinding tak jelas (setelahnya baru saya tahu saat bertemu Pak Ferry yang berjalan sekian menit di depan saya, -yang merasa surprise melihat tika di dahi dan khata yang melingkar di leher saya-, karena ia merasa tak melihat atau melalui kios sederhana itu!). Dia mungkin tak melihatnya dan saya hanya beruntung bisa berkesempatan, seperti dua tahun lalu saat menerima khata putih di Lumbini. Bukankah tidak ada peristiwa yang kebetulan?

Saya kembali melangkah sambil memperhatikan hewan-hewan jinak di rumah penduduk. Ada ayam yang terlihat sangat montok bertengger di atas pagar. Matanya melirik saya seakan memamerkan tubuhnya yang diatas rata-rata. Saya terkesima, entahlah, mungkin Pemilik Semesta memberi penglihatan tentang keindahan makhluk yang kehilangan nyawa karena sering saya santap (dan benarlah, setelahnya hingga kini setiap saya makan ayam, saya jadi teringat si montok yang pamer tubuh itu).

Baru melangkah tak jauh dari si montok, saya sampai di sebuah bangunan sederhana di sudut jalan. Saya terkesima lagi, di Nepal saya tak akan heran melihat rumah ibadah Hindu atau Buddha di banyak tempat, tetapi menemukan sebuah gereja di desa kecil yang terpencil di pelosok pegunungan merupakan sebuah kejutan yang menyenangkan. Saya terbayang para misionaris yang membangunnya dan memelihara komunitasnya yang tentu bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Tetapi semua yang tampak tak mungkin bagi manusia, sama sekali bukan hal yang mustahil bagi Pemilik Kuasa. Pastilah karena kekuatan dan semangat iman, bangunan sederhana ini bisa berdiri. Sayangnya karena pagar terkunci, Pak Ferry hanya bisa melakukan ritual singkat dari luar pagar.

The Church

Tak terasa rumah-rumah mulai tertinggal di belakang dan jalan setapak itu semakin menanjak. Tangga batu pun mulai terbentang panjang di depan mata, seakan menertawai saya yang langsung patah semangat. Keindahan pagi dalam sekejap mata memudar tergantikan oleh bayangan kehabisan nafas lagi seperti kemarin! Uh, ujian fisik lagi.

Lalu seakan menghibur untuk memberi semangat baru kepada saya, alam menunjukkan kasih sayangnya dengan menurunkan gerimis kecil. Saya terpesona dengan berkat ini, seperti yang sering terjadi dalam kehidupan saya sehari-hari, awan yang tiba-tiba menutup jalur matahari saat saya berjalan di panas terik atau angin yang berhembus lembut saat saya kegerahan. Tanpa sadar saya tersenyum merasakan titik-titik air yang menerpa kulit dan membuat lebih nyaman berjalan. I’m so blessed.

Gerimis semakin terasa sehingga Dipak menyarankan untuk memasang rain cover pada semua ransel lalu melanjutkan perjalanan yang naik, naik, naik lagi… Melihat saya yang mulai kehabisan nafas, Pak Ferry mengusulkan untuk ‘tea-break’ yang tentu saja disambut gembira oleh saya. Apalagi warung tea-break ini menyediakan menu yang saya rindukan, sejenis mie kuah dicampur telur. Walaupun tidak bisa menyamai kenikmatan makan indomi telur di Indonesia, saya bisa menyantap mie hangat versi Nepal di antara dinginnya udara.

Setelah mendapat asupan mie hangat, kami berlanjut melewati Banthanti, desa tempat seharusnya kami menginap semalam.  Kondisi jalan setapak menjadi lebih bersahabat, entah karena efek mie hangat tadi atau memang jalannya tidak sekejam sebelumnya. Yang pasti dikenal sebagai Nepali flat, bagi orang Nepal jalan yang menanjak landai itu dibilang datar, walaupun bagi orang kota seperti saya tetap saja menanjak yang membuat menderasnya keringat. Tetapi lagi-lagi saya mendapat berkah karena berada di hutan yang melindungi dari panas terik. Gemericik air sungai dan cantiknya bunga Rhododendron walaupun musim berkembangnya sudah berakhir, membuat saya merasa lebih dekat dengan alam.

Selepas hutan, saya berhenti sejenak di dekat sebuah bangunan kayu, karena ada kepala kambing melongok keluar dari celahnya. Ah, kambingpun ingin melihat pemandangan indah. Bahkan seekor kepik berwarna cantik terlihat berjalan pelan di atas batu gunung yang sangat besar. Tiba-tiba saya menyadari begitu banyak makhluk yang jarang saya lihat di kota menjadi terlihat di depan mata. Bahkan kupu-kupu, kadang lebah dan serangga-serangga kecil lainnya entah karena pengaruh keringat atau apa, selalu mendekat dan terbang di dekat wajah saya. Beberapa kali saya mengibas gemas dan mencoba menghindarinya, namun akhirnya menyerah dan membiarkan mereka terbang lalu lalang di dekat wajah. Kalaupun terlalu dekat, saya mengibas penuh sayang, everything likes me, included the insects!

Memasuki hutan lagi. Kini suara gemericik air semakin kuat. Sebuah air terjun kecil terlihat di ujung jalan yang berpagar besi melindungi pengunjung yang menikmati pemandangan. Walaupun indah dan menyegarkan, kami tak bisa lama menikmati karena gerimis turun lagi. Kami mempercepat langkah untuk sampai ke Nangenthanti, tempat untuk makan siang. Walaupun akhirnya kami berhamburan lari ke rumah makan terdekat ketika hujan menderas. Untung sudah dekat dan dari dalam rumah makan kami lihat hujan turun semakin tak terkendali diiringi suara ribut. Baru saya sadari itu bukan hujan biasa melainkan hujan es. Benar, hujan es! Tidak besar, tetapi cukup terlihat.

Menyaksikan turunnya hujan es dari dalam rumah membuat atmosfer terasa sendu. Fisikpun tergerus habis, selera makan turun drastis. Sebagai guide, Dipak meminta saya makan lebih banyak untuk menghindari AMS (Altitude Mountains Sickness). Masalahnya saya termasuk orang yang tidak suka makan ketika melakukan perjalanan. Merasakan makanan lokal bukan bagian (mungkin belum) dari gaya travelling saya karena termasuk pemilih makanan. Jika lidah ini tidak sesuai, sampai kapanpun makanan itu akan sulit masuk ke dalam perut saya. Makanan tradisional Nepal, dal bhat, yang saya cicipi saat perjalanan pertama termasuk lezat sekali sehingga ketika dal bhat berikutnya tidak cukup lezat, lidah saya menolak untuk memakannya. Saya tahu risiko yang dihadapi sehingga harus makan dan siang itu hanya berhasil makan setengah porsi saja. Untuk melupakan nafsu makan yang menghilang, saya sengaja mengunyah sambil melihat keluar, ke arah trekkers yang menembus hujan es. Uh, pasti dingin sekali berhujan-hujan es. Pasti mereka lapar…

Waktu tak mengijinkan untuk berlama-lama istirahat untuk mengejar sampai ke Ghorepani. Hujan es telah berhenti walaupun awan dan udara dingin masih menyelimuti. Dan alampun tanpa henti memberikan kasih sayangnya kepada saya. Seekor anjing putih yang entah dari mana, -sayapun lupa mulai kapan-, menemani langkah-langkah saya. Ia memandu, berjalan di muka lalu berhenti sebentar untuk memeriksa apakah saya masih di belakangnya. Ia pun berhenti pada tempat-tempat yang berbahaya, menunjukkan langkah-langkah kecilnya agar saya mengikuti pijakan kakinya dan ia pun berhenti saat saya berhenti istirahat. Hingga suatu saat di suatu tempat, ia berhenti. Mukanya memandang saya. Entahlah, seakan ia berbicara pemanduannya hanya sampai di situ dan sampai jumpa lagi. Sebagai pemilik anjing di masa kecil, saya masih mengenali gerakan-gerakan hewan yang sering menjadi simbol setia itu. Matanya sedikit sendu dengan kepalanya yang sedikit miring membuat hati ini terasa teriris. Mengeraskan hati, saya menghentikan langkah sejenak untuknya, berterima kasih atas kebaikan hatinya menemani dan menjaga saya. Beberapa langkah setelahnya, saya menoleh ke belakang melihat ia berjalan kembali dengan langkah-langkah kecilnya. Apakah ia seorang pemandu dalam kehidupan sebelumnya, entahlah, yang jelas  ia telah mewarnai kehidupan saya hari ini.

Akhirnya gerbang Ghorepani terlihat di depan mata. Kami mempercepat langkah untuk berfoto di tempat yang iconic itu. Hampir setiap trekker yang baru pertama kali ke Ghorepani berfoto di tempat itu. Sepertinya saya masih tak percaya, Ghorepani yang berada pada ketinggian 2850m akhirnya bisa juga dijejaki oleh seorang yang belum pernah naik gunung sekalipun.

Selagi Dipak mengurus semua pemeriksaan di check-point Ghorepani, rasanya saya berada di surga, bisa duduk meluruskan kaki yang sudah berjalan berkilo-kilo meter, menanjak dan menuruni lembah yang rasanya tak habis-habis itu. Dan malangnya, ternyata gerbang Ghorepani itu benar-benar sebuah PHP, Pemberi Harapan Palsu, karena kami harus mendaki lagi. Penginapan kami berada di Upper Ghorepani sementara gerbang tadi berada di Lower Ghorepani. Serangkaian tangga batu pun menyambut kami, seakan menertawakan penuh kebahagiaan telah berhasil menipu saya yang beranggapan telah sampai di tujuan.

Dipak dan Pak Ferry terus memberi semangat kepada saya untuk menapak tangga-tangga yang rasanya tak berujung itu, sampai akhirnya sampai juga di Sunny Hotel, tempat kami menginap di Ghorepani. Saya mendapat kamar berjendela lebar menghadap pegunungan berpuncak salju dengan tempat tidur besar. “Khusus untuk saya”, kompak kata para pria teman seperjalanan itu. Penginapan yang seharusnya berpemandangan langsung pada jajaran Himalaya sore itu hanya berhias kabut putih dimana-mana juga saat sunset yang seharusnya indah. Tetapi entahlah, kali ini saya lebih tertarik pada tempat tidur untuk merebahkan badan bukan pada pemandangan indah. Selalu terbaik untuk situasi saya. Ketika benar-benar membutuhkan istirahat, saya diberikan kesempatan tidur di tempat tidur besar yang nyaman tanpa perlu indahnya pemandangan.

Istirahat sebentar cukup mengembalikan stamina tubuh saat dipanggil untuk makan malam di tengah udara dingin itu. Kami semua duduk dekat tungku pemanas untuk menghangatkan badan dan setelah makan malam, saya memesan coklat panas. Tak cukup satu, saya minta tambahan segelas lagi untuk memuaskan kerinduan akan susu coklat hangat. Walau cuaca muram dan dingin malam itu, harapan kami semua yang hadir di ruang makan itu sama, berharap cuaca akan membaik sehangat susu coklat yang saya minum dan menampilkan keindahan Himalaya esok hari.

Wifi yang berfungsi normal membuat kegembiraan tersendiri, masing-masing dari kami sibuk dengan ponselnya entah untuk menghubungi orang-orang yang tercinta atau posting di media sosial. Semangat timbul kembali hingga kembali ke kamar masing-masing karena sekitar pukul 10 malam kegelapan akan menyelimuti semua kamar demi efisiensi listrik. Saya memang langsung terlelap begitu merebahkan badan tapi rasanya tak lama hingga saat suara-suara itu terdengar riuh membangunkan saya…. Aduh!

(bersambung)

Nepal DTD Trip, Once Again, Namaste Kathmandu


Work in the invisible world at least as hard as you do in the visible – Rumi

Kembali ke ‘rumah’

Saya mendadak terbangun dari tidur, merasakan naiknya intensitas frekuensi dari dalam diri agar kesadaran terjaga. Dengan segenap upaya saya membuka kedua mata yang terasa lengket lalu menoleh ke jendela kanan. Gelapnya malam menghilangkan pemandangan yang seharusnya indah, yang pernah saya saksikan dengan mata kepala dan mata hati, dua tahun silam. Himalaya bertudung salju yang berjajar indah, seakan bersama semesta menyambut kedatangan sebuah hati. Namun kini, bulanpun malu tampil, malam tetap berhias pekat, seakan melempar sebuah tanya, siapkah saya kembali ke rumah, dengan apapun yang ada?

Tanpa diberitahu oleh pilot penerbangan pun, saya mengetahui dalam beberapa saat lagi kaki ini akan menjejak kembali di Kathmandu. Kelap-kelip lampu di tanah mulai satu per satu terlihat, yang semakin banyak, semakin mengelompok. Seperti rasa yang muncul di dalam hati ini. Sebuah rasa yang semakin membuncah. Saya kembali ke Nepal, tempat dua tahun lalu menjalani hari-hari penuh dengan keajaiban. Luar biasa, seperti kembali ke rumah.

Dan kali ini tetap saja dengan sejuta harap kepada Yang Maha Mengasihi agar berkenan melimpahkan anugerah yang sama…

Namaste

Akhirnya roda pesawat itu menjejak bumi yang dua tahun lebih dihajar gempa besar yang meluluhlantakkan banyak tempat itu. Saya menutup mata, memindahkan sejenak kenangan pahit dampak gempa di Nepal ke sebuah sudut hati yang terdalam. Menyimpannya agar diam disana lebih lama untuk bertransformasi kearah kebaikan. Kali ini, dalam perjalanan ini, tak boleh ada airmata duka karena bukankah perjalanan ini sebuah undangan yang luar biasa? Bukankah saya diijinkan memiliki impian dan dibuncahkan keberanian untuk menjalaninya? Ini sebuah perjalanan untuk mewujudkan impian… A Dare to Dream Trip!

Pesawat akhirnya berhenti dan bandara Tribhuvan International Airport pun menyambut penumpang. Satu per satu penumpang keluar menuruni tangga termasuk saya. Di ujung tangga, di bawah, saya merendahkan tubuh lalu menyentuhkan telapak tangan ke bumi Nepal.

Namaste, Nepal…

Lalu saya berdiri menunggu Pak Ferry kemudian berjalan perlahan kearah bus untuk menuju terminal kedatangan. Saya terdiam menggigit bibir karena potongan-potongan kenangan indah dua tahun lalu di Nepal menghajar benak tanpa jeda. Saya seakan hidup dalam kenangan melewati lorong yang sama dan mengikuti alur penumpang di bandara yang sama. Suasana yang sama. Hanya kali ini malam, dulu siang. Tetapi sejatinya memang tak banyak beda.

Di Bandara

Proses imigrasi yang sama walau kini bisa lebih cepat dengan bantuan terminal pintar yang mengambil foto wajah. Tetap dengan harga visa yang sama, 25USD untuk 15 hari. Wajah-wajah Nepal yang serupa dengan senyum yang segera menghias bibirnya. Masyarakat yang ramah! Dan kembali terdengar di telinga tutur bahasa yang dua tahun lalu terasa asing yang hingga kini pun masih terasa tak biasa di telinga. Ah, saya saja yang tak cepat belajar bahasa.

Sedikit letih akibat lamanya penerbangan, saya mengikuti alur penumpang dari sejak imigrasi hingga akhirnya pengambilan bagasi. Ditunggu satu saat dua saat, kedua ransel yang terbungkus plastik tak muncul juga hingga bagasi terakhir. Belum sempat pak Ferry dan saya diterpa bingung, sebuah sapa menggugah perhatian saya. Di belakang kami, sesosok tubuh besar menuturkan dalam bahasa Nepal sambil menggerakkan tubuh menjelaskan maksudnya. Ia menunjuk ke bawah, apakah ini yang dicari? Di kakinya, ransel kami yang terbungkus plastik tanpa kurang suatu apapun. Dan saya pun mengangguk memahami maksudnya. Seketika sebuah senyum menghias wajahnya. Kami juga. Ah, sebuah sambutan bahagia yang nyata.

Welcome to Nepal – menuju lorong VOA

 

Kami menenteng ransel yang kini menjadi sulit diangkat karena terbungkus erat plastik sambil menggendong daypack kami. Ini semua gara-gara tidak terjaminnya pengamanan bagasi di Jakarta. Sudah terlalu sering pejalan bertukar cerita tentang maling bagasi yang dibiarkan merajalela di bandara. Jangankan yang bernilai, makanan dan oleh-oleh dalam tas penuh pakaian kotor pun di-embat. Mana mungkin saya membiarkan peralatan trekking yang susah payah saya kumpulkan untuk hilang tak berbekas oleh manusia bejad di Jakarta? Jadi walaupun ransel ini menjadi susah diangkat, mitigasi ini jauh lebih baik.

Sambutan

Kemudian akhirnya kami sampai di depan pintu keluar. Mau tak mau saya tersenyum. Teringat betapa gila saya mencari nama sendiri diantara ratusan nama yang tertera pada kertas yang dibawa penjemput. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami, tetapi ini diantara ratusan pasang mata laki-laki yang melihat ke diri saya langsung di siang hari bolong itu. Nekad. Mengingat itu, saya cerita pengalaman itu secara sekilas  kepada Pak Ferry. Dia tersenyum lebar lalu mengajak melakukan hal yang sama lagi. Karena selain itu, apalagi yang bisa dilakukan?

Tetapi kali ini, terbaca nama saya pada sebuah kertas di dekat pintu. Ah, sebuah permulaan yang baik. Begitu cepat. Saya mendatangi mereka dengan senyum, seakan memberitahu jati diri tanpa perlu bicara. Seorang dari mereka memperkenalkan diri sebagai pemandu utama kami lalu mengalungkan bunga selamat datang kepada pak Ferry dan saya. Ah, begitu cantik penyambutan ini. Sebuah permintaan maaf sekaligus terima kasih secara otomatis keluar dari bibir saya karena mereka telah menunggu begitu lama di bandara karena tertundanya penerbangan kami. Tapi semua itu tak menjadi soal, karena tak lama kami telah berada di dalam jeep yang membawa ke hotel di kawasan Thamel, sebuah tempat terkenal untuk hang-out di Kathmandu.

Saya pun bertukar cerita kepada Dipak, tour & trekking guide kami, bahwa saya senang bisa kembali ke Nepal yang langsung disambut berbagai pertanyaannya mengenai perjalanan saya sebelumnya itu. Ah, bagaimana mungkin saya melupakan perjalanan penuh keluarbiasaan itu? Bisa tak habis-habis saya bercerita…

Tak ingin memonopoli dengan cerita perjalanan Nepal sebelumnya, pembicaraan saya alihkan dengan menunjukkan Kuil Pashupatinath yang saat itu kami lalui, kepada Pak Ferry yang tentu saja disambut dengan sangat antusias karena ia memiliki banyak kawan Hindu yang menanyakan mengenai Kuil Pashupatinath yang suci. Namun Kuil Pashupatinath pada malam hari hanya berhias temaram dan sedikit lampu walau tetap memendarkan kemagisan. Hanya sejumput harap untuk bisa mengunjungi kuil itu sekembalinya dari trekking…

Lalu setelah melalui beberapa turunan dan tanjakan perbukitan serta menembus jalan-jalan kecil di Kathmandu, saya menebak telah memasuki kawasan Thamel yang diwarnai oleh orang-orang yang mulai menutup tokonya. Kami memang datang terlambat. Sudah banyak toko yang menutup pintu tetapi Dipak mengatakan bahwa ada toko yang bisa buka sampai malam agar kita bisa membeli peralatan trekking yang kurang.

Pemeriksaan

Sesampai di hotel, kami disambut oleh Siddhartha, sang manajer dari perusahaan pemanduan trekking yang kami gunakan. Sambil menunggu proses check-in, seluruh peralatan trekking kami diverifikasi olehnya untuk memastikan bahwa trekking akan berjalan dengan aman. Mereka meminjamkan kami trekking pole, botol minum, tas besar tahan air, sleeping bags dan lain-lain. Oleh sebab itu sisanya perlu dipastikan kecukupannya, termasuk jaket, jas hujan, ransel, celana trekking, jumlah pakaian dan lain-lain. Bahkan sepatu yang digunakan juga diperiksa. Mungkin sebagian orang bisa merasa terganggu dengan proses verifikasi ini, tetapi saya mengambil sisi positif. Bukankah ini perjalanan ke alam yang telah mereka kenali? Bukankah mereka lebih paham? Bukankah kami berasal dari negara tropis yang tak pernah kenal salju? Bukankah kami tidak pernah menjajaki gunung-gunung di Himalaya ini? Apalagi saya yang sama sekali belum pernah mendaki gunung. Lalu apa salahnya belajar dari orang yang lebih ahli dan lebih memahami Himalaya?

Persiapan dari Jakarta membuahkan hasil karena seluruh peralatan trekking kami lulus verifikasi dan tentu saja kami tetap diajak belanja untuk menambah peralatan di toko yang masih buka. Pak Ferry berkenan melihat jaket-jaket dengan beragam merk dengan spesialisasi outdoor yang terkenal. Akhirnya beliau membeli satu jaket termal tahan air TNF seharga kurang dari 1 juta yang jika di mal terkenal di Jakarta dipatok harga sekitar 5 juta. Kapan lagi bisa beli dengan harga itu???

Pegunungan Himalaya Bertudung Salju

Kehadiran

Kami kembali ke hotel dengan berjalan kaki. Keriuhan Thamel hanya menyisakan degup-degup musik dari tempat yang masih penuh pengunjung. Saya memilih kembali ke hotel karena sudah pernah menyusuri Thamel agar bisa menghemat energi untuk trekking keesokan harinya. Ya, besok kami memulai perjalanan itu.

Sendiri di kamar hotel membuat saya terpaku dalam hening, menyadari hadirnya diri, seutuh-utuhnya, di ‘rumah’, di bumi Nepal yang bagi saya selalu magis. Saya telah menempuh perjalanan dari pagi hingga malam hari hingga bisa berdiri di sini, di bumi tempat Himalaya sambung menyambung. Getarnya terasa langsung dalam jiwa. Esok hari, kaki ini mulai melangkah, satu demi satu, menapaki bukit, menuruni lembah.

Sepertinya saya masih tak percaya, tetapi udara yang saya hirup dan saya lepaskan adalah udara yang sama. Udara Himalaya.

Dan bagi saya hanya ada satu Himalaya di dunia. Himalaya yang itu.

WPC – A Temple’s Corner


Wat Phra That Nong Bua

A couple years ago I had a chance to visit Ubon Ratchathani, a nice border city in North-Eastern Thailand. And one of the sacred landmarks in Ubon Ratchathani is Wat Phra That Nong Bua, a must-see Buddhist temple. The gleaming gold and white chedi at this temple loosely resembles the Mahaboddhi stupa in Bodhgaya, India.

The temple is the place where Buddha relics are housed in the 55meter height square-based stupa and stands in the middle of a marble slabs, with smaller stupas at each corner in the inner yard. The people seem to keep the inner yard clean from the falling leaves of the trees surrounding the complex.

I took off my shoes to explore this beautiful temple which was built in 1956 to honor of 2500 years of Buddhism. I noticed in each corner of the main temple, there was decorated with a serpent with seven heads.

As other Buddhist temples in Thailand, I feel like the other visitors who can come at anytime, pay respect and experience peaceful nice environment.

Stupa in the corner of inner yard
Wat Phra That Nong Bua

 

 

 

 

 

 

Nepal DTD Trip, Memulai Perjalanan Dengan Kesabaran


I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness and beautiful in my own way, because God is on my side.

Minggu ketiga di bulan Januari 2017, tiga bulan sebelum tanggal keberangkatan, akhirnya saya memesan tiket pesawat setelah paspor pak Ferry, –my travel buddy-, selesai diperpanjang. Harga tiket sudah naik 200 ribu, tetapi masih jauh lebih murah daripada maskapai lain yang mematok harga hingga 7 juta pp. Nilai setengah dari maskapai lain itu memang menggiurkan tetapi jika di-blacklist karena suka delay, bagaimana ya? Pemikiran yang datang tiba-tiba itu langsung diabaikan karena tergerus harga yang sangat menggoda. Bukankah Malindo merupakan maskapai campuran dari Lion Group Malaysia? Dengan harapan manajemen Malaysia lebih baik dari Lion Indonesia, akhirnya saya memesan tiket untuk Jakarta – Kuala Lumpur – Kathmandu. Dan cerita perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness pun dimulai…

Expectation Vs. Reality

Dan dua bulan sebelum keberangkatan, datanglah email pemberitahuan dari maskapai yang grupnya itu sering dihinadina oleh para pejalan itu. Isinya jelas, penerbangan saya mengalami penjadwalan ulang. Mengutip sumpah serapah komik jaman muda dulu, seribu setan belang, saya mulai mengomel berkepanjangan. Bagaimana tidak, saya memilih penerbangan paling pagi dari Jakarta ke Kuala Lumpur lalu transit sebentar lalu terbang lagi ke Kathmandu sehingga bisa mendarat di Negeri di atas awan itu jelang sore. Itu memang tujuan saya, mengambil penerbangan ke Kathmandu sore hari, demi melihat jajaran pegunungan bertudung salju yang sangat indah. Dalam perjalanan pertama ke Nepal dua tahun lalu, saya duduk di jendela sebelah kanan menikmati keindahan itu. Tentu saja saya ingin mengalaminya lagi. Normal kan? Lagi pula sampai di Kathmandu sore akan lebih baik daripada malam, paling tidak bisa belanja melengkapi trekking gears.

Flight Reschedule

Tetapi memang dasar setan belang, semua bermula dari jadwal penerbangan Kuala Lumpur ke Kathmandu dimajukan semena-mena dan tidak dapat dikejar oleh penerbangan dari Jakarta. Akibatnya, secara sepihak seluruh penerbangan saya dimundurkan semua. Penerbangan dari Jakarta ke Kuala Lumpur dipindahkan ke tengah hari dan penerbangan ke Kathmandu dipindahkan ke sore hari yang otomatis sampai sana jam 8 malam! Bagaimana mau melihat pegunungan berpuncak salju pada malam hari? Lalu dengan memperhitungkan proses visa dan bagasi yang lama, apakah masih ada toko yang buka pada malam hari? Dan pastinya rencana jalan-jalan di obyek wisata Kathmandu berantakan semua! Dasar setan belang…!

Siang itu juga saya langsung berdiskusi dengan pak Ferry mencari solusi namun pertimbangan uang tetap menjadi primadona karena tidak mau rugi dua kali. Selama masih di tanggal yang sama hanya beda jam kelihatannya masih bisa diterima. Oh, I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness…

Selesai…?

Belum!

Beberapa minggu sebelum keberangkatan, saya masuk ke situs Traveloka dan mencoba mencetak ulang tiket dengan jadwal baru, namun hasilnya masih jadwal lama! Lhah, apa lagi ini??! Sampai saya harus memeriksa ke situs Malindo untuk memastikan kami terdaftar sebagai penumpang dalam penerbangan siang dari Jakarta – Kuala Lumpur – Kathmandu itu dan untung saja kami memang terdaftar dengan jadwal baru. Berbagai cara ditempuh tetap tidak bisa mencetak jadwal baru melalui Traveloka, lalu akhirnya saya nekad akan pergi pada hari keberangkatan menuju bandara berbekal informasi terkini di ponsel. Paling-paling berurusan dengan petugas pintu masuk yang mungkin mencegat saya masuk. Jadi harus siap-siap sabar!

Belum lagi soal packing ransel. Karena belum terbiasa menata di Osprey 36L, saya perlu waktu hingga seminggu karena banyak barang sesuai ceklist yang tidak bisa masuk. Hal remeh ini melelahkan fisik dan memerlukan pengorbanan untuk bisa meninggalkan barang-barang kesayangan yang tidak perlu dalam trip ini.

Dan akhirnya sampai juga di hari keberangkatan untuk perjalanan Dare To Dream ini! Bismillah…

Di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta saya menunggu Pak Ferry di depan pintu masuk. Saya merasa tidak pede karena sudah mengenakan pakaian trekking lengkap dengan carrier di punggung, daypack di depan dan sepatu trekking, hanya untuk mengirit tempat! Agak saltum di bandara Jakarta yang lebih cocok dengan pakaian casual atau business. Tapi tak lama kemudian datanglah travel buddy yang juga lengkap dengan pakaian trekking, ransel dan sepatunya. Dua orang saltum di bandara Soekarno-Hatta 😀

Berhasil melewati petugas depan yang tidak memperhatikan jam berangkat, kami langsung membungkus carrier dengan plastik agar aman sebagai bagasi. Lalu melangkah pasti menuju konter Malindo untuk check-in. Tapi ternyata kami ditolak karena terlalu awal! Duh… sistemnya pasti masih kuno sehingga tidak bisa check-in sebelum waktunya. Hallooooo… Malindo, sekarang sudah tahun 2017!

Check-in

Satu jam menunggu konter check-in buka, kami kembali berdiri di antrian konter. Satu orang dilayani lebih dari 15 menit. Lalu terlihat Sang Supervisor bolak-balik antar konter dengan muka kusut, memberikan tanda-tanda buruk. Apalagi petugasnya sering memanjangkan leher melihat ke konter sebelahnya, sambil bertanya-tanya. Adegan itu tak berkesudahan. Alamak! Dan akhirnya penumpang di depan konter selesai dan meninggalkan konter sambil bersungut-sungut mengomel. Di depan saya masih tiga orang dengan kecepatan proses yang tidak beda dengan sebelumnya! Sabar… tapi dimana Sabar??? Saya menggoyangkan kepala laksana boneka India sambil bertanya dalam hati, masih mau menggunakan maskapai ini? Rasanya saat itu saya melimpah rindu kepada maskapai apapun yang proses check-innya mudah dan cepat!

Ternyata kegaduhan sejak proses check-in yang lama itu rupanya berlanjut. Cepatnya imigrasi yang bertolak belakang dengan layanan check-in itu, membuat kami punya waktu untuk makan roti sejenak walaupun setelahnya tergopoh-gopoh juga ke pintu keberangkatan karena waktunya tak lama lagi. Namun, di ruang tunggu itu, kami menanti si pesawat yang tak kunjung tiba. Setelah memanjang-panjangkan leher, pesawat itu tak muncul juga. Dan dimulailah dramanya. Tapi supaya singkat, setelah ditunda sekali, ditunda dua kali, ditunda lagi…. dan lagi, hufft… akhirnya kami boarding juga. Ada kelegaan…

Selesai?

Belum!

Setelah sikut kiri, sikut kanan, tidak mau antri saat boarding, ditambah berebut ruang bagasi atas, akhirnya semua penumpang duduk di kursinya masing-masing. Sepuluh menit…, lima belas menit…, setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda pesawat bergerak. Tanpa ada pemberitahuan. Saya yang jatuh tertidur sampai bangun lagi, pesawat juga belum bergerak. Hedeeew… ada apa ini?

Dan setelah sekian lama, akhirnya pilot bicara meminta maaf dan bla-bla-bla…, lalu pesawatpun bergerak. Itu pun masih masuk antrian ketiga untuk dapat clearance terbang. Dan saat itu sudah 2 jam tertunda dari jadwal seharusnya, padahal waktu transit di Kuala Lumpur untuk penerbangan selanjutnya ke Kathmandu hanya beda 2 jam!

Tidaaaaakkkk…!

Di pesawat saya diskusi dengan Pak Ferry seandainya tidak bisa mengejar penerbangan ke Kathmandu, what’s next? Rupanya Pak Ferry sama seperti saya yang tidak terlalu menetapkan target. Dengan santai dia mengatakan untuk memotong jalur ABC tanpa lewat Poonhill. Saya setuju. Paling tidak saya bisa bersyukur lega karena travel buddy bisa sangat fleksibel (diluar sana lebih banyak orang yang kaku dan ngotot!)

Pasrah dengan penerbangan dengan jadwal suka-suka ini, saya mencoba tidur kembali selagi bisa dan menikmati makanan gratis yang ternyata rasanya lumayan. Ah, bukankah ada nilai-nilai yang patut disyukuri dalam setiap keadaan? Iya siiih, tetapi….

Singkat cerita… setelah mendarat di KLIA, pada saat pesawat baru saja berhenti dan membuka pintu di garbarata, pada jam itulah saya seharusnya terbang ke Kathmandu! Dalam hati saya hanya bisa menjerit galau, masih mau pakai maskapai ini? Oh, I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness…

Berbeda dengan terminal KLIA2 yang sudah familiar karena biasa menggunakan AirAsia, saya tak kenal dengan terminal KLIA yang sering digunakan oleh maskapai-maskapai non-budget. Saya tak tahu lokasi transfer dan gerbang-gerbangnya. Perlu waktu untuk membiasakan dan kali ini tidak ada waktu untuk membiasakan! Matek!

Antrian keluar dari pesawat terasa sangat lama sehingga ketika menjejak kaki di gedung terminal, Pak Ferry dan saya langsung tergopoh-gopoh lari menuju papan informasi untuk memeriksa gerbang keberangkatan dengan harap-harap cemas pesawat belum berangkat. Oh My God, help us…

Dan wow!!! PertolonganNya selalu datang tepat pada waktunya. Di papan jelas tercetak nomor penerbangan kami dengan status Boarding! Aha, baru kali ini saya suka dengan pesawat yang delay! 🙂

Boarding

Tak perlu perintah dua kali, Pak Ferry dan saya lari lagi menuju gerbang menggunakan feeling. Semoga benar! And God is on my side, jalurnya benar! Tapi di depan gerbang, saya tertahan, tidak boleh masuk. Aduh, botol minuman masih berisi air yang harus dibuang. Saya menoleh ke kiri kanan mencari tempat pembuangan air atau tempat sampah. Tidak ada sama sekali, sehingga dengan terpaksa saya lari lagi ke toilet untuk membuang air kemudian lari kembali ke gerbang untuk langsung boarding.

Hah…hah…hah…. Nafas rasanya mau putus…

Boarding berjalan lancar dan tempat duduk di sekitar saya lebih banyak kosong sehingga terasa agak lega. Tetapi menit demi menit berlalu, pesawat pun juga tak jelas kapan terbangnya. Ditambah dengan antrian clearance terbang. Aduh… masa’ pengalaman di Jakarta berulang? Ampuuun…

Hanya bisa berbekal sabar dan harap, akhirnya pesawat terbang juga meniti waktu, jam demi jam menuju Kathmandu. Saya lebih banyak tidur membayangkan jauh di sebelah kanan seharusnya mulai terlihat pegunungan tinggi berpuncak salju yang kini tak mungkin terlihat karena hanya kegelapan yang menghias jendela. Tapi bukankah saya telah menerima perubahan jadwal ini dengan segala konsekuensinya? Menyesali tak akan mengubah apapun. Saya menerima apapun yang terjadi…

Benar. Apapun yang terjadi, saya telah berani melangkah dalam perjalanan menuju impian yang mewujud.

Nepal – Annapurna Base Camp, A Dare to Dream Trip


Satu tengah malam di bulan Oktober 2016.

Saya tersentak dalam doa. Benarkah ini? Saya tak mungkin tak percaya, tak mungkin tak merasa. Karena rasa itu begitu intens. Ada bahagia mendekap rasa, sangat kuat. Rasa yang sama, persis ketika melakukan perjalanan luar biasa di Nepal 2014 lalu.

Ke Nepal?

Lagi?

ABC? Annapurna Base Camp?

Rasanya tak percaya, tetapi jelas ada senyum disana, sehingga tak perlu lagi ada tanya.

Saya hanya mampu menutup mata, bahagia tapi bercampur banyak rasa, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala, masih tak percaya. Saat itu saya setuju walau berhias sejumput ragu untuk mengukir impian menjejak disana. Di ABC, di kaki Annapurna, salah satu dari gunung-gunung tinggi Himalaya.

Annapurna Base Camp

*

Saya bukanlah seorang pendaki gunung, apalagi sampai empat ribuan meter. Itu lebih tinggi dari Gunung Semeru di Jawa, atau Gunung Rinjani di Lombok bahkan Gunung Kerinci di Sumatera yang mencapai 3805 meter. Terlebih lagi saya belum pernah sekalipun mendaki gunung, dimanapun, di Indonesia apalagi di luar negeri. Dan mau mencapai Annapurna Base Camp yang berada di 4130 meter di atas laut?

Bila dipikir-pikir, that’s insane…

Entahlah, saya hanya bisa terdiam dulu walau tetap berpegang pada rasa percaya. Jawabannya pasti ada.

Di sebuah siang, televisi kabel di hadapan menampilkan acara kuliner. Tiba-tiba iklan menghapus tayangan tadi. Di depan mata terpampang jelas pemandangan yang saya hafal luar kepala. Saya kenal tempat itu. Lokasi yang hancur lebur saat gempa enam bulan setelah saya meninggalkan tempat itu. Kathmandu di Nepal. Terlihat bangunan Istana di Kathmandu Durbar Square, lalu Patan Durbar Square lalu puncak-puncak bersalju Himalaya. Darah saya berdesir kencang. Saya yang jarang menonton televisi di ruang keluarga ini, tiba-tiba ada iklan yang menggambarkan Kathmandu dan sepenggal Himalaya tepat di depan mata saya siang itu. Bukan tempat lain, melainkan Nepal! (Satu!)

Di siang yang lain, tiba-tiba FB Messenger berdenting, saya membaca. Seorang kawan Nepali bertanya kabar karena sudah dua tahun saya meninggalkan Nepal. Lagi-lagi darah saya berdesir kencang, kawan tadi hanya sekedar bertanya kapan kembali ke Nepal padahal dia sudah lama sekali tak menghubungi saya. Lalu mengapa siang itu ia tiba-tiba menanyakan kapan kembali ke Nepal?  (Dua!)

Saya sudah bertahun-tahun tidak menonton film di bioskop, bahkan ketika heboh film James Bond Skyfall, saat itu pun saya sudah tak menonton bioskop. Dan tiba-tiba di suatu siang di bulan November, sebuah notifikasi kanal medsos muncul di ponsel dengan tulisan ‘Dr Strange’. Ketakmengertian saya akan tulisan itu seketika lenyap dan tergantikan dengan darah yang lagi-lagi berdesir kencang saat membaca hasil google. Dr. Strange adalah sebuah film yang lokasi pembuatannya di Kathmandu, Nepal! Dan entah kenapa, semuanya menjadi mudah untuk mengembalikan saya ke bioskop lagi. Dan benarlah, dengan mata mengabur sambil menggigit bibir, saya mengenali banyak lokasi adegan di dalam film itu. Lagi-lagi terkait Nepal! (Tiga!)

Kemudian beberapa malam setelah kejadian nonton film itu, di kamar saya duduk santai menatap TV lalu sembarang menekan tombol yang membawa saya ke saluran HBO. Dalam sekejap kembali darah saya berdesir sangat kencang mengetahui bahwa yang terpampang di depan mata saya adalah film Everest. Lagi-lagi sebuah kisah di Nepal. Apalagi ini cerita Himalaya di Nepal! (Empat!)

*

Jelang dini hari saya meluangkan lebih lama untuk berdoa, berbincang dengan Pemilik Semesta. Melihat semua peristiwa yang terjadi belakangan ini, rasanya menyesakkan memenuhi dada. Berbagai peristiwa tampaknya “kebetulan”, – sesuatu yang tak pernah saya percayai-, terus menerus silih berganti terjadi. Dan semuanya memiliki relasi pada hal yang sama, Nepal. Inikah jawab atas sejumput ragu yang masih menyelinap di tengah rasa? Saya tak bisa menolak saat menalikan kembali rasa percaya, satu dua air mata menetes saat berserah kepadaNya. Jika memang saya harus pergi ke sana, maka tolonglah saya, mudahkanlah jalannya.

Lalu, sekembalinya dari sebuah trip menuju Jakarta, ternyata saya duduk dalam satu baris dengan co-founder Air Asia, Mr. Tony Fernandes. Kesempatan langka tersebut saya gunakan langsung untuk meminta darinya sebuah note dan tandatangannya serta juga berselfie dengannya. Kesempatan ekstra jarang itu saja sudah sangat membahagiakan, apalagi membaca note dari beliau yang sungguh membuat darah saya berdesir sangat dahsyat. Beliau menuliskan untuk saya… Dare to dream! (Lima!)

Ini dia! Bagi saya, jawaban pengukuhan dariNya bisa datang dari arah mana saja. Bisa dari orang-orang sekitar atau dari alam sekalipun. Tetapi jika datang melalui orang yang sangat menginspirasi, selevel Mr. Tony Fernandes, tentu hal itu merupakan bonus berkah buat saya. Alhamdulillah.

*

Dua setengah tahun lalu saya menjejak ke Nepal dan mengalami begitu banyak keberuntungan dan kebahagiaan selama menjelajah tempat-tempat wisata, kuil-kuil peninggalan yang menjadi World Heritage Sites dan melihat budaya lokal yang luar biasa. Bisa berlama-lama bertatap mata, bertukar bahasa tanpa aksara dengan Kumari, The Living Goddess di jendela Istananya, bisa terlibat dalam keramaian Hariboddhi Ekadashi di kuil Changu Narayan yang sakral, bisa melihat setitik puncak Everest saat melakukan penerbangan mountain flight dengan dua jendela besar, bisa menjejak di Lumbini tempat kelahiran Sang Buddha Gautama dan masih banyak cerita lain penuh rasa. Selama perjalanan di Nepal itu, tak hanya sekali saya terpesona melihat orang-orang, pria dan wanita, memanggul ransel untuk melakukan trekking di Nepal. Bagi saya saat itu sangat jelas, trekking merupakan kegiatan yang berada diluar kemampuan saya. Beyond my capabilities.

Jika saja tak ada ‘undangan’ untuk mencoba berani bermimpi sampai ke batas limit ini…

Karena ketika datang sebuah undangan untuk kembali berkomunikasi mesra dan intens denganNya selama berhari-hari perjalanan, sambil menyaksikan keajaiban-keajaiban ciptaanNya yang sangat indah, untuk merasakan Cinta dan Kasih SayangNya di setiap detik waktu yang sangat berharga, di setiap langkah kaki yang diayunkan, dan ke setiap arah pandang yang memperlihatkan semua kebesaranNya, adakah orang yang tak ingin melakukannya walau harus berpeluh penat?

Guesthouse with Mountains View

Saya tahu bahwa trip ini akan memaksa kekuatan diri, mental dan fisik. Tetapi sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perjalanan, saya hanya perlu percaya lalu melakukannya sebaik mungkin, sisanya saya serahkan kembali kepada Pemilik Semesta. Saya akan menikmati setiap langkah dalam keindahanNya, karena perjalanan ini masuk kategori Once in A Lifetime, sebuah perjalanan yang dilakukan minimal sekali dalam hidup ini.

Telah banyak orang yang menjejak disana, apapun alasannya, tetapi bagi saya pribadi, perjalanan ke Annapurna Base Camp ini bukanlah sebuah perjalanan hura-hura, juga bukan sebuah tempat tujuan untuk diberi tanda check atau bahkan sebuah penaklukan, sungguh jauh kata itu darinya. Karena sejatinya perjalanan ini akan menjadi perjalanan intim milik pribadi yang kisahnya senantiasa berbeda di setiap jiwa. Sebuah cerita dari hati.

*

Akhirnya minggu terakhir bulan lalu saya memulai langkah ke negeri di atas awan itu mewujudkan my ‘Dare to Dream’ trip. Terima kasih banyak kepada teman-teman blogger dan grup facebook yang sudah memberi semangat, inspirasi dan berkenan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, juga kepada mas Bartian Rachmat Bartzap –yang tahun lalu solo trekking ke ABC dan sekarang ini, baru saja selesai melakukan solo-trekking ke Everest Base Camp-; kepada Bang Tri Asmeli Sembiring Wanderlust Never Fails yang menceritakan kisah luarbiasanya setiap hari menuju ABC tahun lalu, juga mba Santi Santi’s Corner yang belum pernah mendaki gunung tapi sukses mencapai Poonhill tahun lalu dan Maret lalu juga ke ABC, juga mba Maia Syafni yang inspiratif sekali melakukan trekking sendiri ke ABC yang sekaligus merupakan perjalanan pertamanya kali keluar negeri. Juga kepada my dear friend Igna Celina yang tak berhenti memberi semangat dan tentu saja teman-teman lainnya yang telah berkenan menuliskan komentar dalam tulisan-tulisan saya selama ini, yang tentu saja kali ini hanya sebagai pengantar cerita selama trekking di Nepal…