Shibuya Crossing


Siapa yang tak mengenal Simpang Shibuya (Shibuya Crossing) yang terkenal dengan situasi scramble pada saat lampu lalu lintas bagi pejalan kaki berubah menjadi hijau? Di sana semua kendaraan berhenti dan pejalan kaki diperbolehkan menyeberang dalam marka pejalan kaki, ke jalan di sampingnya dan juga jalan di depannya atau bahkan ke arah diagonal dari kotak persimpangan. Rasanya sebuah situasi yang sangat familiar melihat gambar atau video di Jepang ini karena memperlihatkan begitu banyak orang melintasi sebuah persimpangan dalam satu waktu.

Shibuya Crossing

Bermula dari kemenangan menghadang penjahat yang melakukan penyerbuan ke Imperial Palace di Kyoto jelang akhir periode Heian (sekitar abad ke-11), Kaisar menganugerahkan gelar Shibuya menjadi nama keluarga kepada seorang ksatria yang telah berjasa menjaga eksistensi istana kerajaan itu. Lalu sesuai dengan rencana strategis kekaisaran untuk menjadikan Edo sebagai ibukota Timur (yang saat ini dikenal sebagai Tokyo), sang ksatria membangun kediamannya yang lokasinya tak jauh dari Edo, sebelah barat daya ibukota baru itu. Dan kastil Shibuya itu yang mampu bertahan lebih dari setengah millenium telah menjadikan daerah sekitarnya menjadi sebuah kawasan pedesaan yang kian ramai.

Keramaian sejak berabad lalu itu menunjukkan perkembangan selanjutnya. Tahun 1885 Shibuya menjadi sebuah stasiun kereta di jalur Akabane – Shibuya, yang dalam perkembangan di jaman modern menjadi jalur JR Yamamote line yang terkenal sebagai jalur kereta yang melingkari Tokyo. Di abad ke-19 itu pula karena banyak pabrik bermunculan, pembangunan rumah juga meningkat. Apalagi setelah gempa besar yang melanda Tokyo dan juga kebakaran besar akibat Perang Dunia II, Shibuya tidak turun pamornya sebagai pusat kegiatan masyarakat. Bahkan saat itu Shibuya menjadi lebih terkenal, karena pasar gelapnya mengingat masyarakat perlu menghidupi diri mereka sendiri terutama di masa ekonomi yang suram. Waktu berjalan terus dan sejalan dengan membaiknya perekonomian Jepang, Shibuya semakin menancapkan kukunya sebagai pusat kegiatan perekonomian di Tokyo. Toko dan pusat-pusat perbelanjaan megah, perkantoran, stasiun kereta yang semakin besar dan terintegrasi dibangun di Shibuya.


Beberapa kali melakukan perjalanan ke Tokyo, biasanya saya menyempatkan diri ke distrik Shibuya yang sibuk itu. Tentunya saya naik kereta dan berhenti di Stasiun Shibuya legendaris yang konon memiliki banyak pintu keluar. Tapi tentu saja, paling sering saya keluar melalui Gerbang Hachiko karena melaluinya saya bisa mencapai banyak destinasi. Lewat gerbang Hachiko ini, -selain menemui patung anjing Hachiko yang terkenal sebagai simbol kesetiaan-, saya bisa secara cepat mencapai Shibuya Crossing yang terkenal seantero dunia itu. Rasanya memang menarik melihat situasi “scramble” dari pejalan kaki. Bayangkan saja, dalam satu hari lebih dari ratusan ribu orang bisa melintasi penyeberangan itu dari segala arah menuju tujuannya masing-masing. Luar biasa kan? Benar-benar sebuah kawasan yang hectic di negeri Sakura itu.

Tak jauh dari Patung Hachiko, biasanya saya berdiri di sudut Shibuya Crossing dan menyaksikan keluarbiasaan di depan mata. Seperti melakukan countdown saat pergantian tahun baru, para pejalan kaki berdiri di pinggir jalan sambil menghitung dalam hati lampu lalu lintas berubah hijau untuk pejalan kaki. Begitu banyak manusia berdiri di sudut-sudut jalan menanti lampu berubah menjadi hijau lalu serta merta pejalan kaki tu memenuhi ruang dalam persimpangan. Seperti ratusan lebah yang terbang karena sarangnya dirusak, semua pejalan kaki yang tadinya berdiri di pinggir jalan tiba-tiba bergerak cepat menyeberang tanpa menabrak satu sama lain. Pemandangan yang luar biasa! Seakan memastikan bahwa Shibuya memang sebuah hub sejak berabad-abad lalu.

Ada banyak turis di dalam ratusan orang yang menyeberang dalam satu kesatuan waktu itu, berbaur bersama orang-orang lokal yang benar-benar membutuhkan simpang Shibuya itu. Turis lebih banyak terjun ke “kolam penyeberangan” hanya untuk merasakan sensasi berada di Shibuya Crossing. Mereka menyeberang dan kembali lagi, melakukan selfi atau wefie. Tidak jarang membuat video proses scramble itu dengan berbagai efek, termasuk efek Boomerang-nya Instagram. Pokoknya eksis di Shibuya 😀 😀 😀

Waiting for the green light
A shuttle bus passing by…

Apalagi dengar-dengar katanya Stasiun Shibuya akan direvitalisasi, pastinya akan lebih megah dan tentunya berakibat Shibuya Crossing akan semakin hectic. Dengan semakin banyak gedung pencakar langit yang berisi perkantoran, mal dan tempat belanja eksklusif di sana, tidak heran Shibuya semakin ramai. Sekarang saja, amat mudah menemukan orang yang berbelanja di Shibuya 109, mal 10 lantai yang populer di kalangan perempuan muda. Termasuk bangunan baru Shibuya Stream yang memiliki 35 lantai yang penuh dengan toko, restoran, dan kafe.

Memang, Shibuya tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti dan akan terus menjadi primadona sebagai destinasi utama di Tokyo!


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-51 bertema Hectic agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Light Up The Darkness


Sebagai penggemar segala bentuk cahaya lembut dalam suasana temaram, saya mudah sekali tertarik lalu berhenti untuk mengabadikannya, ataupun kalau situasi tidak memungkinkan, biasanya lampu-lampu itu mampu membuat kepala saya menoleh dengan mata terbuka lebar dan pastinya hatinya melonjak gembira. Entah kenapa, saya benar-benar suka! Kalau malam kepala masih mumet di kantor, salah satu cara efektif menetralkannya adalah mendatangi jendela lalu melihat lampu-lampu mobil yang terjebak kemacetan atau melihat ke gedung-gedung seberang, ke arah lampu-lampu yang menyala. Seakan cahaya-cahaya itu memberi ketenangan dan memberi lambang sebagai harapan dalam kegelapan (hehehe agak lebay kali ya…).

Sampai sekarang, saya sudah bisa terpukau bahagia kalau diajak jalan naik mobil keliling kota hanya untuk menyaksikan keindahan lampu hiasan di jalan. Bahkan lihat lampu-lampu hiasan sesuai tema yang dipasang di mal-mal juga bisa membuat saya terpesona. Apalagi bulan Desember, seperti sekarang, kota-kota biasanya didandani dengan cantik menyambut Natal dan Tahun Baru. Duh, saya jadi suka jalan-jalan untuk melihat-lihat itu. Bahagia itu sederhana ya…

deepavalisg
Little India, Singapore

SINGAPORE

Pernah beberapa tahun lalu, saya mendadak mengambil cuti dua hari ke Singapura pada tengah minggu hanya untuk melihat kemeriahan festival Deepavali di kawasan Little India di negeri singa itu. Dan saya bisa begitu nekadnya untuk mengabadikan hiasan-hiasan itu, hingga saya menyeberang jalan, lalu mengambil foto di tengah jalan sampai lampu lalu linatas berganti hijau (dan sampai diklakson supaya minggir 😀 😀 ) Tidak sendirian sih, karena banyak juga yang segila saya hahaha…

Singapura berhias tak hanya untuk Deepavali Festival, melainkan Natal sampai Tahun Baru pun juga. Salah satunya adalah di Orchard Road yang penuh dengan hiasan-hiasan.

orchard
Orchard Road, Singapore

Tidak hanya di atas jalan, pohon-pohon pun didandani. Dan yang memanjakan mata adalah dandanannya selalu cantik, tidak asal-asalan (karena pernah dulu di dekat Monas, saya pernah melihat hiasan lampu-lampu itu dibuat asal nemplok, sungguh membuat ilfil!) Dan semua itu gratis tanpa dipungut bayar. Syaratnya cuma satu, asal kuat jalan saja hehehe… Lihat saja bagaimana kita bisa menyaksikan keindahan permainan lampu Super Trees di Garden By The Bay. Sambil mendengar musik yang penuh semangat, mata juga dimanjakan. Rasanya bisa dibilang, semua itu menjadi makanan untuk jiwa dan panca indera.

– § –

TOKYO

Tidak jauh berbeda dengan Singapura, Tokyo di Jepang berdandan menyambut kemeriahan Natal dan Tahun Baru. Tetapi entah kenapa, saya merasa hiasan lampu-lampu yang ada di Tokyo itu jauh lebih banyak dan lebih menakjubkan. Bisa jadi karena memang hampir di semua tempat di kota itu didandani dengan hiasan lampu-lampu. Tidak perlu jauh berjalan, pasti ada kawasan cantik yang penuh hiasan, bahkan pedestrian biasa selalu ada spot-spot yang dihias dengan lampu-lampu. Saya sempat berpikir, budget untuk dandanan kota seperti ini pastinya besar karena perlu listrik. Namun rasanya untuk dua kota terkenal yang saya sebutkan di atas, seperti Singapura dan Tokyo, tentu dana tersebut sudah dialokasikan dengan baik. Bagaimana ya di Indonesia? Jangan-jangan kita masih akan sibuk berdebat soal boleh atau tidaknya untuk segala sesuatu, termasuk hiasan-hiasan kota.

Ketika tahun 2016 suami dan saya pergi ke Tokyo untuk honeymoon kesekian kalinya, kami menikmati suasana Tokyo yang sudah berdandan, padahal waktu itu baru awal Desember dan musim gugur belum tuntas berakhir. Dan kami, -sebenarnya saya sih yang lebih terpesona dengan lampu-lampu itu-, menikmati pertunjukkan di Caretta Shiodome yang lagi-lagi gratis.

carettatokyo
Caretta Shiodome, Tokyo

Bagi yang hendak menikmati keindahan malam di Tokyo, puncaknya memang terjadi di minggu-minggu terakhir bulan Desember hingga ke awal bulan Januari. Suasananya sangat menyenangkan, dimana-mana ada aura cinta dan romantisme karena banyak sekali pasangan yang saling bermesraan. Tawa gembira selalu terdengar dimana-mana. Benar kata sebuah lirik lagu, Love is in the air…

Seperti saat ke Blue Cave di Shibuya, Tokyo di kesempatan yang berbeda, di bawah naungan kerlip lampu-lampu  berwarna biru itu, saya secara otomatis dirangkul oleh sang suami, padahal saat itu situasinya padat oleh manusia. Siapa sih yang tidak merasa terpesona berjalan di “terowongan” panjang berpendar warna biru dari hiasan-hiasan yang membalut batang dan ranting pohon? Ah, rasanya saya kembali menjadi remaja… :p

Tapi bagi pecinta hiasan-hiasan cahaya lampu, Blue Cave di Shibuya termasuk salah satu tempat yang harus didatangi saat melakukan perjalanan ke Tokyo. Semakin ke arah depan, sebenarnya semakin indah dengan kolam di tengah efek pantulan. Sayangnya kami saat itu harus kembali.

blue cave shibuya tokyo
Blue Cave at Shibuya, Tokyo

Tidak jauh dari sana, di kawasan Shinjuku yang super sibuk, tetap dihiasi oleh cahaya lampu. Pokoknya kemana-mana pastinya mata ini menangkap hiasan lampu yang cantik. Bahkan kami memilih makan malam di outdoor berpayung langit, -meskipun berbalut jaket karena udara sudah cukup dingin-, sambil menikmati pemandangan indah di kegelapan malam dan mengistirahatkan kaki yang pegal.

Selesai bersantap malam, kami jalan-jalan di antara lampu-lampu itu. Luar biasa, karena lampu-lampu itu diletakkan menghias seluruh gundukan tanah. Rasanya berjalan melayang di dunia mimpi yang magis tak nyata.  Saya sungguh mengagumi para pendekor kota yang benar-benar telah bekerja keras mempercantik kotanya, memberikan cahaya ke sudut-sudut kotanya, memberikan yang terbaik kepada siapapun yang melihatnya, turis maupun orang lokal. 

Bahkan di Yokohama, sekitar 50 menit berkereta dari Tokyo, saya melihat juga lampu-lampu yang memenuhi area serupa sebuah teater yang cekung. Melihat ini saya jadi ingin tahu apa yang sesungguhnya ada di pikiran orang-orang Jepang yang kebagian menghias itu.

Mungkin sedikit gila, dalam artian yang positif. 

Bisa jadi mereka juga sangat malu jika bekerja secara asal-asalan, karena setahu saya, mereka memiliki prinsip untuk mengutamakan orang lain, bukan diri sendiri. Satu prinsip yang sepertinya sudah langka ditemukan di Indonesia.

yokohama
Yokohama

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-49 ini bertema Lamplight agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Semangat Bushido dan Isagiyosa 47 Ronin di Sengakuji


Hanya dua hari setelah Papa berpulang, dengan berbagai rasa, -antara getir duka kehilangan dan rasa harus bertahan untuk menghidupkan cintanya-, saya menjejak di Sengakuji, sebuah kawasan di Tokyo Selatan yang terkenal sebagai tempat pemakaman 47 Ronin (Masterless Samurai) yang kisahnya telah melegenda.

Sejak pertama kali ke Jepang, saya ingin sekali mengunjungi Sengakuji, tetapi entah kenapa selalu gagal. Dan kali ini, dengan situasi hati yang tidak karuan, saya justru mendapat kesempatan mengunjunginya. Bisa jadi Semesta memang membukakan kesempatan saat ini, tepat sesuai dengan situasi hati.

Begitu memasuki halaman Kuil Sengakuji, saya mendapat hadiah pemandangan pohon berdaun merah khas musim gugur yang sudah jarang terlihat di akhir Desember. Hati terasa menghangat, alam pun serasa mengetahui hati yang berduka dan ingin menghibur dengan menyuguhkan warna musim gugur kesukaan saya diantara pohon-pohon yang tinggal ranting. Sambutan alam yang terasa begitu menenteramkan, begitu luar biasa berada dalam harmoni alam.

Tak seperti biasanya, – karena kuil saya skip-, kali ini saya langsung menuju area pemakaman 47 Ronin yang terletak di tenggara kuil. Sementara kaki melangkah, benak saya seperti memutar kembali film yang dibintangi Keanu Reeves, 47 Ronin, sebuah film yang mengadopsi cerita ‘Insiden Chushingura’ ini yang dipadu paksa dengan fiksi ajaib yang kontras dengan semangat orisinalnya. Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa film ini juga membantu mengenalkan Sengakuji ke sudut-sudut dunia.

Sesungguhnya Sengakuji, -dengan ‘Insiden Chushingura’ yang membuat terkenal 47 Ronin-, menjadi tempat mengenang berkobarnya Semangat Bushido, yang diteladani hingga kini oleh warga Jepang. Bushido merupakan kode etik atau nilai-nilai moral seorang Samurai Jepang yang mencakup kesederhanaan, kesetiaan, keahlian seni bela diri dan kehormatan.

Kisah Insiden Chushingura

Di tempat ini, di Sengakuji, menjadi saksi nilai-nilai Bushido dari 47 Ronin sebagai Samurai Tak Bertuan (Masterless Samurai) dijunjung tinggi.

Kisahnya berawal dari perintah Shogun Tokugawa ke-5 Tsunayoshi kepada Asano Naganori bergelar Takuminokami Naganori, -seorang daimyo (penguasa) muda wilayah Ako-, untuk menyambut Kira Yoshinaka bergelar Kozukenosuke di Istana Edo tahun 1701. Mungkin merasa lebih senior, -dua kali usianya dari Asano-, dan menganggap penting posisinya sebagai utusan resmi Shogun, Kira Yoshinaka berkali-kali memperlakukan Asano tidak dengan hormat dan merendahkan kehormatan daimyo muda itu. Bisa jadi Asano tidak terima direndahkan dan dihina berulang kali serta mungkin juga tak terbiasa protokol resmi di Istana Edo, sehingga Daimyo muda itu menghunus pedangnya dan melukai Kira walaupun tak sampai menewaskan. Tindakan seperti itu sangat dilarang di dalam Istana Edo pada waktu itu. Akibatnya jelas, Asano ditangkap dan dihukum.

DSC06764
The grave of Asano Naganori

Atas kesalahan Asano, -meskipun tanpa investigasi yang tepat-, serta untuk mengingat kehormatannya sebagai seorang Samurai, Shogun Tokugawa Tsunayoshi menghukum Asano untuk melakukan Seppuku (hara-kiri, sebuah ritual ksatria untuk mengakhiri hidup secara terhormat) di taman, di luar kediaman Tamura Ukyodayu di wilayah Shinbashi. Sesungguhnya saat itu, melakukan seppuku di luar rumah hanya untuk penjahat dan sangat tidak pantas dilakukan oleh seorang daimyo seperti Asano. Lebih jauh lagi, tanah Asano di Ako disita dan garis keluarganya diturunkan dari jajaran kebangsawanan.

Kemudian masih ditambah dengan adanya keputusan Shogun yang menyatakan klan Ako kehilangan hak untuk membangun kembali struktur kelompoknya. Sungguh kekecewaan memenuhi para samurai pengikut Asano yang kini menjadi Ronin (Samurai Tak Bertuan) setelah Asano melakukan seppuku. Rasa ketidakadilan ini menyebar ke rakyat yang diam-diam mendukung para Ronin. Dukungan tidak bisa terbuka  karena Shogun Tsunayoshi ditakuti atas kerasnya hukuman.

Dan di sisi lain, Kira Yoshinaka, -yang melakukan penghinaan terus menerus terhadap Asano dan penghinaan saat itu juga merupakan tindakan yang dilarang di Istana Edo-, tidak mendapat sanksi apapun dari Shogun. Keputusan Shogun tidak memberi sanksi kepada Kira disinyalir dipengaruhi oleh Yanagisawa Yoshiyasu, salah satu pembantu dekat Shogun yang berkuasa di belakang layar dan memiliki hubungan baik dengan Kira Yoshinaka. Bahkan, satu-satunya hukuman bagi Kira, -jika itu sebuah hukuman-, adalah diperbolehkan pensiun dini. Kemudian ia membangun kediaman baru yang luas di Honjo-Matsuzaka, dekat Istana Edo.

Waktu berjalan terus… Ke-47 Ronin yang kehilangan Asano, tetap menjalani hidup sesuai Bushido, terus menjiwainya, -sederhana, santun menjaga kehormatan, cermat dengan keahlian dan setia-. Dipimpin oleh mantan pemimpin kelompoknya, Oishi Kuranosuke, mereka merencanakan melakukan tindakan balasan terhadap apa yang dilakukan Kira kepada Asano. Berbulan-bulan mereka mengumpulkan informasi mengenai Kira, kediamannya yang berupa benteng, juga menyamar berbagai profesi dan saling bertemu untuk bertukar informasi.

DSC06770
The grave of Oishi Kuranosuke

Lalu tanggal 14 Desember 1702 di Edo yang tertutup salju, setahun setelah kematian Asano, junjungan mereka, terjadi sebuah peristiwa yang meletupkan esensi jiwa Samurai.

Para Ronin dari Ako itu berkumpul dekat kediaman Kira dan memberitahukan rencana penyerangan itu ke Tsuchiya Chikara, -tetangga Kira-, untuk membalaskan tindakan atas Asano dan memohon tidak mencampuri penyerangan ini. Tsuchiya memahami dan menyaksikan penyerangan yang berlangsung 2 jam dan selesai sebelum fajar. Seluruh Ronin selamat dan Kira terbunuh dengan kepala terpenggal, dengan belasan lainnya dari pihak Kira tewas serta puluhan lainnya luka-luka.

Dari rumah Kira, para Ronin berbaris menuju Kuil Sengakuji, tempat Asano dimakamkan dan membawa kepala Kira sebagai persembahan kesetiaan mereka kepada Asano dan pengembalian kehormatan Asano, yang dahulu mengalami penghinaan. Setelah upacara penghormatan di makam Asano di Sengakuji, para Ronin menyerahkan diri secara sukarela dan tertib kepada otoritas Shogun. Berita itu cepat tersebar ke seluruh Edo, termasuk Shogun Tsunayoshi sendiri, yang memuji kesetiaan mereka kepada Asano Naganori.

Meskipun rakyat mendukung untuk tujuan para Ronin serta mendapat simpati dari Shogun, bagaimanapun hukum harus ditegakkan. Sambil menunggu keputusan, para Ronin menjadi tahanan rumah dan ditempatkan di empat kediaman daimyo di luar Istana, yaitu di kediaman Hosokawa Tsunatoshi (dari Kumamoto), di kediaman Matsudaira Sadanao (dari Matsuyama), di kediaman Mori Tsunamoto (dari Choshu) dan di kediaman Mizuno Tadayuki (dari Okazaki).

Sementara di Istana, melalui pertimbangan cermat oleh pejabat senior yang juga mendengar dari Tsuchiya Chikara, -tetangga Kira-, disimpulkan serangan itu ditafsirkan sebagai tindakan berbasis kebenaran, namun sayangnya beralasan pribadi, tanpa persetujuan Shogun. Dengan demikian, untuk tindakan demi kebenaran itu, Shogun memerintahkan mereka melakukan seppuku – tindakan ritual mengakhiri hidup secara ksatria dan terhormat.

Akhirnya, pada tanggal 4 Februari 1703, hampir dua tahun setelah insiden awal, para Ronin serentak mengakhiri hidup mereka masing-masing di kediaman tempat mereka ditampung. Oishi Kuranosuke berusia 45 tahun, sementara putranya, Chikara, yang termuda, berusia 16 tahun. Ronin tertua adalah Horibe Yahei, berusia 77. Tubuh-tubuh mereka diabadikan di samping makam Asano Naganori di halaman Kuil Sengakuji. Dan peristiwa ini diingat sebagai insiden paling sensasional dalam Era Genroku (1688-1704), salah satu masa paling berbudaya di Zaman Edo (1603-1867).

Hukum dan Jalan Kebenaran

Rupanya Instruksi Shogun kepada Ronin untuk menjalankan Seppuku banyak dipengaruhi oleh Ogyu Sorai, seorang filsuf Jepang terkenal saat itu, yang membuat saya menerima sebuah pemahaman di Sengakuji. Bahwa meskipun 47 Ronin telah memilih Jalan Kebenaran dalam jiwanya, bagaimana pun hukum harus berlaku terhadap mereka, -yang tidak berada di atas hukum-, karena hukum merupakan tolok ukur untuk seluruh negeri.

Ada sebuah kalimat yang begitu menyentuh rasa dalam menentukan awal pemikiran tentang hukuman ini dari Ogyu Sorai,

A man controls his heart with decorum and his actions with righteousness

Seorang pria mengendalikan hatinya dengan kesantunan dan tindakannya dengan kebenaran

Para Samurai yang terkait dengan tindakan balas ini menganggap Kira sebagai musuh mereka karena Asano Naganori dihukum karena tindakan tidak terpujinya di Istana Edo dan mereka sengaja merencanakan tindakan pembalasan tanpa persetujuan dari Istana. Dalam hal ini Istana tidak dapat menoleransi tindakan mereka yang berseberangan dengan hukum.

Jika seluruh samurai dinyatakan bersalah dan dihukum untuk melakukan seppuku, -sesuai tradisi samurai-, maka tuntutan keluarga Uesugi (isteri dari Kira) akan terpenuhi dan kehormatan serta kesetiaan para samurai tetap terjaga.

Hal ini harus dilihat sebagai prinsip umum. Jika prinsip umum dikalahkan oleh pengecualian khusus, maka tidak akan ada lagi rasa hormat terhadap hukum di negara ini.

DSC06771
Another angle of the graves of the loyal retainers

Isagiyosa

Sambil melangkah menyusuri satu per satu tonggak nisan mereka, saya mengingat-ingat salah satu aspek yang dikagumi dari para Ronin dari Ako ini. Karena mereka menunjukkan isagiyosa, sebuah kebajikan yang bermakna mampu menyambut kematian dengan ketenangan yang mendalam dan penuh kebanggaan, untuk sebuah akhir yang baik.

Serangan ke rumah Kira itu memang direncanakan cermat, penuh perhitungan, tidak mendadak dan para Ronin tahu bahwa mereka menghadapi kematian. Ketika waktu mereka tiba, mereka melakukannya dengan anggun dengan bangga, sebagai samurai. Mengetahui ini, hati saya langsung meluruh saat itu, mengingat ayah yang baru dua hari sebelumnya berpulang.

Semesta membuat saya yang saat itu sedang berduka untuk menjejak Sengakuji, dengan aliran kisahnya yang begitu mengagumkan, tentang kesetiaan pada kebenaran, keadilan, tentang kesederhanaan dan membela kehormatan serta mengakhiri semuanya dengan ketenangan yang mendalam dan kebanggaan. Fulfilled. Penuh, lengkap. Akhir yang baik… dan saya menitikkan airmata mengingat ayah saya… Semoga ayah mengakhirinya dengan ketenangan dan fulfilled, dengan baik… Seperti para Samurai di Sengakuji ini.

Dan saya terharu lagi saat menuliskan paragraf ini, lagi-lagi karena mengingat ayah saya (maaf ya). Ke-47 Ronin itu serupa bunga Sakura, yang di Jepang menjadi simbol Isagiyosa, sebuah kebajikan yang indah, -anggun namun fana-, sesaat mekar dalam waktunya lalu gugur sesuai takdirnya. Ke-47 Ronin menunjukkan Isagiyosa, mereka merangkul kefanaan dunia. Mereka yang melewati gerbang kematian dengan ketenangan dan kebanggaan atas kebenaran yang diyakininya. Manusia yang menyelesaikan tugasnya dan mengakhirinya dengan baik.

Sungguh Yang Maha Kuasa mempunyai cara yang amat indah menjelaskan berpulangnya ayah saya dan mengapa saya berada disini, di Sengakuji. RencanaNya selalu indah, selalu tepat pada waktunya.

DSC06769
The graves of Loyal Retainers

*****

Sejak kejadian tiga abad lalu hingga kini, berbagai drama populer dan Kabuki dibuat dengan tema mengenai Insiden Chushingura yang menyentuh hati ini. Dan setiap 14 Desember di Sengakuji selalu diadakan 47 Ronin Ako Festival.

Untuk mengakses Sengakuji Temple: Gunakan Jalur Subway Asakusa hingga Stasiun Sengakuji. Dari Stasiun tinggal jalan kaki sekitar 5 menit menanjak landai.

~~~~~~~

Sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina & saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-4 ini bertemakan Semangat, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

Warna-Warni Rute Subway di Tokyo


Sejak pertama kali menjejak Tokyo bertahun-tahun lalu, selain menggunakan kereta komuter JR Yamamote line yang ada di atas tanah, saya selalu menggunakan kereta bawah tanah (Subway), -yang jaringannya sudah mirip Spaghetti-, untuk mencapai destinasi yang saya inginkan, tentunya dengan bantuan aplikasi juga seperti hyperdia(dot)com dan Tokyo Metro(dot)com juga. Saya ingat, pertama kali memandang peta subway Tokyo ini, saya ngakak abis, sambil geleng-geleng kepala, pasrah menghadapi ruwetnya…

Tetapi saya yakin tak sendirian karena, jangankan turis yang baru pertama kali, orang lokal saja kadang terdiam mengamati papan rute kok. Untungnya (iya, selalu ada untungnya kan?), jalur itu dibuat warna-warni. Selain memudahkan untuk menelusurinya, bagi saya peta itu terlihat indah dengan warna-warni rutenya. Satu jalur satu warna, coba bayangkan bila rute itu hanya dibuat hitam putih! :p

tokyo metro

Terima kasih Wikipedia karena katanya, salah satu jalur subway di Tokyo yaitu Jalur Ginza antara Ueno dan Asakusa sepanjang 2,2 km itu, merupakan jalur subway pertama di Jepang yang dioperasikan untuk publik di tahun 1927. (Duh, Indonesia ketinggalan banget ya, hampir 100 tahun bedanya dengan Jepang, padahal di dunia subway pertama kali berfungsi tahun 1863 di London!).

Sekarang ini, di Tokyo tersedia 13 jalur subway yang terdiri dari 9 jalur yang dikelola oleh Tokyo Metro dan 4 jalur yang dikelola oleh Toei Subway, yang melintasi lorong-lorong bawah tanah Tokyo yang bertingkat-tingkat kedalamannya. Setiap stasiun pasti ada lift untuk mereka yang mendapatkan prioritas seperti para lanjut usia dan anak-anak. Maaf ya, saya kadang mencuri kesempatan naik lift itu karena kaki sudah mau putus rasanya…

Seperti yang dilihat pada gambar di atas itu, jalur-jalur subway di Tokyo mencakup:

Jalur Subway Yang Dikelola oleh Tokyo Metro

  1. Jalur Ginza, yang berwarna oranye, mencakup 19 stasiun dari Stasiun Shibuya hingga Stasiun Asakusa, melewati stasiun-stasiun besar seperti Akasaka, Shimbashi, Ginza, Ueno untuk mencapai tempat-tempat turis yang terkenal dan 16 stasiun diantaranya merupakan stasiun transfer dengan jalur lain. Di Shibuya sendiri, sebagai awalan jalur Ginza dan juga dilewati oleh jalur Yamamote, terkenal dengan Patung anjing setia Hachiko dan Persimpangan Pejalan Kaki (Shibuya Crossing), selain menjadi surga bagi yang suka belanja. Saya termasuk pengguna setia jalur ini karena saya biasanya menginap di daerah Asakusa atau Ueno.
  2. Jalur Marunouchi, yang berwarna merah, mencakup 25 stasiun, dari Ogikubo yang ada di Barat Tokyo hingga Ikebukuro, melewati daerah bisnis Marunouchi yang berada di kawasan Stasiun Tokyo. Uniknya, Jalur Marunouchi ini bercabang, sehingga ada sebagian kereta yang melewati 4 stasiun yang berbeda tapi parallel, di wilayah Suginami dan wilayah Nakano. Rasanya, jalur Marunouchi ini satu-satunya jalur subway yang bisa transfer di Stasiun Tokyo (bukan dengan stasiun lain yang terintegrasi dengan Stasiun Tokyo ya), dengan kereta Shinkansen dan kereta-kereta komuter yang berfungsi di atas permukaan tanah.
  3. Jalur Hibiya, yang berwarna perak abu-abu, mencakup 21 stasiun, dari Naka-Meguro di Barat Daya Tokyo hingga Kita-senju. Bahkan dari stasiun terakhir ini, bisa transfer dengan kereta Tobu-Skytree yang menuju Sky-tree. Jalur Hibiya ini juga melewati daerah Ebisu, Roppongi (dekat Tokyo Tower), Tsukiji (untuk mencapai Tsukiji Fish Market), Ueno (untuk transfer dengan Shinkansen yang ke Utara Jepang).
  4. Jalur Tozai, yang berwarna biru langit, mencakup 23 stasiun dari Nakano hingga Nishi Funabashi. Kereta jalur Tozai ini termasuk kereta cepat (Rapid) karena tidak berhenti di beberapa stasiun setelah Toyocho.
  5. Jalur Chiyoda, yang berwarna hijau, mencakup 20 stasiun dari Yoyogi-uehara hingga Ayase atau Kita-ayase untuk jalur cabangnya dari Ayase. Jalur ini digunakan untuk mencapai Mesjid Tokyo yang terletak tak jauh dari Yoyogi-uehara. Jalur ini juga bisa digunakan untuk menuju Taman Yoyogi (turun di Yoyogi-koen)
  6. Jalur Yurakucho, yang berwarna kuning keemasan, mencakup 24 stasiun dari Wakoshi di wilayah Saitama hingga Stasiun Shin-Kiba di sebelah Timur Tokyo. Lucunya, 9 stasiun pertama dari Wakoshi hingga Ikebukuro, jalur Yurakucho ini berbagi stasiun yang sama dengan jalur Fukutoshin. Akhir dari jalur Yurakucho adalah Shin-Kiba yang merupakan 1 stasiun sebelum Stasiun Maihama yang merupakan stasiun transit menuju Disneyland
  7. Jalur Hanzomon, yang berwarna ungu, mencakup 14 stasiun dari Stasiun Shibuya hingga Stasiun Oshiage, yang keseluruhan stasiunnya merupakan stasiun transit dengan jalur lain, kecuali Hanzomon yang merupakan stasiun untuk menuju Gerbang Barat Imperial Palace yang terkenal sebagai tempat turis di Tokyo. Selain itu, stasiun akhir Oshiage merupakan stasiun terdekat untuk mencapai Skytree.
  8. Jalur Namboku, yang berwarna hijau biru toska, mencakup 19 stasiun dari Meguro di wilayah Shinagawa hingga Stasiun Akabane-iwabuch di wilayah Kita. Sebagai warga Indonesia, jika ingin ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo, turunlah di Stasiun Meguro, dan berjalan kaki sekitar 10 menit. Dari tempat ini juga bisa menuju Mesjid Indonesia SRIT di Tokyo, dengan berjalan kaki sekitar 15 menit (walaupun saya sendiri belum pernah kesana ya)
  9. Jalur Fukutoshin, yang berwarna coklat, mencakup 16 stasiun dari Wakoshi hingga Shibuya, melewati stasiun-stasiun penting untuk mencapai destinasi turis, seperti Ikebukuro, Shinjuku, Harajuku. Serunya, stasiun ini merupakan stasiun terdalam hingga 27 meter ke bawah tanah, bahkan di Higashi Shinjuku mencapai 35meter, kata Wikipedia lho…

Jalur Subway Yang Dikelola oleh Toei Subway,

  1. Jalur Asakusa, yang berwarna pink atau merah jambu, mencakup 20 stasiun dari Nishi Magome di wilayah Ota hingga ke Oshiage di Sumida. Bagi yang menginap di daerah Asakusa atau yang mau ke Sensoji Temple, jalur Asakusa ini pastilah sering digunakan selain Jalur Ginza. Jalur Asakusa ini melewati Daimon yang merupakan stasiun interchange dengan Hamamatsucho, yaitu stasiun yang menghubungkan kereta monorail dari Haneda. Jalur Asakusa ini juga sering saya gunakan.
  2. Jalur Mita, yang berwarna biru, mencakup 27 stasiun dari Meguro di wilayah Shinagawa hingga Nishi-takashimadaira di wilayah Itabashi, merupakan salah satu jalur subway yang paling banyak memiliki stasiun pemberhentian.
  3. Jalur Shinjuku, yang berwarna hijau daun atau hijau muda, mencakup 21 stasiun yang berawal dari Stasiun Shinjuku yang sangat luas itu hingga Stasiun Motoyawata di wilayah Chiba.
  4. Jalur Oedo, yang berwarna ruby atau magenta mencakup 38 stasiun dari Tochomae (aneh ya mulai dari stasiun nomor E28), kemudian Shinjuku Nishiguchi, E01 lalu berputar melalui Lidabashi, Ueno Okachimachi, Tsukijishijo, Shiodome, Daimon, Roppongi, kembali ke Shinjuku lalu tadaaa… kembali ke Tochomae (E28) dan lanjut hingga Hikarigaoka. Stasiun ini merupakan salah satu yang terdalam, sekitar 48 meter di bawah permukaan tanah (source: Wikipedia) termasuk saat melintasi di bawah Sungai Sumida.

JR Pass dan Subway di Tokyo

Banyak orang mengira dengan memiliki JR Pass yang mahal itu maka semua moda transportasi di Jepang seluruhnya sudah tercakup didalamnya, padahal samasekali salah. JR Pass akan sangat efektif bila dipakai untuk transportasi antar kota dengan kereta JR, namun rugi jika hanya dipakai di satu kota. Di Tokyo sendiri, memegang JR Pass berarti hanya bisa naik kereta JR (Yamamote dan Chuo-Sobu). Jalur Yamamote yang memutar Tokyo memang melewati hampir semua tempat-tempat turis. HAMPIR lho… -kecuali mau jalan kaki-, karena masih banyak tempat yang bagus yang lumayan jauh (buat saya) kalau jalan kaki. Jadi mending naik subway! Dan yang  pasti adalah: JR Pass tidak berlaku untuk naik Subway.

Jadi apabila JR Pass masih berlaku dan ingin keliling Tokyo, maka kita harus pandai-pandai mengatur tujuan. Jika tujuannya jauh dari stasiun JR Yamamote (bisa naik Yamamote gratis dengan menunjukkan JR Pass), maka sebaiknya membeli tiket subway. Kalau saya, karena malas berpikir, saya beli saja Subway passes, yang 1 atau 2 atau 3 hari (dengan harga masing-masing 800/1200/1500Yen) selama hari itu akan keluyuran di Tokyo sampai kaki pegal-pegal mau copot!

Jika dibandingkan, antara membeli tiket kereta satu per satu sesuai jarak stasiun yang makin jauh makin mahal, saya memilih tiket harian itu. Karena tiket harian bisa digunakan sampai 24/48/72 jam setelah efektif penggunaan kereta pertama kali. Jika jarak terdekat sudah dihargai 170Yen, rasanya tak mengapa saya membeli Subway Pass. Lagipula, dengan kebiasaan saya yang suka tersesat, rasanya tak perlu menyesal kalau salah arah karena tinggal balik lagi kan? Selain itu, tidak perlu lagi pencet-pencet di mesin tiket, apalagi jika mesin penuh maka harus antri, dan itu artinya buang waktu.

Jika menggunakan PASMO/Suica Card (serupa kartu e-money) untuk naik subway, ya hitung saja secara seksama. Dengan menggunakan kartu-kartu itu, tetap saja harga berkisar tak jauh dari 170Yen hanya kita mendapat diskon. Kalau 10 kali sudah 1700 Yen kan? Padahal dengan harga yang sama, saya bisa mendapat kartu pass subway untuk 3 hari dan masih sisa 200 Yen.

Belinya dimana? Ya di semua stasiun subway melalui vending machine. Jangan takut ada bahasa Inggeris kok di setiap mesin itu.

Oh ya, seluruh operasional kereta di Jepang tidak berfungsi 24 jam lho…, ada sih yang sudah beroperasi dini hari, tetapi biasanya sekitar tengah malam sudah berhenti beroperasi. Jadi jangan ketinggalan kereta ya, gak ada kereta lagi yang akan lewat… 😀

<><><>

Pos ini sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu 1 bertemakan Colourful Everywhere, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – Building with A Million Lines


Tokyo International Forum.

Completed 3 years ahead of the millennium, this magnificent building made me amazed with its sophisticated grandeur. It is really an architectural marvel I’ve ever seen. No wonder, it needed a well-planned project that spanned over ten years before finally started to build.

Tokyo International Forum is Tokyo’s first convention and art center which consists of a glass atrium and four buildings with a different design for each.

The glass atrium made me jaw-dropped. It showcases a design of a ship supported by grand and tall pillars. Walking inside the building and looking up, cast a surreal experience for me with breathtaking patterns and lines.

lines1
The up lighted floor near Tokyo International Forum

lines2
Inside Tokyo International Forum

lines3
A Wall of Wooden lines in Tokyo International Forum

Tokyo International Forum
Tokyo International Forum

 

Japan – Haneda


Melalui jendela pesawat, saya melongok ke malam gelap itu, tampak kerlip-kerlip lampu jauh di bawah sana, ada kota besar, bisa jadi Hong Kong, Taipei atau Shanghai, entahlah… Saya masih teringat saat jelang malam mulai menghias pandang, semburat kuning yang cantik memberi pantulan awan-awan yang sangat luar biasa. Tetapi pemandangan tadi sudah ditelan malam, menurut perkiraan, penerbangan masih sekitar dua setengah jam lagi. Ah, saya memang tak sabar untuk bertemu kembali dengan Tokyo.

Heading Tokyo
Heading Tokyo

Rasanya waktu berjalan selambat kura-kura, tetapi akhirnya pilot memberitahukan akan segera mendarat di Haneda. Ah… finally! Saya kembali memandangi malam yang gelap di luar jendela itu, dengan rasa haru yang memenuhi kalbu. Dalam hitungan menit, perjalanan kami sekeluarga yang telah tertunda bertahun-tahun akhirnya akan terwujud. Dreams come true…

Roda-roda pesawat menyentuh landasan Haneda dengan sangat mulus, jauh berbeda dengan grunjalan saat lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang membuat hati miris. Dalam sekejap terlihat melalui jendela, selagi pesawat masih bergerak menuju terminal, kondisi bandara di luar yang terang benderang penuh dengan lampu-lampu rambu warna-warni. Welcome to Japan!

Haneda…!

Haneda dahulu merupakan sebuah nama kota, tetapi kini takkan pernah ditemukan lagi di peta Jepang modern, karena telah dihapuskan pada tahun 1947 sebagai akibat penggabungan wilayah Omori dan Kamata menjadi wilayah Ota yang dikenal hingga kini, dan hanya menyisakan 3 wilayah kodepos dari perkampungan nelayan jaman Edo: Haneda, Haneda Asahi-cho dan Haneda Kuko. Siapa yang bisa menduga daerah terpencil tak jelas itu pada akhirnya menjadi sebuah bandara yang terkenal ke seluruh dunia yang mampu menorehkan kenangan tak terlupakan? Ah, bukankah bandara merupakan tempat dua hati yang gembira karena berjumpa, tetapi juga ada hati yang retak terpisah dan tak sedikit yang dipenuhi rasa tak rela berpisah…?

Malam hampir mencapai puncak berganti tanggal, kantuk yang tergambar di wajah dengan cepat menghilang dan berganti dengan semangat penuh sukacita. Kami meninggalkan pesawat lalu menyusuri lorong lebar dengan travelator disana-sini hingga akhirnya sampai ke ruang imigrasi yang disambut  beberapa petugas yang tak lagi muda, sigap membagi pengunjung dengan sangat efisien. Keraguan  proses imigrasi akan berlangsung lama karena antrian orang yang mengular itu ternyata bisa langsung ditepis, karena sejak masuk antrian hingga meninggalkan imigrasi, kami berempat hanya perlu waktu 15 menit. Sambutan selamat datang pertama dari Haneda yang menyenangkan jiwa raga… Hanya 15 menit!

Kami melangkah mengabaikan koper yang berbaris di tempat pengambilan bagasi karena hanya ransel yang kami bawa. Petugas Customs yang merupakan lapis kedua pemeriksaan pengunjung sesigap petugas imigrasi sebelumnya, walaupun saya memiliki sedikit rasa bersalah telah menyembunyikan sekotak keju dan abon di dalam ransel 😀

Dia Yang Setia Menunggu

Beberapa menit kemudian kami telah sampai pada area publik. Lantai kedatangan yang luas itu masih dipenuhi orang yang berlalu lalang walaupun hari hampir berganti tanggal. Haneda memang bandara yang terkenal aktif di tengah malam. Saya berdebar melangkah menuju tempat yang dijanjikan, -yang terletak di sudut dari lantai keberangkatan, satu lantai di atas lantai kedatangan-, sambil mengingat-ingat arah sesuai peta yang dikirimkan beberapa hari sebelumnya.

Sesampainya disana, sambil mengucapkan ‘Konbanwa’ (Selamat Malam), saya menyapa perempuan yang mungkin bisa membantu mempertemukan saya dengannya. Perempuan Jepang itu menatap penuh selidik lalu berbalik dalam diam dan menjauh. Saya memandang punggung perempuan itu dengan sejuta harap, apakah saya bisa berjumpa dengannya. Saya percaya janji setianya menunggu sampai saya datang.

Detik waktu berjalan selambat kura-kura, satu detik, dua detik, satu menit, dua menit, perempuan itu gelisah menangkap pandangan saya yang terus mengikutinya. Sebelum menyerah, perempuan itu meminta bantuan seorang laki-laki di dekatnya dengan menggunakan bahasa Jepang. Saya berdebar, sejumput keraguan menghampiri, jangan-jangan dia tak pernah datang. Inikah artinya PHP? Bukankah tradisi Jepang tak mengenal harapan palsu? Udara AC yang seharusnya sejuk tak mampu mengalahkan udara yang lembab. Titik-titik keringat memenuhi leher dan dahi, sambil mengipas menahan sabar saya menunggu , tetap percaya dia tak pernah ingkar janji.

Akhirnya perempuan itu berbalik tersenyum menghadap saya kembali. Bersamanya. Bagaikan ladang kering yang bertahun tak mengenal hujan, senyum perempuan itu mengguyur habis kegelisahan yang ada. Dia ada disana. Setia menunggu saya datang menjemputnya.

Dia, sebuah paket mobile WIFI hitam yang telah saya pesan seminggu sebelumnya. Barang kecil pembawa kegembiraan karena memungkinkan kami untuk terus berhubungan dengan dunia luar, kerabat, teman-teman dan keluarga di Indonesia, sesuai tracking-nya memang telah sampai pada siang hari di tempat pengambilan dan setia menunggu saya 😀

Haneda - Departure Terminal
Haneda – Departure Terminal

Yang Tak Ternilai

Setelah pengambilan itu, wajah-wajah tercinta dihiasi rasa heran melihat saya melangkah lagi menuju sudut lain di lantai yang sama, menjauh dari pintu keluar. “Si Mama mau kemana lagi? Bukankah ini malah menjauhi stasiun kereta?”, mungkin demikian pikir mereka.

Saya melirik mereka semua yang mengikuti dengan yakin tanpa bertanya. Sebuah ide iseng penuh kejahilan tiba-tiba muncul di benak. Kalau saya jalan memutar lantai keberangkatan ini, mereka tidak akan tahu dan tetap mengikuti saya seperti bebek. Devil’s laughter nyaring berbunyi di kepala. Dengan muka lurus tanpa ekspresi saya tetap melangkah dan mereka terus mengikuti…

Rencana awal kami adalah tidur di kursi-kursi bandara menunggu pagi, tetapi saya penuh pertimbangan untuk hal ini. Dalam trip sebelumnya saya pernah mengajak mereka tidur di bandara namun kemudian diikuti muka zombie sepanjang hari saat mengunjungi tempat-tempat wisata yang diakhiri dengan si kakak yang sakit di akhir perjalanan dan tidak fitnya teman sekasur saya. Saya tak mau hal itu berulang di Jepang, karena banyak tempat wisata yang terlalu bagus untuk didatangi dengan muka zombie. Saya ingin seluruh keluarga bisa beristirahat dengan baik setelah perjalanan panjang dari Jakarta. Dan keesokan harinya bisa segar dengan mandi yang nyaman agar bisa menjelajah Tokyo. Istirahat cukup, apalagi di tempat yang enak, dan mandi dengan kesegaran baru, dua hal yang menentukan untuk mempertahankan kesehatan dan kegembiraan liburan bagi keluarga, karena kesehatan sungguh tak ternilai. Tentu saja harus ada yang dikorbankan, dan demi mereka saya memilih mengorbankan uang.

Saya terus melangkah dan mereka di belakang masih mengikuti saya seperti bebek… hihihi…

Di ujung lorong, di balik sudut itu, semuanya pasti berubah. Saya tahu dalam hitungan detik, salah satu dari mereka atau semuanya akan mengejar saya, mencubit atau memeluk sayang tak percaya. Bayangan tidur di kursi-kursi bandara perlahan mengabur. Saya sampai di ujung lorong.

Royal Park Hotel - Haneda
Royal Park Hotel – Haneda

Berbalik lalu memandang penuh cinta kepada mereka semua sambil melakukan group-hug, saya mempersembahkan kejutan hari pertama buat mereka agar bayangan tidur di kursi-kursi bandara menghilang,

Surpriseee…hotel kita malam ini

Dalam kegembiraan penuh sukacita yang melambung, kami semua berdiri di depan lorong dan membaca pelan-pelan tulisan yang berada di ujung, Royal Park The Haneda Hotel.

Waktunya berpelukan lagi…

Kejutan indah awal liburan menginap di hotel keren yang senyap di bandara yang sibuk, meskipun mahal… hal… hal… nget… nget… nget, mengantar kami ke alam mimpi penuh suka cita, menghapus lelah sebelumnya dengan senyum lebar menjadi kesegaran dan keceriaan penuh semangat baru untuk menjelajah Jepang.

Dan saya pun bermimpi kartu kredit berubah bentuk lalu hidup dan menagih hutang…

View from Haneda in the morning
View from Haneda in the morning

Tokyo – Tempat Wisata Gratis Sekitar Shinjuku dan Shibuya


Walaupun banyak gedung tinggi perkantoran di Shinjuku, kawasan ini sebenarnya menyimpan suasana hectic, heboh penuh keriaan dibalik wajahnya yang sangat ‘business-like’. Banyak penginapan dari yang murah hingga bintang lima berserakan menyambut tamu di kawasan ini, juga tak beda dengan penjual makanan dari yang pinggir jalan sampai fine-dining. Tak mau kalah, Stasiun Shinjuku yang memiliki banyak interchange dengan jalur kereta lain, merupakan salah satu stasiun kereta yang tersibuk di dunia setelah New York dan Paris. Semua tumpah ruah di kawasan Shinjuku dan sekitarnya.

Shinjuku Station At Night
Shinjuku Station At Night

Tetapi bukan Jepang namanya, jika tak dilengkapi dengan fasilitas yang mendukung pariwisata. Apapun keadaan Shinjuku, tetaplah merupakan kawasan yang tourist-friendly bahkan termasuk untuk turis yang memiliki dana terbatas. Sehingga tempat wisata yang tak dikenakan biaya masuk alias gratis selalu menarik untuk dikunjungi. Jika dalam tulisan sebelumnya dituliskan mengenai tempat wisata gratis di sekitar Tokyo Station, Ginza dan Asakusa, maka kali ini di sekitar kawasan Shinjuku dan Shibuya.

Gedung Kembar Tokyo Metropolitan Government

Jika sedang jalan-jalan atau tinggal di daerah Shinjuku, jangan lupa mampir ke gedung TMG (Tokyo Metropolitan Government) yang merupakan salah satu landmark Tokyo dan terdiri dari dua gedung kembar serta menyediakan lantai pengamatan (observatory deck) di Lt. 45, -di gedung Selatan maupun di gedung Utara-, untuk melihat pemandangan kota Tokyo. Bila sedang beruntung dalam cuaca cerah keindahan Gunung Fuji di kejauhan juga bisa terlihat.

Tak perlu merasa ragu karena banyak petugas ramah yang akan mengarahkan menuju liftnya. Gedung ini dibuka setiap hari, pk. 09:30 – 23:00 namun untuk Gedung Selatan hanya sampai pk. 17:30, kecuali 1 Januari, dan hari-hari pemeriksaan setiap Selasa minggu pertama dan ketiga untuk gedung Selatan dan Senin kedua dan keempat untuk Gedung Utara. Lantai pengamatan ini dibuka bila hari-hari pemeriksaan jatuh pada hari libur nasional dan akan tutup pada hari kerja berikutnya. Di lantai 45 itu, kita bisa membeli minuman di vending machine, walaupun ada café buat mereka yang mengharapkan kenyamanan.

Travelator to TMG Building
Travelator to TMG Building

Akses: St. Tochoma Subway (E28) atau jika turun di Stasiun Shinjuku, bisa berjalan kaki ke TMG melalui underpass yang sejuk dan memiliki fasilitas travelator seperti di bandara. Lumayan banget untuk mengistirahatkan kaki barang sejenak…
Foto View dari TMG, travelator to TMG

View From TMG with Mode Cocoon Tower on the right
View From TMG with Mode Cocoon Tower on the right

*

Gedung-gedung Pencakar Langit di Shinjuku

Shinjuku juga merupakan kawasan gedung-gedung tinggi, sehingga kita bisa menikmati pemandangan gedung tinggi di sekitaran Stasion Shinjuku itu. Tak jauh dari TMG dapat disaksikan Mode Gakuen Cocoon Tower, gedung pendidikan 50 lantai yang memiliki tiga kampus. Keren ya bila kampus ada di lantai 50!

Apalagi di malam hari saat lampu-lampu dinyalakan, pemandangan sepanjang jalan sangat menawan.

Yang mungkin perlu diingat bila berada di Station Shinjuku, jangan salah arah keluarnya ya. Jika keluar ke Barat, kita akan menemukan banyak gedung pencakar langit, tetapi seandainya salah langkah ke Timur Laut yang akan ditemukan adalah Kabukicho, kawasan hiburan malam dan red-light district yang penuh dengan love hotel dan clubs 😀 😀 😀

Akses: tinggal keluar dari Stasiun Shinjuku ke jalan raya di sebelah Barat menuju Gedung Tokyo Metropolitan Government.

Some Skyscapers around Shinjuku
Some Skyscapers around Shinjuku

Harajuku Style dan Daisho

Walaupun Harajuku style sudah lama lewat, tak salah menyambangi tempat itu. Kehebohan di Harajuku bisa disaksikan di jalan yang terkenal dengan nama Takeshita Dori yang memiliki keunikan menampilkan berbagai karakter imut-imut, girly dan idola remaja sepanjang jalan. Selain itu, di kawasan itu dapat ditemukan Daisho yang menjual barang-barang dengan harga kelipatan 100Yen yang tentunya bisa digunakan sebagai oleh-oleh dari Jepang.

Tidak perlu lama-lama di sana, jika sudah mendapatkan nuansanya kita bisa melanjutkan perjalanan kembali, kecuali memang niat untuk berbelanja ya…

Akses: Stop di Stasiun Harajuku menggunakan JR Yamamote Line lalu menyeberang Jalan Raya.

Yoyogi Park

Taman luas yang indah ini sekan menjadi paru-paru kota diantara hutan-hutan beton daerah Shinjuku dan sekitarnya. Taman yang di tengahnya terdapat kolam persegi lengkap dengan air mancurnya ini seakan menambah kesegaran bagi yang mengunjungi saat musim panas. Walaupun demikian Yoyogi Park juga sangat cantik dalam musim semi dengan sakuranya yang mekar atau daun-daun yang berubah warna kuning dan merah khas warna musim gugur maupun ranting-ranting tanpa daun yang diselimuti salju saat musim dingin. Dan yang terpenting tidak ada biaya masuk!

Akses: Yoyogikoen Subway St. (C02), Meiji-jinguemae (C03) atau JR Harajuku Station (Yamamote), buka setiap hari.

Meiji Jingu

Berada di dalam Yoyogi Park, Meiji Jingu merupakan kuil Shinto yang didedikasikan kepada Kaisar Meiji dan isterinya. Dibangun pada tahun 1920 dengan menanam lebih dari 100.000 pohon yang didonasikan dari seluruh negeri.

Akses Meiji-Jinguemae Subway St. (C03) atau JR Harajuku Station (Yamamote), buka setiap hari dari pagi hingga sore.

Omotesando

Tidak ada salahnya berjalan kaki menikmati hari di pinggir jalan besar yang rindang karena dipenuhi pepohonan di kiri kanan jalan sambil melihat-lihat atau mampir di café atau toko yang ada. Di bulan Desember seluruh pepohonan di pinggir jalan ini dipasangi lampu sehingga terlihat deretan yang sangat menawan jika dikunjungi pada malam hari.

Shibuya Icon
Shibuya Icon

Shibuya Crossing

Disini tempatnya untuk melihat Shibuya Crossing, segerombolan orang yang menyeberang di persimpangan secara bersamaan. Karena memang, -sepanjang yang saya ketahui-, hanya di Jepang yang memiliki zebra cross diagonal. Biasanya kalau kita hendak menyeberang ke tempat yang letaknya diagonal di seberang jalan, kita harus menyeberang jalan dua kali, itu artinya dua kali menunggu lampu lalu lintas. Di Shibuya Jepang, semua kendaraan dari berbagai arah itu berhenti dan di persimpangan itu orang bisa menyeberang jalan secara normal atau diagonal. Kacau? Tidak juga, karena mereka tetap menyeberang dengan tertib. Bayangkan saja apabila sedang jam sibuk…

Dimana tempat mengambil foto yang bagus untuk di Shibuya Crossing? Banyak yang mengatakan sebuah café kopi internasional memiliki view langsung ke Shibuya Crossing, tetapi tentu saja harus memesan terlebih dahulu. Saya sendiri lebih memilih berada di antara kerumunan orang-orang yang hendak menyeberang itu. Rasanya seru saja…

Shibuya Crossing, Tokyo
Shibuya Crossing, Tokyo

*

Patung Hachiko

Bila ada seekor anjing setia menunggu kedatangan majikannya bertahun-tahun sampai ajal menjemput tanpa ia tahu bahwa majikannya sendiri telah meninggal dunia dan didirikan monumen untuknya, maka itulah kisah Hachiko. Kisah yang diangkat ke layar lebar dengan Richard Gere berperan sebagai Professor Ueno, majikan Hachiko, membuat saya menyempatkan diri ke tempat ini walaupun sejujurnya, film ini tidak bisa saya lihat dari awal hingga akhir secara jelas karena pasti sudah kabur dengan airmata.

Tempat patung Hachiko berdiri sendiri sekarang menjadi semacam meeting point. Padahal saat pertama kali mencarinya, saya sampai berkeliling Shibuya Station berkali-kali. Mungkin karena sangat terkenal, arah pintu keluar menuju Patung Hachiko di Shibuya Station sampai dinamai dengan Hachiko Exit. Jadi jika sudah melihat Hachiko Exit maka langkah Anda menuju Hachiko sudah dekat, demikian juga Shibuya Crossing yang hanya berjarak sekitar 100meter dari Hachiko.

Oh ya, seandainya Anda berada di Hachiko, coba diam sebentar di dekat Patung Hachiko setelah berfoto dengannya, pasti dalam waktu yang tidak lama ada turis Indonesia yang akan berfoto di situ. Tak salah jika Anda menyapanya dan membantu mengabadikannya dengan Hachiko. Pasti ada senyum lebar menyambut…

Hachiko, symbol of Loyalty, Shibuya
Hachiko, symbol of Loyalty, Shibuya

Baca sebelumnya:

  1. Tempat Wisata Gratis di Tokyo Station dan Asakusa

Tempat Wisata Gratis di Kawasan Stasiun Tokyo dan Asakusa


Tokyo memang magnet kuat buat wisatawan karena sepertinya masyarakat Jepang tahu persis bagaimana memanjakan para wisatawan yang datang ke negerinya itu. Dengan penataan yang menawan hati dan nyaman untuk dikunjungi serta diberikan informasi yang jelas, wisatawan mana yang tidak tertarik untuk berkunjung ke Jepang, lagi dan lagi…

Dan meskipun Tokyo termasuk kota termahal di dunia, sesungguhnya tidak sedikit tempat wisata tersebar seantero Tokyo yang dapat dikunjungi tanpa biaya masuk alias gratis, tis, tis… Sepanjang kaki masih kuat menapaki tangga dari stasiun kereta atau subway yang menjadi transportasi publik yang dapat diandalkan di Jepang, kita bisa mendatangi tempat-tempat wisata yang terkenal. Apalagi jika kita memiliki kartu pass Tokyo, yang bisa mengakses subway, metro atau kereta loop-line Yamamote.

Karena banyaknya tempat wisata yang masuk dalam kategori ini di Tokyo, saya menuliskannya dalam dua tulisan. Bagian pertama mencakup kawasan Tokyo Station dan Asakusa lalu dilanjutkan pada bagian kedua yang mencakup kawasan Shinjuku dan Shibuya. Tentu saja masih banyak tempat terkenal dan gratis yang belum dimasukkan disini, supaya nanti bisa jadi tulisan yang lain kan…

Tokyo Station

Selesai dibangun pada tahun 1914, bangunan bergaya Renaissance dengan batu bata merah ini awalnya direstorasi menjadi gedung stasiun kereta dua lantai saja setelah perang, tetapi pada tahun 2012 akhirnya pemerintah Jepang merekonstruksinya kembali sesuai bangunan awal.

Selain memang aslinya menjadi pusat stasiun kereta, bangunan ini juga menyediakan fasilitas belanja dan makan. Untuk sekedar tahu saja Stasiun Tokyo ini sangat luas karena memiliki interchange dengan jalur kereta lainnya yang terbanyak di Tokyo, jadi perhatikan arahnya dengan cermat, jangan sampai tersesat! (berbagi pengalaman pribadi karena lupa letak locker sehingga harus berputar-putar lama di Stasiun ini 😀 )

Saya menyempatkan diri untuk menikmati façade dari Tokyo Station, karena biasanya saya dan pengunjung lainnya hanya bertukar kereta di dalam stasiun dan tidak keluar untuk menikmati gedung-gedung di luarnya. Tetapi sempatkan untuk menikmati kubah yang indah di dalam Tokyo Station , di dekat pintu keluar ke arah jalan raya.

Akses: Exit Marunouchi Tokyo Station

*

Tokyo International Forum

Dari nama, bentuk dan lokasinya, kelihatannya tempat ini sangat business-like padahal tidak selalu demikian. Tokyo International Forum merupakan kawasan untuk konser musik, pameran dan event internasional lainnya. Yang menarik tempat ini adalah dinding luarnya terbuat dari bahan kaca tembus pandang dan pengunjung dapat menikmatinya hingga ke lantai-lantai atas tanpa biaya, termasuk berjalan-jalan di jembatan-jembatan penghubungnya asalkan tidak takut ketinggian. Sungguh, saya jealous dengan kemerdekaan dan kenyamanan disini untuk menikmati gedung-gedung cantik tanpa bayar dan tanpa tatapan mata penuh curiga. Kapan ya di Indonesia bisa seperti ini?

Pada halaman depan gedung ini, pengunjung pada malam hari bisa berjalan diatas lantai yang diterangi lampu dari bawah sehingga menciptakan silhouette yang cantik. Berada di tempat ini seakan-akan mengajak imajinasi berlompatan dengan liar tanpa batas yang sangat menggembirakan.

Buka setiap hari, pk. 07:00-23:00

Akses: Yurakucho St. dengan JR Yamamote atau Subway (Y18). Atau jalan kaki saja dari Tokyo Station, nyaman kok sambil menikmati pemandangan kota.

*

Ginza

Dari Tokyo International Forum kita dapat berjalan kaki menuju kawasan Ginza walaupun lebih enak 🙂 kalau naik subway dan langsung muncul di kawasan Ginza. Disini tempatnya untuk window-shopping merk dunia yang terkenal (dan tentu saja boleh membeli bila memang ada dananya) seperti Channel, Gucci, Cartier dan lain-lain yang bersanding pula dengan Uniqlo, Zara dan merk-merk terkini lainnya. Harganya jangan tanya ya… tak jauh melangkah pasti terlihat Gedung De Beers yang berlekuk tampil dengan sangat unik, mungkin memang sesuai tujuannya, bukankah hampir semua orang (baca: perempuan) tertarik untuk memperhatikan berlian?

Akses: Stop di Stasiun Ginza – (G09, H08, M16 bila menggunakan jalur Subway)

*

Imperial Palace dan Jembatan Nijubashi

Sebagai Edo Castle yang dulunya merupakan kediaman keluarga dinasti Tokugawa, kini lebih terkenal dengan nama Imperial Palace dan dijadikan sebagai kediaman resmi Kaisar Jepang, yang memindahkan istananya dari Kyoto ke Tokyo setelah Restorasi Meiji. Hanya di bagian timur dari Istana ini yang dibuka untuk publik dan dikenal Taman Timur (East Park) lengkap dengan jembatan di depannya yang sangat terkenal dengan nama Nijubashi.

Walaupun tak masuk ke dalam kawasan istana, berjalan kaki di sepanjang trotoar di pinggir kanal lebar yang tertata apik dan mengelilingi istana ini, cukup menyenangkan. Mungkin karena bersih dan memanjakan mata, saya jadi menyukai kawasan ini meskipun kaki rasanya sudah tak sangggup untuk melangkah…

Akses: Nijubashimae Subway Stasiun (C10) atau Hibiya Subway St. (I08), (C09), (H07), Buka setiap hari.

*

Tokyo Stock Exchange

Jepang merupakan negara yang ekonominya selalu mendapat sorotan di dunia, salah satunya pergerakan bursa sahamnya. Nah, ketika ke Jepang, saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke kawasan pusat finansial ini, hitung-hitung mengingat rekan-rekan yang sedang bekerja keras di kantor saat saya sedang menikmati liburan 😀 Menyenangkan juga memiliki foto luar dari gedung Tokyo Stock Exchange. Apalagi berjalan kaki di kawasan ini bisa berkesempatan melihat nama-nama besar perusahaan sekuritas dunia yang menempati gedung di sekitar Tokyo Stock Exchange, atau siapa tahu bisa bertemu dengan investor galau yang sedang rugi besar atau bahkan yang sedang tertawa-tawa karena untung berlipat?

Akses: St. Kayabacho (H12 Hibiya line atau T11 Tozai line Subway)

Akihabara

Jalan-jalan di kawasan ini hanya untuk merasakan nuansa lost-in-translation saja karena banyaknya neon-sign dalam bentuk tulisan kanji Jepang. Namun perlu hati-hati juga jika Anda membawa anggota keluarga yang masih kecil, karena diantara yang tertulis itu sering terselip iklan sensasional dari perempuan-perempuan yang berpakaian seadanya. Tidak perlu lama-lama disini, luangkan waktu secukupnya saja untuk merasakan nuansa tulisan kanji yang menghiasi gedung-gedung, kecuali memang Anda mau membeli barang-barang elektronik disini ya.

Akses: Stop Akihabara St dengan JR Yamamote line atau di H15 bila menggunakan Hibiya line Subway.

*

Sensoji Temple

Terletak di kawasan Asakusa yang lebih bersahabat, kuil Sensoji merupakan salah satu kuil tertua di Tokyo yang katanya dibangun pada tahun 628. Terkenal dengan gerbangnya yang dikenal dengan nama Kaminarimon yang ditengahnya tergantung lentera raksasa berwarna merah.

Kuil ini biasanya dipenuhi oleh penduduk Tokyo yang berharap berkah sebelum berangkat bekerja, selain menjadi tempat favorit turis. Sayangnya per awal Juli 2016 kemarin, Pagoda 5 tingkat sedang direnovasi sehingga bagian luarnya ditutup, padahal Pagoda itu salah satu bangunan menarik di kawasan Asakusa. Selain itu, jika tak sempat berkunjung ke Sky Tree, bisa saja mengabadikan pemandangan SkyTree dari Sensoji. Namun agar lebih nyaman menikmati kunjungan ke Sensoji, sebaiknya datang pagi-pagi atau pada malam hari saat pengunjung tidak terlalu banyak. Pasti tidak menyesal karena pemandangan Sensoji di waktu malam sangat impresif. Apalagi jika Ada menginap di sekitar Sensoji.

Selain berkunjung ke Sensoji, jika punya uang berlebih, bisa berbelanja berbagai cinderamata atau pernak-pernik di Nakamise Shopping Street yang berlokasi di sepanjang 200meter dari arah Kaminarimon (gerbang pertama) sampai ke gerbang Hozomon (gerbang kedua) di depan kuil Sensoji.

Akses: Stop di Asakusa St. Buka setiap hari dari pk. 06.00 – 17:00, kecuali bulan Oktober hingga Maret dibuka pk. 06.30.

*

Kawasan Skytree

Meskipun bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 1 km dari Asakusa sambil menikmati sungai Sumida dan pemandangan sekitarnya, kita bisa mencapai SkyTree dengan naik Tobu Skytree Line dari Asakusa St. dan berhenti di Tokyo SkyTree Town yang merupakan kawasan wisata dengan tower Tokyo Skytree, mall, akuarium, planetarium, perkantoran dan lainnya. Tanpa harus naik ke atas yang berbayar, jalan-jalan di sekitar kawasan ini sudah cukup menggembirakan.

Jika ingin melihat daerah Tokyo dengan lebih jelas, bisa naik ke lantai pengamatan di ketinggian 350m dan 450m yang dibuka pk. 08:00 – 22:00. Jika udara cerah dan Anda sedang beruntung, dapat melihat keindahan Gunung Fuji dari tempat ini, tetapi untuk ini harus bayar ya…

*

Nah… kaki masih kuat berjalan? Masih banyak lho tempat-tempat yang bisa kita datangi hanya bermodal tiket kereta saja, seperti taman Ueno, jalan-jalan cantik di sepanjang pinggir sungai atau boulevard yang penuh pemandangan indah, museum, berbagai kuil lainnya dan masih banyak lainnya lagi. Jadi pasti asyiklah…

Jangan lupa baca lanjutannya untuk mengunjungi tempat-tempat wisata gratis di daerah Shinjuku dan Shibuya…