Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda


Mungkin di suatu masa tersembunyi,

Para bidadari menari dan menyanyi,

Membiarkan Sang Waktu terus bermimpi,

kala para Dewa Dewi tak henti memberi,

demi Bagan, berhiaskan permata diri

Hamparan Pagoda di Bagan
Hamparan Pagoda di Bagan

Bagan adalah destinasi selanjutnya di Myanmar/Burma yang saya kunjungi setelah Bago. Dengan menggunakan pesawat baling-baling  dan mendarat di lapangan terbang kota Nyaung Oo, mata ini mencari nama saya diantara penjemput, ternyata ada di paling belakang dan terluar (mungkin karena saya dijemput dokar, bukan mobil! dan seperti dimana-mana, dokar dianggap prioritas terendah!).  Dengan suka cita, saya mengikuti pemuda tanggung yang menjadi kusirnya. Yihaaaaa…. (dan dokar  belum meninggalkan bandara ketika saya dengar raungan di atas, ternyata pesawat ATR72 yang saya tumpangi tadi, sudah terbang lagi… persis seperti angkot, drop, take and leave!)

Memilih dokar sebagai transportasi di Bagan memang tidak salah. Disini waktu seakan tertidur. Saya bisa menikmati paparan angin pagi di wajah sambil melihat jalan bandara yang sepi.  Dengan bahasa Inggeris yang bisa dipahami, kusir dokar merekomendasikan untuk langsung ke area peninggalan sejarah daripada harus memutar ke kota lagi untuk check-in hotel. Saya setuju. Dan diantarlah saya ke bumi sejuta pagoda yang terhampar di Bagan ini, bermula dari jalan utama bagian utara kemudian mengelilingi area peninggalan hingga matahari hilang dari ufuk dan kembali ke hotel.

Shwezigon Paya

Shwezigon
Shwezigon

Pagoda Shwezigon dengan stupa keemasan di bagian tengah ini merupakan bangunan pertama yang dibangun di Burma pada tahun 1087. Pagoda cantik ini pada awalnya dibangun oleh Raja Anawrahta dan diselesaikan oleh Raja Kyanzitta. Ternyata pagoda ini merupakan prototype pembangunan Pagoda Shwedagon yang tersohor itu.

Selain terdapat bangunan pagoda dengan atap tradisional Burma yang khas, dalam kompleks Shwezigon juga terdapat candi batu bata yang masih tegak berdiri dan bangunan-bangunan lain berwarna putih, sehingga menimbulkan warna warni yang sangat kontras dengan langit biru.

Di bagian tenggara, terdapat patung 37 Nat (Spirit) yang dipercaya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Burma. Dan sebagai salah satu pagoda yang tertua di Bagan, Shwezigon merupakan tempat diakuinya ke 37 Nat oleh Kerajaan Burma.

Lokasi Pagoda ini berada di sebelah kanan dari jalan Bagan – Nyaung Oo Utara, tepat setelah melewati stasiun bis. Jalan menuju Pagoda, di sepanjang lorong lebar pedagang kaki lima yang sangat ahli menjual tampak memenuhi pelataran. Dengan alasan gratis, atau sekedar oleh-oleh, seorang pedagang meletakkan sebuah thanaka (bedak dingin) di tangan saya dengan harapan agar saya menggunakan dan membelinya. Secara halus saya menolak, tetapi ia tetap mendesak agar diterima. Saya menerima tetapi saat bertemu dengan pedagang lain yang bersikap serupa, saya tidak mau kalah, saya letakkan thanaka tadi ke dalam tangan pedagang lain itu!

Thagya Pone

Meninggalkan Shwezigon Paya, dokar memasuki hamparan tandus dengan semak belukar dan sejumlah pagoda di atasnya. Bagi yang menyukai candi atau pagoda dan bangunan-bangunan sejarah sejenis, Bagan memang surganya. Benar-benar terhampar sejauh mata memandang dan salah satu yang ada di bagian awal di jalan Bagan – Nyaung Oo adalah Thagya Pone.

Pagoda yang dibangun oleh Raja Kyansittha pada abad 13 ini, merupakan Pagoda 2 lantai dengan pelataran luas pada lantai atas. Pada lantai 1 terdapat Patung Buddha dalam keadaan duduk dengan dekorasi yang masih asli di bagian dinding dan langit-langitnya. Pemandangan luar biasa tentang hamparan pagoda di Bagan dapat dilihat dari pelataran di lantai atas.  Sambil menikmati pemandangan luar biasa di pelataran atas ini, dalam waktu yang terbatas, saya menyempatkan diri untuk bertukar cerita dengan pemuda lokal yang putus sekolah.

Htilominlo Pahto

Htilominlo
Htilominlo

Pagoda yang dibangun oleh Raja Nantaungmya ini merupakan pagoda terakhir yang dibangun di Bagan dengan gaya Myanmar. Raja membangun pagoda ini untuk memperingati terpilihnya dia sebagai Putra Mahkota diantara 5 saudaranya di tempat ini. Pada saat itu pemilihan raja ditandai dengan dipayunginya calon raja. Htilominlo sendiri bermakna ‘disukai oleh Raja dan Payung Kerajaan (hti = payung).

Didalamnya terdapat empat patung Buddha keemasan dalam keadaan duduk di setiap arah mata angin. Yang menarik adalah banyaknya ukiran cantik dan dekorasi yang menghiasi langit-langit dan pinggiran pagoda serta pintu-pintu masuk pagoda yang cukup besar ini.

Upali  Thein

Upali Thein
Upali Thein

Bangunan tempat para pendeta berkumpul (Sima) ini berseberangan dengan Pagoda Htilominlo, berada di pinggir jalan Utama dengan hiasan pohon flamboyan yang cantik. Dibangun oleh seorang pendeta bernama Upali pada pertengahan abad 13. Bentuk pagoda menyerupai Khmer membuat saya teringat akan bangunan library pada candi Khmer. Saya beruntung bisa masuk ke dalam ruangan dengan cara melompat-lompat menghindari lantai yang panas, karena biasanya bangunan ini terkunci.

Di sini, menurut sejarah, banyak lukisan yang sangat indah di dinding hingga ke langit-langit atas yang dibuat pada akhir abad 17 atau awal abad 18 yang menceritakan kehidupan Sang Buddha Gautama.

Ketika sedang menikmati lukisan cantik di dinding, seorang bapak asli Burma, yang telah selesai beribadah mengajak ngobrol dan pada ujungnya ia memberi saya uang kuno Burma yang sudah tidak dipakai bernilai 5 Kyat dan bergambar pahlawan Burma, Jenderal Aung San yang merupakan Ayah dari Aung San Suu Kyi. Saya bertukar dengan nilai 5000 Rupiah yang masih terselip di dompet bagian dalam. Mudah-mudahan pertukaran ini bernilai setara.

Gerbang Tharabar

Tharabar Gate
Tharabar Gate

Memasuki Gerbang Tharabar, artinya kita memasuki kota Bagan Lama. Gerbang yang dibangun oleh Raja Pyinbya pada tahun 849 merupakan satu-satunya yang tersisa dari tembok yang mengelilingi kota Bagan lama. Gerbang Tharabar ini hanya ada di bagian Timur kota, sementara yang barat dan utara sudah lenyap tergerus sungai Irrawaddy. Menurut sejarah ada 12 gerbang. Tharabar sendiri berasal dari kata Pali, Sarabhanga yang berarti terlindungi dari panah. Penduduk lokal biasanya tidak melewati begitu saja gerbang ini tanpa mendapatkan berkah dari spirit-spirit yang dipercaya menjaganya (Nat).

Sebuah rumah makan tersedia di dekat gerbang Tharabar ini dan saya pun makan siang sambil menikmati pemandangan gerbang Tharabar dan membayangkan kota Bagan di masa lalu.

Shwegugyi

Shwegugyi
Shwegugyi

Pagoda yang berada di depan Royal Palace atau dikenal dengan nama Burma Nandaw Oo Phaya (Pagoda di depan Istana Kerajaan) ini bermakna Gua Keemasan dan dibangun oleh Raja Alaungsithu di tahun 1140. Merupakan salah satu dari pagoda yang masih utuh di daerah Bagan sehingga tidak memerlukan banyak imajinasi untuk  membayangkan kehebatan kehidupan di Bagan pada jaman dulu.

Menurut legenda, pagoda Shwegugyi yang dibangun dalam waktu 7 bulan 7 hari ini memiliki kisah kelam dibaliknya. Kabarnya, ketika usia telah lanjut, fisik Raja Alaungsithu menjadi sakit-sakitan sehingga Sang Anak Raja memindahkannya dari istana ke pagoda Shwegugyi serta membiarkannya menderita agar wafat dengan sendirinya. Namun, bukannya mangkat, Sang Raja bahkan mendapatkan kembali kesadaran dan kesembuhan. Tetapi malang, kesadarannya membuat gelap mata Sang Anak dan ia pun langsung membunuh Sang Raja.

Mahaboddhi

Mahaboddhi
Mahaboddhi

Perjalanan dilanjutkan ke Pagoda yang bergaya India ini. Pagoda Mahaboddhi yang dibangun pada abad 12 oleh Raja Nantaungmya ini memang meniru Pagoda Mahaboddhi yang ada di Bodhgaya, Bihar, India, yang merupakan tempat asli Sang Buddha menerima pencerahan.

Arsitektur yang menjulang keatas dari dasar yang berbentuk bujursangkar dan didekorasi oleh celah-celah berisi patung Buddha yang sedang duduk ini, memang sangat berbeda dengan arsitektur pagoda Burma yang umumnya berbentuk seperti genta atau nanas.

Lagi-lagi saya harus berjuang tanpa alas kaki untuk menyeberangi lantai pagoda yang panas untuk ke bagian dalam atau ke kanan pagoda, tempat stupa dan reruntuhan pagoda yang terbuat dari batu bata demi mendapatkan gambar yang bagus atau kenikmatan melihat hiasan pagoda yang detil. Di Mahaboddhi ini saya terpukau dengan banyaknya pohon flamboyan dengan bunganya yang bermekaran berwarna oranye, sangat kontras dengan keadaan sekitarnya yang gersang dan penuh debu.

Ananda Phaya

Ananda Phaya
Ananda Phaya

Selanjutnya saya mengunjungi pagoda tersuci di Bagan, Ananda Phaya, yang dibangun oleh Raja ketiga Bagan, Raja Kyanzittha di tahun 1105. Kata Ananda sendiri bermula dari kata Pali “Anantapannya”, yang artinya kebijaksanaan tanpa batas.

Pagoda ini berisikan 4 Buddha Keemasan dengan posisi Berdiri yaitu Buddha Kassapa menghadap Selatan, Kakusanda menghadap Utara, Konagamana dengan posisi mudra tangan terentang kebawah (bermakna mengelola terhadap penderitaan) menghadap Timur dan Buddha Gautama dengan abhaya mudra (posisi tangan terbuka di depan dada seperti menahan dengan makna tidak takut) menghadap Barat. Keempat patung Buddha yang telah mencapai Nirwana ini tingginya mencapai hampir 10 meter. Menurut informasi, hanya Buddha Kassapa dan Kakusanda yang lebih bergaya Bagan dan memiliki posisi mudra dhammachakka (posisi tangan saat Sang Buddha memberi pelayanan pertama) yang masih asli, sedangkan dua patung lainnya yang lebih bergaya Mandalay merupakan replika karena sebelumnya terbakar. Seluruh patung Buddha terbuat dari kayu jati utuh, tetapi ada yang mengatakan bahwa Buddha Kassapa yang menghadap arah selatan terbuat dari perunggu. Di dekat kaki Buddha Gautama terdapat patung seukuran manusia yang merepresentasikan Raja Kyanzittha dan Shin Arahan, pendeta Buddha yang mentahbiskan Raja menjadi Buddhist Theravada.

Bentuk pagodanya sendiri secara keseluruhan bergaya Mon, dan seantero Bagan merupakan pagoda yang tercantik, yang paling bisa terselamatkan dari seluruh pagoda di Bagan. Pada tahun 1990 dalam rangka memperingati 900 tahun pembangunan Ananda Phaya, puncak stupa dilapisi emas. Sementara lapisan luar seluruh dinding tetap berwarna putih yang dibersihkan secara periodik.

Ananda didirikan berdasarkan legenda 8 pendeta Buddha yang menceritakan kenyamanan meditasi di tempat mereka di Himalaya kepada Raja Kyanzittha. Sang Raja yang memang ingin memiliki pagoda sejuk di dataran Bagan yang panas dan membosankan, kemudian menyuruh para arsiteknya mendirikan pagoda ini. Setelah pagoda ini terbangun, Raja membunuh seluruh arsiteknya agar keunikan teknik sejuk dari pagoda ini tetap terjaga.

Ananda Phaya
Ananda Phaya

Sebenarnya struktur pagoda ini sangat sederhana. Bagian Utama yang berukuran 53 meter di setiap sisinya, dan dekorasi serupa Stupa Utama menjulang ke atas. Koridor masuk dibuat membentuk salib sempurna dengan setiap ujung koridor memiliki dekorasi menyerupai stupa. Yang mengagumkan adalah pintu dari kayu jati berukir yang sangat besar, yang memisahkan ruang dalam dari ruang-ruang bagian luar.

Ceruk-ceruk di sekitar Ruang Utama berisikan patung-patung berlapis emas termasuk patung reclining Buddha ukuran kecil. Dekorasi dan ukiran yang cantik terutama dekorasi pintu bagian atas juga patung-patung penjaga pintu.

Untuk ke Ananda, berbeloklah ke kiri dari jalan selatan Bagan – Nyaung U sebelum Gerbang Tharaba, dan disambut dengan sejumlah pedagang kaki lima yang menjajakan souvenir. Namun begitu masuk ke dalam, nikmati saja keindahan patung Buddha seisi pagoda. Halaman luar yang luas, tidak mungkin saya pijak karena panas matahari siang yang terserap. Saya hanya memperhatikan detil Pagoda dari keteduhan yang bisa saya capai tanpa alas kaki. Tetapi lengkung-lengkung di kiri kanan lorong menuju Pagoda ini memang sangat cantik untuk dinikmati.

Ananda Oakkyaung

Ananda Oakkyaung
Ananda Oakkyaung

Bangunan biara terbuat dari batu bata yang berada tepat di sebelah Pagoda Ananda Phaya ini dibangun oleh Raja Kyanzittha pada tahun 1137. Ananda Oakkyaung sendiri bermakna Biara dari Batu Bata, sedangkan Ananda sendiri bermakna kebijaksanaan tanpa batas. Di dinding bagian dalam mengisahkan kehidupan Sang Buddha dan sebagian tentang sejarah Bagan. Di biara ini terdapat kissah seorang pendeta Buddha, Shin Thuddhamma Linkara, yang karena kebaikan hati Sang Raja sehingga dapat tinggal dan bermeditasi dengan tenang di dekat Pagoda Ananda.

Di bangunan biara ini saya bertemu dengan seseorang lokal yang mengajak bercakap-cakap mengenai sejarah Ananda, tetapi entah kenapa makin lama pembicaraannya semakin melantur sehingga saya mengambil langkah seribu darinya karena meragukan kewarasannya.

Thatbyinnyu

Thatbyinnyu
Thatbyinnyu

Pagoda putih yang menjulang dan terlihat dari jauh ini, dibangun oleh Raja Alaungsithu pada abad 11. Thatbyinnyu sendiri bermakna ‘mengetahui akan pengetahuan secara menyeluruh dan melihat secara luas’. Dan untuk masuk saat itu, sesuai makna namanya, saya harus mengamati secara cermat dan memiliki strategi untuk bisa melompat-lompat sambil melakukan sprint agar bisa masuk dengan sesedikit mungkin menginjak panasnya matahari yang terserap di lantai.

Pagoda ini salah satu pagoda besar tertua yang berlantai dua dan tertinggi. Namun mengingat usia pagoda yang sudah ratusan tahun dan untuk menjaga kelestariannya, akses untuk ke lantai dua ditutup. Jendela-jendela di lantai satu dan dua yang terbuka dan terlihat dari lorong bagian dalam membuat pagoda ini terasa tinggi dan berangin. Pagoda ini memang menarik terutama pada beberapa pintu gerbang yang berlengkung-lengkung.

Di bagian barat daya terdapat bangunan batu bata yang konon digunakan untuk menggantung genta besar. Menurut cerita, Raja Alaungsithu mempersembahkan dua genta besar selama berkuasa. Satu genta terdapat di Thatbyinnyu dan satu lagi di Shwegugyi. Genta ini terbuat dari perunggu murni, lebih menakjubkan dari 5 genta yang dipersembahkan oleh kakeknya, Raja Kyansittha.

Keunikan lain di sebelah timur laut pagoda ini terdapat pagoda kecil yang menurut cerita menjadi pagoda penghitung. Setiap 10000 batu bata yang dibuat pada pagoda Thatbyinnyu, disisihkan sebuah batu bata. Pagoda kecil yang ada disebelah timur laut ini didirikan dari batu bata yang disisihkan! Jadi hitung saja berapa batu bata yang digunakan untuk membangun Thatbyinnyu.

Di depan Pagoda Thatbyinnyu terdapat pohon flamboyan dengan bunga oranye-nya yang memberi warna cantik di sekitaran pagoda dengan bangku bercat biru muda di bawahnya. Hanya di Pagoda Thatbyinnyu ini saya lebih tertarik dengan pemandangan di luarnya daripada di dalam pagoda, karena cantiknya sinergi warna yang dihasilkan.

Pagoda tertinggi pada abad 11 ini (66 meter), berada di Bagan Lama, setelah Gerbang Tharabar jalan kedua di bagian kiri jalan.

Dhammyangyi

Dhammayangyi
Dhammayangyi

Pagoda terbesar di Bagan yang berbentuk seperti pyramid dan memiliki kissah menarik dibaliknya ini, dibangun oleh Raja Narathu pada tahun 1163 – 1165 untuk menebus kesalahannya mengkhianati ayah, kakak dan juga isterinya, walaupun akhirnya ia sendiri dibalas dengan pengkhianatan pula. Keeksentrikan Sang Raja terefleksi dalam pekerjaan peletakan batu bata yang sangat halus (kabarnya ia menghukum peletak batubata karena kecerobohannya meletakkan batubata sehingga terlihat jarak antar batubata).

Pembangunan Pagoda yang tidak selesai dan akhirnya terabaikan ini berjalan selama tiga tahun dengan disain awal menyerupai Pagoda Ananda; dengan dua koridor mengelilingi bagian dalam dan empat ruang dalam menghadap arah mata angin. Namun karena problem struktural yang terjadi mendekati saat penyelesaiannya, koridor dan ruang dalam ditutup dengan batu bata. Begitu banyak teka-teki dan misteri kelam yang menyelubungi Pagoda ini, sehingga terkenal sebagai pagoda yang berhantu untuk sebagian orang.

Walaupun demikian, temboknya sangat halus. Setiap arah mata angin terdapat Patung Buddha besar berjubah merah hati dalam posisi duduk dan di sebagian tembok-temboknya terdapat lukisan-lukisan asli tentang kehidupan sang Buddha dan kehidupan masyarakat Bagan saat itu. Di salah satu arah mata angin, terdapat patung Reclining Buddha dalam ceruk dan dibaliknya terdapat 2 patung Buddha dalam posisi duduk bersebelahan yang hanya terdapat di Pagoda Dhammayangyi ini.

Dibalik cerita sedih Pagoda Dhammayangyi ini, disini saya mengalami keajaiban yang mengharubiru kalbu. Saat hendak melanjutkan perjalanan, terik matahari yang terasa memanggang bumi Bagan, tiba-tiba terhalang awan yang entah dari mana datangnya, setelah sebait doa meluncur dari bibir saya, agar diberikan keteduhan sejenak untuk bisa kembali ke dokar. Terkejut karena melihat keteduhan yang tiba-tiba terbentang di depan saya, logika saya hanya mengatakan bahwa doa yang terjawab ini tidak bisa berlangsung selamanya dan karenanya tanpa pikir panjang saya berlari tanpa alas kaki menuju dokar. Anehnya, panas sama sekali tidak terasa pada telapak kaki dan keteduhan itu hilang bersamaan waktunya ketika saya sampai di dokar. Luar biasa! Tidak ada yang kebetulan karena semua terjadi dengan sebuah alasan.

Akhirnya dokar saya meninggalkan Pagoda Dhammayangyi yang berlokasi sekitar 1 kilometer di sebelah tenggara jalan Anawratha dan memiliki gerbang depan yang tinggal reruntuhan ini.

Sulamani

Sulamani
Sulamani

Pagoda terakhir yang saya kunjungi di Bagan ini, didirikan oleh Narapatisithu pada tahun 1183 dan terkenal akan ilustrasi dan dekorasi cantik di sekeliling temboknya. Pagoda Sulamani ini berlantai dua dan menyerupai piramida dengan teknik peletakan batubatanya termasuk yang terbaik di area Bagan. Sayang, sebagian dari pagoda mengalami kerusakan akibat gempa besar pada tahun 1975.

Patung Buddha keemasan terdapat pada keempat arah mata angin dengan posisi duduk. Dan memang pada dindingnya terdapat Ilustrasi mengenai kehidupan Sang Buddha dan kehidupan di Bagan yang masih sangat jelas dan terpelihara.

Karena pertimbangan untuk tetap menjaga kelestarian Pagoda, saya tidak menaiki ke lantai dua mengingat struktur yang sudah tua. Katanya, pemandangan dari teras lantai dua ini sangat indah.

Entah kenapa, ketika saya mendatangi pagoda ini, sepertinya hanya saya dan satu orang Asia Timur yang sedang mengamati lukisan Pagoda dan tidak ada penduduk lokal seperti umumnya Pagoda-pagoda lain yang saya kunjungi sebelumnya dan ketika saya berada di keremangan lorong bagian dalam, tiba-tiba bulu kuduk terasa berdiri. Saya mempercepat langkah untuk meninggalkan pagoda alias kabur…

***

Saya meninggalkan area peninggalan sejarah dunia ini ketika mentari tenggelam. Kali ini saya tidak mengejar matahari terbenam karena cuaca yang tidak mendukung. Pelan-pelan sang kusir menjalankan dokarnya dan sambil bergoyang-goyang, saya menikmati akhir perjalanan luar biasa di Bagan. Sejauh mata memandang, sejuta pagoda masih tampak di pelataran yang makin lama lenyap ditelan keremangan senja. Entah kapan saya kembali kesini. Sang Waktu laksana tertidur dan terlena disini…

15 tanggapan untuk “Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda

  1. mbak riyanti, selama di Bagan, fee untuk masuk ke masing2 pagoda apa betul2 10USD?

    saya berminat untuk ke Burma tp backpacker, kira2 berapa budget yg harus di prepare untuk 5 hari trip? it’s a little bit hard to get information about Burma 😦

    thanks a bunch.

    Suka

    1. Dear Suci,
      Seingat saya admission fee-nya saat masuk Bagan, bukan per pagoda kok. Jadi 10-15USD itu buat lihat seluruh Pagoda di Bagan. Untuk budget backpacking di Burma, tergantung destinasi ya. Burma/Myanmar itu luas lho. Kalo masuk di Yangon, untuk liat destinasi sekitaran Yangon, udah habis 2 harian. Bagan, Mandalay, Inle lebih kurang di bagian Utara/Tengah, dan perlu overnight trip dari Yangon (10-12jam by bus). Jarak antar ketiganya juga masih lama (berjam-jam naik bus). Transportasi terbatas walau standar aja. Coba cek LP, tripadvisor, wikitravel untuk harga-harga transportasi. Hotel budget ada kok di setiap kota, skitaran 20$ utk hotel bukan dorm ya. Happy traveling!

      Suka

    1. Hi Jessica,
      Saya hingga sekarang belum pernah menggunakan jasa tour & travel kalo pergi jalan-jalan, termasuk ke Myanmar ini, bahkan sampai pengurusan visa (waktu itu masih pakai visa) ke kedutaan Myanmar juga saya urus sendiri. Bagi saya, nilainya lebih meresap..sap..sap… hehehehe

      Suka

  2. Mba, Jarak antaran Yangon ke Bagan brp jam? Skg peril visa gk kesana. Aq & temen2 rencana bulan September ini mau kesana…. Thanks ya buat cerita2…. it is very useful for me loh…..

    Suka

    1. Dear Lita,
      Yangon ke Bagan kayaknya sekitar 650km-an deh… waktu itu aku naik pesawat karena ngejar kondisi tubuh (biar cukup istirahat) krn waktu cuti yang mepet. Bisa dijangkau pakai bus kok, tp ya gitu, belasan jam di jalan… kyk jakarta – jogja kali ya…

      Visa masih perlu, cuma satu2nya negara asean yang minta visa. gampang kok. VOA hanya utk business ya, ada yg bilang pake e-visa tapi aku belum coba lho ya…

      Suka

  3. cerita yg sangat menarik,kl boleh tau bagaimana cara untuk memesan andongnya dan berapakah biayanya ? dan satu lagi mbak,apakah cukup satu hari utk keliling bagan karena saya rencananya langsung balik lagi malamnya ke yangon.terimakasih sebelumnya

    Suka

    1. Hai Aditia,
      Saya pesen andong itu via penginapan di Yangon, jadi waktu mau ke Bagan, saya memang pesen sebelumnya melalui penginapan tempat saya menginap, nah sekalian sama penjemputan dari airport karena cukup jauh deh.
      1 hari keliling temple di Bagan sangat cukup, saya juga gitu kok,
      sewa sepeda sekitar 2USD (2000kyat), elec-Bike 8000MMK, Kereta kuda 15000-20000 kyat/8hrs, mobil 35000kyat/day.

      Suka

  4. Hi mbak Riyanti, saya tertarik sekali dengan keindahan negara Myanmar..

    Menurut mbak, jika ingin travel ksana, lebih baik ke Yangon dulu baru jalan ke daerah Mandalay dan Bagan, atau sebaliknya.. Karena sya rencananya ingin pergi ke Yangon, Bagan, dan Mandalay.

    Dan satu hal lagi mbak? Apakah kondisi yg masih sepi dsana membuat travel agak menyeramkan atau biasa saja??

    Terima kasih.

    Suka

    1. Hallo Mba Mariyani,
      Sebenarnya tergantung dari itinerary-nya dan kepengennya kemana yah.. Yangon lebih di selatan, tetapi Bagan dan Mandalay lebih ke Utara. Seperti saya waktu itu, ke Yangon karena kepengen ke Bago dan seharusnya bisa juga ke Golden Rock, Setelah itu menuju Bagan dan Mandalay. Ada sih penerbangan ke Chiang Mai di Thailand dari Mandalay. Tetapi kalau saya dulu jadi bulet, dari Yangon dan sekitarnya terus ke Bagan dan Mandalay lalu balik lagi Yangon untuk langsung keluar.
      Kondisi sepi bisa diatasi dengan pergi bersama teman ya mba. Atau kalo memang sendirian, ga papa kok, saya juga sendiri nyaman-nyaman saja, karena orang Myanmar itu ramah dan baik hatinya. Di tempat-tempat turis, hampir selalu ada orang lokal. Dengan sedikit kyat atau oleh-oleh dari Indonesia, bisa jadi teman kan?
      Yuk jangan ragu pergi ke Myanmar… Dalam waktu dekat udah bebas visa kan atau udah beneran ya? Saya juga mau lagi kok kesana hehehe…

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.