Keikhlasan Dalam Lemari Kaca di Sudut Sepi Pagoda


Pagoda Phaung Daw Oo memang terkenal di Danau Inle, Myanmar. Hampir semua turis yang menyempatkan diri mengelilingi Danau Inle, biasanya berhenti di Pagoda ini. Termasuk saya, yang tidak hanya mengunjungi Pagoda  pinggir danau yang hingga kini menyimpan 5 buah Buddha Image berlapis emas, tetapi juga sempat-sempatnya mengambil uang melalui ATM di sini (kebayang kan, di Myanmar, lalu kota  pinggir danau itu hanya kota kecil, dan untuk sampai ke Pagoda harus menyeberangi danau besar itu sampai ke desa, nah itu lokasi ATM-nya!)

DSC08379
Phaung Daw Oo Pagoda, Inle Lake, Myanmar

Ketika hampir semua pengunjung berada di tengah Pagoda yang menyimpan Buddha Image dalam bentuk batu berlapis emas gold leaf yang ditempelkan oleh para pria, saya malah melipir ke sisi yang sepi dan agak remang setelah selesai mengelilingi bagian tengah. Para pengunjung, -lebih banyak yang beribadah daripada sekedar berkunjung seperti saya-, tampak memusatkan pandangan ke lima buah batu lapis emas yang dipercaya sebagai Buddha Image, yang bagi saya pribadi bentuknya seperti kanak-kanak yang menggemaskan dan lucu (maaf). Baru di tempat ini saya melihat Buddha Image yang berbeda, sama sekali tidak sama dengan Buddha Image yang umumnya duduk bersila, berdiri, berjalan atau berbaring.

Tapi ada hal yang menarik lainnya di Pagoda ini…

Di sudut sepi yang saya datangi ini terdapat sebuah lemari kaca yang kelihatannya tak menarik dan sedikit kusam. Namun ketika saya mendekat untuk melihat lebih jelas ke dalamnya, mengamati isi di balik kacanya, saya terperanjat. Oh, lemari berkaca kusam itu berisikan uang dan perhiasan.

Lemari penyimpan uang-uang dan perhiasan persembahan dari pengunjung di seluruh dunia.

Ada juga uang Thailand sebesar 20 Bath, dan di baliknya ada lembar US Dollar sebesar $100! Di sekitarnya ada uang Korea sebesar 1000 Won, juga lembar uang Vietnam sebesar 50.000 Dong, lembar Euro yang tidak terlihat nominalnya, uang Afrika, dan tentu saja lembaran-lembaran uang Myanmar dengan nominal 100, 200 dan 500.

Saya juga melihat kalung mutiara, cincin batu permata, perhiasan telinga dan jam tangan serta nota-nota pengantar semua benda dan uang itu. Ah, indah sekali.

DSC08388
Money from the World
DSC08387
Different Bank Notes

Dan ada uang Rupiah! Wow!

Saya sempat melihat lembaran Rp. 1.000,- dan lembaran Rp. 20.000,- Bisa jadi, pengunjung yang melihat akan berpikir, betapa orang Indonesia itu kaya dan baik hati, mau mendonasikan uangnya dengan nilai yang sangat besar, yang angka nolnya berbaris panjang.

Tetapi entah bagaimana, tiba-tiba saya merasa dicubit dari dalam diri. Ini adalah lemari persembahan! Jangan dilihat dari nilai nominalnya, bukan kuantitasnya, bukan banyaknya, bukan nilai duniawinya… melainkan apa yang ada di balik semuanya.

Keikhlasan.

Tersadarkan bahwa saya sama sekali tak boleh menilai atas apapun yang ada di dalam lemari kaca itu. Sepotong berlian atau batu permata terindah sekalipun, atau uang atau benda tua yang paling lusuh yang dipersembahkan kepadaNya, hanya Dia yang memiliki keputusan bernilai atau tidak, dan bukan atas benda-bendanya

Apa jadinya bila benda-benda itu diselimuti dengan kesombongan ‘ingin diperlihatkan’ atau ‘ingin terlihat berbeda’ terhadap manusia lain oleh orang yang memberikan? Lalu apa jadinya, bila benda itu merupakan satu-satunya yang dimiliki oleh pemberinya dan dipersembahkan laksana jiwanya sendiri  yang dipersembahkan kepadaNya?

Your greatness is not what you have, it’s what you give

Namun, bukankah benda-benda material itu bersifat relatif bagi manusia satu dengan manusia yang lainnya? Selembar uang atau sebentuk perhiasan bagi seseorang bisa begitu sangat berharga, namun bagi orang lainnya mungkin hanya sekedar lewat untuk sesuatu hal yang tidak bermanfaat. Dan ketika benda-benda material itu dijadikan pemberian, apalagi sebagai sebuah persembahan, sesungguhnya ada hal yang menyelimuti pemberian itu.

Dan sesungguhnya kita sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menilai hubungan manusia lain dengan TuhanNya.

***


 

Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-26 ini bertema Money agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – Ascend To The Top


I was blessed having the chance to see a rare event in the main temple of Maha Lokamarazein Kuthodaw Pagoda in Mandalay, Myanmar, during my visit to this temple which is famous as The World’s Biggest Book Temple. I could see a brave guy who climbed to top of Main Stupa without adequate safety equipment or perhaps I could say, without any safety equipment at all. He could climb to the peak of the Stupa only in 1 minute. Living as a local with Buddhism since born, he did it because of his love to The Buddha. Having the chance to clean the top of the Stupa is a honor task.

 

IMG_3805

In response to Daily Post Weekly Photo Challenge with Ascend as keyword

Jepang: Toshogu Di Nikko Yang Sarat Makna


Menjejakkan kaki di Stasiun Nikko yang didisain cantik, saya yang dipenuhi rasa haru bergegas membeli tiket bus one day pass yang dapat digunakan untuk mengelilingi seluruh tempat wisata yang ada di kawasan Nikko, walaupun diselimuti sejumput keraguan dapat menyelesaikan kunjungan dalam sehari. Tetapi bagaimana pun saya memulainya dari Toshogu, tempat cerita ini bermula…

View from Omotemon -  See the Torii?
View from Omotemon – See the Torii?

Sambil menanti bus, saya terkadang tersenyum sendiri. Nikko, salah satu kawasan World Heritage Site Jepang yang ditetapkan sejak 1999, merupakan destinasi yang sudah lama saya impikan untuk dikunjungi. Ketika kali pertama ke Jepang, saya mencoret impian ini, karena keterbatasan waktu lalu tahun-tahun selanjutnya berlalu hanya berupa mimpi bisa menjejak di Nikko.

Dan pagi ini, ketika Shinkansen Yamabiko menurunkan saya di Utsunomiya setelah berkereta dari Tokyo, saya berpindah menggunakan Nikko Line, -kereta lokal yang disediakan oleh Japan Rail untuk mencapai Nikko-, sebuah kota kecil berpenduduk puluhan ribu di prefektur Tochigi, 200km Timur Laut Tokyo. Perjalanan kereta selama 45 menit ini seperti perjalanan manis ke Bandung yang melewati pegunungan dan pedesaan dengan pemandangan yang sangat cantik. Saya tak bermimpi! Saya ada di Nikko!

Nikko Station and neighborhood
Nikko Station and neighborhood

Berada di pegunungan sekitar 600meter di atas pemukaan laut, kawasan Nikko lebih dikenal sebagai tempat peninggalan kekayaan budaya dan penguasa jaman Edo dari Keshogunan Tokugawa yang berkuasa turun temurun selama 250 tahun sejak abad-16. Bahkan Shogun Ieyasu Tokugawa sendiri dimakamkan di Nikko, menjadikan tempat ini dihormati secara khusus oleh masyarakat Jepang. Ditambah dengan keberadaan Kuil Toshogu, -sebuah Kuil Shinto yang luar biasa cantiknya-, menjadikan Nikko sebagai tempat yang sesuai artinya dalam bahasa Jepang, Cahaya Matahari. Rasanya tepat sekali kiasan yang mengatakan Nikko adalah Nippon, karena adakah yang mampu memisahkan Cahaya Matahari dari Matahari Terbit?

Setelah bus membawa saya ke lokasi Kuil Toshogu, sambil berjalan menanjak menuju gerbang, pikiran saya dipenuhi sejarah Nikko yang sebenarnya telah terukir lama sebelum ajaran Buddha diperkenalkan di tempat ini. Masyarakat tradisional telah lama melakukan kegiatan pemujaan di Gunung Nantai yang letaknya tak jauh dari Nikko. Kegiatan itu tetap berjalan, walaupun seorang biksu Buddha Shodo Shonin, -penyebar ajaran Buddha yang berkelana ke pedalaman hingga ke Gunung Nantai-, menjadikan Nikko sebagai pusat kegiatan ajaran Buddha di abad-8. Dan demikianlah, ajaran asli Shinto yang telah menyerap di dalam kehidupan masyarakat lokal saat itu, tetap dilaksanakan dalam kehidupan yang harmoni dengan ajaran Buddha, sehingga kuil Buddha dan kuil Shinto tetap berdiri secara berdampingan di Nikko sejak dulu. Ada yang berdenyut di dalam diri ini, seakan menampar wajah sendiri. Toleransi, sebuah kata yang mudah diminta tetapi tak mudah diberi.

View from Omotemon -  See the Torii?
View from Omotemon – See the Torii?

Kaki masih menapaki jalan berkerikil yang menanjak menuju gerbang. Di Nikko inilah tempat pemersatu bangsa Jepang, Shogun Ieyasu Tokugawa (1542-1616) dimakamkan. Bahkan setelah kematiannya, dia berharap tetap dapat melindungi Jepang secara spiritual, dengan menempatkan makamnya di Nikko, yang terletak di Utara pusat wilayahnya (kini Tokyo). Dengan begitu dia bisa menghadang semua iblis dan bentuk kejahatan yang secara tradisional dipercaya datang dari arah Utara. Lagi-lagi saya merasa terjerembab kalah memahami makna totalitas perjuangan, menyadari bedanya orang biasa dengan seorang Shogun, yang tak ingin berhenti berjuang, bahkan berupaya hingga melampaui maut dan waktu, mempersembahkan jiwa raga, melindungi apa yang menjadi tanggung jawabnya termasuk orang-orang yang hidup di dalamnya.  Sedangkan saya? Apa yang telah saya lakukan dalam hidup ini?

Sepeninggal Ieyasu Tokugawa, di tahun 1617 dilakukan pembangunan Kuil Toshogu yang sederhana oleh penerusnya, Shogun Hidetada Tokugawa dan direkonstruksi menyeluruh menjadi sebuah mahakarya, seperti yang dilihat hingga kini oleh Shogun Iemitsu Tokugawa pada tahun 1636 dengan bantuan hampir setengah juta pekerja dan seniman untuk membangun kuil indah yang selesai dalam waktu hampir satu setengah tahun.

Ishidorii - 16c Stone Torii
Ishidorii – 16c Stone Torii

Jantung berdenyut lebih keras saat melalui sebuah Torii dari batu yang dikenal dengan sebutan Ishidorii, yang dipersembahkan tahun 1618 oleh Kuroda Nagamasa, seorang tuan tanah di wilayah Kyushu (sekarang daerah Fukuoka). Torii batu yang terdiri dari 15 buah batu granit besar yang sangat berat itu, dikirimkan dengan kapal dari Kyushu ke Koyama kemudian dikirim melalui darat ke Nikko. Saya terkagum melihat Torii yang luar biasa ini, karena selain besar dan terlihat kuat, torii ini dibangun dengan teknologi anti-gempa. Terbukti Jepang yang telah melalui begitu banyak gempa besar, torii ini tak pernah runtuh sejak dibangun di awal abad-17. Benarlah kata Kahlil Gibran (tentang Pernikahan) agar memberi jarak pada batu kuil agar dalam keadaan terguncang (saat gempa), batu tak akan bisa meruntuhkan.

Gojunoto - Five Stories Pagoda
Gojunoto – Five Stories Pagoda

Setelah melewati torii, di sebelah kiri terlihat Gojunoto, pagoda lima lantai dengan ketinggian 36meter. Didalamnya terdapat Shinbashira, -teknologi anti-gempa berbentuk tiang berdiameter 0.6m yang tergantung dari lantai 4 hingga hampir menyentuh lantai bawah. Dalam keadaan gempa, Shinbashira ini akan menopang rangkaian rangka kayu sehingga tidak akan runtuh. Tetapi memang umumnya pagoda di Jepang bisa selamat dari gempa, tetapi lebih sering hancur karena terbakar. Seperti Gojunoto di Nikko ini, dibangun tahun 1648 oleh Gubernur Sakai Tadakatsu dari Wakasa (sekarang Fukui) namun terbakar di tahun 1815. Yang terlihat sekarang merupakan rekonstruksi di tahun 1818 dengan dua belas lambang Shio tergambar di sekeliling lantai pertama.

Omotemon - The Gate with The fierce guard
Omotemon – The Gate with The fierce guard

Kemudian saya sampai di gerbang depan yang dikenal dengan sebutan Omotemon. Dihiasi dengan dua penjaga berwajah bengis dikenal dengan nama Nio (Vajrapani dalam Sansekerta) setinggi 4meter dan dikawal oleh sepasang singa di sisi lainnya serta gajah-gajah berlapis emas. Bila diperhatikan mulut penjaga yang satu tertutup (Agyo)  dan penjaga lainnya terbuka (Ungyo), konon menyuarakan falsafah dasar mengenai kehidupan, yang hidup pasti mati, setiap awal akan berakhir atau pernah dengar istilah ‘Alpha Omega’ kan?

The imaginary Elephant - BTW see the raven?
The imaginary Elephant – BTW see the raven?
Sanjinko - Three Sacred Store House
Sanjinko – Three Sacred Store House

Setelah melalui gerbang Omotemon dengan takzim, di hadapan saya terlihat tiga Bangunan Suci Penyimpanan, di sebelah kanan dikenal dengan nama Shimojinko (artinya Bawah), Nakajinko (Tengah) dan paling kiri Kamijinko (atas); yang ketiganya lebih dikenal dengan sebutan Sanjinko, yang digunakan untuk menyimpan kostum festival musim semi dan musim gugur serta peralatan pasukan berkuda lengkap dengan panah-panahnya. Menariknya, ada penggambaran dua makhluk serupa gajah di ujung atap Kamijinko yang dikenal dengan ‘gajah imajinasi’. Gajah atau bukan Gajah?

Kemudian saya berbalik dan berhadapan dengan Sanjinko adalah satu-satunya bangunan sederhana yang tak bercat, terkenal dengan nama Shinkyusha (Kandang Kuda Suci). Dan di bagian atas saya berjumpa dengan ukiran tiga kera bijak (Sanzaru) yang telah menggaungkan “hear no evil, see no evil, speak no evil” ke seluruh dunia. Lalu apa hubungannya kera dan kuda? Kenapa ada di kandang kuda? Ternyata sejak dulu telah dipercaya kera merupakan pelindung kuda, dengan demikian kera yang tergambar di sekeliling dinding kandang diharapkan bisa melindungi kuda-kuda suci dari penyakit.

Omizuya for purifying
Omizuya for purifying

Setelah diberi petuah hidup oleh Sanzaru, saya dilepas menuju Omizuya, tempat untuk bersuci lahir batin sebelum memasuki bangunan utama Kuil. Omizuya ini didirikan tahun 1618 oleh Nabeshima Katsushige, seorang Pejabat Daerah dari Kyusu-Saga. Air yang digunakan untuk bersuci, -datangnya dari sungai tak jauh dari situ-, sangat segar dan dingin sekali seperti es walau di musim panas sekalipun. Terdapat 12 pilar granit untuk mendukung atap bergaya China berlapis keemasan yang menggambarkan gelombang dan naga terbang, yang merupakan keindahan seni jaman Momoyama akhir abad-15.

Sayangnya Yomeimon Gate yang luar biasa dan menjadi pusat keindahan Nikko, sedang direnovasi, padahal gerbang itulah yang dijuluki Gerbang Utama Kekaisaran. Gerbang ini dikenal juga sebagai Gerbang Matahari Tenggelam karena konon bisa menyaksikan keindahan matahari seharian tanpa merasa lelah. Tetapi saat melewatinya saya sempat mengabadikan sedikit bagian Gerbang dan itupun sudah mampu membuat nafas berhenti karena indahnya.

The decoration of The Corridor
The decoration of The Corridor

Walaupun gerbang diselubungi, saya bisa menikmati Kairo (Koridor) yang merupakan dinding luar kiri dan kanan dari Gerbang Yomeimon yang dihiasi dengan bunga-bunga dan burung yang luarbiasa indahnya yang merupakan salah satu ukiran terbaik di Jepang. Sebagai penggemar merak, saya gemas sekali melihat begitu banyaknya ukiran merak yang cantik disini.

The White Stories of Karamon
The White Stories of Karamon

Setelah Yomeimon, terdapat gerbang kedua, Karamon, berwarna putih dan dihiasi dengan ukiran cantik yang mengambil kisah legenda orang bijak dari China (Kyoyi dan Shoho) yang beraudiens dengan Kaisar dan beberapa adegan lainnya. Gerbang ini tak bisa dilalui, sehingga pengunjung harus memutarinya namun karena melihat banyaknya antrian orang yang akan beribadah, saya tak menyesal membatalkan untuk masuk ke Gohonsa, ruang utama untuk ibadah. Bukankah niat ibadah jauh lebih penting daripada saya yang hanya untuk melihat-lihat?

Juga jalan menuju Okumiya, makam dari Ieyasu Tokugawa, penuh dengan orang yang akan memberi penghormatan. Saya sempat menapaki setengah hati lalu akhirnya berhenti dan berbalik. Tanjakan panjang masih menanti sedangkan waktu tak mau menunggu. Saya harus kembali ke Tokyo. Semoga saya masih punya kesempatan kembali ke sini meskipun diantara proses renovasi yang dimulai sejak 2007 dan berakhir di tahun 2024, saat peringatan 400 tahunnya Ieyasu Tokugawa.

The Red Shinkyo Bridge
The Red Shinkyo Bridge

Dalam perjalanan kembali ke Tokyo, walaupun saya melewatkan kuil-kuil lainnya, dari jendela bus saya sempat mengabadikan jembatan merah Shinkyo yang terkenal. Jembatan yang merupakan pintu masuk ke Kuil Rinnoji, sering disebut dengan nama Snake Bridge.  Konon, biksu Shodo Shonin yang sedang kesulitan menyeberang sungai Daiya saat menyebarkan kebaikan, mendapat pertolongan dewa yang menjelma menjadi sepasang ular yang membentangkan diri di atas sungai menyerupai jembatan. Tak salah memang, orang baik senantiasa mudah mendapatkan pertolongan.

3 Destinasi Terbaik Yang Wajib Dikunjungi di Mandalay


Rasanya belum bisa dibilang sudah traveling ke Mandalay bila belum melihat proses pembuatan gold leaf, atau pergi ke Pagoda Mahamuni yang menjadi icon Mandalay dan U-Bein Bridge yang magis. Bagi saya, inilah destinasi yang saya kategorikan sebagai ‘save the best for last’ dalam kunjungan saya ke Mandalay.

Pembuatan Gold Leaf

Di Burma, hampir semua patung Buddha atau tokoh yang dipersamakan serta benda-benda suci lainnya biasanya dilekatkan dengan lembaran emas sehingga tampil berkilau. Penempelan ini bukan sekedar asal tempel melainkan merupakan rangkaian proses keimanan dan keyakinan terhadap Buddha. Dikatakan bila seseorang sakit, maka ia akan berdoa di depan Buddha dan dengan merekatkan lembaran emas ke tempat yang sakit, ia yakin dan percaya Buddha akan mengambil seluruh penyakitnya dan menyembuhkannya. Demikian pula saat gembira, sebagai rasa syukur ia akan melakukan hal yang sama. Tidak heran, dimana-mana patung Buddha umumnya berlapis emas.

Pembuatan Gold Leaf
Pembuatan Gold Leaf

Dan salah satu tempat pembuatan lembaran emas (gold leaf) yang paling terkenal adalah di Mandalay. Tidak hanya di Burma, nama Mandalay harum hingga ke negara-negara tetangga terutama yang berorientasi Buddha Theravada, seperti Thailand. Saat saya mengunjungi tempat pembuatan gold leaf, tampak foto Princess Saradhorn, salah satu putri Raja Thailand yang pernah berkunjung.

Karena agak trauma dengan scam di Thailand, terutama yang berhubungan dengan logam atau batu mulia, Lanjutkan membaca “3 Destinasi Terbaik Yang Wajib Dikunjungi di Mandalay”

Wisata di Mandalay, Kota Yang Tidak Bisa Lepas dari Pagoda


Mandalay Hill Pagoda
Mandalay Hill Pagoda

Jalan-jalan di kota Mandalay, memang tidak dapat dipisahkan dari berkunjung ke Pagoda-Pagoda. Pagoda memang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Burma. Tidak heran karena Buddha merupakan agama mayoritas di Burma, walaupun suara-suara azan terdengar dari hotel tempat saya menginap menandakan Islam juga diterima di Mandalay.  Dan setelah meninggalkan Atumashi Monastery (bisa di baca di bagian pertama), saya melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat yang masih berhubungan dengan Pagoda di dalam kota Mandalay. Dalam waktu singkat, masih menggunakan mobil Datsun Sunny-nya, Aung mengantar saya ke depan gerbang sebuah Pagoda yang teduh karena kerimbunan pepohonan.

Pagoda Maha Lokamarazein Kuthodaw

World's Biggest Book
World’s Biggest Book

Di depan gerbang masuk terdapat patung Raja Mindon dan bilah batu yang mendeskripsikan Pagoda ini, Maha Lokamarazein Kuthodaw atau singkatnya dikenal sebagai Pagoda Kuthodaw. Terkenal juga dengan sebutan The World’s Biggest Book.

Tahun 1859, sebagai bentuk kebajikan dari kalangan Istana, Raja Mindon membangun Pagoda, yang menyerupai Pagoda Shwezigon di Bagan ini, lengkap dengan 730 Stupa Putih kecil (disebut Dhamma Cetis atau Kyauksa gu) yang didalamnya terdapat sebidang batu marmer dua muka beraksara Pali. 729 Marmer berisikan Tripitaka, ajaran inti dari Buddha dan 1 Marmer menjelaskan sejarah penulisan ke 729 Marmer tersebut, sehingga diharapkan dapat lestari hingga 5 millenia setelah Tahun Buddha. Inilah yang menyebabkan Pagoda Kuthodaw ini disebut dengan The World’s Biggest Book. Konon Raja Mindon ketika memimpin upacara keagamaan Buddha, ia meminta sekelompok biksu untuk melantunkan semua isi buku tersebut non-stop, dan baru bisa diselesaikan dalam waktu 6 bulan.

Teak Door of Kuthodaw
Teak Door of Kuthodaw

Saya memasuki gerbang masuk Utama yang ada di Selatan melalui sebuah pintu jati berukir bunga, sulur daun dan nats (spirit pelindung). Warna merah keemasan bercampur hiasan mosaik terasa mendominasi Pagoda ini, termasuk lorong dalam (Saungdan) yang terbuka dengan deretan pilar. Menariknya, dunia anak-anak lebih sering memanfaatkan stupa-stupa itu untuk bermain petak umpet sehingga sering terdengar derai gelak tawa diantara alunan doa. Di halaman, tampak pohon kayu tua yang diperkirakan berusia ratusan tahun meranggas tapi tampak menarik sebagai latar depan dari stupa-stupa putih yang menjadi inti Pagoda ini.

Lanjutkan membaca “Wisata di Mandalay, Kota Yang Tidak Bisa Lepas dari Pagoda”

Mengunjungi Mandalay, Kota Kerajaan Terakhir di Burma


Benteng Mandalay
Benteng Mandalay

Awalnya saya mengira Mandalay itu berada di Phillippines, karena ada lagu Mandalay dari La Flavour yang ngetop bersamaan dengan Tagalog Disco. Saya tidak mengira Mandalay itu ada di Burma dan bahkan bisa sampai menjejakkkan kaki ini di bumi Mandalay!

Penerbangan pertama dari Bagan ke Mandalay dengan pesawat baling-baling ATR72 – 500 Air Mandalay yang kurang dari 1 jam, mendarat mulus di Bandara Mandalay (MDL). Namun sebagai salah satu bandara terbesar di Burma, saingan dengan bandara di Yangon dan Naypyidaw (ibu kota Burma yang sekarang), bandara Mandalay terasa sangat lengang, mungkin karena masih pagi atau memang tidak banyak penggunanya.

Di sini, di bandara Mandalay, seperti juga di kota-kota Burma yang sebelumnya saya datangi, saya tetap melewati pemeriksaan paspor untuk diregistrasi oleh petugas berseragam bermuka aneh. Baiklah… dimana kaki berpijak disanalah langit dijunjung… Mandalay I’m coming…

Mandalay, satu-satunya destinasi di Burma yang saya kunjungi tanpa itinerary yang jelas, akomodasinya pun belum dipesan. Tetapi pengalaman perjalanan yang menyenangkan sebelumnya dapat meyakinkan bahwa rasa ingin tahu yang membuncah bercampur kesenangan menjumpai hal baru akan menambah makna perjalanan ini. Saya melangkah yakin ke konter akomodasi dan taxi, untuk memesan akomodasi sekaligus taxi ke pusat kota. Mbak-mbak cantik di balik konter memberikan rekomendasi penginapan yang terjangkau dan aman untuk female solo-traveler seperti saya. Dia juga memberikan rekomendasi sewa mobil yang dapat saya gunakan untuk berkeliling kota, tetapi langsung saya tolak karena mahalnya minta ampun.

Untuk sampai ke pusat kota yang jauhnya 35 km, saya menggunakan taxi, yang pengemudinya mengajak seorang temannya untuk ngobrol dan membiarkan saya menikmati perjalanan jauh itu dengan latar belakang suara brisik pembicaraan mereka dalam bahasa Burma. Sebuah tantangan galau… hehehe…

Lanjutkan membaca “Mengunjungi Mandalay, Kota Kerajaan Terakhir di Burma”

Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda


Mungkin di suatu masa tersembunyi,

Para bidadari menari dan menyanyi,

Membiarkan Sang Waktu terus bermimpi,

kala para Dewa Dewi tak henti memberi,

demi Bagan, berhiaskan permata diri

Hamparan Pagoda di Bagan
Hamparan Pagoda di Bagan

Bagan adalah destinasi selanjutnya di Myanmar/Burma yang saya kunjungi setelah Bago. Dengan menggunakan pesawat baling-baling  dan mendarat di lapangan terbang kota Nyaung Oo, mata ini mencari nama saya diantara penjemput, ternyata ada di paling belakang dan terluar (mungkin karena saya dijemput dokar, bukan mobil! dan seperti dimana-mana, dokar dianggap prioritas terendah!).  Dengan suka cita, saya mengikuti pemuda tanggung yang menjadi kusirnya. Yihaaaaa…. (dan dokar  belum meninggalkan bandara ketika saya dengar raungan di atas, ternyata pesawat ATR72 yang saya tumpangi tadi, sudah terbang lagi… persis seperti angkot, drop, take and leave!)

Memilih dokar sebagai transportasi di Bagan memang tidak salah. Disini waktu seakan tertidur. Saya bisa menikmati paparan angin pagi di wajah sambil melihat jalan bandara yang sepi.  Dengan bahasa Inggeris yang bisa dipahami, kusir dokar merekomendasikan untuk langsung ke area peninggalan sejarah daripada harus memutar ke kota lagi untuk check-in hotel. Saya setuju. Dan diantarlah saya ke bumi sejuta pagoda yang terhampar di Bagan ini, bermula dari jalan utama bagian utara kemudian mengelilingi area peninggalan hingga matahari hilang dari ufuk dan kembali ke hotel.

Shwezigon Paya

Shwezigon
Shwezigon

Pagoda Shwezigon dengan stupa keemasan di bagian tengah ini merupakan bangunan pertama yang dibangun di Burma pada tahun 1087. Pagoda cantik ini pada awalnya dibangun oleh Raja Anawrahta dan diselesaikan oleh Raja Kyanzitta. Ternyata pagoda ini merupakan prototype pembangunan Pagoda Shwedagon yang tersohor itu.

Selain terdapat bangunan pagoda dengan atap tradisional Burma yang khas, dalam kompleks Shwezigon juga terdapat candi batu bata yang masih tegak berdiri dan bangunan-bangunan lain berwarna putih, sehingga menimbulkan warna warni yang sangat kontras dengan langit biru.

Di bagian tenggara, terdapat patung 37 Nat (Spirit) yang dipercaya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Burma. Dan sebagai salah satu pagoda yang tertua di Bagan, Shwezigon merupakan tempat diakuinya ke 37 Nat oleh Kerajaan Burma.

Lokasi Pagoda ini berada di sebelah kanan dari jalan Bagan – Nyaung Oo Utara, tepat setelah melewati stasiun bis. Jalan menuju Pagoda, di sepanjang lorong lebar pedagang kaki lima yang sangat ahli menjual tampak memenuhi pelataran. Dengan alasan gratis, Lanjutkan membaca “Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda”

Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma


Naik Ojek, ‘Rampok’ ala ‘Tour Guide’, Patung Buddha Raksasa, Nikmatnya Makan siang kalau kelaparan merupakan bagian menyenangkan dari daytrip saya ke Bago, sekitar 80 km dari Yangon, yang biasa ditempuh dalam waktu 1 – 1.5 jam dengan kendaraan pribadi atau bus dengan melewati National Highway menuju Mandalay. Highway ini memotong waktu cukup banyak. Saya terkagum-kagum juga dengan jalan tol yang lebar ini. Wah, Burma yang terkena sanksi dari negara-negara Barat bisa membuat jalan tol. Hebatlah! di area ini cukup banyak obyek yang dapat dinikmati, lagi pula tidak terlalu jauh dari Yangon.

Di perjalanan dengan angkutan umum ini ketika sedang asik-asiknya tertidur, tiba-tiba kendaraan berhenti dan sopir membangunkan saya. Ia hanya mengatakan, Bago, Bago. Dengan nyawa yang belum terkumpul lengkap, saya sadar harus turun segera sebelum semua penumpang mendelik kepada saya. Saya mengucap terima kasih kepada sopir lalu turun dan saya ditinggal sendirian terkaget-kaget bangun tidur di tengah terik matahari siang, di pinggir jalan! Tidak ada orang di sekitar. This is awesome!!

Tidak mau gosong dipanggang matahari, saya menuju resto di lantai bawah Emperor hotel di pinggir seberang, untuk rehat sejenak. Semangat menjelajah terbangun setelah meneguk minuman ringan. Setelah membayar, dan bertanya untuk bisa ke area peninggalan sejarah, seorang pelayan mengantar saya ke seorang tukang ojek! Wow! Rupanya Tun-tun, si tukang ojek, sekaligus pemandu wisata di Bago ini, termasuk seorang spesialis. Beruntungnya saya! Dan mulailah petualangan saya di antara peninggalan-peninggalan kerajaan Burma… tentunya setelah deal dengan si tukang ojek.

Gila, ternyata pemandu saya ini sangat professional dan… komersial! Dia tahu sekali makna lembaran hijau berwajah Hamilton itu. Sebelum masuk ke Gerbang situs, dia bercerita banyak soal Lonely Planet dan turis asing yang menggunakan jasanya. Kemudian, dengan alasan hendak menjelaskan sejarah Bago seperti yang dijelaskan di buku Lonely Planet, dia menanyakan apakah saya membawa buku Lonely Planet karena hendak mempertontonkan sesuatu. Dan…. Lanjutkan membaca “Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma”