Ke Myanmar Lagi Setelah Tujuh Tahun


Saat roda pesawat menyentuh mulus landasan bandara Internasional Yangon, saya menarik nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala. Rasanya tak percaya bahwa setelah 7 tahun akhirnya saya kembali lagi ke Myanmar, negeri yang terkenal dengan sebutan The Golden Land. Bandara yang dulu terkesan tak ramah dan seram, kini bagai perempuan cantik yang menarik hati dengan begitu banyak toko-toko merek Internasional.

Jika 7 tahun lalu saya harus datang menggunakan visa, kini sebagai pemegang paspor Indonesia, saya bisa melenggang dengan visa exemption dari Pemerintahan Myanmar. Jika dulu saya ketar-ketir dengan kecukupan bank notes US Dollar terbaru yang harus licin yang saya bawa karena ATM internasional tidak ada, kini saya bisa menarik uang kyat melalui ATM, bahkan sampai di tempat terpencil pun ada ATM! Jika dulu sinyal ponsel lebih banyak hilang, kini saya bisa terus exist dimana-mana hingga ke tempat terpencil. Dan yang paling membahagiakan, jika dulu saya hanya mendapat sedikit hotel yang bisa dibooking online kini Myanmar tak beda dengan Negara-negara lainnya. Jika dulu saya bingung untuk bisa booking pesawat domestik di Myanmar, kini saya memiliki kemudahan untuk memilih transportasi bus atau pesawat untuk pindah kota. Tujuh tahun untuk keterbukaan sebuah Negara, perubahan ini patut diacungi jempol.

Kemudahan itu juga termasuk pemesanan tiket bus sehingga saya bisa dengan cepat dari bandara ke stasiun bus dan langsung menuju Kinpun, desa terdekat untuk sampai ke Golden Rock. Saya telah menghitung waktu perjalanan bahwa saya bisa mencapai Golden Rock sebelum sunset dan betapa membahagiakan saya bisa mendapatkan sunset yang indah di Golden Rock! Bahkan keesokan harinya saya juga bisa mendapatkan pemandangan indah perbukitan yang berlapis-lapis ditimpa sinar mentari pagi.

DSC07452
Sunset at Golden Rock, Myanmar

Perjalanan saya pagi itu berlanjut ke kota kecil Hpa’an di Kayin State dengan menggunakan bus dan sempat berkenalan dengan penduduk lokal seperjalanan bus. Mereka dengan ramahnya dan dengan bahasa Inggeris yang fasih menunjukkan tempat saya harus turun agar tak jauh berjalan kaki dari hostel saya menginap. Membahagiakan sekali rasanya mendapatkan bantuan dari mereka.

Di hostel kecil di Hpa’an itu, lagi-lagi saya mendapatkan kemudahan. Setelah rehat sejenak di kamar hostel yang ber-AC sambil menunggu meredupnya terik mentari, saya berkeliling tempat-tempat wisata di Hpa’an dengan motortaxi. Hpa’an, kota kecil pinggir sungai Than Lyin yang berada di kawasan perbukitan karst memang merupakan surga bagi penggemar wisata gua. Karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat mengunjungi Gua Kaw Gon yang luar biasa cantik karena dipenuhi dengan tatahan ribuan Buddha kecil di sepanjang dinding dan atap gua, juga Gua Yathae Pyan yang banyak stalaktit dan stalagmit, Gua Kaw Ka Thaung yang menyimpan relik Buddha dan tentunya gua terbesar Mahar Saddan yang terkenal dengan stalagtit dan stalagmitnya dan berujung pada danau kecil di ujung keluarnya. Bahkan di hari pertama saya sempat mengunjungi sebuah monastery berpemandangan indah pada saat senja. Refleksi monastery dan perbukitannya terlihat sangat menawan di danau kecil.

Perjalanan selanjutnya menuju kota Mawlamyine atau dulu dikenal dengan Moulmein, di Mon State, yang mengharubiru rasa. Sesungguhnya perjalanan ke Mawlamyine inilah yang membuat saya kembali ke Myanmar setelah tujuh tahun. Dengan apapun saya akan menempuhnya, saya akan sampai pada Mawlamyine meskipun hal ini tidak akan mudah.

Sebuah perjalanan menapak tilas tidak akan pernah mudah karena dipenuhi kenangan dan cinta. Setiap langkah saya seperti melepaskan helai bunga doa untuknya. Meskipun menginap di tempat terbaik di kota ini, saya tahu akan berteman dengan airmata dan menghabiskan waktu berbicara dengan jiwa.

Namun jiwa pejalannya yang ada pada saya mengajak melangkah ke tempat-tempat baru. Di kota ini saya melihat bagaimana Myanmar berusaha memiliki bangunan Buddha Tidur terbesar di dunia (meskipun kini dikalahkan oleh China yang mengubah bukit menjadi Sleeping Buddha). Bangunan Buddha Tidur yang saya lihat ini juga masih dalam tahap pembangunan, entah kapan selesainya.

DSC08118
Win Sein Taw Ya Pagoda, Mawlamyine, Myanmar

Selepasnya, saya diajak oleh sopir tuktuk untuk mengunjungi beberapa masjid, termasuk menyempatkan ziarah kubur kepada seorang ulama yang dimakamkan disana. Pengalaman mengunjungi perkampungan muslim dengan melihat beberapa masjid di kota Mawlamyine melengkapi keindahan hari saya. Seakan saya dibukakan mata bahwa saya tidak boleh menyamaratakan keadaan Muslim di Myanmar. Di kota ini, di Negara bagian Mon ini, toleransi antar agama berjalan dengan sangat baik. Buktinya amat jelas, saat berjalan kaki di pagi hari, saya mendapati tiga masjid yang tak berjauhan lokasinya. Bahkan belakangan saya menyesal, karena tahu disana ada lebih banyak masjid daripada rumah ibadah lain, yang tidak sempat saya lihat.

Bagaimanapun perjalanan harus dilanjutkan, pada malam harinya saya kembali ke Yangon dengan menggunakan bus malam yang menyimpan cerita untuk bersikap berani di baliknya. Kota Yangon dengan segala kebaikan dan keburukannya, tidak jauh beda dengan Jakarta, kota tempat saya dibesarkan dan hidup didalamnya. Sebagai perempuan yang pergi sendiri, antenna kewaspadaan saya harus terus berfungsi dengan baik, kelengahan sedikit saja bisa berakibat tak baik. Meskipun diatas segalanya, Dia Yang Maha Melindungi yang menjaga saya selamanya.

Hari itu, kota Yangon bukan menjadi kota destinasi, melainkan kota transit karena saya harus terbang ke Heho untuk sampai ke Danau Inle yang terkenal. Tujuh tahun lalu, saya tidak sempat ke Danau Inle dan tahun ini, Inle menjadi tujuan destinasi saya untuk menikmati liburan kali ini. Benar-benar beristirahat.

Dua malam saya habiskan di Danau Inle untuk berleha-leha dan berwisata sekitar danau, ke tempat-tempat pembuatan kain, tempat pembuatan perahu, tempat kerajinan tangan dan lain-lain. Bahkan di tempat itu, yang jauh dari kota, saya sempat menarik ATM. Ah, Myanmar memang sekarang lebih mudah.

DSC08571
Inle Lake one-leg rowing fisherman during Sunset

Menikmati sunrise dan sunset di Danau Inle merupakan pengalaman indah yang saya alami. Bagaimana mungkin saya mengabaikan nelayan-nelayan yang mencari ikan di danau dengan mendayung memakai satu kakinya? Bagaimana mungkin saya mengabaikan bunga-bunga matahari dan lotus yang terhampar dan mekar dengan indahnya di pinggiran danau? Keindahan luar biasa Danau Inle membuat saya berjanji akan mendatangi lagi suatu saat nanti.

Meskipun beristirahat total, -ini cara mengisi liburan saya yang sangat berbeda dari biasanya-, tetap saja ada satu tempat yang membangkitkan semangat. Dengan melakukan perjalanan sekitar 1 jam dengan perahu, saya sampai pada reruntuhan bangunan dari Abad ke-11. Meskipun terpapar terik matahari dan sedikit mendaki, saya bisa menikmati kawasan Bagan dalam ukuran mini.

Perjalanan saya di Myanmar mendekati akhir. Saya harus kembali ke Yangon, dengan berkendara bus selama 11 jam. Sebuah perjalanan panjang yang menghabiskan hari, namun bagi saya tetap saja ada kisah-kisah menyenangkan dan menghangatkan hati melalui sentuhan hati dengan orang-orang lokal yang baik dan ramah.

Malam terakhir di Yangon, dalam keadaan badan yang lelah, justru saya mendapat pengalaman ‘perkenalan’ sampai akhirnya saya minta penggantian kamar. Meskipun saya tidak mau berpikir aneh-aneh, tetapi demi istirahat enak, lebih baik saya pindah ke kamar lain. Bukankah mengganggu bila lampu tiba-tiba meredup lalu terang kembali dan berulang serta bunyi-bunyian keras tanpa alasan yang jelas?

Tetapi bagaimana mungkin saya meninggalkan Yangon tanpa mampir ke Shwedagon yang megah? Dan tetap saja beberapa jam disana sudah mampu memberi sentuhan hangat ke dalam jiwa, sampai akhirnya waktu juga yang memaksa saya meninggalkan Yangon.

Setelah tujuh tahun, Myanmar telah banyak berdandan cantik disana-sini menyambut tamu-tamu yang semakin banyak berdatangan. Meskipun kali ini saya mendatangi tempat-tempat yang belum saya datangi sebelumnya, -kecuali Yangon-, saya merasakan sekali perubahan kearah yang lebih baik itu, dan tentu saja sangat menggembirakan.

Ah, karena post ini merupakan rangkuman perjalanan, doakan saja saya bisa menulis perjalanan seru waktu disana ya. Siapa yang baru-baru ini ke Myanmar juga? Boleh dong cerita-cerita… 🙂

WPC – The Shiny Ananda


Ananda Phaya, Bagan, Myanmar

Ananda Phaya is one of the holiest and the most beautiful Buddhist temples in Bagan, Myanmar. It’s built on 1105 by King Kyanzittha of Pagan Dynasty. This temple houses four 10 meter high standing Buddhas, each one facing the cardinal direction of East, North, West and South. Although the Buddhas were made of teak wood, those gold-plated Buddhas are so shiny.

I love visiting this famous temple. Although Bagan is hot enough but I felt cool in the temple. The guide told to me that the King killed the architects after building completion to keep the cool uniqueness of the temple in secret. This so-called power-abusing story behind the most admiring temple in Bagan, for me, just added a long list of contradict stories in religious places all over the world.

Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power (Abraham Lincoln)

 

WPC – Optimism in Amarapura


U Bein Bridge in Black and White
U Bein Bridge in Black and White

When the Daily Post’s Weekly Photo Challenge asks us to show something we are optimistic about or something that helps us stay positive and hopeful, some pictures are directly coming into my mind. After thinking for a while, finally I select this one as my contribution for the photo challenge of the week with the topic: Optimistic

It was in May several years ago, not the best time to visit Myanmar. And to make it worse, at that time Myanmar was partly opened for foreign tourists. Being a citizen of ASEAN members which Myanmar is a member as well, -in the same South East Asia region-, it’s not an auto access entering the country with a passport only. I had to apply visa before flying to Myanmar. Although it’s said that a political change being on the way, but I felt the atmosphere of people’s daily life stayed the same. Well, that was included me as a tourist visa holder; there’s always passport verification and registration by an officer in uniform in all domestic airports I arrived. But the people, the culture, the heritage and the food of Myanmar, hmmm… I was optimistic about the future of this marvelous country.

On that afternoon the driver dropped me off at U Bein Bridge, the famous tourist destination in Amarapura, Mandalay. I love the view of the bridge, it’s still awesome although it was not sunset nor sunrise.

The 1.2 km teak bridge is believed to be the oldest and the longest wooden footbridge in the world, which was built by U Bein around 1850 to salvage the unwanted teak columns from the old palace of Ava Kingdom during the move to new capital, Mandalay. Until now the local people still use this more-than-a-hundred-years bridge to cross over Taung Tha Man Lake.

Besides the breathtaking view of the footbridge during sunset or sunrise, it is also wonderful for me to enjoy afternoon scenery from the snack shops or small restaurants in the lakeside and watch the activities of Buddhist monks and the local people walking across the U Bein Bridge.

But who could handle for just watching and not walking on the bridge? Racing with the time, I walked for a several hundred meters and back just to feel the breeze from the lake. It was so wonderful. And while walking I found the answer of a question about the safety of the bridge. Some bricks were added to the wooden base in several points, perhaps to strengthen the existence of the bridge. Based on the discussion with the local people there, I believed that the people of Amarapura are optimistic about this outstanding wooden bridge which will survive for another century.

And I could not forget about Taung Tha Man Lake, it is still used by the locals for fishery. The lake itself is so kind to provide a lot of fishes for the people of Amarapura and surroundings. It’s not only for that, but also for boat tourism. When I was there, more than one boatman offered me to rent his traditional boat to go around and see the U Bein Bridge from the lake. Some of them offered to the tourists directly from their boats under the bridge. Unfortunately the time was not mine since I had to go back to Mandalay. It’s in the month of May, not peak time for tourists, but I believed the boat owners were still optimistic for the coming tourists.

3 Destinasi Terbaik Yang Wajib Dikunjungi di Mandalay


Rasanya belum bisa dibilang sudah traveling ke Mandalay bila belum melihat proses pembuatan gold leaf, atau pergi ke Pagoda Mahamuni yang menjadi icon Mandalay dan U-Bein Bridge yang magis. Bagi saya, inilah destinasi yang saya kategorikan sebagai ‘save the best for last’ dalam kunjungan saya ke Mandalay.

Pembuatan Gold Leaf

Di Burma, hampir semua patung Buddha atau tokoh yang dipersamakan serta benda-benda suci lainnya biasanya dilekatkan dengan lembaran emas sehingga tampil berkilau. Penempelan ini bukan sekedar asal tempel melainkan merupakan rangkaian proses keimanan dan keyakinan terhadap Buddha. Dikatakan bila seseorang sakit, maka ia akan berdoa di depan Buddha dan dengan merekatkan lembaran emas ke tempat yang sakit, ia yakin dan percaya Buddha akan mengambil seluruh penyakitnya dan menyembuhkannya. Demikian pula saat gembira, sebagai rasa syukur ia akan melakukan hal yang sama. Tidak heran, dimana-mana patung Buddha umumnya berlapis emas.

Pembuatan Gold Leaf
Pembuatan Gold Leaf

Dan salah satu tempat pembuatan lembaran emas (gold leaf) yang paling terkenal adalah di Mandalay. Tidak hanya di Burma, nama Mandalay harum hingga ke negara-negara tetangga terutama yang berorientasi Buddha Theravada, seperti Thailand. Saat saya mengunjungi tempat pembuatan gold leaf, tampak foto Princess Saradhorn, salah satu putri Raja Thailand yang pernah berkunjung.

Karena agak trauma dengan scam di Thailand, terutama yang berhubungan dengan logam atau batu mulia, Lanjutkan membaca “3 Destinasi Terbaik Yang Wajib Dikunjungi di Mandalay”

Wisata di Mandalay, Kota Yang Tidak Bisa Lepas dari Pagoda


Mandalay Hill Pagoda
Mandalay Hill Pagoda

Jalan-jalan di kota Mandalay, memang tidak dapat dipisahkan dari berkunjung ke Pagoda-Pagoda. Pagoda memang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Burma. Tidak heran karena Buddha merupakan agama mayoritas di Burma, walaupun suara-suara azan terdengar dari hotel tempat saya menginap menandakan Islam juga diterima di Mandalay.  Dan setelah meninggalkan Atumashi Monastery (bisa di baca di bagian pertama), saya melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat yang masih berhubungan dengan Pagoda di dalam kota Mandalay. Dalam waktu singkat, masih menggunakan mobil Datsun Sunny-nya, Aung mengantar saya ke depan gerbang sebuah Pagoda yang teduh karena kerimbunan pepohonan.

Pagoda Maha Lokamarazein Kuthodaw

World's Biggest Book
World’s Biggest Book

Di depan gerbang masuk terdapat patung Raja Mindon dan bilah batu yang mendeskripsikan Pagoda ini, Maha Lokamarazein Kuthodaw atau singkatnya dikenal sebagai Pagoda Kuthodaw. Terkenal juga dengan sebutan The World’s Biggest Book.

Tahun 1859, sebagai bentuk kebajikan dari kalangan Istana, Raja Mindon membangun Pagoda, yang menyerupai Pagoda Shwezigon di Bagan ini, lengkap dengan 730 Stupa Putih kecil (disebut Dhamma Cetis atau Kyauksa gu) yang didalamnya terdapat sebidang batu marmer dua muka beraksara Pali. 729 Marmer berisikan Tripitaka, ajaran inti dari Buddha dan 1 Marmer menjelaskan sejarah penulisan ke 729 Marmer tersebut, sehingga diharapkan dapat lestari hingga 5 millenia setelah Tahun Buddha. Inilah yang menyebabkan Pagoda Kuthodaw ini disebut dengan The World’s Biggest Book. Konon Raja Mindon ketika memimpin upacara keagamaan Buddha, ia meminta sekelompok biksu untuk melantunkan semua isi buku tersebut non-stop, dan baru bisa diselesaikan dalam waktu 6 bulan.

Teak Door of Kuthodaw
Teak Door of Kuthodaw

Saya memasuki gerbang masuk Utama yang ada di Selatan melalui sebuah pintu jati berukir bunga, sulur daun dan nats (spirit pelindung). Warna merah keemasan bercampur hiasan mosaik terasa mendominasi Pagoda ini, termasuk lorong dalam (Saungdan) yang terbuka dengan deretan pilar. Menariknya, dunia anak-anak lebih sering memanfaatkan stupa-stupa itu untuk bermain petak umpet sehingga sering terdengar derai gelak tawa diantara alunan doa. Di halaman, tampak pohon kayu tua yang diperkirakan berusia ratusan tahun meranggas tapi tampak menarik sebagai latar depan dari stupa-stupa putih yang menjadi inti Pagoda ini.

Lanjutkan membaca “Wisata di Mandalay, Kota Yang Tidak Bisa Lepas dari Pagoda”

Mengunjungi Mandalay, Kota Kerajaan Terakhir di Burma


Benteng Mandalay
Benteng Mandalay

Awalnya saya mengira Mandalay itu berada di Phillippines, karena ada lagu Mandalay dari La Flavour yang ngetop bersamaan dengan Tagalog Disco. Saya tidak mengira Mandalay itu ada di Burma dan bahkan bisa sampai menjejakkkan kaki ini di bumi Mandalay!

Penerbangan pertama dari Bagan ke Mandalay dengan pesawat baling-baling ATR72 – 500 Air Mandalay yang kurang dari 1 jam, mendarat mulus di Bandara Mandalay (MDL). Namun sebagai salah satu bandara terbesar di Burma, saingan dengan bandara di Yangon dan Naypyidaw (ibu kota Burma yang sekarang), bandara Mandalay terasa sangat lengang, mungkin karena masih pagi atau memang tidak banyak penggunanya.

Di sini, di bandara Mandalay, seperti juga di kota-kota Burma yang sebelumnya saya datangi, saya tetap melewati pemeriksaan paspor untuk diregistrasi oleh petugas berseragam bermuka aneh. Baiklah… dimana kaki berpijak disanalah langit dijunjung… Mandalay I’m coming…

Mandalay, satu-satunya destinasi di Burma yang saya kunjungi tanpa itinerary yang jelas, akomodasinya pun belum dipesan. Tetapi pengalaman perjalanan yang menyenangkan sebelumnya dapat meyakinkan bahwa rasa ingin tahu yang membuncah bercampur kesenangan menjumpai hal baru akan menambah makna perjalanan ini. Saya melangkah yakin ke konter akomodasi dan taxi, untuk memesan akomodasi sekaligus taxi ke pusat kota. Mbak-mbak cantik di balik konter memberikan rekomendasi penginapan yang terjangkau dan aman untuk female solo-traveler seperti saya. Dia juga memberikan rekomendasi sewa mobil yang dapat saya gunakan untuk berkeliling kota, tetapi langsung saya tolak karena mahalnya minta ampun.

Untuk sampai ke pusat kota yang jauhnya 35 km, saya menggunakan taxi, yang pengemudinya mengajak seorang temannya untuk ngobrol dan membiarkan saya menikmati perjalanan jauh itu dengan latar belakang suara brisik pembicaraan mereka dalam bahasa Burma. Sebuah tantangan galau… hehehe…

Lanjutkan membaca “Mengunjungi Mandalay, Kota Kerajaan Terakhir di Burma”

Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda


Mungkin di suatu masa tersembunyi,

Para bidadari menari dan menyanyi,

Membiarkan Sang Waktu terus bermimpi,

kala para Dewa Dewi tak henti memberi,

demi Bagan, berhiaskan permata diri

Hamparan Pagoda di Bagan
Hamparan Pagoda di Bagan

Bagan adalah destinasi selanjutnya di Myanmar/Burma yang saya kunjungi setelah Bago. Dengan menggunakan pesawat baling-baling  dan mendarat di lapangan terbang kota Nyaung Oo, mata ini mencari nama saya diantara penjemput, ternyata ada di paling belakang dan terluar (mungkin karena saya dijemput dokar, bukan mobil! dan seperti dimana-mana, dokar dianggap prioritas terendah!).  Dengan suka cita, saya mengikuti pemuda tanggung yang menjadi kusirnya. Yihaaaaa…. (dan dokar  belum meninggalkan bandara ketika saya dengar raungan di atas, ternyata pesawat ATR72 yang saya tumpangi tadi, sudah terbang lagi… persis seperti angkot, drop, take and leave!)

Memilih dokar sebagai transportasi di Bagan memang tidak salah. Disini waktu seakan tertidur. Saya bisa menikmati paparan angin pagi di wajah sambil melihat jalan bandara yang sepi.  Dengan bahasa Inggeris yang bisa dipahami, kusir dokar merekomendasikan untuk langsung ke area peninggalan sejarah daripada harus memutar ke kota lagi untuk check-in hotel. Saya setuju. Dan diantarlah saya ke bumi sejuta pagoda yang terhampar di Bagan ini, bermula dari jalan utama bagian utara kemudian mengelilingi area peninggalan hingga matahari hilang dari ufuk dan kembali ke hotel.

Shwezigon Paya

Shwezigon
Shwezigon

Pagoda Shwezigon dengan stupa keemasan di bagian tengah ini merupakan bangunan pertama yang dibangun di Burma pada tahun 1087. Pagoda cantik ini pada awalnya dibangun oleh Raja Anawrahta dan diselesaikan oleh Raja Kyanzitta. Ternyata pagoda ini merupakan prototype pembangunan Pagoda Shwedagon yang tersohor itu.

Selain terdapat bangunan pagoda dengan atap tradisional Burma yang khas, dalam kompleks Shwezigon juga terdapat candi batu bata yang masih tegak berdiri dan bangunan-bangunan lain berwarna putih, sehingga menimbulkan warna warni yang sangat kontras dengan langit biru.

Di bagian tenggara, terdapat patung 37 Nat (Spirit) yang dipercaya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Burma. Dan sebagai salah satu pagoda yang tertua di Bagan, Shwezigon merupakan tempat diakuinya ke 37 Nat oleh Kerajaan Burma.

Lokasi Pagoda ini berada di sebelah kanan dari jalan Bagan – Nyaung Oo Utara, tepat setelah melewati stasiun bis. Jalan menuju Pagoda, di sepanjang lorong lebar pedagang kaki lima yang sangat ahli menjual tampak memenuhi pelataran. Dengan alasan gratis, Lanjutkan membaca “Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda”

Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma


Naik Ojek, ‘Rampok’ ala ‘Tour Guide’, Patung Buddha Raksasa, Nikmatnya Makan siang kalau kelaparan merupakan bagian menyenangkan dari daytrip saya ke Bago, sekitar 80 km dari Yangon, yang biasa ditempuh dalam waktu 1 – 1.5 jam dengan kendaraan pribadi atau bus dengan melewati National Highway menuju Mandalay. Highway ini memotong waktu cukup banyak. Saya terkagum-kagum juga dengan jalan tol yang lebar ini. Wah, Burma yang terkena sanksi dari negara-negara Barat bisa membuat jalan tol. Hebatlah! di area ini cukup banyak obyek yang dapat dinikmati, lagi pula tidak terlalu jauh dari Yangon.

Di perjalanan dengan angkutan umum ini ketika sedang asik-asiknya tertidur, tiba-tiba kendaraan berhenti dan sopir membangunkan saya. Ia hanya mengatakan, Bago, Bago. Dengan nyawa yang belum terkumpul lengkap, saya sadar harus turun segera sebelum semua penumpang mendelik kepada saya. Saya mengucap terima kasih kepada sopir lalu turun dan saya ditinggal sendirian terkaget-kaget bangun tidur di tengah terik matahari siang, di pinggir jalan! Tidak ada orang di sekitar. This is awesome!!

Tidak mau gosong dipanggang matahari, saya menuju resto di lantai bawah Emperor hotel di pinggir seberang, untuk rehat sejenak. Semangat menjelajah terbangun setelah meneguk minuman ringan. Setelah membayar, dan bertanya untuk bisa ke area peninggalan sejarah, seorang pelayan mengantar saya ke seorang tukang ojek! Wow! Rupanya Tun-tun, si tukang ojek, sekaligus pemandu wisata di Bago ini, termasuk seorang spesialis. Beruntungnya saya! Dan mulailah petualangan saya di antara peninggalan-peninggalan kerajaan Burma… tentunya setelah deal dengan si tukang ojek.

Gila, ternyata pemandu saya ini sangat professional dan… komersial! Dia tahu sekali makna lembaran hijau berwajah Hamilton itu. Sebelum masuk ke Gerbang situs, dia bercerita banyak soal Lonely Planet dan turis asing yang menggunakan jasanya. Kemudian, dengan alasan hendak menjelaskan sejarah Bago seperti yang dijelaskan di buku Lonely Planet, dia menanyakan apakah saya membawa buku Lonely Planet karena hendak mempertontonkan sesuatu. Dan…. Lanjutkan membaca “Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma”