Makna Hikmah Terserak di Perjalanan Korea


Ketika saya baru kembali dari Korea, seorang atasan menanyakan tentang perjalanan saya di Korea. Karena tahu beliau tidak berbasa-basi, saya yang masih gres dengan semua peristiwa yang dialami, menjawab dengan ringan bahwa ternyata di Korea Selatan yang maju itu tidak banyak orang bisa berbahasa Inggris sehingga banyak peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi hanya karena faktor bahasa. Dan Jleb! Saya takkan pernah lupa akan tanggapannya. Time is healing, yang tidak menyenangkan akan berubah menjadi momen-momen yang berkesan mendalam, kata beliau.

Bagaimana mungkin sebuah peristiwa yang tidak menyenangkan menjadi memorable moments? Saat itu karena masih penuh dengan kesan tak nyaman selama di Korea, saya tak menerimanya begitu saja, tetapi karena menghormatinya, saya membiarkan hal itu mengendap di dalam hati.

*

Perjalanan ke Korea saat itu memang impulsif, karena masih tersisa cuti banyak (baca cerita lengkap alasan saya pergi ke Korea disini) dan mungkin juga karena trip ke Korea sebelumnya sempat dibatalkan. Saat saya ke Jepang sebelumnya di tahun yang sama, seharusnya lanjut ke Korea tetapi situasi politik di semenanjung Korea saat itu tidak mendukung sehingga trip itu dibatalkan. Padahal saat itu tiket sudah ditangan bahkan sudah memesan beberapa hotel. Pembatalan itu sepertinya berubah menjadi keingintahuan yang besar itu yang mungkin menjadi trigger keputusan untuk pergi ke Korea di musim gugur. Namun pada dasarnya saya tidak tahu apa-apa tentang Korea, saya bukan penggemar K-pop, K-drama, bukan juga penggemar kuliner Korea, tidak bisa baca Hangeul, tidak tahu banyak sejarah Korea. Hanya karena ada Samsung, LG dan cerita kondisi alamnya yang cantik. Itu saja!

Berbekal itu, saya mengurus sendiri pembuatan visa (baca soal pembuatan visa disini) yang sampai sekarang terus menjadi salah satu top-posting di blog ini, sampai akhirnya dengan sangat menyesal kolom komentar saya tutup karena menjurus yang aneh-aneh dan tidak mutu 😀 (Saya kan bukan agen tenaga kerja juga bukan agen pencari bakat untuk K-pop, juga bukan agen untuk operasi plastik kan… 😀 )

Ketika semua orang memulai perjalanan ke Korea dengan masuk melalui Seoul, saya justru masuk melalui Busan (baca:  Berkenalan dengan Busan disini). Mendarat pagi-pagi saat jam kerja normal belum dimulai merupakan masalah tersendiri. Apalagi saya tidak bisa baca karakter Hangeul yang mendominasi dimana-mana. Bertemu wajah tak bersahabat di hari pertama, bertanya pada seseorang tapi dijawab dengan gelengan atau muka lempeng. Bahkan untuk mencari lokasi hotel pun saya harus mengerahkan kreativitas. Kekuatiran dan kecemasan bisa survive di Korea mulai menemani di hari pertama perjalanan. Lalu apakah saya akan menyerah di hari pertama?

Namun bukankah jika kuatir dan cemas dipelihara terus, kita tidak akan pernah pergi kemana-mana? Saya mencoba mengatasinya, saya percaya masih ada orang baik di sekitar kita. Pergeseran titik pandang, -dari penerima negativeness menjadi pemberi positiveness-, terbukti benar. Saya menurunkan harapan tinggi tentang Korea dan memilih lebih percaya kepada orang lokal dan orang baik pun mulai muncul di hadapan (Baca disini saat Jelajah Busan). Saya bersyukur bisa merambah mengelilingi pantai Haeundae, ke Museum Seni Busan, ke Mal yang segede gaban, menikmati Jembatan Gwangan di kegelapan malam. Paling tidak masih ada pengalaman yang cukup menyenangkan.

Kemudian keesokan harinya saat akan berpindah kota, saya harus jujur bahwa keteledoran juga menjadi faktor mengapa banyak hal buruk terjadi pada saya. Jika saya teledor membaca peta sehingga salah stasiun dan kehilangan waktu, janganlah situasi eksternal yang disalahkan. Juga kalau teledor meletakkan tiket jangan salahkan faktor luar kan ya? Tetapi terlepas dari dua faktor itu, saya menyadari sepenuhnya memang perjalanan dari Busan ke Gyeongju itu penuh drama hanya karena faktor bahasa (baca cerita Menuju Gyeongju disini). Tetapi saya belum mau menyerah secepat itu…

Gyeongju, -kota cantik 1 jam berkendara dari Busan-, memiliki banyak tempat publik yang luar biasa walaupun bagi saya dihiasi rasa antara cemas, takut dan ingin tahu yang besar (baca cerita Ruang Publik Gyeongju disini). Sebagai solo-traveller perempuan, saya harus mampu mengatasi rasa gamang tidak mengenali siapapun dan juga tidak bisa berkomunikasi karena keterbatasan bahasa. Namun segala yang tidak menyenangkan itu bisa diseimbangkan ketika menjejak Bulguksa Temple. Sebuah keluarbiasaan bisa sampai di tempat World Heritage ini. Mungkin karena beberapa kejadian sebelumnya yang tidak menyenangkan, bisa sampai ke destinasi ini rasanya seperti mendapat durian runtuh, rasanya seperti mencium bau surga (baca cerita Bulguksa Temple). Tapi sayang, setelah meninggalkan Bulguksa, kembali saya berteman dengan sepi bersama benda-benda bersejarah yang berserakan disana hingga malam hari, paling tidak itulah hal yang saya dapat nikmati di Gyeongju (Baca disini: Malam di Gyeongju)

Tetapi ketidaknyamanan trip di Korea belumlah mencapai puncak. Ketika akan meninggalkan kota Gyeongju, begitu banyak rasa tak bersahabat menghampiri saya, tak ada yang bisa membantu menjawab pertanyaan saat saya ingin naik bus sampai akhirnya saya memilih taksi namun ternyata ditolak oleh sopir taksi dengan berbagai alasan. Tidak bisa naik kereta karena jadwalnya tidak cocok akhirnya saya menuju terminal bus, -satu-satunya lokasi yang saya tahu-, dengan berjalan kaki walau cukup jauh ditambah menggendong ransel berat. Saya tak berpikir jauh, setiap masalah yang ada di depan mata saya hadapi satu persatu. Meskipun pelan, saya tetap bergerak maju. Saya seakan sedang ujian, kesabaran dan kekuatan saya diuji, sejauh apa keseriusan saya untuk mencapai tujuan dan untuk Korea ini, ada sebuah tempat yang menjadi destinasi utama yang ingin saya capai, Kuil Haeinsa di tengah hutan taman Nasional Gayasan.

Sungguh, keberanian dan kekuatan saya diuji saat menuju dan sepulangnya dari Kuil Haeinsa. Di tengah jalan bus terjebak dalam kemacetan parah dan harus berhenti sebelum mencapai terminal Haeinsa dan mengharuskan saya turun di tempat yang bagi saya adalah in the middle of nowhere. Saya mengalami disorientasi, tanpa teman, tanpa orang yang bisa diajak bicara atau tanya, dan situasi antara pulang dan lanjut sama tak pastinya, apakah saya harus menyerah? Tetapi menangis tak akan menyelesaikan masalah (Baca disini Ujian dalam Perjalanan)

Dan bagai sebuah siklus kehidupan dengan roda di bawah kemudian berputar ke atas, perjalanan tak mudah ke Haeinsa itu terbayar dengan keindahan Kuil Haeinsa dengan begitu banyak simbol-simbol kehidupan (baca soal simbol-simbol kehidupan di Haeinsa Temple) dan tentu saja Mahakarya kayu ratusan tahun yang dijaga didalamnya (baca hebatnya Mahakarya Kayu). Tetapi ujian bagi saya rupanya belum berakhir karena kegembiraan bisa mencapai Haeinsa hanya terasa sekejap saja bagi saya, setelahnya saya kembali harus menapak perjalanan yang tak mudah.

Tanpa tahu arah terminal bus, dari Kuil Haeinsa saya mengikuti intuisi sendirian menuruni jalan setapak di tengah hutan Nasional dalam keremangan jelang gelap dan dinginnya udara pegunungan, hanya berpegang pada percaya dan yakin akan pertolonganNya. Saya seperti bergantung di ujung tali, airmata ini hampir pecah, tetapi saya tak boleh menyerah. Dua kali mencoba mencari bantuan, tak ada satu pun orang muncul di hadapan. Kali ketiga, bak malaikat penjaga, dua orang lanjut usia muncul di pintu sebuah kios memberi arah tempat bus kembali ke Daegu. Saya tahu saya boleh menangis penuh syukur saat itu karena lulus dari ujian. Setelahnya didepan mata saya hadir para sahabat seperjalanan tanpa perlu tahu nama-namanya.

Hari-hari selanjutnya perjalanan menjadi lebih mudah karena puncak ketidaknyamanan telah terlewati. Saya meneruskan perjalanan menuju Seoul dengan menggunakan KTX (baca disini: Kereta Super Cepat KTX). Bahkan waktupun bersahabat sehingga saya menyempatkan diri berjalan ke Hwaseong Fortress (baca disini Hwaseong Fortress).

Perjalanan tak mudah menuju ke Mt. Seorak (baca trip ke Seoraksan disini), -yang menjadi salah satu tujuan utama wisatawan Indonesia-, terasa manis ketika saya mendapat apresiasi dari seorang tour guide lokal yang membawa rombongan Indonesia karena berani ke Seoraksan sendiri tanpa mengerti bahasa Korea. Bagi saya, perjalanan ke Seoraksan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan semua kesulitan di Haeinsa. Bahkan di Seoraksan ini, Tuhan pun mengirimkan seorang sahabat seperjalanan tanpa perlu bicara, tanpa perlu bersalaman. Hanya sebuah anggukan dan senyum karena sama-sama menempuh perjalanan yang searah. Saya memungut hikmah, bahwa diantara wajah-wajah yang serupa, saya mendapatkan hati yang penuh senyum. Seorang saja cukup untuk menenteramkan hati.

Trip Korea yang penuh ketidaknyamanan ini membaik saat berjalan di Seoul, menjelajah hingga kaki lelah di istana-istananya yang cantik seperti Istana Deoksugung (baca: Istana Deoksugung) maupun Istana Changdeokgung (baca: Istana Changdeokgung). Bahkan lagi-lagi Tuhan mengirimkan sahabat seperjalanan untuk berbagi cerita di Secret Garden Istana Changdeokgung dalam rombongan berbahasa Korea dalam hujan musim gugur yang basah (baca Secret Garden). Dan malamnya kaki dibawa hingga kebatas lelahnya dengan menyusuri Cheonggyecheon Stream untuk menyaksikan festival Lentera (baca Lantern Festival disini).

Namun Yang Kuasa sepertinya menitip pesan penutup di akhir trip Korea dengan membiarkan saya berlari-lari di luasnya bandara Incheon di hari kepulangan karena ceroboh tak mengukur jarak Incheon dengan Seoul (baca hebohnya Lari di Incheon). Semuanya bukan kebetulan, saya dibiarkan untuk lari sehingga tak mengenali bandara Incheon di dalam waktu yang sangat pas agar tak tertinggal pesawat. Semua pasti ada alasannya…

Tetapi dasar manusia yang lebih banyak dan lebih cepat mengingat buruknya, demikian pula saya yang pulang ke tanah air, lebih banyak mengingat ketidaknyamanan daripada semua yang menyenangkan selama melakukan perjalanan ke Korea.

*

Waktu pun berjalan, time is healing.  Benar kata atasan saya. Setelah sekian lama, trip Korea ini berubah menjadi perjalanan yang memiliki memorable moments, yang sangat tidak menyenangkan pun menjadi sebuah keluarbiasaan yang selalu saya syukuri. Jika tidak ada semua faktor yang tidak menyenangkan itu, sejatinya saya tak akan memahami makna setiap detik kehidupan dariNya. Jadi janganlah takut jika mengalami hal yang tidak menyenangkan selama melakukan perjalanan karena sebagaimana hal menyenangkan, hal yang tidak menyenangkan pun akan memperkaya jiwa…

Korea: Menapak Huwon, The Secret Garden


Walaupun belum puas berkeliling Istana Changdeokgung, tetapi waktu untuk mengikuti tour Huwon tinggal beberapa saat lagi sehingga saya bergegas menuju titik pertemuan di Hamnyangmun, gerbang masuk Huwon, the Secret Garden yang berada di belakang Istana Changdeokgung. Peraturan sangat ketat untuk Huwon, tak seorangpun diperkenankan memasuki kawasan Huwon bila tidak dalam rombongan yang memiliki pemandu resmi. Lagi-lagi karena kemalasan saya yang tidak mencari tahu jadwal tour berbahasa Inggeris sehingga saya tertinggal karena jadwalnya sudah terlewat. Walaupun begitu, saya nekad mengikuti rombongan berikutnya yang berbahasa Korea yang tidak saya mengerti. Daripada tidak bisa masuk sama sekali kan…?

Melewati gerbang Hamnyangmun, saya berjalan pelan di buntut rombongan sambil mengabadikan Huwon yang dikenal sebagai tempat istirahat raja-raja Dinasti Joseon dengan tamannya yang memiliki pohon raksasa berusia ratusan tahun. (Betapa bangsa Korea ini sangat menghargai pepohonan karena saya langsung teringat akan pohon pertama yang ditanam di Kuil Haeinsa yang telah tinggal sisa, -karena terkena petir-, masih tetap dipelihara dengan baik). Sambil melangkah, mata dan jiwa rasanya sangat dimanjakan oleh pemandangan dedaunan yang sedang berganti warna, rasanya seperti sedang melangkah di negeri dongeng.

Starting the tour, leaving the gate of Huwon
Starting the tour, leaving the gate of Huwon

Huwon, sejatinya berarti Taman Belakang, mengambil lahan seluas 32 hektar di belakang Istana Changdeokgung dan Istana Changgyeonggung yang berada disisinya. Namun siapa yang sangka, taman yang dibangun saat Raja Taejong berkuasa pada awalnya dikhususkan untuk keluarga kerajaan dan para perempuan Istana, kini menyimpan banyak cerita di sudut-sudutnya? Setiap pondok kecil, tempat-tetirah, kolam teratai dan pepohonan yang berjumlah 26.000 spesies, tampaknya hanya bisa berdiam diri selama ratusan tahun menyimpan rahasia para manusia yang pernah hidup di dekatnya.

Bahkan pernah suatu masa hanya Raja yang bisa memasukinya, hingga taman itu dinamakan Geumwon (Taman Terlarang). Jangan masyarakat biasa, petinggi-petinggi Istana hanya bisa memasukinya bila mendapat izin dari Raja sendiri. Waktu pun berjalan lambat hingga taman indah itu berganti nama menjadi Naewon yang berarti Taman Dalam, maksudnya mungkin taman dalam lingkungan Istana. Belakangan masyarakat Korea Selatan menamakannya dengan nama Biwon (Taman Rahasia) sesuai nama kantor yang ada di tempat itu pada abad-19. Namun hingga kini, taman itu dikembalikan dengan nama Huwon, -sesuai namanya semasa dinasti Joseon yang membangunnya-, walaupun untuk kepentingan pariwisata, Huwon diterjemahkan sebagai The Secret Garden.

Secret Garden in Autumn
Secret Garden in Autumn

Berjalan kaki di Secret Garden saat musim gugur memang seperti memasuki negeri dongeng yang banyak tergambar dalam lukisan. Indah. Mungkin karena dibangun mengikuti topografi alamnya dengan menekan sesedikit mungkin pembuatan taman buatan. Taman-taman yang lebih kecil dibuat lebih intim dengan tambahan kolam teratai seperti yang terlihat di Buyongji, Aeryeonji dan Gwallamji serta jeram kecil Ongnyucheon yang semuanya mengikuti aliran air yang ada di Secret Garden. Puncak Bukit Maebong yang berada di belakang Secret Garden menambah keharmonisan dengan alam sekitarnya. Siapa yang mau menolak merasakan sendiri sensasi rasa, -sebuah perjalanan waktu-, saat Secret Garden masih digunakan sebagai tempat menulis puisi-puisi indah, bermeditasi atau perjamuan kerajaan bahkan sampai latihan panah yang disaksikan Raja?

Tetapi walaupun keindahannya di depan mata, rasanya saya masih ingin mengetahui sesuatu yang terus mengganjal di pikiran. Apa yang rahasia? Apakah karena tersembunyi di belakang Istana hingga tak langsung terlihat? Ataukah ada kegiatan rahasia yang dilakukan di taman ini? Bisa jadi, karena ada sebuah bangunan yang didirikan sebagai tempat diskusi politik yang hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu yang dipercaya oleh Raja. Bukankah itu sesuatu yang rahasia? Masih ada alternatif lain. Bisa jadi karena aktivitas kalangan Istana yang tak pantas terlihat oleh mata masyarakat umum, seperti Raja yang memancing di Buyongji, atau Raja dan Permaisuri yang giat berkebun dan beternak ulat sutra. Atau mungkinkah ada kisah-kisah romantis yang terlarang di tempat ini yang tak pernah terungkap? Semua bisa terjadi… tetapi saya hanya mendengar desir angin dari antara pepohonan.

Buyongjeong Pavillion
Buyongjeong Pavillion

Buyongjeong

Saya tertinggal beberapa meter saat rombongan telah berhenti mendengarkan cerita si pemandu di dekat Kolam Buyongji dan Bangunan Juhamnnu, yang merupakan tempat belajar dan pelatihan diri dari anggota keluarga Istana. Perpustakaan kerajaan yang dikenal dengan nama Gyujanggak dan Seohyanggak juga didirikan di wilayah ini. Namun tak itu saja, di depan Yeonghwadang sering kali acara perjamuan kerajaan diselenggarakan, termasuk ujian Negara yang disaksikan oleh Raja! Entah apa rasanya mengerjakan ujian Negara disaksikan Raja.

Buyongjeong yang menghadap kolam teratai Buyongji dan berada di seberang Juhamnu memang sangat tepat digunakan sebagai tempat bermeditasi dari anggota keluarga kerajaan. Saya beruntung karena pondokan Buyongjeong sudah dibuka kembali setelah direstorasi selama setahun. Bangunan cantik dua lantai Juhamnu dibangun di bagian atas yang dapat dicapai setelah melalui gerbang Eosumun. Dan konon di tempat ini Raja sering membaca sambil melihat-lihat keadaan sekitar yang tentu saja indah. Jika musim gugur dihiasi dengan dedaunan penuh warna, musim dingin dengan salju putih yang memukau namum misterius dan tentu saat musim semi harum bunga menyerbak kemana-mana.

Two stories Juhamnu and the gate Eosomun
Two stories Juhamnu and the gate Eosomun
Yeonghwadang for the banquet
Yeonghwadang for the banquet

Berjalan sendiri di tempat yang indah seperti di Secret Garden ini, saya merasa ada yang kurang sehingga saya mendekati seseorang yang juga berjalan sendiri untuk berkenalan dan berbagi keindahan. Dia seorang female solo traveler yang menyenangkan dari  Philippines. Akhirnya saya bisa bicara banyak dengan seseorang di Seoul! Kami berdua, -sampai akhir perjalanan di Secret Garden- saling berbagi pujian keindahan dan bertukar cerita tanpa perlu menanyakan nama dan latar belakang. Sepertinya situasi kami sama, hanya merindukan orang lain agar bisa berkomunikasi normal. Saat itu hanya kami yang berbicara dalam bahasa Inggeris. Di Korea Selatan, jauh dari negeri sendiri, saya mendapat pembelajaran, betapa berharganya, -sebuah berkah luar biasa-, bisa berkomunikasi dalam bahasa yang sama, untuk bisa saling memahami, walaupun tengah berada diantara kerumunan manusia.

Aeryeonjeong

Pemandangan pepohonan dengan daun warna-warni terus berlangsung sampai di area Aeryeonjeong yang dibangun saat Raja Sukjong berkuasa pada akhir abad-17. Aeryeonjeong sepertinya merupakan area memorial karena Putra Mahkota Hyomyeong, anak pertama dari Raja Sunjo, -yang berbakat luar biasa dan telah dipercaya mengurus tata Negara atas nama Raja Sunjo sejak usia 18 tahun-, hanya berkesempatan hidup sebentar, hingga berusia 22 tahun. Dengan bakatnya, ia telah membangun banyak fasilitas di wilayah ini. Melalui gerbang Bulromun yang terasa magis, saya menyaksikan tempat belajarnya yang dikenal dengan nama Uiduhap, yang dibangun sangat sederhana tanpa dekorasi dan merupakan satu-satunya bangunan yang menghadap Utara sehingga sangat tepat untuk membaca dan bermeditasi. Lengkap dengan kolam teratainya, dan tentu saja karena sedang musim gugur ini, keadaan sekitarnya begitu indah.

Alam yang sedang tampil indah di Secret Garden sepertinya masih mau mempercantik dirinya dengan menurunkan rintik hujan. Lengkap sudah, alam yang cantik, rintik hujan dan udara dingin. Sempurna.

Saya pun bergegas membeli payung di sebuah toko cinderamata lalu bersama teman perempuan Philippines itu, kami mengejar rombongan sambil menatap hujan. Seandainya bisa, kami ingin menari di bawah hujan di tengah Taman Rahasia ini…

Ongnyucheon

Tempat ini terkenal dengan kolam dengan jeram kecilnya yang indah terbuat dari batu pualam dengan beberapa pondokan menghiasi pinggirannya sehingga menjadikannya tempat terbaik untuk menulis puisi. Romantisnya sangat terasa, apalagi di saat hujan seperti ini. Dan sementara yang lain sibuk berfoto dengan pasangan masing-masing, saya memilih mengabadikan dedaunan merah, oranye, kuning yang tertimpa rintik hujan.

Saya terpukau dengan bentuk Gwallamjeong, sebuah pondokan yang dibangun di situ. Walaupun sekilas terlihat seperti umumnya bangunan tradisional Korea, namun jika diperhatikan lebih jauh, bagian dasarnya dibangun menyerupai bentuk kipas yang tentu saja jadi terasa berbeda, apalagi jika diperbolehkan duduk di tempat itu. Ah, pikiran saya terbang liar, siapa ya yang pernah duduk menitikkan air mata yang mengalir seperti aliran jeram di tempat itu?

Jongdeokjeong juga merupakan pondokan yang didirikan di wilayah Ongnyucheon. Dibangun dengan pilar-pilar kayu di enam sisi, pondokan paling tua ini terlihat cantik dengan bentuk atap dua tingkat khas Korea yang cantik. Apalagi dengan latar belakang cantik warna-warni musim gugur. Tak salah memang, perjalanan di Secret Garden ini mata dimanjakan dengan keindahan dan imajinasi bisa liar menari. Lagi-lagi saya bertanya dengan diri sendiri, adakah kisah cinta yang terjadi di sudut ini?

Walau pelan kaki melangkah, akhirnya saya sampai juga di ujung perjalanan. Saya akan mengucapkan selamat berpisah kepada Huwon, The Secret Garden yang membentuk harmoni dengan lingkungan alam sekitar, yang pastinya tak akan mudah hilang dari ingatan. Sudut-sudutnya yang diam menyimpan begitu banyak kisah rahasia. Indah, romantis sekaligus misterius.

Akses

  • Subway
    • Jongno 3 (sam)-ga Station (Line 1, 3 or 5), Exit 6. Jalan 10 menit, atau
    • Anguk Station (Line 3), Exit 3. Jalan lurus ke Timur selama 5 menit
  • Bus
    • 7025, 151, 162, 171, 172, 272 atau 601 turun di halte Istana Changdeokgung

Tutup : Setiap Senin

Jam Buka

  • Feb-Mei, Sep-Okt 09:00-18:00 / Jun-Ags 09:00-18:30 / Nov-Jan 09:00-17:30
  • Tiket terakhir dijual 1 jam sebelum tutup.
  • Akses Huwon, hanya melalui tur yang dipandu selama 90 menit, dijual secara terbatas maksimal untuk 100 orang (online 50 orang, sisanya dapat dibeli di tempat)

Harga Tiket

Dewasa                Istana 3,000 won / Huwon 5,000 won
Anak-anak          Istana 1,500 won / Huwon 2,500 won

Nepal – Nagarkot : Kisah Makhluk Ajaib dan Lembah Halimun


Setelah berjam-jam terkurung dalam mobil kecil dari Lumbini Ke Kathmandu, bersama Santa yang jeda bicaranya sedikit ditambah dengan gempitanya musik pop berbahasa Hindi, rasanya lega sekali berada di kendaraan lain yang membawa saya ke Nagarkot. Sebelumnya, Santa telah mengatakan bahwa ia tak memahami jalan ke Nagarkot sehingga ia akan digantikan oleh pengemudi lain yang lebih mengenal daerah itu. Tentu saja saya tak keberatan selama tujuan sampai di hotel bisa tercapai. Begitulah ceritanya hingga saya duduk di mobil Honda baru yang terasa mewah ini.

Wangi khas mobil baru yang tercium lekat di hidung menunjukkan mobil ini belum lama keluar dari dealer. Semuanya terasa masih brand new. Bisa jadi ini mobil pemiliknya, bukan untuk disewakan. Beruntunglah saya bisa mencobanya…

Early Bird and The Misty Valley
Early Bird and The Misty Valley

Cool but…

Kemudian datanglah laki-laki pengganti itu lalu menyalami saya selayaknya orang yang saling berkenalan. Ada senyum tipis di wajah Orientalnya. Wajah campuran yang umum terlihat di sekitar Nepal dan Tibet. Cool… Menarik, seperti magnet. Keren abis… *anakdansuamibawakatapel

Tak cuma sekali saya melirik mengamati caranya mengemudikan kendaraan di perbukitan menuju Nagarkot, terlihat sangat trampil namun santai. Bahkan saya mendengar musik meditatif yang menenangkan seperti Om Mani Padme Hum, dipasang dengan volume kecil tapi terdengar. Di langit luar bulan terlihat begitu terang, supermoon yang waktunya telah dekat, seakan menemani perjalanan saya menuju Club Himalaya Resort untuk menghabiskan malam terakhir perjalanan saya di Nepal. Berdua menembus malam di Lembah Kathmandu *katanenekberbahaya

Namun ada yang salah. Situasinya terlalu hening. Seperti pasangan yang ngambeg. Saya teringat Santa yang hampir tak pernah diam, sementara makhluk di sebelah saya ini terlalu pendiam. Jika ia tak mengemudi, mungkin saya pikir dia patung. Bahkan saya tak ingat namanya. Mungkin dia tadi menyebutkan, mungkin juga tidak, tapi yang pasti saya tak menyukai keheningan ini.

Saya ingin memecahkan keheningan ini dan melihat lampu-lampu desa di puncak bukit.

“Is that Nagarkot?“ sambil menunjukkan lampu-lampu di atas bukit

Kepalanya menggeleng, “No”

Di mobil seperti ada setan lewat karena begitu hening, kecuali suara sayup musik… sepi…

“So where is Nagarkot?”

Dia tersenyum dalam gelap, hanya menunjuk kearah yang berbeda, tanpa bicara, lalu wajahnya ke jalan lagi… Damn!

Karena melihat penampilannya yang rapi seperti pemilik mobil, saya iseng bertanya kepadanya lagi,

“Is this your own car?”

“No”

Entah benar atau tidak, sama nilai kemungkinannya. Kembali senyap.

Bisa jadi dia penganut fanatik ‘jangan ganggu pengemudi yang sedang mengemudikan kendaraan’. Baiklah, I do it my way. My Kejahilan 😀 Saya memutar tubuh lalu memandang langsung ke wajahnya. Bukan manusia jika intuisinya tak memberitahu ada mata yang memandangnya. Dan BERHASIL, ia jengah ditatap lalu menoleh dengan ekspresi stress berada di dekat perempuan 😀 Yang bisa sukses dilakukannya adalah menetralkan suasana. Tersenyum manis. LOL

“Where are you from”, tanyanya basa-basi

Ahaa, daripada diam seperti patung, lebih baik berbasa-basi. Saya memutar tubuh kembali menghadap  depan sambil menertawakan dirinya yang tak tahan diperhatikan seorang perempuan dan menjawab singkat seakan tak peduli, “Indonesia”

Dan hening lagi seperti di kuburan. Cape deh…

Saya mengalah padanya dan pada situasi serta tak berharap ada komunikasi yang lancar. Benar, dia hanya menjawab Yes atau No, walaupun selalu ada senyum di latar belakangnya.

“You drive so well, when and how did you learn to drive?”

“Yes”

Saya tak peduli dijawab demikian olehnya, tetapi kali ini benar-benar hmmm… apa yaa… makhluk di sebelah saya ini, -walaupun cool menarik seperti magnet-, something is very wrong with him… 😀

Walaupun bukan urusan saya, namun saya ingin tahu apa yang dia lakukan setelah menurunkan saya di Nagarkot karena dia akan kembali mengantar saya ke bandara keesokan harinya.

“Where do you stay tonight?” (belakangan baru sadar, pertanyaan ini bisa diartikan berbeda, kalau ia mengerti)

“Yes”

Gggggrrrrr…*siapsiapambilpacul

Saya mengerutkan kening, mencoba menyederhanakan kalimat saya.

“Here at Nagarkot?”, sambil memperagakan tidur.

“Yes”

“Where”

“Yes” Dia tersenyum, tanpa rasa salah…

Bruuuk… Saya seperti menabrak tembok. Whatever, saya menyerah. Makhluk laki-laki di sebelah saya ini sesungguhnya keren, tetapi sama sekali ga nyambung. Ya sudahlah, lebih baik saya mengambil langkah seperti dia, senyum terus sampai hotel. Senyum dibalas senyum sama dengan damai. 😀

Akhirnya sampai juga di Club Himalaya Resort dan dengan berbagai cara dia mengupayakan agar saya memahami bahwa dia akan menunggu besok pagi jam sembilan di tempat parkir. Sebenarnya saya sudah mengerti, tetapi saya membiarkan dia untuk berlama-lama berbahasa tubuh. Hahaha…

The Misty Valley, Nagarkot
The Misty Valley, Nagarkot

Lembah Halimun

Lelah karena berjam-jam melakukan perjalanan dari Lumbini dan ditambah keharusan menghadapi makhluk ajaib serta mengantri menunggu check-in yang lama, saya langsung terlelap begitu selesai membersihkan diri. Sebenarnya rencana awal adalah menikmati sunset di Nagarkot dan berjalan-jalan di lembah yang terkenal penuh dengan kabut itu. Tetapi apa daya, saya datang saat malam sudah datang dan Dia Yang Penuh Kasih Sayang telah menghapus rencana menikmati malam terakhir di Nepal dengan memberikan saya tidur yang amat nyenyak.

About Sunrise in Nagarkot
About Sunrise in Nagarkot

Esoknya saya terbangun sebelum matahari terbit lalu bergegas menyelesaikan kewajiban pribadi. Udara dingin terasa memeluk pagi. Saya menyibak gorden di jendela. Di luar masih gelap, tetapi saya tak mau melewatkan hari terakhir di Nepal begitu saja. Inilah tujuan saya menginap di Nagarkot, menyambut matahari pagi.

Tak lama terdengar suara kepak sayap burung-burung pagi yang telah meninggalkan sarang, mencari makan, yang suaranya datang dari teras balkon. Saya membuka pintu, udara dingin lembah langsung menerpa wajah. Jauh di horison, pegunungan Himalaya tampak kecil berjejer dengan puncaknya yang tertutup salju. Ufuk Timur mulai berpendar kuning keemasan, tanda Sang Surya beranjak bangun dari tidur. Lembah Nagarkot di hadapan berselimut halimun. Indah. Walau tak seluarbiasa sunrise di Raniban Retreat di Pokhara, keindahan Nagarkot ini tetap menimbulkan rasa haru. Indah dan rasanya berbeda.

Pelan-pelan pagi merekah menyibakkan halimun yang menyelimuti lembah. Sinar matahari sejenak memantulkan cahaya keemasan dari puncak-puncak gunung yang tertutup salju lalu berlomba dengan awan yang bergerak cepat hendak menyelimuti puncak-puncak itu. Pagi yang indah itu tak lama, tetapi birunya langit tetap mewarnai keindahan pagi di Nagarkot.

Saya menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar halaman hotel, menikmati pagi terakhir di bumi Nepal. Rasanya langkah ini adalah langkah menjauh dari bumi Nepal karena waktunya akan tiba dalam beberapa jam lagi. Dan waktu pun terus berjalan, tak peduli apapun, tanpa belas kasihan. Akhirnya datang juga waktu untuk melambaikan tangan kepada kamar di Nagarkot. Belum juga 24 jam, saya sudah harus meninggalkan tempat indah ini. Tepat jam 9, saya pun turun dari lobby menuju tempat parkir.

Dibanjur Air

Dia yang tidak-saya-ketahui-namanya, si makhluk ajaib, berdiri setengah bersandar di depan kap mobil. Tersenyum.

Setelah basa-basi menanyakan kabar, dia membukakan pintu untuk saya. Duh seperti tuan puteri. Teringat berbagai peristiwa komunikasi gagal di malam sebelumnya, saya tak berharap banyak. Seandainya nyambung tentunya sangat menyenangkan berkendara dengannya di pagi yang indah ini.

Pagi itu saya baru melihat keindahan lembah Nagarkot dengan hutan pinusnya yang cantik yang semalam sebelumnya hanya gelap menyelimuti. Keajaiban bertambah karena kali ini dia memulai pembicaraan.

“It’s beautiful…” katanya sambil menunjuk sinar matahari yang menyeruak lembut dari balik pohon-pohon pinus.

Bukannya menanggapi, saya hanya mengangguk tak memperhatikan karena sibuk mengambil foto-foto hutan. Rasanya malas memulai ‘pembicaraan’ tak berujung sehingga saya hanya melempar pertanyaan mudah dan bisa dijawab Yes atau No tanpa perlu berpanjang cerita. Tanpa disadari, saya sudah menjadi seperti dia semalam.

The Pines of Nagarkot
The Pines of Nagarkot

Dan… dalam waktu singkat, bandara Tribhuvan International Airport di Kathmandu sudah di depan mata. Saat bersiap-siap, saya mengangkat tas tangan yang diletakkan di kaki. Tapi… What! Ada air menggenangi tas tangan. Tak berpikir panjang, -karena didalamnya ada tas kamera-, saya langsung angkat tas tangan ke pangkuan yang serta merta membuat celana panjang saya basah. Secepat kilat saya keluarkan tas kamera dan tas kecil untuk paspor, uang dan tiket. Dan terlihatlah biang keroknya. Botol minum plastik yang masih tertutup tetapi isinya tinggal setengah. Pasti tutupnya tidak 100% menutup.

Saya tahu pada saat mencoba menyelamatkan tas tangan dari air yang menggenang dekat kaki, makhluk ajaib di sebelah saya itu tahu something wrong has happened tapi tidak tahu persisnya. Ia kesulitan bertanya. Mencoba memahaminya, saya menjelaskan dengan mengatakan Water! sambil menunjuk ke bawah. Tanpa melepas tangan dari kemudi, ia mencoba melihatnya dari tempat duduknya.

Di tempat drop-off bandara, saya memandangnya dengan perasaan bersalah. Air yang menggenang karpet mobil itu akan menimbulkan bau tak sedap jika tidak langsung dikeringkan dan divacum. Wangi baru dari mobil pasti akan sirna. Tetapi dia berkali-kali tersenyum sambil berkata, it’s Okay, no problem.

Dia, si makhluk ajaib, memiliki hati yang sungguh baik…

Saya turun dengan celana bagian paha basah kuyup dan kedua tangan terasa penuh memegang tas-tas kecil berisi barang penting yang basah terkena air. Dengan hati yang tak enak dan campur aduk ditambah rasa bersalah, saya memandang makhluk ajaib itu turun mengatasi masalah yang saya timbulkan. Tapi saya tak mampu berbuat lebih, karena harus bergegas menuju ruang keberangkatan.

Setelah begitu banyak anugerah berlimpah selama di Nepal ini, di hari terakhir ini rasanya saya dibanjur air (sedikit banyak dalam arti yang sebenarnya!). Dengan pakaian basah, tangan penuh barang setengah basah, saya melangkah ke dalam. Peristiwa ini, sepertinya sebuah tanda… Apa artinya belum bisa saya pahami sekarang, tetapi pasti ada maknanya. Dan tentu saja peristiwa itu bukanlah sebuah kebetulan…

*

Baca rangkuman dan seri perjalanan di Nepal : Perjalanan Dengan Itinerary Dari Yang Kuasa

Nepal – Overland (Again), Lumbini – Chitwan – Kathmandu


Gerbang Lumbini yang baru saja dilewati, -satu lagi destinasi yang berhasil ditandai-, kini semakin kecil tertinggal di belakang.  Tanpa sadar saya menyentuh Khata, -syal putih yang didapat dari Biksu di bawah pohon Boddhi di Kuil Mayadevi, Lumbini, tempat kelahiran Sang Buddha-;  yang kini melingkar di leher dan telah membuat saya sangat terharu.  Menyentuh kain halus yang kontras dengan blus biru saya ini terasa menenteramkan, seakan memastikan bahwa kebahagiaan akan terus menemani dalam perjalanan ini, kembali ke Kathmandu.

Begitu memasuki wilayah Siddharthanagar, mobil yang saya naiki, Hyundai Atoz mulai bersaing dengan  truk-truk besar. Udara Terai terasa semakin panas saat berada dalam antrian lambat kendaraan-kendaraan besar itu. Kebanyakan dari truk-truk itu mengarah ke India melalui Belahiya (Nepal) lalu masuk ke Sunauli (India) dan selanjutnya ke Gorakhpur, -kota terdekat dengan stasiun kereta-, atau ke kota-kota lain di India. Perbatasan yang buka 24 jam ini  juga sering dilalui turis yang melakukan perjalanan darat dari Varanasi, Sarnath atau Kushinagar menuju Lumbini, Kathmandu atau Pokhara, demikian pula sebaliknya. Saya diam-diam mencatat situasinya dalam hati, siapa tahu saya melakukan cross-border disini.

Namun belum bergerak jauh dari simpang perbatasan Nepal – India tadi, Santa menghentikan kendaraan di sebuah bukit lalu memberitahu bahwa hamparan dataran rendah yang sangat luas didepan mata itu adalah dataran India. Negara impian untuk didatangi kembali, yang menyimpan begitu banyak cerita namun belum sempat mendapat prioritas, terlihat jauh sekaligus dekat. Sepertinya hanya selemparan batu dari bukit ini…

Tetapi yang benar-benar selemparan batu adalah warung makan tanpa nama yang begitu mengundang. Matahari yang belum tegak diatas kepala sepertinya menertawakan saya yang terpaksa mengikuti kebiasaan penduduk Nepal untuk makan siang sebelum tengah hari. Tak berapa lama, sepiring Dal Bhat terhidang di meja yang langsung saya lahap dengan penuh syukur. Rejeki dari Pemilik Semesta berupa hidangan, apapun rasanya, tak boleh ditolak karena bukankah masih banyak manusia tak bisa makan di bumi ini…

Waktu berjalan lambat saat mobil meluncur kembali ke jalan yang berkelok menembus perbukitan. Kini pemandangan meranggas telah berubah warna dengan hijaunya pepohonan yang menyelimuti bukit-bukit. Hingga kami mendekati sebuah jalan yang dipisahkan oleh batuan gunung besar yang seakan dibelah secara rapi, -entah oleh alam atau teknologi-, walaupun saya lebih cenderung pada kemungkinan yang terakhir. Saya mengabadikan ‘batu segede gaban‘ yang terbelah dengan keren  itu sambil mengingat jalan-jalan tol di Jawa yang juga dipotong rapi dari gunung-gunung yang menghalangi pembangunan jalan walaupun rasanya tidak ada yang seperti di Nepal ini yang dipenuhi tumbuhan di atasnya.

Namanya overland itu, kecuali sendirian, yaaa perlu juga toleransi. Perjalanan yang tadinya diisi musik top40 kini berganti musik pop berbahasa Hindi. Walaupun ada yang menyenangkan, tapi entah kenapa langsung mengingatkan saya akan momen “cinta pohon atau tiang” dari film-film Bollywood. Santa kadang bernyanyi mengikuti musik yang membuat telinga rasanya gatal mendadak, tetapi demi sebuah perjalanan yang menyenangkan, saya melebarkan batas toleransi lagipula pemandangan di luar menarik hati. …. kya karoon hayee, Kuch Kuch Hota Hai…. 😀 😀 (artinya pas gak ya?)

Sekitar satu jam kemudian, mata saya menangkap rombongan perempuan dalam balutan sari merah yang sedang berjalan sambil ngobrol. Pasti ada kuil di sekitar sini yang sedang ramai dengan perayaan atau mungkin juga pasar rakyat. Bukankah ibu-ibu dimanapun tak jauh dari Sale dan diskonan?

Women around Narayangarh, Nepal
Women around Narayangarh, Nepal

Dan benarlah di depan ada sebuah jembatan panjang yang membentang di atas Sungai Seti Gandaki, yang suci dan telah memberi banyak manfaat bagi penduduk di sepanjang alirannya. Sungai yang mengarah ke Selatan ini merupakan gabungan dari Sungai Kali Gandaki dan Sungai Trishuli, sungai lainnya yang juga dianggap suci. Bukankah nama-nama sungainya bermakna dalam? Dan sebagaimana biasa, di bantaran sungai Seti Gandaki ini dibangun sebuah kuil yang didedikasikan untuk Dewi Durga, mendampingi kuil lain yang pasti ada di dekatnya yaitu Kuil Shiva, yang saat itu penuh hiasan merah. Selain itu dari atas jembatan, terlihat seperti ada pasar rakyat dengan begitu banyak kegembiraan bercampur dengan mereka yang melakukan puja.

Seti Gandaki River
Seti Gandaki River

Di ujung jembatan panjang tadi, sebuah kota yang disebut dengan Narayangarh atau Narayanghat menyambut kami. Keberadaan kota kecil yang terletak di pinggir sungai suci ini telah menjelaskan arti nama kotanya tanpa perlu berpanjang cerita. Ghar atau Ghat berarti sebuah tangga turun ke sungai untuk ritual bersuci. Dan Narayan, sudah tak asing bagi di kalangan Hindu, yang dikenal sebagai Yang Maha Kuasa. Entah kenapa, mengetahui nama kota yang dilewati dengan kedalaman maknanya, saya langsung teringat pada kota-kota yang namanya bermakna indah, Madinah atau al-Madīnah l-Munawwarah, bermakna kota cahaya penerang iman; Los Angeles adalah kota malaikat; atau Krung Thep alias Bangkok adalah kota para bidadari dan makhluk abadi dan masih banyak lainnya. Dan tak luput Las Vegas, yang paling terang, penuh cahaya terlihat dari langit. (tapi yang terakhir ini duniawi sekali ya… 😀 )

The City of Narayangarh, Nepal
The City of Narayangarh, Nepal

Melintasi Narayangarh ini mata saya menikmati situasi setiap sudut kotanya, dengan hotel, bank dengan ATM, toko-toko atau penarik becak seperti yang ada di Lumbini. Kota kecil ini hidup dan langsung saya tersadarkan, tentu saja hidup, sebab tak jauh dari tempat wisata terkenal, Taman Nasional Chitwan, yang terdaftar sebagai salah satu kawasan UNESCO World Heritage Site.

Dalam hitungan menit selepas Narayangarh terbentang jalan membelah kawasan hutan yang tertata. Di pinggirnya sempat terlihat gambar hewan mungkin kawasan konservasinya. Jantung ini berdegup lebih kuat, seandainya saya terbang, tak pernah saya alami ini. Memang saya tak bisa menapakinya langsung, atau berpelukan dengan gajah dan hewan-hewan disana tetapi saya diberi kesempatan untuk membaui sejenak harumnya udara Chitwan yang terkenal dan menyaksikan kawasan hutan pendukungnya. Lagi-lagi saya bersyukur telah berlimpah anugerah dari sebuah kegagalan tidak mendapat penerbangan. Jadi mengapa harus menyesal dengan satu rencana yang gagal?

The Forest in Chitwan National Park, Nepal
The Forest in Chitwan National Park, Nepal

Akhirnya di simpang tiga itu, saya melambaikan tangan kepada Chitwan National Park. Setiap pertemuan memiliki perpisahan. Walaupun sejenak, walaupun hanya membauinya saja, saya bersyukur berkesempatan, daripada tidak sama sekali. Dan kini waktunya meneruskan perjalanan dengan pemandangan lembah-lembah sempit, tebing tinggi dengan sungai kehijauan yang kondisinya tak jauh beda saat melakukan perjalanan dari Pokhara ke Lumbini kemarin. Beberapa kali mata saya juga menangkap bebatuan yang terlihat longgar, yang dalam sekejap bisa longsor menimpa kendaraan-kendaraan di bawahnya. Ngeri untuk membayangkan.

Beautiful Trishuli River, Way to Mugling, Nepal
Beautiful Trishuli River, Way to Mugling, Nepal

Hari beranjak sore, diantara lembah sempit, dengan cahaya langit luar biasa menerpa punggung bukit dan ditemani Sungai Trishuli yang mengalir kehijauan di bawah membuat hati tersenyum. Siapa yang tak kagum dengan lukisan alam yang indah terjadi di depan mata?

Kemudian kurang dari satu jam berikutnya, kami sampai di pertigaan Mugling yang menyatukan kendaraan dari Lumbini dan Chitwan dengan kendaraan dari Pokhara yang semuanya menuju Kathmandu. Walau tak sampai menimbulkan kemacetan seperti di pertigaan Jomin saat mudik jaman dulu, terasa sekali lalu lintas semakin padat. Kini bus-bus semakin terlihat. Jalan nasional Prithvi Highway yang menghubungkan Kathmandu dan Pokhara ini telah dilewati oleh jutaan turis yang bolak-balik antara kedua kota terkenal di Nepal ini.

Sekitar lima kilometer dari pertigaan Mugling, kami mampir sebentar di Kurintar, stasiun kereta gantung satu-satunya yang ada di Nepal yang berasal dari Austria dengan keamanan bergaransi 100%. Sebenarnya menaiki kereta gantung ini sangat menyenangkan, karena bergerak sepanjang 3 km lintasan kabel  antara Kurintar dan Kuil Manakamana dengan ketinggian 1300 mdpl di puncak bukit yang ditempuh dalam waktu 10 menit dengan pemandangan lembah cantik dengan Sungai Trishuli yang berkelok-kelok. Sayangnya saat saya berkunjung tempat itu sudah hampir tutup sementara antrian pengunjung masih mengular panjang. Selain itu ongkosnya tak murah juga, sekitar USD20 per turis. Mungkin lain kali.

Setelah menyeruput segelas kopi, perjalanan dilanjutkan kembali karena Kathmandu masih sekitar 3 jam di depan. Pemandangan masih cantik dengan semakin turunnya matahari. Namun padatnya lalu lintas yang bergerak tak henti, -walau di tengah cahaya lembut sunset-, telah membaurkan udara dengan debu. Tak mungkin berhenti barang sejenak di sepanjang jalan yang berpinggir jurang, lagi pula pastilah membuat kemacetan panjang jika dipaksakan.

Trishuli River and the Mountains
Trishuli River and the Mountains

Hari perlahan berganti wajah menjadi malam. Jalan-jalan masih berkelok dalam gelap kecuali ada penerangan dari kendaraan atau dari bangunan dan billboard di pinggir jalan. Hingga di suatu kelokan bukit, sebuah bundaran besar bercahaya terlihat di antara pepohonan. Saya tertarik mengamati bundaran besar itu, seakan magnet yang sangat kuat. Benda apakah itu… Mata saya terus mengikutinya sementara kendaraan bergerak tanpa henti. Saya terus menatap benda itu mencari tahu sampai akhirnya saya tertawa sendiri. Itu Bulan, satelitnya Bumi yang terlihat sangat besar. Supermoon. Belum pernah saya melihat Bulan sebesar itu saat terbit, benar-benar beruntung saya bisa menyaksikan cantiknya Bulan di langit Nepal. Tetapi saya tak beruntung mengabadikannya, mungkin Pemilik Semesta hanya mengijinkan mata dan pikiran saya untuk melihat dan merekam kecantikan alam itu tanpa bisa mengabadikannya. Sungguh sebuah malam yang luar biasa…

Akhirnya Alhamdulillah, setelah berjam-jam berkendara, sampai juga di kantor penyewaan mobil di Kathmandu. Saya berterima kasih kepada Santa untuk dua hari perjalanan darat yang luar biasa dari Pokhara – Lumbini hingga Kathmandu dan mobil Hyundai Atoz itu kini bisa parkir semalam untuk kembali besok ke Pokhara, sementara saya langsung berganti kendaraan dengan sebuah mobil Honda putih yang wangi barunya masih sangat gres. Aaargh, malam-malam terang bulan begini menuju ke sebuah resort di Nagarkot, dengan mobil keren baru, dengan pengemudi pengganti yang duduk di sebelah saya, yang… ‘keceh‘ dan menarik 100% serta ‘seksih’… Ampuuuunnnn… 😀 😀 😀

bersambung…

Baca Rangkuman dan seri perjalanan Nepal lainnya:

Nepal – Menapak Pagi di Kawasan Monastik Lumbini


Every morning we are born again. What we do today is what matters most – Buddha

Mengutip selarik kata bijaksana dari Sang Buddha di tempat kelahirannya membuat pikiran saya bekerja cukup dalam sambil melangkah meninggalkan kamar menuju lobby untuk check-out. Walaupun hanya bisa sepenggal pagi hari berada di Lumbini, saya akan memanfaatkan kesempatan baik ini semaksimal mungkin untuk berkeliling di kawasan Monastik Lumbini dan tentu saja mengunjungi Kuil Mayadevi, tempat kelahiran Sang Buddha karena setiap detik yang begitu berharga.

Setelah menitipkan ransel di hotel, saya berjalan kaki menuju gerbang Barat, tempat Santa menunggu. Ya memang masih ada Santa hari ini karena kemarin, akhirnya saya memutuskan untuk memperpanjang sewa mobil sampai ke Kathmandu yang tentu saja disambut Santa dengan senyum yang sangat lebar. Sambil berjalan saya menanyakan kabar istirahat malamnya yang langsung dipotong sambil menggerutu, banyak nyamuk di Terai. Saya terbahak mengingat gurauan yang absurd, Terai bukanlah wilayah Nepal…

Santa menghentikan langkah saya dan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu, ia menawar sebuah rickshaw serupa becak untuk berkeliling kawasan monastik Lumbini. Inisiatifnya ternyata tepat, dalam waktu singkat jika harus berkeliling di kawasan itu dengan berjalan kaki, yang akan didapat hanya kelelahan tanpa mengetahui tempat-tempat bagus di kawasan ini.

Gerah udara pagi Terai tetap terasa walaupun saya hanya duduk manis di becak ala Nepal ini. Saya menyaksikan sendiri betapa kawasan seluas ratusan hektar yang dikelilingi oleh jalan Vishnupura ini merupakan kawasan internasional. Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha pastilah memiliki vihara di kawasan ini. Dan bentuknya? Pasti disesuaikan dengan ciri khas dari Negara-negara itu. Sebut saja Negara-negaranya, pasti ada…

Becak ala Nepal itu melewati jalan ‘tikus’ untuk sampai ke tengah kawasan melewati petak-petak tanah yang tak terpelihara. Ada sejumput rasa prihatin merambat di dalam hati. Untuk sebuah kawasan yang telah menorehkan tinta emas pada sejarah dunia dan sedikit banyak telah memberi warna perdamaian pada kemanusiaan, kawasan Lumbini ini sepertinya masih jauh dari kondisi yang seharusnya. Entah apa kabarnya dengan mega proyek pengembangan kawasan Lumbini yang telah di-gong-kan hampir empat puluh tahun lalu. Bahkan pencatatan Lumbini sebagai kawasan UNESCO World Heritage Site di tahun 1997 juga belum cukup mampu mengangkat kawasan itu nyaman terlihat di mata.

Dari balik rimbunnya petak-petak yang terabaikan itu saya sempat melihat puncak keemasan stupa Myanmar yang menyerupai Pagoda Shwedagon di Yangon, yang belakangan saya ketahui bernama Pagoda Lokamani. Tanpa masuk ke dalamnya, saya bisa membayangkan vihara Myanmar itu seperti bunga lotus yang hidup di air yang keruh.

From the mud of adversity grows the lotus of joy – Carolyn Marsden

Tepat setelah pagar batas dari vihara Myanmar itu, agak menjorok dari pinggir jalan saya menangkap dinding pagar keliling dengan ciri khas Kamboja seperti yang terlihat pada bangunan-bangunan candi di kompleks Angkor. Terlihat sepertinya masih dalam tahap penyelesaian akhir, ditambah dengan keberadaannya yang agak tersembunyi diantara petak-petak tanah yang terabaikan, membuat kompleks vihara Kamboja semakin tak terlihat. Entah mengapa pikiran saya melayang pada lembaran-lembaran uang yang tak kunjung terbang ke Lumbini.

The Royal Thai Monastery

Akhirnya becak à la Nepal berbelok memasuki kawasan vihara Thailand yang tentu saja didukung secara penuh oleh pemerintah Kerajaan Thailand. Walaupun bentuknya tak serupa, namun karena warna putihnya yang mencolok mata, bangunan vihara ini mengingatkan saya pada Wat Rong Khun (White Temple) di Chiang Rai. Pagi itu, bangunan vihara berlapis marmer berwarna putih terlihat sangat kontras dengan langit biru yang melatarinya. Walaupun ketika mendekat, tertangkap pula di mata saya beberapa bagian yang perlu direnovasi lagi. Ah, tetapi keadaan itu tak mengganggu kecantikan bangunan secara keseluruhan.

Royal Thai Monastery, Lumbini
Royal Thai Monastery, Lumbini

Becak pun terus dikayuh ke Utara menyusuri kolam buatan yang membelah kawasan Monastik menjadi dua bagian. Bagian Timur dari Kawasan Monastik Lumbini adalah vihara-vihara Buddha yang beraliran Theravada dan bagian Barat dari kolam buatan diidirikan vihara-vihara Buddha yang beraliran Mahayana dan Vajrayana.

Dan tepat di bagian Utara, -setelah menyeberang jalan Taulihawa-, terdapat World Peace Pagoda yang melengkapi World Peace Stupa (Shanti Stupa) yang ada di Pokhara. Keduanya, -merupakan bagian dari World Peace Pagoda di seluruh dunia-, didukung penuh oleh Nipponzan – Myohoji, salah satu aliran Buddha dari Jepang yang juga mendukung aliran anti kekerasan dari Mahatma Gandhi.

Setelah berputar di ujung kolam bagian Utara, saya memasuki kawasan vihara dengan aliran Mahayana. Terlihat bangunan cantik berbentuk stupa besar bergaya oriental yang sayangnya tidak diketahui namanya. Di dekatnya terdapat halaman yang tertata rapi namun sayangnya lagi-lagi tidak ada informasi asal Negaranya, walaupun orang lokal mengatakan vihara itu berasal dari Perancis.

Sebelum memasuki vihara yang ada disebelahnya, saya menyempatkan diri untuk menikmati kolam buatan yang terasa meneduhkan udara Terai yang gerah. Vihara modern di seberang kolam tampak seperti dipeluk kabut. Menenangkan sekali.

A Monastery near the pond, Lumbini
A Monastery near the pond, Lumbini

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Setelah melepas alas kaki, saya memasuki vihara yang didukung oleh Yayasan Tara dari Jerman, sehingga public sering menyebutnya Vihara Jerman (rasanya saya hampir saja tak percaya bahwa umat Buddhist di Jerman cukup banyak hingga dapat mendanai pendirian dan pemeliharaan vihara yang tak kecil). Bangunan ini dipelihara dengan sangat cantik dengan taman-taman yang tertata dan benda-benda yang berhubungan dengan ritual diletakkan di seluruh penjuru arah sebagai penguat tata letak. Jika saja pengunjung disana dapat lebih menahan diri tak bersuara, keheningan suasana ditempat ini membuat suasana meditatif kian terasa. Tak lupa di depan bangunan utama terdapat kolam yang ditengahnya terdapat Buddha Kecil, dengan tangan kanan menunjuk ke atas dan tangan kiri menunjuk ke bawah (bumi).

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa
The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Pada ruang dalamnya penuh dengan hiasan kehidupan Buddha yang dilukis baik pada dinding maupun pada langit-langitnya dengan warna-warna terang seperti merah dan kuning keemasan selain warna-warna biru muda yang meneduhkan.

Sekeluarnya dari vihara Jerman, saya menyusuri kolam buatan yang airnya sangat tenang sehingga menampilkan refleksi dari bangunan yang berada di pinggir kolam. Melewati sebuah bangunan bergaya Oriental dengan pagar tertutup tinggi, tak terasa langkah kaki membawa ke sebuah gedung berwarna putih pucat, yang sayangnya lagi-lagi tak memiliki petunjuk yang jelas. Sekelompok orang berwajah Hindustan tampak keluar dari gedung itu, entah usai beribadah atau sekedar melihat-lihat.

Monasteries near the ponc
Monasteries near the pond

Melewati sebuah gedung megah yang dari pagar hanya terlihat stupa besar dengan ciri khas Nepal, -memiliki mata seperti Bouddhanath dan Swayambhunath-, sang pengemudi becak ala Nepal telah menunggu kami untuk dikayuh kembali kearah vihara Zhong Hua dari China.

Vihara Zhong Hua

Saya melepas alas kaki untuk memasuki vihara berarsitektur China yang didominasi dengan warna merah ini. Dibandingkan dengan kuil atau vihara yang saya lihat sebelumnya, Vihara Zhong Hua ini sangat megah dan luas. Empat patung Dewa penjaga tampak gagah menghias area gerbang. Halaman bagian dalam tertata cantik yang mengarah ke gedung utama dengan Buddha berlapis emas yang duduk di altar. Secara keseluruhan seluruh bangunan yang ada di kompleks vihara ini dihubungkan dengan lorong terbuka beratap dengan pemandangan halaman taman yang cantik.

Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini
Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini

Vihara Korea

Tepat di depan Vihara Zhong Hua dari China berdirilah vihara Korea yang pada saat saya berkunjung sedang direnovasi. Melihat bangunannya, saya sampai berpikir di Lumbini tempat kelahiran Buddha yang mengajarkan kerendahhatian, entah kenapa saya merasa tetap saja ada upaya berlomba untuk menunjukkan vihara yang terbesar dan termegah. Jika sebuah negara sudah membangun vihara yang besar, ternyata ada negara lain yang membangunnya lebih besar, lebih megah. Lomba kedigdayaan? Entah…

Korean Monastery, Lumbini - under renovation
Korean Monastery, Lumbini – under renovation

Saya kembali berbecak menyusuri kanal di tengah untuk menuju Kuil Mayadevi, sejatinya tempat kelahiran Sang Buddha. Pengemudi becak ala Nepal itu menyelesaikan pekerjaannya di ujung kanal tempat nyalanya Api Perdamaian Abadi, Eternal Peace Flame, yang dinyalakan oleh Pangeran Gyanendra Bir Bikram Shah di tahun 1986. Dari posisi Api Perdamaian Abadi itu, saya melihat lurus ke Utara, terlihat samar warna putih Stupa dari World Peace Pagoda.

Berbalik badan menghadap arah Mayadevi temple, terhampar di depan mata jalan pelintasan panjang seakan membelah udara panas wilayah Terai. Terbayang gerah dipanggang oleh udara, tetapi sungguh dapat dimengerti, inilah wilayah yang begitu berharga bagi dunia, sejatinya seseorang yang telah mengubah warna dunia lahir di wilayah ini hingga tentu saja saya bersedia berjalan kaki untuk mencapainya walau panas sekalipun.

Sekitar 100 meter berjalan saya tiba di sebuah bundaran kecil yang ditengahnya terdapat patung Buddha kecil, dengan telunjuk kanan mengarah ke langit dan telunjuk kiri mengarah ke bumi, seperti kisah yang tertulis pada sutra mengenai tujuh langkah yang dilakukan oleh Buddha setelah kelahirannya.

Masih berselimutkan gerahnya udara pagi Terai, kaki terus melangkah menuju Mayadevi Temple, seakan mengetahui akan adanya keajaiban lain yang telah menunggu disana…  (baca kisahnya  Khata – Syal Putih dari Lumbini)

*

Ketinggalan cerita? coba cek disini – Rangkuman dan series cerita perjalanan di Nepal

Nepal – Jalan-Jalan di Pokhara, The Lakeside City


Sepertinya belum rela melepas pemandangan indah di Raniban Retreat sejak pagi, tetapi Ganga, –tour guide ‘dadakan’ yang juga manajer hotel merangkap kawan baru-, setengah memaksa saya untuk melakukan trekking sangat singkat ke World Peace Pagoda lalu berkeliling kota Pokhara sambil mengunjungi tempat-tempat menarik. Baru kali ini rasanya saya setengah hati pergi menjelajah sebuah kota yang belum dikenal karena, lagi-lagi jelas alasannya, saya tak ingin meninggalkan pemandangan gunung Macchapuchhare atau sering dikenal dengan Fish Tail dalam bahasa Nepal dan pemandangan puncak-puncak Annapurna yang mempesona. Ganga tertawa lebar mengetahui alasan saya, dia katakan bahwa gunung-gunung itu masih berada di tempatnya semula setelah kita kembali. Saya setengah mendelik kepadanya 🙂 Tentu saja dia bisa bilang begitu karena dia sudah bertahun-tahun tinggal di tempat indah ini, tetapi tidak bagi saya yang baru sehari semalam dibuat terpukau. Namun bagaimanapun Ganga telah berupaya banyak, mengatur ini dan itu, lagipula mau tak mau saya harus mulai melepas keterikatan dengan pemandangan mempesona puncak-puncak gunung berselimut salju itu.

Annapurna Range with Mt. Macchapuchhre (Fish Tail) (center)
Annapurna Range with Mt. Macchapuchhre (Fish Tail) (center)

Shanti Stupa (World Peace Pagoda)

Shanti Stupa –yang artinya Perdamaian dalam bahasa Sanskrit- berada di puncak bukit Ananda, 1100mdpl di wilayah Kaski yang menjadi bagian dari kota Pokhara. Karena lokasinya yang lebih rendah dari Raniban Hill tempat hotel Raniban Retreat berada, maka saya menyanggupi ajakan Ganga untuk melakukan trekking sangat singkat yang kurang dari 1 jam ke Shanti Stupa. Karena katanya kalau di Nepal belum melakukan trekking, namanya bukan ke Nepal! Saya juga bersedia trekking singkat, bukan trekking yang serius karena saya hanya membawa satu-satunya sepatu yang kini dipakai, sepasang flat shoes yang ditertawakan oleh si tour-guide ‘dadakan’ itu karena katanya sungguh tidak tepat untuk trekking menembus alam. Ya iyalaaah….

Dan tentu saja yang namanya trekking itu jarang sekali hanya jalan datar saja. Setelah jalan menurun yang nyaman menembus hutan dengan melompati satu dua pohon yang tumbang, saya mulai menapaki jalan mendaki yang cukup membuat keringat keluar apalagi saat itu harus memutar lebih jauh karena longsor di beberapa tempat. Saya benar-benar mengangkat topi untuk stamina para trekkers dan pendaki gunung 😀

Ketika akhirnya bisa menjejak di area Shanti Stupa, saya dibuat kagum dengan ukurannya yang sangat besar. Tingginya saja mencapai 35 meter. Monumen dunia yang memiliki relics Buddha didasarnya namun memiliki latar belakang penuh drama sejak pendirian di tahun 1973 ini, akhirnya diresmikan di tahun 1992 dan kini menjadi salah satu spot turis terkenal di Pokhara, apalagi berlatar pegunungan Himalaya yang puncak-puncaknya berselimut salju. Di keempat arah mata angin, stupa dua tingkat ini berhiaskan empat patung Buddha yang didonasikan dari Jepang, Sri Lanka, Thailand dan Nepal yang menggambarkan periode-periode penting dalam kehidupan Buddha, sejak kelahiran, mendapatkan pencerahan, pengajaran pertama dan kepergiannya ke Nirwana. Berada di sini yang hening penuh damai, saya teringat ketika pagi tadi Shanti Stupa diselimuti kabut yang tentu saja sangat luar biasa bila mengalaminya sendiri di tempat ini. Pasti amazing. Sayang sekali dari tempat saya berdiri tak nampak pemandangan pegunungan bersalju itu, lagi-lagi tampaknya mereka sedang sembunyi di balik awan.

Shanti Stupa - World Peace Pagoda, Pokhara
Shanti Stupa – World Peace Pagoda, Pokhara
Buddha Images at Shanti Stupa, Pokhara
Buddha Images at Shanti Stupa, Pokhara – Birth – Enlightenment – First Sermon – Parinirvana

Gua Gupteshwor Mahadev

Kemudian dengan menggunakan taxi hotel yang telah menunggu di halaman parkir Shanti Stupa, Ganga dan saya melanjutkan perjalanan ke gua Gupteshwor Mahadev yang konon merupakan gua terpanjang di Nepal. Tak lama kemudian taksi berhenti di tempat seperti pasar. Sebelum saya sempat bertanya, Ganga telah menjelaskan bahwa jalan menuju Gua Gupteshwor Mahadev memang melalui kios-kios.

Setelah membeli tiket seharga 100NPR, saya melintas gerbang masuk. Sesuai namanya Gua Gupteshwor Mahadev -yang berarti Dewa yang bersembunyi-, letaknya berada di bawah permukaan tanah, sehingga kami perlu menuruni tangga semen yang melingkar berhias berbagai pahatan dewa-dewi sepanjang dinding yang masih dalam tahap penyelesaian. Udara lembab langsung menerpa hidung saat memasuki mulut gua. Dan saya harus melangkah hati-hati karena selain penerangan yang seadanya, saya bisa terpeleset karena licin.

Di tempat yang agak datar dan terbuka, selain terlihat cukup banyak stalagmit yang dipercaya sebagai Lingga Shiva, ada sebuah tempat puja yang mendapat banyak kunjungan dari orang yang hendak menghaturkan sembah dan puja-puji. Ganga memberi tanda bahwa yang berlama-lama di tempat ini hanya yang mau beribadah sehingga saya kembali mengikutinya untuk melanjutkan perjalanan.

Di ujung sebuah lorong sempit yang mengharuskan jalan bergantian, kami memberi waktu kepada seorang perempuan tua bersari merah berjalan tertatih-tatih sambil mendaraskan puji-pujian kepada Dewa. Saya tersadarkan, tempat saya berdiri dan berjalan dipercaya sebagai tempat suci, tak heran bila banyak orang datang kesini untuk beribadah. Bukan seperti saya, yang berkunjung untuk melihat-lihat.

Kami masih terus berjalan dengan hati-hati hingga beberapa menit kemudian Ganga tiba-tiba berhenti. Berada tepat di belakangnya, saya langsung memahami mengapa dia berhenti. Pasti dia ingin menunjukkan udara pengap gua yang tiba-tiba berubah menjadi angin sejuk sehingga tubuh terasa segar dan nyaman. Pikiran saya langsung bekerja, pasti ada lubang udara di sekitar sini. Ketika saya bertanya padanya, ia tidak menjawab melainkan mengajak terus berjalan menuruni tangga hingga ke sebuah titik yang letaknya dekat sekali di atas aliran air.

Water From Davis Fall to Gupteshwor Mahadev Cave
Water From Davis Fall to Gupteshwor Mahadev Cave

Saya terpana, ada aliran air di bawah permukaan tanah. Dan berjarak sekitar 30 meter dari tempat saya berdiri terlihat celah karang yang memperlihatkan terangnya situasi di luar disertai suara gemuruh air. Sambil menunjuk celah karang tersebut dan mencoba mengalahkan suara gemuruh, Ganga mengatakan bahwa air dan suara itu berasal dari Davis Falls. Saya hanya mengangguk membayangkan air terjun di luar sana. Tak hanya itu, Ganga pun menunjuk air yang ada di sekitar kami. Tidak seperti umumnya air yang membentuk sebuah aliran. Di sekitar kami hanya ada permukaan air tanpa arah aliran, seperti hanya berputar-putar. Ganga tersenyum lebar menunjukkan ‘keajaiban’ itu walaupun secara ilmiah saya tahu pasti ada banyak celah sempit di antara batu-batu karang di bawah tempat saya berdiri yang mengalirkan air. Alam bekerja dengan sangat teratur kan?

Davis Falls (Devi’s Falls)

Bermodal tiket masuk seharga 20NPR, setelah dari gua Gupteshwor Mahadev saya masih membayangkan air terjun yang akan saya lihat itu seperti air terjun di Tawangmangu atau Sipiso-piso yang tinggi sehingga ketika sampai di Davis Falls saya hanya bisa tersenyum menyadari imajinasi di benak hancur berkeping-keping. Tetapi bagaimanapun tak pernah ada kunjungan yang membuat saya menyesal.

Davis Falls punya cerita sedih di balik namanya. Orang Nepal sendiri menyebutnya Patale Chhango, yang artinya air terjun di bawah tanah. Tetapi tempat ini lebih dikenal dengan Davis Falls, karena sebenarnya di tahun 1961 seorang turis perempuan Swiss bernama Davis tenggelam di tempat aliran air terjun yang memiliki beberaa jeram ini dan jasadnya ditemukan di sungai Phusre 3 hari kemudian. Kejadian itulah membuat air terjun yang berjeram ini dinamakan Davis Falls.

Davis Falls, Pokhara
Davis Falls, Pokhara

Entah karena cara pengucapannya atau hal lain, penamaan air terjun ini berkembang menjadi Devi’s Falls, air terjun Dewi, yang memang setelah jatuh airnya menghilang ke bawah tanah setelah melalui celah karang yang dapat dilihat dari gua Gupteshwor Mahadev, yang memang letaknya hanya berseberangan jalan dari Davis Falls. Mau disebut Davis Falls atau Devi’s Falls atau aslinya Patale Chhango, bukankah masing-masing memiliki cerita sendiri-sendiri?

Saat saya berkunjung, bunyi air di jeramnya cukup keras, tak heran jika saat musim hujan dengan volume air yang melimpah, konon bunyi air di jeramnya sangat memekakkan telinga.

Davis Falls, Pokhara
Davis Falls, Pokhara

Danau Phewa / Fewa

Tentu saja Ganga mengajak saya naik perahu di Danau Phewa, danau kedua terbesar di Nepal setelah Danau Rara yang berada di Barat Laut Nepal. Berperahu di Danau Phewa ini memang merupakan kegiatan yang direkomendasikan untuk turis karena memang pemandangannya indah dan sangat menentramkan. Suasananya tenang dengan sekali-sekali dayung meriakkan air permukaan danau. Dengan hanya 50NPR saya bisa menyeberang ke pulau di tengah danau dengan menggunakan doonga atau perahu yang dicat dengan warna menyolok, sangat kontras dengan hijaunya air danau dan langit biru serta awan putih yang berarak. Sayang sekali pegunungan berpuncak salju itu lagi-lagi sedang bersembunyi. Saya membayangkan, air danau yang tenang itu tentu bisa menjadi cermin pemandangan yang luar biasa.

The Doongas, Colorful boats at Phewa Lake
The Doongas, Colorful boats at Phewa Lake

Dari perahu yang bergerak pelan, Ganga menunjuk hotel kami dan juga Shanti Stupa yang berada jauh di atas puncak bukit. Saya terbelalak juga, membayangkan orang-orang yang melakukan trekking kesitu. Lumayan juga tingginya…

Phewa Lake, Pokhara - Can you find Shanti Stupa on top of the hill?
Phewa Lake, Pokhara – Can you find Shanti Stupa on top of the hill?

Varahi Temple

Kuil bertingkat dua yang didedikasikan untuk Vishnu itu berada di sebuah pulau kecil di tengah Danau Phewa dan menjadi tujuan kami berperahu. Kuil yang didirikan pada abad-18 ini menjadi kuil utama Pokhara. Ketika kami sampai, terlihat banyak orang mengunjungi kuil ini untuk beribadah sehingga saya menunggu beberapa saat dari pinggir ditemani oleh burung-burung merpati yang jinak. Saya jadi teringat di seluruh Durbar Square yang ada di Kathmandu yang selalu dipenuhi dengan burung merpati. Selain burung merpati, Ganga juga mengajak saya melihat ke pinggir pulau tempat ikan-ikan memperebutkan makanan yang diberikan pengunjung. Saya menghargai usahanya, tetapi –mungkin karena panggilan perut-, melihat ikan-ikan itu saya justru teringat saat makan di saung dengan mulut-mulut ikan mas dan gurame yang menganga dan menutup sehingga berbunyi plop-plop-plop… (dan di benak langsung terbayang gurame bakar madu…)

Varahi Temple, Phewa Lake, Pokhara
Varahi Temple, Phewa Lake, Pokhara

*

Jelang sore, setelah menikmati makan siang Dal Bhat di sebuah restoran tepi sungai, saya meninggalkan Pokhara kembali ke hotel di wilayah hutan Raniban. Kembali saya kehabisan nafas menapaki 500 anak tangga sambil berharap pegunungan berpuncak salju itu tak malu lagi memperlihatkan pesonanya…

*

Baca di sini Rangkuman dan Seri perjalanan di Nepal

Melintas Perbatasan Chong Mek Thailand ke Vangtao Laos Selatan


Mendung masih menyelimuti langit Ubon walaupun matahari sudah terbit dari tadi, tetapi saya sudah siap meninggalkan penginapan. Saya merasa terlambat, seharusnya saya sudah di jalan menuju perbatasan. Untung saja sudah ada petugas di balik konter penginapan itu. Sambil memproses check-out saya minta bantuannya untuk mencarikan tuktuk agar bisa sampai ke terminal bus yang akan membawa saya ke Pakse di Laos.

Entah kenapa saya terpikir untuk mempercepat perjalanan ke perbatasan ini. Bus internasional yang akan melintas perbatasan baru akan berangkat dari terminal Ubon Ratchathani sekitar pukul 08.30, artinya saya harus menunggu dua jam lebih demi membayar 200baht ke Pakse. Padahal dalam dua jam itu saya sudah bisa melampaui perbatasan. Hmm… saya berpikir keras dan menimbang-nimbang karena tidak yakin ada kendaraan umum yang bisa non-stop dari Ubon Ratchathani ke perbatasan di Chong Mek, selain taksi. Bus ada, tetapi pasti lama karena sering berhenti di banyak tempat. Pilihan lain adalah naik Songthaew, sejenis angkot yang lebih besar, tetapi biasanya gonta-ganti yang tak jelas di Phibun Mangsahan, kota kecil diantara Ubon Ratchathani dan Chong Mek. Bus atau Songthaew pasti lebih murah dari 200Baht tetapi waktu jadi tak pasti. Padahal saya sedang berlomba dengan waktu untuk mencapai Wat Phou di Champasak, hari ini.

Demi cinta (uhuk!) saya bersedia merogoh kantong lebih dalam. Saya memutuskan untuk naik taksi demi sebuah Wat Phou yang kian jelas memanggil dari Champasak. 1000Baht! Itu artinya lima kali bolak-balik Ubon – Pakse naik bus internasional.

Akhirnya saya batalkan pesanan tuktuk dan minta dicarikan taksi yang bersedia ke Chong Mek di pagi hari itu dan keberuntungan selalu datang buat siapa saja yang bangun pagi. Seorang pemuda yang sepertinya masih relasi dari pemilik hotel yang sedang membersihkan kendaraan, bersedia mengantar ke perbatasan. Jadilah saya naik Honda city dari Ubon Ratchathani ke Chong Mek sepanjang 90km.

Jalan-jalan luar kota di Thailand lebar dan tertata rapi. Beruntunglah saya bisa naik mobil menikmati perjalanan darat yang menyenangkan. Sebuah kemewahan tersendiri, bisa lancar melalui jalan lingkar kota Phibun Mangsahan. Pemuda baik hati itu juga melambatkan laju kendaraan agar saya bisa mengambil foto waduk Sirindhorn yang terlihat dari jalan.

Sekitar satu jam saya telah sampai di Chong Mek. Pengennya sih bisa berteriak, Borderrrr…!!!

Immigration Building in Chong Mek, Thailand
Immigration Building in Chong Mek, Thailand

Sepanjang perjalanan saya selama ini, selain Singapore – Johor Bahru di Malaysia dengan kereta api, dan Lowu di Hong Kong dengan Shenzhen di China, saya belum pernah melintas perbatasan via darat. Dan hari ini pengalaman pertama saya melintas perbatasan dua negara via darat dengan berjalan kaki. Dengan jantung berdebar-debar, saya bersiap menghadapi pengalaman itu sendiri.

Pemuda baik hati itu melepas saya tepat di depan gedung imigrasi. Saya bukannya langsung menuju gedung imigrasi melainkan menyeberang kearah toko 7-11 untuk mengabadikan situasi perbatasan Thailand. Dan sebagai isteri dan ibu yang baik, hihihi, saya mengirim pesan ke keluarga mengatakan saya sedang di perbatasan. Sekalian menulis status tak bermutu bernada pamer sambil check-in di Facebook, halah! 😀 😀 😀

Petugas imigrasi Thailand sudah siap di belakang konter. Lagi-lagi saya diajak berbahasa Thai karena wajah ‘Thai palsu’ yang saya miliki. Karena saya bengong sambil memperlihatkan paspor Garuda di tangan, petugas itu dengan ramah meminta saya pindah ke konter khusus ASEAN karena saya salah masuk ke jalur lokal.

Paspor saya telah dicap keluar dari Thailand dan belum masuk ke Negara tujuan (Lao PDR). Dan inilah saya yang sedang berjalan kaki memasuki daerah tak jelas (no man’s land). Ah, mungkin saya yang kebanyakan nonton film Hollywood yang selalu heboh mengerikan penuh drama di wilayah no-man’s land 😀 😀 😀

Saya menuruni tangga menuju terowongan bawah tanah berjeruji yang terbagi dua arah dan menghubungkan Thailand dan Lao PDR, tak beda sama sekali dengan tikus putih percobaan yang dipaksa berjalan mengikuti arah yang sudah ditentukan.

Dan eng-ing-eng…. Di ujung akhir tangga naik terowongan, saya muncul di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari gedung imigrasi Laos, tetapi ini tidak. Saya sampai di sebuah tempat terbuka setelah melewati kios kecil berbendera Lao PDR. Bebas mau melangkah kemana saja. Free…

The End of Tunnel - Small Kiosk wih Lao Flag
The End of Tunnel – Small Kiosk with Lao Flag

Mana gedung imigrasi untuk cap paspor? Ya cari sendiri, usahaaaa… sodara-sodara…

Jantung berdegup lebih kencang menyadari situasi laissez faire di depan mata (Tiba-tiba saya terpikir untuk melakukan perjalanan melintas perbatasan Indonesia di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur serta Nusa Tenggara Timur dan Papua, hanya untuk sebuah perbandingan situasi…)

Where's the Immigration Building?
Where’s the Immigration Building? The White Building??? It’s not….

Saya berbalik arah menanyakan kepada petugas perempuan yang ada di dalam kios kecil itu. Dia hanya menunjuk tak jelas, kearah bangunan besar di depan mata. White building, katanya. Saya mengangguk mengucapkan terima kasih lalu berjalan kearah gedung tadi.

Angin ribut lokal pun menyambut

Tiba-tiba angin terasa kuat berhembus datang dari arah kiri saya. Suaranya menderu dan tak menyenangkan, debu-debu di jalan yang lama tak kena hujan terbang seketika ke atas, daun-daun yang jatuh, sampah-sampah dan benda ringan lainnya seketika terbang terbawa angin. Saya sempat melihat dua orang yang sedang berjalan ke arah Thailand langsung menutup wajah untuk menghindari debu yang terbang liar. Saya sudah terjebak di tengah-tengah angin ribut lokal ini. Dengan mata yang terpicing, saya sempat melihat barang-barang konstruksi seperti potongan lembaran seng bergoyang-goyang. Alarm tubuh langsung berdering menandakan situasi yang harus diwaspadai. Saya cepat mencari gundukan besar dekat jalan tanah merah yang belum beraspal namun memungkinkan untuk berbaring disitu jika alam semakin tak bersahabat. Saya berdoa dalam hati agar senantiasa dilindungi dari marabahaya sambil tetap berjalan cepat kesana, tetapi itu artinya saya menjauhi the white building yang ditunjukkan petugas perempuan tadi. Terasa lembaran sisa surat kabar yang terbang terbawa angin dengan keras mengenai sisi kiri saya. Terpaksa dengan mata memicing saya melangkah lebar-lebar mencoba menghindari terkena barang-barang yang terbang, mencoba mengalahkan angin. Syukurlah semakin dekat ke gedung, angin semakin terasa tertinggal di belakang. Sebagaimana tiba-tiba ia datang, secepat itu pula ia pergi. Ah, saya tersadar… Itu sebuah sambutan buat saya di Laos! 😀

Dan… baru terlihat jelas gedung yang dikatakan petugas tadi masih belum selesai pembangunannya. Hah? Jika bukan gedung putih yang ini, jadi dimana untuk imigrasi ? Helloooo… paspor ini belum dicap masuk!

Saat ini saya masih dalam keadaan tak jelas, sudah tercatat keluar dari Thailand tetapi belum masuk Laos. Jika tanah ini bukan tanah siapa-siapa, artinya masih adakah hukum disini jika something’s going wrong? Namun jika ini tanah Laos, saya masih berjalan sebagai illegal alien… pendatang haram…

Saya melihat seorang perempuan berseragam dinas berjalan melintas sekitar seratus meter di depan. Melihat sebuah kesempatan baik, saya langsung mengejar dan bertanya padanya. Untunglah ia berkenan mengantarkan saya langsung ke gedung imigrasi karena ia juga menuju tempat yang sama, sambil menjelaskan nomor konter ASEAN yang harus saya masuki. Alhamdulillah… Ternyata gedung yang dimaksud terletak di sebelah gedung yang ditunjuk petugas perempuan yang pertama tadi. Adanya angin ribut lokal menyebabkan saya melangkah ke arah yang salah.

Finally the Counter for ASEAN
Finally the Counter for ASEAN

Saya mengikuti sarannya dan mengambil kartu kedatangan lalu mengisinya kemudian menyetorkan ke lubang di bawah jendela.

Saya ditanya asal negara yang saya jawab sambil jengkel (saat itu tidak ada orang lain alias sendirian dan dia memegang paspor saya yang sudah jelas tertulis Republik Indonesia, masih ditanya lagi!) Ujung-ujungnya adalah 10000Kip. Masalahnya saya tidak punya Kip, tidak punya Bath kecil. Untung saja saya selalu bawa uang US$1 sisa dari Kamboja, saya sodorkan dua lembar dan mereka tersenyum menyerahkan kembali paspor saya yang sudah bercap Vangtao, Lao PDR. Ini sesuai dengan apa yang diceritakan di internet bahwa di perbatasan Laos, imigrasinya selalu meminta uang 10000Kip sebagai processing fee. Hah?? Kalau warganegara asing yang perlu VOA okelah, tapi kalau ASEAN yang hanya tinggal cap, apa lagi yang diproses? Ya sudahlah… apalagi saat itu akhir minggu… (eh, eh…… whaaattt???)

Saya baru ingat hari ini adalah akhir pekan. Bank tutup! Saya di tanah Laos dan tidak punya uang. Celaka dua belas! Dengan memegang paspor saya keliling mencari money changer dan semuanya tutup Saudara-saudara… Saya melangkah ke ATM Laos, keren nih, bisa tarik uang melalui jaringan internasional. Tetapi ada orang yang mencobanya dan gagal… Bahkan ia memperlihatkan kepada saya layar yang bertulisan Out of Service. Metooong!!! Saya iseng melangkah ke Bank di seberang jalan hanya untuk membaca tulisan yang tergantung di pintu, Closed. Bagus sekali!

Saya kembali kearah ATM tadi tak henti berharap palsu. Tadaaaa… saya mendapat berkah lagi, ATM sekarang berfungsi, mungkin tadi sistemnya belum siap. Sukses mengambil uang dan merasa ‘kaya’ dengan Kip Laos, saya melanjutkan perjalanan. Saya kan harus ke Pakse!

Lagi-lagi saya bertanya kepada seseorang yang berseragam dinas dan diantarkan ke tempat ojek agar bisa diantar ke tempat minivan. Begitu banyak orang baik! Di tempat saya turun dari ojek, dua orang mendekati saya. Satu menawarkan mobil langsung ke penginapan saya di Pakse dan satu lagi naik minivan yang berakhir di terminal. Ini pilihan dengan negosiasi seru penuh tawa karena saya menggunakan jari-jari untuk menawar termasuk merajuk jika terasa mahal. Akhirnya setelah berkomunikasi bahasa tarzan dengan warga lokal itu, saya dapat mobil privat langsung ke Pakse dengan harga sedikit lebih tinggi daripada harga minivan. Great!

Saya meninggalkan perbatasan Vangtao dan menempuh 1 jam perjalanan lagi ke Pakse. Kali ini jalur lalu lintas Laos berada di sebelah kanan dengan jalan yang relatif mulus namun berdebu yang kadang dihiasi dengan rombongan sapi yang menyeberang tanpa lihat mobil berkecepatan tinggi sedang melaju. Tak hanya sekali sang pengemudi menginjak rem secara mendadak dan para sapi itu hanya bisa nyengir… dan saya terus bergumam dalam hati… Wat Phou, I’m on the way…

Laos Selatan – Sebuah Pendahuluan


Setelah tahun 2012 saya mengunjungi kota Luang Prabang yang terkenal sebagai UNESCO World Heritage City dan Vientiane, ibukota negara Lao PDR, yang keduanya terletak di bagian Utara, saya masih meninggalkan satu UNESCO World Heritage Site di Laos, yaitu Wat Phou yang terletak di propinsi Champasak di bagian Selatan bumi Laos. Wat Phou inilah yang kerap memanggil saya untuk datang menjejakkan kaki. Sebagai penggemar candi, apalagi yang masih berkerabat dengan candi Angkorian atau Champa, by any means, dengan segala cara akan saya upayakan datang hehehe…

IMG_1069
One of the galleries of Wat Phou Champasak, Southern Lao PDR

Karena lokasi Wat Phou cukup remote, seakan berada di negeri antah berantah, dan agak jauh dari kota-kota besar maka saya harus melakukan persiapan perjalanan dengan lebih baik. Tetapi herannya sebaik apapun persiapan perjalanan saya, selalu saja pada kenyataannya bisa berbeda dan bagi saya itu semua yang memberi warna dalam sebuah perjalanan. Atau mungkin saya sendiri yang memang pada dasarnya tidak suka terlalu terpaku pada itinerary…

Tetapi yang pasti setelah mengalah terhadap undangan dan panggilan tak henti dari Wat Phou itu, saya mulai serius mempersiapkan perjalanan itu. Paling tidak saya bisa menyelinap pergi kesana sepanjang akhir pekan dengan tambahan satu atau dua hari cuti. Laos bukan negeri jauh, masih di kawasan Asia Tenggara yang relatif dekat dengan Indonesia tercinta. Tinggal mengatur bagaimana cara saya sampai ke Wat Phou itu…

Dan satu roti pun cukup sebagai makan siang demi berkencan dengan simbah gugel untuk perjalanan ini…

Pakse, ibukota propinsi Champasak di Laos Selatan merupakan kota terdekat untuk mencapai Wat Phou dan saya menandai sebagai base sementara saya di Laos. Paling tidak untuk contingency atau emergency, di Pakse terdapat bandara internasional (hehehe… ini kebiasaan mencari escape point)

Sedikit lebih jauh dengan Laos atau secara resmi disebut dengan Lao People’s Democratic Republic (Lao PDR)  merupakan negara yang landlocked, yaitu negara yang seluruh perbatasannya dengan negara lain hanya berupa daratan dengan kondisi sungai dianggap sebagai bagian dari daratan. Laos sendiri berbatas  dengan Myanmar dan China (di Barat Laut), Vietnam (di Timur), Cambodia (di Selatan) dan Thailand (di Barat). Untuk mudahnya membayangkan, jika Vietnam sepanjang pesisir Indochina yang melekuk seksi dan Thailand dan Cambodia yang berada di bagian dalam teluk, maka Laos merupakan negara yang terjepit diantara ketiganya. Kalau masih belum bisa membayangkan, ya… buka petanya saja, yang pasti Laos bukan berada di Afrika atau di Amerika, tetapi laos suka ada di dapur sih

P1040501
Dusk in Pakse, Southern Lao PDR

Bagaimana cara mencapai Pakse?

Pilihan terbang yang merogoh kantong lebih dalam memang berat namun hampir selalu menjadi pilihan bagi saya yang masih jadi karyawan fakir cuti. Terbang dengan rute internasional ke Pakse bisa dari HCMC (Vietnam), Siem Reap (Cambodia) dan Bangkok (Thailand) dan dengan rute domestik tentu saja bisa dilakukan dari Vientiane (ibukota Lao PDR). Jangan tanya harganya… mahal booo’

Dengan beranggapan biasanya rute domestik lebih murah, awalnya saya ingin terbang dari Vientiane ke Pakse, tetapi setelah mengetahui harga tiketnya sekitar 1 jutaan sekali terbang, -yang artinya sama dengan rute terbang internasional dari Siem Reap maupun HCMC ke Pakse-, saya mencoret pilihan terbang ini. Kan saya harus menghitung dana untuk terbang dari Jakarta ke kota-kota hub itu juga kan?

Pertimbangan lain, berdasarkan pengalaman sebelumnya, penerbangan domestik di Laos biasanya menggunakan jenis pesawat ATR72, pesawat baling-baling. Demikian juga penerbangan dari Siem Reap yang juga menggunakan tipe pesawat ATR72 yang walaupun termasuk baru, buat saya tetap tidak sreg. Dan yang lebih memastikan saya mencoret pilihan terbang ini adalah karena setahun atau dua tahun lalu pernah terjadi insiden pesawat jatuh dan tenggelam di Sungai Mekong saat landing ke Pakse walaupun itu lebih disebabkan karena faktor alam.  Lhaaa… Pakse itu di pinggir Sungai Mekong Saudara-saudara…

Via Ubon Ratchathani

Dan tanpa disangka sepotong roti bekal makan siang membuahkan hasil, simbah gugel memberi link untuk terbang ke Ubon Ratchathani, sebuah kota cukup besar di Timur Thailand, dekat perbatasan dengan Laos dan dari sana bisa melanjutkan perjalanan dengan bus sampai Pakse. This is awesome…

IMG_1061
Thung Si Muang – City Landmark of Ubon Ratchathani, Thailand

Inilah makna jika sudah berkehendak baik, Semesta pun mendukung… Ke Ubon Ratchathani (atau biasa disingkat dengan Ubon) bisa menggunakan berbagai moda transportasi, pesawat terbang, kereta, bus (termasuk sleeper bus), kendaraan pribadi, bersepeda atau jalan kaki hehehe…

Ah saya bisa kembali ke Bangkok, kota pertama solo-trip saya bertahun-tahun lalu, kota gemerlap yang membuat degup jantung lebih kencang karena adrenalin yang mengalir (solo-traveler pasti mengenal rasa ini saat pertama kali jalan). Dan saya tidak pernah menyelesaikan semua tempat-tempat wisata di Bangkok, agar saya bisa kembali lagi ke kota ini… Dan saya pasti kembali ke Bangkok dalam perjalanan saya ke Wat Phou kali ini..

Jika hendak terbang dari Bangkok ke Ubon bisa menggunakan yang low-cost Air Asia, Nok Air, Thai Lion Air, Thai Smile (dibawah manajemen Royal Thai Airways) dan lain-lain… Harga promo terbang sekitar 700 Baht. Mau menghemat Baht? Ya bisa menggunakan kereta api. Berangkatnya dari Hua Lamphong, dengan jadwal pagi, senja dan malam, ditempuh dalam waktu 9-12 jam, tergantung pilihan jenis keretanya dengan harga sekitaran 100 ribu hingga 400 ribu Rupiah tergantung kelas tempat duduknya. Pilihan menarik lainnya dengan bus VIP. Berangkat dari terminal Morchit dengan jadwal pagi, sore dan malam, lama perjalanan sekitar 9 jam dengan harga sekitar 200 ribuan Rupiah.

Kalau saya memilih menggunakan pesawat terbang, hanya karena pertimbangan waktu. Saya berangkat dari Jakarta ke Bangkok dengan pesawat pertama dan langsung lanjut ke Ubon sehingga saya bisa menjelajah kota Ubon dari siang hingga malam sehingga paginya bisa langsung ke perbatasan. Saya memilih menggunakan Nok-Air yang juga berangkat dari Don Muang namun berbeda terminal dan 1 jam perjalanan ke Ubon itu saya diberikan snack dan air kemasan kecil. Sangat lumayan dengan harga yang beda sedikit dengan 2nd class sleeper train atau Bus VIP 32 kursi.

Saya belum pernah ke Ubon Ratchathani sehingga saya ingin tahu juga bagaimana kondisi kota yang sebalah timur Thailand yang dekat perbatasan dengan Laos itu.

Melintas Batas Negara Sesuai Keinginan

Sepotong roti bekal makan siang waktu itu yang membawa saya bisa ke Pakse via Ubon Ratchathani masih meninggalkan godaan. Ah, saya memang mudah tergoda untuk hal-hal yang bisa mendesirkan adrenalin lebih cepat…

Sebenarnya ada bus VIP Internasional yang berangkat dari Ubon ke Pakse dan sebaliknya, non-stop, cepat dan ringkat, berangkat dari terminal bus di utara kota Ubon pada pk 08.30 dan sampai ke perbatasan sekitar satu jam kemudian, lalu menunggu seluruh penumpang memproses keimigrasian sekitar 30 menit sampai 1 jam dan melanjutkan perjalanan ke Pakse untuk satu jam selanjutnya. Mudah sekali kan? Saya sebagai penumpang tinggal duduk hingga perbatasan, lalu mengurus keimigrasian untuk keluar dari Thailand dan masuk ke Laos kemudian duduk cantik lagi di bus hingga Pakse. Dan tiket bus itu 200 Baht (sekitar 75ribu Rupiah).

Nah yang membuat saya tergoda adalah saya harus menunggu hingga pukul 8.30 lalu sekitar 3 jam perjalanan menjadikan saya baru sampai di Pakse sekitar tengah hari, padahal saya ingin sekali bisa berlama-lama di Wat Phou. Belum lagi dari Pakse ke Wat Phou yang perlu waktu 40 menit sampai 1 jam naik kendaraan umum. Bisa-bisa saya hanya secepat angin berada di Wat Phou…

Jika saya bisa berangkat jam enam pagi dari Ubon, by any means, ke perbatasan lalu secepat kilat mengurus imigrasi karena sebagai penduduk ASEAN kita hanya perlu kurang dari 5 menit untuk cap-cap pada paspor, kemudian berangkat lagi ke Pakse, lagi-lagi by any means… saya pasti lebih cepat mencapai Pakse. Saya tahu ada harga pengorbanan yang harus dibayar, tetapi ketika bicara soal kecintaan pada World Heritage Site tentu akan saya pertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Mungkinkah Semesta mendukung agar saya bisa sampai menjejak di Wat Phou lebih cepat…?

peta
From Ubon to Thai-Laos Border, to Pakse to Wat Phu Champasak

Bisa pergi tapi pulangnya…?

Lalu sampai Pakse apakah masalahnya sudah selesai? Ternyata belum… Untuk ke Wat Phou harus naik bus ke Champasak, sebuah kota kecil dengan satu jalan besar, lalu dilanjutkan naik tuktuk ke Wat Phou. Yang seru, dari Pakse ke Champasak tersedia bus umum namun jadwalnya hanya ada dua kali sehari, pagi dan siang! Demikian juga di Champasak. Akibatnya, kalau terlambat sampai Champasak dari Wat Phou, pilihannya tinggal dua: silakan jalan kaki kembali ke Pakse atau menginap di Champasak! Waaks!

Oh Tuhan, ini di luar dugaan sama sekali. Saya terbiasa dengan banyaknya moda transportasi di wilayah destinasi, kali ini benar-benar di luar perhitungan saya. Bisa pergi, tetapi tidak bisa kembali…?  Luar biasa

Masalah sebenarnya bisa diatasi dengan menyewa motor sekitar 50000 Kips per hari (sekitar US$7) di Pakse, tetapi saya tidak berani mengendarai motor dari Pakse hingga Wat Phou dengan kondisi jalan di kanan dan panaaaaasss luar biasa, juga karena saya sama sekali tidak mengenal wilayah itu sama sekali. Tetapi selalu ada berita baik ketika semua jalan terlihat buntu.  Saya mendapat kabar bahwa kita bisa menyewa tuktuk seharian untuk keperluan itu. Wow… Amazing. Lagi-lagi impian saya terlihat semakin nyata.

Penginapan

Seperti biasanya jika di sebuah kota dekat dengan sebuah World Heritage Site, pastilah di kota itu tersedia hotel berbintang dari yang mahal hingga penginapan murah meriah. Saya selalu memilih penginapan yang memiliki review bagus di dekat pusat keramaian. Tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah juga, dengan demikian saya akan mudah mencari makan atau sekedar jalan-jalan keliling kota.

Tetapi entah kenapa kali ini saya juga menambahkan pencarian apakah penginapan yang saya pesan itu termasuk ghost hotel atau bukan. Bisa jadi karena saya membaca ada sebuah hotel terkenal di Pakse yang dibangun sejak berakhirnya kerajaan di Laos dan ditinggalkan begitu saja dan sekarang digunakan sebagai hotel. Hahaha… mungkin saya salah ya, tetapi segala sesuatu bisa terjadi kan? Benar-benar tidak lucu kan kalau sampai terbangun malam-malam karena melihat yang datang dari alam lain hehehe…

Cerita detail tentang perjalanan di Laos Selatan menyusul ya…