3 Destinasi Terbaik Yang Wajib Dikunjungi di Mandalay


Rasanya belum bisa dibilang sudah traveling ke Mandalay bila belum melihat proses pembuatan gold leaf, atau pergi ke Pagoda Mahamuni yang menjadi icon Mandalay dan U-Bein Bridge yang magis. Bagi saya, inilah destinasi yang saya kategorikan sebagai ‘save the best for last’ dalam kunjungan saya ke Mandalay.

Pembuatan Gold Leaf

Di Burma, hampir semua patung Buddha atau tokoh yang dipersamakan serta benda-benda suci lainnya biasanya dilekatkan dengan lembaran emas sehingga tampil berkilau. Penempelan ini bukan sekedar asal tempel melainkan merupakan rangkaian proses keimanan dan keyakinan terhadap Buddha. Dikatakan bila seseorang sakit, maka ia akan berdoa di depan Buddha dan dengan merekatkan lembaran emas ke tempat yang sakit, ia yakin dan percaya Buddha akan mengambil seluruh penyakitnya dan menyembuhkannya. Demikian pula saat gembira, sebagai rasa syukur ia akan melakukan hal yang sama. Tidak heran, dimana-mana patung Buddha umumnya berlapis emas.

Pembuatan Gold Leaf
Pembuatan Gold Leaf

Dan salah satu tempat pembuatan lembaran emas (gold leaf) yang paling terkenal adalah di Mandalay. Tidak hanya di Burma, nama Mandalay harum hingga ke negara-negara tetangga terutama yang berorientasi Buddha Theravada, seperti Thailand. Saat saya mengunjungi tempat pembuatan gold leaf, tampak foto Princess Saradhorn, salah satu putri Raja Thailand yang pernah berkunjung.

Karena agak trauma dengan scam di Thailand, terutama yang berhubungan dengan logam atau batu mulia, Lanjutkan membaca “3 Destinasi Terbaik Yang Wajib Dikunjungi di Mandalay”

Mengunjungi Mandalay, Kota Kerajaan Terakhir di Burma


Benteng Mandalay
Benteng Mandalay

Awalnya saya mengira Mandalay itu berada di Phillippines, karena ada lagu Mandalay dari La Flavour yang ngetop bersamaan dengan Tagalog Disco. Saya tidak mengira Mandalay itu ada di Burma dan bahkan bisa sampai menjejakkkan kaki ini di bumi Mandalay!

Penerbangan pertama dari Bagan ke Mandalay dengan pesawat baling-baling ATR72 – 500 Air Mandalay yang kurang dari 1 jam, mendarat mulus di Bandara Mandalay (MDL). Namun sebagai salah satu bandara terbesar di Burma, saingan dengan bandara di Yangon dan Naypyidaw (ibu kota Burma yang sekarang), bandara Mandalay terasa sangat lengang, mungkin karena masih pagi atau memang tidak banyak penggunanya.

Di sini, di bandara Mandalay, seperti juga di kota-kota Burma yang sebelumnya saya datangi, saya tetap melewati pemeriksaan paspor untuk diregistrasi oleh petugas berseragam bermuka aneh. Baiklah… dimana kaki berpijak disanalah langit dijunjung… Mandalay I’m coming…

Mandalay, satu-satunya destinasi di Burma yang saya kunjungi tanpa itinerary yang jelas, akomodasinya pun belum dipesan. Tetapi pengalaman perjalanan yang menyenangkan sebelumnya dapat meyakinkan bahwa rasa ingin tahu yang membuncah bercampur kesenangan menjumpai hal baru akan menambah makna perjalanan ini. Saya melangkah yakin ke konter akomodasi dan taxi, untuk memesan akomodasi sekaligus taxi ke pusat kota. Mbak-mbak cantik di balik konter memberikan rekomendasi penginapan yang terjangkau dan aman untuk female solo-traveler seperti saya. Dia juga memberikan rekomendasi sewa mobil yang dapat saya gunakan untuk berkeliling kota, tetapi langsung saya tolak karena mahalnya minta ampun.

Untuk sampai ke pusat kota yang jauhnya 35 km, saya menggunakan taxi, yang pengemudinya mengajak seorang temannya untuk ngobrol dan membiarkan saya menikmati perjalanan jauh itu dengan latar belakang suara brisik pembicaraan mereka dalam bahasa Burma. Sebuah tantangan galau… hehehe…

Lanjutkan membaca “Mengunjungi Mandalay, Kota Kerajaan Terakhir di Burma”

Transportasi Burma: Dari Pesawat Baling-baling, Kereta Kencana, Angkot hingga Taksi Mogok


Selalu saja banyak cerita di balik moda transportasi yang digunakan selama perjalanan, termasuk selama perjalanan di Burma. Sejumlah moda transportasi yang saya gunakan selama di Burma berurutan dari yang mahal sampai murah adalah 1. Pesawat Terbang, 2. Private Rental Car, 3. Taxi atau Shared Taxi (?), 4. Angkutan Umum Antar Kota (alias Angkot), 5. Ojek, 6. Kereta Kencana, 7. Jalan Kaki.

Pesawat Terbang

Moda transportasi pertama yang saya gunakan dari Kuala Lumpur hingga mencapai bumi Burma adalah dengan menggunakan pesawat jet Airbus A320. Harga yang berbeda sedikit dari Air Asia dengan pertimbangan sampai lebih awal, membuat saya memutuskan menggunakan Malaysian Airways. Di dalam penerbangan, tidak ada yang special kecuali beberapa penumpang mengenakan Longyi, pakaian tradisional Burma sehingga membawa atmosfir Burma ke dalam pesawat.

ATR 72
ATR 72

Mengingat lokasi destinasi di domestik Burma berjauhan, saya mengambil moda pesawat terbang dengan pertimbangan kecepatan dan kesehatan fisik, agar bisa lebih banyak istirahat walaupun harus menguras kantong lebih dalam.  Dari Yangon ke Bagan (Nyaung Oo) menggunakan pesawat terbang model ATR-72 500 Air KBZ. Awalnya saya memesan online untuk maskapai Air Mandalay, ternyata beberapa hari kemudian datang pemberitahuan bahwa penerbangan saya dicancel namun mereka telah mentransfer saya langsung untuk menggunakan Air KBZ. Group KBZ merupakan perusahaan yang dimiliki oleh seorang konglomerat di Burma (di Yangon saya melihat ada KBZ Bank!)

Ini kali pertama lagi saya menggunakan pesawat baling-baling setelah puluhan tahun.  Bayangan bahwa pesawat baling-baling itu kuno dan hanya dibuat sebelum pesawat jet seperti mencengkeram saya, walaupun saya tahu persis bahwa ketakutan ini sama sekali tidak beralasan. Benarlah… begitu masuk, saya tahu pesawat masih terbilang baru.

Saya juga baru tahu bahwa kelas bisnis di Pesawat ATR-72 ada di bagian belakang sehingga bisa keluar lebih dahulu karena pintunya hanya satu yaitu di bagian ekor. Jadi sebagai pemilik kursi kelas ekonomi, saya dapat di bagian tengah tepat di bawah sayap, bukan di atas sayap kalau kita naik pesawat jet biasa. Ransel standar 7kg-an saya ternyata tidak cukup masuk ke kabin atas, terpaksa saya jejalkan ke bawah kursi.

Uniknya, Lanjutkan membaca “Transportasi Burma: Dari Pesawat Baling-baling, Kereta Kencana, Angkot hingga Taksi Mogok”

Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda


Mungkin di suatu masa tersembunyi,

Para bidadari menari dan menyanyi,

Membiarkan Sang Waktu terus bermimpi,

kala para Dewa Dewi tak henti memberi,

demi Bagan, berhiaskan permata diri

Hamparan Pagoda di Bagan
Hamparan Pagoda di Bagan

Bagan adalah destinasi selanjutnya di Myanmar/Burma yang saya kunjungi setelah Bago. Dengan menggunakan pesawat baling-baling  dan mendarat di lapangan terbang kota Nyaung Oo, mata ini mencari nama saya diantara penjemput, ternyata ada di paling belakang dan terluar (mungkin karena saya dijemput dokar, bukan mobil! dan seperti dimana-mana, dokar dianggap prioritas terendah!).  Dengan suka cita, saya mengikuti pemuda tanggung yang menjadi kusirnya. Yihaaaaa…. (dan dokar  belum meninggalkan bandara ketika saya dengar raungan di atas, ternyata pesawat ATR72 yang saya tumpangi tadi, sudah terbang lagi… persis seperti angkot, drop, take and leave!)

Memilih dokar sebagai transportasi di Bagan memang tidak salah. Disini waktu seakan tertidur. Saya bisa menikmati paparan angin pagi di wajah sambil melihat jalan bandara yang sepi.  Dengan bahasa Inggeris yang bisa dipahami, kusir dokar merekomendasikan untuk langsung ke area peninggalan sejarah daripada harus memutar ke kota lagi untuk check-in hotel. Saya setuju. Dan diantarlah saya ke bumi sejuta pagoda yang terhampar di Bagan ini, bermula dari jalan utama bagian utara kemudian mengelilingi area peninggalan hingga matahari hilang dari ufuk dan kembali ke hotel.

Shwezigon Paya

Shwezigon
Shwezigon

Pagoda Shwezigon dengan stupa keemasan di bagian tengah ini merupakan bangunan pertama yang dibangun di Burma pada tahun 1087. Pagoda cantik ini pada awalnya dibangun oleh Raja Anawrahta dan diselesaikan oleh Raja Kyanzitta. Ternyata pagoda ini merupakan prototype pembangunan Pagoda Shwedagon yang tersohor itu.

Selain terdapat bangunan pagoda dengan atap tradisional Burma yang khas, dalam kompleks Shwezigon juga terdapat candi batu bata yang masih tegak berdiri dan bangunan-bangunan lain berwarna putih, sehingga menimbulkan warna warni yang sangat kontras dengan langit biru.

Di bagian tenggara, terdapat patung 37 Nat (Spirit) yang dipercaya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Burma. Dan sebagai salah satu pagoda yang tertua di Bagan, Shwezigon merupakan tempat diakuinya ke 37 Nat oleh Kerajaan Burma.

Lokasi Pagoda ini berada di sebelah kanan dari jalan Bagan – Nyaung Oo Utara, tepat setelah melewati stasiun bis. Jalan menuju Pagoda, di sepanjang lorong lebar pedagang kaki lima yang sangat ahli menjual tampak memenuhi pelataran. Dengan alasan gratis, Lanjutkan membaca “Bagan: Ketika Sang Waktu Bermimpi di Bumi Sejuta Pagoda”

Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma


Naik Ojek, ‘Rampok’ ala ‘Tour Guide’, Patung Buddha Raksasa, Nikmatnya Makan siang kalau kelaparan merupakan bagian menyenangkan dari daytrip saya ke Bago, sekitar 80 km dari Yangon, yang biasa ditempuh dalam waktu 1 – 1.5 jam dengan kendaraan pribadi atau bus dengan melewati National Highway menuju Mandalay. Highway ini memotong waktu cukup banyak. Saya terkagum-kagum juga dengan jalan tol yang lebar ini. Wah, Burma yang terkena sanksi dari negara-negara Barat bisa membuat jalan tol. Hebatlah! di area ini cukup banyak obyek yang dapat dinikmati, lagi pula tidak terlalu jauh dari Yangon.

Di perjalanan dengan angkutan umum ini ketika sedang asik-asiknya tertidur, tiba-tiba kendaraan berhenti dan sopir membangunkan saya. Ia hanya mengatakan, Bago, Bago. Dengan nyawa yang belum terkumpul lengkap, saya sadar harus turun segera sebelum semua penumpang mendelik kepada saya. Saya mengucap terima kasih kepada sopir lalu turun dan saya ditinggal sendirian terkaget-kaget bangun tidur di tengah terik matahari siang, di pinggir jalan! Tidak ada orang di sekitar. This is awesome!!

Tidak mau gosong dipanggang matahari, saya menuju resto di lantai bawah Emperor hotel di pinggir seberang, untuk rehat sejenak. Semangat menjelajah terbangun setelah meneguk minuman ringan. Setelah membayar, dan bertanya untuk bisa ke area peninggalan sejarah, seorang pelayan mengantar saya ke seorang tukang ojek! Wow! Rupanya Tun-tun, si tukang ojek, sekaligus pemandu wisata di Bago ini, termasuk seorang spesialis. Beruntungnya saya! Dan mulailah petualangan saya di antara peninggalan-peninggalan kerajaan Burma… tentunya setelah deal dengan si tukang ojek.

Gila, ternyata pemandu saya ini sangat professional dan… komersial! Dia tahu sekali makna lembaran hijau berwajah Hamilton itu. Sebelum masuk ke Gerbang situs, dia bercerita banyak soal Lonely Planet dan turis asing yang menggunakan jasanya. Kemudian, dengan alasan hendak menjelaskan sejarah Bago seperti yang dijelaskan di buku Lonely Planet, dia menanyakan apakah saya membawa buku Lonely Planet karena hendak mempertontonkan sesuatu. Dan…. Lanjutkan membaca “Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma”

(Burma Trip – Shwedagon #3) Menikmati Malam di Shwedagon


Diamond di Puncak Shwedagon

Kaki saya telah keluar dari bangunan Inskripsi Shwedagon, melangkah menuju bangunan lainnya sambil mendengarkan cerita dari sang guide. (Jika belum mengikuti perjalanan saya di Shwedagon sebelumnya, baca dulu : Burma Trip – Shwedagon#2 : Melangkah Diantara Yang Cantik).

Saya memutari Pagoda Naungdawgyi searah jarum jam, sehingga mencapai Bangunan Shin Ajagona yang berada tepat di bagian selatan pagoda. Bangunan ini serupa dengan bangunan lainnya yang  memiliki khas Burma, berwarna hijau keemasan. Ajagona sendiri merupakan kisah seorang biksu dari Bagan, yang mencari ilmu untuk mendapatkan jimat batu filsuf. Dalam tahap akhir upayanya, Ajagona menceburkan gumpalan-gumpalan besi yang telah ia buat lama sebelumnya ke bejana cairan asam. Namun, alih-alih mendapatkan jimat, gumpalan-gumpalan itu tidak mengalami perubahan apapun. Merasa malu, ia mengakui kegagalannya dengan cara mempersembahkan kedua matanya sebagai tanda bakti kepada Raja dan seluruh rakyat Bagan yang telah mendukung upayanya sekian lama. Dalam kebutaannya, lalu ia membuang seluruh gumpalan logam itu ke sebuah jamban. Anehnya, dengan dibuang ke jamban, gumpalan logam itu berubah bentuk dan dipercaya telah menjadi jimat batu filsuf. Rupanya elemen akhir yang harus ditambahkan untuk menjadikan sebuah jimat bukanlah cairan asam melainkan kotoran. Dalam kebutaannya, Ajagona justru telah berhasil mendapatkan batu filsuf. Namun karena ia buta, Ajagona kemudian menyuruh seorang pemuda ke pasar untuk mendapatkan sepasang mata, baik sepasang mata domba atau sapi, agar Ajagona dapat kembali melihat. Namun sayangnya, di pasar si anak muda hanya bisa mendapatkan satu mata domba dan satu mata sapi. Tak putus asa Ajagona menggunakan mata yang diperoleh si anak muda tadi agar ia bisa kembali melihat. Akhir kisah, penglihatan Sang Biksu  bisa dikembalikan, tetapi matanya berbeda satu dengan yang lainnya dan karenanya ia terkenal dengan nama Ajagona, yang secara bebas diartikan Domba-Sapi. Kisahnya tidak berhenti disitu, dengan bekal batu filsuf yang dimilikinya, Sang Biksu berhasil membuat rakyat Bagan menjadi sejahtera dan makmur sehingga mampu membangun banyak pagoda. Sebuah cerita yang menarik, karena saya melihat sendiri banyak sekali pagoda yang tersisa masih berdiri dengan megahnya di Bagan, apalagi pada jamannya!

Genta Mahasaddhaghanta

Meninggalkan Bangunan Shin Ajagona, masih di area tenggara dari Pagoda Naungdawgyi, terdapat bangunan yang didalamnya terdapat sebuah genta atau lonceng raksasa yang disebut dengan Genta/Lonceng Raja Tharyarwady. Genta ini didonasikan oleh Raja Tharyarwady yang memerintah dari tahun 1838 – 1846, setelah kunjungannya ke Yangon. Genta raksasa yang ditempatkan pada tahun 1843 ini bernama Mahasaddhaghanta yang berarti Genta Besar Tiga Suara. Berbeda dengan Singu Bell yang juga menghiasi Shwedagon, genta Mahasaddhaghanta yang berbobot 42 ton ini merupakan genta terbesar kedua di Burma setelah Genta Mingun di Mandalay yang bobotnya 89 ton. Genta Raja Tharyarwady ini memiliki tinggi lebih dari 4 meter dan berdiameter sekitar 2 meter dengan ketebalan 37cm. Di permukaannya terdapat inskripsi dalam bahasa Pali dan Burma yang merupakan inskripsi paling panjang di Burma.

Pengunjung sering memanfaatkan area di dekat Genta ini sebagai tempat untuk bermeditasi. Bahkan ketika saya berkunjung ke sana, di dalam genta raksasa terdapat seseorang yang sedang bermeditasi. Secara logis, mungkin orang tersebut mencari keheningan luar biasa yang bisa didapatkan di dalam genta karena suara lebih teredam (Tetapi maaf ya…. Lanjutkan membaca “(Burma Trip – Shwedagon #3) Menikmati Malam di Shwedagon”

(Burma trip – Shwedagon#2) – Melangkah Diantara Yang Cantik


Saat ini saya masih berada di sisi Barat dari Shwedagon. Ternyata Shwedagon jauh lebih luas dari perkiraan saya. Banyaknya bangunan yang luar biasa cantiknya membuat mata ini tak puas-puas memandang kemana pun. Juga banyaknya pengunjung yang datang beribadah bercampur dengan para wisatawan, membuat tempat ini terasa magis namun menarik.  Bagi yang tertinggal cerita perjalanan saya sebelumnya di Shwedagon… baca saja dulu  Burma trip – Shwedagon #1)

Big Buddha at Hall of Prosperity

Berhadapan dengan Aula Daw Pwint, sampailah saya pada Altar Barat yang dapat diakses langsung dari  gerbang barat. Altar Barat ini berisikan Kassapa, Sang Buddha Ketiga. Aslinya Altar ini dibangun oleh U Aung Gyi dan Daw Saw Nyunt pada tahun 1900, tetapi luluh lantak karena kebakaran besar tahun 1931 dan hanya menyisakan 3 lempeng marmer bertuliskan dalam bahasa Burma, Inggris, China dan Hindi tentang keberuntungannya dapat bebas dari kebakaran. Tak berbeda dari Altar Utama lainnya, disini pun banyak sekali pengunjung yang beribadah dengan khusuknya.

Melangkah dari Altar Barat, di ujung Barat Laut terdapat Singu Bell (Genta). Sejarahnya, raja ke empat dari Dinasti Konbaung membawa Genta besar itu ke Shwedagon pada tahun 1779, dan diberi nama Mahaghanta. Tidak main-main ukurannya, karena berat genta tersebut 25 ton, dengan 2.1 meter tinggi dan 2 meter lebar serta 30cm ketebalannya. Siapapun yang membunyikan genta tersebut tiga kali, katanya… Lanjutkan membaca “(Burma trip – Shwedagon#2) – Melangkah Diantara Yang Cantik”

(Burma trip – Shwedagon #1)… Akhirnya saya sampai di Shwedagon, Pa…


Shwedagon at night

Asia

Tenggara,

Jangan ’ku ditanya

Mana yang lebih juara

Apakah Borobudur di Indonesia

Atau Angkor Wat yang ada di Kamboja

Karena Burma juga punya Shwedagon Phaya

Selepas mengunjungi  Sule Pagoda hari itu, ujung sore datang menyapa seakan mengingatkan bahwa ada yang harus saya lakukan. Benar, obyek Utama yang menjadi salah satu alasan saya mengunjungi Burma. Bergegas saya menyetop taxi dan memintanya ke arah utara, ke tempat yang saya impikan: Shwedagon Phaya yang bernama resmi Shwedagon Zedi Daw itu. Lalu lintas cukup padat sehingga taxi beberapa kali terjebak pada antrian. Sungguh mengingatkan pada kota saya sendiri.

Taxi memasuki kompleks Shwedagon, yang terletak di bukit Singuttara, dari arah Jalan U Htaung Bo yang merupakan gerbang masuk Selatan, salah satu diantara 4 gerbang masuk ke Shwedagon. Ke empat gerbang itu adalah Gerbang Barat dengan 166 anak tangga, ditutup selama puluhan tahun karena kebakaran besar yang terjadi di tahun 1931 namun sekarang sudah dapat diakses, Gerbang Utara yang dibangun tahun 1460 memiliki 128 anak tangga, Gerbang Timur memiliki 118 anak tangga juga pernah mengalami kerusakan dari ketika Inggeris menyerang di tahun 1852. Gerbang Timur ini memiliki akses terdekat ke penjual souvenir di kaki bukit dan tersedia pula kedai minum teh untuk beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan Danau Kandwgyi yang terhampar di depannya. Gerbang Selatan merupakan gerbang yang biasa digunakan pengunjung karena kemudahan akses dari pusat kota, dan juga karena memiliki jumlah anak tangga yang paling sedikit yaitu sebanyak 104. Pengemudi taxi menurunkan saya di pintu akses khusus turis yang memiliki lift langsung ke tingkat pelataran sehingga saya tidak perlu menaiki ratusan anak tangga. Akses khusus turis ini berada di antara gerbang Selatan dan Timur. Sebenarnya saya kehilangan momen meniti sejarah yang ada di tiap anak tangganya, tetapi mungkin itu pilihan yang lebih baik daripada pingsan di atas karena kehabisan nafas 🙂

Shwedagon sendiri dibuka untuk umum dari jam 04:00 hingga jam 22:00 malam kecuali hari-hari tertentu (sekitar Maret dan Juni) yang dibuka 24 jam. Walaupun dibuka jam 04:00 pagi, tiket masuk baru dijual pada jam 06:00 pagi. Kecuali Anda orang lokal atau turis yang tidak memiliki hati untuk membayar tiket masuk, Anda bisa melenggang masuk tanpa bayar pada jam 04:00 pagi.  Harga tiket masuk sebesar US$5 ditambah US$3 untuk kamera. Setelah membayar, saya harus membuka sepatu/sandal termasuk kaos kaki dan disimpan dalam tas plastik terus saya masukkan ke ransel, agar memudahkan akses untuk keluar Pagoda. Saya menyewa seorang guide, untuk mendapatkan informasi detil mengenai Pagoda yang sudah saya ketahui dari kecil ini (dan akhirnya saya tidak pernah menyesal membayar seorang guide, karena banyaknya informasi yang saya dapatkan, dan tentunya membantu mengambil foto saya sendiri!)

Dan karena Shwedagon merupakan tempat ibadah, seyogyanyalah kita mematuhi aturan berpakaian ketika mengunjungi tempat ini. Celana panjang, celana di bawah lutut, kain panjang atau rok di bawah lutut bisa diterima dengan dipasangkan baju berlengan. Dan sebagaimana tempat ibadah lain, sebaiknya kita menghormati dan tidak mengganggu mereka yang sedang beribadah dengan tidak berisik, tidak over-acting di depan mereka.

Lanjutkan membaca “(Burma trip – Shwedagon #1)… Akhirnya saya sampai di Shwedagon, Pa…”