Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma


Naik Ojek, ‘Rampok’ ala ‘Tour Guide’, Patung Buddha Raksasa, Nikmatnya Makan siang kalau kelaparan merupakan bagian menyenangkan dari daytrip saya ke Bago, sekitar 80 km dari Yangon, yang biasa ditempuh dalam waktu 1 – 1.5 jam dengan kendaraan pribadi atau bus dengan melewati National Highway menuju Mandalay. Highway ini memotong waktu cukup banyak. Saya terkagum-kagum juga dengan jalan tol yang lebar ini. Wah, Burma yang terkena sanksi dari negara-negara Barat bisa membuat jalan tol. Hebatlah! di area ini cukup banyak obyek yang dapat dinikmati, lagi pula tidak terlalu jauh dari Yangon.

Di perjalanan dengan angkutan umum ini ketika sedang asik-asiknya tertidur, tiba-tiba kendaraan berhenti dan sopir membangunkan saya. Ia hanya mengatakan, Bago, Bago. Dengan nyawa yang belum terkumpul lengkap, saya sadar harus turun segera sebelum semua penumpang mendelik kepada saya. Saya mengucap terima kasih kepada sopir lalu turun dan saya ditinggal sendirian terkaget-kaget bangun tidur di tengah terik matahari siang, di pinggir jalan! Tidak ada orang di sekitar. This is awesome!!

Tidak mau gosong dipanggang matahari, saya menuju resto di lantai bawah Emperor hotel di pinggir seberang, untuk rehat sejenak. Semangat menjelajah terbangun setelah meneguk minuman ringan. Setelah membayar, dan bertanya untuk bisa ke area peninggalan sejarah, seorang pelayan mengantar saya ke seorang tukang ojek! Wow! Rupanya Tun-tun, si tukang ojek, sekaligus pemandu wisata di Bago ini, termasuk seorang spesialis. Beruntungnya saya! Dan mulailah petualangan saya di antara peninggalan-peninggalan kerajaan Burma… tentunya setelah deal dengan si tukang ojek.

Gila, ternyata pemandu saya ini sangat professional dan… komersial! Dia tahu sekali makna lembaran hijau berwajah Hamilton itu. Sebelum masuk ke Gerbang situs, dia bercerita banyak soal Lonely Planet dan turis asing yang menggunakan jasanya. Kemudian, dengan alasan hendak menjelaskan sejarah Bago seperti yang dijelaskan di buku Lonely Planet, dia menanyakan apakah saya membawa buku Lonely Planet karena hendak mempertontonkan sesuatu. Dan…. Begitu naïf-nya saya, memberikan begitu saja buku Lonely Planet dan dengan cepat ia membuka halaman dimana tertera, setiap masuk area historis di Bago atau dimana pun juga di Burma, perlu bayar 10USD. Ia pun blah-blah-blah dengan 1001 alasan tetapi intinya tetap 10USD! What! Dengan terkekeh geli, saya merasakan kehebatannya ‘merampok’ saya. Saya tahu, bahwa lembar Hamilton 10$ ini akan masuk ke kantongnya sendiri, tetapi konsekuensinya, dia akan berhubungan langsung dengan setiap petugas Pagoda atau situs manapun yang mempertanyakan tiket sah saya, karena saya sama sekali tidak punya tampang lokal yang hendak beribadah (orang lokal selalu gratis berkunjung ke pagoda) karena terlihat sangat ‘turis’ dengan tentengan kamera.

Di Burma, kita harus melepas alas kaki termasuk kaos kaki kalau ke pagoda. Berikut ini adalah tempat-tempat yang saya kunjungi selama one-day trip di Bago.

1. Maha Kalyani Sima.

4 Nat Image at Maha Kalyani Sima

Sima merupakan tempat pelatihan para biksu. Salah satu Sima terkenal di daerah Bago adalah Maha Kalyani Sima. Legendanya, tempat suci ini dibangun pada tahun 1476 oleh Dhammazedi (Raja Burma yang menguasai ilmu pengetahuan kuno dan juga merupakan anak dari Ratu Burma yang terkenal: Ratu Shinsawpu). Di tiap sudut Sima terdapat patung Nat, makhluk spirit yang dipercaya oleh rakyat Burma. Sekilas patung-patung Nat itu terlihat sama saja, dengan penggambaran kebaikan dan kemuliaan. Namun Tun Tun mengatakan, bahwa patung nat yang terakhir yang saya lihat itu, merupakan nat pemakan daging manusia. Halah….

Sayang sekali, walaupun katanya suci, saat saya berkunjung, Sima ini tampak terbengkalai. Seorang yang bukan pendeta, tampak tertidur pulas di lantai dekat Ruang Utama. Pintu-pintu tampak tidak terpelihara. Tetapi saya menyadari, bagaimana pun juga, memelihara tempat-tempat badah perlu biaya yang tidak sedikit. Apalagi Sima ini tidak digunakan secara rutin.

2. Taman Buddha

24 Buddha Image at Buddha Garden, Bago

Dari Maka Kalyani Sima, pemandu membawa saya ke Taman Buddha. Di tempat ini, ada 24 patung Buddha yang duduk membentuk setengah lingkaran di bawah kerimbunan pohon-pohon Buddha (boddhi tree). Pemandu menantang saya untuk memperhatikan setiap daun dari pohon-pohon Boddhi yang ada di balik setiap patung Buddha itu. Katanya antara satu pohon dengan pohon yang lain daunnya berbeda bentuk. Mata saya membelalak, (sambil berkata dalam hati, yaaa iyalaaah… Kembar pun punya perbedaan. Namun untuk menghormatinya, saya menggunakan pendekatan ‘menempatkan otak di rumah’), kemudian mengangkat alis terkejut dan mengamati. Ternyata benar, panjangnya beda!!! 🙂

Di kerimbunan pohon itu, saya mendapatkan pencerahan tentang sejarah Burma. Paling tidak, dari salah satu dari masyarakat Burma yang hidup saat pemerintahan berganti menjadi sosialis. Pemandu saya yang sederhana, menjadi korban perubahan politik, dari bisa kuliah tetapi akhirnya terpaksa berhenti karena universitas dan sekolah-sekolah ditutup, situasi menjadi kacau, pekerjaan sulit. Akhirnya yang ada adalah kemiskinan merajalela berkepanjangan. Saya ingat samar-sama tentang cerita dari ayah saya, dalam hati, saya berjanji untuk membaca sejarah Burma lebih dalam.

3. Empat Figur Buddha

Stading 4 Big Buddha at Bago

Di buku Lonely Planet diceritakan Bago memiliki Patung 4 Buddha yang sedang duduk yang terletak di pinggir jalan besar. Saya bukan ke tempat itu, melainkan ke Empat Patung Buddha yang berdiri. Tidak terlalu besar, tetapi cukup besar. Rupanya memang sejak dulu, masyarakat Burma ini hobbynya membuat patung-patung yang berukuran raksasa. Patung 4 Buddha Berdiri ini termasuk baru. Sayang juga, karena panas matahari sudah mulai menyerap ke lantai keramik, padahal matahari pun belum sampai di ubun-ubun, tapi mau tidak mau, saya harus berjalan dengan cara berjingkat-jingkat menyelamatkan kaki dan tidak dapat bertahan lama untuk mengambil foto.

Tips dari saya, datanglah pada pagi hari atau sore hari, tatkala mentari tidak ganas memancarkan sinarnya. Karena ternyata panas matahari yang terserap di lantai itu memang sangat panas. Kulitpun seakan melepuh.

4.  Shwegugale Paya

64 Buddha images inside Shwegugale Paya

Situs ini memiliki keunikan tersendiri karena memiliki lorong gelap yang mengelilingi bagian dalam Stupa dan berisi 64 patung Buddha dalam keadaan duduk. Pintu-pintunya agak rendah, mungkin agar kita senantiasa rendah hati dengan membungkukkan badan. Sejarahnya, situs ini dibangun pada tahun 1494 selama kekuasaan Raja Byinnya Yan.

Masih dalam kompleks yang sama, tempat ibadah ini juga dihiasi oleh beberapa patung yang unik, karena menyelipkan handphone di perutnya.  Sepertinya penggambaran seorang penggembira. Di tempat ini pula, terdapat patung-patung Buddha sesuai asal donaturnya, ada yang bertype China, ada yang bertype Jepang dan ada yang asli Burma.

5. Pembuatan Minuman Tradisional Burma.

Melewati jembatan yang masih terbuat dari kayu, ojek sekaligus pemandu saya ini mengarahkan ke tempat pembuatan minuman tradisional Burma yang terbuat dari campuran buah palem. Saya melihat pembuatannya dan memperkirakan ada kandungan alcohol di dalamnya, sehingga saya harus menolak tawaran minum dengannya. Tempat-tempat sederhana itu, di rumah-rumah beratapkan rumbia dan beralaskan tikar sederhana, komunitas penduduk Burma saling bercengkerama dan minum bersama.

6. Stupa beralaskan patung binatang

uniknya stupa-stupa yang dibawahnya terdapat patung hewan

Selanjutnya saya dibawa ke tempat yang banyak terdapat stupa-stupa kecil yang beralaskan patung binatang. Lucu, ada kuda, babi, monyet, kelinci, burung, kodok besar, tikus, naga, kura-kura. Tidak jauh dari sana, terdapat puluhan patung boddhisatva yang berjajar membentuk barisan yang cantik menuju Stupa Utama.

Saya berpapasan dengan penduduk Burma yang tetap berhiaskan Thanaka di pipinya, baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil, remaja atau tua. Saya sempat melihat seorang nenek bongkok dengan bantuan tongkat jalan sendiri di tengah sepinya daerah itu. Tiba-tiba saja saya tersadar, apakah dia manusia asli atau bukan? Hehehe…

6. White Pagoda

White Pagoda di kedalaman area Bago

Sesuai janjinya, pemandu membawa saya ke White Pagoda, yang saya lupa tanyakan nama Burmanya.  Tun-Tun mengatakan Pagoda ini tidak terdapat dalam buku Lonely Planet. Memang tidak ada di buku itu karena masih tersembunyi di balik desa. Jalannya pun tidak mudah. Saya menempuhnya dengan memotong jalan. Pagoda Utama ada di atas bukit dengan Stupa Emasnya yang menjulang.

Pagoda Putih ini tidak besar, tetapi kecantikannya terasa menusuk. Stupa-stupa perseginya menjulang dengan bukaan melengkung di atas dan tampak simetri di antara keempat sisinya membuat lorong terbuka  sepanjang tingkatannya.

Siang yang cukup panas membuat keringat cepat meluruh di sekujur tubuh. Sebotol minuman dingin yang dijual di warung sederhana di antara perumahan miskin yang ada terasa sangat mendinginkan tubuh.

7. Makan siang yang menyenangkan di pinggir sungai.

Situs-situs di Bago terpencil di dalam kegersangan area. Untuk makan siang saya harus kembali ke kota. Untunglah pemandu saya sangat mengenal area Bago. Ia membawa saya kembali ke kota dan makan siang di sebuah resto sederhana di pinggir sungai. Kelaparan membuat semua makanan terasa luar biasa nikmatnya! Dan ketika kembali ke area peninggalan sejarah, saya menemukan masjid cukup besar di pinggir jalan. Di Bago ada masjid, artinya toleransi antar agamanya berjalan dengan baik…Wow!

8. Mahazedi Paya

Mahazedi Paya

Setelah makan siang yang luar biasa, saya kembali menyusuri peninggalan sejarah, ke Pagoda terkenal di Bago yaitu Mahazedi Paya. Keunikan Mahazedi Paya diantara pagoda Burma yang lain adalah karena pagoda ini didominasi oleh warna putih di bagian dasar dengan dekorasi stupa-stupa kecil keemasan dan Stupa Utama keemasan yang menjulang di tengah-tengah. Tangga berwarna merah menuju  puncak stupa, tampak sangat kontras dan sangat menarik untuk dilihat.

Pembangunan awalnya pada tahun 1560 oleh King Bayinnaung, dan lenyap dari muka bumi di tahun 1757 ketika Bago dihancurkan. Tahun 1860 diupayakan pembangunannya kembali tapi tidak berhasil, bahkan sebuah gempa bumi yang luar biasa besar tahun 1930 menambah kehancuran pagoda ini sehingga akhirnya hanya meninggalkan reruntuhannya saja. Pemerintah Burma akhirnya mengupayakan pembangunannya dan upaya terakhir ini baru selesai pada tahun 1982.

Di dalam kompleks Pagoda, dibangun Victory Ground dari King Bayinnaung. Sebuah patung Gajah Putih , yang konon dari Thailand, tampak menghiasi dalam ruangannya. Pemandu saya mengatakan, turis Thailand banyak mengunjungi Pagoda dan beribadah disitu.

Di bagian lain di kompleks Pagoda ini, terdapat miniatur dari Ananda Pahto yang ada di Bagan, lengkap dengan patung-patung Buddha di dalamnya. Ketika berada di depan Miniatur Pagoda ini, terbersit dalam hati bahwa esok hari akan saya lihat aslinya!

Mahazedi awalnya menyimpan gigi suci Sang Buddha namun setelah Bago dikuasai tahun 1539, gigi tersebut dipindahkan ke Taunggo kemudian ke Sagaing didekat Mandalay. Hingga saat ini, gigi suci bersama cawan sang Buddha, tersimpan di Kaunghmudaw Paya, dekat Sagaing.

9. Reclining Buddha – Swethalyung Buddha

Giant Reclining Buddha at Swethalyung Buddha

Ketika berkesempatan ke Bangkok, saya merasa Patung Reclining Buddha di Wat Pho sudah luar biasa besar, tetapi apa yang saya lihat di Bago, ternyata lebih besar!! Disini, namanya Swethalyung Buddha. Benar-benar raksasa, panjangnya sekitar 55 meter, dengan tinggi 16 meter.  Panjang jari kelingkingnya saja mencapai 3 meter.

Patung Buddha raksasa ini tersimpan baik di dalam sebuah ruang sebesar hanggar pesawat terbang. Menurut sejarahnya, sejak kehancuran Bago pada tahun 1757, patung raksasa itu tersembunyi ditelan hutan yang tumbuh lebat. Patung ditemukan lagi tahun 1880 untuk selanjutnya dilakukan restorasi mulai 1881. Kemudian restorasi terus menerus dilakukan hingga seperti sekarang, dimulai dengan penambahan mosaik di dudukan kepala Sang Buddha pada tahun 1930.

Di balik punggung Sang Buddha, pada dinding terdapat cerita legenda yang terkisahkan dalam fragmen-fragmen yang indah. Alkissah, Raja Mgadeikpa yang menguasai Bago, seorang raja yang jahat, Pangerannya mencintai seorang gadis Buddhist dari suku Mon yang cantik, sementara Sang Pangeran beraliran Pagan. Akhirnya mereka menikah karena Raja memperbolehkan menantu cantiknya menjalankan ritual agama Buddha. Tetapi hal ini mengusik kewibawaannya sehingga suatu saat Sang Raja memerintahkan membunuh keduanya. Ketakutan, Pasangan pengantin baru itu akhirnya berdoa di depan Dewa Pagannya, tetapi tiba-tiba patungnya terbelah dan rusak. Melihat itu, Sang Raja menjadi ketakutan dan mengakui kesalahan, serta kemudian memerintahkan rakyat agar menjalankan agama Buddha.

Di dekat kepala Sang Buddha, terdapat patung Lokanat (atau Lokanatha / Avalokitesvara), salah satu dewi kasih sayang yang dipercaya oleh masyarakat Burma. Menurut buku panduan, ada kuburan Jepang di sebelah Utara vihara, tetapi karena berbagai pertimbangan saya tidak ke sana. Mungkin lain kali…

10. Naung Daw Gyi Mya Tha Lyaung (Reclining Buddha… Again!)

Giant Reclining Buddha at Naung Daw Gyi Mya Tha Lyaung

Ketika saya ke tempat ini, saya benar-benar tertawa hingga pemandu saya agak bingung. Saya meminta maaf karena telah berlaku tidak pantas. Semua ini karena saya lihat ada lagi patung Reclining Buddha yang lebih besar daripada Swethalyung Buddha! Padahal letaknya berdekatan. Sungguh masyarakat disini menyukai patung-patung sebesar pesawat terbang. Patung Buddha raksasa ini namanya Naung Daw Gyi Mya Tha Lyaung, memiliki panjang lebih dari 250ft atau sekitar 75 meter. Berbeda dengan Swethalyung Buddha yang berada di ruang tertutup, Patung Naung Daw Gyi Mya Tha Lyaung ini terletak di tempat terbuka, terkena panas dan hujan. Dibangun pada tahun 2002 dari donasi masyarakat Burma.

Kalau berniat ke Bago atau kemanapun di Pagoda-pagoda di Burma, kunjungi ke tempat ini saat matahari tidak terik. Siang hari yang panas tidak memungkinkan untuk menjejakkan kaki ke lantai keramik. Panas matahari yang terserap pada lantai terasa membakar kaki. Kecuali Anda sedang melatih fokus pikiran seperti jalan di atas bara 🙂

11. Shwemawdaw Paya

Main Stupa at Shwemawdaw Paya, Bago

Stupa besar keemasannya memenuhi kota Bago. Benar-benar seperti Shwedagon, ketika pagi cemerlang matahari terpantul, dan jika malam, memberi terang seisi kota. Tinggi stupa 376ft. Menurut legendanya, stupa originalnya kecil, dibangun oleh dua orang bersaudara yang diberikan 2 helai rambut oleh Sang Buddha Gautama. Pada tahun 982, sebuah gigi suci ditambahkan ke koleksi barang-barang suci. Tahun 1385, gigi suci ditambahkan lagi ke dalam koleksi Pagoda dan stupanya sendiri ditinggikan menjadi 277ft, namun sebuah topan besar menerjang hti (puncak Stupa) pada tahun 1492 sehingga hti baru perlu dibangun lagi.

Tidak hanya hti-nya saja, melainkan Stupa Besarnya ikut runtuh dan pembangunan kembali dilakukan beberapa kali dalam 600 tahun terakhir. Setiap pembangunan, menjadi lebih tinggi dan nilai permatanya juga bertambah. Pada tahun 1930, Stupa itu hancur lagi hingga ke bagian dasar ketika terjadi gempa bumi besar dan selama 20 tahun berikutnya Pagoda bertahan dengan hanya bagian dasar dari stupa.

Sekarang ini, puncak keemasan Stupa Utama mencapai 46feet lebih tinggi dari Shwedagon, diukur dari lantai paling dasar. Dan hingga kini pula, di sebelah timur laut kita masih bisa menyaksikan bagian dari kepala stupa yang jatuh karena gempa bumi tahun 1930. Menurut pemandu saya, Shwemawdaw Paya, terkenal didatangi oleh pengunjung saat festival tahunan Bago.

Shwemawdaw Paya merupakan destinasi terakhir untuk day-trip ke Bago karena setelahnya saya kembali ke Yangon saat matahari tenggelam untuk melanjutkan perjalanan ke Bagan esok harinya.

15 tanggapan untuk “Mengunjungi Bago, Peninggalan Kerajaan Burma

    1. Utk mencapai obyek yg major, emang bisa pake spt angkot gitu, tp ga semuanya (tp ga tau juga yah… waktu itu dia banyak lewat jalan tanah yg rada2 offroad gitu), Waktu sy kesana, sy ngejar waktu krn sampai Bago udah siang dan harus pulang lagi ke Yangon malam itu juga, makanya nyewa ojek sekaligus pemandu bahkan dia kasih tau restoran yang enak dan objek bagus yang ga ada di Buku LP. Dan waktu saya kesana kan pas musim panas, jadi dia bisa nyariin jalan yang rada2 teduh. All-in deh hahaha.. incl. jagain sepatu (ga ada maling juga sih), dan nyariin shared trasportasi balik ke yangon.
      maintain expectation aja, krn akibat sanksi int’l transportasi disana yaaa gitu deh.. ohya, seharian smp selesai seingat saya sekitr 10$ jangan lupa tawar. saya waktu itu ketinggian. mungkin tampang sy turis banget! rumornya sih setengahnya. *itung-itung amal ma org yg hidupnya susah 😉

      Suka

  1. Mba Riyanti, saya tanggal 29 April mau ke Myanmar dalam rangka studi kelayakan bisnis.
    Rencana saya mau ke Yangon, Bago, Mandalay, dan Bagan.

    Transportasi yang agak sulit adalah dari Yangon ke Bago, kalau saya baca ceritanya berarti mba riyanti ga nginep di bago ya. Kalau mau pakai transportasi umum apa memungkinkan bawa koper seberat 20 kg?
    biayanya berapa ya kalau sewa mobil ke Bago? Kebetulan saya juga butuh guide + sopir selama di Bago, tukang ojek dengan Mr. Tun tun pun ga masalah. hehehe

    Saya agak kesulitan untuk cari guide bahasa inggris, sekaligus sopir di Myanmar.
    Desember 2013 kemarin saya ke Yangon, dan membayar sopir taksi tarif per jam 10 USD, sehari pakai 5 jam bayar 50 usd, padahal banyak berhentinya dan dia istirahat, kadang saya minta bantu jd penerjemah.
    Kalau mba riyanti di Bago seharian cuma bayar 10USD berarti saya bayar kemahalan ya? ckck

    Suka

    1. Mas Nanang,
      Sebenarnya untuk ke Bago, banyak transportasinya, termasuk bus yang agak mendingan. Bus-bus yang ke Golden Rock biasanya lewat Bago, tetapi gara-gara saya bangun kesiangan, jadi ketinggalan bus. Akhirnya ya gitu seperti yang saya ceritakan di atas. Tetapi naik yang model kayak angkot gitu pun, koper 20kilo juga bisa kok, walaupun kaki agak sempit kali ya.
      Saya memang tidak menginap di Bago, melainkan di Yangon. Jadi day-trip ke Bago. Sewa mobil termasuk mahal, hitungannya bisa 100$ one way. Kalo mau keliling Bago, tetapi ga nginep dan masih bawa koper, keliatannya bisa dititipkan di hotel/resto (mungkin pake ongkos dikit ya, orang Myanmar ramah2 kok!). Mr. Tun Tun, guide saya itu ya engga fasih-fasih amat sih… tetapi at least bisa nyambunglah komunikasinya. Tetapi dia stay di Bago lho… jadi hanya untuk Bago dan sekitarnya… Dan juga, saya ajak dia makan siang dan enak!! Semoga membantu yaa… Wah, jadi pengen kesana lagi….

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.