Salam Perkenalan Pertama di Kathmandu

Gerbang Narayanhiti

Taksi mungil itu meninggalkan Tribhuvan International Airport menuju Thamel di pusat kota Kathmandu. Dalam beberapa hal, Thamel mungkin bisa disejajarkan dengan Khaosan Road-nya Bangkok, yang lengkap dengan hingar bingarnya pariwisata: penginapan, rumah makan, agen perjalanan, trekking guide, tempat hang-out sampai toko-toko yang menawarkan segalanya. Dan karenanya Thamel penuh dengan segala macam kebisingan, dari padatnya manusia, suara moda transportasi lengkap dengan klaksonnya, hingga suara-suara penjual dan musik yang terdengar di sepanjang jalan. Lengkap riuhnya, tapi kuat daya tariknya.

Wajah Thamel di Hari Libur
Wajah Thamel di Hari Libur

Namun bagaimana pun hebohnya sebuah mainstream, tetap saja saya memilih Thamel sebagai basis, walau hanya di pinggirnya. Dekat dengan pusat kegiatan dan bisa dicapai dengan jalan kaki, namun cukup jauh untuk mendengar segala kebisingan. Apalagi sebagai perempuan yang melakukan perjalanan sendiri, saya senantiasa mengutamakan keamanan. Termasuk memilih penginapan yang pernah mendapat award terbaik dari Tripadvisor. Masalahnya hanya satu, lokasinya sedikit tricky. Karena itulah saya menyewa taksi yang tahu seluk beluknya Thamel.

thamel1

Tetapi Ya Tuhan, jantung terasa berdenyut lebih cepat dan alarm kewaspadaan langsung berdenting ketika laki-laki yang saya lihat menunggu di kios layanan taksi bandara, ikut dalam taksi saya menuju hotel. Rupanya saya sedang berhadapan dengan pihak ketiga dalam industri pariwisata, makna yang lebih baik dari makelar atau calo. Dan sebelum saya sempat bertindak apa-apa, dengan ramah dia memperkenalkan diri bernama Bivek, yang katanya, namanya berarti bijaksana. Ia bercerita sering membawa wisatawan dari berbagai negara tetapi belum pernah dari Indonesia. Dan seperti kebanyakan agen perjalanan di Nepal, dia lebih banyak bicara sambil promosi ini dan itu, termasuk juga memamerkan foto keluarganya. Saya hanya tersenyum merasakan aura kebanggaannya walau tidak mematikan denting alarm kewaspadaan itu.

Sementara itu, seperti perempuan yang mulai berhias, kota Kathmandu yang berlembah dan berbukit langsung menyambut saya dalam sebuah kemacetan panjang, walaupun baru saja meninggalkan area bandara. Suhu sejuk Kathmandu yang berada pada 1400mdpl tak dapat menghapus gambaran sesungguhnya bahwa kota ini berdebu. Banyaknya pekerjaan konstruksi jalan yang belum terselesaikan dengan tuntas makin menambah jumlah debu terbang ke udara. Sekelebat saya teringat pembangunan di Jakarta, sepertinya tak banyak beda.

Saya melihat keluar jendela taksi yang beringsut pelan dan terpaku pada tulisan World Heritage di pagar pinggir jalan. Sebuah rasa membuncah keluar menenggelamkan semua kegaduhan hati yang sebelumnya muncul. Senyum langsung tersungging melihat area salah satu kuil Hindu tertua di Kathmandu yang menjadi salah satu tempat yang harus saya kunjungi, Kuil Pashupatinath. Saya hanya mencatat dalam hati bahwa perlu menembus kemacetan bila berkunjung ke kuil tempat kremasi ini.

Perbaikan Jalan di sekitar Area Kuil Pashupatinath
Perbaikan Jalan di sekitar Area Kuil Pashupatinath

Dan laksana seorang anak kecil yang sedang mendapat hadiah, kedua mata ini terus memperhatikan suasana Kathmandu yang penuh dengan kubus-kubus bangunan yang dicat warna warni. Menarik. Mobil-mobil ukuran kecil dan sepeda motor tampak bersliweran membelah jalan. Tampak juga bundaran jalan dengan taman rapi yang ditengahnya berdiri sebuah patung. Tapi kemudian terlihat juga kabel-kabel hitam saling bertumpuk di sebuah tiang menghalangi keindahan kuil kecil di sudut jalan. Dan tidak hanya itu, denyut penduduknya yang semakin menyuarakan kebebasan, Kathmandu pun tak lepas dari aktivitas unjuk rasa yang dijaga sejumlah polisi. Benar-benar sebuah kota dengan beribu wajah. Walaupun demikian, Kathmandu tetap mempesona saya dengan kecantikan Istana Narayanhti-nya yang sekarang menjadi museum, serta kemampuan memberikan pilihan rasa untuk lidah internasional dengan membuka restoran-restoran dengan merek mendunia.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Percaya itu….

Bivek masih semangat mengobral cerita membuat saya merasa berada di sekitar tukang jual obat di lapak-lapak dadakan. Tetapi akhirnya ada waktu membuatnya terdiam sesaat. Seperti biasanya ketika berkunjung ke negeri lain, saya membawa cinderamata khas Indonesia. Kali ini saya memberinya wayang kecil 15cm yang bisa ditempel sambil saya jelaskan bahwa wayang itu adalah Krishna, yang juga dikenal di Indonesia. Penjelasan saya membuat Bivek terdiam dan langsung menempelkan wayang itu ke dahinya sebanyak tiga kali. Dia mengatakan bahwa yang saya beri adalah dewa bagi mereka. Saya mengangguk mengerti sambil mengambil sebagian cerita tentang Mahabharata dan Ramayana serta budaya-budaya Hindu yang saya ketahui sejak kecil, karena terbiasa berkunjung ke Bali dan ke banyak candi di Jawa. Bivek terperangah, tak menyangka saya mampu  mengimbangi di domain kerjanya. Hingga ia bertanya apakah saya seorang professor yang membuat saya tersenyum lebar. Padahal saya hanya menanggapi ceritanya. Tapi itulah yang terjadi dalam sebuah perkenalan antar duta bangsa.

Lepas dari kemacetan, Bivek terlibat pembicaraan dalam bahasa lokal dengan pengemudi yang entah kenapa menarik perhatian pendengaran saya. Insting langsung bekerja walaupun biasanya saya tidak terlalu peduli dengan pembicaraan orang lain, apalagi dalam bahasa lokal. Namun bunyi bahasa yang asing juga nada bicaranya sepertinya mengarah pada sesuatu. Saya menunggu.

Dan akhirnya terkuak juga, Bivek menawarkan untuk mampir ke kantornya agar liburan saya di Nepal bisa terlaksana dengan baik. Saya menolak. Tetapi dia terus berusaha sambil berkata bahwa kantornya hanya berjarak 5 menit dari hotel. Saya tetap menolak. Bivek tak menyerah begitu saja. Ia bertanya tentang rencana trip saya. Saya hanya mengangkat bahu karena saya memang hanya punya rencana kasar di Nepal. Bivek berada di atas angin, karena saya sudah tertarik mendengarkan sarannya. Saya sudah mulai melangkah ke wilayah abu-abu. Ini bahaya! Denting kewaspadaan itu berbunyi.

Tak lama kemudian, taksi kecil itu lincah bergerak ke lorong-lorong sempit diantara berbagai bangunan padat toko, penginapan, restoran dan lain-lain, lalu berhenti di pinggir jalan tepat di dekat rombongan bule yang sedang menawar rickshaw. Saya melihat ke sekeliling dan merasa disorientasi. Saya tidak mengenal daerah ini tetapi sepertinya sudah berada di kehebohan Thamel. Bivek turun dan saya ragu mengikutinya masuk ke dalam lorong. Nguing-nguing alarm bawah sadar semakin keras.

Hati bergetar cemas, tetapi tak boleh memperlihatkannya. Saya masih beruntung berada di keramaian publik karena saya percaya akan kebaikan orang lain. Saya mengingatNya yang selalu bersama kemana pun saya pergi. Keberanian dan rasa percaya diri tumbuh sejalan dengan doa-doa yang dipanjatkan dalam hati. Saya mengikuti Bivek melangkah masuk ke sebuah lorong.

Sebelum melangkah melalui pintu masuk, dengan ekor mata saya mengukur jarak ke jalan tempat taksi parkir. Tidak jauh rupanya. Saya melangkah masuk dan langsung mata berputar melihat situasi ruang yang temaram. Saya dipersilahkan duduk dan berhadapan dengan seorang laki-laki yang kata Bivek, adalah boss-nya. Sigap terhadap calon korbannya, laki-laki itu langsung menjerat saya dengan pembicaraan yang mengarahkan agar saya mengikuti trip perusahaannya, walaupun katanya akan menyesuaikan dengan jadwal dan rencana saya di Nepal.

Teh masala dihidangkan di depan saya. Mengetahui posisi saya yang kurang bagus, saya mencoba mengikuti permainannya dengan memberikan kota-kota dan tempat-tempat yang ingin saya singgahi dalam seminggu rencana saya di Nepal. Sengaja saya berikan kota dan tempat yang jauh lebih banyak daripada jumlah harinya. Tidak lupa saya katakan bahwa di hari terakhir di Nepal saya akan menginap di sebuah resort terkenal di Nagarkot. Sebuah tempat yang bagi mereka menghubungkan saya sebagai tambang emas. Lalu saya diam memperhatikan perubahan angin permainan.

Sambil melihatnya sibuk berkutat dengan kalkulator, dan tanya jawab dengan saya atas rencana mustahil, akhirnya si Boss menyodorkan lembaran itinerary di Nepal dengan total puluhan ribu dollar yang tak masuk akal yang membuat saya terkekeh di dalam hati. Berbagai alasan dia sampaikan dengan menurunkan tingkat kemewahan untuk negosiasi. Pikiran saya terbang ke kantor dalam situasi serupa. Tak melepas senyum saya ikuti proses negosiasi yang tak imbang itu, yang telah saya menangkan tanpa ia tahu. Akhirnya, tanpa harus merasa kalah, mereka melepas saya yang hanya setuju untuk mengikuti tournya untuk sisa hari itu saja dari rencana seminggu di Nepal. Itu pun saya rasa sudah membuat kantong terasa langsung bolong. Harga sebuah permainan persepsi.

Situasi jalan di Kathmandu
Situasi jalan di Kathmandu

Saya kembali ke taksi yang menunggu lalu melanjutkan perjalanan. Perjalanan ke hotel yang kata Bivek hanya 5 menit jalan kaki sepertinya hanya bisa dicapai bila manusianya sejenis raksasa yang bisa terbang. Dengan mobil pun harus ditempuh lebih dari 15 menit menembus keramaian Thamel.  Bahkan Bivek pun tak tahu persis lokasi hotel itu, berbeda dengan perkataan sebelumnya. Dan setelah berhenti beberapa kali untuk bertanya, akhirnya sampai juga saya di hotel. Terima kasih ya Tuhan…

Saya masih punya janji dengan Bivek untuk tour di Kathmandu sisa hari itu. Walaupun sebelumnya saya mencium adanya kebohongan-kebohongan kecil, semua itu tak mengubah rasa percaya saya pada kebaikan orang lain. Karena Yang Maha Kuasa bersama saya dalam perjalanan ini. Selalu. Selamanya.

25 tanggapan untuk “Salam Perkenalan Pertama di Kathmandu

  1. Wah sudah sampai Kathmandu nih Mbak?
    Kalau lihat dari foto-fotonya, keadaan disana masih sepi ya Mbak.
    Oh ya, itu unjuk rasa menuntut apa ya Mbak? Kenaikan upah? Seperti yang kerap terjadi di tanah air?

    Salam,

    Suka

  2. hallo mba.. salam kenal, mengikuti cerita kathmandu nih.. udah masuk list tujuan jalan, masih mengumpulkan pundi dan nunggu anak bisa jalan, semoga berjodoh menginjakan kaki disana. tfs. 🙂

    Suka

  3. Waah hebat sudah sampai Nepal… Saya sudah dari lama tersihir sama pesona Himalaya 😀

    Salam kenal ya, salam pelangi 🙂

    Suka

    1. Wah, trip ini kalo saya ga paksain juga ga pernah sampe ke Nepal, karena samaaaa… dah terlalu lama ngimpi ke Nepal….
      Salam kenal juga, terima kasih udah mampir…

      Suka

  4. Hai salam kenal..Ceritanya mendebarkan! Dimana insting kita bekerja memberi alarm terhadap tekanan yang datang dari hal yang tidak kita sukai karena di deteksi membahayakan atau merugikan. Eniwei salut sama kamu solo female traveler, aku masih mengumpulkan banyak keberanian dan menghilangkan rasa malas klo harus jalan seorang diri.

    Bivek itu ditunjuk dari agent taxi yang kamu sewa? Kok bisa ikut masuk ke dalam taxi? Klo aku suka sulit menyembunyikan rasa jengkel sama rayuan persuasif calo hasilnya malah diam atau nekat turun dari taksi, yang kadang cara penolakan macam gini bisa bikin mereka cepat berang. Salut sama kamu masi bisa bersabar dan tenang menghadapi celotehan promosi Bivek yang persuasif banget juga bosnya yang pasti ‘pressurenya’ lebih besar.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Terima kasih banyak atas komentarnya. Kalo dipikir2 ya gila en nekad juga siih hahaha… tp kan situasinya udah begitu jd harus dikendalikan dengan cool (hihihi) Alhamdulillah masih dilindungi jd selamat dari situasi itu. Bivek sepertinya satu calo diantara mereka yg kerjanya demikian. Ya namanya juga usaha yaa walaupun buat kita kadang nyebelin (waktu di myanmar juga ada yg ngikut tuh di taxi, jadi baru tau yg namanya shared taxi, walaupun biasanya ma orang lokal)

      Disukai oleh 1 orang

      1. Wahh shared taxi tuh maksudnya diikutin sama calo? Heheh rada gagal paham. Nanti kubaca juga ‘medan pertempuran’ Myanmar di blogmu. Pengen ke tempat-tempat eksotis macam Mandalay. Padahal Nepal yang lebih diimpikan, tapi sayang belum sempat ke sana dan kena gempa dahsyat di tahun kemarin.

        Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.