Sedikit Bingung di Budhanilkantha


Dalam salah satu perjalanan ke Nepal, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah situs suci yang tak jauh dari Kathmandu. Namanya Budhanilkantha, yang terletak di kaki Bukit Shivapuri, sekitar 10 km dari pusat kota Kathmandu. Tempat ini menarik karena letaknya di luar jalur turis asing sehingga aura tradisional lebih mengisi suasana tempat yang sebagian besar hanya didatangi oleh penduduk lokal.

Awalnya, saat pertama kali mendengar namanya yang mengandung kata Budha, saya mengira tempat ini merupakan situs suci umat Buddha. Apalagi di Nepal, kehidupan umat Buddha dan Hindu berjalan berdampingan secara harmonis. Tapi ternyata saya salah seratus persen karena Budhanilkantha sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama Buddha. Situs ini justru merupakan situs suci agama Hindu.

Budhanilkantha

Jadi sebenarnya Budhanilkantha merupakan tempat pemujaan suci yang berisi patung Dewa Wisnu berbaring sebagai Narayan di atas gelungan ShesaNag (Naga/Ular kosmik berkepala banyak) yang berada di permukaan air kolam sepanjang 13 meter, seakan-akan air itu adalah lautan kosmik. Pahatan patung yang terbuat dari batu basalt utuh berwarna hitam ini merupakan pahatan terbesar dan terindah di seluruh Nepal. Uniknya, -dan cukup membingungkan-, konon patung dari batu basalt hitam itu dipercaya dibuat dari abad ke-7 atau 8 meskipun tempat asalnya tak pernah pasti. Bisa jadi, batu itu didatangkan dari luar Kathmandu Valley karena tak mungkin sebuah batu terpahat indah itu tiba-tiba muncul di tempatnya, kan?

Sore itu ketika sampai di Budhanilkantha, saya terpesona dengan keindahan pahatannya meskipun saya menyaksikan dari bagian luar pagar yang mengelilingi kolam (hanya mereka yang beragama Hindu dan akan melakukan persembahan atau pemujaan yang bisa menyentuh patung atau ke altar). Patung itu sungguh besar, sekitar 5 meter panjangnya, hampir mencapai setengah ukuran kolam yang panjangnya sekitar 13 meter. Sebuah payung segi empat berwarna kuning berumbai tampak menutupi tempat pemujaan itu dari hujan.

Patung Dewa Wisnu sebagai Narayan itu berbaring membujur ke arah Barat dengan kaki bersilang. Mahkotanya berwarna putih silver dipasangkan menindih mahkota asli hasil pahatan pada batu. Ke empat tangannya menggenggam semua benda perlambang kedewaannya. Cakra yang mewakili pikiran, cangkang keong laut yang mewakili empat elemen utama, bunga lotus membulat yang mewakili alam semesta yang terus bergerak dan gada yang mewakili pengetahuan purba. Dan sebagai pemuja setianya, SeshaNag atau kadang disebut juga Ananta Sesha, – sang Naga kosmik berkepala banyak-, menggelungkan tubuhnya menjadi tempat pembaringan Dewa Wisnu dan kepalanya yang berjumlah sebelas itu tampak memayungi kepala Dewa Wisnu. Selembar kain berwarna kuning menutupi tubuh patung Dewa Wisnu dengan berbagai rangkaian bunga marigold sebagai persembahan pemuja yang diletakkan diatasnya.

Sleeping Vishnu on Ananta Shesha
Budhanilkantha, from diffent angle

Tempat pemujaan ini memang keren, tetapi tidak bisa menghilangkan berbagai pertanyaan yang membingungkan di benak saya. Baiklah, ini bukan tempat suci Buddha, melainkan Hindu. Tetapi mengapa namanya Budhanilkantha? Apakah karena Buddha yang dipercaya oleh sebagian umat Hindu merupakan reinkarnasi Dewa Wisnu? Lalu mengapa di sini tempat pemujaan Dewa Wisnu dan bukan Dewa Siwa yang biasa dikenal sebagai Sang Nilakantha? Namanya sungguh membingungkan!

Ternyata, Budhanilkantha secara harfiahnya berarti “tenggorokan biru yang tua” (budha, -bukan buddha-, berarti tua) dan nilkantha (atau nilakantha, -sebuah gelar yang mengacu kepada Dewa Siwa-, telah disandangkan di tempat ini untuk Dewa Wisnu. Bisa jadi karena dalam banyak periode masyarakat Nepal merupakan pemuja Dewa Wisnu sebagai Dewa Utamanya.

Ternyata menarik juga untuk mengetahui legendanya, apalagi kalau sampai tambah membingungkan πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€

Mitos nilkantha atau tenggorokan biru Dewa Siwa merupakan kisah favorit di Nepal. Ingat dong kisah Samudra Manthana atau The churning of The Ocean of Milk, saat para dewa mengaduk lautan yang secara tidak sengaja mengeluarkan racun yang bisa menghancurkan dunia. Mereka memohon kepada Dewa Siwa untuk menyelamatkan dari kesalahan yang fatal ini, dan pada akhirnya Dewa Siwa menyanggupi dengan meminum racun itu. Dewa Siwa yang sangat kesakitan karena tenggorokannya terbakar oleh racun itu, pergi ke pegunungan di utara Kathmandu. Lalu dengan trisulanya, Dewa Siwa menghantam lereng gunung yang menghasilkan sebuah danau. Air dari danau itu, Danau Gosainkund, menjadi obat atau pendingin pada tenggorokannya sehingga penderitaannya berakhir kecuali sebuah bercak biru menghias di tenggorokannya (nilakantha).

Dan kaitana Budhanilkantha dengan mitos itu, ternyata air yang berada di kolam tempat Dewa Wisnu berbaring ini diyakini berasal dari Danau Gosainkund yang terletak di ketinggian 4380 mdpl itu (Danau suci ini merupakan salah satu pemandangan terindah jika melakukan Gosainkund trekking). Tetapi saya tak bisa mengabaikan, jarak Budhanilkantha dan Danau Gosainkund itu jauh sekali dan melewati bukit. Jadi bagaimana air Danau Gosainkund bisa sampai ke Budhanilkantha ya? Pemikiran yang mempertanyakan ini menambah kebingungan saja πŸ˜€ πŸ˜€

Dan konon, image Dewa Siwa berbaring dapat disaksikan di bawah air saat festival tahunan Dewa Siwa! Meskipun ada legenda lain yang mengatakan bahwa patung Dewa Siwa yang serupa Dewa Wisnu ada di bagian bawah patung. Mana yang lebih bisa diterima akal? Tetapi yang pasti saya menelan saja dua legenda itu, daripada tambah bingung kan… πŸ™‚

Lalu ada lagi kisah asal patung Budhanilkantha….

Kisah versi pertama, konon, patung itu dipahat lalu dibawa (lagi-lagi tidak jelas, apakah oleh para pemuja Dewa Wisnu atau oleh para budak) ke tempat sekarang ini di Lembah Kathmandu, pada abad ke-7 ketika lembah Kathmandu di bawah kekuasaan raja dari wangsa Licchavi yaitu Bhimarjunadev.

Dan versi yang lain mengisahkan, seorang petani dan istrinya yang memiliki sebidang pertanian, suatu hari sedang mengolah tanah mereka termasuk mencangkul tanahnya. Tanpa sengaja alat yang digunakan mereka menumbuk sebuah batu yang diikuti oleh keluarnya darah dari tanah. Kegemparan itu bertambah karena akhirnya diketahui bahwa patung Dewa Budhanilkantha yang hilang telah ditemukan kembali lalu ditempatkan di lokasi yang seharusnya.

Jadi patung itu asalnya dari mana? Mungkin jawaban pastinya adalah… entahlah… πŸ˜€

Dan masih ada cerita yang agak klenik dan supranatural lho…

Raja-raja Nepal, terutama dari Dinasti Malla setelah abad ke-14 memulai klaim diri sebagai reinkarnasi dari Dewa Wisnu dan berlanjut terus. Bahkan di abad 17, Raja Pratap Malla yang konon memiliki kemampuan supranatural dan sering mendapatkan penglihatan, memberitakan sesuatu yang meyakinkan namun sedikit mengerikan, yaitu jika Raja Nepal mengunjungi kuil Budhanilkantha, maka setelah meninggalkan Budhanilkantha, kematian segera menyongsong! Serem banget kan??? Oleh karena itu, hingga berakhirnya penganugerahan gelar sebagai Raja, Raja Nepal yang beragama Hindu tidak pernah mengunjungi kuil Budhanilkantha tersebut, apapun alasannya. Daripada terlalu cepat mangkat padahal masih banyak yang harus dinikmati, mungkin begitu pemikirannya…

Hari semakin sore ketika saya selesai mengelilingi tempat pemujaan yang berpagar tembok sebagian itu. Pikiran saya melayang-layang. Sebagai tempat suci Hindu, apalagi dengan keutamaan Dewa Wisnu yang berbaring, tentu Budhanilkantha sangat ramai saat perayaan Haribodhini Ekadashi (yang merayakan kebangkitan Dewa Wisnu dari tidur panjangnya, yang biasa dirayakan antara bulan Oktober – November). Saya ingat keramaian itu yang pernah saya tulis di Nepal: Kalung Bunga Cinta di Haribodhini Ekadashi dan Nepal: Bertemu Guardian Angels di Changu Narayan. Jika kuil Changu Narayan sudah penuh sesak seperti itu, apalagi di Budhanilkantha ini!

Pelan-pelan saya tinggalkan Budhanilkantha, sebuah tempat pemujaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Buddha, lalu membawa pergi segala macam pertanyaan dalam benak. Tidak apa-apa sedikit bingung, tapi yang pasti Buddhanilkantha… checked! (pakai gaya bicara anak-anak sekarang) πŸ˜€ πŸ˜€ πŸ˜€


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-48 bertema Symbol agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Sepasang Mata Di Bouddhanath


Pertama kali ke Nepal tahun 2014 lalu, saya hanya sekejap berada di Bouddhanath, itu pun hanya malam hari. Rasanya seperti mengalami amnesia sementara, saya merasa pernah berada di sana namun hanya samar-samar. Lucunya, photo yang diambil tidak begitu bagus hasilnya, mungkin karena kurang cahaya. Oleh karena itu, saya telah berjanji akan kembali ke Bouddhanath dan menikmatinya lebih lama.

Saya memang kembali lagi ke Nepal untuk melakukan trekking tetapi kesempatan itu tidak bisa membuat saya kembali mendatangi Bouddhanath. Bagaimanapun semua memang ada waktunya dan tahun 2018 lalu akhirnya saya kembali menjejak di Bouddhanath.

Bouddhanath merupakan salah satu dari tempat suci Buddhist yang terbesar di Nepal dan bersama dengan kuil-kuil bersejarah lain di kawasan lembah Kathmandu, Bouddhanath mendapat gelar UNESCO World Heritage Site sejak tahun 1979 (itu artinya 12 tahun lebih dulu daripada penganugerahan pertama kali gelar yang sama ke Borobudur di Indonesia).

Dalam gempa besar tahun 2015 lalu yang meluluhlantakkan Nepal, Bouddhanath juga terkena dampaknya dan termasuk parah. Seluruh struktur utama yang paling suci, -konon merupakan tempat menyimpan relikui Buddha-, yang terletak di puncak lengkung stupa harus dipindahkan selama Stupa mengalami perbaikan. Meskipun hingga kini, banyak kuil-kuil lain di kawasan Lembah Kathmandu masih terus dalam proses restorasi sejak gempa terjadi, Bouddhanath termasuk salah satu tempat pertama yang diprioritaskan diperbaiki. Dan dalam waktu satu setengah tahun sejak gempa terjadi, Bouddhanath bisa dibuka kembali secara normal.

DSC03504
Bouddhanath with the lights

Meskipun berada sekitar 7km dari pusat kota, Bouddhanath tetap ramai dikunjungi oleh penganut Buddha dari segala penjuru Nepal dan juga dari negara-negara lain yang kebanyakan penduduknya beragama Buddha. Ditambah dengan para wisatawan mancanegara,Β  hampir semuanya, baik yang Buddhist maupun yang non-Buddhist, berjalan melakukan sirkumambulasi atau kadang juga disebut pradaksina yaitu berjalan mengelilingi Stupa searah jarum jam.

Hari pada saat saya kembali ke Nepal itu, dari bandara saya langsung menuju kawasan Bouddhanath yang letaknya tak begitu jauh dari bandara. Alasan itu juga yang saya gunakan untuk menginap di kawasan Bouddhanath, karena keesokan harinya saya akan terbang ke kota lain sehingga tak mau jauh-jauh dari bandara tetapi keinginan saya tetap tercapai. Jadilah saya menginap di Bouddhanath dan tidak tanggung-tanggung karena saya menginap dengan hotel yang menghadap Bouddhanath.

Saya hanya ingin menatap Stupa besar kebanggaan orang Nepal itu dengan santai.

Dan sejak matahari tenggelam hingga waktu makan malam tiba, saya sengaja mengambil tempat di pelataran luar hotel dan langsung menatap Buddhanath yang cantik berhiaskan lampu-lampu.

DSC03508
Bouddhanath at Night

Dari tempat duduk saya di pelataran hotel, saya menyaksikan bahwa diameter terjauh Bouddhanath hanya sekitar 100meter dengan tinggi hingga ke puncaknya sekitar 36meter. Bisa jadi tidak terlalu besar jika dibandingkan Borobudur ya, tetapi bangunan ini terkenal sekali di Nepal dan stupa ini mengisi langit Nepal di malam hari.

Tentu saja bagi saya, yang paling menarik dari Bouddhanath adalah Lukisan Mata yang mengisi empat sisi puncak stupa itu. Mata itu merupakan representasi mata Sang Buddha yang melihat ke segala penjuru dunia. Dan lukisan yang bentuknya seperti tanda tanya, sebenarnya merupakan karakter Nepali untuk angka 1, yang merupakan simbol dari Kesatuan (unity) dan Satu Jalan menuju pencerahan yakni melalui ajaran Sang Buddha. Lebih jauh lagi, di atas lukisan mata itu terdapat Mata Ketiga, -tersembunyi di balik rumbaian kain penutup-, merupakan simbol Kebajikan Sang Buddha.

DSC03503
The Buddha Eyes

Angin musim dingin hampir berakhir meskipun masih terasa sejuknya. Angin itu terasa kuat membuat ikatan bendera doa yang warna-warni itu berkibar-kibar. Konon dipercaya, kibaran bendera doa akibat angin itu akan menerbangkan doa dan mantra ke seluruh penjuru alam semesta. Ditambah orang-orang yang tidak berhenti melakukan sirkumambulasi (pradaksina) sambil merapal doa dan mantra, tentunya memperkuat getaran doa untuk sampai ke seluruh penjuru alam semesta. Ah, indahnya saya berada di tempat yang begitu sakral…

Saya puas menatap orang-orang yang mengelilingi Stupa, puas menyaksikan Stupa besar semalaman dan juga esok paginya. Rasa damai dengan getar nada mantra Avalokitesvara, Om Mani Padme Hum yang sayup terdengar di sekitar saya, membuat saya betah berlama-lama di tempat itu.

Menatap mata yang tergambar di Stupa di hadapan, membuat saya merenung. Bahkan dalam ajaran Buddha pun diajarkan bahwa ada Mata yang terus melihat ke seluruh penjuru dunia. Dan sepertinya mengerucut juga karena saya percaya Allah Yang Maha Kuasa yang juga Maha Melihat semua aktivitas kita.

Kita hanya perlu terus menyadarinya.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, danCerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-40 ini bertema Eye(s) agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – Through The Windows of Holy Shrines


Pashupatinath is a famous and sacred Hindu temple complex which is located on the bank ofΒ Bagmati River, in the eastern part of Kathmandu, Nepal. As one of the UNESCO World Heritage Sites in Kathmandu Valley, Pashupatinath has numerous religious buildings.

On the eastern bank of the river, visitor can see several similar white shrines, most of them are devoted to Shiva. These buildings are made from stone and decorated with intricate carvings with Shiva lingam installed inside the shrine. From the end of the shrines, through the windows of the holy buildings, visitor can see these lingams in a straight line.

Pashupatinath lingam

Windows

Nepal DTD Trip, Once Again, Namaste Kathmandu


Work in the invisible world at least as hard as you do in the visible – Rumi

Kembali ke ‘rumah’

Saya mendadak terbangun dari tidur, merasakan naiknya intensitas frekuensi dari dalam diri agar kesadaran terjaga. Dengan segenap upaya saya membuka kedua mata yang terasa lengket lalu menoleh ke jendela kanan. Gelapnya malam menghilangkan pemandangan yang seharusnya indah, yang pernah saya saksikan dengan mata kepala dan mata hati, dua tahun silam. Himalaya bertudung salju yang berjajar indah, seakan bersama semesta menyambut kedatangan sebuah hati. Namun kini, bulanpun malu tampil, malam tetap berhias pekat, seakan melempar sebuah tanya, siapkah saya kembali ke rumah, dengan apapun yang ada?

Tanpa diberitahu oleh pilot penerbangan pun, saya mengetahui dalam beberapa saat lagi kaki ini akan menjejak kembali di Kathmandu. Kelap-kelip lampu di tanah mulai satu per satu terlihat, yang semakin banyak, semakin mengelompok. Seperti rasa yang muncul di dalam hati ini. Sebuah rasa yang semakin membuncah. Saya kembali ke Nepal, tempat dua tahun lalu menjalani hari-hari penuh dengan keajaiban. Luar biasa, seperti kembali ke rumah.

Dan kali ini tetap saja dengan sejuta harap kepada Yang Maha Mengasihi agar berkenan melimpahkan anugerah yang sama…

Namaste

Akhirnya roda pesawat itu menjejak bumi yang dua tahun lebih dihajar gempa besar yang meluluhlantakkan banyak tempat itu. Saya menutup mata, memindahkan sejenak kenangan pahit dampak gempa di Nepal ke sebuah sudut hati yang terdalam. Menyimpannya agar diam disana lebih lama untuk bertransformasi kearah kebaikan. Kali ini, dalam perjalanan ini, tak boleh ada airmata duka karena bukankah perjalanan ini sebuah undangan yang luar biasa? Bukankah saya diijinkan memiliki impian dan dibuncahkan keberanian untuk menjalaninya? Ini sebuah perjalanan untuk mewujudkan impian… A Dare to Dream Trip!

Pesawat akhirnya berhenti dan bandara Tribhuvan International Airport pun menyambut penumpang. Satu per satu penumpang keluar menuruni tangga termasuk saya. Di ujung tangga, di bawah, saya merendahkan tubuh lalu menyentuhkan telapak tangan ke bumi Nepal.

Namaste, Nepal…

Lalu saya berdiri menunggu Pak Ferry kemudian berjalan perlahan kearah bus untuk menuju terminal kedatangan. Saya terdiam menggigit bibir karena potongan-potongan kenangan indah dua tahun lalu di Nepal menghajar benak tanpa jeda. Saya seakan hidup dalam kenangan melewati lorong yang sama dan mengikuti alur penumpang di bandara yang sama. Suasana yang sama. Hanya kali ini malam, dulu siang. Tetapi sejatinya memang tak banyak beda.

Di Bandara

Proses imigrasi yang sama walau kini bisa lebih cepat dengan bantuan terminal pintar yang mengambil foto wajah. Tetap dengan harga visa yang sama, 25USD untuk 15 hari. Wajah-wajah Nepal yang serupa dengan senyum yang segera menghias bibirnya. Masyarakat yang ramah! Dan kembali terdengar di telinga tutur bahasa yang dua tahun lalu terasa asing yang hingga kini pun masih terasa tak biasa di telinga. Ah, saya saja yang tak cepat belajar bahasa.

Sedikit letih akibat lamanya penerbangan, saya mengikuti alur penumpang dari sejak imigrasi hingga akhirnya pengambilan bagasi. Ditunggu satu saat dua saat, kedua ransel yang terbungkus plastik tak muncul juga hingga bagasi terakhir. Belum sempat pak Ferry dan saya diterpa bingung, sebuah sapa menggugah perhatian saya. Di belakang kami, sesosok tubuh besar menuturkan dalam bahasa Nepal sambil menggerakkan tubuh menjelaskan maksudnya. Ia menunjuk ke bawah, apakah ini yang dicari? Di kakinya, ransel kami yang terbungkus plastik tanpa kurang suatu apapun. Dan saya pun mengangguk memahami maksudnya. Seketika sebuah senyum menghias wajahnya. Kami juga. Ah, sebuah sambutan bahagia yang nyata.

Welcome to Nepal – menuju lorong VOA

 

Kami menenteng ransel yang kini menjadi sulit diangkat karena terbungkus erat plastik sambil menggendong daypack kami. Ini semua gara-gara tidak terjaminnya pengamanan bagasi di Jakarta. Sudah terlalu sering pejalan bertukar cerita tentang maling bagasi yang dibiarkan merajalela di bandara. Jangankan yang bernilai, makanan dan oleh-oleh dalam tas penuh pakaian kotor pun di-embat. Mana mungkin saya membiarkan peralatan trekking yang susah payah saya kumpulkan untuk hilang tak berbekas oleh manusia bejad di Jakarta? Jadi walaupun ransel ini menjadi susah diangkat, mitigasi ini jauh lebih baik.

Sambutan

Kemudian akhirnya kami sampai di depan pintu keluar. Mau tak mau saya tersenyum. Teringat betapa gila saya mencari nama sendiri diantara ratusan nama yang tertera pada kertas yang dibawa penjemput. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami, tetapi ini diantara ratusan pasang mata laki-laki yang melihat ke diri saya langsung di siang hari bolong itu. Nekad. Mengingat itu, saya cerita pengalaman itu secara sekilasΒ  kepada Pak Ferry. Dia tersenyum lebar lalu mengajak melakukan hal yang sama lagi. Karena selain itu, apalagi yang bisa dilakukan?

Tetapi kali ini, terbaca nama saya pada sebuah kertas di dekat pintu. Ah, sebuah permulaan yang baik. Begitu cepat. Saya mendatangi mereka dengan senyum, seakan memberitahu jati diri tanpa perlu bicara. Seorang dari mereka memperkenalkan diri sebagai pemandu utama kami lalu mengalungkan bunga selamat datang kepada pak Ferry dan saya. Ah, begitu cantik penyambutan ini. Sebuah permintaan maaf sekaligus terima kasih secara otomatis keluar dari bibir saya karena mereka telah menunggu begitu lama di bandara karena tertundanya penerbangan kami. Tapi semua itu tak menjadi soal, karena tak lama kami telah berada di dalam jeep yang membawa ke hotel di kawasan Thamel, sebuah tempat terkenal untuk hang-out di Kathmandu.

Saya pun bertukar cerita kepada Dipak, tour & trekking guide kami, bahwa saya senang bisa kembali ke Nepal yang langsung disambut berbagai pertanyaannya mengenai perjalanan saya sebelumnya itu. Ah, bagaimana mungkin saya melupakan perjalanan penuh keluarbiasaan itu? Bisa tak habis-habis saya bercerita…

Tak ingin memonopoli dengan cerita perjalanan Nepal sebelumnya, pembicaraan saya alihkan dengan menunjukkan Kuil Pashupatinath yang saat itu kami lalui, kepada Pak Ferry yang tentu saja disambut dengan sangat antusias karena ia memiliki banyak kawan Hindu yang menanyakan mengenai Kuil Pashupatinath yang suci. Namun Kuil Pashupatinath pada malam hari hanya berhias temaram dan sedikit lampu walau tetap memendarkan kemagisan. Hanya sejumput harap untuk bisa mengunjungi kuil itu sekembalinya dari trekking…

Lalu setelah melalui beberapa turunan dan tanjakan perbukitan serta menembus jalan-jalan kecil di Kathmandu, saya menebak telah memasuki kawasan Thamel yang diwarnai oleh orang-orang yang mulai menutup tokonya. Kami memang datang terlambat. Sudah banyak toko yang menutup pintu tetapi Dipak mengatakan bahwa ada toko yang bisa buka sampai malam agar kita bisa membeli peralatan trekking yang kurang.

Pemeriksaan

Sesampai di hotel, kami disambut oleh Siddhartha, sang manajer dari perusahaan pemanduan trekking yang kami gunakan. Sambil menunggu proses check-in, seluruh peralatan trekking kami diverifikasi olehnya untuk memastikan bahwa trekking akan berjalan dengan aman. Mereka meminjamkan kami trekking pole, botol minum, tas besar tahan air, sleeping bags dan lain-lain. Oleh sebab itu sisanya perlu dipastikan kecukupannya, termasuk jaket, jas hujan, ransel, celana trekking, jumlah pakaian dan lain-lain. Bahkan sepatu yang digunakan juga diperiksa. Mungkin sebagian orang bisa merasa terganggu dengan proses verifikasi ini, tetapi saya mengambil sisi positif. Bukankah ini perjalanan ke alam yang telah mereka kenali? Bukankah mereka lebih paham? Bukankah kami berasal dari negara tropis yang tak pernah kenal salju? Bukankah kami tidak pernah menjajaki gunung-gunung di Himalaya ini? Apalagi saya yang sama sekali belum pernah mendaki gunung. Lalu apa salahnya belajar dari orang yang lebih ahli dan lebih memahami Himalaya?

Persiapan dari Jakarta membuahkan hasil karena seluruh peralatan trekking kami lulus verifikasi dan tentu saja kami tetap diajak belanja untuk menambah peralatan di toko yang masih buka. Pak Ferry berkenan melihat jaket-jaket dengan beragam merk dengan spesialisasi outdoor yang terkenal. Akhirnya beliau membeli satu jaket termal tahan air TNF seharga kurang dari 1 juta yang jika di mal terkenal di Jakarta dipatok harga sekitar 5 juta. Kapan lagi bisa beli dengan harga itu???

Pegunungan Himalaya Bertudung Salju

Kehadiran

Kami kembali ke hotel dengan berjalan kaki. Keriuhan Thamel hanya menyisakan degup-degup musik dari tempat yang masih penuh pengunjung. Saya memilih kembali ke hotel karena sudah pernah menyusuri Thamel agar bisa menghemat energi untuk trekking keesokan harinya. Ya, besok kami memulai perjalanan itu.

Sendiri di kamar hotel membuat saya terpaku dalam hening, menyadari hadirnya diri, seutuh-utuhnya, di ‘rumah’, di bumi Nepal yang bagi saya selalu magis. Saya telah menempuh perjalanan dari pagi hingga malam hari hingga bisa berdiri di sini, di bumi tempat Himalaya sambung menyambung. Getarnya terasa langsung dalam jiwa. Esok hari, kaki ini mulai melangkah, satu demi satu, menapaki bukit, menuruni lembah.

Sepertinya saya masih tak percaya, tetapi udara yang saya hirup dan saya lepaskan adalah udara yang sama. Udara Himalaya.

Dan bagi saya hanya ada satu Himalaya di dunia. Himalaya yang itu.

Nepal DTD Trip, Memulai Perjalanan Dengan Kesabaran


I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness and beautiful in my own way, because God is on my side.

Minggu ketiga di bulan Januari 2017, tiga bulan sebelum tanggal keberangkatan, akhirnya saya memesan tiket pesawat setelah paspor pak Ferry, –my travel buddy-, selesai diperpanjang. Harga tiket sudah naik 200 ribu, tetapi masih jauh lebih murah daripada maskapai lain yang mematok harga hingga 7 juta pp. Nilai setengah dari maskapai lain itu memang menggiurkan tetapi jika di-blacklist karena suka delay, bagaimana ya? Pemikiran yang datang tiba-tiba itu langsung diabaikan karena tergerus harga yang sangat menggoda. Bukankah Malindo merupakan maskapai campuran dari Lion Group Malaysia? Dengan harapan manajemen Malaysia lebih baik dari Lion Indonesia, akhirnya saya memesan tiket untuk Jakarta – Kuala Lumpur – Kathmandu. Dan cerita perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness pun dimulai…

Expectation Vs. Reality

Dan dua bulan sebelum keberangkatan, datanglah email pemberitahuan dari maskapai yang grupnya itu sering dihinadina oleh para pejalan itu. Isinya jelas, penerbangan saya mengalami penjadwalan ulang. Mengutip sumpah serapah komik jaman muda dulu, seribu setan belang, saya mulai mengomel berkepanjangan. Bagaimana tidak, saya memilih penerbangan paling pagi dari Jakarta ke Kuala Lumpur lalu transit sebentar lalu terbang lagi ke Kathmandu sehingga bisa mendarat di Negeri di atas awan itu jelang sore. Itu memang tujuan saya, mengambil penerbangan ke Kathmandu sore hari, demi melihat jajaran pegunungan bertudung salju yang sangat indah. Dalam perjalanan pertama ke Nepal dua tahun lalu, saya duduk di jendela sebelah kanan menikmati keindahan itu. Tentu saja saya ingin mengalaminya lagi. Normal kan? Lagi pula sampai di Kathmandu sore akan lebih baik daripada malam, paling tidak bisa belanja melengkapi trekking gears.

Flight Reschedule

Tetapi memang dasar setan belang, semua bermula dari jadwal penerbangan Kuala Lumpur ke Kathmandu dimajukan semena-mena dan tidak dapat dikejar oleh penerbangan dari Jakarta. Akibatnya, secara sepihak seluruh penerbangan saya dimundurkan semua. Penerbangan dari Jakarta ke Kuala Lumpur dipindahkan ke tengah hari dan penerbangan ke Kathmandu dipindahkan ke sore hari yang otomatis sampai sana jam 8 malam! Bagaimana mau melihat pegunungan berpuncak salju pada malam hari? Lalu dengan memperhitungkan proses visa dan bagasi yang lama, apakah masih ada toko yang buka pada malam hari? Dan pastinya rencana jalan-jalan di obyek wisata Kathmandu berantakan semua! Dasar setan belang…!

Siang itu juga saya langsung berdiskusi dengan pak Ferry mencari solusi namun pertimbangan uang tetap menjadi primadona karena tidak mau rugi dua kali. Selama masih di tanggal yang sama hanya beda jam kelihatannya masih bisa diterima. Oh, I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness…

Selesai…?

Belum!

Beberapa minggu sebelum keberangkatan, saya masuk ke situs Traveloka dan mencoba mencetak ulang tiket dengan jadwal baru, namun hasilnya masih jadwal lama! Lhah, apa lagi ini??! Sampai saya harus memeriksa ke situs Malindo untuk memastikan kami terdaftar sebagai penumpang dalam penerbangan siang dari Jakarta – Kuala Lumpur – Kathmandu itu dan untung saja kami memang terdaftar dengan jadwal baru. Berbagai cara ditempuh tetap tidak bisa mencetak jadwal baru melalui Traveloka, lalu akhirnya saya nekad akan pergi pada hari keberangkatan menuju bandara berbekal informasi terkini di ponsel. Paling-paling berurusan dengan petugas pintu masuk yang mungkin mencegat saya masuk. Jadi harus siap-siap sabar!

Belum lagi soal packing ransel. Karena belum terbiasa menata di Osprey 36L, saya perlu waktu hingga seminggu karena banyak barang sesuai ceklist yang tidak bisa masuk. Hal remeh ini melelahkan fisik dan memerlukan pengorbanan untuk bisa meninggalkan barang-barang kesayangan yang tidak perlu dalam trip ini.

Dan akhirnya sampai juga di hari keberangkatan untuk perjalanan Dare To Dream ini! Bismillah…

Di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta saya menunggu Pak Ferry di depan pintu masuk. Saya merasa tidak pede karena sudah mengenakan pakaian trekking lengkap dengan carrier di punggung, daypack di depan dan sepatu trekking, hanya untuk mengirit tempat! Agak saltum di bandara Jakarta yang lebih cocok dengan pakaian casual atau business. Tapi tak lama kemudian datanglah travel buddy yang juga lengkap dengan pakaian trekking, ransel dan sepatunya. Dua orang saltum di bandara Soekarno-Hatta πŸ˜€

Berhasil melewati petugas depan yang tidak memperhatikan jam berangkat, kami langsung membungkus carrier dengan plastik agar aman sebagai bagasi. Lalu melangkah pasti menuju konter Malindo untuk check-in. Tapi ternyata kami ditolak karena terlalu awal! Duh… sistemnya pasti masih kuno sehingga tidak bisa check-in sebelum waktunya. Hallooooo… Malindo, sekarang sudah tahun 2017!

Check-in

Satu jam menunggu konter check-in buka, kami kembali berdiri di antrian konter. Satu orang dilayani lebih dari 15 menit. Lalu terlihat Sang Supervisor bolak-balik antar konter dengan muka kusut, memberikan tanda-tanda buruk. Apalagi petugasnya sering memanjangkan leher melihat ke konter sebelahnya, sambil bertanya-tanya. Adegan itu tak berkesudahan. Alamak! Dan akhirnya penumpang di depan konter selesai dan meninggalkan konter sambil bersungut-sungut mengomel. Di depan saya masih tiga orang dengan kecepatan proses yang tidak beda dengan sebelumnya! Sabar… tapi dimana Sabar??? Saya menggoyangkan kepala laksana boneka India sambil bertanya dalam hati, masih mau menggunakan maskapai ini? Rasanya saat itu saya melimpah rindu kepada maskapai apapun yang proses check-innya mudah dan cepat!

Ternyata kegaduhan sejak proses check-in yang lama itu rupanya berlanjut. Cepatnya imigrasi yang bertolak belakang dengan layanan check-in itu, membuat kami punya waktu untuk makan roti sejenak walaupun setelahnya tergopoh-gopoh juga ke pintu keberangkatan karena waktunya tak lama lagi. Namun, di ruang tunggu itu, kami menanti si pesawat yang tak kunjung tiba. Setelah memanjang-panjangkan leher, pesawat itu tak muncul juga. Dan dimulailah dramanya. Tapi supaya singkat, setelah ditunda sekali, ditunda dua kali, ditunda lagi…. dan lagi, hufft… akhirnya kami boarding juga. Ada kelegaan…

Selesai?

Belum!

Setelah sikut kiri, sikut kanan, tidak mau antri saat boarding, ditambah berebut ruang bagasi atas, akhirnya semua penumpang duduk di kursinya masing-masing. Sepuluh menit…, lima belas menit…, setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda pesawat bergerak. Tanpa ada pemberitahuan. Saya yang jatuh tertidur sampai bangun lagi, pesawat juga belum bergerak. Hedeeew… ada apa ini?

Dan setelah sekian lama, akhirnya pilot bicara meminta maaf dan bla-bla-bla…, lalu pesawatpun bergerak. Itu pun masih masuk antrian ketiga untuk dapat clearance terbang. Dan saat itu sudah 2 jam tertunda dari jadwal seharusnya, padahal waktu transit di Kuala Lumpur untuk penerbangan selanjutnya ke Kathmandu hanya beda 2 jam!

Tidaaaaakkkk…!

Di pesawat saya diskusi dengan Pak Ferry seandainya tidak bisa mengejar penerbangan ke Kathmandu, what’s next? Rupanya Pak Ferry sama seperti saya yang tidak terlalu menetapkan target. Dengan santai dia mengatakan untuk memotong jalur ABC tanpa lewat Poonhill. Saya setuju. Paling tidak saya bisa bersyukur lega karena travel buddy bisa sangat fleksibel (diluar sana lebih banyak orang yang kaku dan ngotot!)

Pasrah dengan penerbangan dengan jadwal suka-suka ini, saya mencoba tidur kembali selagi bisa dan menikmati makanan gratis yang ternyata rasanya lumayan. Ah, bukankah ada nilai-nilai yang patut disyukuri dalam setiap keadaan? Iya siiih, tetapi….

Singkat cerita… setelah mendarat di KLIA, pada saat pesawat baru saja berhenti dan membuka pintu di garbarata, pada jam itulah saya seharusnya terbang ke Kathmandu! Dalam hati saya hanya bisa menjerit galau, masih mau pakai maskapai ini? Oh, I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness…

Berbeda dengan terminal KLIA2 yang sudah familiar karena biasa menggunakan AirAsia, saya tak kenal dengan terminal KLIA yang sering digunakan oleh maskapai-maskapai non-budget. Saya tak tahu lokasi transfer dan gerbang-gerbangnya. Perlu waktu untuk membiasakan dan kali ini tidak ada waktu untuk membiasakan! Matek!

Antrian keluar dari pesawat terasa sangat lama sehingga ketika menjejak kaki di gedung terminal, Pak Ferry dan saya langsung tergopoh-gopoh lari menuju papan informasi untuk memeriksa gerbang keberangkatan dengan harap-harap cemas pesawat belum berangkat. Oh My God, help us…

Dan wow!!! PertolonganNya selalu datang tepat pada waktunya. Di papan jelas tercetak nomor penerbangan kami dengan status Boarding! Aha, baru kali ini saya suka dengan pesawat yang delay! πŸ™‚

Boarding

Tak perlu perintah dua kali, Pak Ferry dan saya lari lagi menuju gerbang menggunakan feeling. Semoga benar! And God is on my side, jalurnya benar! Tapi di depan gerbang, saya tertahan, tidak boleh masuk. Aduh, botol minuman masih berisi air yang harus dibuang. Saya menoleh ke kiri kanan mencari tempat pembuangan air atau tempat sampah. Tidak ada sama sekali, sehingga dengan terpaksa saya lari lagi ke toilet untuk membuang air kemudian lari kembali ke gerbang untuk langsung boarding.

Hah…hah…hah…. Nafas rasanya mau putus…

Boarding berjalan lancar dan tempat duduk di sekitar saya lebih banyak kosong sehingga terasa agak lega. Tetapi menit demi menit berlalu, pesawat pun juga tak jelas kapan terbangnya. Ditambah dengan antrian clearance terbang. Aduh… masa’ pengalaman di Jakarta berulang? Ampuuun…

Hanya bisa berbekal sabar dan harap, akhirnya pesawat terbang juga meniti waktu, jam demi jam menuju Kathmandu. Saya lebih banyak tidur membayangkan jauh di sebelah kanan seharusnya mulai terlihat pegunungan tinggi berpuncak salju yang kini tak mungkin terlihat karena hanya kegelapan yang menghias jendela. Tapi bukankah saya telah menerima perubahan jadwal ini dengan segala konsekuensinya? Menyesali tak akan mengubah apapun. Saya menerima apapun yang terjadi…

Benar. Apapun yang terjadi, saya telah berani melangkah dalam perjalanan menuju impian yang mewujud.

Nepal – Sampai Kita Berjumpa Lagi, Himalaya…


Dalam postingan sebelumnya, ada peristiwa yang seharusnya tidak perlu terjadi, tetapi bagaimanapun tetap terjadi. Banyak barang basah terkena air dalam perjalanan menuju bandara saat mau pulang ke tanah air. Untuk lengkapnya bisa dibaca di post ini cerita tentang Nagarkot

Dengan celana yang setengah basah dan β€˜rempong’ dengan tas-tas dan barang yang juga basah, saya tergopoh-gopoh melangkah memasuki ruangan keberangkatan namun dicegat oleh seorang petugas karena salah terminal. Setengah jengkel dengan kebodohan diri sendiri, saya keluar lagi menyusuri pinggir bangunan untuk menuju ruang keberangkatan untuk Air Asia. Sebelum masuk saya masih sempat menoleh ke tempat drop-off. Mobilnya sudah tidak ada disana, tetapi rasa bersalah saya tak mau hilang. Semoga Tuhan memberi banyak keberkahan untuknya.

Setelah boarding pass dipegang di tangan, saya menarik nafas penuh kelegaan. Masih ada waktu untuk membereskan segala kekacauan yang sebenarnya tak perlu terjadi ini. Saya memutar pandangan dan menemukan sebuah bangku kosong yang sempurna untuk repacking.

I will be back...
I will be back…

Saya mencari handuk kecil yang selalu saya simpan di ransel dan tentu saja beberapa tas plastik. Kebiasaan menyisipkan beberapa tas plastik untuk sesuatu yang penting kini terlihat manfaatnya. Saya mengeringkan sebisa mungkin lalu memasukkan barang-barang yang terasa masih lembab ke dalam beberapa kantong plastik. Kemudian saya keluarkan daypack yang kering dari ransel untuk menggantikan tas tangan yang basah kuyup di bagian bawahnya.

Selagi sibuk dengan mengeringkan dan memindahkan barang, dua turis remaja perempuan berwajah Oriental mengambil tempat di sebelah saya untuk menata ulang kopernya. Namun lebih-lebih dari saya, mereka menghamparkan hampir semua barangnya lalu dipaksakan masuk ke dalam kopernya. Jika saja mereka mengerjakan dengan diam, tentu saja saya tak keberatan. Tetapi mereka melakukannya seakan di rumah sendiri dengan suara keras sambil tertawa-tawa. Dengan mood yang masih tak tentu, situasi saat itu sungguh menyebalkan. Tetapi bagaimana pun ruang saya duduk merupakan ruang publik, lebih baik saya memperpanjang sabar.

Saya masih mengeringkan barang-barang basah ketika melihat petugas dan anjing terlatihnya mendekati saya. Mereka mendekat secara khusus sampai pada jarak yang saya kira terlalu dekat ke barang-barang yang saya letakkan di sekitar. Tak perlu berpikir dua kali, -ketika saya melihat si anjing terlatih itu mengendus dari jarak tertentu-, saya langsung mendekatkan barang-barang yang agak tersebar. Damn… Darah mendesir kencang, pikiran saya langsung bekerja cepat, saat itu pastilah saya ditandai sebagai seseorang yang mungkin sedang melakukan pekerjaan haram, mungkin seperti kurir narkotik yang memindahtangankan dengan kedua perempuan muda yang ada di sebelah saya.

Bukankah anjing terlatih itu diarahkan untuk mendatangi dan mengendus di dekat barang-barang saya? Bukankah ada dua perempuan muda di sebelah yang juga sedang membongkar tasnya dengan menghamparkan barangnya dekat dengan barang-barang saya? Bukankah barang haram itu bisa dipindahtangankan dalam situasi seperti ini, dengan skenario seakan-akan sedang merapikan barang dalam koper? Bukankah saya dalam situasi yang sangat memungkinkan dituduh sebagai kurir barang haram? Bukankah bisa saja barang haram itu diletakkan di antara barang-barang saya dan barang orang lain yang terserak dan bisa dijadikan bukti kepemilikan? Saya bergidik terhadap kemungkinan itu… Hiiii…

Ada sesuatu yang berjalan tidak pada tempatnya… ada yang tak seimbang, ada yang tak sesuai…

Saat menunggu keberangkatan, sepenggal rasa bersalah masih bertengger di hati, ditambah dengan sejumput ingatan ketika si anjing mendengus dekat barang-barang saya. Rasanya terbeban. Saya mengingat seluruh kenangan yang menyenangkan sejak perjalanan dimulai agar beban bisa terangkat sedikit. Ketika melihat Everest dan barisan Himalaya, ketika bisa berlama-lama bertatapan dengan Dewi Kumari the Living Goddess di Kathmandu Durbar Square, ketika mendapat berkat Hariboddhi Ekadashi di Kuil Changu Narayan, saat mendapat sunrise luarbiasa di Pokhara, saat mendapat Khata dari Bhiksu di bawah pohon Boddhi di Lumbini, pagi yang indah di Nagarkot dan begitu banyak kemudahan di semua tempat yang saya datangi… dan di ujung akhir perjalanan semua berbalik arah. Kesalahan apa yang telah saya lakukan?

Ketika boarding, orang yang duduk di belakang kursi saya memasang dan menggunakan speaker dari music playernya, seakan di rumahnya sendiri dan seakan semua senang dengan lagunya. Saya tahu telah berada di ambang batas sabar sehingga saya sampaikan keluhan kepada pramugari yang bertugas karena saya telah membayar mahal untuk tempat duduk yang berada di quiet-zone yang seharusnya senyap agar bisa beristirahat. Bahkan kejengkelan dan ketidaksabaran saya masih bisa merangkak keluar.

Tribhuvan International Airport, Kathmandu
Tribhuvan International Airport, Kathmandu

Sebelum semuanya menjadi tak terkendali, lebih baik melakukan refleksi ke dalam, menenangkan diri, memohon bantuan kepadaNya.

Ketika pesawat bergerak perlahan untuk meninggalkan bumi Nepal, saya menoleh keluar jendela, ke langit yang biru, ke pegunungan yang berjejer. Dengan menempelkan tangan pada jendela, selarik bisikan berupa ucapan terima kasih keluar dari bibir. Dan seketika pula permintaan maaf mengalir keluar atas apapun kesalahan saya selama di bumi Nepal, membuat pandangan buram karena airmata menggenangi pelupuk mata…

Saya teringat kembali kepada dia, pengemudi yang pendiam dan selalu tersenyum terhadap apapun yang saya lakukan. Saya diserang ingatan betapa buruk perlakuan saya terhadapnya. Menganggapnya tidak mengerti, mengabaikan harkat kemanusiaannya bahwa setiap orang ingin dihargai dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dia diam, tetapi bukankah saat itu ada musik sayup serupa Om Mani Padme Hum yang memungkinkan dia mengemudi dengan pikiran yang meditatif? Atau mungkin ia memang pendiam dan juga pemalu, sebuah kombinasi sempurna untuk β€˜tidak dianggap’ dan saya memperlakukannya tanpa perasaan. Lalu bukankah setelah itu ada air yang tiba-tiba menggenang? Saya bergidik sendiri, menyadari telah menjadi seburuk-buruknya manusia. Tak heran, jika semua ini terjadi.

Luruskan pikiranmu, begitu teguran Sang Maha Cinta untuk saya dengan tetap melimpahkan kasih sayang berupa air yang menggenangi tas. Dengan begitu banyak berkah yang saya terima selama perjalanan di Nepal mengapa saya mengakhirinya dengan mengabaikan nilai seorang manusia?

Lalu bukankah hanya air? Dan air hanya membasahi barang-barang tak penting? Bukankah bisa lebih mengerikan, bisa lebih buruk, tapi karena CintaNya, hanya ada air? Lalu bukankah bisa saja ada barang haram di antara barang-barang saya saat merapikan kembali? Tetapi yang terjadi sebuah teguran kasih sayang berupa dengusan anjing sebagai pengingat? Bukankah bisa terjadi yang lebih buruk dan lebih mengerikan? Tapi saya dihindarkan dari yang lebih buruk dan yang lebih mengerikan…

Air mata mengalir membasahi pipi, saya menggigit bibir menyadari kesalahan. Sebuah pembelajaran yang check-mate. Teguran yang keras, tetapi tersampaikan dengan sangat lembut dan tidak menyakitkan. Begitu indah, betapa Dia mencintai saya… Bahkan dalam salahpun saya masih dilimpahkan berkah kebaikan dan kasih sayang.

Dan Dia tak pernah putus memberi anugerahNya…

Can't take my eyes off of you, Himalaya
Can’t take my eyes off of you, Himalaya

Saya melihat keluar jendela melihat jelas barisan pegunungan Himalaya yang berpuncak salju berjejer seakan memberi salam perpisahan kepada saya yang terbang kembali menuju tanah air. Dan sang komandan dari barisan pegunungan cantik itu ada di sebelah kanan, terlihat sebagai puncak tertinggi, Sagarmatha yang agung. Everest!

Saya teringat ketika melakukan Everest experience mountain flight, saya hanya diberi kesempatan melihat setitik puncak dari jarak terdekatnya. Dan kini dalam perjalan pulang, siapa yang menyangka gunung tertinggi di dunia itu menampakkan keagungan dirinya di hadapan mata saya. Sagarmatha yang luar biasa indahnya, Everest…

I see you...
I see you…

Bahkan dalam salahpun saya masih diberikan anugerah terindah, di ujung akhir perjalanan di Nepal.

Sejuta rasa berkecamuk di dalam jiwa. Inilah pencucian jiwa. Saya telah menerima anugerah tak henti sejak berangkat dan saya nodai dengan keangkuhan diri, namun semuanya tak menghentikan dari limpahan anugerah. Alangkah tak beruntungnya saya jika tak bersyukur… Bukankah perjalanan ini diatur dariNya langsung? Bukankah susunan itinerary yang telah saya buat itu akhirnya tertinggal di Jakarta lalu digantikan semua dariNya? Bukankah tak banyak orang yang berkesempatan melihat pegunungan Himalaya dan juga Gunung Everest secara jelas?

Saya tetap manusia yang menyadari ketidakmampuan melepas kecantikan pegunungan bertudung salju itu. Saya tak ikhlas, tak rela melepas pandang. Saya memutar badan, lebih baik duduk dengan setengah bokong bertumpu pada satu kaki daripada harus kehilangan pandangan dari Himalaya. Mata saya lekat pada barisan itu. Gunung-gunung yang tampak berbaris gagah itu semakin mengecil, semakin tak terlihat, sampai akhirnya saat dataran India dengan sungai besarnya yang terlihat, mau tak mau, ikhlas saya melepasnya dalam bisikan, terima kasih Ya Allah, terima kasih Nepal, sampai kita berjumpa lagi, Himalaya…

Suatu saat saya pasti kembali, ini sebuah janji…

When will I see you again?
When will I see you again?

It's not a Goodbye, Just Au Revoir
It’s not a Goodbye, Just Au Revoir

<><><>

Dan enam bulan setelah perjalanan saya, sebuah gempa besar meluluhlantakkan Nepal. Saya terguncang hebat. Semua kenangan tempat-tempat indah dengan segenap keajaiban-keajaiban yang pernah mewarnai perjalanan saya itu bergerak bagai film di benak, silih berganti dengan tempat-tempat yang rusak dan yang luluh lantak. Tetapi sebagaimana pengalaman perjalanan saya, -bahkan dalam salah pun saya diberi anugerah-, demikian juga Nepal… Dalam titik rendah kehancurannya, Pemilik Semesta tak pernah sedikitpun meninggalkan ciptaanNya.

*

Baca rangkuman dan cerita seri perjalanan di Nepal : Nepal – Perjalanan Dengan Itinerary Dari Yang Kuasa

Nepal – Nagarkot : Kisah Makhluk Ajaib dan Lembah Halimun


Setelah berjam-jam terkurung dalam mobil kecil dari Lumbini Ke Kathmandu, bersama Santa yang jeda bicaranya sedikit ditambah dengan gempitanya musik pop berbahasa Hindi, rasanya lega sekali berada di kendaraan lain yang membawa saya ke Nagarkot. Sebelumnya, Santa telah mengatakan bahwa ia tak memahami jalan ke Nagarkot sehingga ia akan digantikan oleh pengemudi lain yang lebih mengenal daerah itu. Tentu saja saya tak keberatan selama tujuan sampai di hotel bisa tercapai. Begitulah ceritanya hingga saya duduk di mobil Honda baru yang terasa mewah ini.

Wangi khas mobil baru yang tercium lekat di hidung menunjukkan mobil ini belum lama keluar dari dealer. Semuanya terasa masih brand new. Bisa jadi ini mobil pemiliknya, bukan untuk disewakan. Beruntunglah saya bisa mencobanya…

Early Bird and The Misty Valley
Early Bird and The Misty Valley

Cool but…

Kemudian datanglah laki-laki pengganti itu lalu menyalami saya selayaknya orang yang saling berkenalan. Ada senyum tipis di wajah Orientalnya. Wajah campuran yang umum terlihat di sekitar Nepal dan Tibet. Cool… Menarik, seperti magnet. Keren abis… *anakdansuamibawakatapel

Tak cuma sekali saya melirik mengamati caranya mengemudikan kendaraan di perbukitan menuju Nagarkot, terlihat sangat trampil namun santai. Bahkan saya mendengar musik meditatif yang menenangkan seperti Om Mani Padme Hum, dipasang dengan volume kecil tapi terdengar. Di langit luar bulan terlihat begitu terang, supermoon yang waktunya telah dekat, seakan menemani perjalanan saya menuju Club Himalaya Resort untuk menghabiskan malam terakhir perjalanan saya di Nepal. Berdua menembus malam di Lembah Kathmandu *katanenekberbahaya

Namun ada yang salah. Situasinya terlalu hening. Seperti pasangan yang ngambeg. Saya teringat Santa yang hampir tak pernah diam, sementara makhluk di sebelah saya ini terlalu pendiam. Jika ia tak mengemudi, mungkin saya pikir dia patung. Bahkan saya tak ingat namanya. Mungkin dia tadi menyebutkan, mungkin juga tidak, tapi yang pasti saya tak menyukai keheningan ini.

Saya ingin memecahkan keheningan ini dan melihat lampu-lampu desa di puncak bukit.

β€œIs that Nagarkot?β€œ sambil menunjukkan lampu-lampu di atas bukit

Kepalanya menggeleng, β€œNo”

Di mobil seperti ada setan lewat karena begitu hening, kecuali suara sayup musik… sepi…

β€œSo where is Nagarkot?”

Dia tersenyum dalam gelap, hanya menunjuk kearah yang berbeda, tanpa bicara, lalu wajahnya ke jalan lagi… Damn!

Karena melihat penampilannya yang rapi seperti pemilik mobil, saya iseng bertanya kepadanya lagi,

β€œIs this your own car?”

β€œNo”

Entah benar atau tidak, sama nilai kemungkinannya. Kembali senyap.

Bisa jadi dia penganut fanatik β€˜jangan ganggu pengemudi yang sedang mengemudikan kendaraan’. Baiklah, I do it my way. My Kejahilan πŸ˜€ Saya memutar tubuh lalu memandang langsung ke wajahnya. Bukan manusia jika intuisinya tak memberitahu ada mata yang memandangnya. Dan BERHASIL, ia jengah ditatap lalu menoleh dengan ekspresi stress berada di dekat perempuan πŸ˜€ Yang bisa sukses dilakukannya adalah menetralkan suasana. Tersenyum manis. LOL

β€œWhere are you from”, tanyanya basa-basi

Ahaa, daripada diam seperti patung, lebih baik berbasa-basi. Saya memutar tubuh kembali menghadapΒ  depan sambil menertawakan dirinya yang tak tahan diperhatikan seorang perempuan dan menjawab singkat seakan tak peduli, β€œIndonesia”

Dan hening lagi seperti di kuburan. Cape deh…

Saya mengalah padanya dan pada situasi serta tak berharap ada komunikasi yang lancar. Benar, dia hanya menjawab Yes atau No, walaupun selalu ada senyum di latar belakangnya.

β€œYou drive so well, when and how did you learn to drive?”

β€œYes”

Saya tak peduli dijawab demikian olehnya, tetapi kali ini benar-benar hmmm… apa yaa… makhluk di sebelah saya ini, -walaupun cool menarik seperti magnet-, something is very wrong with him… πŸ˜€

Walaupun bukan urusan saya, namun saya ingin tahu apa yang dia lakukan setelah menurunkan saya di Nagarkot karena dia akan kembali mengantar saya ke bandara keesokan harinya.

β€œWhere do you stay tonight?” (belakangan baru sadar, pertanyaan ini bisa diartikan berbeda, kalau ia mengerti)

β€œYes”

Gggggrrrrr…*siapsiapambilpacul

Saya mengerutkan kening, mencoba menyederhanakan kalimat saya.

β€œHere at Nagarkot?”, sambil memperagakan tidur.

β€œYes”

β€œWhere”

β€œYes” Dia tersenyum, tanpa rasa salah…

Bruuuk… Saya seperti menabrak tembok. Whatever, saya menyerah. Makhluk laki-laki di sebelah saya ini sesungguhnya keren, tetapi sama sekali ga nyambung. Ya sudahlah, lebih baik saya mengambil langkah seperti dia, senyum terus sampai hotel. Senyum dibalas senyum sama dengan damai. πŸ˜€

Akhirnya sampai juga di Club Himalaya Resort dan dengan berbagai cara dia mengupayakan agar saya memahami bahwa dia akan menunggu besok pagi jam sembilan di tempat parkir. Sebenarnya saya sudah mengerti, tetapi saya membiarkan dia untuk berlama-lama berbahasa tubuh. Hahaha…

The Misty Valley, Nagarkot
The Misty Valley, Nagarkot

Lembah Halimun

Lelah karena berjam-jam melakukan perjalanan dari Lumbini dan ditambah keharusan menghadapi makhluk ajaib serta mengantri menunggu check-in yang lama, saya langsung terlelap begitu selesai membersihkan diri. Sebenarnya rencana awal adalah menikmati sunset di Nagarkot dan berjalan-jalan di lembah yang terkenal penuh dengan kabut itu. Tetapi apa daya, saya datang saat malam sudah datang dan Dia Yang Penuh Kasih Sayang telah menghapus rencana menikmati malam terakhir di Nepal dengan memberikan saya tidur yang amat nyenyak.

About Sunrise in Nagarkot
About Sunrise in Nagarkot

Esoknya saya terbangun sebelum matahari terbit lalu bergegas menyelesaikan kewajiban pribadi. Udara dingin terasa memeluk pagi. Saya menyibak gorden di jendela. Di luar masih gelap, tetapi saya tak mau melewatkan hari terakhir di Nepal begitu saja. Inilah tujuan saya menginap di Nagarkot, menyambut matahari pagi.

Tak lama terdengar suara kepak sayap burung-burung pagi yang telah meninggalkan sarang, mencari makan, yang suaranya datang dari teras balkon. Saya membuka pintu, udara dingin lembah langsung menerpa wajah. Jauh di horison, pegunungan Himalaya tampak kecil berjejer dengan puncaknya yang tertutup salju. Ufuk Timur mulai berpendar kuning keemasan, tanda Sang Surya beranjak bangun dari tidur. Lembah Nagarkot di hadapan berselimut halimun. Indah. Walau tak seluarbiasa sunrise di Raniban Retreat di Pokhara, keindahan Nagarkot ini tetap menimbulkan rasa haru. Indah dan rasanya berbeda.

Pelan-pelan pagi merekah menyibakkan halimun yang menyelimuti lembah. Sinar matahari sejenak memantulkan cahaya keemasan dari puncak-puncak gunung yang tertutup salju lalu berlomba dengan awan yang bergerak cepat hendak menyelimuti puncak-puncak itu. Pagi yang indah itu tak lama, tetapi birunya langit tetap mewarnai keindahan pagi di Nagarkot.

Saya menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar halaman hotel, menikmati pagi terakhir di bumi Nepal. Rasanya langkah ini adalah langkah menjauh dari bumi Nepal karena waktunya akan tiba dalam beberapa jam lagi. Dan waktu pun terus berjalan, tak peduli apapun, tanpa belas kasihan. Akhirnya datang juga waktu untuk melambaikan tangan kepada kamar di Nagarkot. Belum juga 24 jam, saya sudah harus meninggalkan tempat indah ini. Tepat jam 9, saya pun turun dari lobby menuju tempat parkir.

Dibanjur Air

Dia yang tidak-saya-ketahui-namanya, si makhluk ajaib, berdiri setengah bersandar di depan kap mobil. Tersenyum.

Setelah basa-basi menanyakan kabar, dia membukakan pintu untuk saya. Duh seperti tuan puteri. Teringat berbagai peristiwa komunikasi gagal di malam sebelumnya, saya tak berharap banyak. Seandainya nyambung tentunya sangat menyenangkan berkendara dengannya di pagi yang indah ini.

Pagi itu saya baru melihat keindahan lembah Nagarkot dengan hutan pinusnya yang cantik yang semalam sebelumnya hanya gelap menyelimuti. Keajaiban bertambah karena kali ini dia memulai pembicaraan.

β€œIt’s beautiful…” katanya sambil menunjuk sinar matahari yang menyeruak lembut dari balik pohon-pohon pinus.

Bukannya menanggapi, saya hanya mengangguk tak memperhatikan karena sibuk mengambil foto-foto hutan. Rasanya malas memulai β€˜pembicaraan’ tak berujung sehingga saya hanya melempar pertanyaan mudah dan bisa dijawab Yes atau No tanpa perlu berpanjang cerita. Tanpa disadari, saya sudah menjadi seperti dia semalam.

The Pines of Nagarkot
The Pines of Nagarkot

Dan… dalam waktu singkat, bandara Tribhuvan International Airport di Kathmandu sudah di depan mata. Saat bersiap-siap, saya mengangkat tas tangan yang diletakkan di kaki. Tapi… What! Ada air menggenangi tas tangan. Tak berpikir panjang, -karena didalamnya ada tas kamera-, saya langsung angkat tas tangan ke pangkuan yang serta merta membuat celana panjang saya basah. Secepat kilat saya keluarkan tas kamera dan tas kecil untuk paspor, uang dan tiket. Dan terlihatlah biang keroknya. Botol minum plastik yang masih tertutup tetapi isinya tinggal setengah. Pasti tutupnya tidak 100% menutup.

Saya tahu pada saat mencoba menyelamatkan tas tangan dari air yang menggenang dekat kaki, makhluk ajaib di sebelah saya itu tahu something wrong has happened tapi tidak tahu persisnya. Ia kesulitan bertanya. Mencoba memahaminya, saya menjelaskan dengan mengatakan Water! sambil menunjuk ke bawah. Tanpa melepas tangan dari kemudi, ia mencoba melihatnya dari tempat duduknya.

Di tempat drop-off bandara, saya memandangnya dengan perasaan bersalah. Air yang menggenang karpet mobil itu akan menimbulkan bau tak sedap jika tidak langsung dikeringkan dan divacum. Wangi baru dari mobil pasti akan sirna. Tetapi dia berkali-kali tersenyum sambil berkata, it’s Okay, no problem.

Dia, si makhluk ajaib, memiliki hati yang sungguh baik…

Saya turun dengan celana bagian paha basah kuyup dan kedua tangan terasa penuh memegang tas-tas kecil berisi barang penting yang basah terkena air. Dengan hati yang tak enak dan campur aduk ditambah rasa bersalah, saya memandang makhluk ajaib itu turun mengatasi masalah yang saya timbulkan. Tapi saya tak mampu berbuat lebih, karena harus bergegas menuju ruang keberangkatan.

Setelah begitu banyak anugerah berlimpah selama di Nepal ini, di hari terakhir ini rasanya saya dibanjur air (sedikit banyak dalam arti yang sebenarnya!). Dengan pakaian basah, tangan penuh barang setengah basah, saya melangkah ke dalam. Peristiwa ini, sepertinya sebuah tanda… Apa artinya belum bisa saya pahami sekarang, tetapi pasti ada maknanya. Dan tentu saja peristiwa itu bukanlah sebuah kebetulan…

*

Baca rangkuman dan seri perjalanan di Nepal : Perjalanan Dengan Itinerary Dari Yang Kuasa

Nepal: Menyapa Sore di Bhaktapur Durbar Square


Sebelum berangkat, seorang teman kantor yang pernah ke Nepal merekomendasikan untuk menginap di Bhaktapur minimal semalam, karena menurutnya saya pasti akan suka. Kenyataannya… bukan suka, melainkan suka banget, sangat teramat suka sekali! Hehe..

Bisa jadi karena suasana hati saat itu sedang bahagia level maksimum, -setelah mengalami keajaiban tak henti sejak dikawal guardian angels kemudian mendapat air suci serta sekalung bunga bersamaan dengan festival Haribodhi Ekadashi di kuil kuno Changu Narayan-, sehingga tak ada rasa keberatan ketika taksi berputar-putar tak jelas di lorong-lorong sempit Bhaktapur untuk mencapai penginapan. Saya memang menyerahkan sepenuhnya kepada pengemudi setengah baya itu untuk menemukan alamat penginapan walau seingat saya letaknya tak jauh dari Durbar Square ataupun Pottery Square. Saya hanya duduk manis penuh kekaguman menyaksikan semua keindahan arsitektur khas Nepal melintas silih berganti di hadapan mata saat mobil memasuki kawasan lama Bhaktapur. Kadang kepala saya berputar tak ingin melepas pandangan indah, tapi yang lebih indah memasuki wilayah pandang. Saya panik, ini kawasan luar biasa untuk dijelajahi. Lalu ketika akhirnya mobil berhenti di depan penginapan kecil, saya langsung keluar lalu berdiri menjejakkan kaki di bumi Bhaktapur. Bahagia, tak percaya.

Tak bisa tidak, semua keindahan itu harus menunggu urusan check-in dan lain-lainnya. Jelas sekali saya tak ingin berlama-lama di penginapan walaupun dengan penuh kesadaran saya harus mengurus kelanjutan perjalanan di Nepal. Kepada petugas penginapan itu, saya Β minta bantuan pengurusan tiket penerbangan ke Pokhara untuk keesokan harinya karena saya ingin menikmati Bhaktapur lebih lama. Bahkan sambil menghubungi agen perjalanan, dia sigap memberikan penjelasan arah tempat wisata yang telah berabad berdiri dalam diam itu. Setelah semuanya selesai, segera saja saya mengawali perjalanan di kawasan kuno itu.

Bhaktapur Durbar Square From Western Gate
Bhaktapur Durbar Square From Western Gate

Bhaktapur, -atau dengan lidah lokal sering disebut dengan nama Bhadgaon atau Khwopa-, memiliki makna kotanya para bhakta, para pemuja. Bhaktapur yang terletak sekitar 13 km arah Timur Kathmandu modern itu, pernah menjadi ibukota Kerajaan Malla berabad-abad lampau.

Saat itu saya melangkah di lorong-lorong antara bangunan rumah hingga akhirnya muncul di Bhaktapur Durbar Square, sebuah kawasan yang menjadi bagian dari UNESCO World Heritage Sites di Nepal. Inilah lapangan terbuka yang sudah terhampar sejak berabad lalu dan berhadapan dengan istana yang terkenal dengan 55 jendelanya. Sejuk udara November memberi rasa berbeda. Tetapi entah kenapa saya ingin melewatkan istana Raja, -yang dulu menjadi pusat kekuasaan hingga saat ditaklukkan oleh Raja Prithvi Narayan Shah pada abad-18-, bisa jadi karena teringat Rupee yang kian menipis.

Saya melihat ke sisi yang lain. Jika sebagian masyarakat China percaya angka empat sebaiknya dihindari, tidak demikian dengan para pemuja di Bhaktapur. Di bagian barat Durbar Square terlihat empat kuil yang dikenal dengan nama Char Dham (Char berarti empat). Bagi penganut Hindu, ibadah ke kuil-kuil ini merupakan ziarah mini jika belum mampu pergi ke Kuil Char Dham yang asli di India Utara. Kuil Char Dham terdiri dari Kuil Gopinath yang bergaya tradisional Nepali penuh image Dewa Vishnu lengkap dengan Garudanya yang merupakan kuil terbesar dari kelompok Char Dham ini. Lalu Kuil Rameshwar dengan empat pilar beratap putih dekat gerbang Durbar Square serta kuil kecil Badrinath yang sakral untuk Dewa Vishnu dalam inkarnasinya sebagai Narayan. Kuil keempat adalah kuil Kedarnath yang didedikasikan untuk Dewa Shiva. Dalam gempa 2015 lalu hanya bagian atas kuil yang terbuat dari batu bata merah yang rusak walaupun kuil ini berhasil dibangun lagi setelah runtuh akibat gempa tahun 1934.

Masih di sekitar gerbang Barat, di depan sekolah terdapat Ugrachandi dan Bhairab, sebuah karya abad-17 yang menggambarkan Dewa Shiva dan Dewi Parwati. Namun dibalik keindahannya, terdapat kisah mengerikan yang membuat sakit perut. Sebagaimana penguasa-penguasa keblinger jaman dulu yang ingin hasil karya semasa kekuasaannya abadi, konon tangan pembuat Ugrachandi dan Bhairab sengaja dipotong agar ia tak dapat membuat duplikasinya! Whew…

Sore mulai menghias langit Barat saat saya menyusuri dinding Istana. Sayang sekali karena National Art Gallery saat itu sedang direnovasi, hingga saya hanya bisa mengabadikan Vishnu sebagai Narsingha di salah satu dekorasi gerbangnya. Namun apa yang lebih cantik melihat gerbang emas istana yang dikenal dengan sebutan Sun Dhoka (Golden Gate) berkilau tertimpa matahari sore? Dihiasi dewa-dewi Hindu di bagian atas, gerbang yang dibuat oleh Raja Bhupatindra Malla ini tampak sangat menonjol di dinding Istana. Detil hiasannya begitu mengagumkan, Garuda yang bertarung melawan Naga di puncak lengkung gerbang dan di bawahnya terpampang Dewi Taleju Bhawani berwajah empat bertangan ratusan sebagai dewi pelindung dinasti Malla. Melalui Sun Dhoka ini pengunjung bisa memasuki halaman dalam Istana 55 jendela.

Sun Dhoka - Garuda and the 4 faces Taleju Bhawani
Sun Dhoka – Garuda and the 4 faces Taleju Bhawani

Kemudian di depan Istana tampak menjulang kolom dengan Raja Bhupatindra Malla bersimpuh di puncaknya dengan tangan mengatup di depan dada menghadap Kuil Taleju yang ada di halaman dalam Istana. Sebuah monumen yang mengingatkan saya pada monumen serupa di Kathmandu dan Patan Durbar Square. Semua ukurannya sama, relatif kecil untuk ukuran seorang Raja bahkan saya harus menggunakan zoom untuk mengabadikannya dalam foto. Bisa jadi itulah makna sebuah kerendahhatian seorang penguasa, bukan dirinya yang diperbesar untuk dipuja-puja melainkan hal lain yang lebih berguna bagi banyak orang.

Bhupatindra Malla's Column, Bhaktapur
Bhupatindra Malla’s Column, Bhaktapur

Selemparan batu dari kolom Raja terdapat kuil Vatsala Durga. Kuil indah, saingannya Krishna Mandir di Patan ini didirikan oleh Raja Jagat Prakash Malla pada abad-17. Mengikuti aturan dan arsitektur kuil di India, kuil cantik ini sungguh memanjakan mata dengan hiasannya yang detil. Teringat saat matahari sore menerpa permukaan kuil, tak bosan-bosan saya mengabadikannya dari beberapa sudut. Keindahannya yang menjadi ikon Bhaktapur Durbar Square, -yang menjadi pusat pandangan mata wisatawan yang datang-, meluluhlantakkan hati saya karena kini keindahannya hanya tinggal kenangan sejak gempa April 2015 meruntuhkannya rata dengan tanah. *sedih

Dan di atas dua pelataran di dekatnya terdapat dua genta. Yang ukurannya lebih besar, Taleju Bell, didirikan oleh Raja Jaya Ranjit Malla pada abad-18 untuk mengingatkan waktu ibadah pagi dan sore di Kuil Taleju. Genta yang lebih kecil diletakkan di depan kuil Vatsala Durga yang dikenal sebagai Genta Menyalak (Barking Bell). Konon, genta kecil yang didirikan oleh Raja Bhupatindra Malla sebagai pembuktian mimpinya ini bila dibunyikan mampu membuat anjing-anjing menggonggong. Sempat terlintas di benak untuk membunyikannya tapi saya takut nanti anjing-anjing itu jadi fans mengikuti kemana saya pergi hehe..

Saya melanjutkan langkah menuju sebuah pendopo yang cukup lapang yang dikenal sebagai Chyasilin Mandap melengkapi kuil Vatsala Durga. Pendopo ini dijaga sepasang singa mengkilat yang dibuat dengan sangat indah, menjadi tempat istirahat saya ketika kaki sudah lelah menikmati Durbar Square.

Lions as the guardians of Chyasilin Mandap
Lions as the guardians of Chyasilin Mandap

Masih di sekitar Istana, di sudut tenggara berdiri Kuil Siddhi Lakshmi yang dibangun pada abad-17. Dihiasi dengan penjaga-penjaga yang berpasangan yang berbeda jenis, yang paling depan penjaga berwajah Oriental yang lucu danΒ memegang anak dan anjing, undakan berikutnya dijaga sepasang kuda berhias, lalu badak yang juga berhias, kemudian singa yang berwajah manusia dan entah apa lagi yang pastinya memiliki makna dalam karena seperti biasanya, setiap patung penjaga itu memiliki kisahnya tersendiri.

Dan akhirnya saya berdiri di depan dua patung singa yang tampak menyolok namun janggal di tengah-tengah lapangan terbuka itu. Bertangga tetapi tidak ada apa-apa di belakangnya. Ada yang mengatakan bahwa sebelumnya terdapat kuil indah di belakangnya tetapi telah rata dengan tanah akibat gempa bumi puluhan tahun atau berabad sebelumnya. Namun mungkin yang lebih masuk akal, kedua patung singa itu memang sengaja dibuat sebagai penjaga sebelum memasuki kawasan istana dari arah Timur. Saya tidak tahu kebenarannya, tapi yang jelas keduanya sangat menarik! Lagi pula singanya seksi hehe…

Bhaktapur Durbar Square from Eastern Gate
Bhaktapur Durbar Square from Eastern Gate

Di sebelah Utara patung singa terdapat kuil Fasidega yang memiliki pelataran tinggi yang luas dengan bangunan berwarna putih di atasnya. Kuil yang didedikasikan untuk Dewa Shiva ini, memiliki undakan bertingkat yang masing-masing dijaga oleh pasangan gajah, singa dan sapi yang sangat keren. Dan di bagian dalam bangunan puncak terdapat sebuah lingga sebagai lambang Dewa Shiva. Sayangnya, bangunan yang berwarna putih telah runtuh dalam gempa April 2015 meninggalkan pelataran dan patung-patung penjaganya. Konon sebelum runtuh, kuil Fasidega ini dapat terlihat dari kuil Changu Narayan karena puncak putihnya (tetapi yang jelas saya tidak dapat melihatnya saat berada di Changu Narayan, karena bangunan serupa Kuil Fasidega itu tidak hanya satu!)

Kaki melangkah terus menyusuri jalan-jalan di Bhaktapur ditemani sore yang manis. Tanpa terasa saya telah melewati Tadhunchen Bahal yang kini menjadi tempat tinggal Dewi Kumari dari Bhaktapur, the little princess, the living goddess. Kali ini saya melewatkan tempatnya, bisa jadi melewatkan kesempatan berpandang mata, berbahasa kalbu dengannya. Tetapi tak ada penyesalan karena saya telah melakukannya dengan Dewi Kumari di Kathmandu.

Pashupatinath Temple
Pashupatinath Temple – Can you see the erotic panels?

Saya kembali kearah istana menyusuri beranda lorong kayu yang berukir melengkung dan berhenti di depan sebuah kuil tua di sebelah selatan dari Kuil Vatsala Durga. Terkenal dengan nama Kuil Pashupatinath, -karena menjadi replika kuil di Pashupatinath itu-, berdiri dengan megahnya. Kuil yang didirikan oleh Raja Yaksha Malla pada abad-15 ini didedikasikan untuk Dewa Shiva yang diperkuat dengan kehadiran arca Nandi di sebelah Barat, sang bhakta yang menjadi kendaraan setia Dewa Shiva. Kuil Hindu megah yang tertua di kawasan ini bernuansa Tantra sehingga terlihat jelas panel-panel erotis tanpa harus memanjangkan leher dan membelalakkan mata. Panel erotisΒ yang terpampang jelas di sekeliling kuil seakan memberi konfirmasi bahwa aktivitas seksual bukanlah hal yang tabu, bahkan konon lebih bersifat spiritual yang hakiki atas penyatuan jiwa manusia dengan alam semesta. Namun terlepas dari kebenarannya, faktanya adalah semua panel erotis berada di bagian luar kuil. Sebuah makna yang kebenarannya bisa diterima banyak orang, bahwa semua urusan keduniawian dan nafsu sudah seyogyanya ditanggalkan sebelum melakukan ibadah, sesederhana itu. Bukan begitu?

Nandi the Bull
Nandi the Bull

Langit Barat Bhaktapur semakin oranye, kembali saya melanjutkan langkah membiarkan diri ini get-lost diantara lorong-lorong sempit Bhaktapur. Alunan musik Om Mani Padme Hum terdengar samar dari dalam kios, berpadu harmonis dengan alunan Bhajan yang juga terdengar dari kios yang lain. Tak ada yang tersinggung bermuka garang, disini Hindu Buddha berdamping mesra, sama-sama mengalunkan musik puja dan puji, menawarkan damai bahagia…