Dalam salah satu perjalanan ke Nepal, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah situs suci yang tak jauh dari Kathmandu. Namanya Budhanilkantha, yang terletak di kaki Bukit Shivapuri, sekitar 10 km dari pusat kota Kathmandu. Tempat ini menarik karena letaknya di luar jalur turis asing sehingga aura tradisional lebih mengisi suasana tempat yang sebagian besar hanya didatangi oleh penduduk lokal.
Awalnya, saat pertama kali mendengar namanya yang mengandung kata Budha, saya mengira tempat ini merupakan situs suci umat Buddha. Apalagi di Nepal, kehidupan umat Buddha dan Hindu berjalan berdampingan secara harmonis. Tapi ternyata saya salah seratus persen karena Budhanilkantha sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama Buddha. Situs ini justru merupakan situs suci agama Hindu.

Jadi sebenarnya Budhanilkantha merupakan tempat pemujaan suci yang berisi patung Dewa Wisnu berbaring sebagai Narayan di atas gelungan ShesaNag (Naga/Ular kosmik berkepala banyak) yang berada di permukaan air kolam sepanjang 13 meter, seakan-akan air itu adalah lautan kosmik. Pahatan patung yang terbuat dari batu basalt utuh berwarna hitam ini merupakan pahatan terbesar dan terindah di seluruh Nepal. Uniknya, -dan cukup membingungkan-, konon patung dari batu basalt hitam itu dipercaya dibuat dari abad ke-7 atau 8 meskipun tempat asalnya tak pernah pasti. Bisa jadi, batu itu didatangkan dari luar Kathmandu Valley karena tak mungkin sebuah batu terpahat indah itu tiba-tiba muncul di tempatnya, kan?
Sore itu ketika sampai di Budhanilkantha, saya terpesona dengan keindahan pahatannya meskipun saya menyaksikan dari bagian luar pagar yang mengelilingi kolam (hanya mereka yang beragama Hindu dan akan melakukan persembahan atau pemujaan yang bisa menyentuh patung atau ke altar). Patung itu sungguh besar, sekitar 5 meter panjangnya, hampir mencapai setengah ukuran kolam yang panjangnya sekitar 13 meter. Sebuah payung segi empat berwarna kuning berumbai tampak menutupi tempat pemujaan itu dari hujan.
Patung Dewa Wisnu sebagai Narayan itu berbaring membujur ke arah Barat dengan kaki bersilang. Mahkotanya berwarna putih silver dipasangkan menindih mahkota asli hasil pahatan pada batu. Ke empat tangannya menggenggam semua benda perlambang kedewaannya. Cakra yang mewakili pikiran, cangkang keong laut yang mewakili empat elemen utama, bunga lotus membulat yang mewakili alam semesta yang terus bergerak dan gada yang mewakili pengetahuan purba. Dan sebagai pemuja setianya, SeshaNag atau kadang disebut juga Ananta Sesha, – sang Naga kosmik berkepala banyak-, menggelungkan tubuhnya menjadi tempat pembaringan Dewa Wisnu dan kepalanya yang berjumlah sebelas itu tampak memayungi kepala Dewa Wisnu. Selembar kain berwarna kuning menutupi tubuh patung Dewa Wisnu dengan berbagai rangkaian bunga marigold sebagai persembahan pemuja yang diletakkan diatasnya.


Tempat pemujaan ini memang keren, tetapi tidak bisa menghilangkan berbagai pertanyaan yang membingungkan di benak saya. Baiklah, ini bukan tempat suci Buddha, melainkan Hindu. Tetapi mengapa namanya Budhanilkantha? Apakah karena Buddha yang dipercaya oleh sebagian umat Hindu merupakan reinkarnasi Dewa Wisnu? Lalu mengapa di sini tempat pemujaan Dewa Wisnu dan bukan Dewa Siwa yang biasa dikenal sebagai Sang Nilakantha? Namanya sungguh membingungkan!
Ternyata, Budhanilkantha secara harfiahnya berarti “tenggorokan biru yang tua” (budha, -bukan buddha-, berarti tua) dan nilkantha (atau nilakantha, -sebuah gelar yang mengacu kepada Dewa Siwa-, telah disandangkan di tempat ini untuk Dewa Wisnu. Bisa jadi karena dalam banyak periode masyarakat Nepal merupakan pemuja Dewa Wisnu sebagai Dewa Utamanya.
Ternyata menarik juga untuk mengetahui legendanya, apalagi kalau sampai tambah membingungkan π π π
Mitos nilkantha atau tenggorokan biru Dewa Siwa merupakan kisah favorit di Nepal. Ingat dong kisah Samudra Manthana atau The churning of The Ocean of Milk, saat para dewa mengaduk lautan yang secara tidak sengaja mengeluarkan racun yang bisa menghancurkan dunia. Mereka memohon kepada Dewa Siwa untuk menyelamatkan dari kesalahan yang fatal ini, dan pada akhirnya Dewa Siwa menyanggupi dengan meminum racun itu. Dewa Siwa yang sangat kesakitan karena tenggorokannya terbakar oleh racun itu, pergi ke pegunungan di utara Kathmandu. Lalu dengan trisulanya, Dewa Siwa menghantam lereng gunung yang menghasilkan sebuah danau. Air dari danau itu, Danau Gosainkund, menjadi obat atau pendingin pada tenggorokannya sehingga penderitaannya berakhir kecuali sebuah bercak biru menghias di tenggorokannya (nilakantha).
Dan kaitana Budhanilkantha dengan mitos itu, ternyata air yang berada di kolam tempat Dewa Wisnu berbaring ini diyakini berasal dari Danau Gosainkund yang terletak di ketinggian 4380 mdpl itu (Danau suci ini merupakan salah satu pemandangan terindah jika melakukan Gosainkund trekking). Tetapi saya tak bisa mengabaikan, jarak Budhanilkantha dan Danau Gosainkund itu jauh sekali dan melewati bukit. Jadi bagaimana air Danau Gosainkund bisa sampai ke Budhanilkantha ya? Pemikiran yang mempertanyakan ini menambah kebingungan saja π π
Dan konon, image Dewa Siwa berbaring dapat disaksikan di bawah air saat festival tahunan Dewa Siwa! Meskipun ada legenda lain yang mengatakan bahwa patung Dewa Siwa yang serupa Dewa Wisnu ada di bagian bawah patung. Mana yang lebih bisa diterima akal? Tetapi yang pasti saya menelan saja dua legenda itu, daripada tambah bingung kan… π
Lalu ada lagi kisah asal patung Budhanilkantha….
Kisah versi pertama, konon, patung itu dipahat lalu dibawa (lagi-lagi tidak jelas, apakah oleh para pemuja Dewa Wisnu atau oleh para budak) ke tempat sekarang ini di Lembah Kathmandu, pada abad ke-7 ketika lembah Kathmandu di bawah kekuasaan raja dari wangsa Licchavi yaitu Bhimarjunadev.
Dan versi yang lain mengisahkan, seorang petani dan istrinya yang memiliki sebidang pertanian, suatu hari sedang mengolah tanah mereka termasuk mencangkul tanahnya. Tanpa sengaja alat yang digunakan mereka menumbuk sebuah batu yang diikuti oleh keluarnya darah dari tanah. Kegemparan itu bertambah karena akhirnya diketahui bahwa patung Dewa Budhanilkantha yang hilang telah ditemukan kembali lalu ditempatkan di lokasi yang seharusnya.
Jadi patung itu asalnya dari mana? Mungkin jawaban pastinya adalah… entahlah… π
Dan masih ada cerita yang agak klenik dan supranatural lho…
Raja-raja Nepal, terutama dari Dinasti Malla setelah abad ke-14 memulai klaim diri sebagai reinkarnasi dari Dewa Wisnu dan berlanjut terus. Bahkan di abad 17, Raja Pratap Malla yang konon memiliki kemampuan supranatural dan sering mendapatkan penglihatan, memberitakan sesuatu yang meyakinkan namun sedikit mengerikan, yaitu jika Raja Nepal mengunjungi kuil Budhanilkantha, maka setelah meninggalkan Budhanilkantha, kematian segera menyongsong! Serem banget kan??? Oleh karena itu, hingga berakhirnya penganugerahan gelar sebagai Raja, Raja Nepal yang beragama Hindu tidak pernah mengunjungi kuil Budhanilkantha tersebut, apapun alasannya. Daripada terlalu cepat mangkat padahal masih banyak yang harus dinikmati, mungkin begitu pemikirannya…
Hari semakin sore ketika saya selesai mengelilingi tempat pemujaan yang berpagar tembok sebagian itu. Pikiran saya melayang-layang. Sebagai tempat suci Hindu, apalagi dengan keutamaan Dewa Wisnu yang berbaring, tentu Budhanilkantha sangat ramai saat perayaan Haribodhini Ekadashi (yang merayakan kebangkitan Dewa Wisnu dari tidur panjangnya, yang biasa dirayakan antara bulan Oktober – November). Saya ingat keramaian itu yang pernah saya tulis di Nepal: Kalung Bunga Cinta di Haribodhini Ekadashi dan Nepal: Bertemu Guardian Angels di Changu Narayan. Jika kuil Changu Narayan sudah penuh sesak seperti itu, apalagi di Budhanilkantha ini!
Pelan-pelan saya tinggalkan Budhanilkantha, sebuah tempat pemujaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Buddha, lalu membawa pergi segala macam pertanyaan dalam benak. Tidak apa-apa sedikit bingung, tapi yang pasti Buddhanilkantha… checked! (pakai gaya bicara anak-anak sekarang) π π π
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Sreiβs Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-48 bertema Symbol agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.