Menitipkan Doa Pada Angin


Imlek sudah berlalu hampir sebulan dan tentunya Cap Gomeh pun sudah berlalu. Seperti ada yang hilang dari biasanya, suasana kemeriahan yang tak terdengar, tak banyak hiasan. Di mal tempat saya mengitari untuk jalan siang, juga tidak ada keriuhan barongsai yang di tahun-tahun sebelumnya selalu diadakan, juga tak banyak dan tak lama hiasan Imlek dipasang. Lagi pula pengunjung mal jauh lebih sedikit, mal terasa jauh lebih lengang. Suasana yang sama sejak setahun terakhir ini. Di banyak tempat terasa senyap. Nyata sekali Covid-19 mengubah semuanya.

Merah Oriental yang biasa menjadi tema warna Imlek hanya terlihat sebentar di toko-toko. Padahal warna itu secara tak langsung telah membawa semangat bagi yang melihatnya. Tak bisa membohongi diri bahwa saya juga merasakan kehilangan suasana itu. Menyaksikan kelengangan suasana, ada sejumput doa dan harapan yang otomatis keluar dari lubuk hati, semoga pandemi ini segera berlalu, yang terpapar penyakit ini bisa segera sembuh dan semua manusia dikaruniai kesehatan dan perlindungan.

Warna merah yang biasa menjadi dekorasi Imlek sering disebut sebagai Merah Oriental. Warna ini juga sering terlihat mendominasi vihara atau pagoda di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Setiap berkunjung ke klenteng atau vihara baik di Indonesia maupun di negeri-negeri jauh, saya terbiasa mengabadikan sisi merahnya yang pastinya ‘eye-catching‘.

Tetapi mengapa disebut Oriental?

Ternyata istilah Oriental itu ada sejarahnya sendiri. Dari berbagai sumber di internet diketahui bahwa Oriental merupakan sebutan untuk Timur, atau semua yang berkonotasi dengan dunia Timur, yang tentunya dilihat dari kacamata benua Eropa (kalau dunia Barat disebutnya Occident). Arah Timur merupakan tempat matahari terbit, -sesuai asal katanya dari bahasa Latin, Oriens, yang secara harfiah berarti Timur atau bisa juga naik (dalam artian matahari terbit). Secara geografis pengertian dunia Timur mencakup sebagian besar benua Asia, termasuk Asia Barat (yang berdekatan dengan Eropa), wilayah Timur Tengah, juga Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur atau sering juga disebut Timur Jauh.

Entah siapa yang menetapkan garis batas Timur dan Barat itu. Namun konon, istilah Oriens dimulai pada masa Kekaisaran Romawi merujuk kepada Kekaisaran Bizantium yang letaknya di sebelah Timur Kekaisaran Romawi (Kekaisaran Bizantium biasa disebut Romawi Timur). Aslinya garis batas ini berada di pantai Timur Semenanjung Italia yang berhadapan dengan Laut Adriatik namun dengan berjalannya waktu, sekitar 600M garis batas ini dipindah ke kota Roma yang menjadi pusat Kekaisaran Romawi.

Dalam perkembangannya, istilah Oriens atau Oriental, dihasilkan dari pemikiran orang Eropa, akhirnya memiliki konotasi yang diskriminatif ketika merujuk kepada kehidupan masyarakat modern di Asia Timur dan Asia Tenggara. Apalagi, definisi Oriental tidak persis tepat selama berabad-abad dan sesuai perjalanan waktu mengalami pergeseran makna.

Gemasnya, jika Oriental digunakan untuk negeri-negeri sebelah Timurnya Romawi sampai Timur Jauh, istilah kebalikannya Occident, -yang berasal dari kata Latin occidens dan berarti Barat yang merupakan tempat matahari terbenam, tidak digunakan lagi dalam bahasa Inggris, karena berkonotasi negatif dan seperti tidak mendukung “dunia Barat”. Diskriminatif kan?


Terlepas dari rasa diskriminatif itu, warna merah oriental yang biasa terlihat di negeri-negeri Timur sebenarnya memiliki makna harapan untuk bernasib baik, mendapatkan keberuntungan dan keberhasilan serta perlindungan dari semua yang buruk. Warna-warna yang eye-catching itu sebenarnya merupakan sebuah harapan dan doa! Jadi semakin banyak warna merah yang terlihat, maka semakin banyak doa dan harapan yang dilangitkan. Indah kan?

Dan tidak hanya berupa tiang-tiang, patung, guci, lilin-lilin, tempat kue maupun angpao yang berwarna merah. Ketika saya berkunjung ke Vihara Buddhagaya Watugong atau terkenal juga dengan nama Vihara Avalokitesvara yang ada di pinggir jalan utama kota Semarang, saya menyempatkan diri untuk berjalan di bawah pohon Boddhi yang ditanam di halaman vihara tersebut. Saya terpesona dengan pita-pita merah yang bertulisan doa dan harapan dan pita itu diikat di ranting-ranting pohon Boddhi, pohon yang melindungi Sang Buddha saat mendapatkan pencerahan

Prayers on the red ribbon which is tied to the Boddhi tree

Mungkin mereka yang mengikat pita-pita berisi doa ke ranting pohon Boddhi itu berharap doanya bisa dititipkan kepada angin agar sampai kepada Sang Pemilik Semesta. Dengan desir angin yang membuat ranting dan daun bergerak-gerak, pita-pita merah itu ikut melambai. Salah satu yang saya lihat tertulis dalam pita merah itu adalah semoga semua makhluk hidup dalam damai dan harmoni. Saya terhenyak juga, mereka yang mengikat pita merah itu juga berdoa untuk saya… Semoga dia pun hidup berbahagia, berkecukupan dan hidup damai sejahtera.

Menyaksikan pita-pita merah yang terikat pada ranting pohon, menerbangkan ingatan saya ke Nepal, sebuah negeri yang dihiasi barisan gunung-gunung tinggi Himalaya. Di banyak tempat, digantungkan bendera doa warna-warni yang terbuat dari kain. Salah satunya berwarna merah. Tak hanya di tempat-tempat ibadah, bendera doa juga digantungkan di jembatan suspension yang tinggi, juga di tempat-tempat pencapaian seperti puncak gunung atau base camp. Mungkin angin akan membawa doa dan harapan yang tercetak di bendera doa yang terdiri dari warna biru, putih, merah, hijau dan kuning, yang masing-masing mewakili lima elemen. Biru melambangkan langit dan angkasa, putih melambangkan udara dan angin, merah mewakili api, hijau mewakili air dan kuning melambangkan bumi.

Meskipun telah robek diterpa angin dan usia, bendera-bendera doa itu tetap berkibar menerbangkan doa dan harapan ke Alam Semesta. Sebuah keindahan yang hanya ada di Asia, di dunia Timur


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 3 dan bertema Oriental agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

D8 – Trekking Nepal – Berakhir Nyaman


Australian Camp.

Sore belum berakhir ketika kami check-in di hotel Gurans yang ada di kawasan yang lebih sering disebut dengan Australian Camp, yang meskipun namanya camp, tempat ini menyediakan banyak penginapan yang sangat nyaman daripada area untuk camping. Mungkin karena dekat dengan Pokhara, dan sering dijadikan destinasi untuk pengalaman one day trekking.

Hotel Gurans, Australian Camp

Sayang gumpalan awan menghias langit sehingga tak ada sunset indah hari itu, tetapi saya tak menyesal karena bisa menikmati istirahat sore yang teramat menyenangkan, bertukar pesan dengan keluarga tercinta, dengan teman-teman yang lain, melihat-lihat foto dan yang paling penting meluruskan badan yang telah semingguan dihajar trekking. Kenyamanan rebahan membuat tak ingin meninggalkan pembaringan hanya untuk makan malam. Memang sesuai kata orang bijak, berada di comfort zone itu memang berbahaya karena tak ada kemajuan, termasuk berleha-leha dan tak ingin beranjak pergi…

Tapi makan malam tetap harus berlangsung, karena kasihan juga pemandu kami yang sudah bersusah payah mengupayakan kenyamana selama liburan. Lagi pula kami semua telah membayar untuk makan dan tidur selama trekking. Sedikit malas, saya memilih legging hitam terakhir berbalut jacket untuk makan malam di malam terakhir trekking, karena esok kami sudah kembali ke peradaban kota. Obrolan tak berlangsung lama, karena mendadak Pak Ferry minta diri untuk beristirahat di kamarnya setelah makan malam. Tak biasanya beliau begitu, seketika saya menjadi kuatir. Ia merapatkan jaketnya sampai ke leher, tampak kedinginan padahal udara relatif tak dingin.

“Are you alright, Pak Ferry?”, tanya saya prihatin

Ia tak mau menampakkan meskipun saya merasakan keganjilan.

“Saya mau langsung istirahat saja ya mungkin hanya lelah”

Tak bisa menolak, saya menyaksikannya meninggalkan ruang makan untuk kembali ke kamar dengan sejumlah tanya di benak. Semoga ia baik-baik saja, celetuk saya kepada pemandu kami yang ikut meramaikan suasana makan malam itu meskipun hanya sedikit tamu hari itu. 

Apakah karena ia melakukan sejengkal trail-run dalam perjalanan tadi sehingga ia kelelahan sedemikian rupa? Tapi malam itu tak ada jawabannya dan saya membiarkan diri untuk menggantung pertanyaan itu di kepala.

Situasi setelah makan malam menjadi sedikit hambar, saya sendiri tak ingin berlama-lama di ruang makan itu. Masih teringat nyaman dan enaknya rebahan sambil bersantai sejak sore tadi. Akibatnya, saat malam belum terlalu larut saya sudah minta diri untuk berisitrahat. Mungkin baik jika saya beristirahat lebih awal karena siapa tahu sunrise esok pagi akan indah…


Esok hari saya bangun lebih cepat. Bukan apa-apa, saya senantiasa berharap mendapatkan sunrise yang indah. Saya melipat selimut hotel yang sama saja dengan hotel-hotel sebelumnya, cukup tebal untuk menahan udara dingin yang masuk melalui lubang-lubang ventilasi. Setelah urusan rutin pagi selesai, sambil mengenakan jaket, saya keluar kamar.

Pak Ferry rupanya bangun lebih pagi dan telah berdiri di pinggir halaman, menikmati pemandangan cantik. Saya melangkah menujunya, menyapa dan menanyakan kondisinya mengingat semalam tak terlihat cukup baik.

“Selamat Pagi Pak Ferry, Sudah lebih baik sekarang, Pak?”

Dia tersenyum lebar mengiyakan lalu menjelaskan kondisinya semalam. Karena ia sangat mengenal tubuhnya, semalam itu “berdering” alarm tubuh yang mengingatkan dirinya untuk beristirahat dan tentu saja ia mengikuti alarm tubuh itu. Terbukti pagi ini dia merasa lebih fit. Mendengar penjelasannya, saya berpikir tentang orang-orang yang belum mendengarkan alarm tubuh yang memang telah diset teramat baik oleh Sang Maha Pencipta. Ada banyak orang, -mungkin juga termasuk saya-, yang mengabaikan alarm ini, menganggap badannya kuat padahal belum tentu sesehat yang diduga. Alarm tubuh ini mengingatkan untuk beristirahat, untuk keseimbangan tubuh dan mentalnya. Alarm tubuh yang sama, juga mampu mengingatkan pemilik tubuh untuk bergerak dinamis dan bukan hanya berdiam diri atau senantiasa rebahan. Mendadak saya merasa malu, karena lebih sering mengikuti keinginan tubuh untuk rebahan daripada bergerak meskipun alarm sudah berdenting.

Meskipun demikian, saya merasa lega dengan membaiknya Pak Ferry. Pagi itu bersisian kami terpukau dengan pemandangan pagi itu. Udara di Australian Camp masih berkabut tetapi Mt. Annapurna South (7219m) tampil dengan keindahannya dan seakan menyambung dengan punggung bukit yang rata menuju Mt. Hiunchuli (6440m). Puncak-puncaknya yang bersalju tampil lebih terang diterpa sinar matahari yang masih bersembunyi di bawah horison. Di sebelah kanannya, terpisah oleh lembah yang dalam, gunung favorit saya, Mt. Macchapucchre (6993m) si Ekor Ikan menjulang, meski puncaknya yang seperti ekor ikan itu belum terkena sinar matahari pagi. Dan sebagai pelengkap lukisan pagi itu, pohon-pohon hijau menjadi hiasan latar depan. Saya terpana, meskipun telah berhari-hari menikmati pemandangan indah, tetap saja saya terpukau dan langsung mengucap syukur kepada Pemilik Semesta telah diberi kesempatan menyaksikan pemandangan alam yang begitu indah.

View at early morning

Berada di Australian Camp dengan pemandangan indah ini membuat saya teringat kisah asal muasal namanya menjadi Australian Camp. Aslinya desa ini adalah Thulo Kharka yang artinya padang rumput yang luas karena memang dulu tempat ini menjadi tempat penggembalaan hewan-hewan domestik seperti kerbau dari desa Dhampus dan desa-desa sekitarnya. Uniknya, tempat yang memiliki padang rumput yang luas ini kurang dikenal oleh trekker hingga awal tahun 90-an, sementara berjarak hanya sekitar 15 menit berjalan dari sini, yaitu desa Phedi, Pothana, Landruk menjadi desa-desa populer yang masuk dalam jalur trekking menuju Chhomrong jika akan melakukan Annapurna Sanctuary Trek atau Annapurna Base Camp Trekking

Konon di akhir tahun 80-an, ada pengunjung dari Austria datang ke tempat yang memberikan kesan indah begitu dalam ini sehingga mereka mendirikan kemah selama beberapa hari. Bagi mereka tempat ini begitu damai dan tenang menghamparkan keindahan pemandangan gunung-gunung Himalaya. Kesan indah itu mulai menjadi pembicaraan di kalangan trekkers dan mereka menyebutkan tempat ini sebagai Austrian Camp. Sayangnya, Austrian Camp cukup sulit dilafalkan oleh penduduk Nepal dan bagi mereka lebih mudah menyebutkan Australian Camp. Sejak itu, padang rumput yang luas yang dikenal penduduk desa dengan nama Thulo Kharka memiliki nama baru dengan nama sebutan Australian Camp.

Sunrise at Australian Camp, Nepal

Keindahan yang disaksikan pengunjung awal Thulo Kharka bukan sembarang isapan jempol karena memang pemandangannya teramat indah. Pesona sinar matahari menerpa puncak-puncak gunung yang ditutupi salju abadi bahkan sebelum matahari muncul di horison membuktikan semua keindahan Alam Semesta. Lukisan pagi itu yang diwarnai warna kuning keemasan menggantikan warna biru gelap di belahan langit Timur. Lalu perlahan tapi pasti bulatan besar Sang Surya mulai memperlihatkan dirinya di Ufuk Timur. Di tempat saya berdiri, tak ada yang bicara kecuali suara-suara shutter camera yang tak putus. Pak Ferry terdiam mengabadikan. Kami terpesona dengan apa yang terhampar di depan mata.

Rasanya tak ingin melepas pagi yang mempesona itu namun panggilan pemandu kami dari arah belakang membuat kami menoleh. Sepertinya sarapan di tanah lapang itu telah siap. Wow… It’s a wonderful breakfast with a view! Sinar matahari yang lembut menambah kenikmatan sarapan di tempat terbuka itu. Pak Ferry sudah kembali seperti semula, mencoba melhap sarapan gaya lokal di tempat itu, sementara saya tetap konservatif dengan roti dan teman-temannya.

Breakfast with a view
Australian Camp

Selepas sarapan, saya ingin menikmati Australian Camp dengan lebih santai. Saya melangkah menuju tempat ayunan yang saat itu sudah tak digunakan. Rasanya ingin kembali ke masa anak-anak, saat bermain ayunan untuk menaikkan mood atau hanya sekedar ingin menikmati kenyamanan. Mengayun ke depan, seakan saya terbang ke pelukan gunung-gunung berpuncak salju itu lalu seakan bermain, ayunan itu kembali tertolak ke belakang, membiarkan pelukan gunung-gunung melepas saya kembali. Demikian berulang berkali-kali, seakan bermain dengan gunung-gunung Himalaya. Sejatinya, saya menikmati setiap ayunan yang membahagiakan di Australian Camp ini. Nyaman dan tenteram, tak ada beban.

Berat rasanya meninggalkan suasana Australian Camp yang tenteram dengan pemandangan gunung berpuncak salju ini. Suatu tempat yang tak mudah dicapai, -hanya dengan berjam dan bermenit-menit jalan kaki-, tetapi mampu menambahkan energi hidup. Berada di tempat yang tidak terlalu tinggi ini, saya memanfaatkan benar arti kenyamanan di Australian Camp. Inilah liburan yang sesungguhnya, sebanyak-banyaknya menyerap keindahan sebagai kenangan tak terlupakan, merekam semua pengalaman yang menenteramkan sebagai bekal nanti saat kembali ke dunia perkantoran.

Lalu sebagaimana pepatah lama berkata, waktu adalah hakim yang konsisten, setiap ada perjumpaan, sang waktu pasti akan mengakhirkan. Demikian juga kami yang tak ingin berpisah dengan pemandangan indah di depan mata, pemandangan gunung-gunung salju yang memberi kesan teramat dalam. Waktunya telah datang, kami harus melangkah lagi untuk kembali ke Pokhara. Selamat tinggal jalan setapak yang telah memberi kenangan indah…

Dan saat berjalan sendiri, saya seperti terus diingatkan alasan saya melakukan trekking ke Nepal. Saya teringat tentang Annapurna Base Camp. Rasa itu begitu kuat membuat saya menggigil meski udara tak dingin. Saya memang kembali ke Pokhara, tetapi perjalanan ini belum selesai…

Way Back to Pokhara

Catatan. Tulisan ini dibuat untuk melanjutkan kisah trekking di Nepal sekaligus menjawab tantangan tahun 2021 bulan Februari no. 2 bertema Comfortable

D7-Trekking Nepal – Berita Baik


Jika belum baca cerita trekking sebelumnya, bisa baca di sini D6-Trekking Nepal – Di Simpang Jalan

Tidak terasa sudah seminggu kurang sehari kami sudah berkeliaran naik turun di perbukitan tinggi yang masuk ke dalam Area Konservasi Annapurna. Negeri ini memang ‘gila’ soal kontur bumi. Tidak usah heranlah, di negeri ini ada 8 gunung yang memiliki ketinggian di atas 8000 mdpl yang mengisi ranking gunung-gunung tertinggi dunia. Dengan kondisi demikian, jelas juga kalau yang namanya perbukitan di Nepal yang amat banyak itu, bisa memiliki ketinggian di atas 3000 meter di atas permukaan laut! Sehingga saat berada di Landruk yang memiliki ketinggian sekitar 1600 mdpl, saya merasa sudah berada di “dataran rendah”. Padahal jika berada di Indonesia, sudah termasuk tinggi juga.

Morning view at Landruk, Nepal

Kamar saya yang luas dan menghadap lembah dengan taman cantik sebenarnya menyenangkan tetapi saat itu saya lebih memilih untuk bersantai di kamar sebelum menikmati mandi yang paling enak sedunia (setelah berkeringat sepanjang hari). Lagipula update status lebih menyenangkan 😀 😀 😀

Kami berkumpul lagi saat makan malam. Saat itu kami berempat merupakan tamu satu-satunya di penginapan, bisa jadi karena trekkers lebih banyak memilih rute lain daripada Landruk atau sudah tak menjadikan Landruk sebagai tempat menginap karena berjalan sedikit lagi sudah bisa mencapai tempat jeep untuk kembali ke Pokhara.

Karena kangen, saya buka WA keluarga. Apa yang tampil di layar membuat saya menjerit kecil. Yaaaayyyy…. Alhamdulillah… Pak Ferry dan Dipak langsung mengangkat kepala dari ponsel mereka masing-masing, menunggu…

Melupakan Dipak yang tak memahami bahasa Indonesia, saya langsung berkata dalam bahasa ibu,

“Anakku diterima di SNMPTN”

Pak Ferry tersenyum lebar dan langsung menyorongkan tangan, memberi selamat

“Selamat ya mba…”

Saya yang teramat gembira, langsung menghubungi yang tercinta jauh di seberang lautan itu, melupakan kawan-kawan yang sedang menunggu datangnya makanan. Sayup terdengar Pak Ferry menjelaskan alasan mengapa saya berbahagia itu kepada Dipak.

Berita gembira itu benar-benar membahagiakan saya, terbayang wajah anak saya yang selama ini belajar tanpa henti mengikuti bimbingan baik di sekolah maupun di luar sekolah agar bisa melanjutkan pendidikan tinggi. Awalnya ia memilih jurusan komunikasi namun sekolahnya menyarankan agar ia mengambil jurusan Psikologi. Dan berdasarkan sejarah tahun-tahun sebelumnya, rekomendasi dari sekolahnya selalu lolos seleksi. Tak dinyana, berdasarkan hasil report sekolahnya, dia berhasil diterima di pilihan jurusannya berdasarkan undangan. Alhamdulillah, Allah Pemilik Semesta menghadiahkan sebuah berita gembira di saat saya rindu mereka.


Keesokan paginya, gunung berpuncak salju itu berhias awan, seakan-akan tak ingin bersaing memenangkan rasa sukacita yang masih membalut saya karena ada berita gembira dari tanah air. Saya tak merasa bersalah karena tak banyak mengabadikan gunung berhias awan itu. Lagipula kami harus cepat bersiap-siap.

Meninggalkan penginapan dengan formasi yang sama, Kedar di paling depan, pak Ferry menyusul di belakangnya lalu saya dan Dipak. Belum apa-apa jalan sudah menanjak membuat semangat langsung mengendur apalagi jalan ini menuju berakhirnya trekking. Masih 1 malam menginap di Australian Camp sebelum kembali ke Pokhara.

Seperti biasa, saya mengalihkan jalan menanjak itu dengan menikmati pemandangan di kiri kanan jalan. Sayangnya hanya ada sepasang kerbau yang memenuhi kandang. Seandainya mereka bisa berpikir, mungkin mereka akan menilai saya sebagai manusia yang manja karena berjalan lambat dengan nafas yang sudah terengah padahal masih baru start dan hanya menggendong daypack. Saya melangkah pelan sambil mengomel dalam hati, mengapa yang namanya pulang dari gunung itu harus naik perbukitan yang tingginya gak kira-kira?

Menuju tempat yang lebih rendah ketinggiannya, sinar matahari semakin terasa memanggang apalagi pemandangan tak lagi memanjakan mata. Yang tampak hanyalah jalan berkelok menyusuri punggung bukit. Langkah saya melambat bukan karena jalan menanjak melainkan panas yang membuat keringat mengucur hebat. Untung saja, saya bertemu rombongan kambing yang digembalakan oleh seorang ibu. Rombongan hewan yang jumlahnya sekitar dua puluh itu memberikan kesan tersendiri. Bahkan di saat suasana terik yang memanggang jalan tanah berkerikil dengan tebing dan jurang, rombongan yang punya bau yang khas itu, -bau kambing-, bisa menyenangkan hati. Menyadari hawa panas, Dipak mengajak saja melanjutkan perjalanan sambil mengatakan tempat istirahat sudah dekat dan ada minuman segar di sana.

Herd of Goats, Landruk, Nepal

Benar, setelah beberapa waktu, saya melihat pak Ferry dan Kedar sedang duduk istirahat. Di dekatnya ada warung yang menjual lemonade yang langsung saja saya pesan. Meskipun agak lebay, saya merasa seperti sedang jalan di gurun yang membuat dahaga luar biasa, dan minum lemonade itu rasanya seperti memiliki surga dunia 😀 Segarnya langsung terasa dan memberi efek semangat ke badan (meskipun saya harus hati-hati karena teringat jaman dulu saat panas-panas dan kehausan, minum cocacola dingin membuat suara saya langsung hilang!).

Setelah meneguk habis minuman yang membuat yang ‘lupa diri‘ itu, baru kemudian saya pelan-pelan menikmati isi gelas kedua dan membiarkan seluruh rongga mulut menyesapnya. Seteguk dua teguk, mata saya tertarik dengan pemandangan di bukit seberang yang dibatasi oleh lembah yang luas. Bukit itu seperti digaris-garis miring seperti simbol kilat yang berulang.

Road to Ghandruk, viewed from Landruk
Closer : Dangerous road to Ghandruk and Matkyu

What’s that?“, akhirnya pertanyaan yang muncul di benak saya terlontar juga kepada Dipak

New Road“, jawabnya santai setelah memperhatikan apa yang saya tunjuk.

To Ghandruk?”

Dipak mengangguk singkat, seperti tak berkenan. Mungkin ia tak suka jalur-jalur trekking di pegunungan Himalaya berubah menjadi jalan mobil atau bus karena berdampak langsung terhadap pekerjaannya sebagai seorang pemandu trekking (dan setelah dua tahun baru saya menyadari bahwa jalan yang saya lihat itu merupakan jalan jeep atau bus dari Nayapool ke Matkyu, -sebuah desa kecil setelah Ghandruk-, yang bisa menghemat sehari untuk ke Annapurna Base Camp karena cukup sehari untuk mencapai Chhomrong dari yang biasanya dua hari)

Tanpa sadar saya mengangkat bahu, merasa jeri. Teringat perjalanan menuju Hille (baca disini Nepal – Trekking Hari Pertama Menuju Ulleri) dengan insiden yang cukup mengerikan, roda jeep terjebak dalam kubangan di jalan sempit, dengan jurang dalam di kiri dan tebing tinggi di kanan. Jalan menuju Ghandruk itu pasti tak jauh beda. Entahlah, semoga suatu saat nanti saya bisa melakukan trekking lagi ke ABC yang mungkin saja akan melewati jalan itu

Lemonade saya sudah tinggal sedikit, dengan sekali teguk gelas minuman dari kaca itu menjadi kosong. Tapi semangat melanjutkan perjalanan muncul segera. Australian Camp, -destinasi hari itu-, sedang menanti kami.

Langkah saya belum terlalu banyak ketika kegilaan trekking dimulai. Pak Ferry mengajak Dipak lari di gunung. What? Di ketinggian ini, mau trail-run? Keduanya tertawa-tawa tapi bukan berarti tak menjalankan. Saya menjadi saksi mereka berdua seperti boys yang tak mau kalah. Meski bukan lari sprint, mereka berdua benar-benar lari sambil memanggul ransel. Tak jauh memang, tetapi bagi saya, -yang jalan saja melelahkan apalagi lari-, mereka sudah “tidak waras”. Di batas kelokan jalan, mereka tertawa-tawa puas sambil menunggu saya yang datang dengan geleng-geleng kepala. Sambil tertawa-tawa, pak Ferry mengatakan bahwa saya boleh memberitakan ‘kegilaan’ mereka melakukan sepenggal Himalaya trail-run.

Wanna run here?

Kadang-kadang saya tak habis pikir, jika urusannya sudah tantang menantang, pria-pria yang tak muda lagi dan sudah berbuntut banyak itu bisa lupa diri dan kembali dengan jiwa mereka yang masih boyish. Tetapi dengan menyaksikan itu, kok saya jadi merasa tua banget yaa… 😀 😀 😀

Siang itu, setelah makan siang yang lagi-lagi dal bhat atau mie instan yang hambar (saya kangen sekali indomie kalau saya makan mie instan di Nepal), saya sempat membeli selembar rok lilit panjang berwarna biru di kios souvenir yang sederhana. Rok lilit itu serupa kain yang ada talinya di bagian atas sehingga tinggal dipakai seperti kain lalu diikat di pinggang. Entah kenapa, mungkin saya merasa iba dengan bapak tua penjualnya sekaligus saya merasa begitu familiar dengan motif bahan rok itu sehingga saya memilihnya (dan keesokan paginya di kamar penginapan di Australian Camp, saya tertawa ngakak sendirian di kamar, karena di pinggir rok panjang lilit yang saya beli itu bertuliskan “Batik Halus Royal Peach by Legenda Mas”. Pagi itu sambil tertawa sendiri, saya menyadari alasan memilih rok panjang itu. Rupanya pikiran bawah sadar saya memilih motif megamendung yang sudah dikenal lama di dunia perbatikan. Tapi siapa sih yang akan berpikir ada kios yang menjual kain batik Indonesia dengan motif megamendung di desa nun jauh di sana, di sudut terpencil bukit di Nepal? Bukan di Kathmandu sebagai ibukotanya, bukan juga di Pokhara, kota terdekatnya, bukan di desa terbesar di jalur trekking, melainkan di kios sangat sederhana di gunung!)

Batik Megamendung from Indonesia bought in Nepal 😀

Nantinya, saya akan sangat mensyukuri telah membeli rok lilit panjang yang ternyata bertuliskan “Batik Halus Royal Peach by Legenda Mas” di tempat antah berantah yang nun jauh di sana dan tak terduga itu, karena bagi saya hal itu bukanlah sebuah kebetulan. Tapiiii, entahlah… yang pasti kain itu hanya satu dan saya seperti dituntun untuk berjalan ke kios yang sederhana itu dan melihat motif itu! Bagi yang mengenal saya pasti tahu, saya paling malas belanja, apalagi souvenir.

Kaki kami terus menapaki jalan yang menanjak landai atau sering disebut “Nepali flat” (nanjak “sedikit” bagi warga Nepal masih dalam kategori rata) 😀 hingga saya melihat sebuah suspension bridge pendek yang sudah sangat rapuh, kayunya lapuk, lubang di sana-sini dan baja-bajanya sudah termakan karat. Jembatan itu sudah tidak dipergunakan lagi karena ada jalan yang sedikit memutar (mending memutar daripada ambrol ke bawah!). Tapi bagi saya, jembatan itu keren sekali.

Old Bridge

Setelah berfoto sejenak dengan latar belakang jembatan, Dipak mengajak agak bergegas karena kami harus mendaki bukit lagi sementara cuaca mulai mendung. Semangat saya langsung surut dengan kenyataan yang ada di depan itu. Saya mulai lagi berjalan menghitung sepuluh langkah dalam bahasa Nepal, ek, dui, tin, char, panch, cha, sat, ath, nau, das… atau kadang ganti menggunakan bahasa leluhur saya, een, twee, drie, vier, vijf, zes, zeven, acht, negen, tien. Atau menyeberang sedikit ke Jerman dan kalau lagi “kumat” ya, pakai bahasa Khmer meski hafalnya sampai lima saja moui, phi, bai, boun, pram 😀

Sampai di puncak bukit tersedia semacam shelter sehingga kami bisa beristirahat sejenak. Dari tempat itu, Dipak memberitahu bahwa lagi-lagi di arah ABC cuacanya tak begitu baik karena salju telah turun di bawah ketinggian biasanya. Itu tak biasa. Saya terdiam mengucap syukur dalam hati, batalnya kami untuk melanjutkan trekking ke arah Base Camp bisa jadi karena mendapat perlindungan dari sesuatu yang tidak menyenangkan. Hanya beberapa menit, pemandangan gunung bersalju itu telah hilang berganti dengan awan hujan kelabu.

Sebenarnya di tempat kami belum hujan, tetapi Dipak menyarankan agar menunggu hingga hujannya lewat. Benarlah, tak berapa lama hujannya sampai di shelter itu dan turun sangat lebat. Kami menunggu sampai hujan berhenti, sementara ada beberapa trekkers lain melanjutkan perjalanan menembus hujan.

Matahari langsung bersinar ketika hujan berhenti. Kami melanjutkan perjalanan. kali ini lebih menyenangkan karena landai dan teduh. Seperti jalan di Taman Nasional, tak ada target, kecuali menikmati perjalanan dalam liburan.

Beautiful View on the way to Australian Camp

Hari masih sore ketika kami sampai di checkpoint di Lwang, sebelum akhirnya menjejak Australian Camp. Meskipun namanya camp, tetapi di tempat ini lebih banyak menyediakan penginapan yang nyaman daripada area untuk camping.

Australian Camp, tempat yang mudah dicapai dari Pokhara dan sering dijadikan destinasi untuk pengalaman trekking sehari di Nepal. Ada yang pernah ke sini juga?

Bersambung…


Catatan. Tulisan ini dibuat untuk melanjutkan kisah trekking di Nepal sekaligus menjawab tantangan mingguan tahun 2020 minggu ke-50 bertema News

Sedikit Bingung di Budhanilkantha


Dalam salah satu perjalanan ke Nepal, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi sebuah situs suci yang tak jauh dari Kathmandu. Namanya Budhanilkantha, yang terletak di kaki Bukit Shivapuri, sekitar 10 km dari pusat kota Kathmandu. Tempat ini menarik karena letaknya di luar jalur turis asing sehingga aura tradisional lebih mengisi suasana tempat yang sebagian besar hanya didatangi oleh penduduk lokal.

Awalnya, saat pertama kali mendengar namanya yang mengandung kata Budha, saya mengira tempat ini merupakan situs suci umat Buddha. Apalagi di Nepal, kehidupan umat Buddha dan Hindu berjalan berdampingan secara harmonis. Tapi ternyata saya salah seratus persen karena Budhanilkantha sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama Buddha. Situs ini justru merupakan situs suci agama Hindu.

Budhanilkantha

Jadi sebenarnya Budhanilkantha merupakan tempat pemujaan suci yang berisi patung Dewa Wisnu berbaring sebagai Narayan di atas gelungan ShesaNag (Naga/Ular kosmik berkepala banyak) yang berada di permukaan air kolam sepanjang 13 meter, seakan-akan air itu adalah lautan kosmik. Pahatan patung yang terbuat dari batu basalt utuh berwarna hitam ini merupakan pahatan terbesar dan terindah di seluruh Nepal. Uniknya, -dan cukup membingungkan-, konon patung dari batu basalt hitam itu dipercaya dibuat dari abad ke-7 atau 8 meskipun tempat asalnya tak pernah pasti. Bisa jadi, batu itu didatangkan dari luar Kathmandu Valley karena tak mungkin sebuah batu terpahat indah itu tiba-tiba muncul di tempatnya, kan?

Sore itu ketika sampai di Budhanilkantha, saya terpesona dengan keindahan pahatannya meskipun saya menyaksikan dari bagian luar pagar yang mengelilingi kolam (hanya mereka yang beragama Hindu dan akan melakukan persembahan atau pemujaan yang bisa menyentuh patung atau ke altar). Patung itu sungguh besar, sekitar 5 meter panjangnya, hampir mencapai setengah ukuran kolam yang panjangnya sekitar 13 meter. Sebuah payung segi empat berwarna kuning berumbai tampak menutupi tempat pemujaan itu dari hujan.

Patung Dewa Wisnu sebagai Narayan itu berbaring membujur ke arah Barat dengan kaki bersilang. Mahkotanya berwarna putih silver dipasangkan menindih mahkota asli hasil pahatan pada batu. Ke empat tangannya menggenggam semua benda perlambang kedewaannya. Cakra yang mewakili pikiran, cangkang keong laut yang mewakili empat elemen utama, bunga lotus membulat yang mewakili alam semesta yang terus bergerak dan gada yang mewakili pengetahuan purba. Dan sebagai pemuja setianya, SeshaNag atau kadang disebut juga Ananta Sesha, – sang Naga kosmik berkepala banyak-, menggelungkan tubuhnya menjadi tempat pembaringan Dewa Wisnu dan kepalanya yang berjumlah sebelas itu tampak memayungi kepala Dewa Wisnu. Selembar kain berwarna kuning menutupi tubuh patung Dewa Wisnu dengan berbagai rangkaian bunga marigold sebagai persembahan pemuja yang diletakkan diatasnya.

Sleeping Vishnu on Ananta Shesha
Budhanilkantha, from diffent angle

Tempat pemujaan ini memang keren, tetapi tidak bisa menghilangkan berbagai pertanyaan yang membingungkan di benak saya. Baiklah, ini bukan tempat suci Buddha, melainkan Hindu. Tetapi mengapa namanya Budhanilkantha? Apakah karena Buddha yang dipercaya oleh sebagian umat Hindu merupakan reinkarnasi Dewa Wisnu? Lalu mengapa di sini tempat pemujaan Dewa Wisnu dan bukan Dewa Siwa yang biasa dikenal sebagai Sang Nilakantha? Namanya sungguh membingungkan!

Ternyata, Budhanilkantha secara harfiahnya berarti “tenggorokan biru yang tua” (budha, -bukan buddha-, berarti tua) dan nilkantha (atau nilakantha, -sebuah gelar yang mengacu kepada Dewa Siwa-, telah disandangkan di tempat ini untuk Dewa Wisnu. Bisa jadi karena dalam banyak periode masyarakat Nepal merupakan pemuja Dewa Wisnu sebagai Dewa Utamanya.

Ternyata menarik juga untuk mengetahui legendanya, apalagi kalau sampai tambah membingungkan 😀 😀 😀

Mitos nilkantha atau tenggorokan biru Dewa Siwa merupakan kisah favorit di Nepal. Ingat dong kisah Samudra Manthana atau The churning of The Ocean of Milk, saat para dewa mengaduk lautan yang secara tidak sengaja mengeluarkan racun yang bisa menghancurkan dunia. Mereka memohon kepada Dewa Siwa untuk menyelamatkan dari kesalahan yang fatal ini, dan pada akhirnya Dewa Siwa menyanggupi dengan meminum racun itu. Dewa Siwa yang sangat kesakitan karena tenggorokannya terbakar oleh racun itu, pergi ke pegunungan di utara Kathmandu. Lalu dengan trisulanya, Dewa Siwa menghantam lereng gunung yang menghasilkan sebuah danau. Air dari danau itu, Danau Gosainkund, menjadi obat atau pendingin pada tenggorokannya sehingga penderitaannya berakhir kecuali sebuah bercak biru menghias di tenggorokannya (nilakantha).

Dan kaitana Budhanilkantha dengan mitos itu, ternyata air yang berada di kolam tempat Dewa Wisnu berbaring ini diyakini berasal dari Danau Gosainkund yang terletak di ketinggian 4380 mdpl itu (Danau suci ini merupakan salah satu pemandangan terindah jika melakukan Gosainkund trekking). Tetapi saya tak bisa mengabaikan, jarak Budhanilkantha dan Danau Gosainkund itu jauh sekali dan melewati bukit. Jadi bagaimana air Danau Gosainkund bisa sampai ke Budhanilkantha ya? Pemikiran yang mempertanyakan ini menambah kebingungan saja 😀 😀

Dan konon, image Dewa Siwa berbaring dapat disaksikan di bawah air saat festival tahunan Dewa Siwa! Meskipun ada legenda lain yang mengatakan bahwa patung Dewa Siwa yang serupa Dewa Wisnu ada di bagian bawah patung. Mana yang lebih bisa diterima akal? Tetapi yang pasti saya menelan saja dua legenda itu, daripada tambah bingung kan… 🙂

Lalu ada lagi kisah asal patung Budhanilkantha….

Kisah versi pertama, konon, patung itu dipahat lalu dibawa (lagi-lagi tidak jelas, apakah oleh para pemuja Dewa Wisnu atau oleh para budak) ke tempat sekarang ini di Lembah Kathmandu, pada abad ke-7 ketika lembah Kathmandu di bawah kekuasaan raja dari wangsa Licchavi yaitu Bhimarjunadev.

Dan versi yang lain mengisahkan, seorang petani dan istrinya yang memiliki sebidang pertanian, suatu hari sedang mengolah tanah mereka termasuk mencangkul tanahnya. Tanpa sengaja alat yang digunakan mereka menumbuk sebuah batu yang diikuti oleh keluarnya darah dari tanah. Kegemparan itu bertambah karena akhirnya diketahui bahwa patung Dewa Budhanilkantha yang hilang telah ditemukan kembali lalu ditempatkan di lokasi yang seharusnya.

Jadi patung itu asalnya dari mana? Mungkin jawaban pastinya adalah… entahlah… 😀

Dan masih ada cerita yang agak klenik dan supranatural lho…

Raja-raja Nepal, terutama dari Dinasti Malla setelah abad ke-14 memulai klaim diri sebagai reinkarnasi dari Dewa Wisnu dan berlanjut terus. Bahkan di abad 17, Raja Pratap Malla yang konon memiliki kemampuan supranatural dan sering mendapatkan penglihatan, memberitakan sesuatu yang meyakinkan namun sedikit mengerikan, yaitu jika Raja Nepal mengunjungi kuil Budhanilkantha, maka setelah meninggalkan Budhanilkantha, kematian segera menyongsong! Serem banget kan??? Oleh karena itu, hingga berakhirnya penganugerahan gelar sebagai Raja, Raja Nepal yang beragama Hindu tidak pernah mengunjungi kuil Budhanilkantha tersebut, apapun alasannya. Daripada terlalu cepat mangkat padahal masih banyak yang harus dinikmati, mungkin begitu pemikirannya…

Hari semakin sore ketika saya selesai mengelilingi tempat pemujaan yang berpagar tembok sebagian itu. Pikiran saya melayang-layang. Sebagai tempat suci Hindu, apalagi dengan keutamaan Dewa Wisnu yang berbaring, tentu Budhanilkantha sangat ramai saat perayaan Haribodhini Ekadashi (yang merayakan kebangkitan Dewa Wisnu dari tidur panjangnya, yang biasa dirayakan antara bulan Oktober – November). Saya ingat keramaian itu yang pernah saya tulis di Nepal: Kalung Bunga Cinta di Haribodhini Ekadashi dan Nepal: Bertemu Guardian Angels di Changu Narayan. Jika kuil Changu Narayan sudah penuh sesak seperti itu, apalagi di Budhanilkantha ini!

Pelan-pelan saya tinggalkan Budhanilkantha, sebuah tempat pemujaan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Buddha, lalu membawa pergi segala macam pertanyaan dalam benak. Tidak apa-apa sedikit bingung, tapi yang pasti Buddhanilkantha… checked! (pakai gaya bicara anak-anak sekarang) 😀 😀 😀


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-48 bertema Symbol agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Bersama Berbagi Jalan


Awal November 2014

Rupanya delay penerbangan dari Kathmandu ke Pokhara ketika saya melakukan perjalanan pertama kali ke Nepal di tahun 2014, memberi sebuah kebaikan. Saya jadi lebih memperhatikan rombongan trekkers yang siap trekking, lengkap dengan celana dan sepatu boot yang keren. Saat itu, tentu saja trekking bukan pilihan saya untuk berlibur di Nepal, karena saya tahu diri dengan fisik yang tak terlatih. Meskipun demikian, saya selalu terpesona dengan penampilan para trekkers itu. Sepertinya keren sekali!

Tetapi siapa sangka, ketidakyakinan akan kekuatan diri itu justru bertindak sebaliknya. Karena dua tahun setelah perjalanan pertama ke Nepal, saya mulai mencari informasi mengenai trekking di Nepal, termasuk mencari teman seperjalanan. Meski saya tahu ada banyak orang melakukan solo-trekking di Nepal, bagi saya hal itu bukan opsi untuk pengalaman pertama. Akan lebih baik saya berjalan dalam kelompok apalagi saya bukan pendaki.

Dan dari informasi yang tersebar di internet, saya juga mengetahui mengenai rombongan hewan yang sering ditemui oleh para trekkers di sepanjang jalur trekking. Sepertinya menyenangkan sekali berbagi tawa dan rasa ingin tahu bersama teman-temen serombongan ketika bertemu dengan rombongan hewan itu. Itulah salah satu imajinasi saya tentang trekking di gunung-gunung tinggi Himalaya. Sebahagia itukah jika saya trekking?


Minggu ketiga April 2017

Saya kembali ke Kathmandu, kali ini untuk tujuan trekking. Namun dalam perjalanan kali ini saya tak sendiri, melainkan bersama seorang teman. Impian bisa trekking dalam rombongan yang lebih banyak anggotanya belum bisa terwujud. Meskipun demikian, saya masih bersyukur masih ada yang berkenan bergabung dengan saya, -yang pastinya secara fisik paling tidak kuat dan paling lambat-, untuk trekking di Himalaya.

Kawan saya itu, -saya memanggilnya Pak Ferry-, bergabung bersama saya untuk trekking ke Himalaya juga sesuatu yang tiba-tiba. Sore itu entah angin apa yang membawanya, tiba-tiba saja dia menanyakan kemungkinan jalan ke Nepal (Dia tahu saya pernah ke Nepal). Satu pertanyaan yang membuat saya terkejut saat itu karena sesungguhnya saya sedang mencari teman jalan ke Nepal. Inikah yang namanya Law of Attraction? Tak perlu banyak pertimbangan lagi untuk mengambil keputusan untuk segera Berangkat!

Dan bersama seorang tour guide asli Nepal dan seorang porter, kami berempat menjadi rombongan kecil yang lumayan aneh, yang satu (saya) tidak kuat nanjak dan yang satu lagi (Pak Ferry) cemas jika berada di tempat-tempat tinggi. Tetapi kami berjalan bersama, berbagi bahagia…


Di hari pertama trekking di kawasan Annapurna, rasanya belum lama meninggalkan Tikhedunga, -desa berikutnya setelah diturunkan dari jeep yang membawa dari Pokhara-, kami bertemu juga dengan rombongan keledai atau mungkin juga mule. Saya sendiri tak dapat membedakan antara mule dan keledai, mungkin karena saya tak terlalu memperhatikan mereka. Yang pasti lebih mirip keledai namun posturnya lebih besar. Mule merupakan campuran dari keledai dan kuda.

Pasukan keledai alias mule itu mendekat dengan membawa keriuhan klenengan yang tergantung di lehernya. Mereka semua adalah penolong manusia untuk membawa barang-batang yang super berat. Yang amat meninggalkan kesan adalah bunyi klenengannya yang terdengar dari jauh. Dan ternyata bunyi khas itu membuat rindu. Percaya deh.

Karena hari itu, baru kali pertama bertemu dengan rombongan mule,, saya ingin mengabadikannya lebih dekat, tetapi tak sadar saya berdiri di jalur jalannya. Ia mendatangi saya yang terlihat semakin jelas dan besar dari jendela bidik kamera. Menyadari kesalahan melihat bibir dan wajah keledai yang semakin besar di kamera, saya langsung balik badan lalu berusaha menjauh untuk menghindarinya. Sayangnya, tidak ada jalan setapak di depan. Tanpa pikir panjang, saya melompat ke samping ke tempat aman. Pemandu kami sampai terbahak menyaksikan saya melompat menyelamatkan diri seperti dikejar keledai. Awkward banget…

Menariknya, rombongan mule itu tertib dalam berjalannya. Yang satu mengikuti mule yang di depannya. Jika di depannya mendadak berhenti, mule itu hanya melengos sedikit dan ikut berhenti. Kecuali disuruh lebih cepat oleh gembalanya, kecepatan langkah hewan-hewan itu bisa dibilang sama. 

Biasanya kami berhenti sejenak saat bertemu dengan rombongan mule, memberi jalan untuk mereka. Saat itulah saya memperhatikan. Kasihan juga karena beban yang dibawanya tidak ringan. Klenengan yang bergantung di lehernya dan berbunyi teramat khas itu melengkapi peristiwa bertemu dengan mereka, meninggalkan kesan yang dalam dan mengendap dalam kenangan. Membius menjadi sesuatu yang dirindukan.

Saya tenggelam dalam imajinasi, membayangkan menggiring hewan-hewan pengangkut yang sudah berlangsung berabad-abad melewati gunung-gunung salju, membuat rute-rute perdagangan. Barang-barang yang diperjualbelikan melewati batas negara dari Timur sampai Barat dan sebaliknya. Mule terakhir yang lewat di depan saya segera menyadarkan kembali, mereka telah berjalan di depan dan kini saya melanjutkan perjalanan kembali. 

Tidak hanya mule atau keledai, dalam trekking di Annapurna itu kami menjumpai rombongan hewan seperti kerbau, yang karena badannya besar saat beristirahat di tengah jalan, membuat jalan setapak itu setengah tertutup oleh mereka. Saya agak ngeri melewati kerbau-kerbau yang besar-besar itu,. Tapi bagaimana lagi? Kadang saya berjalan di antara mereka dengan baca doa agar mereka tetap diam. Ngeri juga kan kalau mereka mendadak mengamuk? Pernah sekali waktu saya memilih meniti pagar tembok kecil karena takutnya dengan mereka (padahal di sebelah tembok itu lembah yang cukup dalam).

Tidak hanya mule dan kerbau, dalam akhir trekking kami juga menjumpai rombongan kambing yang lebih banyak dan sangat khas baunya… bau kambing 😀 😀 😀

 

Tak beda jauh dengan yang dijumpai saat trekking di Annapurna, kami berjumpa pula dengan rombongan kerbau saat saya melakukan trekking ke Namche Bazaar di kawasan Everest. Lucunya, saya biasa mengikuti jejak hewan-hewan pengangkut itu karena lebih landai di tanjakan meski harus berjalan zig-zag. Kata pemandu saya, selalu ada dua opsi untuk melangkah saat trekking: mengikuti jalur manusia atau yaks/kerbau. Dan sebagian besar saya memilih yang terakhir 😀 Sayangnya saja, kalau mengikuti jejak mereka, harus berhati-hati karena ranjau yang mereka lepaskan secara sembarangan dan ukurannya itu besar dan banyaaaaakk… Dari yang sudah kering sampai yang fresh baru keluar huuueeeekkk….

Bertemu dengan rombongan hewan itu mempunyai himbauan tersendiri. Jika bertemu dengan mereka, usahakan kita sebagai manusia berada di sisi tebing dan membiarkan mereka berjalan di sebelah yang ada jurang. Jangan terbalik, risiko bisa fatal jika hewan-hewan itu lepas kendali. Meskipun selama ini saya tak pernah melihat hewan-hewan itu lepas kendali. Kelihatannya satu sama lain mereka saling terhubung dan orang yang mengatur perjalanan mereka sangat memahami hewan-hewan itu. 

Juga di jembatan gantung. Seperti perempuan di dunia manusia dengan istilahnya ladies first, untuk di jembatan gantung ladies first itu tidak berlaku. Pernah saya masih di tengah jembatan suspension sementara dari depan sudah terdengar klenengannya yang semakin cepat. Pemandu saya memaksa setengah lari agar kami tidak terjebak bersama kerbau atau yaks itu di tengah jembatan. Alhasil saya mendadak menjadi pelari berharap rombongan hewan itu tidak memasuki jembatan terlebih dahulu. Kebayang kan lari di jembatan suspension yang bergoyang-goyang itu? 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-41 bertema Group agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap minggu.

Batu-Batu Pembuat Takjub


Ada seorang teman sekolah yang mengatakan bahwa saya penyuka batu. Mendengar itu saya hanya bisa mengangkat alis, karena, -meskipun terdengar aneh-, saya tidak bisa mengabaikan kenyataan itu. Benar juga sih. Karena saya memang menyukai batu. Bukan batu-batu permata yang dulu pernah heboh, melainkan batu-batu yang memiliki makna, batu alam yang membuat takjub, atau batu-batu yang tersusun menjadi bangunan candi, batu-batu kecil yang berbentuk aneh. Ah, rasanya saya memang mudah tertarik oleh penampakan batu yang ‘menghebohkan’. Aneh juga ya?

Namun bagi mereka yang mengenal saya, atau mengikuti perjalanan saya melalui blog ini, tentu mengetahui bahwa saya sedikit ‘gila’ terhadap candi-candi Hindu/Buddha yang umumnya tersusun dari batu. Bahkan saya ‘kejar’ kegilaan saya akan batu itu sampai ke luar negeri. Meskipun, jujur deh, masih sangat banyak tempat di Indonesia yang belum saya kunjungi dan semuanya terkait dengan batu. 😀

Ketika berkesempatan pergi ke Jepang untuk pertama kalinya, di Osaka Castle saya terpaku di depan sebuah batu utuh yang amat besar, yang menjadi bagian dari dinding pelindung halaman dalam yang dikenal dengan nama Masugata Square. Batu yang disebut dengan Tako-ishi atau harafiahnya berarti Batu Gurita (karena ada gambar gurita di kiri bawahnya) memang luar biasa besar. Beratnya diperkirakan  108 ton, berukuran panjang 11.7 meter dan tingginya 5.5 meter (atau lebih dari saya ditumpuk tiga ke atas 😀 ). Satu batu utuh yang termasuk megalith dan terbesar di Osaka Castle ini bisa disaksikan tak jauh dari Gerbang Sakura.

Konon, dinding batu yang terbuat dari batu-batu amat besar ini dibuat pada awal periode Edo, yaitu sekitar tahun 1624 oleh Tadao Ikeda, Bangsawan besar dari Okayama yang diperintahkan oleh Shogun Tokugawa. Selain, Takoishi sebagai yang terbesar, tepat di sebelahnya terdapat batu yang merupakan ketiga terbesar di Osaka Castle, yang dikenal dengan nama Furisodeishi atau harafiahnya berarti batu lengan panjang kimono. Mungkin karena bentuknya seperti lengan kimono.

Saya sendiri belum sempat menelaah lebih lanjut tempat pembuatan Tako-ishi itu, apakah memang dibuat di Osaka atau di Okayama, tempatnya Tadao Ikeda menjabat. Jika benar di Okayama, saya tak pernah membayangkan pengirimannya. Padahal jarak Osaka ke Okayama itu sekitar 170 km. Lalu bagaimana pengirimannya pada masanya ya?

Stone1-Takoishi
Takoishi – The Largest Stonewall in Osaka Castle

– § –

Berbeda dengan batu yang ada di Jepang, dalam perjalanan saya ke Cambodia, -tentu saja selain Angkor Wat dan kuil-kuil lainnya yang mempesonakan-, saya juga terpesona dengan Reclining Buddha raksasa yang terbuat dari batu utuh yang berlokasi di kompleks Preah Ang Tom di Phnom Kulen, sekitar 50 km di utara kompleks percandian Angkor.

Dengan panjang sekitar 17 meter, Reclining Buddha dari abad ke-16 ini, dibangun di atas batu setinggi 8 meter sehingga saya harus menaiki tangga untuk mencapainya. Meskipun ukurannya kalah jauh dari Wat Pho di Bangkok atau bahkan Reclining Buddha di Mojokerto apalagi jika dibandingkan panjang patung-patung serupa di Myanmar, saya merasa amat unik dengan apa yang saya lihat di Preah Ang Tom ini.

Tidak seperti biasanya di negara-negara Buddhist yang pada umumnya Reclining Buddha dalam posisi Parinirvana (perjalanan menuju Nirvana setelah kematiannya) dibuat dengan kepala di sebelah kiri, Reclining Buddha yang ada di Phnom Kulen ini, kepala Sang Buddha berada di sebelah kanan. Terlebih lagi, konon sudah amat tua, hampir empat abad keberadaannya dan dibuat diatas batuan pegunungan! Bahkan setelah saya browsing, hanya ada tiga Reclining Buddha dalam posisi ini, dua di Thailand dan di Preah Ang Tom ini.

Stone2-PhnomKulen
Reclining Buddha at Phnom Kulen, Cambodia

– § –

Bicara soal usia batu, saya jadi teringat batu yang ditemui saat melakukan trekking ke Muktinath di kawasan Lower Mustang, Nepal. Tak jauh dari kuil Muktinath yang dipercaya oleh penganut Hindu Vaishnavas sebagai salah satu tempat yang paling sakral, terdapat sebuah patung Buddha sebagai penghormatan kepadan Guru Rinpoche yang konon pernah ke sana. Di bawahnya diberi hiasan batu-batu asli, yang diambil dari Sungai Kali Gandaki. Batu-batu asli ini namanya Shaligram.

Shaligram ini sangat khas. Meski kecil, tidak lebih besar dari telapak tangan-, batu ini luar biasa unik karena memiliki motif kerang yang terbentuk secara alamiah. Konon terbentuk sebagai fosil sejenis kerang yang ada sekitar ratusan juta tahun lalu!

Yang membuat saya terpesona adalah kenyataan bahwa batu kerang sebagai binatang laut yang sudah memfosil itu bisa ditemukan di dasar atau pinggir sungai Kali Gandaki yang berair tawar di sekitaran kawasan Himalaya yang tinggi gunungnya beribu-ribu meter ke atas. Mungkin saja, pikiran saya terlalu terbatas untuk bisa membayangkan yang terjadi di alam ini selama ratusan juta tahun yang lalu, ketika jaman es masih menutupi planet bumi tercinta ini. 

Menyaksikan sendiri fakta alam yang begitu dekat dan bisa dipegang, rasanya amat luar biasa. Namun sayang sekali, ada saja manusia-manusia yang tak bertanggung jawab yang mencungkilnya untuk dijadikan sesembahan.

DSC06048
Shaligram of Muktinath, Nepal

– § –

Batu-batu lain yang membuat saya takjub adalah batu-batu yang berdiri dalam posisi amat kritis. Salah satu batu yang membuat saya terkagum-kagum adalah The Golden Rock, yang ada di Myanmar, sekitar 5 – 6 jam perjalanan dengan bus dari Yangon. Hingga kini, Golden Rock menjadi tempat sakral bagi umat Buddha Myanmar sehingga banyak didatangi peziarah dari segala penjuru Myanmar.

Bagi saya, The Golden Rock bisa mewakili semua posisi batu yang disangga batu lainnya meskipun dengan posisi yang teramat kritis dan tetap dalam keseimbangan selama berabad-abad. Mungkin tingkat kekritisannya bisa dibandingkan dengan The Krishna’s Butter Ball yang ada di Mahablipuram, India (Semoga saya diberikan kesempatan untuk berkunjung kesana!) atau batu-batu lainnya yang serupa.

Di dekat Wat Phu, Laos Selatan, saya melihat celah sempit di bawah batu cadas (rocks) dan digunakan untuk tempat persembahyangan. Juga di Golden Rock, saya melihat banyak orang bersembahyang di bawah batu tersebut. Entah kenapa melihat semua itu, selalu terlintas di pikiran, bagaimana jika terjadi gempa bumi yang membuat posisi batu menjadi tak seimbang dan batu itu ‘glundung‘ jatuh ke bawah? Bukankah apapun bisa terjadi?

DSC07435
Critical Point of The Golden Rock, Myanmar

– § –

Tetapi, dari banyak tempat yang pernah saya kunjungi, mungkin Petra di Jordan menjadi juaranya terkait batu yang membuat saya terkagum-kagum. Kekaguman saya akan tingginya celah ngarai yang teramat sempit yang dikenal dengan nama The Siq, juga bentukan-bentukan alam serta olahan tangan dari bangsa Nabatean jaman dahulu terhadap kawasan berbatu cadas itu. Sang Pemilik Semesta telah menciptakan kawasan Petra begitu berbatu yang tanpa sentuhan manusia pun sudah begitu mempesonakan, namun bangsa Nabatean dengan kemampuan artistiknya membuatnya semakin menarik.

Menuju The Treasury, saya melewati daerah yang disebut dengan Djinn blocks. Isinya batu-batu yang berbentuk kubus, nyaris sempurna. Saat mengetahui namanya, konotasi saya langsung mengarah ke tempat-tempat jin (asal katanya ya memang itu kan), namun konon bentukan kubus itu merupakan tempat peristirahatan (tapi entah peristirahatan dalam artian makam atau memang tempat beristirahat dalam perjalanan karena ada juga yang mengartikan ‘tempat air’ yang biasanya menjadi tempat pemberhentian pengelana)

Tetapi tetap saja, batu-batuan di Petra ini, dalam kondisi aslinya atau telah menerima sentuhan manusia, tetap mempesona. Yang pasti, saya ingin kembali lagi kesana, menjelajah lebih lama, lebih santai…

DSC00469
Other angle of Djinn Blocks

DSC00466
Djinn Blocks, Petra

DSC00496
Elephant, Fish or Aliens?

– § –

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-20 bertema Stone agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu

D6-Trekking Nepal – Di Simpang Jalan


Catatan. Meskipun perjalanannya ini terjadi tiga tahun lalu tapi rasanya sayang kalau tidak dilanjutkan cerita saat trekking di Nepal. Untuk mengingat kembali silakan baca kisah trekking hari -hari sebelumnya di tautan berikut ini: Dare to Dream Trip, Ke Kathmandu, Tangga-Tangga Uleri, Menuju Ghorepani, Poonhill, Didera Hujan Es, Gurung Hill dan Melawan Takut. Apalagi, tantangan menulis mingguan yang diangkat oleh Sahabat saya, Srei’s Notes, bertopik tentang Road alias Jalanan untuk minggu ini. 


 

Chhomrong, minggu ketiga April 2017

Mentari belum juga terbit namun saya telah keluar kamar penginapan yang langsung disambut udara dingin Himalaya. Meskipun sudah jauh di bawah Poonhill atau Deurali Pass yang berada di ketinggian 3100-an meter, berdiri pagi-pagi di Chhomrong yang berada di ketinggian 2170 meter ini tetap saja terasa dingin. Tetapi, pagi adalah waktu yang tepat untuk melihat keindahan Himalaya.

1
Annapurna South, Hiunchuli, Macchapucchre before sunrise

1a
Sunshine over Mt. Macchapucchre (Fish Tail)

Dan benarlah, ketika menatap ke arah pegunungan, saya yang pendaki abal-abal tapi nekad menjelajah di Himalaya disuguhi pemandangan alam yang spektakuler. Puncak Annapurna South (7219m) berjajar dengan Hiunchuli  (6441m) lalu terpisah oleh lembah dalam, gunung favorit saya, Macchapucchre (6993m) berdiri dengan gagahnya. Semua puncak dan punggungnya tertutup salju abadi yang memperlihatkan keindahannya.

Sinar mentari pagi mulai menerpa puncak ketiga gunung tinggi itu dan memberi warna keemasan pada salju abadi yang menyelimutinya. Bahkan sinar matahari yang melewati puncak Gunung Macchapucchre, -yang dikenal juga sebagai Fish Tail karena puncaknya yang menyerupai ekor ikan-, memberikan efek dramatis bergaris pada langit.  Pagi datang berkunjung dengan keajaiban yang membuat saya menarik nafas panjang, tak habis-habisnya mengucap syukur. Sang Pemilik Semesta telah memberikan kesempatan kepada saya berjalan di bumi yang indah ini. 

Setelah mengabadikan pemandangan indah ini, saya berjalan ke arah persimpangan desa tak jauh dari penginapan. Ternyata Pak Ferry, my travel buddy, sudah berada di sana terlebih dahulu. Langsung saja kami saling bergantian mengambilkan foto sebagai kenang-kenangan meskipun dengan wajah apa adanya (Di gunung siapa sih yang mau mandi dua kali sehari dan dandan cantik? 😀 )

Rasanya mata tak ingin melepas pemandangan indah yang tak bisa dilihat di Indonesia ini, saya ingin berlama-lama meskipun tahu akan ada yang namanya perpisahan. Di sini, di desa Chhomrong ini merupakan tempat terakhir kami untuk merasa terdekat dengan rangkaian pegunungan Himalaya. Karena setelah ini, kami akan menjauh darinya. Ada sedikit rasa sesal mengapa cuti terlalu singkat dan mengapa saya tak mempersiapkan fisik yang lebih baik untuk trip ini. Tetapi, bagaimanapun semua harus dihadapi dan diterima.

Dengan pikiran yang masih menggantung kepada keindahan puncak bersalju itu, Pak Ferry dan saya berjalan pelan kembali ke penginapan, untuk sarapan dan packing. Sarapan yang serupa, roti dan selai ditambah kopi atau teh. Tetapi yang paling mengerutkan hati saat sarapan itu, ketika saya harus menyaksikan dua perempuan muda berpamitan dan melangkah gembira menuju Bamboo, desa berikutnya untuk menuju Annapurna Base Camp. Arah yang pastinya berbeda dengan tujuan saya hari ini. Meskipun mendoakan mereka untuk keberhasilannya, saya tak bisa mengingkari terselip sedikit rasa iri akan kemudaan dan semangat mereka.

Tak perlu lama kami semua telah siap, di simpang desa itu kami melanjutkan perjalanan. Bukan ke atas menuju Annapurna melainkan menuju pulang. Sedih? Tentu saja, karena harus melepas tujuan dan harapan. Tetapi saya juga meyakini, segala peristiwa memiliki alasan dibaliknya sehingga harus diterima dengan ikhlas. Dan bagi saya yang sebelumnya tak pernah mendaki gunung, apalagi sudah tak lagi muda dan tak pernah olahraga, bisa mencapai 3120 meter saja sudah luar biasa!

4
Clouds started to cover

4a
ABC or Home?

Sejenak saya menatap Annapurna, Hiunchuli dan Macchapuchhre dari jarak terdekat yang pernah saya jejaki sebelum akhirnya saya melepas pandang. Seakan tahu rasa apa yang tersembunyi di dalam hati, Semesta membantu mulai mengirim awan untuk menyelimuti puncak gunung-gunung itu. One day, saya akan kembali. Kemudian saya melangkah pergi menuju Landruk, pemberentian kami berikutnya.

Not the destination, but the journey…

Itu kata orang bijak, meskipun perlu keikhlasan yang amat tidak mudah. Tetapi ada banyak bantuan bagi orang yang mau bersungguh-sungguh. Saya merasakan bahwa alam memberikan suhu yang amat nyaman untuk berjalan. Sinar matahari tidak terik melainkan hangat. Ada berbagai kerindangan disana-sini dan tentu saja pemandangan bukit-bukit yang indah. Semuanya teramat sayang jika dilewatkan begitu saja hanya gara-gara terpaku pada tujuan Annapurna yang harus dilepas. Ah, saya belajar banyak dalam perjalanan ini, belajar untuk mengucap syukur pada setiap keindahan yang saya terima dalam setiap detik di depan mata, bukan yang telah lewat.

PerlindunganNya

Urutan trekking masih tetap sama seperti hari-hari sebelumnya, sang porter muda yang handsome yang namanya Kedar, berada paling depan, lalu pak Ferry kemudian saya dan Dipak, –trekking guide-, semuanya dalam jangkauan jarak pandang. Dua yang terakhir lebih sering bertukar tempat terutama jika jalan menanjak meski tak lagi berat. 

Meski dalam melakukan trekking saya tidak sendirian,  namun nyatanya saya lebih banyak berjalan tanpa banyak bicara (atau mungkin alasan saja untuk mengatur nafas ya 😀 ) Tetapi, rasanya memang menyenangkan bisa berjalan “sendiri” meskipun sesungguhnya ada dalam kelompok. Rasanya seperti diberi waktu untuk kontemplasi. 

7
Forests

Entah telah berapa lama saya berjalan, hingga suatu saat saya berada di sepenggal jalan setapak yang amat sempit, dengan jurang di kiri dan tebing tanah bercampur batu di kanan. Trekking guide kami, Dipak, yang tadinya tak jauh di belakang saya, mendadak dari arah belakang berlari menuju saya dengan wajah was-was, dan belum sempat bertanya kepadanya, pada saat yang sama saya mengetahui dan mendengar apa yang dia cemaskan. Langkah kuda yang sedang berlari kencang sedang mendekat dari arah belakang!

Serta merta mata saya membelalak. What to do? 

Tidak ada ruang untuk mengalah membiarkan si kuda lewat. Pilih mana? Lari melebihi kecepatan kuda di jalur sempit atau lompat ke jurang? Semua pilihan yang tidak mungkin!

Sepersekian detik yang paling menakutkan.

Dipak mengambil keputusan lebih cepat daripada saya, Ia menyuruh saya untuk lompat ke kanan, ke arah tebing tanah bercampur batu itu. Tanpa pikir panjang, saya mengikuti sarannya, melompat ke kanan dengan trekking pole yang masih terikat di pergelangan dan mencari batu terkuat sebagai pegangan. Sebisa-bisanya saya bertengger memeluk tebing bumi. Detik-detik yang amat menegangkan bagi saya. Menunggu si kuda lewat.

Lalu tanpa rasa bersalah, si kuda berlari cepat dikendalikan oleh penunggangnya di jalan sempit itu, yang setelahnya membuat Dipak mengeluarkan serangkaian kata-kata Nepali dengan nada yang lumayan tinggi kepada penunggang kuda itu. Saya tak mengerti artinya, tetapi sepertinya ia meminta orang itu berhati-hati berkuda apalagi di jalur trekking yang bisa berakibat fatal.

Meskipun jengkel juga dengan si penunggang kuda, saya turun dari tebing tanah itu dengan tanah menempel di muka dan pakaian, masih terasa deg-degan bercampur lega dari sebuah peristiwa yang menegangkan. Jika tak segera melompat ke arah kanan untuk menyelamatkan diri, bisa jadi saya ditabrak dari belakang dan jatuh ke jurang. Hiiii…

Alhamdulillah, saya masih dilindungi olehNya.

Beberapa saat kemudian, setelah menepis debu dan tanah yang menempel serta berterima kasih kepada Dipak yang telah menyelamatkan, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini dia berada tepat di belakang saya.

Tapi tak lama!

Mendadak ia bertanya kepada saya, apakah saya mampu berjalan sendirian karena ia harus menyusul Pak Ferry yang ada di depan. Ia juga mengatakan bahwa jalan yang akan saya tempuh landai.  Saya menganggukkan kepala lalu dalam sekejap ia berlari ke depan. Menyusul Pak Ferry.

Aduh, ada apa lagi di depan? 

Saya terus berjalan. Dipak benar, jalannya menanjak landai, teduh pula. Nyaman untuk berjalan meski matahari mulai tinggi. Lalu, di sebuah lengkung jalan yang menanjak, saya melihat Dipak menunggu di puncak tanjakan sementara saya masih di bawah. Baiklah, setelah dihajar tangga-tangga Ulleri, tanjakan ini sama sekali tidak ada apa-apanya. Tak lama, saya berhasil sampai di tempat Dipak menunggu dan terbelalak melihat apa yang ada di depan saya.

Sepenggal jalan longsor!

Di kiri longsoran ke bawah yang berakhir di sungai dan di sebelah kanan tebing yang longsor. Diantaranya hanya ada jalan setapak…

5
Trekking path across the landslide

Langsung saja saya mengerti mengapa tadi Dipak berlari mengejar Pak Ferry. Ia pasti bermaksud menolong Pak Ferry yang memiliki phobia ketinggian untuk mampu melewati jalan setapak longsor itu. Bagi orang yang phobia ketinggian, berjalan di jalan sempit yang di kirinya longsor jauh ke bawah dan berakhir di sungai, tentu tak mudah.

Sejenak saya melihat ke atas, ke arah tebing yang longsor itu. Meski kelihatannya sudah lama terjadi longsornya, saya tetap memperhitungkan segala kemungkinan. Longsor memang sering terjadi di Nepal, tetapi tebing longsor di depan saya ini bukan sepenuhnya tanah, melainkan batu-batu kecil, pasir dan kerikil. Ah, saya segera menggelengkan kepala, sebagai tindakan tak sadar untuk menghapus pikiran buruk yang muncul dan berawalan dengan kata bagaimana seandainya…

Meninggalkan longsoran di belakang, saya melanjutkan jalan. Melewati hutan, desa dan melangkahi jembatan kayu kecil di atas batu-batu sungai yang airnya sedikit. Meski sedikit, airnya bening dan dingin. Kebahagiaan berjalan di bagian pegunungan yang sudah lebih rendah. Meski udara terasa lebih hangat, tetapi air lebih mudah didapat. Ah, saya membayangkan mandi enak di pemberhentian berikutnya.

Sebelum sampai ke Landruk, -tempat menginap berikutnya-, kami harus melewati jembatan kayu gantung yang terlihat sudah rapuh. Untuk melewatinya saya harus mengukur kekuatan kayu landasannya apakah mampu menahan beban saya yang bongsor ini. Apalagi saya harus berhenti ditengah-tengah. Karena ada air terjun bertingkat yang tersembunyi yang hanya bisa dilihat dari tengah jembatan itu. Bukankah kita harus berani mengambil risiko?

Setelah membatalkan trekking lanjutan ke Annapurna Base Camp (ABC), perjalanan setiap harinya menjadi lebih nyaman karena tanpa target waktu. Termasuk hari itu yang memang tak lama. Setelah makan siang yang kenyang dan lama di tengah lembah, akhirnya kami sampai di Landruk jelang sore. Lumayan bisa beristirahat sore hari dan mandiiiii! Saya pun bisa santai meluruskan kaki yang pegal  sambil menunggu malam.

Ini namanya benar-benar liburan… 

 

(bersambung)

 

Let It Go, Let It Flow


Dalam setiap perjalanan, biasanya saya memiliki tempat yang meninggalkan kesan yang amat membekas. Meskipun kadang, saya tidak pernah tahu apa yang membuat saya begitu terkesan.

Seperti halnya pada perjalanan saya ke Namche Bazaar dua tahun lalu (duh, sudah dua tahun ya? Rasanya baru kemarin menanjak kelelahan… ). Saat pergi, -menuju Namche Bazaar-, saya menyempatkan diri berhenti di tengah jembatan dan mengagumi suara air yang menimpa bebatuan. Suara airnya meresap sampai ke hati. Saat itu, saya merasa agak berat meninggalkan tempat itu. Belum puas rasanya, tetapi waktu bukan sahabat saya waktu itu. Dasar trekker abal-abal yang ‘sok tau setengah mati’, saya ini perlu waktu berkali-kali lipat dari trekker pada umumnya untuk mencapai Namche Bazaar. Kebanyakan berhenti yang saya gunakan untuk foto-foto (padahal lebih utamanya untuk mengambil nafas 😀 )

DSC01278
A Small Creek on the way to Namche Bazaar, Nepal

Nah kembali ke tempat tadi, akhirnya saya harus meninggalkannya demi tidak kemalaman sampai ke Namche Bazaar. Tapi saya mengingat tempat itu.

Perjalanan pendek ke Namche Bazaar tahun itu memang tanpa rencana, tanpa planning yang matang. Saat itu saya hanya begitu rindu Himalaya (sekali ke Himalaya, biasanya jadi kecanduan sih), sehingga ketika bisa mengambil cuti sebentar, tanpa pikir panjang saya langsung terbang ke Nepal.

Waktu saya memang terbatas sekali, sehingga saat sorenya mencapai Namche Bazaar, esok paginya saya harus turun kembali. Saya seperti seorang turis yang dibawa oleh tourleader, berhenti hanya untuk berfoto sejenak. Bahasa kerennya, pokoknya sudah sampai di situ. Praktis tidak ada kesan yang tertinggal dalam di tempat itu.

But the show must go on… Saya harus turun dan kembali ke Indonesia kan?

Di tengah jalan itu, saya berhenti lama di tengah jembatan hanya untuk menatap air, menikmati suara air. Gemerisiknya meninggalkan kesan begitu dalam.

Saya mungkin memang tidak memiliki kesan dalam di Namche Bazaar, tetapi saya memiliki kesan amat indah di sebuah tempat, di tengah jembatan tak jauh dari Namche. Di antara pepohonan yang rindang, suara airnya bagai musik di telinga,

Bisa jadi saya agak menyesal melakukan perjalanan ke Namche Bazaar ini yang dilakukan terburu-buru. Tetapi dengan menyaksikan air yang suaranya begitu menenteramkan, saya merasa bisa melepaskan penyesalan itu. Melihat airnya yang mengalir, saya terundang melepaskan semua masalah yang ada, sedikit sesal dan semua lelah yang dirasa. Saya melepaskannya dan membiarkannya pergi mengikuti alirannya. Yang kemudian saya rasakan adalah rasa terbebaskan…

(ah, tampaknya saya harus bongkar-bongkar lagi, karena rasanya saya pernah merekam suara air itu, mudah-mudahan saja tidak terhapus!)

Ada yang pernah punya pengalaman seperti saya?


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-50 ini bertema All About Water agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…