Walaupun cuaca diprakirakan berhias hujan rintik sepanjang hari, -apalagi badai di atas laut China Selatan tak juga berkurang-, saya tak dapat menunggu lebih lama agar mendung berpindah dari langit kota yang telah saya jejakkan pertama kali di siang itu. Tak ada jalan lain kecuali menembus dan menari diantara rintik hujan karena tak tersedia waktu yang cukup bagi saya untuk berdiam diri menanti hujan berhenti.
Si cantik Hoi An menawarkan begitu banyak keindahan hingga UNESCO tak ragu menganugerahinya sebagai World Heritage City, seperti juga Luang Prabang atau Melaka. Dan karena begitu banyak sudut kecantikannya, saya memulai dari An Hoi Sculpture Park, -sebuah taman karya seni-, yang tepat berada di pinggir sungai yang selemparan batu dengan penginapan saya. Rintik hujan membuat suasana menjadi lebih intim walau tak ada informasi tentang karya-karya indah di taman yang relatif mini ini selain untuk dinikmati dengan latar belakang sungai dan rumah-rumah kuno Hoi An. Di beberapa tempat tersedia kursi yang lebih banyak diisi oleh manusia yang sedang jatuh cinta. Tetapi bukankah si cantik Hoi An memang menawarkan cinta di sudut-sudut keindahannya?
Saya berjalan kaki sambil beberapa kali melompati genangan basah, lalu menyeberangi jembatan yang tiang-tiangnya berhias lampion merah yang cantik. Becak wisata, sepeda yang disewa turis, sepeda penduduk lokal, pejalan kaki yang berjas hujan transparan atau berpayung warna warni tumplek blek memenuhi jembatan yang menghubungkan saya ke jantung kota tua. Hati terasa berdenyut lebih kuat, merasakan kenyamanan suasana kota heritage dunia yang segala sesuatunya memanjakan mata dan memikat rasa.
Pelan-pelan saya melangkah menyusuri pinggir sungai hingga sampai di sebuah landmark kota Hoi An yang terkenal yaitu Japanese Bridge. Jembatan lengkung berbentuk lorong tertutup yang dibangun tahun 1593 oleh komunitas pedagang Jepang itu sebenarnya memiliki nama lokal Lai Vien Kieu atau Bridge from Afar. Beberapa bagian pada dindingnya berhias keramik biru dengan ukiran atap yang sangat memikat hati. Pengunjung yang datang begitu dimanjakan dengan bisa menyaksikan dan menikmati keindahan jembatan dari samping kanan, atau dari jembatan kecil di seberangnya, atau bahkan dari jalan yang menembus lorongnya, yang semuanya memiliki keindahannya masing-masing. Apalagi ketika malam telah datang memeluk, lampu-lampu temaram yang menerangi lembut sang landmark seakan melengkapi kecantikan Hoi An.

Terpisah satu blok melewati beragam façade kuno yang cantik dari berbagai café dan toko, saya sampai pada tempat yang dikenal dengan nama Quang Dong yang bergapura merah berukir. Bangunan cantik dengan gaya campuran China Kanton dan tradisional Hoi An ini, dibangun sekitar tahun 1786 oleh etnis China Kanton yang datang ke Hoi An dan merupakan tempat berkumpulnya sekaligus menjadi kuil untuk pemujaan bagi warga etnis China Kanton. Terdapat dua patung sejenis burung dengan ukiran yang sangat rumit dengan kaki langsing yang berdiri di atas kura-kura, menjadi penjaga pintu kuil. Dan di halaman dalam kuil di bagian tengah terdapat karya seni di atas kolam berupa patung naga dan ikan yang sangat indah.
Ah, si Cantik Hoi An ini, tanpa menjadi seorang ahli sejarah pun, pengunjung benar-benar dimanjakan dengan pernik-pernik menggemaskan dan kerling manis lampion-lampion warna warni yang tergantung cantik di jalan atau beranda toko maupun rumah makan. Cinta memang hadir menggoda di kota cantik ini dan menyelimuti setiap hati yang datang. Rintik hujan yang menghilang tak membuat kedekatan kepala-kepala pasangan menjauh, bahkan tangan-tangan mereka semakin erat menggenggam, mendekatkan bahu yang sudah bersentuhan, mencoba mengalahkan dinginnya udara saat itu.
Jemari kaki yang dingin karena hanya berlapis sandal membuat saya melangkah masuk ke sebuah rumah tua yang terpelihara dan tampak sangat mengundang. Rumah toko Quan Thang, merupakan salah satu rumah tertua dan tercantik di Hoi An. Dibangun oleh seorang pedagang makmur China di akhir abad-17, bangunan ini menjadi contoh terbaik dari rumah toko satu lantai yang memiliki dua muka di jalan yang berbeda. Rumah tua Quan Thang ini juga memiliki berbagai corak arsitektur yang saling mendukung sehingga memberi kesan luas dan sangat nyaman ditinggali. Dan berdasarkan perabot antik yang ada dan masih terpelihara serta tata cara penghuni rumah menjalani hidup selama enam generasi, menunjukkan betapa makmur para keluarga pedagang China dan juga kota Hoi An lama pada masanya sebagai kota pelabuhan dan perdagangan. Terbayang langsung di benak betapa si Cantik Hoi An menjaga keindahan rupa dari kemakmuran para penghuninya.
Tidak itu saja, kecantikan Hoi An terlihat pula dari eratnya hubungan komunitas pedagang China di kota lama itu. Seperti yang dapat disaksikan di bangunan Chinese Assembly Hall, Lop Hoa Van Le Nghia, yang merupakan tempat berkumpulnya para pedagang China dari berbagai etnis, saling bertukar cerita dagang, saling bantu sekaligus melakukan pemujaan untuk keselamatan dan keberuntungan serta meneruskan tradisi yang telah berakar. Bangunan yang berada di pertigaan ini, memiliki relief burung phoenix di kedua dinding dekat pintu, yang menjadi symbol keabadian. Dan seakan ingin menjadikan sebuah misteri yang abadi, si Cantik Hoi An tidak serta merta memberikan informasi mengenai sejarah dari bangunan ini.
Meninggalkan Chinese Assembly Hall dan berpapasan dengan deretan becak-becak wisata yang tak putus serta para turis penyewa sepeda, membuat saya berdiri menunggu di seberang bangunan menarik lainnya yaitu Chua Phuc Kien, sebuah kuil cantik yang didedikasikan kepada Thien Hau, sang dewi laut yang merupakan pelindung para pelaut. Bangunan yang didirikan jelang akhir abad-17 oleh pedagang China yang meninggalkan negeri sejalan dengan runtuhnya kekuasaan dinasti Ming di China ini, merupakan kuil yang lebih banyak melayani etnis Fukien karena etnis ini menjadi mayoritas di kota Hoi An lama. Dan sebagai kota pelabuhan yang mempertemukan banyak pasangan, ternyata kuil ini juga merupakan salah satu tempat pemujaan untuk mendapatkan berkah keturunan.
Melanjutkan langkah kaki pada suasana kota yang semakin temaram dengan hujan rintik yang kembali membasahi bumi, akhirnya saya sampai di Cho Hoi An, pasar induk di Hoi An. Awalnya saya bertahan dengan menggunakan tudung jaket untuk menari di bawah hujan sepanjang jalan di Hoi An, ternyata hujan semakin deras yang memaksa saya harus berteduh, tepat di depan gerbang pasar. Pasar yang terkenal hingga sekarang ini merupakan tempat berkumpul dari para pedagang untuk menjual keperluan sehari-hari.
Ketika hujan telah berkurang derasnya, saya meninggalkan pasar menuju Japanese Bridge melalui jalan yang berbeda. Rintik hujan ditengah udara malam yang dingin, lampion-lampion yang menyala temaram di atas beranda toko dan rumah makan termasuk yang tergantung melintang di atas jalan, menambah aura mesra di sepanjang jalan yang basah. Tak sedikit terlihat payung yang terkembang dengan dua tubuh merapat di bawahnya membuat iri bagi siapa saja yang menyaksikan. Hati saya berdenyut tersenyum merasakan kehadiran cinta di kota Hoi An ini.
Malam merambat naik, saya melewati saja Museum Folklor yang bermandi cahaya dan the Old House of Tan Ky karena sudah tutup serta Museum Keramik karena ada yang bermain genderang di perut saya, tanda pemberontakan minta diisi. Walaupun beberapa kali berhenti untuk memotret, akhirnya saya berhenti pada seorang ibu di pinggir jalan yang menjual kue moci dan membiarkan kue moci dan uang Vietnam Dong saling bertukar tempat. Lalu saya melanjutkan langkah kembali sambil memindahkan kue moci itu ke mulut hingga akhirnya saya sampai kembali ke pinggir sungai.
Terfokus pada Japanese Bridge yang terlihat sungguh cantik karena bermandi cahaya, saya tak segera melihat ada pasangan calon pengantin di atas perahu kecil yang sedang berfoto di dekat tempat saya berdiri. Cinta yang hadir disitu merekatkan dua hati, membuat saya tersenyum lagi, siapa yang bisa mengabaikan suasana penuh romansa dari si Cantik Hoi An?
Setelah berfoto dengan latar Jembatan Jepang, kedua calon pengantin itu melarungkan lilin dalam wadah kertas berbentuk mahkota, -yang setahu saya di Thailand disebut krathong-, sebagai lambang melepas semua yang berbau negatif saat hendak memasuki kehidupan baru. Tetapi melarungkan lilin dalam wadah itu tidak hanya milik kedua calon pengantin itu saja, karena banyak pengunjung melakukannya. Melarung, bisa jadi merupakan sebuah terapi untuk melepas semua yang tidak menyenangkan, semua yang menyedihkan dan berbagai rasa negative lainnya yang terjadi di masa lalu untuk dikembalikan kepada Sang Pemilik Alam.
Saya melangkah pelan menyusuri sungai untuk kembali ke penginapan, terdiam dalam hening menyaksikan lilin-lilin dalam wadah berbentuk mahkota itu bergerak perlahan-lahan, terombang-ambing mengikuti arus di permukaan Sungai Thu Bon. Walau lilin dalam wadah itu kecil, tetapi terlihat begitu terang, kontras dengan warna gelap permukaan sungai. Seperti juga dalam kehidupan, bintang-bintang ataupun lilin-lilin yang terlihat kecil, namun terangnya mampu memberi petunjuk arah.
Ah, lagi-lagi keindahan di depan mata itu terasa seperti sebuah sindiran penuh cinta dari si Cantik Hoi An, agar kita senantiasa menjadi pelita penunjuk arah dalam perjalanan hidup…

Wow… foto2nya mantab (y)
SukaDisukai oleh 1 orang
Yaaiy… terima kasih banyaaaak…
SukaSuka
kak gambar kakak selalu keren lah kayak hidup
SukaDisukai oleh 1 orang
Hehehe…. makasiiih banget ya Win… *hugs*
SukaSuka
cakep bangettttt, mbaaa…. cetar membahana… bikin naksir… *nganga….
SukaDisukai oleh 1 orang
hahaha Bisa aja kamu Na… aku kan jadi ngebayangin kamu nganga hahaha…
anyway terima kasih banyak dear friend… kalo naksir kesana deh, tp jangan sendiri bisa mellow galauw maksimal soalnya 😀 😀 😀
SukaSuka
Mba…jangan dibayangin,,, nanti aku kiurim foto lagi nganga..*ups… Hihihi…
Iya euy, lihat fotonya aja udah kebayang bakal mello mbak, apalagi pake hujan.. Kayak scene film kabut cinta.. *senyum sendiri…
SukaDisukai oleh 1 orang
😀 😀 😀
SukaSuka
Wiih, lantern nyaaa kece banget… Thanks for sharing mba 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Hehehe… terima kasih banyak ya… tapi masih bagus aslinya lho… and thanks for dropping by yaa…
SukaSuka
Sayang Oktober lalu aku nggak punya banyak waktu untuk Vietnam, hanya sempat mampir ke Ho Chi Minh City, literally. Hoi An memang destinasi menarik buat pecinta kota tua seperti kita ya. Semoga nanti ada kesempatan ke Vietnam lagi agar bisa ke Hoi An.
Btw, aku juga pernah merasakan yang namanya travel-must-goes-on-meski-hujan. Habis mau gimana? Udah kadung plan mau ke sana dan nggak ada waktu lagi, jadi yowis, now or never 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Nah… saya malah ga keluar dari airport Ho Chi Minh City.
Iya Nug, semoga nanti datang kesempatan lagi shg bisa menyusuri jalan dr HCMC ke utara. Dan hahahaha… asik juga ya ujan2an (dikit) for now or never
SukaDisukai oleh 1 orang
Suk aam lampion2 nya
SukaDisukai oleh 1 orang
Makasiiiiii
SukaSuka
Very beautiful shots 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Thank you so much Suyash…
SukaDisukai oleh 1 orang
🙂 🙂
SukaSuka
Dari dulu pengen banget berkunjung ke Vietnam bagian tengah, khususnya ke Hoi An, Da Nang, dan My Son. Yang terakhir ini terutama karena hubungan sejarah kerajaan Champa dengan beberapa kerajaan di Indonesia. Makasih untuk postnya, jadi mengingatkan saya untuk merencanakan trip ke sana. 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Nah kan… saya juga lamaaa sekali oengen ke Vietnam Tengah ini. Akhirnya memang bisa tercapai semua Bama. Saya ke 3 tempat itu, hoi an, da nang, my son and hue. Yang terakhir ini ga banyak Champa-nya ttp. Mungkin bisa tambah Nha Trang kalo mau bener2 liat sisa2 Champa.
SukaSuka
Gemerlap lampu nya pasti gak bisa di lupain ya kak ? cantik banget ^^
SukaDisukai oleh 1 orang
Hehehe bener banget. Memang Hoi An itu cantik banget deh hehe
SukaSuka
hehe iyaaa… emang cantik banget…
SukaSuka