Borobudur in Silhouette


Sebagai candi terbesar di Indonesia, Candi Borobudur merupakan magnet yang amat kuat bagi saya untuk dijadikan destinasi. Berpuluh-puluh tahun lalu, bersama orangtua, saya menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di sana. Lalu tahun-tahun berikutnya lagi dan lagi. Saat remaja, lalu ketika honey-moon, kemudian bersama anak-anak saat mereka masih kecil, lalu berulang lagi, tak lupa saat-saat berkunjung berdua saja dengan sang belahan jiwa, tetap saja Borobudur tak pernah absen dikunjungi. Dan jika Tuhan masih memberi saya umur, di masa mendatang pun saya akan ke Borobudur lagi.

Namun di antara semua kunjungan itu, ada satu yang meninggalkan kesan amat dalam. Saat itu terjadi ketika saya meluangkan waktu khusus untuk bisa berada di Borobudur saat sunset dan saat sunrise. Wajah Candi Buddha terbesar di Indonesia ketika terjadi pergantian waktu siang ke malam dan sebaliknya itu, sungguh luar biasa. Bagi saya, suasananya terasa magis apalagi bentuk-bentuk yang terjadi menciptakan siluet yang seakan menyimpan misterinya sendiri.

Memang tidak murah untuk mendapatkan semua pesona itu. Waktu itu saya perlu menginap di Hotel Manohara, sebuah hotel berbintang yang mungkin secara eksklusif mendapatkan pengecualian bisa didirikan di kawasan UNESCO World Heritage Site dengan akses langsung ke Candi Borobudur.

Memang ada hotel-hotel yang lebih ramah di kantong di sekitaran Borobudur. Tidak hanya ada, melainkan banyak sekali, dari guesthouse, hotel melati sampai yang bagus dan mahal juga ada. Tetapi tetap saja, akses masuknya dari gerbang depan. Sedangkan bila kita menginap di Hotel Manohara, ada jalan khusus untuk memasuki Kawasan Candi Borobudur. Tapi mohon jangan tanya harganya ya, karena pasti bikin mules dan jika ada pilihan lain mending dipakai buat beli tiket ke destinasi lain 😀 😀 Tetapi apapun, demi kecintaan bisa diupayakan kan?

Dan jadilah hari itu, saya mendatangi Candi Borobudur untuk kesekian kalinya jelang matahari tenggelam. Jangan ditanya jumlah pengunjung lainnya. Banyaaaak sekali! Bisa jadi karena saat itu bertepatan dengan libur sekolah yang artinya, dimana-mana saya melihat orang lain.

Tidak hanya pengunjung domestik yang memenuhi Candi Borobudur, turis mancanegara pun tak kalah banyak. Semua menanti sang mentari menghilang dari ufuk Barat untuk kembali ke peraduannya.

Tetapi sesuai kata Sang Buddha,

May every sunrise bring you hope. May every sunset bring you peace.

Apapun keadaannya dengan begitu banyak orang, saya berdamai saja dengan situasinya. Bukankah mereka juga sedang menikmati keindahan dengan cara mereka sendiri? Karena pada saat yang sama, matahari menghilang dari pandangan karena harus menyinari bagian bumi yang lain,

IMG_5294
Buddha facing Sunset

Memang menarik menanti sang mentari tenggelam di ufuk Barat. Tetapi masih ada banyak situasi lain yang tak kalah luar biasanya. Saat itu langit sore tampil begitu indah di Borobudur. Saya tak mau melewatkan sedikitpun keindahan itu sehingga saya melipir sedikit, menjauh sisi Barat untuk membuat foto siluet stupa-stupa Borobudur. Sang Buddha yang berada dalam posisi duduk tanpa cungkup stupa, terlihat amat menarik dengan latar langit yang kuning keemasan.

IMG_5263
The Buddha Among the Stupas of Borobudur
IMG_5269
Sunset time in Borobudur Temple

Candi Borobudur yang didirikan abad ke-8 di atas bukit itu oleh Wangsa Syailendra itu memang memukau. Oleh karena strukturnya yang bertingkat-tingkat, tidak pernah ada tempat yang tidak indah untuk difoto, apalagi dengan langit kuning keemasan dan bentuk-bentuk stupa serta dinding candi yang memukau.

Berjalan di tingkat Arupadhatu, saya terpukau dengan seberkas sinar matahari sore yang berhasil menembus lubang salah satu Stupa. Cahayanya berkilau seperti batu permata kualitas prima yang tertimpa cahaya. Warna kuning keemasan menghias langit Barat sementara bentuk siluet hitam Stupa yang mengerucut itu seakan menyembunyikan misterinya sendiri.

IMG_5266
Sunset light through the Stupa of Borobudur

Bahkan setelah sunset pun Candi Borobudur masih meninggalkan keindahan. Sisa-sisa warna kuning keemasan yang masih menghias langit menjadikan perbukitan di sekitar Candi Borobudur sebuah pemandangan luar biasa. Borobudur menjadi saksi bisu keindahan alam sekitarnya, terjadi setiap hari sepanjang usianya.

IMG_5306
A Stupa on top of a gate in Borobudur at Sunset

Mentari telah hilang dari pandangan, pengunjung satu per satu meninggalkan Borobudur karena waktu berkunjung telah usai. Dengan suasana Borobudur yang lebih temaram, saya merasakan kesenyapan Candi Borobudur tanpa suara-suara pengunjung lain. Saya menikmatinya selama mungkin sampai akhirnya seorang petugas menangkap keberadaan saya lalu tersenyum.

Ah, meskipun menginap di Manohara, sudah sewajarnya saya tidak bertindak egois berkeliaran sendirian di candi Buddha terbesar di Indonesia ini. Para petugas juga ingin pulang untuk bercengkrama dengan keluarganya dan mereka tak bisa melakukannya selama masih ada pengunjung di Candi.

Sambil meminta maaf, saya kembali menuju hotel melalui jalan setapak. Ketika sampai di sebuah tanah lapang di dekatnya, sebelum masuk ke halaman hotel, saya berbalik badan, menghadap kembali Candi Borobudur yang kian erat dipeluk malam. Kamera saya masih bisa menangkap siluet Candi Borobudur sebelum lampu-lampu sorot kapasitas besar meneranginya.

IMG_5325
Borobudur Temple from Manohara’s path

-§-

THEN NEXT MORNING… SUNRISE TIME!

Saya sudah tak sabar sejak Subuh. Seperti seorang anak kecil yang mendapatkan hadiah ulang tahunnya, saya langsung saja keluar hotel begitu ada kesempatan pertama. Bahkan langit yang berawan pun saya tak permasalahkan. Lalu apa jadinya sunrise dengan kondisi langit yang berawan? Saya percaya, apapun situasinya pasti ada keindahan.

Bukankah setiap hari baru itu sebuah janji dari Sang Pemilik Semesta?

Each morning we are born again. What we do today is what matters most.

Matahari menyembul keluar dari balik awan pada saat saya berada di belakang sebuah patung Buddha yang menghadap Timur. Begitu tepat waktu, Perfect! Sempurna! Seakan melantunkan adanya harapan-harapan baru yang membias luas di setiap pagi.

IMG_5375
Buddha Image facing Sunrise at Borobudur

Saya melanjutkan langkah, menaiki tangga-tangga menuju lantai Arupadhatu. Sekali lagi siluet-siluet hitam dari Stupa dan bangunan-bangunan khas Candi Borobudur ditimpa cahaya matahari dari Timur membentuk keindahannya sendiri. Puncak stupa yang mengerucut ke atas memiliki harmoni tersendiri.

IMG_5383
Stupas in Borobudur at Sunrise Time
IMG_5384
The Morning Sun and Borobudur Stupas

Sekali lagi saya dibuat terpesona dengan seberkas sinar matahari, -kali ini dari Timur-, yang berhasil menembus lubang Stupa memberikan efek kilau yang luar biasa. Seakan saya melihat sebuah stupa dengan berlian di dalamnya yang berkilauan tertimpa cahaya matahari.

Ditambah lagi seorang laki-laki yang berjalan mengikuti arah jarum jam tampak mengatupkan tangan di depan dadanya, melangkah dengan pasti mengelilingi lantai Arupadhatu. Meskipun tak lagi menjadi tempat ibadah formal, tentu bagi seorang umat Buddha melihat keberadaan Sang Buddha membuatnya hatinya tergerak untuk beribadah. Sesuatu yang amat manusiawi.

IMG_5395
Morning Sunlight through the Stupa of Borobudur

Mentari semakin meninggi. Sebentar lagi situasi Candi Borobudur akan hangat kembali dengan kehadiran pengunjung-pengunjung. Saya pun tak bisa berlama-lama di lantai Arupadhatu karena harus segera turun ke sudut untuk bisa mendapatkan gambar Candi Borobudur di pagi hari tanpa manusia lain. Sekali lagi, saya merasakan kesenyapan Candi Borobudur tanpa banyak pengunjung. Di sudut tanah lapang itu saya merasakan keanggunan Candi Borobudur, bangunan yang didirikan dua belas abad lalu, tanpa komputer, tanpa teknologi modern namun mampu tetap membuat saya terkagum-kagum.

IMG_5406
Borobudur Silhouette in the Morning

Tak lama saya kembali ke hotel melalui jalan setapak lagi. Sesaat kemudian saya berbalik badan, kembali menghadap Candi Borobudur yang kini telah terang disinari Matahari. Candi Borobudur memang luar biasa.

Indonesia memang indah.

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-22 bertema Silhouette agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu

Lukisan Pagi Dari Sang Pencipta


DSC05475
The Magical Borobudur

Beberapa tahun lalu, Punthuk Setumbu menjadi saksi saya sekeluarga berjalan dalam gelap hanya untuk mendapatkan momen matahari terbit. Saat itu, walau matahari merangkak naik di balik awan, alam tetap berbaik hati dengan menghamparkan pesona Candi Borobudur berbalut kabut pagi yang luar biasa indahnya. Sebuah keindahan yang mempesonakan. Tak heran, ketika libur Lebaran tahun lalu tiba, saya mencari kesempatan bisa melihatnya kembali. Kali ini, hanya ingin memanjakan diri di hotel yang tenang dengan pemandangan cantik Borobudur dari kejauhan yang dikelilingi kabut pagi hari.

Tidak banyak hotel yang menjanjikan pemandangan luarbiasa itu. Kalaupun ada, harga kamarnya bisa menyentuh langit, yang tentu saja bukan pilihan. Akhirnya, di sebuah hotel yang terjangkau , semua yang diinginkan tersedia. Yang paling penting pemandangan Borobudur, -bangunan abad 8 yang terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site-, diselimuti kabut pagi bisa terlihat dari kamar!

bhills
Borobudur, The Infinity Pool and Mt. Merbabu

Tidak mudah menemukan hotel itu, apalagi saat itu di kawasan Borobudur diberlakukan pengalihan lalu lintas mengingat jumlah pengunjung yang melonjak selama periode Lebaran. Sungguh lokasi yang menggoda, membuat tak sabar untuk segera tiba. Lalu ketika saatnya datang, tak terduga masih ada pesona lainnya. Di kamar, tersedia infinity private pool dengan latar Borobudur dikejauhan, ditambah bonus Gunung Merapi dan Gunung Merbabu yang berjajar ikut menambah eksotisnya pemandangan yang bisa dihamparkan. Gunung Sumbing sedikit ke Utara tak mau kalah ambil bagian dalam pesona. Lalu, apakah saya terlupa mengatakan saat malam datang, ribuan bintang berkelip menghiasi langit. Rasanya sudah lama saya tak melihat bintang sebanyak itu.

Lalu keesokan harinya, sejak semburat sinar menghias langit Timur, saya telah terjaga. Gunung Merapi dan Merbabu tampak anggun bersebelahan di depan mata. Kabut-kabut menyelimuti lembah, membuat pepohonan dan desa seakan dekorasi di atas kanvas alam dengan Borobudur menjadi sentral pandangan mata. Lukisan yang sangat indah dari Sang Pencipta. Waktu berjalan dan secara perlahan cahaya mentari naik dari antara Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, memberi kehangatan pada permukaan bumi. Perlahan melenyapkan kabut, menjelaskan keindahan desa, membangunkan kehidupan dunia.

Menyaksikan semuanya, saya tahu, Pemilik Semesta selalu berbaik hati kepada saya dengan melimpahkan pemandangan indah pagi itu. Saya juga tahu, ada banyak orang yang sudah bangun jauh lebih awal dari saya, melakukan perjalanan subuh, berjalan kaki dalam gelap, hanya untuk mendapatkan pemandangan ini. Sedangkan saya, hanya dengan membuka mata dari tempat pembaringan, telah melihatnya. Apalagi disertai usaha melangkah ke beranda kamar, semua terpampang penuh pesona. Sungguh semua ini nikmat anugerah yang nyata.

The most beautiful way to start and end the day is with a grateful heart.

DSC05538
Borobudur, Like a Painting



Sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina & saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-7 ini bertemakan Pagi, agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – Through The Windows of Holy Shrines


Pashupatinath is a famous and sacred Hindu temple complex which is located on the bank of Bagmati River, in the eastern part of Kathmandu, Nepal. As one of the UNESCO World Heritage Sites in Kathmandu Valley, Pashupatinath has numerous religious buildings.

On the eastern bank of the river, visitor can see several similar white shrines, most of them are devoted to Shiva. These buildings are made from stone and decorated with intricate carvings with Shiva lingam installed inside the shrine. From the end of the shrines, through the windows of the holy buildings, visitor can see these lingams in a straight line.

Pashupatinath lingam

Windows

Cambodia – Finally Sambor Prei Kuk


Ada rasa haru ketika kaki akhirnya menjejak tanah di kompleks Sambor Prei Kuk, sebuah kompleks percandian yang lebih tua daripada Angkor, yang berada di wilayah Kompong Thom, sekitar 200 kilometer Barat Laut Phnom Penh. Ah, bumi Kamboja memang penuh monumen kuno yang selalu memanggil saya untuk datang… 

*

Sambor Prei Kuk, memang lebih jarang dikunjungi oleh pengunjung Angkor, mungkin karena lokasinya yang ‘nanggung’, – dipertengahan jarak antara Siem Reap dan Phnom Penh -, ditambah dengan kondisi tak banyak obyek wisata lain yang terlalu menarik untuk dikunjungi. Mungkin hanya diminati oleh para penggemar candi, seperti saya misalnya 🙂

Prasat Tao atau Prasat Boram (Group C – Tengah)

Diiringi suara khas desir angin pagi diantara pepohonan, saya melangkah melewati pagar pembatas kuno dan merasa disambut hangat di candi yang justru paling akhir dibangun, sekitar abad-9 atau awal abad-10 oleh Raja Jayavarman II yang dikenal sebagai penguasa pertama kerajaan Angkor. Prasat Boram oleh penduduk lokal biasa disebut Prasat Tao yang artinya singa, karena memang di tiap sisinya terdapat sepasang arca singa walaupun hanya tinggal satu sisi yang masih lengkap.

Decor on top of the door at Prasat Tao

Walaupun kini Prasat Tao hanya tinggal sendiri karena candi-candi kecil sekitarnya telah runtuh, menyisakan gundukan tak berbentuk, Prasat Tao tampak anggun seperti bermahkota tumbuhan liar hijau. Sisa kecantikan bangunan abad-9 dengan ketinggian 20 meter ini masih terasa dengan adanya sisa hiasan pada dinding dan pintu. Pada masa jayanya pastilah indah. Terlihat para ahli restorasi bersusah payah membuat replika hiasan dari bahan modern semirip aslinya, – yang serupa di candi abad-9 di Phnom Kulen -, walaupun hiasan itu terasa janggal, tak cocok waktu.

Mata saya langsung mengarah pada sepasang singa penjaga pintu yang duduk dengan kaki depan tegak, kepala menghadap depan dengan mulut membuka, terlihat sangat gagah dan kokoh. Kedua singa itu memiliki surai ikal yang amat cantik. Sebenarnya di keempat sisi lainnya ada juga pasangan singa, namun kini hanya tinggal cakarnya saja atau bahkan hilang sama sekali karena diambil paksa oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Lalu seakan meminta izin dari singa sang penjaga, saya melangkah masuk ke ruang dalam candi yang luas namun kosong. Sinar matahari masuk melalui lubang lebar di puncak bangunan, menjadikan situasi yang eksotis. Entah puncak itu memang sejak awal berlubang atau tertutup dengan bahan lain, tak pernah diketahui. Tepat di bawahnya berseberangan dengan pintu masuk, terdapat sebuah altar sederhana berisi arca kecil Buddha. Walaupun sejarah mencatat Sambor Prei Kuk didedikasikan kepada Dewa Shiva sebagai salah satu dewa utama Hindu, tempat-tempat yang dipercaya sakral oleh penduduk lokal masih difungsikan sebagai tempat untuk melantunkan doa dan pujian sesuai kepercayaannya kini.

Tak lama kemudian, saya melangkah keluar dan berbisik pada singa penjaga lalu melanjutkan langkah ke group lain di kompleks candi itu, meninggalkan Prasat Tao yang diam berdiri sendiri dalam hening.

Prasat Yeai Poeun (Group S – Selatan)

Kerumunan anak kecil dengan rayuan maut ‘One Dollar’ diusir dengan kasih sayang oleh pemandu saya. Ia, yang juga menjadi salah satu tenaga konservasi, menunjukkan saya jalan menuju Prasat Yeah Puon melalui jalan setapak. Tak perlu bahasa Inggeris sempurna, cukuplah ditambah bahasa tubuh dan senyum universal, komunikasi saya dengannya bisa terjalin hangat. Desir angin lagi-lagi mengantar saya di bawah rindangnya pepohonan, menyusuri pagar bata kuno –di satu sisi panjangnya mencapai 250meter dan sisi lainnya hingga 2 km-, yang menjadi saksi bisu perjalanan waktunya.

Octagonal Shrines with Flying Palace, Sambor Prei Kuk

Tak lama berselang saya melihat lima bangunan candi bata berbentuk segi delapan, yang kondisinya tak jauh beda dengan Prasat Tao bahkan mungkin lebih mengenaskan karena dibantu besi-besi penopang.  Mata ini dimanjakan dengan bentuk oktagonalnya yang merupakan arsitektur Khmer yang luarbiasa unik, tak ada lagi di tempat lain. Pada tiap sisinya terdapat dekorasi Flying Palace, -sebuah dekorasi yang menggambarkan istana dewa-dewi beserta isinya-, yang masing-masing berbeda di tiap bangunan, namun sayang sudah tak begitu jelas lagi karena dimakan waktu. Padahal menurut literatur, banyak penggambaran makhluk-makhluk khayangan yang tak biasa di dekorasi itu, termasuk kuda bersayap!

Selepas itu, saya melangkah memasuki bangunan yang berada tepat di depan candi utama, yang disebut Mandapa. Bangunan yang masih direnovasi karena rusak berat akibat hujan berkepanjangan di musim monsoon tahun 2006 lalu, dulunya merupakan tempat penyimpanan arca perak Nandi, kendaraan Dewa Shiva. Walaupun keberadaan Nandi perak itu tak lagi diketahui, ada yang menarik di Mandapa ini. Di dalam bangunan bata ini terdapat struktur sandstone, bukan bata, yang penuh dengan hiasan dan inskripsi abad-7 yang menyatakan Raja Isanavarman I telah mengalahkan dinasti Funan dan mendirikan bangunan ini.

Tetapi tak hanya itu, uniknya lagi, terdapat ukiran kepala yang disebut Kudu, yang diduga serupa dan sejaman dengan aliran budaya Hellenisme! Serta merta sebuah pertanyaan terbersit keluar, benarkah ini? Jelas sekali hiasan ini terpengaruh oleh budaya India, tetapi bukannya tidak mungkin pengaruh juga datang dari negeri-negeri yang lebih Barat? Hellenisme di Kamboja pada abad-7… wow!

Masih terkagum dengan kenyataan Hellenisme di Kamboja, saya menuju bangunan utama Prasat Yeai Poeun yang tingginya mencapai 25 meter dengan puncak terbuka. Saya berlama-lama di ruang itu, menikmati setiap hiasan pedestal yang teramat cantik walau hanya berupa rekonstruksi. Pedestal besar tempat Lingga Yoni didirikan, mengandung inskripsi yang menyatakan ada Arca Emas Dewa Siwa yang Tersenyum didirikan diatasnya. Tapi ah, rasanya mustahil melihatnya karena hingga kini arca itu tak ketahuan bentuk dan keberadaannya.

Sebelum meninggalkannya, saya berdiri diam menghadap grup Prasat Yeah Puon ini. Sambor Prei Kuk yang terdaftar sebagai Tentative List of UNESCO World Heritage Site ini turut menjadi korban alam dan keganasan perang. Tak sedikit bangunan bersejarah hancur ditelan waktu dan juga terkena bom-bom oleh pasukan Amerika saat perang dulu sehingga tak heran, kawah-kawah bom ada disana sini.

Saya melangkah menuju sebuah lempeng batu rekonstruksi yang berbentuk lingkaran dengan ukiran yang cantik yang lokasinya tak jauh dari bangunan candi yang sebagian dindingnya berselimut akar-akar pohon. Eksotis!

Decor on an upper part of circle pedestal
Decor on the lower part of circle pedestal

Prasat Sambor (Group N – Utara)

Kelompok candi terakhir yang saya kunjungi adalah Prasat Sambor yang terletak di bagian Utara dan merupakan group terbesar di kompleks Sambor Prei Kuk karena dinding pembatas luarnya hampir 400 meter dan sisi lainnya mencapai 2 kilometer. Prasat Sambor yang dibangun oleh Raja Isanavarman I di kota Isanapura ini diyakini menjadi candi utama Kerajaan Chenla.

Prasat Sambor, the 7th century main temple

Saya tergerak menuju sudut yang tadinya berdiri sebuah bangunan namun kini hancur tinggal dinding bawahnya saja, di tengahnya terdapat linggayoni. Sungguh miris rasanya melihat peninggalan-peninggalan sejarah terbengkalai di ruang terbuka terkena panas dan hujan. Kemudian saya melanjutkan menuju sebuah bangunan bata lain yang juga telah dihiasi tumbuhan liar disana sini. Didalamnya terdapat arca yang sangat menawan. Dewi Durga! Apalagi sinar matahari datang dari lubang atas yang berlatar batu bata merah. Eksotis sekali, walaupun arcanya merupakan replika (arca asli tersimpan aman di museum).

Menyusuri pinggir Prasat Sambor, di sudut lainnya saya memasuki bangunan yang berisikan arca Harihara yang menurut tradisi Hindu merupakan Dewa Shiva dan Dewa Vishnu dalam satu sosok. Walaupun hanya berupa replika, -aslinya dapat dilihat di Museum Nasional di Phnom Penh-, arca Harihara terlihat eksotis dengan sinar matahari dari atas dilatari bata merah.

Matahari sudah tinggi ketika saya selesai mengelilingi Prasat Sambor. Tinggal tersisa candi utama yang berada di tengah-tengah. Saya mendekati Candi Utama sambil melihat masih banyak dudukan lingga-yoni berbentuk bundar atau segi delapan yang terserak di sekitaran candi.

Selayaknya bangunan utama, ia berdiri sendiri di atas teras tanpa pepohonan pelindung lagi. Matahari terasa memanggang tanpa ampun. Tak ada pilihan lain kecuali segera menaikinya untuk berteduh sejenak dari sengatan matahari. Uniknya, candi utama ini memiliki pintu di empat sisinya. Di tengahnya terdapat dudukan Lingga-yoni (yang ditemukan dalam pecahan di sekitar candi), dengan diameter lubang lebih dari 1 meter! Sangat besar! Tak terbayangkan besarnya arca Gambhiresvara yang menurut inskripsi didedikasikan di candi ini, namun sayang hingga kini tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang bentuk dan keberadaannya.

Main pedestal Prasat Sambor with 1 meter diameter

Saya masih mendapat bonus dari kunjungan saya di Sambor Prei Kuk untuk menyaksikan Prasat Chrey yang seakan dipeluk erat oleh akar-akar pohon, terlihat sangat melindungi. Di kompleks Sambor Prei Kuk ini saja ada dua bangunan yang diliputi penuh dengan akar pohon, belum terhitung di Koh Ker atau seperti yang terkenal di Ta Prohm dan ditempat-tempat lainnya.

Rasanya selalu berat meninggalkan sebuah kompleks percandian, tetapi saya harus melanjutkan perjalanan. Seperti juga hidup, ada saat berjumpa, bersama dan tak boleh lupa waktunya berpisah. Sambil berterima kasih dalam hati saya melambaikan tangan pada kompleks Sambor Prei Kuk.

Korea – Warna-Warni Istana Deoksugung


Sebenarnya masih ingin berlama-lama di balik selimut. Saya ini kan sedang liburan, bukan dikejar target destinasi. Apalagi pagi di awal bulan November di Seoul itu sungguh dingin. Walaupun katanya 11°C tetapi menurut saya rasanya lebih dingin dari 7°C di Tokyo yang pernah saya alami di musim semi. Rencananya hari ini saya akan mengelilingi Seoul walaupun sedikit menyesal karena hari ini diramalkan akan hujan. Mengingat akan hujan itulah yang membuat saya bergegas walaupun tahu hari telah terlambat untuk dimulai.

Akhirnya saya melambaikan tangan pada penginapan itu, berjanji akan kembali untuk mengambil ransel pada sore harinya. Kamarnya yang modern, nyaman untuk solo-traveler seperti saya, tidak gaduh dan lokasinya di seberang Exit Seoul Station membuat saya mudah kemana-mana. Hari ini saya akan mengunjungi Istana Deoksugung, satu diantara empat istana yang terkenal di Seoul.

Deoksugung dapat dicapai dengan mengendarai subway line 1 dari Seoul Station dan turun di City Hall, Exit-2. Petunjuk arah jelas dengan karakter latin selain karakter Hangeul. Seandainya seluruh destinasi wisata di luar kota Seoul juga sejelas ini, tentu perjalanan saya ke provinsi-provinsi di Korea Selatan tidak seheboh itu.

Prosesi Penggantian Penjaga Istana

Tak perlu lama berjalan dari Exit-2, saya sudah di depan gerbang Daehanmun. Ketika melihat sebuah drum berlukis indah di pelataran di depan gerbang, saya menjadi ragu untuk langsung menjelajahi ke dalam istana. Benarlah, petugas tiket membenarkan bahwa prosesi penggantian penjaga istana akan dimulai tepat pk 11.00 Tak mungkin dalam waktu kurang dari 1 jam saya menjelajah istana yang luas ini, sehingga saya memilih untuk menanti prosesi itu.

Prosesi penggantian penjaga Istana yang menyerupai prosesi  di Istana Buckingham di London itu diwujudkan kembali sejak tahun 1996 setelah melalui riset mendalam dan komprehensif oleh para ahli sejarah Korea. Memang segala sesuatu yang terjadi di balik tembok Istana atau yang berkaitan dengan Kerajaan selalu menarik perhatian kaum kebanyakan, bisa jadi karena tidak semua orang beruntung terlahir dalam kalangan Istana Kerajaan.

Seperti makan obat, prosesi itu memiliki jadwal tiga kali sehari (pk 11:00, 14:00 dan 15:30) dan berlangsung selama 30 menit serta selalu mengikuti aturan baku. Dimulai dengan iringan musik tradisional, pasukan penjaga berpakaian indah penuh warna-warni berjalan dalam barisan rapi lalu komandan pasukan pengganti menemui komandan pasukan yang sedang berjaga untuk saling bertukar password sebagai verifikasi dan memastikan keaslian penugasan. Kemudian dilanjutkan dengan penggantian posisi penjaga dan diakhiri dengan prosesi barisan. Bagi saya, tanpa mengerti prosedurnya, acara itu sudah sangat menarik karena keindahan warna pakaian tradisionalnya. Ada yang seperti Lee Min-ho gak yaaa? Hehehe…

Istana Deoksugung

Selesai prosesi di depan gerbang, saya pelan-pelan menyusuri jalan yang di pinggirnya tumbuh pepohonan maple yang sedang berganti warna dari hijau menjadi kuning. Kadang dedaunan itu gugur terbang terbawa angin. Indah…

Dan seperti kebanyakan nasib istana-istana yang menjadi saksi diam atas perubahan peta kekuasaan baik secara terhormat maupun secara paksa yang menyedihkan, demikian juga kisah dari Istana Deoksugung ini. Istana ini sebenarnya dibangun untuk digunakan sebagai kediaman Pangeran Wolsandaegun, kakak dari Raja terkenal Seongjong dari Dinasti Joseon di abad-16, dan bukan menjadi Istana utama Raja, namun sejarah bisa bercerita lain.

Melalui sebuah gerbang dalam, saya berjalan menuju Junghwajeon, -bangunan ruang tahta yang direkonstruksi pada tahun 1906 setelah terbakar di tahun 1904-, yang terlihat megah berdiri di tengah-tengah ruang terbuka. Jalan pelintasannya dibuat dengan indah dengan kolom-kolom kecil sepanjang jalan menuju ruang tahta. Di bagian depan terdapat prasasti batu berhias yang tampaknya sangat bernilai karena diberi pagar pelindung. Sejarah mencatat dua Raja keturunan Dinasti Joseon naik tahta di istana ini yang salah satunya adalah Raja Gwanghaegun yang mengganti nama istana ini menjadi Gyeongungung.

Ketika melihat ke dalam ruang tahta, -yang merupakan pusat diskusi politik yang hangat antara pejabat tinggi pemerintahan selama periode Daehanjeguk yang dideklarasikan oleh Raja Gojong dan membawa Korea ke abad 20-, terlihat dekorasi sepasang naga yang menghiasi kanopi di atas tahta. Hiasan berbentuk Naga yang terlihat juga di langit-langit merupakan hiasan khas dari Istana Deoksugung.

Bersebelahan dengan ruang tahta Junghwajeon adalah Hamnyeongjeon, wilayah pribadi Sang Raja dan Ratu yang sangat luas. Jadi berbeda dengan kaum kebanyakan yang hanya memiliki satu ruang tidur untuk suami isteri, Raja maupun Ratu memiliki bangunan pribadinya sendiri-sendiri. Dan tentu saja, walaupun berjabatan sebagai Ratu, tetap saja memiliki prosedur yang harus dilakukan agar bisa bertemu suaminya, Sang Raja. Jadi siapa bilang nyaman jadi Ratu atau Raja?

Hamnyeongjeon, private residential area
Hamnyeongjeon, private residential area

Jeonggwanheon, -terletak di atas bukit kecil di bagian belakang menghadap istana-, merupakan bangunan dengan campuran gaya Barat dan Korea yang pertama kali dibangun pada tahun 1900 oleh arsitek Rusia, A I Sabatin. Walaupun menurut saya, bangunan itu sedikit mengganggu harmoni arsitektur tradisional Korea secara keseluruhan, tetapi siapa yang bisa mengerti jalan pemikiran Raja yang berkuasa saat itu? Entah apa yang ada dalam pikiran Raja Gojong saat menghabiskan waktu luang di tempat ini yang memang merupakan kebiasaannya. Dibangun sebagai tempat rehat dan bersukacita, bangunan ini mungkin juga untuk melupakan peristiwa kematian permaisurinya, Ratu Min, yang terbunuh di usia 43 tahun yang akhirnya membuat Raja Gojong menyelamatkan diri ke Agwan Pacheon yang merupakan gedung Perwakilan Rusia. Ah, saya jadi membuka-buka sejarah dunia…

Jeonggwanheon, designed by Russian Architect
Jeonggwanheon, designed by Russian Architect

Singkat cerita, akibat pembunuhan Ratu Min, -Permaisuri Raja Gojong yang pro China dan Rusia namun sangat anti Jepang-, oleh pasukan Jepang di istana Gyeongbokgung pada tahun 1895, menyebabkan Raja Gojong melarikan diri dari Istananya melalui lorong bawah tanah ke Agwan Pacheon karena keselamatan dirinya terancam. Rusia yang saat itu di pihak yang berseberangan dengan Jepang, mendapat ‘keuntungan’ dari peristiwa pembunuhan itu. Raja Gojong dan Putra Mahkotanya menetap di Agwan Pacheon hingga akhirnya kembali ke Istana Deoksugung pada tahun 1897 untuk menyatakan Kekaisaran Korea.

Lantai batu Istana yang indah lagi-lagi menjadi saksi bisu saat Kaisar Gojong memilih tetap tinggal di Istana Deoksugung setelah dipaksa untuk menyerahkan tahta kepada putranya, -yang akhirnya menjadi Kaisar Sunjong dan dikenal sebagai Kaisar terakhir Korea-, karena desakan Jepang. Pada masa inilah istana ini berganti nama kembali, dari Gyeongungung menjadi Deoksugung, sebagai harapan umur panjang dari (orang-orang) yang berbudi luhur yang menempatinya.

Bangunan Bergaya Barat

Istana Deoksugung yang berusia 5 abad itu itu memang unik. Di dalam kawasan istana dibangun beberapa gedung modern bergaya Barat diantara bangunan-bangunan khas tradisional Korea yang terlihat saling berbenturan gaya, namun ternyata disitulah kekuatan utama istana ini, unik. Dalam posisi tertentu, kita bisa tak yakin berada di kawasan istana di Seoul.

Seokjojeon (yang kini menjadi galeri seni) merupakan bangunan gaya Barat yang dibangun di Deoksugung. Karena Won yang menipis, saya tak masuk ke dalamnya namun bangunan dengan taman cantik berair-mancur inilah yang membuat saya tak percaya dengan mata sendiri, saya ini sedang berada di Seoul atau di Eropa…

Seokjojeon - is it in Seoul or not?
Seokjojeon – is it in Seoul? 🙂

Saya bergegas keluar karena hendak melanjutkan ke istana lain, walau tak yakin bisa memenuhi semua target yang ingin saya kunjungi di Seoul. Daun-daun berwarna kuning itu masih berjatuhan melayang tertiup angin musim gugur, memberi kenangan tersendiri tentang sebuah istana di Seoul.

Seri cerita sebelumnya di Korea:

  1. Ada Bahasa Indonesia di Seoraksan
  2. Hwangseong Fortress: Menjadi Warisan Dunia Karena Sebuah Buku Tua
  3. Menuju Seoul Dengan ‘Shinkansen’-nya Korea
  4. Haeinsa Trip: Beautiful Life Lessons with Ups & Downs
  5. Di Haeinsa Mahakarya Kayu Dijaga Berabad-abad
  6. Bercermin Diri dalam Harmoni Kuil Haeinsa

*****

Tambahan info

Buka 09:00 – 21:00 (terakhir pembelian tiket pk. 20:00)

Harga Ticket

  • Dewasa 1,000 won / lebih dari 10: 800 won
  • Remaja 500 won / lebih dari 10: 400 won
  • Gratis bagi anak 6 tahun kebawah, atau Lansia 65 tahun ke atas atau bagi yang mengenakan Hanbok atau setiap hari Budaya (Setiap hari Rabu terakhir setiap bulan)
  • Terusan 10.000 Won mencakup Istana Changdeokgung termasuk Huwon dan Secret Garden, Istana Changgyeonggung, Istana Deoksugung dan Istana Gyeongbokgung serta Jongmyo Shrine, yang dapat digunakan dalam waktu satu bulan setelah pembelian.

Jadwal Tutup

  • Setiap Senin: Istana Changdeokgung, Istana Deoksugung, Istana Changgyeonggung
  • Setiap Selasa: Istana Gyeongbokgung dan Jongmyo Shrine

Nepal – Menapak Pagi di Kawasan Monastik Lumbini


Every morning we are born again. What we do today is what matters most – Buddha

Mengutip selarik kata bijaksana dari Sang Buddha di tempat kelahirannya membuat pikiran saya bekerja cukup dalam sambil melangkah meninggalkan kamar menuju lobby untuk check-out. Walaupun hanya bisa sepenggal pagi hari berada di Lumbini, saya akan memanfaatkan kesempatan baik ini semaksimal mungkin untuk berkeliling di kawasan Monastik Lumbini dan tentu saja mengunjungi Kuil Mayadevi, tempat kelahiran Sang Buddha karena setiap detik yang begitu berharga.

Setelah menitipkan ransel di hotel, saya berjalan kaki menuju gerbang Barat, tempat Santa menunggu. Ya memang masih ada Santa hari ini karena kemarin, akhirnya saya memutuskan untuk memperpanjang sewa mobil sampai ke Kathmandu yang tentu saja disambut Santa dengan senyum yang sangat lebar. Sambil berjalan saya menanyakan kabar istirahat malamnya yang langsung dipotong sambil menggerutu, banyak nyamuk di Terai. Saya terbahak mengingat gurauan yang absurd, Terai bukanlah wilayah Nepal…

Santa menghentikan langkah saya dan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu, ia menawar sebuah rickshaw serupa becak untuk berkeliling kawasan monastik Lumbini. Inisiatifnya ternyata tepat, dalam waktu singkat jika harus berkeliling di kawasan itu dengan berjalan kaki, yang akan didapat hanya kelelahan tanpa mengetahui tempat-tempat bagus di kawasan ini.

Gerah udara pagi Terai tetap terasa walaupun saya hanya duduk manis di becak ala Nepal ini. Saya menyaksikan sendiri betapa kawasan seluas ratusan hektar yang dikelilingi oleh jalan Vishnupura ini merupakan kawasan internasional. Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha pastilah memiliki vihara di kawasan ini. Dan bentuknya? Pasti disesuaikan dengan ciri khas dari Negara-negara itu. Sebut saja Negara-negaranya, pasti ada…

Becak ala Nepal itu melewati jalan ‘tikus’ untuk sampai ke tengah kawasan melewati petak-petak tanah yang tak terpelihara. Ada sejumput rasa prihatin merambat di dalam hati. Untuk sebuah kawasan yang telah menorehkan tinta emas pada sejarah dunia dan sedikit banyak telah memberi warna perdamaian pada kemanusiaan, kawasan Lumbini ini sepertinya masih jauh dari kondisi yang seharusnya. Entah apa kabarnya dengan mega proyek pengembangan kawasan Lumbini yang telah di-gong-kan hampir empat puluh tahun lalu. Bahkan pencatatan Lumbini sebagai kawasan UNESCO World Heritage Site di tahun 1997 juga belum cukup mampu mengangkat kawasan itu nyaman terlihat di mata.

Dari balik rimbunnya petak-petak yang terabaikan itu saya sempat melihat puncak keemasan stupa Myanmar yang menyerupai Pagoda Shwedagon di Yangon, yang belakangan saya ketahui bernama Pagoda Lokamani. Tanpa masuk ke dalamnya, saya bisa membayangkan vihara Myanmar itu seperti bunga lotus yang hidup di air yang keruh.

From the mud of adversity grows the lotus of joy – Carolyn Marsden

Tepat setelah pagar batas dari vihara Myanmar itu, agak menjorok dari pinggir jalan saya menangkap dinding pagar keliling dengan ciri khas Kamboja seperti yang terlihat pada bangunan-bangunan candi di kompleks Angkor. Terlihat sepertinya masih dalam tahap penyelesaian akhir, ditambah dengan keberadaannya yang agak tersembunyi diantara petak-petak tanah yang terabaikan, membuat kompleks vihara Kamboja semakin tak terlihat. Entah mengapa pikiran saya melayang pada lembaran-lembaran uang yang tak kunjung terbang ke Lumbini.

The Royal Thai Monastery

Akhirnya becak à la Nepal berbelok memasuki kawasan vihara Thailand yang tentu saja didukung secara penuh oleh pemerintah Kerajaan Thailand. Walaupun bentuknya tak serupa, namun karena warna putihnya yang mencolok mata, bangunan vihara ini mengingatkan saya pada Wat Rong Khun (White Temple) di Chiang Rai. Pagi itu, bangunan vihara berlapis marmer berwarna putih terlihat sangat kontras dengan langit biru yang melatarinya. Walaupun ketika mendekat, tertangkap pula di mata saya beberapa bagian yang perlu direnovasi lagi. Ah, tetapi keadaan itu tak mengganggu kecantikan bangunan secara keseluruhan.

Royal Thai Monastery, Lumbini
Royal Thai Monastery, Lumbini

Becak pun terus dikayuh ke Utara menyusuri kolam buatan yang membelah kawasan Monastik menjadi dua bagian. Bagian Timur dari Kawasan Monastik Lumbini adalah vihara-vihara Buddha yang beraliran Theravada dan bagian Barat dari kolam buatan diidirikan vihara-vihara Buddha yang beraliran Mahayana dan Vajrayana.

Dan tepat di bagian Utara, -setelah menyeberang jalan Taulihawa-, terdapat World Peace Pagoda yang melengkapi World Peace Stupa (Shanti Stupa) yang ada di Pokhara. Keduanya, -merupakan bagian dari World Peace Pagoda di seluruh dunia-, didukung penuh oleh Nipponzan – Myohoji, salah satu aliran Buddha dari Jepang yang juga mendukung aliran anti kekerasan dari Mahatma Gandhi.

Setelah berputar di ujung kolam bagian Utara, saya memasuki kawasan vihara dengan aliran Mahayana. Terlihat bangunan cantik berbentuk stupa besar bergaya oriental yang sayangnya tidak diketahui namanya. Di dekatnya terdapat halaman yang tertata rapi namun sayangnya lagi-lagi tidak ada informasi asal Negaranya, walaupun orang lokal mengatakan vihara itu berasal dari Perancis.

Sebelum memasuki vihara yang ada disebelahnya, saya menyempatkan diri untuk menikmati kolam buatan yang terasa meneduhkan udara Terai yang gerah. Vihara modern di seberang kolam tampak seperti dipeluk kabut. Menenangkan sekali.

A Monastery near the pond, Lumbini
A Monastery near the pond, Lumbini

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Setelah melepas alas kaki, saya memasuki vihara yang didukung oleh Yayasan Tara dari Jerman, sehingga public sering menyebutnya Vihara Jerman (rasanya saya hampir saja tak percaya bahwa umat Buddhist di Jerman cukup banyak hingga dapat mendanai pendirian dan pemeliharaan vihara yang tak kecil). Bangunan ini dipelihara dengan sangat cantik dengan taman-taman yang tertata dan benda-benda yang berhubungan dengan ritual diletakkan di seluruh penjuru arah sebagai penguat tata letak. Jika saja pengunjung disana dapat lebih menahan diri tak bersuara, keheningan suasana ditempat ini membuat suasana meditatif kian terasa. Tak lupa di depan bangunan utama terdapat kolam yang ditengahnya terdapat Buddha Kecil, dengan tangan kanan menunjuk ke atas dan tangan kiri menunjuk ke bawah (bumi).

The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa
The Great Drigung Kagyud Lotus Stupa

Pada ruang dalamnya penuh dengan hiasan kehidupan Buddha yang dilukis baik pada dinding maupun pada langit-langitnya dengan warna-warna terang seperti merah dan kuning keemasan selain warna-warna biru muda yang meneduhkan.

Sekeluarnya dari vihara Jerman, saya menyusuri kolam buatan yang airnya sangat tenang sehingga menampilkan refleksi dari bangunan yang berada di pinggir kolam. Melewati sebuah bangunan bergaya Oriental dengan pagar tertutup tinggi, tak terasa langkah kaki membawa ke sebuah gedung berwarna putih pucat, yang sayangnya lagi-lagi tak memiliki petunjuk yang jelas. Sekelompok orang berwajah Hindustan tampak keluar dari gedung itu, entah usai beribadah atau sekedar melihat-lihat.

Monasteries near the ponc
Monasteries near the pond

Melewati sebuah gedung megah yang dari pagar hanya terlihat stupa besar dengan ciri khas Nepal, -memiliki mata seperti Bouddhanath dan Swayambhunath-, sang pengemudi becak ala Nepal telah menunggu kami untuk dikayuh kembali kearah vihara Zhong Hua dari China.

Vihara Zhong Hua

Saya melepas alas kaki untuk memasuki vihara berarsitektur China yang didominasi dengan warna merah ini. Dibandingkan dengan kuil atau vihara yang saya lihat sebelumnya, Vihara Zhong Hua ini sangat megah dan luas. Empat patung Dewa penjaga tampak gagah menghias area gerbang. Halaman bagian dalam tertata cantik yang mengarah ke gedung utama dengan Buddha berlapis emas yang duduk di altar. Secara keseluruhan seluruh bangunan yang ada di kompleks vihara ini dihubungkan dengan lorong terbuka beratap dengan pemandangan halaman taman yang cantik.

Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini
Zhong Hua Chinese Monastery, Lumbini

Vihara Korea

Tepat di depan Vihara Zhong Hua dari China berdirilah vihara Korea yang pada saat saya berkunjung sedang direnovasi. Melihat bangunannya, saya sampai berpikir di Lumbini tempat kelahiran Buddha yang mengajarkan kerendahhatian, entah kenapa saya merasa tetap saja ada upaya berlomba untuk menunjukkan vihara yang terbesar dan termegah. Jika sebuah negara sudah membangun vihara yang besar, ternyata ada negara lain yang membangunnya lebih besar, lebih megah. Lomba kedigdayaan? Entah…

Korean Monastery, Lumbini - under renovation
Korean Monastery, Lumbini – under renovation

Saya kembali berbecak menyusuri kanal di tengah untuk menuju Kuil Mayadevi, sejatinya tempat kelahiran Sang Buddha. Pengemudi becak ala Nepal itu menyelesaikan pekerjaannya di ujung kanal tempat nyalanya Api Perdamaian Abadi, Eternal Peace Flame, yang dinyalakan oleh Pangeran Gyanendra Bir Bikram Shah di tahun 1986. Dari posisi Api Perdamaian Abadi itu, saya melihat lurus ke Utara, terlihat samar warna putih Stupa dari World Peace Pagoda.

Berbalik badan menghadap arah Mayadevi temple, terhampar di depan mata jalan pelintasan panjang seakan membelah udara panas wilayah Terai. Terbayang gerah dipanggang oleh udara, tetapi sungguh dapat dimengerti, inilah wilayah yang begitu berharga bagi dunia, sejatinya seseorang yang telah mengubah warna dunia lahir di wilayah ini hingga tentu saja saya bersedia berjalan kaki untuk mencapainya walau panas sekalipun.

Sekitar 100 meter berjalan saya tiba di sebuah bundaran kecil yang ditengahnya terdapat patung Buddha kecil, dengan telunjuk kanan mengarah ke langit dan telunjuk kiri mengarah ke bumi, seperti kisah yang tertulis pada sutra mengenai tujuh langkah yang dilakukan oleh Buddha setelah kelahirannya.

Masih berselimutkan gerahnya udara pagi Terai, kaki terus melangkah menuju Mayadevi Temple, seakan mengetahui akan adanya keajaiban lain yang telah menunggu disana…  (baca kisahnya  Khata – Syal Putih dari Lumbini)

*

Ketinggalan cerita? coba cek disini – Rangkuman dan series cerita perjalanan di Nepal

Laos – Memenuhi Janji ke Wat Phou


Walaupun sudah berusaha lebih awal, saya sampai di gerbang Wat Phou pada saat matahari membentuk sudut kecil dengan tegaknya di atas kepala. Namun demikian, diiringi panas yang juara, saya berdiri diam dalam haru, setelah sekian lama akhirnya saya bisa menjejak di Wat Phou, kompleks percandian terakhir dari daftar candi yang dianugerahi oleh UNESCO sebagai World Heritage Site sebelum tahun 2014 di kawasan Asia Tenggara. Laksana sebuah pita lebar, pikiran saya terbang dan menalikan Borobudur, Prambanan, Angkor, Preah Vihear, Ayutthaya, Sukhothai, My Son dan kini Wat Phou yang ada di depan saya. Lengkap, 8 situs. Delapan, bentukan angka yang tarikan garisnya lengkung tak berujung.

Dan sebagaimana umumnya UNESCO World Heritage Site, jarak antara gerbang dan lokasi candi pasti masih jauh. Tetapi untunglah pemerintah Laos menyediakan layanan shuttle gratis sejenis golf-car berkursi banyak untuk mengantarjemput pengunjung dari gerbang masuk ke batas awal percandian. Sesuatu yang patut diacungi jempol untuk memajukan industry pariwisatanya. Tak terbayangkan seandainya harus berjalan kaki terpanggang matahari sepanjang hampir satu kilometer…

Kendaraan shuttle itu menyusuri pelan di pinggir baray (kolam buatan) yang airnya memberikan kesejukan di tengah hari yang panas dan menurunkan seluruh pengunjung di sudut Barat Daya baray. Berbeda dengan kebanyakan orang yang lebih memilih berjalan di jalan aspal di samping baray kedua yang telah mengering, saya justru memilih melakukan kunjungan secara ‘resmi’ melalui jalan pelintasan seremonial yang diapit dua baray kedua yang telah mengering.

The ceremonial causeway of Wat Phou with Lingaparvata as background
The ceremonial causeway of Wat Phou with Lingaparvata as background

Sebelum melangkah, tanpa menghiraukan terik yang memanggang, saya berdiri dalam hening di awal jalan pelintasan yang terbentang di depan, menatap lurus ke candi yang berada di atas bukit. Seperti juga di tujuh situs sebelumnya, saya selalu menautkan hati dengan bumi yang berada di bawah kaki saya, inilah tempat-tempat yang memiliki keluarbiasaan. Seakan memberi sambutan khusus, sejumput awan bergerak menutup matahari barang sejenak ditambah kesejukan udara dari baray besar tadi yang terasa membelai dari arah belakang. Jalan pelintasan lama ini beralaskan batuan pipih membentang tepat di tengah menuju bangunan candi. Saya memang tengah berdiri di pintu pertama dari jalan pelintasan resmi yang dulu digunakan untuk sebuah prosesi seremonial, jalan yang digunakan para Raja dan kaum bangsawan pada masa keemasannya. Tak heran auranya terasa magis dan suasana alamnya luar biasa…

Inilah candi kuno yang dulu selalu diasosiasikan dengan kota Shrestapura, kota yang terletak di pinggir Sungai Mekong dan berhadapan langsung dengan Gunung Lingaparvata. Dua symbol suci bagi mereka yang percaya, gunung yang berada di ketinggian dan dari namanya saja sudah dapat ditebak merupakan tempat kediaman salah satu dewa dalam Trimurti dan sungai besar yang tentu saja diasosiasikan dengan samudra atau Gangga yang suci. Jelas sekali bahwa Wat Phou ini didedikasikan Shiva, Sang Mahadewa.

Masih berdiri di awal jalan pelintasan, saya menatap pegunungan dengan puncak Lingaparvata yang melatari Wat Phu. Siapa yang mengira saya bisa menjejak di tempat yang berada segaris membagi dua antara Angkor Wat dan My Son, seakan memberi konfirmasi dari inskripsi yang ada bahwa sejak jaman dulu, tempat suci di bumi Laos sekarang ini memang telah memiliki hubungan langsung dengan Kerajaan Champa (sekarang Vietnam) dan juga Kerajaan Chenla (sekarang Kamboja).

Pemikiran itu menggugah senyum dalam hati, membayangkan sebagai bagian rombongan bangsawan melangkah pelan di jalan pelintasan beralas batu dan berhiaskan tonggak setinggi pinggang di kanan kiri. Jika dahulu jalan pelintasan ini terhampar bersih, kini mata perlu jeli agar kaki melangkah tanpa perlu menginjak kotoran binatang yang tertinggal.

Struktur pertama sebelah Utara menarik perhatian saya untuk dijelajahi terlebih dahulu, sementara bagian Selatan mengalami perbaikan di sana sini. Setelah mengambil gambar tampak luar, saya mulai menapaki tangga dan menyusuri dinding-dindingnya. Jendela berteralis batu berulir seperti di Angkor membuat saya lupa sejenak berada di bumi Laos. Memasuki bangunan tanpa atap ini, menjadikan imajinasi bergerak liar. Saya bebas membayangkan ruangan di hadapan ini, pada masanya berlantai kayu yang indah atau dibiarkan terhampar dengan rumput yang terpelihara. Saya juga mengintip dari balik gallery yang biasa tertutup atap lengkung. Disini pastinya sangat menyenangkan, memandang bumi Champasak yang terhampar jauh di hadapan dengan air yang memenuhi baray memberi keteduhan tersendiri.

Bangunan kembar di Selatan dan Utara ini, yang sering disebut sebagai istana, -bisa jadi untuk rehat bagi para bangsawan yang berkunjung-, merupakan bangunan pertama yang ditemui setelah akhir dari jalan pelintasan. Hanya bangunan di Selatan memiliki tambahan Kuil Nandi, bhakta (pemuja) setia Dewa Shiva, selain sebagai kendaraannya. Sayang sekali, di beberapa tempat terserak batu-batu hiasan yang cantik yang bisa jadi masih menunggu dikembalikan ke posisinya.

Kembali ke jalan pelintasan tengah, terlihat permulaan tangga berundak di ujung jalan. Tangga di tengah yang dinaungi pohon kamboja (frangipani) ini tidak dapat dilalui karena telah rusak dimakan usia sehingga pengunjung harus memutar sedikit. Dari sedikit ketinggian, pemandangan sudah terlihat membentang luar biasa.

Saya terus melangkah di jalan pelintasan yang kini menanjak dan berakhir di sebuah tangga berundak lain yang juga dinaungi pohon kamboja yang mengundang saya untuk rehat sejenak di bawahnya sambil mengamati bentuk dekorasi anak tangga dan orang yang melakukan sembah dan doa di depan sebuah patung berdiri berselempang hijau. Patung yang konon disebut dengan Dwarapala ini, bergaya Khmer dan hanya tinggal sendiri.

Setelah air botol habis, saya bergegas menuju kuil utama di atas melalui jalan berbatu yang kini tak lagi rata. Tangga di depan mata ini cukup curam, tak rata dan berdasar sempit dan tentunya tanpa pegangan tangan. Di beberapa tempat tinggi batunya mencapai lutut orang dewasa. Salah langkah disini, glundung sudah pasti.

Dibangun berdasar kosmologi Hindu, Wat Phou merupakan sebuah candi gunung, sebagai representasi gunung suci Meru, pusat alam semesta tempat kediaman para dewa. Dengan demikian, setiap lantai di Wat Phou bertambah tinggi seiring kenaikan levelnya, persis sebuah piramida.

Wat Phou - Central Sanctuary, Champasak, Laos
Wat Phou – Central Sanctuary, Champasak, Laos

Memasuki level teratas, selain menemukan batuan berukir yang terserak menunggu dikembalikan ke posisi sebenarnya, saya juga mengamati bangunan utama. Wilayah ini sudah digunakan sejak abad-5 sebagai tempat suci walaupun struktur yang sekarang berdiri berasal dari abad-11 hingga abad-13. Keindahan bangunan ini dipenuhi dengan hiasan rumit dwarapala dan devata di dinding. Berbagai hiasan di atas pintu seperti saat Krishna mengalahkan ular Kaliya dengan menari di atas kepalanya di atas pintu kiri atau Indra yang sedang menunggang Airvata sang gajah berkepala tiga di pintu tengah, Vishnu dengan mengendarai Garuda menaklukan naga di pintu kanan, Vishvakarma di atas Kala dan dijaga oleh singa.

Indra on Airvatha, Wat Phou
Indra on Airvatha, Wat Phou
Vishnu on Garuda, Wat Phou
Vishnu on Garuda, Wat Phou
Vishvakarma on Kala, Wat Phou
Vishvakarma on Kala, Wat Phou
Krishna defeats Kaliya, Wat Phou
Krishna defeats Kaliya, Wat Phou

Sejak abad-13 Wat Phou dialihfungsikan menjadi tempat ibadah Theravadda Buddha tanpa mengubah ornamen dinding namun hanya menambahkan patung Buddha, yang ritual ibadahnya dilakukan hingga kini. Pada altar tengah terdapat Buddha dengan pernak-pernik pemujaan di sekitarnya termasuk gong. Pada meja depan terdapat 3 buah batu yang terlihat cukup berat jika diangkat.

Inside the Sanctuary of Wat Phou
Inside the Sanctuary of Wat Phou

Di halaman sebelah Utara bangunan terdapat patung Boddhisatva yang kondisinya sebagian rusak namun dupa-dupa di depannya menandakan masih dipergunakan. Di belakangnya terpahat pada sebuah batu besar, Trimurti dengan Shiva di tengah, diapit oleh Brahma di sebelah kiri dan Vishnu di kanan.

Wat Phou view from the main sanctuary
Wat Phou view from the main sanctuary

Saya berjalan ke arah tebing di sebelah Utara, pemandangan kearah dataran rendah Laos terlihat semakin luar biasa dari balik pepohonan. Saya melihat banyak tumpukan beberapa batu pipih disusun keatas layaknya sebuah pagoda, yang sering juga saya lihat di Korea, Jepang, maupun di Angkor yang konon merupakan upaya meditasi yang menyusunnya. Selain itu, banyak batuan besar yang terlihat ‘labil’ ,-karena disangga bidang yang lebih kecil-, dipenuhi oleh penyangga kayu-kayu yang sengaja diletakkan pengunjung yang ibadah. Bisa jadi semua dilakukan berdasarkan keikhlasan turut menyangga sesuatu yang bersifat genting dan kritis.

Akhirnya saya mendapatkan Batu yang berpahat gajah itu. Luar biasa sekali. Beberapa saat menikmati batu gajah itu, semilir angin terasa membelai dari belakang. Karena saya tak merasakan kehadiran manusia lain di dekat saya, dan konon, jauh berabad sebelumnya tempat ini dijadikan tempat persembahan manusia, hal itu membuat saya bergegas kembali ke kuil utama.

Di tebing belakang kuil yang merupakan tempat awal kesakralan Wat Phou karena di bawah batu yang terlihat menggantung itu dialirkan air dari mata air melalui saluran berukir yang hingga kini tetap dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari dan ditampung pada tempat yang menyerupai sebuah yoni berongga. Padahal semua itu terdapat di sebuah ruang (ceruk) yang terbentuk di bawah tebing menggantung. Alam menyangganya dengan sangat baik.

Saya melihat dengan penuh ketakjuban, menyadari sangat kecilnya saya dibandingkan tebing batu itu. Kekuatan manusia tak ada apa-apanya. Sekali penyangganya terlepas, manusia lenyap, tak berbekas, penyet…

Udara masih panas, tetapi saya harus melangkah pelan meninggalkan Wat Phou, lokasi terakhir janji saya yang mewujud. Angka delapan itu tak putus, meliuk melingkar hingga suatu saat kita akan berjumpa lagi…

Nepal: Terjebak Lorong Waktu Menuju Dattatreya


Baru saja meninggalkan kamar ketika langkah kaki terhenti sejenak melihat beberapa orang, -sepertinya tetangga sekitar-, melakukan puja dan ibadah pagi di tempat pemujaan kecil yang ada di bagian dalam halaman penginapan. Pikiran langsung melayang pada ritual serupa di tanah air atau juga di banyak tempat. Sepertinya semua agama memiliki keserupaan mengawali hari dengan ibadah, menciptakan hubungan yang amat pribadi antara manusia dengan Sang Khalik Pemilik Semesta. Indah sekali.

 

Tak ingin mengganggu mereka lebih lama, saya melipir dinding kearah luar melalui pintu belakang dan menemukan deretan gerabah tanah liat teronggok begitu saja tanpa ada yang menjaga. Siapa juga yang berniat mengambilnya karena hampir semua sudut dekat penginapan terdapat deretan gerabah serupa. Tak heran Bhaktapur terkenal juga dengan Pottery Square-nya, sebuah tempat yang kemanapun mata memandang terdapat gelaran gerabah yang instagramable. Namun entah kenapa, hal yang menjadi salah satu ikon Bhaktapur itu bukan menjadi fokus saya pagi hari itu, karena kedua kaki ini mengajak kembali menuju Bhaktapur Durbar Square melalui lorong berdinding bata yang menjulang tinggi.

Berada di lorong sempit di antara bangunan tradisional, rasanya seperti menekan tombol mesin waktu ke abad pertengahan. Jarak antar bangunan begitu rapatnya hingga langit hampir tak terlihat karena tertutup sambungan atap dari bangunan yang berseberangan. Beberapa kali saya mendongak ke atas mencari langit sambil mengukur ketinggian jendela-jendela Newari yang menghias dinding. Mau tidak mau saat melihat material dinding, sejumput pikiran teknis yang terinstal di kepala muncul sekejap dalam rasa ngeri, dinding-dinding itu terlihat begitu ringkih, mudah runtuh dan sangat berisiko (dan enam bulan kemudian, Bhaktapur menjadi salah satu kawasan terburuk yang terkena dampak gempa bumi April 2015)

Benar-benar seperti terperangkap dengan apa yang saya lihat dan apa yang saya rasakan di Bhaktapur ini. Mereka meneruskan tradisi hingga sepertinya kesan kuno Bhaktapur tetap terjaga. Mereka tetap menggunakan batu bata dengan perekat lumpur untuk mendirikan atau merenovasi bangunan yang bergaya tradisional di negeri indah ini. Bisa jadi karena bahan konstruksi mahal dan tidak mudah didapat di negeri yang dikelilingi dua negara besar India dan China ini. Ketika melihat semua yang kuno di Bhaktapur ini, tidak hanya sekali saya mencubit diri sendiri, ini bukan mimpi kan? Tapi terasa pedih, ini sungguh nyata, bukan mimpi, saya ada di abad-21!

Akhirnya saya menjejak lagi di alun-alun istana lama itu. Saya terpana dengan pemandangan sekitarnya, -sungguh berbeda dengan keadaan sore sebelumnya yang padat dengan pengunjung-, kali ini hanya ada dua orang di ruang terbuka luas itu diantara burung-burung pagi yang sibuk mencari makanan di pelataran depan kuil Vatsala Durga (yang kini telah rata dengan tanah akibat gempa 2015). Rasanya janggal melihat bangunan-bangunan indah di Bhaktapur Durbar Square itu dibalut kelengangan, seperti masih terlelap dalam pelukan pagi. Sepinya terasa menggigit dan mampu membuat saya terdiam dalam hening, merasa seperti ribuan mata damai tengah memperhatikan. Menyadari hari ini terakhir di Bhaktapur, saya berbisik pamit pada tempat dengan kedamaian pagi yang indah ini. Semoga waktu bisa mempertemukan kita lagi disini.

Saya melanjutkan langkah ke Taumadhi Square, alun-alun kecil lainnya tempat Nyatapola megah berdiri dan hanya berjarak seratus meter dari Bhaktapur Durbar Square. Di balik sebuah panggung batu saya melihat orang-orang menggelar dagangannya di tanah beralaskan plastik lebar. Sayuran, ubi, tomat, labu, bawang merah, bawang putih, buncis, rempah-rempah, paprika, kembang kol, ketimun, dan masih banyak lagi keperluan sehari-hari. Pelan-pelan saya melangkah menikmati situasi, dikelilingi bangunan berusia ratusan tahun dan ditengah pasar dadakan yang penuh dengan orang berbaju tradisional. Rasanya sama seperti terjun  kembali ke abad pertengahan. Lagi-lagi saya berpikir, ini bukan abad-21!

Diterpa keterpanaan menyaksikan semuanya dalam pusaran ‘lorong waktu’ ini, saya terus mengikuti kaki melangkah dan terhenyak saat menyadari sudah berdiri di depan penginapan saya sendiri dari sisi yang berbeda. Ah, kali ini bisa jadi si dua kaki menurut pada si perut yang memerintah 🙂

Dan karena sudah di depan penginapan sendiri, saya sempatkan untuk menikmati sarapan yang tersedia di lantai teratas yang terbuka (rooftop). Kali ini saya merasa kembali ke abad-21 lagi karena makanan yang sedikit internasional walaupun terasa aneh karena sarapan ditemani burung gagak. Bisa jadi terpengaruh cerita-cerita tentang burung gagak… 😀

Selepas sarapan saya melanjutkan jalan-jalan pagi, kali ini lebih mengarah mencari ATM atau money changer untuk menambah lembaran Nepali Rupee yang sudah tinggal satu atau dua sambil, -jika memungkinkan-, menjelajah ke tempat lain.

Kali ini saya mengambil arah lain yang lebih sepi walaupun tetap berhiaskan dinding bata yang menjulang tinggi dengan ukiran-ukiran rumit pada jendelanya. Angin pagi bulan November terasa lembut menerpa muka. Alunan musik tenang bernada oriental Tibet Om Mani Padme Hum yang mengalun lembut sepanjang toko-toko terdengar menghipnotis di telinga, seakan membawa saya kembali dalam perjalanan waktu. Rasanya memang luar biasa, langkah yang sangat ringan, tak ada beban, terbang melayang…

Hingga sampai pada muara lorong itu…

Tepat di depan sebuah hiti, -tempat pengambilan air- dan di depannya terdapat sebuah panggung kecil dari batu. Saya tersadarkan berada di sebuah square lain dan pastinya dekat dengan sebuah tempat istimewa. Saya masih melangkah, di sebelah kanan saya dinding rumah dengan hiasan rumit yang sangat cantik tapi terawat dengan baik.

Hingga saya berdiri dekat sebuah kolom dan mendongak melihat sesuatu di atas…

Garuda!

Garuda at Dattatreya Temple
Garuda at Dattatreya Temple

Dalam sekejap rasanya seluruh aliran darah meluruh semua ke bawah meruntuhkan kekuatan berdiri begitu menyadari bangunan yang ada di hadapan mata adalah Dattatreya, kuil yang dibangun oleh Raja Yaksha Malla di tahun 1427! Kuil berusia ratusan tahun dan konon dibuat dari satu pohon ini, didedikasikan kepada sosok inkarnasi ketiga dewa utama dalam Hindu, Brahma, Vishnu dan Shiva. Namun dengan empat symbol Vishnu yang ada di depan bangunan, Gada, Cakra, Lotus dan Kerang menyadarkan presentasi reinkarnasi dewa yang lebih diutamakan di kuil ini.

Garuda, Cakra, The Mace, Conch Shell, Lotus in front Dattatreya
Garuda, Cakra, The Mace, Conch Shell, Lotus in front Dattatreya

Saya masih dipenuhi rasa tak percaya mengikuti kaki melangkah hingga ke tempat ini bahkan tanpa peta sekalipun, hanya berdasarkan ingatan bahwa somewhere in Bhaktapur, there is Dattatreya square. Bahkan dalam lorong jalan yang ditempuh tak ada satu pun rambu yang menunjukkan arah ke Dattatreya. Seakan-akan memang saya ‘dibawa terbang’ ke tempat ini menembus lorong waktu untuk sampai ke tempat cantik ini.

Bhimsen Temple in front of a hiti, Dattatreya Square
Bhimsen Temple in front of a hiti, Dattatreya Square

Tengah menikmati situasi sekitar yang aslinya berasal dari abad pertengahan, secara tidak sengaja mata ini tertumbuk pada sebuah proses jual-beli disitu. Mendadak rasa dingin menyerang sekujur tubuh menyadari isi dompet yang telah tipis dan waktu yang berangkat siang. Saya harus segera mencari ATM Internasional atau money changer. Tetapi di Bhaktapur? Di pagi hari seperti ini? Pikiran ini sekejap membolakbalikkan pikiran saya antara abad-21 dan abad pertengahan tepat seperti apa yang saya lihat di depan mata. Ah… saya mungkin gagap waktu!

Dengan miris tak ikhlas, sejumput kata perpisahan kepada Dattatreya saya bisikkan dari dekat kolom Garuda. Alun-alun kecil di Bhaktapur ini telah dengan ajaibnya memberi warna di dalam hati dengan membiarkan ditemukan hanya dari sebuah bimbingan hati. Benar-benar berat untuk melangkah meninggalkan kawasan Dattatreya, tetapi saya sadar waktu tak pernah menunggu. Memutar langkah, saya melangkah kembali, suatu saat kita akan berjumpa kembali…

Menyusuri jalan yang sama, kali ini lorong waktunya lebih cepat berganti ke abad-21, mungkin karena kebutuhan uang yang mendesak. Mata saya lebih tajam mencari logo ATM ataupun Money Changer. Semoga sistem ATM-nya buka 24 jam atau  money changer sudah buka.

Selagi melangkah mencari ATM, di ujung lorong dari sebuah kios yang tersembunyi, mata menangkap rangkaian bulu merak yang dibentuk menjadi sebuah kipas yang tergantung. Sebagai penggemar merak, semua yang berhubungan dengan merak cepat sekali saya kenali. Tentu saja saya ingin membelinya, tetapi tidak punya cukup uang untuk itu. Entah kenapa tetapi situasi ini sepertinya saya kenali, seakan saya sedang diuji… Apakah saya memilih membeli merak dengan lembaran besar USD atau meneruskan langkah untuk mendapatkan Nepali Rupees seperti niat awal sekembalinya dari Dattatreya tadi. Sebuah godaan…

The lane to Dattatreya
The lane to Dattatreya

Saya memilih meneruskan mencari Money Changer dan melepas keinginan membeli kipas merak itu lalu melanjutkan langkah.  Dan benar saja, sekitar 500 meter setelahnya saya melihat tulisan Money Changer yang hanya bisa dilihat dari posisi arah jalan saya. Dan yang terpenting, money changer tersebut telah buka! Ah, lagi-lagi saya mendapatkan berkah keajaiban pagi ini. Setelah sehari sebelumnya mencoba beberapa ATM dan tidak berhasil, sepertinya saya memang ditakdirkan mengalami perjalanan bolak-balik melalui lorong waktu. ATM merupakan teknologi yang sudah umum di abad-21 namun saya tidak berjodoh dengan menggunakan teknologi abad-21 itu di Bhaktapur. Pagi ini di kios Money Changer, saya kembali dihadapkan kepada proses tradisional, yang dilakukan sama berabad lalu, -seperti juga di abad pertengahan-, dalam hal penukaran mata uang asing. Selembar USD tadi telah berubah menjadi NPR, dan lega rasanya membawa kembali NPR di dompet.

Dengan adanya uang di dompet, timbul lagi keinginan kembali ke kios yang menjual kipas bulu merak. Tetapi lagi-lagi ada rasa ragu, entah kenapa, saya ragu tak cukup waktu untuk ke bandara mengejar pesawat. Entahlah, tetapi saya membatalkan untuk kembali ke kios yang menjual kipas merak itu, sebuah keputusan setengah hati yang mungkin saya sesali karena hingga kini saya tidak pernah punya kipas merak! Tetapi, ah, bisa jadi kipas bulu merak yang cantik itu memang bukan jodoh saya, melainkan milik mereka yang ‘terjebak di abad pertengahan’…