Mengintip Puncak Merapi dari Balik Legenda Candi Sewu


Konon, suatu hari yang indah di bumi Mataram…
 
Seorang puteri raja yang cantik jelita, Roro Jonggrang namanya, tengah meratapi kematian ayahnya, Prabu Boko, yang gugur di tangan Sang Pangeran dari Kerajaan Pengging, kerajaan di sebelah wilayah kerajaan Boko.
 
Sementara itu, Bandung Bondowoso, nama Sang Pangeran yang terkenal sakti itu, tengah berupaya menaklukkan rasa gundahnya karena telah membunuh ayah dari Roro Jonggrang. Sebagai Pangeran, ia harus menjaga keutuhan wilayah kekuasaan kerajaannya, tetapi di sisi lain, ia tak sampai hati melihat penderitaan seorang puteri cantik. Untuk menebus rasa bersalahnya, sebagai laki-laki sejati ia berniat menikahi Roro Jonggrang sehingga ia bisa menjaga Sang Puteri seumur hidupnya.
 
Perasaan tulus ikhlas Bandung Bondowoso ingin memperisteri Roro Jonggrang, disambut Sang Puteri dengan perasaan campur aduk. Tentu saja Roro Jonggrang tidak mau menerima lamaran Bandung Bondowoso, pembunuh ayahnya. Tetapi sebagai seorang puteri, ia harus menggunakan cara-cara yang anggun untuk menolak lamaran tanpa terlihat sikap penolakannya. Setelah berpikir keras, Roro Jonggrang bersedia menerima lamaran dengan dua syarat, yakni Bandung Bondowoso harus membuat sebuah sumur Jalatunda dan seribu candi yang harus selesai dalam sehari semalam. Yakin akan kesaktiannya, Bandung Bondowoso menerima persyaratan itu.
 
Bandung Bondowoso dengan mudah menyelesaikan pembuatan sumur Jalatunda. Tak percaya persyaratan pertama telah selesai dan teringat ia harus bersanding dengan laki-laki pembunuh ayahnya, Roro Jonggrang berusaha memperdaya Bandung Bondowoso dengan memintanya memeriksa kekuatan dinding sumur. Ketika Bandung Bondowoso berada di dasar sumur, Roro Jonggrang bersama dayang dan pembantu istana berusaha mengubur hidup-hidup Bandung Bondowoso dengan timbunan tanah. Namun, karena kesaktiannya, ia berhasil keluar dari timbunan tanah itu. Bandung Bondowoso sempat marah karena tipu daya Roro Jonggrang, tetapi Sang Puteri berhasil memadamkan kemarahannya karena gerak gemulai, rayuan dan kecantikannya. Bandung Bondowoso pun luluh hatinya dan bermaksud menyelesaikan persyaratan ke dua.
 
Karena kesaktiannya, Bandung Bondowoso berhasil meminta bantuan para makhluk halus untuk membangun 1000 candi. Melihat pekerjaan membangun 1000 candi itu hampir rampung, Roro Jonggrang membangunkan para dayangnya dan perempuan desa untuk mulai menumbuk padi pada lesung dan membakar jerami pada sisi Timur seakan-akan pagi telah datang. Bahkan ayam-ayam pun terpedaya dan mulai berkokok melihat kegiatan pagi sudah berlangsung. Mengira bahwa sebentar lagi sang mentari akan terbit, para makhluk halus lari tunggang langgang meninggalkan pekerjaan yang sudah mencapai 999 candi sehingga Bandung Bondowoso dinyatakan gagal memenuhi syarat yang diajukan Roro Jonggrang. Mengetahui bahwa kegagalan itu sebagai akibat dari tipu muslihat Roro Jonggrang, Bandung Bondowoso murka. Ia tak lagi percaya akan gerak gemulai dan kecantikan Roro Jonggrang. Dalam kemurkaannya ia mengutuk Rara Jonggrang menjadi batu, melengkapi menjadi candi yang ke seribu.
 
Itulah legenda asal muasal Candi Sewu yang konon merupakan 999 candi yang belum rampung, dan arca Durga di ruang utara candi Prambanan adalah perwujudan sang putri yang dikutuk menjadi batu dan dikenal sebagai Candi Roro Jonggrang yang berarti gadis yang cantik semampai.
 
<><><> 
Candi Sewu - Candi utama
Candi Sewu – Candi utama

Legenda Roro Jonggrang yang sudah diceritakan sejak kecil itu kembali memenuhi benak ketika saya melangkah melalui pintu tak resmi Candi Sewu yang biasa digunakan bagi para petugas candi yang terletak di sebelah utara. Hanya ada seorang petugas yang ramah menyapa saya yang datang kepagian.  Mungkin terasa janggal melihat ada pengunjung yang datang pagi-pagi ke Candi yang juga jarang dikunjungi walaupun bersebelahan dengan Candi Prambanan. Tidak ada tiket masuk, tetapi saya tetap meletakkan beberapa lembar uang donasi pemeliharaan candi karena kecintaan saya kepada bebatuan peninggalan sejarah itu. Dan selanjutnya saya seakan lebur di dalam atmosfer candi.

Candi Sewu, hamparan batu yang terserak
Candi Sewu, hamparan batu yang terserak

Entah apa yang terbentuk dalam pikiran, ketika melihat reruntuhan batu candi, saya selalu merasa antusias. Demikian juga ketika saya melihat hamparan batu tak beraturan di depan mata ini. Menurut  legenda, inilah hasil kerja para makhluk halus yang lari tunggang langgang karena menganggap pagi sudah datang. Ribuan batu tak beraturan, hamparan candi yang belum sepenuhnya rampung. Candi Sewu, yang berarti seribu dalam bahasa Jawa, hanya menunjukkan hiperbolisme tutur bahasa Jawa sebagai pengganti kata banyak sekali. Walaupun menurut sumber yang bisa dipercaya, sebenarnya Candi Sewu hanya berjumlah 249 yang terdiri dari 1 Candi Utama, 8 Candi Pengapit dan 240 Candi Perwara dan semua disusun dalam posisi yang simetris dengan Candi Utama yang besar berada di tengah-tengah. Saya membayangkan tampak aerialnya dari udara, pasti luar biasa cantik. Ah, sepertinya saya harus meminjam baling-baling bambunya Doraemon untuk melihat keindahan ini…

Dan hmm… karena melalui pintu tak resmi, saya tak disambut oleh dua patung Dwarapala yang saling berhadapan menjaga candi di gerbang pelataran luar di tiap arah mata angin. Bahkan untuk menekankan betapa kuat ‘penjagaan’nya, antara pelataran luar dan pelataran dalampun dipisahkan dengan sepasang dwarapala yang memegang gada. Bagaimanapun nanti saya harus melewati dua Dwarapala yang ada di pelataran dalam untuk masuk ke Candi Utama.

Candi Sewu, yang belum selesai menurut legendanya
Candi Sewu, yang belum selesai menurut legendanya

Langkah saya pelan menapaki pelataran luar candi yang dibangun pada abad 8 atas perintah penguasa Mataram saat itu, Rakai Panangkaran dan Rakai Pikatan yang beragama Hindu. Sebuah contoh nyata seorang penguasa yang mengedepankan toleransi kehidupan beragama rakyatnya. Candi Sewu memang merupakan candi Buddha yang saat itu digunakan untuk berbagai kegiatan peribadatan bagi masyarakat bumi Mataram yang beragama Buddha.

Dari pelataran luar saya bisa menikmati Gunung Merapi di kejauhan yang puncaknya seperti terbelah sebagai akibat kegiatan vulkaniknya yang frekuentif. Inilah enaknya berkunjung pada pagi hari, belum ada pengunjung lain dan kondisi langit bersih. Entah kenapa melihat Gunung Merapi, sehelai benang lamunan terbang memintal legenda Candi Sewu. Tak ingin berpikir jauh, segera saya mencabutnya dari taman pikiran dan kembali menikmati bangunan-bangunan batu yang berdiri megah.

Puncak Merapi dan Stupa Candi Sewu, diantara banyak legenda dan mitos
Puncak Merapi dan Stupa Candi Sewu, diantara banyak legenda dan mitos

Saya memandangi Candi Utama penuh kekaguman. Sungguh saya menyukai arsitektur candi utama karena bentuknya yang bersudut-sudut, atap seakan berlapis dan memiliki pembatas yang dibentuk indah setinggi sekitar 1 meter. Di abad ketika teknologi penggunaan semen belum ditemukan, rumus rumit matematis konstruksi dan ketahanan material belum dihitung, Candi Sewu dibangun hingga ketinggian sekitar 30 meter dan menariknya di tiap atap yang berjumlah 9 itu terdapat stupa pada puncaknya. Sungguh saat itu leluhur kita berada dalam sebuah peradaban yang membanggakan (dan pikiran saya terbang ke Candi Prambanan yang lebih tinggi daripada Candi Sewu dan berlokasi di kompleks sebelah, hingga kini di abad 21, kita masih kesulitan teknologi untuk melakukan pembersihan puncak-puncak Candi!)

Candi Sewu - Candi Utama dilihat dari sudut candi pengapit
Candi Sewu – Candi Utama dilihat dari sudut candi pengapit

Seakan telah mendapat izin dari dua Dwarapala bergada, saya menaiki tangga Timur Candi Utama yang berhiaskan makara menuju selasar Candi. Di ketinggian lantai ini, saya terpana menikmati lebih jelas keindahan puncak Merapi yang seakan terbelah. Pagi yang luar biasa! Lagi-lagi sejumput lamun terbang menggoda benak, teringat legenda kesaktiannya, apakah Bandung Bondowoso masih dalam kemurkaan abadinya sehingga membelah Puncak Merapi? Dan bukankah beredar pula mitos bagi pasangan yang belum menikah akan bubar jika berkunjung ke Candi Prambanan? Ah, nakalnya lompatan lamunan ini…

Gunung Merapi di antar Stupa Candi Sewu
Gunung Merapi di antar Stupa Candi Sewu

Sambil tersenyum mengusir lamunan, pelan saya melangkah ke ruang dalam Candi yang memiliki tempat untuk meletakkan benda-benda untuk peribadatan. Mungkin demi keamanan, benda-benda ini sudah diselamatkan terlebih dahulu ke museum dan meninggalkan relung kosong. Kemudian saya melangkah menyusuri Candi hingga ke sisi Barat.

Dari Pintu Ruang Dalam Candi Sewu
Dari Pintu Ruang Dalam Candi Sewu
Gunung Merapi diantara tiga Candi Pengapit di Candi Sewu
Gunung Merapi diantara tiga Candi Pengapit di Candi Sewu

Di balik keteduhan Candi karena tak terkena sinar matahari pagi, saya melihat pelataran yang juga dilengkapi oleh Candi Pendamping dan Candi Perwara dan ribuan reruntuhan batu yang masih belum tersusun. Candi Pendamping membelah jalan untuk mencapai pintu masuk dan  memiliki relief pada dinding berupa sosok laki-laki berbusana bangsawan yang sedang berdiri. Ratusan Candi Perwara terhampar di pelataran luar.

Siapakah Dia? - Relief di Candi Sewu
Siapakah Dia? – Relief di Candi Sewu
Candi Sewu - Relief di Candi Pengapit
Candi Sewu – Relief di Candi Pengapit
Hiasan-hiasan pada Candi Pengapit di Candi Sewu
Hiasan-hiasan pada Candi Pengapit di Candi Sewu

Saya menikmati setiap detiknya berada di Candi Sewu tanpa kehadiran pengunjung lain sambil menikmati pemandangan indah Gunung Merapi di kejauhan. Hamparan batu candi berserakan di pelataran membuat saya tersenyum sendiri. Bagi saya candi ini luar biasa berkesannya. Rapi sekaligus berantakan, Yin dan Yang, Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso, kasih sayang dan kebencian… Sebuah harmoni.

Candi Sewu - Rapi dan Berserakan dalam Harmoni
Candi Sewu – Rapi dan Berserakan dalam Harmoni

Matahari pagi pelan-pelan mulai meninggi. Sayup-sayup terdengar suara bus-bus yang mulai berdatangan memenuhi tempat parkir Candi Prambanan yang letaknya bersisian dengan Candi Sewu. Ah, sebentar lagi pengunjung lain akan berdatangan memberi warna lain pada candi. Saya bangkit membereskan barang bawaan dan melangkah pulang bersama legenda Roro Jonggrang…

16 tanggapan untuk “Mengintip Puncak Merapi dari Balik Legenda Candi Sewu

  1. Saya juga setiap kali datang ke kompleks percandian selalu ada rasa kagum dan ujung-ujungnya suka membayangkan bagaimana orang jaman dulu menggunakan candi tersebut. Bahkan saya suka membayangkan orang-orang membawa obor dan menaiki tangga berundak candi. Kadang suka terbawa imajinasi sih. 🙂 Btw, saya pas ke Candi Sewu sore-sore dan pintu utamanya digembok. Gak sempet cari-cari pintu gak resmi soalnya tiba-tiba turun hujan. Jadinya lari deh balik ke Prambanan. Itu pintu yang gak resminya ada di sisi yang berlawanan dengan pintu utama ya?

    Suka

    1. Hahaha… Ternyataaa… sama ya soal bawa obor! Karena hal itu juga muncul dalam imajinasi saya, engga cuma di candi-candi di Indonesia, tetapi sampai ke angkor gitu kebayang hal yang sama hahaha.. Nah soal pintu gak resmi itu adanya disudut timur laut (biasanya kan masuk ke candi mengikuti arah tengah dari mata angin spt tengah2 timur atau tengah2 barat, ga pernah deh pake garis miring pythagoras hehehe…), jadi ikuti jalannya kearah candi plaosan, tepat setelah melewati candi sewu, ada seperti tanah agak lapang, disitu pintunya. BTW juga, waktu itu lari balik ke Prambanan ngos-ngosan juga dong, kan jauuuh, terbuka dan pake kuyup pula… 😀 And, terima kasih sudah mampir ya…

      Suka

      1. Barusan langsung cek Google Maps dan sepertinya keliatan pintu gak resminya. 🙂 Nah, pas saya di Angkor pas naik ke atas candi yang tangganya curam itu, saya langsung bayangin orang dulu gimana cara naik ke sana malam-malam. Terus saya juga suka penasaran dengan relung-relung di Candi Prambanan karena sekarang aja kalau siang kan tetap gelap, jaman dulu apa orang bawa obornya masuk. Hehehe.. Iya pas lari-larian sempet berteduh di salah satu bale antara Sewu dan Prambanan. 🙂 Sama-sama, thank you sudah sering mampir ke blog saya.

        Suka

  2. Wah, lagi nyari info tentang candi Sewu ketemu disini, mantep juga tulisannya… saya yang orang Purworejo, belum pernah sama sekali datang ke candi2 Yogyakarta..paling cuma candi Prambanan, itu pun dari luar..:D

    Tahun baru kemarin sempet mau mampir ke candi Liyangan, tapi gagal 😦
    salam kenal ya…terima kasih sudah menginspirasi..

    Suka

    1. Halo Mas Budi Seplawan…
      Terima kasih atas apresiasinya ya.. Sebenernya saya masih hutang banyak banget cerita-cerita candi sekitaran Yogya, yang beberapa waktu lalu saya blusukan kesana kemari hahaha… nulisnya itu lho pasti kena distractions hahaha…

      Suka

    1. 🙂 saya sih penikmat cerita saja, karena imajinasi hampir tak bertepi. Tradisi lisan Indonesia itu hebat dan bagus-bagus, tetapi tetap saja bisa terjadi distorsi dalam perjalanannya. 🙂

      Suka

  3. Sungguh banyak sekali misteri-misteri yang belum tersibak kebenarannya dari setiap peninggalan purbakala. Saya selalu suka termenung lama di selasar candi-candi atau petilasan-petilasan, hanya sanggup membayangkan kira-kira kegiatan apa atau bagaimana orang dahulu melakukan semua ini? Betapa sebenarnya mereka jauh lebih cerdas di atas keterbatasan materi yang ada 🙂

    Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.