WPC – Oops… The Trash Bin


IMG_0327e

I was wandering in the yard of Avalokitesvara Temple in Old Banten when I saw these beautiful lions as the temple guards. Facing the guards, the lion on the left was so cute. This female sculpture was made to pour so much love and care to the baby lion in its hand while the lion on the right seemed to be the male.

I was so attracted to the expression of its love and caring so I didn’t see the trash bins behind the sculpture. Oops… the eye-catching yellow trash-bins were captured as the background…

In response to The Daily Post Weekly Photo Challenge with the theme Oops

Find my complete story about Old Banten trip in Bahasa Indonesia

Banten Lama: Menguak Peradaban Empat Abad Silam


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Pertengahan Maret 2014 lalu saya menyempatkan jalan-jalan seharian ke kawasan Banten Lama, salah satu Tentative List of UNESCO World Heritage Site yang diajukan Indonesia sejak tahun 1995. Dan ketika sampai di kawasan tersebut, perasaan saya miris sekali menyaksikan kondisi kawasan yang pernah menjadi destinasi para pengarung samudera dan penjelajah dunia. Bagaimana dunia akan mengetahuinya jika kita sendiri tidak memeliharanya dan cenderung mengabaikan tempat bersejarah itu?

Sejarah tak dapat ditutupi bahwa pada abad 16 Banten Lama telah terukir sebagai kawasan yang riuh dengan kehidupan internasional di bumi Nusantara tercinta ini. Telah berabad lamanya tertinggal catatan-catatan pengelana China, budaya dan pengaruh dari syiar Islam yang datang dari jazirah Arab, peninggalan hasil usaha pedagang-pedagang Persia, Goa, negeri-negeri Eropa, berbagai ragam arsitektur bangunan, implementasi pengelolaan sumber daya air dan dari temuan-temuan di situs yang terdiri dari keramik, koin, perhiasan dan lain-lain yang berasal dari berbagai negara di dunia pada saat itu, kesemuanya memberikan bukti yang jelas nyata. Dan bukankah ada nama Belanda yang tertulis di buku-buku pelajaran sejarah Indonesia, Cornelis de Hautman, yang memimpin pendaratan Belanda di kawasan Banten di tahun 1596? Dan siapa sangka, ternyata pertempuran hebat di Sunda Kelapa yang akhirnya dimenangkan oleh Fatahillah itu memiliki keterkaitan kuat dengan sejarah Banten Lama. Dan bahkan jika dirunut ke belakang maka Sunan Gunung Jati di Cirebon, Kerajaan Demak, hingga Sunan Ampel di Jawa Timur juga memiliki keterkaitan yang lekat dengan Banten. Bagi saya pribadi, jalan-jalan kali ini sungguh membukakan wajah Indonesia yang penuh kejayaan 4 abad silam.

Peninggalan-peninggalan Kejayaan Masa Lalu

Untuk menikmati seluruh peninggalan kejayaan masa lalu satu per satu tidak mungkin diselesaikan dalam satu hari karena terseraknya obyek di kawasan Banten Lama. Apalagi bila ditambah niat melakukan ziarah syiar Islam di Banten, tentu memakan waktu lebih lama. Namun kali ini saya dapat mengunjungi dan menikmati sebagian besar dari peninggalan sejarah yang luar biasa ini.

1. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Saya mengawali jalan-jalan kali ini di museum yang menjadi gerbang utama untuk menelusuri jejak kejayaan masa lalu Banten Lama. Dengan harga tiket senilai uang logam Rupiah terbesar alias Rp. 1000,- kita bisa mendapatkan banyak informasi mengenai kehidupan Banten pada jaman dahulu kala dengan berbagai koleksi artefak yang ditemukan di situs-situs sekitar Banten Lama. Terdapat koleksi perhiasan, senjata, keramik, saluran pengelolaan air, bahkan patung Nandi sebagai kendaraan Dewa Syiwa dan lain-lain. Di depan Museum ini diperagakan pula Ki Amuk, meriam besar yang dipergunakan ketika terjadi pertempuran dengan Belanda. Selain itu diperagakan pula peralatan penggilingan tebu, batu-batu hiasan Kraton Surosowan dan nisan-nisan makam Cina.

2. Jembatan Rante

Jembatan yang telah kehilangan rantai, tiang besi dan kayu yang dapat diangkat ini, pada jaman dulu merupakan tempat pemeriksaan pajak terhadap barang dagangan di perahu-perahu yang akan masuk ke Banten. Lolos urusan perpajakan, petugas akan menarik rantai yang mengikat papan kayu sebagai landasan penyeberangan jembatan sehingga perahu bisa lewat melanjutkan perjalanan. Jembatan Rante ini dapat dicapai dengan berjalan kaki karena lokasinya sekitar 300meter dari Kraton Surosowan menuju Mesjid Agung Banten dan berada di belakang kios-kios penjual cinderamata. Sayang sekali, kondisi kanal tidak tertata apik, air yang tak jernih dengan tumbuhan enceng gondok disana sini serta sampah yang terserak di pinggir kanal membuat jembatan Rante seakan kehilangan nilai historisnya.

3. Masjid Agung Banten

Mesjid yang dibangun oleh Sultan Muhammad Hasanuddin sebagai Sultan Banten I pada pertengahan abad 16 ini merupakan salah satu mesjid yang bercirikan arsitektur Jawa Kuno dan memiliki Menara setinggi 24m yang berdiri anggun di halaman Mesjid, yang dari pintu pertama atau kedua Menara pemandangan indah sekitar hingga ke pantai laut Jawa dapat terlihat. Selain dikunjungi oleh orang-orang yang beribadah, mesjid ini juga didatangi oleh pengunjung yang menziarahi makam-makam para ahli syiar Islam yang terdapat pada kompleks mesjid dan seantero Banten.

4. Kraton Surosowan

Tepat di seberang Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama terdapat Kraton Surosowan yang kini tinggal reruntuhan dinding dan batu-batu fondasi yang terbuat dari bata merah. Apa yang tertinggal dapat menggambarkan betapa megah kraton pada masanya, yang merupakan pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan seluruh sendi kehidupan dalam masyarakat Banten. Kraton yang luasnya tiga kali lapangan bola ini merupakan tempat tinggal para Sultan sekaligus tempat berinteraksi dengan rakyatnya. Di bagian tengah reruntuhan Kraton ini terdapat kolam pemandian Ratu Dhenok dan Pancuran Emas yang sering dijadikan tempat melakukan ritual kungkum bagi sebagian orang yang percaya akan mendapatkan kekuatan dari para leluhur (walaupun airnya tak lagi bening, penuh lumut kehijauan dengan botol plastik yang dibuang disana sini). Juga di sudut-sudut Kraton yang berbentuk seperti relung gua, sering dijadikan tempat bersemedi mencari wangsit. Berada dalam lingkungan Kraton Surosowan yang penuh sejarah ini, sepertinya kita dibawa ke dunia lain sambil menerka-nerka bagaimana bentuk Kraton pada masanya.

5. Watu Gilang

Merupakan lempeng batu persegi panjang yang menjadi tempat pentahbisan Sultan-sultan Banten jaman dulu sekaligus tempat memberikan pengumuman dari Kraton untuk rakyat. Watu Gilang saat ini telah berada dalam naungan sebuah pergola berpagar setelah lama sebelumnya tergeletak terabaikan begitu saja di lapangan terbuka terkena panas hujan. Kondisi ini lebih baik walau tetap menyedihkan, karena lingkungan sekitarnya tidak tertata rapi dan terkesan kumuh sehingga obyek ini seperti kehilangan aura sakral penuh karismatik dari apa yang pernah terjadi di atas batu itu. Dan apabila Watu Gilang disejajarkan tingkatnya dengan sebuah Tahta Kesultanan, sepertinya kita telah berkhianat terhadap akar budaya sendiri ketika benda bersejarah itu terserak diantara kekumuhan kios-kios pedagang, berhiaskan sampah dan kotoran-kotoran binatang yang bebas berkeliaran, dan dijadikan tempat mencari wangsit.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

6. Kraton Kaibon

Kraton Kaibon merupakan istana Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan Syaifudin, yang kini tinggal tersisa gapura, reruntuhan dinding dan batu-batu fondasi karena dihancurkan Belanda pada masa kolonial sehingga menyimpan imajinasi akan kehebatan dan keindahan Kraton pada jaman dahulu. Sayangnya, rerumputan yang tertata cukup baik mengundang kambing-kambing berkeliaran dan meninggalkan kotoran-kotorannya sembarangan di tempat yang bersejarah ini. Dan ketika hujan lebat turun, tak jarang Kraton Kaibon ini tergenang cukup tinggi, alam menunjukkan dayanya merusak secara perlahan tapi pasti struktur bangunan yang menjadi salah satu icon peradaban empat abad silam.

7. Pelabuhan nelayan Karangantu

Pelabuhan tradisional sejak abad 16 ini tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang dijunjungnya dengan memelihara perahu-perahu nelayan yang dimiliki secara turun temurun. Walaupun tak bisa menandingi metropolis-nya Banten jaman dulu dan cakupannya yang lebih kecil daripada pelabuhan Sunda Kelapa, perahu-perahu yang ada cukup membawa kenangan akan hebatnya kehidupan komunitas maritim di wilayah Banten Lama.

8. Kerkhof

Bekas pemakaman Belanda yang berada di sisi Benteng Speelwijk ini meninggalkan satu atau dua bangunan makam yang cukup menarik. Jika didekati, tulisan indah berukir jaman Belanda masih terlihat di salah satu bangunan makam yang sayangnya tempat ini terbengkalai diantara rumput ilalang yang tinggi. Pemandu saya memperlihatkan betapa bagusnya kualitas besi orisinal yang digunakan untuk pagar asli yang masih tersisa. Dengan getir beliau bercerita di balik kisah besi orisinal itu. Ketika pintu jeruji dengan kualitas besi yang sangat bagus di bangunan kecil dekat gerbang, hilang dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab, seluruh satpam yang menjaga kawasan obyek wisata Banten Lama terkena sanksi oleh pejabat dinasnya (dan respons otomatis muncul dari dalam hati saya, apakah juga ada sanksi yang berlaku untuk pejabat dinasnya?)

9. Benteng Speelwijk

Benteng yang tadinya berada di dekat pantai dan sekarang sudah menjorok ke tengah daratan karena pendangkalan laut ini, hanya tinggal tembok keliling yang masih terlihat kokoh dan sebagian bastion. Ketika berada di dalam Benteng, entah saya harus getir atau tersenyum. Karena tempat terbuka di bagian tengah telah berubah menjadi lapangan bola lengkap dengan tiang gawangnya. Serasa di stadion! Bagaimana pun ketika masuk ke dalam ruang bekas gudang senjata, saya kembali merasa memasuki sebuah benteng militer yang selalu bercirikan tembok kokoh, lorong-lorong gelap, disana-sini terkena bom. Udara langsung terasa lembab sepanjang lorong gelap menuju gudang senjata tersebut. Sesekali terdengar suara burung walet yang sengaja mencari kegelapan. Dan tentu saja, jangan lupa bawa senter untuk memasuki ruang dalam benteng ini.

10. Vihara Avalokitesvara.

Vihara yang namanya diambil dari seorang Boddhisatva yang dikenal sebagai Dewi Welas Asih (Kwan Im) ini, konon dibangun atas perintah Syarif Hidayatullah sebagai bentuk nyata atas kehidupan beragama yang harmonis pada masa itu dan kini menjadi salah satu vihara tertua di Indonesia. Patung Avalokitesvara yang konon berasal dari Dinasti Ming, terdapat di altar utama yang ada di depan, yang di sisi kiri kanannya terdapat ruang-ruang yang lebih kecil untuk ibadah. Di bagian belakang terdapat dharmasala yang dihubungkan oleh koridor cantik berhiaskan kissah legenda ular putih. Legenda Mbah Banten yang sakti penjaga sumber mata air yang dipercaya membawa kemujaraban menjadi legenda lokal yang ada di vihara ini. Banyak yang meminta air mujarab ini, tidak hanya dari golongan orang yang beribadah di vihara ini melainkan juga yang datang dari jauh dengan latar belakang yang berbeda.

11. Rumah Pecinan Kuno

Tidak jauh arah selatan dari Vihara, terdapat sebuah rumah kuno yang tinggal satu-satunya masih berdiri kokoh dan lengkap, yang dikenal sebagai Rumah Pecinan Kuno. Pada masa keemasannya, rumah-rumah dengan arsitektur China berdiri di sepanjang jalan dengan gaya yang sama. Daerah itu memang dikenal dengan daerah Pecinan yang dikhususkan bagi para keturunan China untuk berdagang. Saya membayangkan cantiknya lampion-lampion berwarna merah tergantung di langit-langit sepanjang selasar seakan tak peduli dengan kesibukan orang-orang berpakaian khas China yang lalu lalang menawarkan dagangan.

12. Masjid Pecinan Tinggi

Tak jauh dari Rumah Pecinan Kuno, setelah melewati rel kereta api, di sebelah kanan jalan terdapat Mesjid Pecinan Tinggi yang hanya tersisa Menara dan Mihrab-nya. Sungguh luar biasa menyaksikan Menara yang masih tegak berdiri yang konon didirikan pertama kali oleh Syarif Hidayatullah dan dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin serta menjadi mesjid yang lebih tua daripada Mesjid Agung Banten. Sungguh sayang, karena keterbatasan dana Menara dan Mihrab tampak terbengkalai terkena coretan vandalisme, bangunan terlihat sedikit miring, mungkin karena akibat banjir, tanah secara perlahan tertekan karena tak mampu menahan beban berat dari Menara.

13. Danau Tasikardi dan Pengindelan Abang

Dalam perjalanan pulang melalui Serang Barat, setelah menyaksikan pemandangan hamparan sawah yang menghijau yang menenangkan jiwa, di pinggir jalan saya melihat Pengindelan Abang, sebuah bangunan rumah penyaringan air yang berasal dari Danau Tasikardi, danau buatan berjarak 200meter. Hati saya miris sekali melihat coret-coret vandalis menghiasi seluruh bangunan Pengindelan Abang. Sungguh perbuatan yang sama sekali tidak menghargai kehebatan pengelolaan sumber daya air empat abad silam di Banten.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Akses Menuju Banten Lama

Seperti biasa, tak banyak informasi lengkap mengenai akses ke Kawasan Banten Lama, termasuk dari web resmi pariwisata Banten. Informasi justru didapat dari para Travel Bloggers yang suka berbagi cerita.

Untuk tujuan Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, dari Jakarta bisa melalui Jalan Tol JakartaMerak, keluar di Serang Timur (sekitar km72) dan ikuti rambu petunjuk jalan hingga perempatan besar. Disitu, sebenarnya arah Banten Lama berbelok ke kanan, namun karena ada pengaturan lalu lintas, maka harus memutar mengikuti arah lalu lintas terlebih dahulu, sampai bertemu kembali dengan RS Sari Asih Serang diujung awal perempatan tadi. Berbeloklah ke kiri di depan RS Sari Asih itu, ikuti jalan (yang agak paralel dengan jalan tol) dan ikuti rambu petunjuk Banten Lama. Setelah beberapa saat di sebuah pertigaan, berbeloklah ke kiri mengikuti petunjuk arah Banten Lama untuk masuk ke Jl. Ayip Usman. Ikuti jalan Ayip Usman tersebut hingga mentok dan berbeloklah ke kanan, memasuki Jalan Banten lama (atau dikenal dengan Jalan Kasemen) yang di beberapa tempat rusak. Setelah melewati penjual kayu-kayu glondongan, ikuti terus jalan ini (di Google Map ditandai dengan Jl. Samaun Bakri, Jl. Kalanggaran – Sukadana)

Setelah berkilo-kilometer, menjelang sebuah jembatan besi yang besar (dan jembatan lama ada di sebelah kirinya), di kiri jalan terlihat sudut reruntuhan Kraton Kaibon. Seberangi jembatan hingga bertemu pertigaan dengan Mesjid Al Munawaroh di kanan. Berbeloklah ke kiri (ikuti jalan yang agak bergelombang) hingga bertemu dengan kompleks reruntuhan Kraton Surosowan. Di pertigaan sebenarnya dilarang jalan terus, tetapi bila Anda akan mengunjungi museum, maka ambillah jalan yang lurus itu sekitar 300m Anda akan sampai di tempat tujuan Anda.

Untuk ke Benteng Speelwijk, Kerkhoff dan Vihara Avalokitesvara, dari Museum Anda harus kembali ke jalan utama dan berbelok ke kiriketika mentok di depan Mesjid Al Munawaroh tadi, ikuti jalan sampai bertemu dengan jembatan dan pelabuhan Karangantu yang merupakan tempat bersandarnya perahu-perahu (mirip pelabuhan Sunda Kelapa). Berbeloklah ke kiri sebelum jembatan, lalu menyusuri tepian sungai dan ikuti jalan sekitar 500m, hingga terlihat sisi luar Benteng Speelwijk. Disini, bisa terlihat Bekas Pemakaman Belanda (Kerkhof). Untuk mencapai pintu masuk Benteng, kelilingilah benteng terlebih dahulu dengan kendaraan Anda. Diujung jalan Anda akan menemukan Benteng Speelwijk di sebelah kanan dan Vihara Avalokitesvara di sebelah kiri.

Untuk mencapai Rumah Pecinan Kuno, kembalilah ke jalan utama tanpa berbalik arah ke pelabuhan, dan sekitar 100 – 200 meter kita akan menemui Rumah Pecinan Kuno yang tinggal satu-satunya, dan ikuti jalan sekitar 200meter lagi akan sampai pada Mesjid Pecinan Tinggi.

Dengan mengikuti jalan tersebut menuju Kramatwatu (Akses Tol Serang Barat), maka di kanan kiri jalan terlihat pemandangan sawah-sawah yang saat saya lewati sedang siap panen. Di kejauhan tampak kumpulan pepohonan yang melingkari Danau Tasikardi. Dan sekitar 200meter sebelum Danau Tasikardi itu, kita akan melihat Pengindelan Abang tepat di pinggir jalan.

Jika kita lanjutkan perjalanan, tak lama kemudian kita akan menyeberangi jalan tol merak yang ada di bawah jembatan dan setelah berbelok kekiri di persimpangan lampu lalu lintas, kita akan sampai ke akses tol untuk kembali ke Jakarta melalui Gerbang Serang Barat.

Dan… walaupun bisa dicapai dengan menggunakan bus umum, saya tidak melihat banyak angkutan umum untuk mencapai tempat-tempat wisata tersebut. Menurut saya, akan lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi.

Waktu Terbaik

Kawasan Banten Lama dapat dikunjungi sepanjang waktu, kecuali musim hujan. 2 Jam waktu yang diperlukan agar sampai ke Banten lama dari Jakarta dengan kendaraan pribadi melalui jalan tol. Tentunya agak lebih lama bila menggunakan kendaraan umum. Karena saya menyukai hal-hal yang berbau heritage, saya memerlukan waktu hingga 6 jam untuk menikmati sebagian besar obyek wisata yang ada di kawasan tersebut, termasuk makan siang dan foto-foto santai.

Pagi hari atau sore hari merupakan waktu terbaik untuk menikmati obyek-obyek wisata yang berada di tempat terbuka (seperti Kraton Surosowan, Kraton Kaibon, Benteng Speelwijk) mengingat terik matahari yang terasa membakar kulit.

Jika Anda termasuk orang yang menyukai wisata reliji (ziarah syiar Islam) maka waktu yang diperlukan untuk mengelilinginya akan lebih lama lagi, karena banyak sekali tempat-tempat yang berhubungan dengan ziarah ini. Hanya saja yang perlu diperhatikan pada saat perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, kawasan Mesjid Agung Banten sangat penuh dikunjungi para peziarah, sehingga tidak nyaman untuk sekedar berwisata.