Bagi saya pribadi, Bangkok selalu menjadi salah satu kota untuk recharge mood. Bukan saja karena selalu ada yang bisa dinikmati di kota itu, tetapi Bangkok merupakan destinasi solo-trip pertama saya bertahun-tahun lalu. Pengalaman pertama jalan sendiri dengan segala rasa campur aduk cemas, kuatir, optimis, waspada, deg-degan, ingin tahu, gembira dan bahagia yang menjadi satu, selalu menimbulkan kesan tersendiri yang tak terlupakan. Sehingga di kala mood berada di level rendah, kembali ke Bangkok jadi salah satu cara untuk lebih hidup.
Dan demikianlah, setelah terus menerus berada di rumah sakit untuk perawatan ibu yang patah bonggol sendi pinggul serta drama tak penting yang terjadi belakangan ini, saya memutuskan kembali ke Bangkok untuk mencari pembenaran saya perlu liburan 😀

Sebenarnya rencana akan dilakukan sekitar pertengahan November, tetapi gara-gara bisikan jiwa :-), saya memajukan ke awal bulan November. Itupun tiket pesawat baru dibeli H-1 dan hotelnya dipesan pada hari H. Tetapi seperti kata Carl Jung, In all chaos there is a cosmos, in all disorder a secret order, maka saya pun menari bahagia dalam kekacauan itu dan mendapatkan keindahan yang bagi saya terwakili oleh satu kata: sempurna!
Sejatinya saya tidak mengerti 100%, mengapa tiba-tiba mengubah perjalanan ini. Terbersit harga tiket pastilah mahal, tetapi lagi-lagi saya dapat harga yang pantas (tidak murah juga sih) tetapi minimal masih memadai untuk ukuran mendadak. Dan pada saat web check-in saya sudah siap menerima penempatan kursi yang diatur acak. Tetapi ternyata baik penerbangan pergi maupun pulang saya dapat window-seat, tanpa beli bahkan kursi sebelah kosong pada penerbangan pulang! Aha, tangan-tangan tak terlihat bekerja keras untuk saya rupanya.
Pada hari-H selepas imigrasi bandara, saya masih memikirkan kepastian penginapan di Bangkok karena reservasi sebelumnya selalu gagal. Sebagai pejalan yang tidak pernah mau mengisi asal-asalan alamat pada kartu kedatangan (di negara manapun sih), saya menghargai aturan keimigrasian Thailand atau dimanapun destinasinya. Apalagi, -karena sesama ASEAN-, Thailand memberi visa exemption ke pemegang paspor Indonesia.
Jadi saya coba reservasi lagi hotel yang semalam gagal, namun tetap saja gagal walaupun kamar masih tersedia. Aneh! Namun mengingat suami minta untuk menginap di hotel yang baik, akhirnya saya memesan hotel lain yang sejak dulu ingin sekali saya coba walaupun harganya mahal (untungnya kali ini suami tercinta berkenan menambah dana :p ). Dalam sekali reservasi, pemesanan hotel lain itu berhasil. Yaaiy!
Lalu ketika boarding, saya sudah mempersiapkan diri tidak ada tempat sisa di kabin atas karena diambil penumpang lain dan benarlah! Saya tidak mau pusing dengan kebiasaan penumpang lain itu, maka saya jejalkan saja ransel ke bawah kursi lalu bersiap tidur. Dan berulang untuk kesekian kalinya, saya jatuh tertidur dan terbangun lagi, pesawat masih dalam antrian mendapatkan ijin lepas landas. Tertidur lagi, terbangun lagi, entah kapan terbangnya.
Bahkan mata saya terus terasa lengket selama tiga jam penerbangan ke Bangkok untuk menggantikan kekurangan jam tidur sebelumnya hingga saat roda pesawat menyentuh landasan bandara Don Mueang. Rasanya saya masih mengumpulkan nyawa saat pesawat akhirnya berhenti, lalu tontonan itu langsung terpampang jelas. Hampir semua orang langsung sigap membuka sabuk keselamatan walaupun lampu tandanya masih menyala, lalu berdiri membuka kabin atas dengan tangan-tangan bersliweran di atas kepala mengambil tas-tasnya tanpa peduli kepala-kepala yang dilewati. Kebanyakan ingin menjadi nomor satu keluar dari pesawat seakan-akan bisa dapat piala untuk itu. Bahkan prosedur buka pintu pesawat pun belum dimulai, tetapi lorong telah penuh orang yang tak sabar, mengabaikan aturan untuk tetap duduk, tak sedikit yang berisik, kadang tetap merangsek ke belakang untuk mengambil tas memaksa melewati orang lain, entah berapa nilai ketertiban kita dari skala 10.
Menjejak kembali di Bangkok, saya menuju pintu keluar nomor 6 lalu menaiki bus A1 berwarna kuning yang menuju Stasiun BTS Mo Chit dengan tiket seharga 30THB, kemudian melanjutkan perjalanan dengan BTS ke Siam. Ah, kembali ke kota yang penuh senyum!
Dan akhirnya saya paham mengapa gagal terus di pemesanan hotel sebelumnya yang membingungkan itu. Karena pada saat saya check-in, manajer hotel itu berkenan upgrade kamar saya. Saya tak percaya! Benar-benar luar biasa! Hadiah! Saya gagal reservasi di hotel pertama yang cukup baik, tetapi Pemilik Semesta berkenan memberikan kesempatan menginap di hotel lain, hotel idaman saya, bahkan di kelas yang lebih tinggi, di lantai-lantai teratas. Ah, rejeki memang bisa datang dari mana saja. Sesuatu yang tidak dapat diraih, digantikan dengan hadiah yang lebih baik. Keajaiban itu berulang. Lagi! Dia yang selalu memenuhi janji, yang selalu setia…
Di kamar, saya beristirahat sambil memesan room service karena lapar namun terlalu malas untuk keluar. Jauh-jauh ke Thailand dengan begitu banyak makanan enak, saya tetap saja memesan Nasi Goreng Indonesia 😀 tetapi memang kali ini berbeda dengan biasanya karena saya ingin menikmati liburan singkat tanpa dikejar target destinasi.
Tetapi setelah ‘diingatkan’ akan tujuan awal ke Bangkok, dengan menggunakan tuktuk saya menuju Sanam Luang, tempat kremasi mendiang Raja Bhumibol Adulyadej yang telah dilakukan bulan Oktober lalu. Saya turun di kawasan Grand Palace. Lagi-lagi saya beruntung karena tidak ada antrian disitu. Paspor yang sudah disiapkan ternyata tidak diperiksa sama sekali oleh polisi. Bisa jadi karena wajah saya mirip lokal 🙂

Matahari yang telah condong ke Barat memburatkan sinar keemasan menjadikan kawasan Grand Palace semakin cantik dengan bentuk atap tradisionalnya yang khas. Saya masih menikmati situasi hampir senja ketika tiba-tiba petugas-petugas berseragam menyebar menyuruh publik mengosongkan jalan dan berkumpul di trotoar. Tanpa disuruh dua kali saya mengikuti semua orang melipir dan duduk di trotoar seperti orang lokal tanpa mengetahui yang akan terjadi.
Hebatnya rakyat Thailand, mereka duduk diam hingga saya mengikutinya. Hening, sama sekali tidak bicara. Tiba-tiba seorang petugas di belakang saya meminta seorang laki-laki, -bergaya turis-, yang sedang berdiri untuk duduk. Turis itu bersikukuh untuk tetap berdiri. Wajah-wajah lokal mulai memperhatikannya sehingga petugas itu perlu menjelaskan bahwa Raja akan lewat sehingga seluruh yang hadir diminta untuk melakukan penghormatan.
Saya tersenyum terhenyak mendengar penjelasan itu. Yang Mulia Raja Maha Vajiralongkorn atau Rama X akan lewat! Saya langsung terdiam menyusuri lorong kalbu, berterimakasih akan setiap kesempatan dan ‘hadiah’ yang dilimpahkan serta mencoba memahami alasan saya di’undang’ secara mendadak pada akhir pekan ini dan bukan pada jadwal yang saya rencanakan. Tidak semua orang bisa berada di waktu tepat dan diantara masyarakat lokal saat Raja mereka lewat. Ini kesekian kalinya saya berkesempatan melihat rombongan Raja, setelah bertahun-tahun lalu beberapa kali berkesempatan serupa di Kamboja.
Tanpa terasa mata mengabur haru. Dia Yang Maha Baik melimpahkan begitu banyak kejutan manis dalam keseharian saya, juga menyerakkan hikmah dan makna seseorang yang akan lewat, seorang Raja yang memiliki tanggung jawab besar sejak dilahirkan agar bisa mengayomi seluruh aspek kehidupan di negerinya. Pembelajaran singkat itu, -dan karena hanya ada seorang Raja di Thailand diantara sekian puluh juta rakyatnya-, membuat saya yang duduk bersimpuh di trotoar turut mengatupkan kedua tangan di depan wajah sebagai penghormatan kepada Raja ketika rombongan lewat. Semua bersikap sama, tanpa ada yang berupaya mengambil foto, paling tidak itu yang terjadi di sekitar saya.

Setelah rombongan Raja berlalu, barulah saya mengikuti ratusan orang lokal berbondong-bondong menuju pintu masuk, menerima minuman kemasan yang dibagikan gratis, ikut tergopoh-gopoh dalam antrian, kadang saya dirangkul seorang ibu dengan senyuman, lalu duduk menunggu di tempat yang disediakan, padahal tak ada satupun kata yang saya mengerti. Namun semuanya tertib, sehingga tak lama setelahnya saya sudah berada di dalam area Phra Merumas (Krematorium Kerajaan).
Saya hanya bisa terpana dengan yang ada di depan mata. Megah dan luar biasa cantik. Tidak percaya, karena semua kemegahan ini hanyalah sementara. Bagi mereka yang percaya, semegah apapun, namun membiarkan tempat perabuan tetap berdiri akan membawa ketidakbaikan. Bukankah hidup ini hanyalah sementara? Awalnya pada akhir bulan November seluruh bangunan utama krematorium dan bangunan pendukungnya akan dirobohkan, tetapi akhirnya Raja memberi ijin untuk memperpanjang hingga akhir tahun ini.
Tradisi mendirikan tempat perabuan untuk para bangsawan (Phra Merumas), -yang menempati dua pertiga luas Sanam Luang ini-, konon dimulai sejak periode Ayutthaya. Karena mereka percaya Raja merupakan Dewa maka tempat perabuannya perlu mengadopsi filosofi Gunung Sumeru sebagai pusat semesta kosmologi Buddha, bercampur dengan pengaruh Thailand kuno, Hindu dan aliran kepercayaan lainnya. Maka akhirnya di Phra Merumas ini semua diwujudkan.
Tetapi siapa yang melihatnya sebagai sesuatu yang temporer belaka? Bangunan-bangunan berkilau keemasan ini terlihat begitu megah walaupun sebenarnya hanya terbuat dari kayu bertulang besi dengan atap tradisional bertingkat. Bangunan utama keemasan sebagai pusat tempat perabuan dengan tiga permukaan lantai terletak di tengah-tengah, memiliki pelindung putih sembilan tingkat di puncak atapnya, dengan ketinggian total mencapai 50 meter.
Berbatas dengan area pengunjung terlihat kolam yang diibaratkan sebagai kolam surgawi, menempati empat sisinya dan berhiaskan patung-patung suci seperti gajah, kuda, sapi dan singa, termasuk patung-patung makhluk mitos yang konon hidup dalam hutan di Gunung Sumeru.
Bisa dilihat juga di tiap sudut bangunan utama terdapat patung-patung penjaga dunia yang disebut Thao Chatulokkaban. Dan pada level berikutnya terdapat patung-patung Garuda (Phra Khrut Pha), -yang menjadi lambang negara Thailand-, dan dalam konsep Hindu, Garuda merupakan kendaraan Dewa Vishnu yang salah satu titisannya adalah Rama (Raja-raja Thailand bergelar Rama). Kemudian di lantai ketiga terdapat tempat di setiap sudut untuk para bhiksu melantunkan puji-pujian atau membaca Sutra. Yang saya sukai di pelataran utama banyak dihiasi dengan tanaman bunga berwarna kuning sebagai warna hari Senin, hari lahirnya mendiang Raja Bhumibol.
Sambil menyusuri museum yang memajang semua peninggalan mendiang Raja Bhumibol, saya mengambil foto yang menarik hati, seperti foto bersama Presiden Soekarno saat berkunjung ke Indonesia. Juga pandangannya sebagai Raja yang harus mengayomi seluruh rakyatnya. Di dekat pintu keluar, saya tidak mampu berlama-lama menyaksikan video mangkatnya yang diiringi musik indah, karena begitu menyayat hati melihat duka rakyatnya.
Malampun semakin pekat walau bulan tampak terang diantara puncak-puncak lancip Phra Merumas. Saya meninggalkan kawasan Sanam Luang dengan satu rasa, betapa mendiang Raja Bhumibol dicintai rakyatnya. Sempurna.
Catatan.
Royal Crematorium dibuka 2 November – 31 December 2017 pk 06.00 – 22.00. Dress code seperti ke Grand Palace, dilarang mengenakan celana pendek, kaos tanpa lengan/tanktop dan sandal jepit. Semua pengumuman disampaikan dalam bahasa Thai, penggunaan bahasa Inggeris terbatas.
