Ketika Semua Terasa Sempurna di Bangkok


Bagi saya pribadi, Bangkok selalu menjadi salah satu kota untuk recharge mood. Bukan saja karena selalu ada yang bisa dinikmati di kota itu, tetapi Bangkok merupakan destinasi solo-trip pertama saya bertahun-tahun lalu. Pengalaman pertama jalan sendiri dengan segala rasa campur aduk cemas, kuatir,  optimis, waspada, deg-degan, ingin tahu, gembira dan bahagia yang menjadi satu, selalu menimbulkan kesan tersendiri yang tak terlupakan. Sehingga di kala mood berada di level rendah, kembali ke Bangkok jadi salah satu cara untuk lebih hidup.

Dan demikianlah, setelah terus menerus berada di rumah sakit untuk perawatan ibu yang patah bonggol sendi pinggul serta drama tak penting yang terjadi belakangan ini, saya memutuskan kembali ke Bangkok untuk mencari pembenaran saya perlu liburan 😀

Bangkok with the BTS

Sebenarnya rencana akan dilakukan sekitar pertengahan November, tetapi gara-gara bisikan jiwa :-), saya memajukan ke awal bulan November. Itupun tiket pesawat baru dibeli H-1 dan hotelnya dipesan pada hari H. Tetapi seperti kata Carl Jung, In all chaos there is a cosmos, in all disorder a secret order, maka saya pun menari bahagia dalam kekacauan itu dan mendapatkan keindahan yang bagi saya terwakili oleh satu kata: sempurna!

Sejatinya saya tidak mengerti 100%, mengapa tiba-tiba mengubah perjalanan ini. Terbersit harga tiket pastilah mahal, tetapi lagi-lagi saya dapat harga yang pantas (tidak murah juga sih) tetapi minimal masih memadai untuk ukuran mendadak. Dan pada saat web check-in saya sudah siap menerima penempatan kursi yang diatur acak. Tetapi ternyata baik penerbangan pergi maupun pulang saya dapat window-seat, tanpa beli bahkan kursi sebelah kosong pada penerbangan pulang! Aha, tangan-tangan tak terlihat bekerja keras untuk saya rupanya.

Pada hari-H selepas imigrasi bandara, saya masih memikirkan kepastian penginapan di Bangkok karena reservasi sebelumnya selalu gagal. Sebagai pejalan yang tidak pernah mau mengisi asal-asalan alamat pada kartu kedatangan (di negara manapun sih), saya menghargai  aturan keimigrasian Thailand atau dimanapun destinasinya.  Apalagi, -karena sesama ASEAN-, Thailand memberi visa exemption ke pemegang paspor Indonesia.

Jadi saya coba reservasi lagi hotel yang semalam gagal, namun tetap saja gagal walaupun kamar masih tersedia. Aneh! Namun mengingat suami minta untuk menginap di hotel yang baik, akhirnya saya memesan hotel lain yang sejak dulu ingin sekali saya coba walaupun harganya mahal (untungnya kali ini suami tercinta berkenan menambah dana :p ). Dalam sekali reservasi, pemesanan hotel lain itu berhasil. Yaaiy!

Lalu ketika boarding, saya sudah mempersiapkan diri tidak ada tempat sisa di kabin atas karena diambil penumpang lain dan benarlah! Saya tidak mau pusing dengan kebiasaan penumpang lain itu, maka saya jejalkan saja ransel ke bawah kursi lalu bersiap tidur. Dan berulang untuk kesekian kalinya, saya jatuh tertidur dan terbangun lagi, pesawat masih dalam antrian mendapatkan ijin lepas landas. Tertidur lagi, terbangun lagi, entah kapan terbangnya.

Bahkan mata saya terus terasa lengket selama tiga jam penerbangan ke Bangkok untuk menggantikan kekurangan jam tidur sebelumnya hingga saat roda pesawat menyentuh landasan bandara Don Mueang. Rasanya saya masih mengumpulkan nyawa saat pesawat akhirnya berhenti, lalu tontonan itu langsung terpampang jelas. Hampir semua orang langsung sigap membuka sabuk keselamatan walaupun lampu tandanya masih menyala, lalu berdiri membuka kabin atas dengan tangan-tangan bersliweran di atas kepala mengambil tas-tasnya tanpa peduli kepala-kepala yang dilewati. Kebanyakan ingin menjadi nomor satu keluar dari pesawat seakan-akan bisa dapat piala untuk itu. Bahkan prosedur buka pintu pesawat pun belum dimulai, tetapi lorong telah penuh orang yang tak sabar, mengabaikan aturan untuk tetap duduk, tak sedikit yang berisik, kadang tetap merangsek ke belakang untuk mengambil tas memaksa melewati orang lain, entah berapa nilai ketertiban kita dari skala 10.

Menjejak kembali di Bangkok, saya menuju pintu keluar nomor 6 lalu menaiki bus A1 berwarna kuning yang menuju Stasiun BTS Mo Chit dengan tiket seharga 30THB, kemudian melanjutkan perjalanan dengan BTS ke Siam. Ah, kembali ke kota yang penuh senyum!

Dan akhirnya saya paham mengapa gagal terus di pemesanan hotel sebelumnya yang membingungkan itu. Karena pada saat saya check-in, manajer hotel itu berkenan upgrade kamar saya. Saya tak percaya! Benar-benar luar biasa! Hadiah! Saya gagal reservasi di hotel pertama yang cukup baik, tetapi Pemilik Semesta berkenan memberikan kesempatan menginap di hotel lain, hotel idaman saya, bahkan di kelas yang lebih tinggi, di lantai-lantai teratas. Ah, rejeki memang bisa datang dari mana saja. Sesuatu yang tidak dapat diraih, digantikan dengan hadiah yang lebih baik. Keajaiban itu berulang. Lagi! Dia yang selalu memenuhi janji, yang selalu setia…

Di kamar, saya beristirahat sambil memesan room service karena lapar namun terlalu malas untuk keluar. Jauh-jauh ke Thailand dengan begitu banyak makanan enak, saya tetap saja memesan Nasi Goreng Indonesia 😀 tetapi memang kali ini berbeda dengan biasanya karena saya ingin menikmati liburan singkat tanpa dikejar target destinasi.

Tetapi setelah ‘diingatkan’ akan tujuan awal ke Bangkok, dengan menggunakan tuktuk saya menuju Sanam Luang, tempat kremasi mendiang Raja Bhumibol Adulyadej yang telah dilakukan bulan Oktober lalu. Saya turun di kawasan Grand Palace. Lagi-lagi saya beruntung karena tidak ada antrian disitu. Paspor yang sudah disiapkan ternyata tidak diperiksa sama sekali oleh polisi. Bisa jadi karena wajah saya mirip lokal 🙂

Grand Palace at Sunset

Matahari yang telah condong ke Barat memburatkan sinar keemasan menjadikan kawasan Grand Palace semakin cantik dengan bentuk atap tradisionalnya yang khas. Saya masih menikmati situasi hampir senja ketika tiba-tiba petugas-petugas berseragam menyebar menyuruh publik mengosongkan jalan dan berkumpul di trotoar. Tanpa disuruh dua kali saya mengikuti semua orang melipir dan duduk di trotoar seperti orang lokal tanpa mengetahui yang akan terjadi.

Hebatnya rakyat Thailand, mereka duduk diam hingga saya mengikutinya. Hening, sama sekali tidak bicara. Tiba-tiba seorang petugas di belakang saya meminta seorang laki-laki, -bergaya turis-, yang sedang berdiri untuk duduk. Turis itu bersikukuh untuk tetap berdiri. Wajah-wajah lokal mulai memperhatikannya sehingga petugas itu perlu menjelaskan bahwa Raja akan lewat sehingga seluruh yang hadir diminta untuk melakukan penghormatan.

Saya tersenyum terhenyak mendengar penjelasan itu. Yang Mulia Raja Maha Vajiralongkorn atau Rama X akan lewat! Saya langsung terdiam menyusuri lorong kalbu, berterimakasih akan setiap kesempatan dan ‘hadiah’ yang dilimpahkan serta mencoba memahami alasan saya di’undang’ secara mendadak pada akhir pekan ini dan bukan pada jadwal yang saya rencanakan. Tidak semua orang bisa berada di waktu tepat dan diantara masyarakat lokal saat Raja mereka lewat. Ini kesekian kalinya saya berkesempatan melihat rombongan Raja, setelah bertahun-tahun lalu beberapa kali berkesempatan serupa di Kamboja.

Tanpa terasa mata mengabur haru. Dia Yang Maha Baik melimpahkan begitu banyak kejutan manis dalam keseharian saya, juga menyerakkan hikmah dan makna seseorang yang akan lewat, seorang Raja yang memiliki tanggung jawab besar sejak dilahirkan agar bisa mengayomi seluruh aspek kehidupan di negerinya. Pembelajaran singkat itu, -dan karena hanya ada seorang Raja di Thailand diantara sekian puluh juta rakyatnya-, membuat saya yang duduk bersimpuh di trotoar turut mengatupkan kedua tangan di depan wajah sebagai penghormatan kepada Raja ketika rombongan lewat. Semua bersikap sama, tanpa ada yang berupaya mengambil foto, paling tidak itu yang terjadi di sekitar saya.

The Crematorium

Setelah rombongan Raja berlalu, barulah saya mengikuti ratusan orang lokal berbondong-bondong menuju pintu masuk, menerima minuman kemasan yang dibagikan gratis, ikut tergopoh-gopoh dalam antrian, kadang saya dirangkul seorang ibu dengan senyuman, lalu duduk menunggu di tempat yang disediakan, padahal tak ada satupun kata yang saya mengerti. Namun semuanya tertib, sehingga tak lama setelahnya saya sudah berada di dalam area Phra Merumas (Krematorium Kerajaan).

Saya hanya bisa terpana dengan yang ada di depan mata. Megah dan luar biasa cantik. Tidak percaya, karena semua kemegahan ini hanyalah sementara. Bagi mereka yang percaya, semegah apapun, namun membiarkan tempat perabuan tetap berdiri akan membawa ketidakbaikan. Bukankah hidup ini hanyalah sementara? Awalnya pada akhir bulan November seluruh bangunan utama krematorium dan bangunan pendukungnya akan dirobohkan, tetapi akhirnya Raja memberi ijin untuk memperpanjang hingga akhir tahun ini.

Tradisi mendirikan tempat perabuan untuk para bangsawan (Phra Merumas), -yang menempati dua pertiga luas Sanam Luang ini-, konon dimulai sejak periode Ayutthaya. Karena mereka percaya Raja merupakan Dewa maka tempat perabuannya perlu mengadopsi filosofi Gunung Sumeru sebagai pusat semesta kosmologi Buddha, bercampur dengan pengaruh Thailand kuno, Hindu dan aliran kepercayaan lainnya. Maka akhirnya di Phra Merumas ini semua diwujudkan.

Tetapi siapa yang melihatnya sebagai sesuatu yang temporer belaka? Bangunan-bangunan berkilau keemasan ini terlihat begitu megah walaupun sebenarnya hanya terbuat dari kayu bertulang besi dengan atap tradisional bertingkat. Bangunan utama keemasan sebagai pusat tempat perabuan dengan tiga permukaan lantai terletak di tengah-tengah, memiliki pelindung putih sembilan tingkat di puncak atapnya, dengan ketinggian total mencapai 50 meter.

Berbatas dengan area pengunjung terlihat kolam yang diibaratkan sebagai kolam surgawi, menempati empat sisinya dan berhiaskan patung-patung suci seperti gajah, kuda, sapi dan singa, termasuk patung-patung makhluk mitos yang konon hidup dalam hutan di Gunung Sumeru.

Bisa dilihat juga di tiap sudut bangunan utama terdapat patung-patung penjaga dunia yang disebut Thao Chatulokkaban. Dan pada level berikutnya terdapat patung-patung Garuda (Phra Khrut Pha), -yang menjadi lambang negara Thailand-, dan dalam konsep Hindu, Garuda merupakan kendaraan Dewa Vishnu yang salah satu titisannya adalah Rama (Raja-raja Thailand bergelar Rama). Kemudian di lantai ketiga terdapat tempat di setiap sudut untuk para bhiksu melantunkan puji-pujian atau membaca Sutra. Yang saya sukai di pelataran utama banyak dihiasi dengan tanaman bunga berwarna kuning sebagai warna hari Senin, hari lahirnya mendiang Raja Bhumibol.

Sambil menyusuri museum yang memajang semua peninggalan mendiang Raja Bhumibol, saya mengambil foto yang menarik hati, seperti foto bersama Presiden Soekarno saat berkunjung ke Indonesia. Juga pandangannya sebagai Raja yang harus mengayomi seluruh rakyatnya. Di dekat pintu keluar, saya tidak mampu berlama-lama menyaksikan video mangkatnya yang diiringi musik indah, karena begitu menyayat hati melihat duka rakyatnya.

Malampun semakin pekat walau bulan tampak terang diantara puncak-puncak lancip Phra Merumas. Saya meninggalkan kawasan Sanam Luang dengan satu rasa, betapa mendiang Raja Bhumibol dicintai rakyatnya. Sempurna.

Catatan.

Royal Crematorium dibuka 2 November – 31 December 2017 pk 06.00 – 22.00. Dress code seperti ke Grand Palace, dilarang mengenakan celana pendek, kaos tanpa lengan/tanktop dan sandal jepit. Semua pengumuman disampaikan dalam bahasa Thai, penggunaan bahasa Inggeris terbatas.

Grand Palace at night

 

WPC – A Temporary Splendor in Bangkok


The Crematorium

Always bringing back the good memories of my first solo-trip, I love to travel to Bangkok. Therefore, last week I made an unplanned weekend getaway back to the city that recently held a cremation ceremony for the late King Bhumibol Adulyadej.

I was amazed when arrived at the cremation area which is located in Sanam Luang, -usually just a field park-, adjacent to the Grand Palace complex. All temporary structures there are so amazing, with the shiny golden royal crematorium and supplementary structures that cover almost two-thirds of the 30-acre ground.

This magnificent Royal Crematorium is modeled after the imaginary of Mount Sumeru, the center of the universe in Buddhist cosmology and was influenced by Hinduism as deeply rooted in the ancient Thai kingdom for centuries. In the center, the height of main structure is about 50 meters from the ground, usually made of wood with steel structure inside. The myth heavenly pond is found around the base of royal crematorium and decorated with many mythical creatures and auspicious animals, namely elephants, horses, cows, and lions.

I know the it is subject to change but this grandeur Royal Crematorium and other components will be scheduled to completely dismantled in the end of November 2017.

Temporary Surround Building

Temporary

Jangan Bawa Kamera ke Wisata Alam Mangrove Angke


Sudah lama saya berkeinginan untuk pergi ke tempat wisata ini. Mangrove! Rasanya nama itu eksotis sekali. Apalagi ditambahkan dengan kata-kata di depannya ‘wisata alam’. Wah yang langsung terbayang adalah menjelajah alam. Dan berikutnya diikuti oleh Angke Kapuk. Berarti di Jakarta dan dekat…

Yang Indah dari Wisata Alam Mangrove
Yang Indah dari Wisata Alam Mangrove

100% benar, Wisata Alam Mangrove itu memang berada di Jakarta tepatnya di Angke, Kapuk atau sekarang lebih dikenal dengan nama Pantai Indah Kapuk. Berada di sekitar perumahan Pantai Indah Kapuk, tempat wisata ini merupakan salah satu kawasan konservasi hutan bakau (mangrove) yang dikelola oleh pihak swasta. Sangat mudah mencapainya, apalagi membawa kendaraan pribadi. Patokan utama lokasi ini di belakang kompleks Kantor Pusat Yayasan Buddha Tzu Chi, yang dari kejauhan sudah terlihat karena segede gaban gedenya…(klik disini untuk petunjuk arahnya)

Sebenarnya, mungkin saya saja yang sudah ketinggalan jaman karena kelihatannya semua orang sudah pergi ke tempat ini, sudah membicarakannya dan mungkin sudah lewat masa happening-nya tetapi, walaupun numpang lahir di Jakarta, saya sama sekali belum pernah menjejakkan kaki ke tempat wisata ini sebelumnya. Oleh karena itu, daripada tidak sama sekali, tak salah kiranya saya melancong ke sini.

And finally, akhir pekan pertengahan bulan lalu, saya sampai juga di wisata alam Mangrove itu.  Rencana berangkat pagi-pagi hanya tinggal rencana, karena acara rindu bantal dan guling lebih kuat daripada bangun menjelajah. Tidak heran sampai di sana, jelang tengah hari dan wow…. panasnya 😀 😀

Sekarang ini suhu udara Jakarta panas, apalagi harus berada di Jakarta Utara, di pantai dan jelang tengah hari! Sungguh pemilihan waktu yang sangat ‘tepat’ bagi saya yang tidak tahan heat stroke. Topi pun tidak menolong, payung juga tidak, karena udara pengap tak mengalir. Tetapi seperti kebanyakan dari kita yang masih melihat positifnya, saya pun melakukan hal itu. Untung saja! Ya, untung saja masih ada hutan bakau yang memberikan sedikit keteduhan!

Hari itu saya beruntung karena tepat ada yang meninggalkan tempat parkir yang beratap, kalau tidak  mobil pasti akan terpanggang oleh terik matahari Jakarta yang bisa menjadikannya oven. Mobil dihargai Rp. 10,000 sekali masuk dan tidak dihitung lamanya ia mengendap. Seandainya si mobil tidak berada di bawah atap, bisa jadi saya langsung membatalkan dan langsung pulang karena tidak mungkin saya menyimpan kamera dan barang-barang berharga lainnya dalam ‘oven’ itu.

Dilarang bawa kamera kecuali bayar 1juta
Dilarang bawa kamera kecuali bayar 1juta

Kamera DSLR atau kamera saku digital dari yang mahal sampai murah pun tidak diperbolehkan dibawa masuk ke area wisata alam mangrove ini. Kamera yang diperbolehkan masuk adalah segala macam HP, Ipad, Iphone, IPod, Tab yang berkamera dan lain-lain sejenisnya.

Saya bertanya kepada petugas yang menjaga, mengapa kamera tidak diperbolehkan masuk sedangkan ponsel terkini dengan segala macam kehebatannya setara dengan kamera justru diperbolehkan masuk. Jawaban absurd diberikan karena ketakutan mereka terhadap tuntutan para photographer pre-wed di sana, sebab mereka dibebankan biaya untuk mengambil foto di lokasi itu. Dan alasan lain ditambahkan untuk memperkuat argumentasi mereka bahwa kamera digital memiliki fungsi utamanya membuat foto, sedangkan ponsel, untuk alat komunikasi bukan membuat foto. Hmm… Baiklah…

Masih penasaran karena tidak tega meninggalkan si kamera bongsor itu di mobil dan di sana pun tidak disediakan tempat penitipan, saya bertanya lagi ke petugas jaga, berapa harga masuk untuk si bongsor hanya untuk ditenteng tapi tidak digunakan? Jawabannya dengan nada yang mulai meninggi sambil menunjukkan apa yang tertera di papan, -pokoknya untuk masuk, dipakai atau tidak, yaa SATU JUTA Rupiah-! Atau kira-kira seharga 100 mobil untuk masuk atau sekitar 40 makhluk yang bernama manusia untuk masuk ke kawasan itu. Dan jangan salah ya, itu berlaku untuk semua kamera digital, kamera saku atau DSLR, dari yang murahan atau mahal.

Ah tempat wisata kok ada ya sebuah sikap generalisasi antara photographer professional yang mendapat uang dari hasil fotonya, dengan photographer amatiran yang hanya sebagai hobby!

Oh ya, sempat saya tanyakan juga sebenarnya siapa pemilik tanah ini? Hmmm… kata petugas yang jaga, tanah kawasan ini milik departemen kehutanan tetapi pengelolaannya diserahkan ke swasta. Langsung saya paham seribu persen, soal uang dan tentu saja orientasinya yang berbasis keuntungan.

Semua itu, termasuk udara panas menyengat melengkapi mood-killer yang menyerang. Tetapi saya tidak boleh menyerah pada suasana hati yang mudah berubah. Saya ikuti aturan yang ditetapkan dan menjelajah juga di bawah kerindangan, walau tidak seluruhnya teduh.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Saya melewati tempat-tempat penanaman bakau yang sebagian besar dipenuhi oleh nama organisasi kepemudaan, kemasyarakatan, sosial dan lain-lain yang mungkin juga sekalian promosi kepentingan. Ada sebagian yang sudah rusak, ciri khas bahwa pemeliharaan berkesinambungan lebih sering dilupakan ketika membuat hal-hal baru. Saya juga melewati tempat-tempat bermalam yang disewakan, restoran dan lainnya.

Seekor biawak tampak menghindar ke balik semak-semak mendengar langkah kaki manusia. Tadinya saya hendak berhenti di kafe untuk mendinginkan tubuh sejenak tetapi akhirnya batal, teringat orientasi pengelolaan kawasan ini. Jadi pasti mahal.

Selain berjalan-jalan di sekitar kawasan hutan, pengunjung bisa juga menyewa perahu keliling kawasan, atau menaiki jembatan gantung yang seru atau hanya sekedar duduk-duduk mengobrol dengan kawan-kawan. Tempat ini bagus juga untuk seseorang yang ingin menyendiri sebentar atau yang ingin bersantai membaca buku di luar ruang atau bahkan yang sedang galau dengan kejombloannya hehe…

Hiii... ada hewan serupa ular air
Hiii… ada hewan serupa ular air

Bagaimanapun sebagai pengunjung kita wajib menjaga lingkungan dan waspada saat berjalan di lingkungan alam. Selain sampah plastik yang masih terlihat, sempat juga terlihat hewan seperti ular air bergerak-gerak dalam air serta kayu-kayu jalan setapak yang beberapa sudah patah. Semakin jauh berjalan ke ujung desa, semakin terdengar riuh pembangunan. Ah, kawasan ini juga tak bisa menghindar dari proses reklamasi laut yang terus menerus dilakukan. Dan satu lagi, jangan bawa kamera ke sini… mahal!

Banten Lama: Menguak Peradaban Empat Abad Silam


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Pertengahan Maret 2014 lalu saya menyempatkan jalan-jalan seharian ke kawasan Banten Lama, salah satu Tentative List of UNESCO World Heritage Site yang diajukan Indonesia sejak tahun 1995. Dan ketika sampai di kawasan tersebut, perasaan saya miris sekali menyaksikan kondisi kawasan yang pernah menjadi destinasi para pengarung samudera dan penjelajah dunia. Bagaimana dunia akan mengetahuinya jika kita sendiri tidak memeliharanya dan cenderung mengabaikan tempat bersejarah itu?

Sejarah tak dapat ditutupi bahwa pada abad 16 Banten Lama telah terukir sebagai kawasan yang riuh dengan kehidupan internasional di bumi Nusantara tercinta ini. Telah berabad lamanya tertinggal catatan-catatan pengelana China, budaya dan pengaruh dari syiar Islam yang datang dari jazirah Arab, peninggalan hasil usaha pedagang-pedagang Persia, Goa, negeri-negeri Eropa, berbagai ragam arsitektur bangunan, implementasi pengelolaan sumber daya air dan dari temuan-temuan di situs yang terdiri dari keramik, koin, perhiasan dan lain-lain yang berasal dari berbagai negara di dunia pada saat itu, kesemuanya memberikan bukti yang jelas nyata. Dan bukankah ada nama Belanda yang tertulis di buku-buku pelajaran sejarah Indonesia, Cornelis de Hautman, yang memimpin pendaratan Belanda di kawasan Banten di tahun 1596? Dan siapa sangka, ternyata pertempuran hebat di Sunda Kelapa yang akhirnya dimenangkan oleh Fatahillah itu memiliki keterkaitan kuat dengan sejarah Banten Lama. Dan bahkan jika dirunut ke belakang maka Sunan Gunung Jati di Cirebon, Kerajaan Demak, hingga Sunan Ampel di Jawa Timur juga memiliki keterkaitan yang lekat dengan Banten. Bagi saya pribadi, jalan-jalan kali ini sungguh membukakan wajah Indonesia yang penuh kejayaan 4 abad silam.

Peninggalan-peninggalan Kejayaan Masa Lalu

Untuk menikmati seluruh peninggalan kejayaan masa lalu satu per satu tidak mungkin diselesaikan dalam satu hari karena terseraknya obyek di kawasan Banten Lama. Apalagi bila ditambah niat melakukan ziarah syiar Islam di Banten, tentu memakan waktu lebih lama. Namun kali ini saya dapat mengunjungi dan menikmati sebagian besar dari peninggalan sejarah yang luar biasa ini.

1. Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Saya mengawali jalan-jalan kali ini di museum yang menjadi gerbang utama untuk menelusuri jejak kejayaan masa lalu Banten Lama. Dengan harga tiket senilai uang logam Rupiah terbesar alias Rp. 1000,- kita bisa mendapatkan banyak informasi mengenai kehidupan Banten pada jaman dahulu kala dengan berbagai koleksi artefak yang ditemukan di situs-situs sekitar Banten Lama. Terdapat koleksi perhiasan, senjata, keramik, saluran pengelolaan air, bahkan patung Nandi sebagai kendaraan Dewa Syiwa dan lain-lain. Di depan Museum ini diperagakan pula Ki Amuk, meriam besar yang dipergunakan ketika terjadi pertempuran dengan Belanda. Selain itu diperagakan pula peralatan penggilingan tebu, batu-batu hiasan Kraton Surosowan dan nisan-nisan makam Cina.

2. Jembatan Rante

Jembatan yang telah kehilangan rantai, tiang besi dan kayu yang dapat diangkat ini, pada jaman dulu merupakan tempat pemeriksaan pajak terhadap barang dagangan di perahu-perahu yang akan masuk ke Banten. Lolos urusan perpajakan, petugas akan menarik rantai yang mengikat papan kayu sebagai landasan penyeberangan jembatan sehingga perahu bisa lewat melanjutkan perjalanan. Jembatan Rante ini dapat dicapai dengan berjalan kaki karena lokasinya sekitar 300meter dari Kraton Surosowan menuju Mesjid Agung Banten dan berada di belakang kios-kios penjual cinderamata. Sayang sekali, kondisi kanal tidak tertata apik, air yang tak jernih dengan tumbuhan enceng gondok disana sini serta sampah yang terserak di pinggir kanal membuat jembatan Rante seakan kehilangan nilai historisnya.

3. Masjid Agung Banten

Mesjid yang dibangun oleh Sultan Muhammad Hasanuddin sebagai Sultan Banten I pada pertengahan abad 16 ini merupakan salah satu mesjid yang bercirikan arsitektur Jawa Kuno dan memiliki Menara setinggi 24m yang berdiri anggun di halaman Mesjid, yang dari pintu pertama atau kedua Menara pemandangan indah sekitar hingga ke pantai laut Jawa dapat terlihat. Selain dikunjungi oleh orang-orang yang beribadah, mesjid ini juga didatangi oleh pengunjung yang menziarahi makam-makam para ahli syiar Islam yang terdapat pada kompleks mesjid dan seantero Banten.

4. Kraton Surosowan

Tepat di seberang Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama terdapat Kraton Surosowan yang kini tinggal reruntuhan dinding dan batu-batu fondasi yang terbuat dari bata merah. Apa yang tertinggal dapat menggambarkan betapa megah kraton pada masanya, yang merupakan pusat kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan seluruh sendi kehidupan dalam masyarakat Banten. Kraton yang luasnya tiga kali lapangan bola ini merupakan tempat tinggal para Sultan sekaligus tempat berinteraksi dengan rakyatnya. Di bagian tengah reruntuhan Kraton ini terdapat kolam pemandian Ratu Dhenok dan Pancuran Emas yang sering dijadikan tempat melakukan ritual kungkum bagi sebagian orang yang percaya akan mendapatkan kekuatan dari para leluhur (walaupun airnya tak lagi bening, penuh lumut kehijauan dengan botol plastik yang dibuang disana sini). Juga di sudut-sudut Kraton yang berbentuk seperti relung gua, sering dijadikan tempat bersemedi mencari wangsit. Berada dalam lingkungan Kraton Surosowan yang penuh sejarah ini, sepertinya kita dibawa ke dunia lain sambil menerka-nerka bagaimana bentuk Kraton pada masanya.

5. Watu Gilang

Merupakan lempeng batu persegi panjang yang menjadi tempat pentahbisan Sultan-sultan Banten jaman dulu sekaligus tempat memberikan pengumuman dari Kraton untuk rakyat. Watu Gilang saat ini telah berada dalam naungan sebuah pergola berpagar setelah lama sebelumnya tergeletak terabaikan begitu saja di lapangan terbuka terkena panas hujan. Kondisi ini lebih baik walau tetap menyedihkan, karena lingkungan sekitarnya tidak tertata rapi dan terkesan kumuh sehingga obyek ini seperti kehilangan aura sakral penuh karismatik dari apa yang pernah terjadi di atas batu itu. Dan apabila Watu Gilang disejajarkan tingkatnya dengan sebuah Tahta Kesultanan, sepertinya kita telah berkhianat terhadap akar budaya sendiri ketika benda bersejarah itu terserak diantara kekumuhan kios-kios pedagang, berhiaskan sampah dan kotoran-kotoran binatang yang bebas berkeliaran, dan dijadikan tempat mencari wangsit.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

6. Kraton Kaibon

Kraton Kaibon merupakan istana Ratu Aisyah, ibunda dari Sultan Syaifudin, yang kini tinggal tersisa gapura, reruntuhan dinding dan batu-batu fondasi karena dihancurkan Belanda pada masa kolonial sehingga menyimpan imajinasi akan kehebatan dan keindahan Kraton pada jaman dahulu. Sayangnya, rerumputan yang tertata cukup baik mengundang kambing-kambing berkeliaran dan meninggalkan kotoran-kotorannya sembarangan di tempat yang bersejarah ini. Dan ketika hujan lebat turun, tak jarang Kraton Kaibon ini tergenang cukup tinggi, alam menunjukkan dayanya merusak secara perlahan tapi pasti struktur bangunan yang menjadi salah satu icon peradaban empat abad silam.

7. Pelabuhan nelayan Karangantu

Pelabuhan tradisional sejak abad 16 ini tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang dijunjungnya dengan memelihara perahu-perahu nelayan yang dimiliki secara turun temurun. Walaupun tak bisa menandingi metropolis-nya Banten jaman dulu dan cakupannya yang lebih kecil daripada pelabuhan Sunda Kelapa, perahu-perahu yang ada cukup membawa kenangan akan hebatnya kehidupan komunitas maritim di wilayah Banten Lama.

8. Kerkhof

Bekas pemakaman Belanda yang berada di sisi Benteng Speelwijk ini meninggalkan satu atau dua bangunan makam yang cukup menarik. Jika didekati, tulisan indah berukir jaman Belanda masih terlihat di salah satu bangunan makam yang sayangnya tempat ini terbengkalai diantara rumput ilalang yang tinggi. Pemandu saya memperlihatkan betapa bagusnya kualitas besi orisinal yang digunakan untuk pagar asli yang masih tersisa. Dengan getir beliau bercerita di balik kisah besi orisinal itu. Ketika pintu jeruji dengan kualitas besi yang sangat bagus di bangunan kecil dekat gerbang, hilang dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab, seluruh satpam yang menjaga kawasan obyek wisata Banten Lama terkena sanksi oleh pejabat dinasnya (dan respons otomatis muncul dari dalam hati saya, apakah juga ada sanksi yang berlaku untuk pejabat dinasnya?)

9. Benteng Speelwijk

Benteng yang tadinya berada di dekat pantai dan sekarang sudah menjorok ke tengah daratan karena pendangkalan laut ini, hanya tinggal tembok keliling yang masih terlihat kokoh dan sebagian bastion. Ketika berada di dalam Benteng, entah saya harus getir atau tersenyum. Karena tempat terbuka di bagian tengah telah berubah menjadi lapangan bola lengkap dengan tiang gawangnya. Serasa di stadion! Bagaimana pun ketika masuk ke dalam ruang bekas gudang senjata, saya kembali merasa memasuki sebuah benteng militer yang selalu bercirikan tembok kokoh, lorong-lorong gelap, disana-sini terkena bom. Udara langsung terasa lembab sepanjang lorong gelap menuju gudang senjata tersebut. Sesekali terdengar suara burung walet yang sengaja mencari kegelapan. Dan tentu saja, jangan lupa bawa senter untuk memasuki ruang dalam benteng ini.

10. Vihara Avalokitesvara.

Vihara yang namanya diambil dari seorang Boddhisatva yang dikenal sebagai Dewi Welas Asih (Kwan Im) ini, konon dibangun atas perintah Syarif Hidayatullah sebagai bentuk nyata atas kehidupan beragama yang harmonis pada masa itu dan kini menjadi salah satu vihara tertua di Indonesia. Patung Avalokitesvara yang konon berasal dari Dinasti Ming, terdapat di altar utama yang ada di depan, yang di sisi kiri kanannya terdapat ruang-ruang yang lebih kecil untuk ibadah. Di bagian belakang terdapat dharmasala yang dihubungkan oleh koridor cantik berhiaskan kissah legenda ular putih. Legenda Mbah Banten yang sakti penjaga sumber mata air yang dipercaya membawa kemujaraban menjadi legenda lokal yang ada di vihara ini. Banyak yang meminta air mujarab ini, tidak hanya dari golongan orang yang beribadah di vihara ini melainkan juga yang datang dari jauh dengan latar belakang yang berbeda.

11. Rumah Pecinan Kuno

Tidak jauh arah selatan dari Vihara, terdapat sebuah rumah kuno yang tinggal satu-satunya masih berdiri kokoh dan lengkap, yang dikenal sebagai Rumah Pecinan Kuno. Pada masa keemasannya, rumah-rumah dengan arsitektur China berdiri di sepanjang jalan dengan gaya yang sama. Daerah itu memang dikenal dengan daerah Pecinan yang dikhususkan bagi para keturunan China untuk berdagang. Saya membayangkan cantiknya lampion-lampion berwarna merah tergantung di langit-langit sepanjang selasar seakan tak peduli dengan kesibukan orang-orang berpakaian khas China yang lalu lalang menawarkan dagangan.

12. Masjid Pecinan Tinggi

Tak jauh dari Rumah Pecinan Kuno, setelah melewati rel kereta api, di sebelah kanan jalan terdapat Mesjid Pecinan Tinggi yang hanya tersisa Menara dan Mihrab-nya. Sungguh luar biasa menyaksikan Menara yang masih tegak berdiri yang konon didirikan pertama kali oleh Syarif Hidayatullah dan dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin serta menjadi mesjid yang lebih tua daripada Mesjid Agung Banten. Sungguh sayang, karena keterbatasan dana Menara dan Mihrab tampak terbengkalai terkena coretan vandalisme, bangunan terlihat sedikit miring, mungkin karena akibat banjir, tanah secara perlahan tertekan karena tak mampu menahan beban berat dari Menara.

13. Danau Tasikardi dan Pengindelan Abang

Dalam perjalanan pulang melalui Serang Barat, setelah menyaksikan pemandangan hamparan sawah yang menghijau yang menenangkan jiwa, di pinggir jalan saya melihat Pengindelan Abang, sebuah bangunan rumah penyaringan air yang berasal dari Danau Tasikardi, danau buatan berjarak 200meter. Hati saya miris sekali melihat coret-coret vandalis menghiasi seluruh bangunan Pengindelan Abang. Sungguh perbuatan yang sama sekali tidak menghargai kehebatan pengelolaan sumber daya air empat abad silam di Banten.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Akses Menuju Banten Lama

Seperti biasa, tak banyak informasi lengkap mengenai akses ke Kawasan Banten Lama, termasuk dari web resmi pariwisata Banten. Informasi justru didapat dari para Travel Bloggers yang suka berbagi cerita.

Untuk tujuan Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, dari Jakarta bisa melalui Jalan Tol JakartaMerak, keluar di Serang Timur (sekitar km72) dan ikuti rambu petunjuk jalan hingga perempatan besar. Disitu, sebenarnya arah Banten Lama berbelok ke kanan, namun karena ada pengaturan lalu lintas, maka harus memutar mengikuti arah lalu lintas terlebih dahulu, sampai bertemu kembali dengan RS Sari Asih Serang diujung awal perempatan tadi. Berbeloklah ke kiri di depan RS Sari Asih itu, ikuti jalan (yang agak paralel dengan jalan tol) dan ikuti rambu petunjuk Banten Lama. Setelah beberapa saat di sebuah pertigaan, berbeloklah ke kiri mengikuti petunjuk arah Banten Lama untuk masuk ke Jl. Ayip Usman. Ikuti jalan Ayip Usman tersebut hingga mentok dan berbeloklah ke kanan, memasuki Jalan Banten lama (atau dikenal dengan Jalan Kasemen) yang di beberapa tempat rusak. Setelah melewati penjual kayu-kayu glondongan, ikuti terus jalan ini (di Google Map ditandai dengan Jl. Samaun Bakri, Jl. Kalanggaran – Sukadana)

Setelah berkilo-kilometer, menjelang sebuah jembatan besi yang besar (dan jembatan lama ada di sebelah kirinya), di kiri jalan terlihat sudut reruntuhan Kraton Kaibon. Seberangi jembatan hingga bertemu pertigaan dengan Mesjid Al Munawaroh di kanan. Berbeloklah ke kiri (ikuti jalan yang agak bergelombang) hingga bertemu dengan kompleks reruntuhan Kraton Surosowan. Di pertigaan sebenarnya dilarang jalan terus, tetapi bila Anda akan mengunjungi museum, maka ambillah jalan yang lurus itu sekitar 300m Anda akan sampai di tempat tujuan Anda.

Untuk ke Benteng Speelwijk, Kerkhoff dan Vihara Avalokitesvara, dari Museum Anda harus kembali ke jalan utama dan berbelok ke kiriketika mentok di depan Mesjid Al Munawaroh tadi, ikuti jalan sampai bertemu dengan jembatan dan pelabuhan Karangantu yang merupakan tempat bersandarnya perahu-perahu (mirip pelabuhan Sunda Kelapa). Berbeloklah ke kiri sebelum jembatan, lalu menyusuri tepian sungai dan ikuti jalan sekitar 500m, hingga terlihat sisi luar Benteng Speelwijk. Disini, bisa terlihat Bekas Pemakaman Belanda (Kerkhof). Untuk mencapai pintu masuk Benteng, kelilingilah benteng terlebih dahulu dengan kendaraan Anda. Diujung jalan Anda akan menemukan Benteng Speelwijk di sebelah kanan dan Vihara Avalokitesvara di sebelah kiri.

Untuk mencapai Rumah Pecinan Kuno, kembalilah ke jalan utama tanpa berbalik arah ke pelabuhan, dan sekitar 100 – 200 meter kita akan menemui Rumah Pecinan Kuno yang tinggal satu-satunya, dan ikuti jalan sekitar 200meter lagi akan sampai pada Mesjid Pecinan Tinggi.

Dengan mengikuti jalan tersebut menuju Kramatwatu (Akses Tol Serang Barat), maka di kanan kiri jalan terlihat pemandangan sawah-sawah yang saat saya lewati sedang siap panen. Di kejauhan tampak kumpulan pepohonan yang melingkari Danau Tasikardi. Dan sekitar 200meter sebelum Danau Tasikardi itu, kita akan melihat Pengindelan Abang tepat di pinggir jalan.

Jika kita lanjutkan perjalanan, tak lama kemudian kita akan menyeberangi jalan tol merak yang ada di bawah jembatan dan setelah berbelok kekiri di persimpangan lampu lalu lintas, kita akan sampai ke akses tol untuk kembali ke Jakarta melalui Gerbang Serang Barat.

Dan… walaupun bisa dicapai dengan menggunakan bus umum, saya tidak melihat banyak angkutan umum untuk mencapai tempat-tempat wisata tersebut. Menurut saya, akan lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi.

Waktu Terbaik

Kawasan Banten Lama dapat dikunjungi sepanjang waktu, kecuali musim hujan. 2 Jam waktu yang diperlukan agar sampai ke Banten lama dari Jakarta dengan kendaraan pribadi melalui jalan tol. Tentunya agak lebih lama bila menggunakan kendaraan umum. Karena saya menyukai hal-hal yang berbau heritage, saya memerlukan waktu hingga 6 jam untuk menikmati sebagian besar obyek wisata yang ada di kawasan tersebut, termasuk makan siang dan foto-foto santai.

Pagi hari atau sore hari merupakan waktu terbaik untuk menikmati obyek-obyek wisata yang berada di tempat terbuka (seperti Kraton Surosowan, Kraton Kaibon, Benteng Speelwijk) mengingat terik matahari yang terasa membakar kulit.

Jika Anda termasuk orang yang menyukai wisata reliji (ziarah syiar Islam) maka waktu yang diperlukan untuk mengelilinginya akan lebih lama lagi, karena banyak sekali tempat-tempat yang berhubungan dengan ziarah ini. Hanya saja yang perlu diperhatikan pada saat perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW, kawasan Mesjid Agung Banten sangat penuh dikunjungi para peziarah, sehingga tidak nyaman untuk sekedar berwisata.

Ke Sangiran: Belajar Menghargai Harta Karun Kita


Hingga saat ini telah ditemukan tidak kurang dari 100 individu fosil Homo erectus di Sangiran. Jumlah ini mewakili lebih dari setengah populasi Homo erectus di dunia…

Dari hasil penelitian genetika, khususnya Mitochondiral DNA, diketahui bahwa seluruh umat manusia yang ada sekarang ini berasal dari seorang wanita yang pernah hidup sekitar 200.000 tahun yang lalu di Afrika Timur ….

sangiran_whsItulah kalimat-kalimat yang menarik perhatian di Museum Manusia Purba Sangiran, Solo, Jawa Tengah. Dan semakin dalam memasuki ruangan-ruangannya, saya seperti dibawa mesin waktu ke ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu, menelusuri kehidupan luar biasa yang pernah ada saat itu di Jawa, di Indonesia, di negara kita. Dan bukti-bukti adanya kehidupan jutaan tahun lalu itu masih ada, menjadi harta karun tak ternilai bagi seluruh manusia di muka bumi ini. Ada di sini, di Indonesia!

Mungkin sama dengan Anda, bagi saya, Sangiran merupakan kata yang hanya ada ketika masih duduk di bangku sekolah dalam ilmu geografi kependudukan dan sejarah, dan setelah itu tenggelam kalah dari berbagai prioritas kehidupan lain yang lebih penting. Dan baru-baru ini seorang kawan yang datang jauh-jauh dari Philippines hanya untuk mendatangi Sangiran yang menyebabkan saya mencari tahu lebih jauh tentang Sangiran. Katanya santai, Sangiran adalah UNESCO World Heritage Site yang mudah dicapai dari Jogjakarta. Dan rasanya saya tertampar keras dengan pernyataan santainya itu, karena sebagai orang yang sudah menganggap Jogjakarta sebagai rumah kedua, tidak pernah sekalipun saya berkunjung ke Sangiran. Sedangkan badan dunia UNESCO dan masyarakat internasional mengakui dan mengesahkan Sangiran di Indonesia telah memenuhi persyaratan sebagai salah satu situs warisan dunia. Dan saya, sebagai warga negara Indonesia, bahkan belum pernah menginjakkan kaki di sana! Dan karena itulah saya langsung merencanakan mengunjungi Museum Manusia Purba Sangiran.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Sangiran, sekitar 17km di Utara Solo menuju Purwodadi, tepatnya di desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe. Untuk mencapainya cukup mudah. Bila berkendara dari Jogja atau Solo, ambil jalan besar ke Utara menuju Purwodadi dan berbelok ke kanan pada pertigaan Kalijambe. Tidak perlu takut tersesat karena di pertigaan jalan besar itu terdapat gapura berbentuk kolom-kolom batu bertuliskan Situs Sangiran. Dari pertigaan itu jalan terus sepanjang 3-4 km hingga sampai ke Museum Manusia Purba. Untuk kendaraan umum, terdapat bus dari Solo menuju Purwodadi dan berhenti di pertigaan Kalijambe dan dilanjutkan dengan menggunakan ojek untuk ke Museum.

Museum dibuka hari Selasa sampai dengan Minggu, pk.08:00 – 16:00. Tutup setiap hari Senin. Harga tiket masuk untuk wisatawan Indonesia Rp. 5.000,- atau Rp 11.500,- untuk wisatawan asing. Hanya sekitar US$1,- untuk masuk, termasuk sangat murah dibandingkan museum-museum serupa di beberapa negara. Pemutaran film bisa dilakukan dengan harga Rp. 60.000,- per rombongan. Tempat parkir luas bisa menampung bus dan mobil cukup banyak, tersedia juga warung makan dan kios-kios penjual cinderamata dan kaos berbagai ukuran dan motif. Hanya saja diperlukan kejelian mata dalam memilih kualitas cinderamata/kaos dan tentu saja ketrampilan menawar. Sayang sekali saya tidak bisa memastikan apakah museum ini bisa diakses oleh para disable mengingat banyaknya tangga.

Tidak seperti di tempat-tempat lain yang bergelar World Heritage Site yang memperlihatkan simbol UNESCO dan gelar yang diraih secara lebih menyolok, Museum Manusia Purba Sangiran hanya meletakkan tanda gelar internasional yang diraih itu pada sebuah pohon beringin besar yang ada di depan penjual cinderamata/kaos. Sayang sekali sebenarnya karena simbol itu merupakan pengakuan dari sebuah badan dunia dan dunia internasional terhadap apa yang ada di bumi Indonesia. Tidak mudah sebuah tempat mendapatkan gelar World Heritage Site karena harus lolos melewati kriteria-kriteria yang rumit dan sudah standar di seluruh dunia. UNESCO sendiri menetapkan Sangiran sebagai World Heritage Site no 593 pada 5 Desember 1996 dengan sebutan Sangiran Early Man Site

Museum Manusia Purba Sangiran memiliki 3 Ruang pamer: Kekayaan Sangiran, Langkah-Langkah Kemanusiaan, dan Masa Keemasan Homo Erectus – 500.000 tahun yang lalu. Ketiga ruang pamer itu memiliki kekuatan masing-masing walaupun tidak jarang hal yang sama berulang di tempat yang lainnya.

Setelah pemeriksaan tiket masuk, pengunjung diarahkan ke kiri menyusuri selasar berkolom banyak di sisi-sisinya, secara tak sadar kita sebenarnya sedang berjalan di atas lapisan vulaknis paling tua, hasil aktivitas erupsi gunung Lawu purba yang telah mengeras selama 1.8 juta tahun.

Memasuki ruang pertama: Kekayaan Sangiran, di dalamnya terdapat penjelasan mengenai evolusi manusia, koleksi fosil fauna yang dimiliki seperti buaya, herbivora bertanduk besar, kudanil purba, dan gajah purba serta binatang-binatang laut seperti penyu dan kerang-kerangan. Juga penggambaran mengenai kehidupan sehari-hari Homo erectus di Sangiran. Yang menarik di ruang ini juga ditampilkan temuan-temuan terbaru setahun terakhir ini berupa rahang bawah, tulang panggul dan tulang paha dari gajah purba yang diperkirakan hidup 250.000 – 730.000 tahun yang lalu!

Kemudian, di ruang di sebelahnya dijelaskan mengenai type Homo erectus yang ada di Indonesia. Bahwa dalam waktu 1.5 juta tahun terjadi 3 tahap evolusi Homo erectus di Jawa., dua tingkat diantaranya terjadi di Sangiran (type arkaik 1.5- 1 juta tahun yang lalu; dan type tipikal 0.9 – 0.3 juta tahun yang lalu). Tipe termuda yaitu type progressif terdapat di Blora, Sragen dan Ngawi. Tidak itu saja, di tempat yang sama dipamerkan pula teknik-teknik yang dimiliki Homo erectus seperti alat pemangkasan dan pembuatan alat batu. Yang menarik untuk pelajar yang masih anak-anak adalah teknik rekonstruksi terhadap POPO, seekor kudanil dari Bukuran yang memiliki 119 buah fossil yang dirangkai menjadi kesatuan fosil hewan yang utuh.

Dan bagi yang belum mengetahui teori manusia berasal dari kera secara dalam, mungkin perlu datang ke museum ini dan mencari informasi mengenai Kera dan Manusia di ruang pertama ini. Penjelasan yang disampaikan sangat menarik.

Ruang pamer kedua: Langkah-langkah Kemanusiaan, mengisahkan teori dari Big Bang hingga Sangiran tercipta termasuk pengungkapan orang-orang yang memiliki teori terkait dengan perkembangan evolusi manusia. Homo erectus bukanlah manusia yang pertama (sebelumnya sudah ada genus Homo habilis (genus manusia) yang hanya tinggal di Afrika). Namun Homo erectuslah merupakan manusia pertama yang menjelajah dunia, tidak hanya sabana dan hutan terbuka di daerah tropis, juga di daerah sub-tropis di Eropa dan Asia, termasuk beradaptasi pada lingkungan laut dan mengembangkan teknologi pelayaran yang paling primitif agar bisa menyeberangi pulau.

Di ruang ini pula kita bisa mengenal para pionir dari Museum Sangiran ini. Dan tidak kalah menariknya penjelasan dalam bentuk audio visual mengenai terbentuknya pulau-pulau di Indonesia dalam kerangka waktu jutaan tahun yang lalu.

Salah satu yang mengejutkan, Raden Saleh, yang kita kenal sebagai maestro seni lukis Indonesia yang terkenal, ternyata dikenal juga sebagai kolektor balung buto (fosil hewan purba dari Sangiran) sehingga dikenal pula oleh para ilmuwan Eropa saat itu, karena koleksinya yang cukup lengkap.

Yang seru juga di dalam ruang ini, Homo erectus dikabarkan melakukan kanibalisme karena temuan fosil biasanya tanpa wajah dan dasar tengkorak, atau ditemukan banyak fosil tengkorak tetapi tidak disertai dengan anggota tubuh lainnya. Benarkah demikian? Lagi-lagi penjelasan yang disampaikan sangat menarik. Untuk pastinya, datang saja ke Museum ini…

Dan satu lagi, Homo erectus alias Pithecantropus yang berawal dari Afrika, mampu menjelajah daerah sabana, Asia Barat, India hingga Asia Tenggara dan tinggal di Jawa sekitar sejuta tahun lalu. Dan semuanya musnah sekitar 100.000 tahun lalu, lalu jika kita bukan dari Homo erectus, lalu dari manakah manusia Indonesia yang ada sekarang ini? Ternyata, jawabannya seru juga…

Di ruangan ini pula juga bisa dilihat bagaimana sebuah fosil itu ditemukan dalam keadaan lengkap atau dalam keadaan terlipat dalam goa-goa abadi. Tidak dilarang untuk berfoto seperti seorang ahli arkeologi bersama fossilnya.

Dalam ruang ketiga – Jaman keemasan Homo erectus sekitar 500.000 tahun yang lalu, digambarkan dalam 3 dimensi tentang kehidupan sehari-hari Homo erectus dan lingkungannya yang berupa sabana yang luas sepanjang horison. Dengan demikian pengunjung bisa memiliki bayangan bagaimana Homo erectus hidup dalam jamannya.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Sekeluar Museum kita bisa menikmati tempat-tempat istirahat yang nyaman dan berangin, sambil berfoto dengan latar belakang gedung museum yang cukup menarik bentuknya.

Karena keterbatasan waktu saya tidak sempat melihat menara pandang yang berjarak tidak jauh dari Museum. Dari Menara Pandang ini bisa disaksikan betapa luas Kubah Sangiran (Sangiran Dome) yang merupakan area yang ditetapkan sebagai situs arkeologis Sangiran di Indonesia.

Saya sudah menjejakkan kaki di sana dan kagum akan kekayaan fosil yang ada untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, Masyarakat internasional dan badan dunia telah mengakui harta karun yang ada di Indonesia ini, lalu kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menghargainya dan memelihara kehebatannya? Yuk berkunjung ke Museum Manusia Purba Sangiran!

Pesona Candi Banyunibo, Eksotik Berselimut Sepi


Candi Banyunibo

Apa rasanya mengunjungi sebuah Candi mungil yang berdiri menyendiri di tengah rimbunnya tebu dan persawahan serta perkebunan, tanpa banyak pengunjung lain? Ya, Candi yang mempesona dengan sebuah kesepian yang terasa menggigit, hanya ditemani semilir angin, penduduk dusunpun hanya lewat sekali-sekali.

Itulah suasana Candi Banyunibo, sebuah candi yang beratapkan stupa yang merupakan ciri khas Buddha dan dibangun sekitar abad ke-IX pada zaman kerajaan Mataran Kuno, yang berada tidak jauh dari kompleks Candi Ratu Boko. Terletak pada posisi GPS  S7.777930 – E110.493970, Altitude 183 meter, di dataran rendah di Desa Cepit, Kelurahan Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Lokasinya memang menyendiri, cenderung eksklusif, tersembunyi di daerah pertanian di balik rumpun tebu atau pohon-pohon pisang dengan latar belakang perbukitan Gunung Kidul di kejauhan arah selatan. Tapi pemandangan sepanjang perjalanan menuju area Candi memang sangat memanjakan mata. Jika tepat waktunya, sawah terbentang di kanan kiri dengan tanaman padi dan sayuran yang menghijau ditambah latar belakang bukit yang mempesona, apalagi datang kala mentari sore bersinar yang sudah tidak terlalu terik dan kering. Luar biasa.

Lanjutkan membaca “Pesona Candi Banyunibo, Eksotik Berselimut Sepi”

Menjelajah waktu di Museum Bank Mandiri (Bag. 2)


Belum baca cerita bagian pertamanya? Baca dulu…

Masih di lantai basement yang sama, ada ruangan yang diubah atmosfirnya menjadi Batavia Tempo Doeloe, lengkap dengan Rel dan gambar Trem, Sepeda Onthel, kayu-kayu peninggalan benteng yang ditemukan saat renovasi gedung, lampu-lampu yang digunakan dan lain-lain. Juga diperlihatkan Replika Jam Utama yang dahulu berada di depan gedung ini. Saat ini Jam Utama sudah tidak ada, digantikan dengan bundaran untuk akses udara pada terowongan bawah tanah antara Stasiun Kota/Beos, Museum dan Halte TransJakarta. Bahkan sebagian dari rel trem asli diperlihatkan di bagian ini. Menurut cerita, rel trem ini tidak pernah dibongkar dan masih ada di tempat aslinya berada hingga kini, namun telah tertutup aspal jalan.

Tidak berhenti di situ, rasa atmosfir Tempo Doeloe masih bisa dinikmati dengan menggunakan lift yang interior lapisan kayunya masih tetap orisinal namun mesinnya telah dimodernisasi. Suasana dalam lift cukup mendukung atmosfir tempo doeloe.

Di lantai 2, yang langsung terlihat adalah keindahan Kaca Patri yang terpampang langsung di depan tangga Utama, tepat di hadapan Ruang Rapat Pimpinan. Motif stained glass ini luar biasa indahnya, dengan motif tentang keindahan Negeri Belanda dengan empat musimnya, yang masing-masing musim diwakili kisahnya dengan sepotong kaca patri.

Lanjutkan membaca “Menjelajah waktu di Museum Bank Mandiri (Bag. 2)”

Menjelajah waktu di Museum Bank Mandiri (Bag. 1)


Ternyata masih banyak tujuan wisata yang menarik dan murah meriah untuk mengisi liburan akhir pekan di seputaran Jakarta selain jalan-jalan ke Mal. Salah satunya adalah Museum Bank Mandiri yang terletak di kawasan kota tua Jakarta, tepatnya di jl. Lapangan Stasiun No 1, di seberang stasiun kereta api Kota (Beos).

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk sampai ke museum ini. Pengguna angkutan umum dengan moda KRL/Commuter Line bisa berhenti di stasiun kereta api Kota/Beos. Lalu keluar melalui pintu kiri, menyusuri trotoar dan turun ke terowongan bawah tanah. Ikuti petunjuk arah Museum Bank Mandiri. Bagi pengguna bus TransJakarta (Bus Way) caranya tidak jauh berbeda. Turun di tujuan akhir Kota (Beos), lalu turun ke terowongan bawah tanah dan ikuti arah ke Museum ini. Bagi pengguna kendaraan pribadi, kendaraan dapat diparkir di halaman Museum, walaupun sangat terbatas tempatnya. Seputaran museum ini dikenal sebagai tempat yang padat lalu lintasnya, sehingga selain diperlukan pemahaman arah dan orientasi jalan, perlu juga kesabaran menghadapi kemacetan lalu lintas.

Menurut sejarah, pada awalnya gedung ini merupakan gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorij Batavia, sebuah perusahaan dagang milik Belanda, yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan. Dibangun pada tahun 1929 dengan rancangan arsitek Belanda JJJ de Bruyn, A P Smits dan C van de Linde. Dibuka secara resmi pada tanggal 14 Januari 1933 oleh CJ Karel Van Aalst, Presiden NHM saat itu. Tahun 1960, NHM dinasionalisasi menjadi Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) urusan Ekspor Impor yang kemudian pada tahun 1968 berganti nama menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim). Tahun 1999 Bank Exim, BDN, BBD dan Bapindo dimerger menjadi Bank Mandiri.

Museum ini buka hari Selasa hingga Minggu, 09.00-16.00, Hari Senin/Libur Nasional tutup. Tiket masuk Lanjutkan membaca “Menjelajah waktu di Museum Bank Mandiri (Bag. 1)”