Hiroshima, Ketika Avalokitesvara Kehilangan Semua Tangannya


6 Agustus 1945 08:15

Bom atom dunia pertama kali dijatuhkan di atas kota Hiroshima,

meledak di ketinggian 600 meter di atas permukaan kota

menimbulkan efek bola api menyerupai mini surya ,

menghempas kuat gelombang panas membara,

merenggut puluhan ribu nyawa, seketika…

lalu ratusan ribu nyawa terenggut dalam hitungan menit, jam, hari, bulan setelahnya

dan kian bertambah akibat radiasi yang ditimbulkan darinya

Kota menjadi rata, bangunan berserak, hewan pun tak ada

Terpisah nyawa dari raga manusia dewasa,

lanjut usia, anak-anak, dan balita…

*

Saya menghentikan langkah sejenak menatap pintu. Sekali masuk tidak ada langkah mundur. Sekilas teringat saat menapaki Museum Genosida Tuol Sleng dan the Killing Fields di Phnom Penh, Kamboja, yang mampu membuat hati dan perasaan saya terkapar, tak mampu lagi menumpahkan airmata. Gambaran pembantaian kemanusiaan yang menghancurkan seluruh rasa. Saya menutup mata. Sungguh sebuah pengalaman rasa yang tak ingin saya ulangi untuk kali kedua di Hiroshima.

Di balik pintu di depan saya adalah Hiroshima Peace Memorial Museum, yang menyimpan kisah bom atom yang mengerikan, menghancurkan yang tak boleh kita lupa. Tak jauh beda dengan apa yang pernah terjadi di Kamboja. Cerita tentang hilangnya kemanusiaan di sebuah negara. Sayangnya Hiroshima tak dekat, tak bisa langsung terbang setiap ingin berjumpa. Dan kini sebuah kesempatan sedang terbuka di depan mata, tersenyum menantang kekuatan rasa. Duhai Engkau Pemilik Segala Kuasa, tolong kuatkan hati saya…

*

Sambutan senyum para penjaga museum yang separuh baya di depan pintu terasa menyejukkan, mereka yang mungkin mendengar cerita langsung dari para korban yang selamat. Senyum yang menguatkan, dari mereka yang telah mengikhlaskan segalanya.

*

Berada di beranda Museum pun, terasa kelamnya Hiroshima dengan ratusan ribu nyawa manusia dan makhluk hidup lainnya yang tak berdosa yang telah terenggut hari itu tujuh puluh satu tahun lalu. Terngiang keras di benak, sebenarnya apa yang telah dilakukan anak-anak dan orang-orang sipil itu terhadap pasukan Amerika yang telah menjatuhkan bom di negeri Sakura? Atau mereka hanya menjadi orang yang berada di tempat yang salah di waktu yang salah? Entahlah, tetapi lantunan suci dalam kitab serta merta memenuhi benak…

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. Al-Ma’idah[5]: 32)

Those who suffered most
Those who suffered most

Bom Hiroshima juga telah mengingatkan saya akan kisah Mahabharata, bagaimana Krishna, -sebagai avatar Dewa Wisnu-, selalu mengupayakan keseimbangan alam, termasuk pengendalian senjata mematikan Brahmastra dan Brahmashirsha yang dimiliki oleh sebagian tokoh-tokoh dalam kisah epik Mahabharata. Senjata-senjata dari Dewa Brahma itu, -yang dipercaya setara dengan senjata nuklir di masa kini-, tidak boleh dilepaskan tanpa disertai pengetahuan dan ketrampilan yang mendalam karena akan menghancurkan dunia dan mengganggu keseimbangan alam.

Namun memang kebanyakan manusia tak belajar dari orang-orang masa sebelumnya.

*

Kaki saya mulai melangkah memasuki lorong sejarah kelam dunia, disambut foto-foto ukuran besar kumpulan awan jamur dari berbagai sisi. Sebuah gambar khas dari ledakan bom nuklir. Gambar yang serupa dengan gambar percobaan nuklir masa kini yang biasa dilakukan di sebuah pulau tak berpenghuni, tetapi foto di depan mata ini, di bawahnya adalah kota Hiroshima berpenduduk sekitar 350.000 jiwa. Foto ledakan bom atom yang dijatuhkan oleh pesawat Pembom B-29 bernama Enola Gay sesuai nama ibu dari sang pilot pesawat, Paul Tibbets.

P1040927
The Mushroom Cloud, Hiroshima 1945

Melanjutkan langkah, ruangan dibuat sendu dengan cahaya temaram sesuai suasana hati pengunjung yang memasukinya. Di tengah ruang terhampar maket kota Hiroshima dengan sebuah bulatan merah di atasnya, begitu jelas penggambaran bom atom yang meledak dan menimbulkan efek bola api serupa matahari kecil dalam bentuk tiga dimensi. Lalu saat menengok ke kanan sebuah ceruk menggambarkan situasi apa adanya setelah bom meledak, lengkap dengan boneka seukuran manusia luka-luka penuh penderitaan dengan pakaian compang-camping berupaya mempertahankan hidup, dengan lingkungan sekitarnya yang telah porak poranda, hitam merah membara. Saya melengos tak ingin memperhatikan lebih detail.

P1040955
Hiroshima and the Atomic Bomb

Banyak peninggalan barang dari orang-orang yang tak bisa selamat dari jatuhnya bom atom itu, yang menjadi saksi kekejaman sebuah bom nuklir. Di sebuah kotak kaca, saya melihat sebuah replika jam saku yang mati dengan jarum menunjukkan tepat pukul 08.15, saat bom itu meledak di atas Hiroshima. Pemakainya tak berhasil selamat. Saya mulai merasa berat, isi perut terasa bergejolak.

pocketwatch
Pocket Watch 08:15

Sebuah meja jati yang tampak berat dan keras dihiasi kaca. Dihiasi? Bukan! Semua kaca yang tertempel di meja itu merupakan pecahan kaca jendela yang menerjang meja saat ledakan terjadi, membuktikan betapa hebatnya tekanan yang terjadi saat itu yang melebihi kecepatan angin. Genteng rumah dan materi lain yang mengalami perubahan bentuk karena terkena gelombang panas yang luar biasa.

The school uniforms of the students, Hiroshima 1945
The school uniforms of the students, Hiroshima 1945

Pakaian yang robek disana-sini, sepatu, tas milik anak-anak yang bersekolah, semua menjadi saksi diam ledakan bom atom. Pemiliknya sendiri, yang terdiri dari daging dan tulang, tak mampu menyelamatkan diri, sama seperti lebih dari 350.000 nyawa yang hilang begitu saja di Hiroshima.

Kotak makan siang yang menghitam meninggalkan kisah getir tentang makanan yang ada di dalamnya. Sang ibu telah menyisipkan kedalam tas sekolah anaknya, namun bekal makan siang itu tertinggal dalam keadaan hitam terpanggang, tak pernah dimakan oleh putranya yang tak selamat dari bom atom itu.

lunchbox
The Lunch Box of A Student, Hiroshima 1945

Bahkan semakin dekat dengan pusat ledakan, situasinya semakin tak terbayangkan dalam pikiran. Kuku manusia yang mengalami deformasi, perubahan bentuk hingga memanjang, bukanlah sesuatu yang mudah dibayangkan sebagai akibat dari ledakan bom atom. Di tempat lain di dekat hypocenter, pusat ledakan, sebuah bayang hitam berbentuk badan manusia yang tertinggal di dinding beton, menunjukkan tubuh ringkih manusia itu menghablur, langsung hilang terpecah menjadi butiran-butiran mikro tak terlihat akibat hempasan tekanan tinggi dan gelombang panas ledakan yang mencapai ribuan derajat Celsius, menempel dan meninggalkan bayang hitam ke dinding beton. Saya menggigit bibir menahan beratnya rasa yang muncul, paling tidak mereka yang berada sangat dekat dengan pusat ledakan, tak pernah merasakan sakit saat maut menjemputnya.

Saya memasuki ruang selanjutnya dan tak menyangka di tempat itu saya mengalami lagi apa yang pernah dialami ketika berada di Kamboja. Rasa so hollow… Bisa jadi seluruh rasa yang membebani itu terhempas begitu saja menjadi serpihan ketika melihat patung Avalokitesvara, -sering dikenal juga dengan sebutan The Goddess of Mercy, Dewi Welas Asih atau Dewi Kwan Im-, yang tidak memiliki tangan lagi. Yang menghempaskan hati ke dasar paling bawah, bisa jadi karena saya melihatnya dalam makna simbolik.

P1040977
Avalokitesvara with no arms

Avalokitesvara tanpa tangan!

Konon, Avalokitesvara bersumpah tidak akan beristirahat ke Nirwana selama masih ada manusia dan makhluk hidup lainnya yang mengalami penderitaan di dunia sehingga ia diberikan ribuan tangan agar dapat menolong semua makhluk hidup yang menderita di dunia.

Namun apa yang terlihat di depan mata, terasa begitu simbolis, sungguh memedihkan. Bom atom yang dijatuhkan pun telah mematahkan seluruh tangan Dewi Welas Asih, The Goddess of Mercy, yang dengan kewelasasihannya, ia gunakan untuk menolong seluruh makhluk hidup yang menderita di dunia. Dan tanggal 6 Agustus 1945 pukul 08.15 ribuan tangannya pun seakan tak diizinkan tetap ada…

Rasanya benar-benar terhempas ke dasar jurang paling dalam, terasa sangat kosong, so hollow

Ketika tak ada lagi kemanusiaan, ketika tak ada lagi tangan kewelasasihan yang bisa menolong, penderitaan hebat di dunia menjadi sesuatu yang sangat nyata.

*

The bomb was not only dropped on the citizens of Hiroshima and Nagasaki. It was dropped on the whole humanity – Satoru Konishi