Menjejak Kembali Langkahmu


Sadly missed along life’s way, quietly remembered everyday…

No longer in our life to share, but in our hearts you’re always there

-Unknown

Ketika seorang sahabat mengajak untuk menuliskan cerita tentang menapak tilas, pikiran ini langsung terbang ke sebagian perjalanan-perjalanan yang saya lakukan selama ini. Perjalanan-perjalanan menapak tilas seseorang yang selalu ada dalam jiwa,dan sebagian besarnya sudah saya tuliskan di blog ini. Bagi saya pribadi hanya ada satu perjalanan menapak tilas, yaitu menapak tilas perjalanan almarhum Papa. Tapi ah, bisa jadi, saya sudah terlalu lelah untuk membongkar ruang-ruang hati dan ingatan mencari tahu perjalanan lain yang berupa menapak tilas.

Meskipun kamus rujukan mendeskripsikan menapak tilas adalah melakukan perjalanan dengan menelusuri tempat-tempat yang pernah didatangi dan dilalui oleh seseorang pada jaman dahulu untuk menghidupkan kenangan atau sejarah, saya sendiri mengartikannya secara bebas. Karena menapak tilas bagi saya pribadi mencakup juga kegiatan mendatangi kota-kota yang pernah didatangi atau ditinggali oleh seseorang yang berarti. Dan itu artinya adalah Papa!


Saya telah menjejak Hong Kong, negeri tempat Papa dan Mama menikmati honeymoon yang ke sekian kali. Merasakan gempitanya Kowloon, melihat kerlap-kerlip lampu kota seperti yang Papa Mama ceritakan. Dan saya ceritakan pula kepada mereka tentang sudah adanya jalan mobil dan kereta yang menghubungkan tempat-tempat yang terpisahkan oleh laut meskipun saya tetap mencoba menaiki ferry yang sangat khas itu. Tak lupa saya ceritakan bandara yang tak lagi di Kaitak sehingga saya tak bisa lagi merasakan debaran jantung saat mendarat karena dekatnya dengan perairan. Hong Kong yang modern telah jauh berbeda dengan Hong Kong yang dulu Papa Mama datangi, berpuluh tahun silam. Meskipun demikian, jauhnya perbedaan itu tetap tak mampu menghilangkan kenangan yang terpaut di dalamnya.

Tak lupa, saya pun telah menjejak langkah Papa di Jepang, termasuk di Kamakura, berfoto di Daibutsu, patung Buddha yang besar itu. Bahkan saya sempat menginap satu malam di Yokohama, kota pelabuhan tempat kapal Papa dulu berlabuh. Malam itu, saya berjalan sendiri sekitaran Yokohama, menghirup harumnya udara laut sambil mengenang langkah-langkah Papa. Dan yang paling meninggalkan kesan ketika saya bisa berpose serupa foto Papa di depan Gedung A-Dome di Hiroshima. Dan semua pengalaman itu telah saya ceritakan kepadanya ketika Papa masih terbaring tak berdaya karena stroke yang menyerangnya. Meski demikian, kegembiraan dan semangat selalu terpancar pada raut wajahnya saat kami bertukar cerita tentang Jepang.

Saya sendiri mengalami rasa emosi yang menggelegak saat berdiri di depan Shwedagon Paya, Myanmar. Karena saya mengenal nama pagoda besar di Myanmar itu sejak masih teramat kecil. Buat seusia itu, mengucapkan Shwedagon teramat susah, apalagi membayangkan letaknya. Namun nama itu begitu kuat menempel di benak sehingga tercetus, one day saya akan sampai ke sana. Dan benarlah saya bisa menjejak ke tempat itu, ke tempat Papa dulu juga berfoto. Sepulangnya saya dari Myanmar, cerita tentang itu teramat membahagiakan Papa. Cerita itu bagaikan tak berakhir, menjadi penyemangat Papa di kala sakit mendera, sesemangat saya menceritakan kepadanya.


Akhir Desember 2019

Dalam bus yang bergerak meninggalkan kota Mekkah setelah melakukan ibadah Umroh, saya diliputi berbagai rasa. Ada kesedihan meninggalkan kota Mekkah, ada juga kegembiraan karena kami sedang menuju Palestina. Dan diantara rasa-rasa yang bercampur aduk itu, di salah satu sudut ruang hati ada denyutan yang teramat pribadi. Yang mungkin tidak terasakan oleh rombongan kami, namun hanya saya sendiri yang merasakan.

Denyut itu begitu kecil tapi jelas, laksana genta-genta yang digoyangkan oleh biksu penjaga kuil yang menghasilkan denting indah yang merambat jauh. Dan denyut itu terjadi karena bus sedang menuju kota yang pernah disinggahi Papa. Jeddah!

Berpuluh tahun silam ketika penerbangan merupakan transportasi termahal sehingga biayanya tak terjangkau bagi kalangan biasa untuk menunaikan ibadah haji, para jamaah hanya memiliki pilihan menggunakan kapal laut. Berminggu hingga berbulan lamanya dari Indonesia untuk mencapai Mekkah dan selama itu kehidupan berjalan tak mudah bagi yang tak biasa. Ombak mengayunkan manusia-manusia yang berjalan, titik keseimbangan raga tak pernah tetap. Bagi yang tak tahan, kepala pusing bahkan sampai mengeluarkan isi perut merupakan peristiwa yang terlalu sering terjadi sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan. Dan para jamaah tamu Allah yang kebanyakan telah lanjut usia itu bertahan semampunya. Bahkan kota-kota yang disinggahi pun tak terlihat menarik lagi karena Jeddah merupakan kota pelabuhan terakhir sebelum akhirnya para jamaah berduyun memasuki Mekkah, kota kecintaan mereka. Tak semua bisa mencapainya, karena sebagian darinya telah syahid dalam perjalanan haji mereka. Dan sesuai protokol yang ada dalam setiap perjalanan di laut, bagi mereka yang dipanggil pulang ke HadiratNya dan freezer tak mampu menampung lagi, satu-satunya jalan adalah mengembalikan jasad yang telah kaku itu ke alam semesta melalui pelarungan.

Saya telah mendengar kisah itu sejak kecil dari bibir almarhum Papa, termasuk manusia-manusia tak sabar yang menyangka pelabuhan-pelabuhan sebelumnya yang disinggahi adalah Jeddah. Mereka sudah tak lagi sabar, ingin segera turun, bersujud mencium harumnya Bumi Mekkah.

Kisah-kisah tentang Jeddah semakin cepat silih berganti menghias benak saya ketika bus mendekati kota yang menimbulkan kenangan itu. Ada sejentik air yang mengembang di sudut mata, sejumput doa terucap dari hati yang paling dalam. Saya menarik nafas panjang untuk menguatkan jiwa. Kali ini, tak ada lagi telinga Papa yang siap mendengar cerita-cerita saya saat mengunjungi kota yang pernah ia singgahi dalam perjalanan dengan kapalnya. Papa telah dipanggil pulang dua tahun lalu.

Masjid Qisas, Jeddah

Meski Jeddah semakin dekat, saya tahu takkan bisa mengunjungi pelabuhannya karena tak pernah ada dalam itinerary. Namun, bisa mencapai kotanya saja, bisa menjejak di bumi Jeddah dan bisa mencium harum udaranya, saya sudah sangat bersyukur. Tak ada waktu untuk singgah kecuali melihat dari atas bus, juga pelabuhannya yang hanya bisa terlihat dari kejauhan. Seperti biasa di bus, saya menempelkan telapak tangan di jendela untuk menyapa tempat-tempat yang mampu mengaitkan kenangan dan juga membisikkan kata dalam jiwa. Dan ketika menjejak bandara Jeddah, pikiran saya terbang ke pelabuhan Jeddah somewhere out there,

Saya telah sampai di Jeddah, Pa, di kota tempat Papa dulu pernah melangkahkan kaki.

Berjuta cerita ingin saya sampaikan kepadanya, karena saya begitu beruntung bisa sampai ke Mekkah dan selepasnya bisa melewati Jeddah dengan sangat cepat, hanya belasan jam penerbangan dan juga dengan bus yang nyaman melalui jalan bebas hambatan. Sungguh tak perlu seperti mereka yang dulu ikut dalam kapal Papa, yang begitu lengkap deritanya, yang begitu panjang perjuangannya.

Ya Allah, begitu banyak saya ingin bercerita kepadanya…


April 2019

Saya memang terlambat melakukan perjalanan ke Mawlamyine (sebuah kota yang diminta Papa untuk saya datangi, ketika kami bertukar cerita tentang Shwedagon). Mawlamyine merupakan kota pelabuhan yang pernah disinggahi Papa dulu. Saya melakukannya 102 hari setelah Papa meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Setelah sore yang mengharu biru (jika berkenan, baca kisahnya Hadiah Manis di Mawlamyine), keesokan paginya saya berjalan kaki menyusuri sungai lebar di depan hotel itu, melepas semua rasa yang ada, membiarkan angin menunjukkan arah kaki melangkah. Sunset yang rupawan sore kemarin tak menyediakan tempat bagi sunrise untuk bertanding dengannya. Kapal tambang yang terbengkalai namun tertambat di pinggir, menambahkan kerak yang tak enak dilihat. Air keruh sungai juga tak mengubah keadaan menjadi manis. Satu-satunya yang mampu melipur jiwa adalah kabut yang melingkupi sebagian dari jembatan membuat pemandangan terlihat magis karena sebagian jembatan seperti hilang ditelan kabut.

Meski tak mengerti banyak hal, saya mencoba memahami denyut kota pelabuhan Mawlamyine itu. Papa tak pernah mengatakan kepada saya secara langsung apa yang menarik dari kota itu sehingga saya harus menemukannya sendiri. Dan setelah mendapatkan hadiah manis seperti yang saya ceritakan pada link di atas, pagi ini saya harus menemukannya kembali. Apakah kabut magis yang menutupi sebagian jembatan itu atau bukan, saya hanya bisa menduga-duga.

Dan langkah-langkah pagi itu membukakan mata saya. Di sepanjang jalan yang disusuri, saya menemukan banyak masjid bahkan Masjid Sunni dan Syiah berdekatan. Di hari itu saya juga berkeliling kota sunset itu. Begitu banyak gereja Kristen maupun Katolik dan aliran lain didirikan di kota Mawlamyine. Bahkan di negeri yang mayoritas penduduknya menganut Buddha ini, saya juga menemukan kuil Hindu yang luas. Dan tentu saja ada banyak kuil Buddha yang amat indah dengan stupa-stupanya yang berlapis emas.

Perlahan saya memahami, mungkin ini yang dimaksud Papa mengenai keindahan Mawlamyine. Kehidupan beragama mereka begitu penuh toleransi. Sebuah teladan yang selalu Papa ajarkan kepada saya, kepada seluruh anaknya. Dan Papa meminta saya untuk ke Mawlamyine, untuk menemukannya. Sebuah keindahan yang saya saksikan namun tak bisa lagi saya ceritakan kepadanya. Saya 102 hari terlambat mengunjungi Mawlamyine…

Terlalu banyak kenangan manis di Myanmar terkait dengannya.


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 5 dan bertema Napak Tilas agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

Api Perdamaian Di Tengah Hujan


Hiroshima Peace Memorial Park
Hiroshima Peace Memorial Park – Do you see the eternal peace flame?

Saya tidak bisa melupakan momen itu, momen melihat api perdamaian di tengah hujan lebat saat berteduh di bawah Sky Bridge Museum Perdamaian Hiroshima. Antara keringat, -karena berlari dari Gedung Atomic Bomb hingga ke Sky Bridge-, dan basah karena kehujanan serta air tampias membuat saya agak kedinginan di tengah musim panas itu. Angin berhembus cukup kuat di bawah Sky Bridge, tapi saya tetap terpaku pada apa yang saya lihat. Api Perdamaian yang tetap menyala meskipun di tengah hujan lebat, dan bisa terlihat meskipun saya berjarak cukup jauh dari api perdamaian itu.

Hujan membuat saya berpikir lebih dalam di tempat saya berdiri, yang 71 tahun lalu rata dengan tanah karena di bom atom. Disini, di tempat saya berdiri, merupakan ground-zero, tempat yang semuanya pernah musnah dalam sekejap, apalagi manusia yang hidup di dalamnya. Namun dari Hiroshima dan Nagasaki, dunia belajar mengatasi kecintaan manusia kepada kekuasaan, Seperti kata Jimi Hendrix,

When the power of love overcomes the love of power, the world will know peace

Di tempat saya berdiri, empat unsur kehidupan seakan sedang berlomba menunjukkan diri di panggung. Udara yang menyediakan ruangnya, Tanah yang menyediakan tempat berpijaknya, Api yang menyala serta Air hujan yang turun dari langit. Di tempat yang berpuluh-puluh tahun lalu hancur luluh lantak akibat keserakahan manusia dan dunia perlu waktu yang sangat lama (hingga kini masih) untuk bisa mengatasinya. Dan saya terperangah saat mencoba memahami maknanya

Api dan Air, dua elemen kehidupan yang sepertinya berpunggungan. Seperti diri dan bayangan, dua bagian dari yang satu, tapi tetap terpisahkan. Tetapi, kedua unsur itu juga merupakan unsur dinamika, unsur perubahan yang selalu dinamis. Dan bersama elemen lainnya, membuat kehidupan itu bergulir dengan segala bentuk dinamikanya.

Saya terpesona saat Semesta menghamparkan pembelajaran di depan mata. Berpuluh tahun silam, perdamaian diluluhlantakan di ground-zero ini oleh manusia-manusia haus kuasa, memenangkan api dengan menjatuhkan bom atom yang membakar, dan mereka yang sempat tersisa mencoba hidup mencari air yang tinggal sedikit di tengah udara yang tak lagi bersih. Dan bumi menangis.

Dan 71 tahun kemudian, saat saya berdiri di ground-zero itu, Hujan lebat turun dari langit, Alam tak menghendaki api abadi perdamaian itu meredup dan mati, Api itu tetap menyala, sebagai simbol, dua yang satu, yang tidak memenangkan satu unsur terhadap yang lain.

Api yang menyala terus itu simbol perdamaian, salah satu elemen hidup yang sepenting empat unsur lain dalam kehidupan, -Udara, Air, Api, Tanah-, yang seharusnya terus menyala dalam setiap jiwa manusia. Sayangnya, perdamaian merupakan unsur yang paling sering dan paling mudah dirusak manusia.

Peace is one of life’s most vital element that is as important as air, water, fire or earth. Unfortunately, it is the most undermined, but yet inevitable (Ayeni Solomon Ayodele)

Saat itu, sepertinya saya tak ingin hujan berhenti. Rasanya terlalu indah menyaksikan pemandangan api yang terus menyala di tengah hujan lebat. Bagi saya, saat itu sangat menggetarkan jiwa. Bisa jadi karena tempatnya, atau karena momentumnya.

Lalu, seakan ditunaikan, keinginan saya agar hujan tak berhenti langsung diwujudkan dalam penggambaran mini. Di kaki air hujan yang tak tertampung drainase mulai mengalir membasahi area dan membuat genangan kecil. Saya terperanjat, menyadari kesalahan berkeinginan, Air, seperti juga api, bila tak terkendali dalam keseimbangan, bisa sangat merusak.

Dan dalam banyak hal, seringkali manusia penyebabnya.



Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, Celina, A Rhyme in My Heart dan saya, ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-10 ini bertemakan Hujan agar kami berdua terpacu untuk memposting artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikutan tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

 

WPC – The Dearly Beloved


The Statue of Mother and Child in the Storm
The Statue of Mother and Child in the Storm, Hiroshima, Japan

Visiting Peace Memorial Park in Hiroshima, Japan a couple years ago, I could not avoid to see a silent but strong message that is shown in a sculpture. The Statue of ‘Mother and Child in the Storm’ which stands in front of the beautiful fountain at the southern edge of the Peace Memorial Park,

Since history has been made, the impact of a war is imposed at most on women and children. It happened also in Hiroshima, Japan, -after the A-Bomb dropped on August 6, 1945-, when the survivors struggled horribly for a living in the devastated city.

Fifteen years after that, in 1960 the Hiroshima Municipal Federation of Women’s Associations started to set up a monument which was highly expressing the human love to remind this situation.

“A mother cradles her baby tightly in her right arm. With her left arm she tries to lift another child, clinging to her, onto her back. She stands in the eye of a storm, taking a strong step forward as her upper body leans down. Her muscular body signifies the power of a mother’s love”

As a mother, I got the silent but strong message of the image of a mother who is trying to overcome the difficulties to keep struggling and living for the dearly beloved, her children, no matter what.

And every August 6, women of Hiroshima gather in front of the 1.4 meters high and 1.8 meters wide sculpture, -which was created by Shin Hongo, a sculpturist from Sapporo, in 1953-, and vow to make efforts to distribute the world peace by eliminating nuclear weapons.

WPC – A Wish For The World (Starting From Ourselves)


It’s only one month after President Obama’s visit to Hiroshima, Japan, my family had the chance to visit the ground zero where the atomic bomb was exploded 71 years ago. Before exiting the Hiroshima Peace Memorial Museum, we stood in front of a glass cabinet that contains Mr. Obama’s note and the paper cranes origami made by him.

Reading the note which is emphasized by the presence of the paper cranes as the symbol of peace, I felt it’s an encouragement to the visitors to have the same wish, – for peace of the world -, since we would see the wishes after walking through a long gallery which is full of miserable and heartbreaking pictures of nuclear bomb’s impacts.

But peace cannot be achieved by force, it can only be achieved by understanding. It starts in the human heart, from our own selves and then the children. Whether the heart is open or closed has implications for the world.

A Note from President Obama

Peace Symbol made by by Mr. B. Obama

Obama’s Visit to Hiroshima

Paper cranes origami made by me

Hiroshima, Satu Lagi Cinta…


“Pa, hari ini akhirnya aku menjejak di Hiroshima …”, bisik saya dengan mata berkaca-kaca sambil turun dari Shinkansen yang membawa saya dari Tokyo sejak pagi dan bertukar di Okayama. Pikiran langsung melayang ke sebuah rumah tempat saya dibesarkan, tempat dua orang tercinta menjalankan hari tuanya. Kondisi Papa kini, -selepas serangan stroke berkali-kali-, yang tak bisa berjalan lagi dan hanya bisa menghabiskan waktu di tempat tidur dan kursi rodanya, mama yang luarbiasa mendedikasikan seluruh waktunya hanya untuk papa. Dan karena cinta dan doa dari kedua orang tua itu terutama Papa, maka saya sekarang berdiri di Hiroshima.

IMG_1002
UNESCO World Heritage Site – Hiroshima Peace Memorial

Sejak saya diberi kesempatan dan rejeki untuk pergi ke luar negeri bertahun-tahun lalu, saya berjanji di dalam hati akan menjejak di kota-kota tempat Papa pernah menjejakkan kakinya. Memang sejak awal karirnya papa telah banyak melanglang ke banyak tempat dan membawa pulang foto-foto perjalanannya yang membuat saya yang masih kecil itu takjub akan keluarbiasaan tempat-tempat yang didatangi papa. Ditambah dengan humor, cerita-ceritanya yang kadang juga dilebih-lebihkan, -supaya lebih seru-, papa berhasil membuat saya mengukir impian dan janji untuk pergi ke tempat yang sama, pada saat saya sudah besar.

Waktupun berjalan dengan cepat, dan setiap saat sang waktu sepertinya mengingatkan janji yang pernah diucapkan kepada diri sendiri…tik-tok-tik-tok

Tentu saja impian pergi bersama-sama dengannya selalu ada, namun dengan kondisinya kini, papa dan saya masing-masing menyadari tak mungkin melakukannya. Setelah sebelumnya menapaktilas perjalanan Papa ke Hong Kong tempat Papa Mama berhoneymoon, lalu setahun berikutnya ke Myanmar untuk menikmati Shwedagon (baca ceritanya disini), dan  ke Jepang pada tahun berikutnya, ke Kamakura dan tentu saja menjajarkan jejak papa di Kobe, semuanya dengan penuh haru biru.

Dan kini, -dengan hati dan pikirannya, dengan spiritnya, dengan jiwa travelingnya-, saya bersamanya di dalam pikiran, hati dan jiwa saya, berdiri bersama-sama dalam cinta, di kota Hiroshima…

*

Pada saat ke Jepang tahun 2013 lalu, saya tidak bisa mengunjungi Hiroshima karena keterbatasan waktu dan tahun ini kesempatan itu datang menghampiri yang tentu saja tidak akan saya tolak.

Selain keinginan untuk menapak tilas perjalanan Papa, pada hati yang terdalam saya seperti ditantang untuk berani mengunjungi kota yang pernah rata dengan tanah karena dibom atom oleh Amerika Serikat pada tahun 1945 itu. Keinginan ini timbul tenggelam. Menyadari diri yang sensitif terhadap situasi-situasi menyedihkan, saya sebisanya menghindari tempat-tempat seperti itu. Tetapi seperti Arjuna saat awal menerima Bhagavad Gita, perasaan emosional yang melemahkan dari tujuan itu perlu diatasi untuk sesuatu yang lebih baik untuk dirinya. Saya mungkin demikian juga, walaupun ‘perang’ yang saya hadapi  lebih terhadap nafsu-nafsu dalam diri yang seringkali mengenakan topeng. Saya harus bisa mengatasi emosi berlebih agar mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Bukankah Orang yang berani adalah yang mampu mengatasi ketakutannya sendiri? Akhirnya saya putuskan membuat itinerary ke Hiroshima.

Rain droplets on the window - Peace Memorial Park
Rain droplets on the window – Peace Memorial Park

Apalagi Hiroshima terdaftar sebagai UNESCO World Heritage Site pada tahun 1996. Saya percaya dengan komite UNESCO yang memiliki banyak sekali kriteria yang tak mudah dipenuhi untuk menjadikan sebuah kawasan sebagai World Heritage Site. Dan selama ini saya tak pernah kecewa untuk mendatangi kawasan yang memenuhi syarat UNESCO, selalu amazing.

Dan kini, -sebagai upaya untuk melawan takut terhadap rasa yang terlalu sensitif dan keinginan untuk melihat kembali sebuah kawasan World Heritage Site-, saya berdiri dalam cinta dan doa di kota Hiroshima, sebuah kota yang pernah hancur, luluh lantak menakutkan akibat perang dan juga merupakan kota yang mewakili harapan terwujudnya perdamaian dunia.

*

Awan hitam tebal menggantung di langit Hiroshima ketika saya menaiki bus wisata yang mengitari kota (loop-line). Saya turun di Genbaku Dome (Hiroshima Peace Memorial atau sering disebut dengan Atomic Bomb Dome Building), gedung berkubah yang sengaja ditinggalkan apa adanya sejak peristiwa bom-atom yang dijatuhkan oleh pasukan Amerika pada tanggal 6 Agustus 1945 pk, 08.15 pagi.

Berdiri di batas pagar gedung, rasa haru menyeruak keluar dari dalam diri tanpa peduli. Di benak saya tergambar jelas foto Papa dengan latar belakang Atomic Bomb Dome Building itu. Dulu papa pernah menjejak kakinya disini, berjalan dan pastinya tersentuh juga dengan peristiwa yang terjadi dan semua yang tertinggal disini.

Ada rasa getir menyaksikan sendiri gedung Atomic Bomb Dome yang tinggal dinding dan rangka, – kondisinya tetap sama setelah bom atom meledak tujuh puluh satu tahun lalu-, benar-benar berhasil mengingatkan dahsyatnya efek nuklir dari bom atom itu. Manusia yang menemukan, manusia sendiri yang memanfaatkan untuk menghancurkan manusia lain. Begitu mengerikan sebuah nafsu yang berkuasa dalam diri manusia.

Masih berdiri di batas pagar, saya ingin difoto dengan latar belakang gedung walaupun tidak menduplikasi sepenuhnya gayanya Papa. Tak penting 100% sama, bukankah kita selalu dalam cinta, Pa?

Tetapi satu dua titik hujan mulai turun mengenai kulit. Sebuah situasi kritis yang saya kenali karena sering muncul dalam keseharian. Situasi yang begitu dekat dengan pencapaian tujuan, namun ujian di saat akhir masih muncul, seakan mempertanyakan makna keberhasilan.

Saya masih berdiri di batas pagar, baru saja sampai dan hujan mulai turun… Ini saatnya menggunakan senjata keikhlasan, berdoa memohon bantuanNya agar bisa mencapai tujuan dengan upaya maksimal dan menerima apapun hasilnya. Saya lepaskan dan pasrahkan semuanya… Semuanya…

Saya yakin doa selalu terjawab, dan segala puji bagiNya, saya diberi kesempatan untuk berfoto dari sisi Selatan lalu berputar mengelilinginya dan mengambil foto gedung yang menggambarkan kengerian bom atom itu dari sisi Utara dekat dengan sungai. AnugerahNya. I’m soooo blessed.

Rasa haru menyeruak kembali ketika berfoto dengan latar belakang gedung berkubah yang tinggal rangka itu. Cinta yang membawa saya kesini, cinta yang nyata. Teringat Papa yang tergolek tak berdaya di tempat tidurnya, saya berbisik dalam airmata, “Pa, aku disini, di Hiroshima…”

*

Children's Peace Monument, Hiroshima
Children’s Peace Monument, Hiroshima

Saya menyusuri sungai dan pelan-pelan menyeberangi jembatan yang menghubungkan gedung A-Bomb Dome dengan Tugu Peringatan Perdamaian Anak-anak dan Taman Memorial Perdamaian. Tugu Peringatan Perdamaian Anak-anak ditandai dengan sebuah monumen berbentuk bom vertikal dengan seorang anak perempuan berdiri dengan burung origami di atas kepalanya dengan tulisan di bawahnya ‘This is our cry. This is our prayer. For building peace in this world’. Semua mengenal anak perempuan itu, Sadako Sasaki, seorang hibakusha, -istilah bahasa Jepang yang berarti orang yang terkena dampak bom-, dia yang terkenal dengan 1000 burung kertas origaminya yang ia lipat sebelum ajal karena leukemia yang dideritanya akibat radiasi bom. Ia percaya dengan melipat 1000 burung kertas origami, semua harapannya akan terkabulkan.

Di tempat itulah saya merasakan kembali titik hujan yang lebih besar turun membasahi bumi.

Kali ini saya memahami maknanya. Alam sudah berbaik hati untuk tidak membasahi saya di Gedung Atomic Bomb Dome sehingga bisa berlama-lama di Monumen Perdamaian Anak-anak atau bahkan mendatangi Taman Memorial Perdamaian dengan Api abadinya bukan menjadi hak saya. Belum jodoh, kata orang. Dan kali ini hanya ada satu cara, cari tempat berteduh, karena hujan pasti turun!

Benar, dalam sekejap hujan seperti ditumpahkan dari langit dengan kilat menggelegar dan saya ada di tengah-tengah taman terbuka yang luas itu. Kamera sudah selamat dalam tasnya dan saya harus lari menuju gedung museum yang terdekat, itu pun sekitar 300 – 400 meter di depan.

Sepertinya Yang Maha Kuasa tersenyum melihat saya terengah-engah lari di tengah hujan deras, seakan mengingatkan betapa seringnya saya melupakan yang namanya olahraga itu. Tetapi akhirnya, dengan nafas yang hampir putus sampai juga saya di bawah Sky Bridge Museum Perdamaian Hiroshima. Angin kencang membuat saya terkena tempias hujan walaupun berdiri berlindung di balik pilarnya. Luar biasa hujan ini. Tak cukup itu saja, dalam waktu singkat air mulai menggenang mencari saluran pembuangan.

Hiroshima Peace Memorial Park - Do you see the eternal peace flame?
Hiroshima Peace Memorial Park – Do you see the eternal peace flame?

Basah kuyup menanti hujan mereda di balik pilar, saya memikirkan kembali perjalanan saya. Cinta membawa saya ke Hiroshima ini dan bisa berfoto dengan latar belakang A-Bomb Dome seperti foto Papa dulu. Semua tambahannya adalah bonus luar biasa walaupun hanya bisa disaksikan sekejap mata, sekejap saya menyaksikannya dalam hujan. Tidak apa-apa, terima kasih ya Allah memberikan kesempatan merasakan cinta di Hiroshima ini. Alhamdulillah, Ini sudah luar biasa…

***

Catatan :

  • Hiroshima Sightseeing Bus – 400Yen (one day ticket) or 200 Yen per ride
  • Museum Perdamaian 200 Yen
  • Visiting Hiroshima – priceless

Hiroshima, Ketika Avalokitesvara Kehilangan Semua Tangannya


6 Agustus 1945 08:15

Bom atom dunia pertama kali dijatuhkan di atas kota Hiroshima,

meledak di ketinggian 600 meter di atas permukaan kota

menimbulkan efek bola api menyerupai mini surya ,

menghempas kuat gelombang panas membara,

merenggut puluhan ribu nyawa, seketika…

lalu ratusan ribu nyawa terenggut dalam hitungan menit, jam, hari, bulan setelahnya

dan kian bertambah akibat radiasi yang ditimbulkan darinya

Kota menjadi rata, bangunan berserak, hewan pun tak ada

Terpisah nyawa dari raga manusia dewasa,

lanjut usia, anak-anak, dan balita…

*

Saya menghentikan langkah sejenak menatap pintu. Sekali masuk tidak ada langkah mundur. Sekilas teringat saat menapaki Museum Genosida Tuol Sleng dan the Killing Fields di Phnom Penh, Kamboja, yang mampu membuat hati dan perasaan saya terkapar, tak mampu lagi menumpahkan airmata. Gambaran pembantaian kemanusiaan yang menghancurkan seluruh rasa. Saya menutup mata. Sungguh sebuah pengalaman rasa yang tak ingin saya ulangi untuk kali kedua di Hiroshima.

Di balik pintu di depan saya adalah Hiroshima Peace Memorial Museum, yang menyimpan kisah bom atom yang mengerikan, menghancurkan yang tak boleh kita lupa. Tak jauh beda dengan apa yang pernah terjadi di Kamboja. Cerita tentang hilangnya kemanusiaan di sebuah negara. Sayangnya Hiroshima tak dekat, tak bisa langsung terbang setiap ingin berjumpa. Dan kini sebuah kesempatan sedang terbuka di depan mata, tersenyum menantang kekuatan rasa. Duhai Engkau Pemilik Segala Kuasa, tolong kuatkan hati saya…

*

Sambutan senyum para penjaga museum yang separuh baya di depan pintu terasa menyejukkan, mereka yang mungkin mendengar cerita langsung dari para korban yang selamat. Senyum yang menguatkan, dari mereka yang telah mengikhlaskan segalanya.

*

Berada di beranda Museum pun, terasa kelamnya Hiroshima dengan ratusan ribu nyawa manusia dan makhluk hidup lainnya yang tak berdosa yang telah terenggut hari itu tujuh puluh satu tahun lalu. Terngiang keras di benak, sebenarnya apa yang telah dilakukan anak-anak dan orang-orang sipil itu terhadap pasukan Amerika yang telah menjatuhkan bom di negeri Sakura? Atau mereka hanya menjadi orang yang berada di tempat yang salah di waktu yang salah? Entahlah, tetapi lantunan suci dalam kitab serta merta memenuhi benak…

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Qs. Al-Ma’idah[5]: 32)

Those who suffered most
Those who suffered most

Bom Hiroshima juga telah mengingatkan saya akan kisah Mahabharata, bagaimana Krishna, -sebagai avatar Dewa Wisnu-, selalu mengupayakan keseimbangan alam, termasuk pengendalian senjata mematikan Brahmastra dan Brahmashirsha yang dimiliki oleh sebagian tokoh-tokoh dalam kisah epik Mahabharata. Senjata-senjata dari Dewa Brahma itu, -yang dipercaya setara dengan senjata nuklir di masa kini-, tidak boleh dilepaskan tanpa disertai pengetahuan dan ketrampilan yang mendalam karena akan menghancurkan dunia dan mengganggu keseimbangan alam.

Namun memang kebanyakan manusia tak belajar dari orang-orang masa sebelumnya.

*

Kaki saya mulai melangkah memasuki lorong sejarah kelam dunia, disambut foto-foto ukuran besar kumpulan awan jamur dari berbagai sisi. Sebuah gambar khas dari ledakan bom nuklir. Gambar yang serupa dengan gambar percobaan nuklir masa kini yang biasa dilakukan di sebuah pulau tak berpenghuni, tetapi foto di depan mata ini, di bawahnya adalah kota Hiroshima berpenduduk sekitar 350.000 jiwa. Foto ledakan bom atom yang dijatuhkan oleh pesawat Pembom B-29 bernama Enola Gay sesuai nama ibu dari sang pilot pesawat, Paul Tibbets.

P1040927
The Mushroom Cloud, Hiroshima 1945

Melanjutkan langkah, ruangan dibuat sendu dengan cahaya temaram sesuai suasana hati pengunjung yang memasukinya. Di tengah ruang terhampar maket kota Hiroshima dengan sebuah bulatan merah di atasnya, begitu jelas penggambaran bom atom yang meledak dan menimbulkan efek bola api serupa matahari kecil dalam bentuk tiga dimensi. Lalu saat menengok ke kanan sebuah ceruk menggambarkan situasi apa adanya setelah bom meledak, lengkap dengan boneka seukuran manusia luka-luka penuh penderitaan dengan pakaian compang-camping berupaya mempertahankan hidup, dengan lingkungan sekitarnya yang telah porak poranda, hitam merah membara. Saya melengos tak ingin memperhatikan lebih detail.

P1040955
Hiroshima and the Atomic Bomb

Banyak peninggalan barang dari orang-orang yang tak bisa selamat dari jatuhnya bom atom itu, yang menjadi saksi kekejaman sebuah bom nuklir. Di sebuah kotak kaca, saya melihat sebuah replika jam saku yang mati dengan jarum menunjukkan tepat pukul 08.15, saat bom itu meledak di atas Hiroshima. Pemakainya tak berhasil selamat. Saya mulai merasa berat, isi perut terasa bergejolak.

pocketwatch
Pocket Watch 08:15

Sebuah meja jati yang tampak berat dan keras dihiasi kaca. Dihiasi? Bukan! Semua kaca yang tertempel di meja itu merupakan pecahan kaca jendela yang menerjang meja saat ledakan terjadi, membuktikan betapa hebatnya tekanan yang terjadi saat itu yang melebihi kecepatan angin. Genteng rumah dan materi lain yang mengalami perubahan bentuk karena terkena gelombang panas yang luar biasa.

The school uniforms of the students, Hiroshima 1945
The school uniforms of the students, Hiroshima 1945

Pakaian yang robek disana-sini, sepatu, tas milik anak-anak yang bersekolah, semua menjadi saksi diam ledakan bom atom. Pemiliknya sendiri, yang terdiri dari daging dan tulang, tak mampu menyelamatkan diri, sama seperti lebih dari 350.000 nyawa yang hilang begitu saja di Hiroshima.

Kotak makan siang yang menghitam meninggalkan kisah getir tentang makanan yang ada di dalamnya. Sang ibu telah menyisipkan kedalam tas sekolah anaknya, namun bekal makan siang itu tertinggal dalam keadaan hitam terpanggang, tak pernah dimakan oleh putranya yang tak selamat dari bom atom itu.

lunchbox
The Lunch Box of A Student, Hiroshima 1945

Bahkan semakin dekat dengan pusat ledakan, situasinya semakin tak terbayangkan dalam pikiran. Kuku manusia yang mengalami deformasi, perubahan bentuk hingga memanjang, bukanlah sesuatu yang mudah dibayangkan sebagai akibat dari ledakan bom atom. Di tempat lain di dekat hypocenter, pusat ledakan, sebuah bayang hitam berbentuk badan manusia yang tertinggal di dinding beton, menunjukkan tubuh ringkih manusia itu menghablur, langsung hilang terpecah menjadi butiran-butiran mikro tak terlihat akibat hempasan tekanan tinggi dan gelombang panas ledakan yang mencapai ribuan derajat Celsius, menempel dan meninggalkan bayang hitam ke dinding beton. Saya menggigit bibir menahan beratnya rasa yang muncul, paling tidak mereka yang berada sangat dekat dengan pusat ledakan, tak pernah merasakan sakit saat maut menjemputnya.

Saya memasuki ruang selanjutnya dan tak menyangka di tempat itu saya mengalami lagi apa yang pernah dialami ketika berada di Kamboja. Rasa so hollow… Bisa jadi seluruh rasa yang membebani itu terhempas begitu saja menjadi serpihan ketika melihat patung Avalokitesvara, -sering dikenal juga dengan sebutan The Goddess of Mercy, Dewi Welas Asih atau Dewi Kwan Im-, yang tidak memiliki tangan lagi. Yang menghempaskan hati ke dasar paling bawah, bisa jadi karena saya melihatnya dalam makna simbolik.

P1040977
Avalokitesvara with no arms

Avalokitesvara tanpa tangan!

Konon, Avalokitesvara bersumpah tidak akan beristirahat ke Nirwana selama masih ada manusia dan makhluk hidup lainnya yang mengalami penderitaan di dunia sehingga ia diberikan ribuan tangan agar dapat menolong semua makhluk hidup yang menderita di dunia.

Namun apa yang terlihat di depan mata, terasa begitu simbolis, sungguh memedihkan. Bom atom yang dijatuhkan pun telah mematahkan seluruh tangan Dewi Welas Asih, The Goddess of Mercy, yang dengan kewelasasihannya, ia gunakan untuk menolong seluruh makhluk hidup yang menderita di dunia. Dan tanggal 6 Agustus 1945 pukul 08.15 ribuan tangannya pun seakan tak diizinkan tetap ada…

Rasanya benar-benar terhempas ke dasar jurang paling dalam, terasa sangat kosong, so hollow

Ketika tak ada lagi kemanusiaan, ketika tak ada lagi tangan kewelasasihan yang bisa menolong, penderitaan hebat di dunia menjadi sesuatu yang sangat nyata.

*

The bomb was not only dropped on the citizens of Hiroshima and Nagasaki. It was dropped on the whole humanity – Satoru Konishi