Keinginan untuk pergi ke India lagi, -setelah dulu hanya sesaat ke Mumbai untuk urusan pekerjaan-, belum juga terpenuhi hingga kini. Alasan penyebabnya bisa dibuat seribu satu, tetapi sejujurnya itu hanya urutan prioritas saja. Budaya India, termasuk peninggalan sejarahnya yang mampu membuat saya menangis guling-guling ingin pergi, hingga kini hanya tinggal keinginan belaka. Akhirnya, daripada tidak sama sekali, November lalu saya membohongi diri sendiri untuk mencicipi rasa budaya India di Singapura. Jadilah, dengan berbekal cuti dua hari di tengah minggu, -yang membuat orang bertanya-tanya karena tak biasa untuk ukuran saya-, saya terbang ke Changi dengan penerbangan pertama.
Hari masih relatif pagi ketika mendarat di Changi dan menyambut saya dengan sebuah rangoli besar yang cantik, sebagai ucapan selamat datang dan berharap keberuntungan akan melimpahi saya (Amin 🙂 ) dan hal itu menandakan sedang ada festival, yaitu Deepavali di Singapura. Rangoli, merupakan seni tradisional dari India yang biasanya dibentuk dari bubuk, pasir atau bunga berupa lingkaran sebagai lambang waktu yang tak putus atau bunga lotus sebagai lambang dari Dewi Lakshmi, dewi kemakmuran dan keberuntungan, yang biasanya diletakkan di dekat pintu masuk untuk menyambut tamu.
Deepavali atau Diwali adalah hari raya di India, -yang juga dirayakan di Singapura karena banyaknya warga keturunan India di negeri Singa itu-, untuk memperingati kembalinya Rama dan istrinya Sita (Sinta) serta Lakshmana ke Ayodya dari pengasingannya yang berlangsung selama 14 tahun dengan memberinya lampu-lampu penerang di sepanjang jalan kembalinya sang pahlawan, yang secara simbolik dimaknai sebagai kemenangan terhadap kegelapan, kemenangan kebaikan terhadap kejahatan. Dan mungkin juga demikian harapan saya dalam perjalanan singkat kali ini. Semoga saja saya dapat menangani ‘kegelapan-kegelapan’ dalam diri ini :p
Berjalan kaki menuju kerumunan dan sebuah pembelajaran
Rintik hujan bulan November tak menghalangi keinginan saya untuk berjalan kaki menuju Serangoon Road dari kawasan Kp. Glam, tempat saya menginap. Jarak lebih dari 3 kilometer itu tidak saya tempuh dengan menggunakan MRT atau bus, melainkan jalan kaki melalui pedestrian Singapura yang lebar dan menyenangkan. Dan akhirnya saat menjejakkan kaki di ujung jalan Serangoon Rd, saya tersenyum sendiri melihat wajah-wajah India ke semua arah mata memandang.
Awan yang menggantung menyembunyikan terik matahari hingga saya bisa menikmati hiasan-hiasan di sepanjang Serangoon Rd, sambil berjanji kepada diri sendiri untuk kembali mendatangi Little India di malam hari karena cahaya lampu-lampunya menjadi kekuatan utama saat perayaan Deepavali. Pasti sangat indah.
Tiba-tiba terdengar denting halus dari dalam diri, dan seperti tersadarkan dari koma, saya baru memperhatikan sekeliling yang hampir semuanya pria keturunan India yang tak terhitung banyaknya. Keberadaan seorang perempuan sendirian di antara kerumunan yang kebanyakan pria menjadikannya sebuah perbedaan yang sangat menyolok. Tak heran alarm diri berdenting agar saya menyadari situasi. Lalu, -seakan memperburuk situasi-, alam pun menurunkan hujan deras secara tiba-tiba sehingga memaksa kerumunan orang di jalan bubar dan mencari tempat berteduh, termasuk saya. Bahkan kini, situasinya menjadi lebih ekstrim karena jarak fisik semakin dekat.
Tetapi sebuah peristiwa terjadi bukanlah secara kebetulan. Dalam situasi seperti itu, Dia yang selalu baik menghentikan saya untuk berteduh dengan aman di beranda sebuah kios lukisan dan hiasan-hiasan dinding agar saya bisa berpikir. Di dekat saya tentu saja banyak pria keturunan India yang juga berteduh, hanya satu dua perempuan yang lewat diantara puluhan pria. Sambil berdiri dalam diam menunggu hujan saya memperhatikan hiasan dinding yang ada di kios itu seperti kehidupan Buddha, kehidupan Krishna kecil, Ganesha, dan hiasan-hiasan budaya India lainnya yang cantik dan menyenangkan untuk dilihat, termasuk menatap titik-titik hujan yang jatuh lalu mengalir ke saluran drainase…
Lagi-lagi saya tersadarkan, segala ketidaknyamanan seorang perempuan yang menjadi obyek tatapan mata yang tak sebentar diantara begitu banyak pria itu, sesungguhnya karena ketidaksadaran saya. Siapapun, apalagi perempuan, sudah sewajarnya selalu sadar akan lingkungan dimanapun, kapanpun. Bukankah saya sendiri yang hendak jalan kaki menuju Little India yang memang merupakan kawasan keturunan India dengan gaya sosial budaya mereka yang khas? Bukankah seharusnya saya menyadari saat hari libur (Deepavali merupakah hari libur nasional di Singapura), kawasan Little India akan penuh dengan kerumunan orang?
Mempertahankan kesadaran dan bersikap waspada bukan berarti tidak peduli dengan orang lain atau mengabaikan tatapan mata orang. Meskipun kini saya tengah berada di Singapura yang terkenal keras dengan sanksinya yang melindungi kaum perempuan dari gangguan sekecil apapun terkait perlakuan terhadap lawan jenis yang salah-salah bisa berakhir dengan denda yang sangat mahal. Saya seharusnya secara terus menerus aktif mengukur tingkat keamanan diri berada di tempat itu, bahkan dimanapun. Bukan take it for granted…
Dia Yang Selalu Baik dan selalu melindungi saya…
Memang tak nyaman ditatap seakan hendak ditelan bulat-bulat, namun bukankah saya tak kehilangan satu apapun? Hanya diperlukan kesadaran setiap saat. Ah, hujan yang turun selalu membawa berkah dan hari inipun memberi kesempatan pada saya untuk belajar…
Shri Lakshminarayan Temple dan Sri Veeramakaliamman Temple
Tak lama kemudia hujan pun mereda. Saya melanjutkan langkah ke Kuil Laksmi dan Kuil Sri Veeramakaliamman yang tak jauh dari situ, karena disana pastilah banyak perempuan yang melakukan pemujaan, paling tidak berada dekat perempuan saya dapat menenangkan hati. Melihat pintunya yang masih tertutup, saya teringat akan kunjungan saya ke dalam kuil itu setahun lalu
Shri Srinivasa Perumal Temple
Titik hujan terasa lagi sehingga saya mempercepat langkah menyusuri Serangoon Rd menuju kuil Shri Srinivasa Perumal, yang didedikasikan untuk Dewa Wisnu dan termasuk kuil tertua di Singapura. Gapuranya dipenuhi penggambaran 10 reinkarnasi Dewa Wisnu. Saya selamat sampai ke kuil itu sebelum hujan, tetapi belum selesai menikmati keindahan penggambaran relief kuil, lagi-lagi hujan turun dengan derasnya membuat saya berlari sebelum basah kuyup sepenuhnya menuju pintu masuk kuil. Ada rasa geli di hati kali ini hujan terasa menjadi air yang mensucikan sebelum masuk kuil…
Di dalam kuil ini tidak sulit untuk mengidentifikasi 10 avatar Dewa Wisnu, seperti Rama dengan busurnya, Krishna dengan serulingnya. Saat saya di dalam, tak sedikit umat yang beribadah yang membuat saya terpesona melihat cara sebagian dari mereka yang melakukan ritual sembah hingga tiarap.
Malam Deepavali di Little India
Saya meninggalkan kuil sebelum sore berakhir dan kembali ke hostel untuk beristirahat sejenak hingga malam tiba. Kali ini saya menggunakan MRT untuk kembali ke hostel dan kembali lagi ke Little India pada malam harinya.
Sesampainya di kawasan Little India, kali ini memelihara kesadaran pada lingkungan yang isinya hampir semua pria berwajah India Selatan dan rata-rata berkulit gelap itu. Saya kembali menuju ujung jalan Serangoon dan ternyata cukup banyak turis Barat yang ingin berada di Little India saat Deepavali, mungkin untuk merasakan keriuhan hari besar di India itu.
Saya berdiri di ujung bawah lampu lalulintas menunggu lampu penyeberangan berubah hijau. Bahkan dari pinggir jalan, banyak orang mengabadikan cahaya lampu yang menghiasi jalan Serangoon itu. Saat lampu berubah hijau berbondong-bondong orang, termasuk saya, bergerak ke tengah jalan dan memotret dari tengah jalan. Semua orang sepertinya sepikiran. Memotret dari tengah jauh lebih baik, walaupun jalan Serangoon itu sedang macet. Dan herannya, bahkan sampai lampu penyeberangan telah berganti merah, tak sedikit orang masih berdiri di tengah jalan. Kali ini klakson mobil silih berganti berbunyi menambah keriuhan di wilayah itu.
Kemudian kaki membawa saya ke arah bazaar yang menjual berbagai keperluan puja untuk umat Hindu. Berbagai ukuran kalungan bunga warna warni, genta, buah, lampion, kalung-kalung berkilauan, bubuk warna, patung-patung dewa, bulu merak, tampat puja, lampu-lampu dan macam-macam barang lainnya, semuanya dijual diantara suara-suara pedagang dan pembeli yang menghebohkan.
Menyadari dimana-mana penuh orang dan saya termasuk orang yang tidak cukup kuat berlama-lama di kawasan padat orang, setelah dirasakan cukup dengan keriuhan Deepavali, saya mengakhiri perjalanan hari itu dan kembali ke hostel.
Sri Mariamman Temple
Esok harinya, kembali saya merasakan rintik hujan saat menuju Kuil Hindu tertua di Singapura yaitu Kuil Sri Mariamman yang kini menjadi salah satu monumen nasional di Singapura dan berlokasi di kawasan China Town. Kuil yang dibangun pada tahun 1827 oleh para immigran dari Tamil Nadu di India Selatan ini didedikasikan kepada Dewi Mariamman yang terkenal akan kekuatan penyembuhannya. Gapura masuknya terdiri dari enam tingkat yang dipenuhi patung-patung dewa-dewi, orang-orang suci dan makhluk mitos lainnya. Sayang sekali saya tak sempat melihat upacara jalan diatas api yang biasanya dilakukan secara tahunan sekitar seminggu sebelum Deepavali.
Pintunya seperti kuil-kuil Hindu lainnya, terbuat dari kayu yang terlihat berat dan langit-langitnya berhiaskan mandala-mandala yang cantik. Pada saat saya datang, sedang berlangsung upacara khusus membersihkan patung di altar utama sehingga umat yang hadir memperhatikan dengan takzim selama prosesi dilakukan diiringi bunyi-bunyian tradisional yang sangat meriah. Sungguh kuil ini penuh dengan penggambaran dewa dewi dengan ukiran detail yang indah.
Waktu berjalan cepat, saya harus memperhitungkan kembali ke Bandara tanpa terlambat. Walaupun bersama hujan saya menikmati mencicipi rasa India di Singapura pada saat Deepavali, saya masih meninggalkan beberapa tempat yang masih bersentuhan dengan budaya India, yang belum sempat saya kunjungi. Tetapi bukankah semua itu bisa menjadi alasan untuk kembali?
Hehehe… mantab mva…diniatin banget ya….
SukaDisukai oleh 1 orang
Gkgkgkgk… paspor baru waktu itu dan udah kriting pengen jalan.
SukaDisukai oleh 1 orang
budaya india betul betul penuh warna ya untuk acara2 mereka, terutama warna warna cerah, gx kebayang kalo pas pawai, pasti mereka heboh abiss 😂
SukaDisukai oleh 1 orang
Iya, buat sebagian orang mungkin dibilang norak ya, tetapi bagi saya itu mewakili kehidupan yang memang penuh warna hehehe… meriah gitu kan hahaha…
SukaSuka
Wah sayang banget pas di sana hujan turun terus ya mbak. Mbak Riyanti ke India dipas2in sama perayaan Diwali/Deepavali kalo gitu. Pas saya di sana di setiap depan rumah ada macem2 rangoli yang digambar pakai kapur. Bagus2 semuanya. Cuma pas Hari-H perayaannya saya justru lagi di Kochi, Kerala dan saya waktu itu nginepnya di area yang mayoritas penduduknya Kristen, jadi suasana Deepavali-nya gak seheboh kalau di area yang mayoritasnya Hindu.
SukaDisukai oleh 1 orang
Diwali kan sekitar November Bama, jadilah hujan pasti turun terus di Singapore.
Sebenernya kalo ke India pengennya pas Holi atau ya Diwali…Pasti seru banget… Bener Bama, tergantung mau kemananya supaya berasa festivalnya…. aku itu sampai nanya temen India-ku sebenernya kapan hari h-nya karena mereka merayakannya berhari2. Tapi tetap aja rame banget tiap harinya…
SukaSuka
Iya sih, jadi udah pasti tiap Deepavali pasti hujan. Pas di Hampi sebenernya Deepavali udah lewat sih, tapi suasana semaraknya masih kerasa. Jadi asal pas di India di minggu2 itu harusnya masih bisa kerasa kemeriahannya.
SukaDisukai oleh 1 orang
waah dulu waktu msh kecil pernah kesitu, nyobain makanan2 Indianya..enaak
dan baru aja dua hari yang lalu makan di resto India di Jkt haha
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha… waaah… asiik dong…. kari yaa…
SukaDisukai oleh 1 orang
Paling suka sama nasi briyaninya hehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Foto2nya bagus banget Yanti, dulu waktu ada kesempatan perayaan Deepavali ke Singapore, kameraku masih kamera pocket jadi foto-foto yah seadanya dan bareng sama teman2 yang hobby belanja hehehe..yasudah..Kapan2 pengen kyk kamu niat ke Singapore sendiri trus hunting foto sepuasnya 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Hihihi terima kasih banyak ya. Padahal yang aku fotoin semuanya juga masih pake pocket lho. *jdmaluuuu
SukaDisukai oleh 1 orang
Wahh maca cihh..tambah keren donk klo gtuh 😄
SukaDisukai oleh 1 orang
Sama, mbak. Pas aku pertama ke Singapura (juga pertama terbang & pertama ngetrip, lol) Oktober 2013, saat itu masih pekan Deepavali. Hiasan-hiasan indah melintang, simpang siur, mengangkasa di atas jalan raya. Ah, jadi nostalgia masa-masa itu. Kebetulan saat itu juga aku menginap di Tresor Tavern di Jalan Besar yang dekat Serangoon Road.
Sayangnya saat itu aku nggak terlalu tahu Deepavali dan nggak terlalu tertarik mengeksplor Little India 😀
Jadilah hiasan-hiasan itu hanya menjadi obyek lalu menuju destinasi yang diidamkan
SukaDisukai oleh 1 orang
Bukankah waktu itu perjalanan yang penuh memory ‘melelahkan’ ttg travel buddy ya Nug? Lupa2 inget saya, yg akhirnya kamu bikin postingan yg bacanya saja saya cape krn jauh banget kamu jalan kakinya hehehe…
SukaSuka
Iya, yang jalan kaki jauh banget dari Little India sampai Marina Bay hahaha. Pulangnya pun jalan kaki lagi.
Tapi bukan perjalanan yang aku tulis khusus soal travelmate. Itu yang kedua kali ke SIN, Juni 2014.
SukaDisukai oleh 1 orang
Walaupun pegel tetapi asik aja ya jalan di Singapura. Adaa aja yang bisa diliat… duh tapi kalo bolak-balik jalan kaki waaaaa… perlu pijat2 tuh hahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
Betul. Trotoarnya nyaman, sepanjang jalan pun banyak yang menarik. Apalagi itu perdana ke luar negeri. Jalanan aja difoto berkali-kali 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Zaman saya kecil di kampung dulu bunga teratai ini pasti ada disetiap kolam ikan mas & mujair yang dibuat di samping rumah. Kalau kolam ikan di sawah banyak teratai. Rupanya ada harapan yang terkandung yang diharapkan. Mungkin juga ada manfaat lainnya secara biologi, fisika dan kimia terhadap kualitas air kolam.
SukaDisukai oleh 1 orang
Pastinya ya mas… kan ikan suka sembunyi/tidur di deket akar2 teratai ya.
Tp kok saya jadi kepikiran ikan mas goreng kering pake sambel ya ?? Nasinya panas lagi… duh laper..
SukaSuka