Nepal DTD Trip, Memulai Perjalanan Dengan Kesabaran


I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness and beautiful in my own way, because God is on my side.

Minggu ketiga di bulan Januari 2017, tiga bulan sebelum tanggal keberangkatan, akhirnya saya memesan tiket pesawat setelah paspor pak Ferry, –my travel buddy-, selesai diperpanjang. Harga tiket sudah naik 200 ribu, tetapi masih jauh lebih murah daripada maskapai lain yang mematok harga hingga 7 juta pp. Nilai setengah dari maskapai lain itu memang menggiurkan tetapi jika di-blacklist karena suka delay, bagaimana ya? Pemikiran yang datang tiba-tiba itu langsung diabaikan karena tergerus harga yang sangat menggoda. Bukankah Malindo merupakan maskapai campuran dari Lion Group Malaysia? Dengan harapan manajemen Malaysia lebih baik dari Lion Indonesia, akhirnya saya memesan tiket untuk Jakarta – Kuala Lumpur – Kathmandu. Dan cerita perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness pun dimulai…

Expectation Vs. Reality

Dan dua bulan sebelum keberangkatan, datanglah email pemberitahuan dari maskapai yang grupnya itu sering dihinadina oleh para pejalan itu. Isinya jelas, penerbangan saya mengalami penjadwalan ulang. Mengutip sumpah serapah komik jaman muda dulu, seribu setan belang, saya mulai mengomel berkepanjangan. Bagaimana tidak, saya memilih penerbangan paling pagi dari Jakarta ke Kuala Lumpur lalu transit sebentar lalu terbang lagi ke Kathmandu sehingga bisa mendarat di Negeri di atas awan itu jelang sore. Itu memang tujuan saya, mengambil penerbangan ke Kathmandu sore hari, demi melihat jajaran pegunungan bertudung salju yang sangat indah. Dalam perjalanan pertama ke Nepal dua tahun lalu, saya duduk di jendela sebelah kanan menikmati keindahan itu. Tentu saja saya ingin mengalaminya lagi. Normal kan? Lagi pula sampai di Kathmandu sore akan lebih baik daripada malam, paling tidak bisa belanja melengkapi trekking gears.

Flight Reschedule

Tetapi memang dasar setan belang, semua bermula dari jadwal penerbangan Kuala Lumpur ke Kathmandu dimajukan semena-mena dan tidak dapat dikejar oleh penerbangan dari Jakarta. Akibatnya, secara sepihak seluruh penerbangan saya dimundurkan semua. Penerbangan dari Jakarta ke Kuala Lumpur dipindahkan ke tengah hari dan penerbangan ke Kathmandu dipindahkan ke sore hari yang otomatis sampai sana jam 8 malam! Bagaimana mau melihat pegunungan berpuncak salju pada malam hari? Lalu dengan memperhitungkan proses visa dan bagasi yang lama, apakah masih ada toko yang buka pada malam hari? Dan pastinya rencana jalan-jalan di obyek wisata Kathmandu berantakan semua! Dasar setan belang…!

Siang itu juga saya langsung berdiskusi dengan pak Ferry mencari solusi namun pertimbangan uang tetap menjadi primadona karena tidak mau rugi dua kali. Selama masih di tanggal yang sama hanya beda jam kelihatannya masih bisa diterima. Oh, I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness…

Selesai…?

Belum!

Beberapa minggu sebelum keberangkatan, saya masuk ke situs Traveloka dan mencoba mencetak ulang tiket dengan jadwal baru, namun hasilnya masih jadwal lama! Lhah, apa lagi ini??! Sampai saya harus memeriksa ke situs Malindo untuk memastikan kami terdaftar sebagai penumpang dalam penerbangan siang dari Jakarta – Kuala Lumpur – Kathmandu itu dan untung saja kami memang terdaftar dengan jadwal baru. Berbagai cara ditempuh tetap tidak bisa mencetak jadwal baru melalui Traveloka, lalu akhirnya saya nekad akan pergi pada hari keberangkatan menuju bandara berbekal informasi terkini di ponsel. Paling-paling berurusan dengan petugas pintu masuk yang mungkin mencegat saya masuk. Jadi harus siap-siap sabar!

Belum lagi soal packing ransel. Karena belum terbiasa menata di Osprey 36L, saya perlu waktu hingga seminggu karena banyak barang sesuai ceklist yang tidak bisa masuk. Hal remeh ini melelahkan fisik dan memerlukan pengorbanan untuk bisa meninggalkan barang-barang kesayangan yang tidak perlu dalam trip ini.

Dan akhirnya sampai juga di hari keberangkatan untuk perjalanan Dare To Dream ini! Bismillah…

Di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta saya menunggu Pak Ferry di depan pintu masuk. Saya merasa tidak pede karena sudah mengenakan pakaian trekking lengkap dengan carrier di punggung, daypack di depan dan sepatu trekking, hanya untuk mengirit tempat! Agak saltum di bandara Jakarta yang lebih cocok dengan pakaian casual atau business. Tapi tak lama kemudian datanglah travel buddy yang juga lengkap dengan pakaian trekking, ransel dan sepatunya. Dua orang saltum di bandara Soekarno-Hatta 😀

Berhasil melewati petugas depan yang tidak memperhatikan jam berangkat, kami langsung membungkus carrier dengan plastik agar aman sebagai bagasi. Lalu melangkah pasti menuju konter Malindo untuk check-in. Tapi ternyata kami ditolak karena terlalu awal! Duh… sistemnya pasti masih kuno sehingga tidak bisa check-in sebelum waktunya. Hallooooo… Malindo, sekarang sudah tahun 2017!

Check-in

Satu jam menunggu konter check-in buka, kami kembali berdiri di antrian konter. Satu orang dilayani lebih dari 15 menit. Lalu terlihat Sang Supervisor bolak-balik antar konter dengan muka kusut, memberikan tanda-tanda buruk. Apalagi petugasnya sering memanjangkan leher melihat ke konter sebelahnya, sambil bertanya-tanya. Adegan itu tak berkesudahan. Alamak! Dan akhirnya penumpang di depan konter selesai dan meninggalkan konter sambil bersungut-sungut mengomel. Di depan saya masih tiga orang dengan kecepatan proses yang tidak beda dengan sebelumnya! Sabar… tapi dimana Sabar??? Saya menggoyangkan kepala laksana boneka India sambil bertanya dalam hati, masih mau menggunakan maskapai ini? Rasanya saat itu saya melimpah rindu kepada maskapai apapun yang proses check-innya mudah dan cepat!

Ternyata kegaduhan sejak proses check-in yang lama itu rupanya berlanjut. Cepatnya imigrasi yang bertolak belakang dengan layanan check-in itu, membuat kami punya waktu untuk makan roti sejenak walaupun setelahnya tergopoh-gopoh juga ke pintu keberangkatan karena waktunya tak lama lagi. Namun, di ruang tunggu itu, kami menanti si pesawat yang tak kunjung tiba. Setelah memanjang-panjangkan leher, pesawat itu tak muncul juga. Dan dimulailah dramanya. Tapi supaya singkat, setelah ditunda sekali, ditunda dua kali, ditunda lagi…. dan lagi, hufft… akhirnya kami boarding juga. Ada kelegaan…

Selesai?

Belum!

Setelah sikut kiri, sikut kanan, tidak mau antri saat boarding, ditambah berebut ruang bagasi atas, akhirnya semua penumpang duduk di kursinya masing-masing. Sepuluh menit…, lima belas menit…, setengah jam berlalu, tidak ada tanda-tanda pesawat bergerak. Tanpa ada pemberitahuan. Saya yang jatuh tertidur sampai bangun lagi, pesawat juga belum bergerak. Hedeeew… ada apa ini?

Dan setelah sekian lama, akhirnya pilot bicara meminta maaf dan bla-bla-bla…, lalu pesawatpun bergerak. Itu pun masih masuk antrian ketiga untuk dapat clearance terbang. Dan saat itu sudah 2 jam tertunda dari jadwal seharusnya, padahal waktu transit di Kuala Lumpur untuk penerbangan selanjutnya ke Kathmandu hanya beda 2 jam!

Tidaaaaakkkk…!

Di pesawat saya diskusi dengan Pak Ferry seandainya tidak bisa mengejar penerbangan ke Kathmandu, what’s next? Rupanya Pak Ferry sama seperti saya yang tidak terlalu menetapkan target. Dengan santai dia mengatakan untuk memotong jalur ABC tanpa lewat Poonhill. Saya setuju. Paling tidak saya bisa bersyukur lega karena travel buddy bisa sangat fleksibel (diluar sana lebih banyak orang yang kaku dan ngotot!)

Pasrah dengan penerbangan dengan jadwal suka-suka ini, saya mencoba tidur kembali selagi bisa dan menikmati makanan gratis yang ternyata rasanya lumayan. Ah, bukankah ada nilai-nilai yang patut disyukuri dalam setiap keadaan? Iya siiih, tetapi….

Singkat cerita… setelah mendarat di KLIA, pada saat pesawat baru saja berhenti dan membuka pintu di garbarata, pada jam itulah saya seharusnya terbang ke Kathmandu! Dalam hati saya hanya bisa menjerit galau, masih mau pakai maskapai ini? Oh, I am perfect in my imperfection, happy in my pain, strong in my weakness…

Berbeda dengan terminal KLIA2 yang sudah familiar karena biasa menggunakan AirAsia, saya tak kenal dengan terminal KLIA yang sering digunakan oleh maskapai-maskapai non-budget. Saya tak tahu lokasi transfer dan gerbang-gerbangnya. Perlu waktu untuk membiasakan dan kali ini tidak ada waktu untuk membiasakan! Matek!

Antrian keluar dari pesawat terasa sangat lama sehingga ketika menjejak kaki di gedung terminal, Pak Ferry dan saya langsung tergopoh-gopoh lari menuju papan informasi untuk memeriksa gerbang keberangkatan dengan harap-harap cemas pesawat belum berangkat. Oh My God, help us…

Dan wow!!! PertolonganNya selalu datang tepat pada waktunya. Di papan jelas tercetak nomor penerbangan kami dengan status Boarding! Aha, baru kali ini saya suka dengan pesawat yang delay! 🙂

Boarding

Tak perlu perintah dua kali, Pak Ferry dan saya lari lagi menuju gerbang menggunakan feeling. Semoga benar! And God is on my side, jalurnya benar! Tapi di depan gerbang, saya tertahan, tidak boleh masuk. Aduh, botol minuman masih berisi air yang harus dibuang. Saya menoleh ke kiri kanan mencari tempat pembuangan air atau tempat sampah. Tidak ada sama sekali, sehingga dengan terpaksa saya lari lagi ke toilet untuk membuang air kemudian lari kembali ke gerbang untuk langsung boarding.

Hah…hah…hah…. Nafas rasanya mau putus…

Boarding berjalan lancar dan tempat duduk di sekitar saya lebih banyak kosong sehingga terasa agak lega. Tetapi menit demi menit berlalu, pesawat pun juga tak jelas kapan terbangnya. Ditambah dengan antrian clearance terbang. Aduh… masa’ pengalaman di Jakarta berulang? Ampuuun…

Hanya bisa berbekal sabar dan harap, akhirnya pesawat terbang juga meniti waktu, jam demi jam menuju Kathmandu. Saya lebih banyak tidur membayangkan jauh di sebelah kanan seharusnya mulai terlihat pegunungan tinggi berpuncak salju yang kini tak mungkin terlihat karena hanya kegelapan yang menghias jendela. Tapi bukankah saya telah menerima perubahan jadwal ini dengan segala konsekuensinya? Menyesali tak akan mengubah apapun. Saya menerima apapun yang terjadi…

Benar. Apapun yang terjadi, saya telah berani melangkah dalam perjalanan menuju impian yang mewujud.

17 tanggapan untuk “Nepal DTD Trip, Memulai Perjalanan Dengan Kesabaran

  1. Aduhhhh…aduhh.. aku jadi berasa lari2 sambil baca mbak… ikutan deg2an..dan kerasa banget itu megap2nya… ternyata ih ternyata.. mau yg lokal maupun internasional sama yeh kelakuannya.. kejadian ga bisa check in sebelum waktunya juga kualami tuh mba di Ponti.. sampe bengong 1000 bahasa.. berasa check in nya masih pake kertas dicentang gitu… trus gonta ganti jadwal itu yah… haduhhh.. udah semena2 banget dah… beneran kudu nabung sabar dan doa kalau mau terbang pake si singa ini.. untuk travel buddymu fleksibel mbak.. kalau aku.. udah pingsan kali ya..hahaha

    Disukai oleh 1 orang

    1. Hahaha iya Na, hati seperti naik roller-coaster gitu turun naik penuh kejutan ngagetin kringet dingin senewen deh.
      Iya tuh check-in kok pake range waktu gitu tapi layanannya ga cepet dan bermasalah. Ampun deh. Dan untungnya my travel buddy penuh pengertian hahaha. Aku masih perlu banyak belajar dari beliau soal sabar hahaha…

      Suka

  2. Hmm..kemaren aku pake malindo lho ke nepal..untungnya nggak kenapa”. Pulangnya malah dpt kelas bisnis. Hehe..niat mo pake malindo lagi ni ke india..secara air asia udah mahal ya

    Disukai oleh 1 orang

  3. Kayaknya naik maskapai grupnya Lion Air itu jodoh-jodohan deh. Ada yang sudah pernah terbang berkali-kali tapi gak pernah menemui kendala berarti, ada juga yang kena apes. Saya sendiri sudah kapok sih naik maskapai apapun dari grup itu, kecuali memang terpaksa dan gak ada pilihan lain. Anyway, baca postingan ini jadi inget waktu Mbak Riyanti lari-lari ngejar pesawat di Korea. 😀 Untungnya di penerbangan ke Nepal ini Mbak Riyanti punya teman seperjalanan yang gak menambah runyam suasana. Kalau kata anak sekarang: wolessss…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Setuju banget mas Bama soal jodoh2an itu dan aku ga berjodoh tuh sama groupnya Lion itu. Apalagi pas pulang, bagasi orang2 yg berangkat dr KTM ke Jkt ditinggal tuh di Kathmandu (termasuk carrierku). Cape deh! Untung dah pulang jd bawa baju kotor, coba kalo baru berangkat, kan nyesek banget beli peralatan trekking semua hahaha. Ih Mas Bama inget aja aku lari2 di Seoul. Tapi beneran gak ada yang ngalahin soal di Seoul itu. Soalnya Incheon itu gueede banget berasa banget lari2nya… kalo soal temen seperjalanan yang fleksibel sih emang benar, asal dia ga ngajak lari serius soalnya aku bukan tandingannya mas Bama… soalnya dia marathon runner hahaha.

      Suka

      1. Waduh, jadi inget beberapa hari yang lalu baca berita katanya banyak bagasi penumpang Malindo flight ke Australia (lupa persisnya kota mana) yang ketinggalan di Bali. Mbak, mungkin ini pertanda dari semesta kalo Mbak Riyanti harus ikutan maraton. 😀

        Suka

        1. Bener mas Bama, aku juga baca tuh beritanya dan langsung teringat kasusku yang masih hangat banget.., Masa berulang dalam waktu singkat ya? Pasti banyak kejadian lain yang ga terungkap kan? *Kapok
          Mas Bamaaaaaa… soal marathon, wadooo jangan membuka pintu kemungkinan itu… bisa gawat nih hahaha… tobat deh aku tobaaatttt… 😀 😀 😀

          Suka

  4. Aku pernah mengalami pengalaman serupa dengan Malindo Air dalam penerbangan perdana. Waktu itu, penerbangan BDO-KUL tertunda lebih dari 4 jam karena alasan kabut asap. Padahal aku sengaja memilih penerbangan siang supaya asapnya akan sedikit pudar. Rencananya, mau wisata semalaman dulu di KL sebelum bertolak ke Bangkok esok paginya. Tapi karena delay 4 jam lebih, ya udah, tidur aja di bandara hahaha.

    Kedua, saat penerbangan CGK-KLIA. Antrian check-in lamaaaaaa bangeeettt! Beberapa penumpang yang udah antri akhirnya dialihkan ke konter sebelahnya karena konter yang kami pakai udah diganti buat penerbangan selanjutnya. Kami pada ngedumel. Setelah berhasil check-in, berhasil boarding, pesawat juga nggak langsung berangkat. Ada kali 30 menitan jalan nggak jelas di runway.

    Tapi, biar gimanapun, aku tetep pake maskapai ini karena harganya yang murah dan pelayanan full service hehehe

    Disukai oleh 1 orang

    1. Benar Nug, buat saya yg mepet waktu akhirnya harus cari yg lebih reliable soal schedule walaupun jdnya biasanya lebih mahal. Kl waktunya longgar masih gpp krn memang harganya menggoda banget yaa…

      Disukai oleh 1 orang

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.