Cinta Dua Oma Satu Opa


Meskipun judul tulisan ini rasanya sangat berlebihan, seperti menggiring opini ke arah drama-drama murahan, bagi saya sesungguhnya memang begitu kisahnya. Cinta dalam arti yang teramat indah.

Karena memang inilah kisah dari orangtua dari Mama saya yang tercinta, Oma dan opa saya sendiri, yang penggalan akhir dari kehidupan mereka saya alami bersama mereka dan mewarnai kehidupan saya begitu indah.

Pandemi COVID-19 membuat cerita ini terjadi. Sementara perawat Mama mudik sebentar untuk urusan keluarga, Mama tak bersedia pindah ke rumah anak-anaknya. Jadilah anak-anaknya yang kembali ke rumah orangtua, termasuk saya. Dan akhir pekan lalu, beberapa foto tua hitam putih tergeletak di meja, yang langsung membuka ruang penuh kenangan teramat manis dalam hati saya.

Sejak hidup di dunia ini, saya memanggilnya Opa dan Oma kepada mereka yang tercinta itu, bukan Kakek atau Nenek, atau Mbah Kung, Mbah Uti, bukan juga Eyang. Opa, adalah panggilan kepada Papanya Mama, dan panggilan Oma untuk Mamanya Mama.

Oma Ed, & Oma Am

Dan di foto itu, ada wajah Cinta, wajah Oma Ed, yang tak sempat bersimpang jalan dengan kehidupan saya, namun telah menurunkan Mama ke dunia mempertaruhkan nyawa. Beberapa hari setelah melahirkan Mama, ia berserah diri kembali kepada Dia Yang Maha Esa. Kembali kepadaNya masih dalam keadaan nifas, yang InsyaAllah, syahid.

Meninggalkan semua belahan jiwa yang dikasihinya di dunia, pria yang menjadi suaminya, ayah bayinya dan juga si bayi merah yang telah dilahirkannya ke dunia. Meninggalkan Opa dan Mama saya.

Jaman itu, -bahkan negeri ini pun masih berjuang untuk merdeka-, segala sesuatu masih amat terbatas. Apalagi untuk mereka berdua, sepasang suami isteri yang penuh bahagia, -Opa dan Oma saya-, yang berada di Babo, jauh di pelosok negeri, di pinggir hutan Irian (kini Papua), yang hingga kini pun masih susah dijangkau, susah dicapai. Meski saat itu Opa bekerja di sebuah perusahaan eksplorasi minyak yang terkenal dengan segala fasilitas tersedia, tetap saja umur menjadi rahasia besar yang hanya ditentukan olehNya.

Yang pergi telah selesai urusannya di dunia, namun bagaimana yang ditinggalkan? Seorang suami yang usia pernikahannya masih seumur jagung, ditambah dengan kehadiran seorang bayi merah yang saat itu kehilangan kenyamanan dan kehangatan seseorang yang mencintainya sepenuh hati, sebagaimana ia telah tumbuh sembilan bulan lamanya di dalam rahimnya.

Sang bayi merah itu tak pernah tahu apa yang terjadi padanya, belum sampai padanya ilmu untuk memahami apa yang terjadi di dunia yang baru ia jalani dalam hitungan hari. Ia hanya bisa menerima semua yang terjadi.

Lalu bagaimana dengan Opa yang telah kehilangan separuh nyawanya, belahan jiwanya? Seorang pria yang mendadak mendapati dunianya terbolak-balik dengan hadirnya seorang bayi yang telah kehilangan sang bunda. Di sebuah kompleks rumah di pinggir hutan Irian, di tempat yang jauh dari mana-mana, jauh dari kerabat dan keluarga.

Sebuah makam digali hanya untuk sang bunda, di sana, di Babo, di bumi Irian, di pinggir hutan belantara. Hanya untuk Oma Ed tercinta, sebuah wajah yang mungkin tak lekat dalam ingatan Mama saya.

Satu kehidupan telah ditutup, satu kehidupan dimulai.

Jika Dia Yang Maha Kuasa telah berkehendak, maka terjadilah apapun yang seharusnya terjadi.

Sebagai seorang tante bagi sang bayi merah, hatinya tergerak untuk menjaga dan memomong untuk sementara waktu.

Dia adalah Oma Am, adik perempuan Oma Ed.

Manusia bisa jadi memiliki rencana-rencana, tetapi akhirnya Allah juga yang menentukan. Oma Am, yang saat itu masih memiliki kegembiraan dan kebebasan masa remaja, sudah sewajarnya belum mau terikat dengan kehidupan pernikahan. Ia masih ingin bebas merdeka dengan pilihan-pilihan yang ada di tangannya.

Dan Oma Am, yang saat itu masih gadis rupawan, pada akhirnya tak bisa menolak apa yang telah digariskan Allah untuknya. Sekuat apapun ia berencana. Pada akhirnya Oma Am bersanding dengan Opa dalam sebuah pernikahan, yang biasa orang sebut, pernikahan turun ranjang. Seorang suami yang menikahi adik almarhumah isterinya.

Bisa jadi Oma Ed sedikit tenang di alamnya mengingat bayi yang telah ditinggalkan berada pada tangan adiknya sendiri, meskipun mereka berdua berbeda pribadi. Oma Ed yang lebih menyukai kehidupan di dalam rumahtangganya, sedangkan Oma Am lebih suka bersosialisasi keluar dan penuh aktivitas luar.

Meskipun Opa, yang berdarah Minang, menikah dengan Oma Am, yang berdarah campuran Ambon dan etnis luar lainnya serta terpaut cukup jauh usianya dengan Opa (beda 9 tahun), dalam pernikahannya akhirnya berlaku juga witing tresno jalaran suko kulino. Sebuah pepatah Jawa yang bermakna Cinta itu tumbuh karena terbiasa. Dan dalam pernikahan mereka berdua akhirnya lahir adik-adik Mama, satu perempuan dan tiga laki-laki.

Family of Opa Oma

Sebuah pernikahan yang berlangsung cukup lama, sekitar 35 tahun. Dan saya sempat menyaksikannya sejak usia batita. Sebagai cucu perempuan kesayangan Opa, saya selalu menemaninya berjalan pagi untuk menguatkan kaki-kaki Opa setelah diserang stroke, tentunya dengan diiming-imingi sebatang coklat di toko kelontong dekat rumah. Ada begitu banyak kenangan manis bersama Opa dan Oma. Termasuk kata Mama, saya di usia batita yang tak mau kembali ke Mama dan lebih memilih untuk tinggal bersama Oma, sepulangnya perjalanan 3 bulan Papa Mama dari Hong Kong. Saya tinggal bersama Opa Oma, mengamati ibadah mereka yang tak pernah putus, mengagumi disiplinnya Opa, mengagumi keahlian Oma seperti menjahit, memasak bahkan saya belajar merajut darinya. Saya ingat saya sering mendapat baju jahitannya sendiri. Setiap pesta dan perayaan, Omalah yang memasaknya. Semua kegembiraan itu.

Juga hari dukacita itu,

Bahkan saya bersama Oma, di dalam mobil yang sama setelah bepergian sebentar, lalu sepulangnya mendapati rumah Oma yang telah penuh dengan kursi-kursi. Hanya untuk mendapati bahwa Opa tercinta telah berpulang menghadapNya. Tanpa ada keluarga yang mendampinginya. Rasanya masih terngiang jerit memilukan Oma di mobil itu, rasa kehilangan yang begitu dalam. Opa telah menyusul Oma Ed yang telah berpulang puluhan tahun lebih dahulu.

Saya mencium pipi Opa yang telah dingin itu, Perkenalan pertama saya dengan dunia kematian dalam usia yang masih teramat muda. Pipi yang dingin itu benar-benar telah pergi, tak ada lagi gandengan tangan, sambil berusaha berjalan terus, tak mau kalah oleh serangan stroke yang melumpuhkan. Airmata saya jatuh, hari itu saya benar-benar kehilangan Opa, dia yang memiliki ruang spesial di hati saya.

Waktu terus berjalan, Oma Am yang tinggal sendiri tetap menjalani hidup dengan semangat. Saya meneladani sifat dinamisnya, keberaniannya dan kemandiriannya. Sepeninggal Opa, Oma berani melakukan perjalanan ke Eropa sendirian. Berkeliling negeri-negeri Eropa, negeri sahabat-sahabat dan kerabatnya. Pergi menunaikan ibadah Haji selama empat puluh hari. Sekali-sekali masih bermain tennis, satu olah raga yang paling dikuasainya hingga menyandang gelar juara PELTI pada jamannya.

Dalam bertetangga, beliau tak sungkan untuk turun langsung dan aktif di posyandu, ikut heboh dalam menimbang anak-anak balita, meski penampilannya sedikit berbeda dari lingkungan yang ia masuki. Kulit Oma terlalu putih, terlalu tinggi, cara bicaranya mungkin terasa aneh, terlalu ‘Belanda’ untuk lingkungan Betawi. Tapi itulah dia, Oma Am yang luar biasa.

Beliau yang ‘mengantar’ saya menuju pernikahan, seperti juga beliau yang selalu menjaga saya di kala orang tua sedang tidak ada atau bekerja di luar kota. Bahkan saya sempat berfoto dengannya dengan empat perempuan empat generasi: Oma Am, Mama, saya dan puteri saya.

Sang Pemberi Hidup telah memberikan Oma Am kepada kami semua dengan begitu banyak kenangan manis, yang tak terhingga. Yang tak akan habis-habis bila dituliskan dan diceritakan. Oma Am yang telah memberi begitu banyak warna kepada kehidupan orang lain itu, berpulang dalam usia 82 tahun, menyusul sang belahan jiwa dan kakak tercintanya.


Dan saya hanya bisa berdoa untuk mereka yang tercinta, untuk Opa, untuk Oma Ed dan untuk Oma Am. I love you, I miss you all…


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-27 bertema Sweet agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu.

17 tanggapan untuk “Cinta Dua Oma Satu Opa

  1. Masya Allah.. so sweet banget!!

    Mama menjadi kenangan yang mengikat Opa dengan Oma Ed. Dan memberikan Oma Am jodoh seumur hidupnya.

    Kini Opa dan Oma Ed menyambut Oma Am dengan cinta abadi yang melintasi alam semesta.

    Ya Allah, indah sekali.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Menuliskannya kembali sampai berlinang airmata, membongkar kenangan manis itu ternyata tak mudah ya, bahkan yang begitu indah saja bisa mengharubiru… Memang perjalanan mereka sangat indah, sangat manis…

      Disukai oleh 1 orang

  2. Ada senyum dan ada air mata yang menggenang membaca tulisan ini. Ah, mereka bertiga pasti tengah tersenyum dari surga karena cucu kesayangannya menuliskan kisah indah mereka.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Cerita yang sangat menyentuh, Mbak Riyanti. Hidup memang sementara, tapi memori dapat “hidup” jauh lebih lama dari usia kita bernafas di dunia. Beruntung Opa dan dua Oma Mbak Riyanti memiliki memori yang manis di ingatan cucunya. Semoga mereka beristirahat dengan damai.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Aamiin dan terima kasih sekali Mas Bama. Saya amat beruntung (and blessed) bisa terlibat langsung di dalamnya sepanjang hidup termasuk mendapat informasi terpercaya tentang hal yang tidak bisa saya alami sendiri. Meski tak melulu gembira, pada akhirnya hidup itu bisa disimpulkan begitu manis. Bahkan yang pahit pun terasa manis secara keseluruhan.

      Disukai oleh 1 orang

  4. Terharu saya membacanya, perjalanan hidup Opa dan Oma Ed, Oma Am.. Perjalanan istimewa telah digariskan Sang Pemberi Hidup.. Sedikit berbeda kisahnya dengan yg saya alami karena saya tidak menjalani spt Oma Am.., namun hanya menemani dan mendampingi sebagai Tante bagi dua keponakan saya… Dan sebagai adik ipar bagi Suami Kakak saya.. Tuhan tahu hati saya bersih dan jauh dari rasa mencintai sebagai suami istri.. Yaaah inilah saya hingga saat ini…, tidak mudah memang tetapi saya tahu hanya doa yang akan membuat semuanya dapat dijalani. Semoga yang berpulang mendapat kedamaian abadi di Surga.
    Trimakasih sudah berbagi pengalaman indahmu Mbak Riyanti…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Mba Wiwiek,
      Keikhlasan dan bersihnya hati menjalani hidup seperti dirimu pasti memiliki buah yang amat manis baik sekarang maupun nanti. Saya percaya bahwa ada manusia-manusia luar biasa seperti dirimu, yang tidak memikirkan diri sendiri namun mengikhlaskan hidup untuk orang lain. Selalu sehat, kuat dan gembira ya Mba, doa dari saya… Salam.

      Suka

      1. Trimakasih balasannya Mbak Riyanti… Tks juga doanya, doa yang sama untuk dirimu. Amin.
        Tulisan2mu variatif dan selalu menarik u dibaca, seperti ditulis dengan hati.. Aq ingat ada kalimat dalam sebuah tulisanmu yang sangat mengena bagiku.. “Memaksakan menggenggam sesuatu yang seharusnya kita lepaskan terkadang justru membuat kita terluka….” Teruslah menulis Mbak, aq menikmatinya…
        Salam kenal, selalu sehat dan bahagia.. Amin!

        Disukai oleh 1 orang

  5. Kenangan yang manis sekali pastinya ya, Mba. Semoga sekarang sudah berada di tempat yang lebih baik, Aamiin 🙂
    Ngomong-ngomong, biasanya di foto-foto lama yang saya lihat, orang-orang yang difoto selalu dalam pose resmi dan wajah yang serius. Berbeda banget dengan foto-foto yang dipajang di sini, rata-rata pada tersenyum/tergelak saat difoto. Membuat fotonya terasa ‘hidup’. 🙂

    Disukai oleh 1 orang

    1. Aamiin, terima kasih atas doanya ya.
      saya jadi memperhatikan lagi semua foto-foto jadul itu… hahaha, baru ngeh rata-rata wajahnya serius banget, seperti katamu hahaha… tapi ada juga beberapa yang santai. Bisa jadi ada yang lucu saat pengambilan fotonya jadi mereka tergelak hahaha

      Disukai oleh 1 orang

      1. Iya Mba, kayanya kalau dulu mau foto kan seringnya manggil tukang foto, lalu posenya diatur formal dan mimik wajah serius. Seneng aja liat foto jadul dengan ekspresi senyum gitu hehe.

        Disukai oleh 1 orang

  6. Saya yang paling kecil di foto keluarga itu, jadi mohon maklum bila perlu waktu cukup lama sekalipun sekarang sudah jelang kepala “7” untuk menyeka air mata yang tidak henti2 sejak pertama kali artikel indah ini di posting keponakan saya (yang dulunya paling tomboy sendiri)…., that’s all I can say in full praise to the depth of that article, cinta kasih utamanya; ever onward dengan tuangan pemikiran-pemikiran serta pengalaman orisinal-mu, Yanty, doa terbaik dari oom kamu yang sebintang; hidup Capricorns !

    Disukai oleh 1 orang

  7. Mbak Yanti… Sangat mentenangkan baca tulisan mbak Yanti… Saya dpt tautan ini dari mama. Masya Allah… Indahnyaaa…
    Boleh ya saya baca2 lagi cerita2 mbak Yanti…
    Sehat dan happy terus ya…

    Disukai oleh 1 orang

    1. Mba Mayaaaa… terima kasih sekali sudah mampir, mudah-mudahan gak malu-maluin yaa hihihi… tentu saja boleh baca-baca cerita yang lain (saya malah suka hehehe…)
      Stay healty and happy too…

      Suka

Please... I'm glad to know your thoughts

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.