Menjejak Kembali Langkahmu


Sadly missed along life’s way, quietly remembered everyday…

No longer in our life to share, but in our hearts you’re always there

-Unknown

Ketika seorang sahabat mengajak untuk menuliskan cerita tentang menapak tilas, pikiran ini langsung terbang ke sebagian perjalanan-perjalanan yang saya lakukan selama ini. Perjalanan-perjalanan menapak tilas seseorang yang selalu ada dalam jiwa,dan sebagian besarnya sudah saya tuliskan di blog ini. Bagi saya pribadi hanya ada satu perjalanan menapak tilas, yaitu menapak tilas perjalanan almarhum Papa. Tapi ah, bisa jadi, saya sudah terlalu lelah untuk membongkar ruang-ruang hati dan ingatan mencari tahu perjalanan lain yang berupa menapak tilas.

Meskipun kamus rujukan mendeskripsikan menapak tilas adalah melakukan perjalanan dengan menelusuri tempat-tempat yang pernah didatangi dan dilalui oleh seseorang pada jaman dahulu untuk menghidupkan kenangan atau sejarah, saya sendiri mengartikannya secara bebas. Karena menapak tilas bagi saya pribadi mencakup juga kegiatan mendatangi kota-kota yang pernah didatangi atau ditinggali oleh seseorang yang berarti. Dan itu artinya adalah Papa!


Saya telah menjejak Hong Kong, negeri tempat Papa dan Mama menikmati honeymoon yang ke sekian kali. Merasakan gempitanya Kowloon, melihat kerlap-kerlip lampu kota seperti yang Papa Mama ceritakan. Dan saya ceritakan pula kepada mereka tentang sudah adanya jalan mobil dan kereta yang menghubungkan tempat-tempat yang terpisahkan oleh laut meskipun saya tetap mencoba menaiki ferry yang sangat khas itu. Tak lupa saya ceritakan bandara yang tak lagi di Kaitak sehingga saya tak bisa lagi merasakan debaran jantung saat mendarat karena dekatnya dengan perairan. Hong Kong yang modern telah jauh berbeda dengan Hong Kong yang dulu Papa Mama datangi, berpuluh tahun silam. Meskipun demikian, jauhnya perbedaan itu tetap tak mampu menghilangkan kenangan yang terpaut di dalamnya.

Tak lupa, saya pun telah menjejak langkah Papa di Jepang, termasuk di Kamakura, berfoto di Daibutsu, patung Buddha yang besar itu. Bahkan saya sempat menginap satu malam di Yokohama, kota pelabuhan tempat kapal Papa dulu berlabuh. Malam itu, saya berjalan sendiri sekitaran Yokohama, menghirup harumnya udara laut sambil mengenang langkah-langkah Papa. Dan yang paling meninggalkan kesan ketika saya bisa berpose serupa foto Papa di depan Gedung A-Dome di Hiroshima. Dan semua pengalaman itu telah saya ceritakan kepadanya ketika Papa masih terbaring tak berdaya karena stroke yang menyerangnya. Meski demikian, kegembiraan dan semangat selalu terpancar pada raut wajahnya saat kami bertukar cerita tentang Jepang.

Saya sendiri mengalami rasa emosi yang menggelegak saat berdiri di depan Shwedagon Paya, Myanmar. Karena saya mengenal nama pagoda besar di Myanmar itu sejak masih teramat kecil. Buat seusia itu, mengucapkan Shwedagon teramat susah, apalagi membayangkan letaknya. Namun nama itu begitu kuat menempel di benak sehingga tercetus, one day saya akan sampai ke sana. Dan benarlah saya bisa menjejak ke tempat itu, ke tempat Papa dulu juga berfoto. Sepulangnya saya dari Myanmar, cerita tentang itu teramat membahagiakan Papa. Cerita itu bagaikan tak berakhir, menjadi penyemangat Papa di kala sakit mendera, sesemangat saya menceritakan kepadanya.


Akhir Desember 2019

Dalam bus yang bergerak meninggalkan kota Mekkah setelah melakukan ibadah Umroh, saya diliputi berbagai rasa. Ada kesedihan meninggalkan kota Mekkah, ada juga kegembiraan karena kami sedang menuju Palestina. Dan diantara rasa-rasa yang bercampur aduk itu, di salah satu sudut ruang hati ada denyutan yang teramat pribadi. Yang mungkin tidak terasakan oleh rombongan kami, namun hanya saya sendiri yang merasakan.

Denyut itu begitu kecil tapi jelas, laksana genta-genta yang digoyangkan oleh biksu penjaga kuil yang menghasilkan denting indah yang merambat jauh. Dan denyut itu terjadi karena bus sedang menuju kota yang pernah disinggahi Papa. Jeddah!

Berpuluh tahun silam ketika penerbangan merupakan transportasi termahal sehingga biayanya tak terjangkau bagi kalangan biasa untuk menunaikan ibadah haji, para jamaah hanya memiliki pilihan menggunakan kapal laut. Berminggu hingga berbulan lamanya dari Indonesia untuk mencapai Mekkah dan selama itu kehidupan berjalan tak mudah bagi yang tak biasa. Ombak mengayunkan manusia-manusia yang berjalan, titik keseimbangan raga tak pernah tetap. Bagi yang tak tahan, kepala pusing bahkan sampai mengeluarkan isi perut merupakan peristiwa yang terlalu sering terjadi sepanjang hari, sepanjang minggu, sepanjang bulan. Dan para jamaah tamu Allah yang kebanyakan telah lanjut usia itu bertahan semampunya. Bahkan kota-kota yang disinggahi pun tak terlihat menarik lagi karena Jeddah merupakan kota pelabuhan terakhir sebelum akhirnya para jamaah berduyun memasuki Mekkah, kota kecintaan mereka. Tak semua bisa mencapainya, karena sebagian darinya telah syahid dalam perjalanan haji mereka. Dan sesuai protokol yang ada dalam setiap perjalanan di laut, bagi mereka yang dipanggil pulang ke HadiratNya dan freezer tak mampu menampung lagi, satu-satunya jalan adalah mengembalikan jasad yang telah kaku itu ke alam semesta melalui pelarungan.

Saya telah mendengar kisah itu sejak kecil dari bibir almarhum Papa, termasuk manusia-manusia tak sabar yang menyangka pelabuhan-pelabuhan sebelumnya yang disinggahi adalah Jeddah. Mereka sudah tak lagi sabar, ingin segera turun, bersujud mencium harumnya Bumi Mekkah.

Kisah-kisah tentang Jeddah semakin cepat silih berganti menghias benak saya ketika bus mendekati kota yang menimbulkan kenangan itu. Ada sejentik air yang mengembang di sudut mata, sejumput doa terucap dari hati yang paling dalam. Saya menarik nafas panjang untuk menguatkan jiwa. Kali ini, tak ada lagi telinga Papa yang siap mendengar cerita-cerita saya saat mengunjungi kota yang pernah ia singgahi dalam perjalanan dengan kapalnya. Papa telah dipanggil pulang dua tahun lalu.

Masjid Qisas, Jeddah

Meski Jeddah semakin dekat, saya tahu takkan bisa mengunjungi pelabuhannya karena tak pernah ada dalam itinerary. Namun, bisa mencapai kotanya saja, bisa menjejak di bumi Jeddah dan bisa mencium harum udaranya, saya sudah sangat bersyukur. Tak ada waktu untuk singgah kecuali melihat dari atas bus, juga pelabuhannya yang hanya bisa terlihat dari kejauhan. Seperti biasa di bus, saya menempelkan telapak tangan di jendela untuk menyapa tempat-tempat yang mampu mengaitkan kenangan dan juga membisikkan kata dalam jiwa. Dan ketika menjejak bandara Jeddah, pikiran saya terbang ke pelabuhan Jeddah somewhere out there,

Saya telah sampai di Jeddah, Pa, di kota tempat Papa dulu pernah melangkahkan kaki.

Berjuta cerita ingin saya sampaikan kepadanya, karena saya begitu beruntung bisa sampai ke Mekkah dan selepasnya bisa melewati Jeddah dengan sangat cepat, hanya belasan jam penerbangan dan juga dengan bus yang nyaman melalui jalan bebas hambatan. Sungguh tak perlu seperti mereka yang dulu ikut dalam kapal Papa, yang begitu lengkap deritanya, yang begitu panjang perjuangannya.

Ya Allah, begitu banyak saya ingin bercerita kepadanya…


April 2019

Saya memang terlambat melakukan perjalanan ke Mawlamyine (sebuah kota yang diminta Papa untuk saya datangi, ketika kami bertukar cerita tentang Shwedagon). Mawlamyine merupakan kota pelabuhan yang pernah disinggahi Papa dulu. Saya melakukannya 102 hari setelah Papa meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Setelah sore yang mengharu biru (jika berkenan, baca kisahnya Hadiah Manis di Mawlamyine), keesokan paginya saya berjalan kaki menyusuri sungai lebar di depan hotel itu, melepas semua rasa yang ada, membiarkan angin menunjukkan arah kaki melangkah. Sunset yang rupawan sore kemarin tak menyediakan tempat bagi sunrise untuk bertanding dengannya. Kapal tambang yang terbengkalai namun tertambat di pinggir, menambahkan kerak yang tak enak dilihat. Air keruh sungai juga tak mengubah keadaan menjadi manis. Satu-satunya yang mampu melipur jiwa adalah kabut yang melingkupi sebagian dari jembatan membuat pemandangan terlihat magis karena sebagian jembatan seperti hilang ditelan kabut.

Meski tak mengerti banyak hal, saya mencoba memahami denyut kota pelabuhan Mawlamyine itu. Papa tak pernah mengatakan kepada saya secara langsung apa yang menarik dari kota itu sehingga saya harus menemukannya sendiri. Dan setelah mendapatkan hadiah manis seperti yang saya ceritakan pada link di atas, pagi ini saya harus menemukannya kembali. Apakah kabut magis yang menutupi sebagian jembatan itu atau bukan, saya hanya bisa menduga-duga.

Dan langkah-langkah pagi itu membukakan mata saya. Di sepanjang jalan yang disusuri, saya menemukan banyak masjid bahkan Masjid Sunni dan Syiah berdekatan. Di hari itu saya juga berkeliling kota sunset itu. Begitu banyak gereja Kristen maupun Katolik dan aliran lain didirikan di kota Mawlamyine. Bahkan di negeri yang mayoritas penduduknya menganut Buddha ini, saya juga menemukan kuil Hindu yang luas. Dan tentu saja ada banyak kuil Buddha yang amat indah dengan stupa-stupanya yang berlapis emas.

Perlahan saya memahami, mungkin ini yang dimaksud Papa mengenai keindahan Mawlamyine. Kehidupan beragama mereka begitu penuh toleransi. Sebuah teladan yang selalu Papa ajarkan kepada saya, kepada seluruh anaknya. Dan Papa meminta saya untuk ke Mawlamyine, untuk menemukannya. Sebuah keindahan yang saya saksikan namun tak bisa lagi saya ceritakan kepadanya. Saya 102 hari terlambat mengunjungi Mawlamyine…

Terlalu banyak kenangan manis di Myanmar terkait dengannya.


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan dua mingguan dari CelinaSrei’s NotesA Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2021 yang no 5 dan bertema Napak Tilas agar bisa menulis artikel di blog masing-masing  setiap dua minggu.

Light Up The Darkness


Sebagai penggemar segala bentuk cahaya lembut dalam suasana temaram, saya mudah sekali tertarik lalu berhenti untuk mengabadikannya, ataupun kalau situasi tidak memungkinkan, biasanya lampu-lampu itu mampu membuat kepala saya menoleh dengan mata terbuka lebar dan pastinya hatinya melonjak gembira. Entah kenapa, saya benar-benar suka! Kalau malam kepala masih mumet di kantor, salah satu cara efektif menetralkannya adalah mendatangi jendela lalu melihat lampu-lampu mobil yang terjebak kemacetan atau melihat ke gedung-gedung seberang, ke arah lampu-lampu yang menyala. Seakan cahaya-cahaya itu memberi ketenangan dan memberi lambang sebagai harapan dalam kegelapan (hehehe agak lebay kali ya…).

Sampai sekarang, saya sudah bisa terpukau bahagia kalau diajak jalan naik mobil keliling kota hanya untuk menyaksikan keindahan lampu hiasan di jalan. Bahkan lihat lampu-lampu hiasan sesuai tema yang dipasang di mal-mal juga bisa membuat saya terpesona. Apalagi bulan Desember, seperti sekarang, kota-kota biasanya didandani dengan cantik menyambut Natal dan Tahun Baru. Duh, saya jadi suka jalan-jalan untuk melihat-lihat itu. Bahagia itu sederhana ya…

deepavalisg
Little India, Singapore

SINGAPORE

Pernah beberapa tahun lalu, saya mendadak mengambil cuti dua hari ke Singapura pada tengah minggu hanya untuk melihat kemeriahan festival Deepavali di kawasan Little India di negeri singa itu. Dan saya bisa begitu nekadnya untuk mengabadikan hiasan-hiasan itu, hingga saya menyeberang jalan, lalu mengambil foto di tengah jalan sampai lampu lalu linatas berganti hijau (dan sampai diklakson supaya minggir 😀 😀 ) Tidak sendirian sih, karena banyak juga yang segila saya hahaha…

Singapura berhias tak hanya untuk Deepavali Festival, melainkan Natal sampai Tahun Baru pun juga. Salah satunya adalah di Orchard Road yang penuh dengan hiasan-hiasan.

orchard
Orchard Road, Singapore

Tidak hanya di atas jalan, pohon-pohon pun didandani. Dan yang memanjakan mata adalah dandanannya selalu cantik, tidak asal-asalan (karena pernah dulu di dekat Monas, saya pernah melihat hiasan lampu-lampu itu dibuat asal nemplok, sungguh membuat ilfil!) Dan semua itu gratis tanpa dipungut bayar. Syaratnya cuma satu, asal kuat jalan saja hehehe… Lihat saja bagaimana kita bisa menyaksikan keindahan permainan lampu Super Trees di Garden By The Bay. Sambil mendengar musik yang penuh semangat, mata juga dimanjakan. Rasanya bisa dibilang, semua itu menjadi makanan untuk jiwa dan panca indera.

– § –

TOKYO

Tidak jauh berbeda dengan Singapura, Tokyo di Jepang berdandan menyambut kemeriahan Natal dan Tahun Baru. Tetapi entah kenapa, saya merasa hiasan lampu-lampu yang ada di Tokyo itu jauh lebih banyak dan lebih menakjubkan. Bisa jadi karena memang hampir di semua tempat di kota itu didandani dengan hiasan lampu-lampu. Tidak perlu jauh berjalan, pasti ada kawasan cantik yang penuh hiasan, bahkan pedestrian biasa selalu ada spot-spot yang dihias dengan lampu-lampu. Saya sempat berpikir, budget untuk dandanan kota seperti ini pastinya besar karena perlu listrik. Namun rasanya untuk dua kota terkenal yang saya sebutkan di atas, seperti Singapura dan Tokyo, tentu dana tersebut sudah dialokasikan dengan baik. Bagaimana ya di Indonesia? Jangan-jangan kita masih akan sibuk berdebat soal boleh atau tidaknya untuk segala sesuatu, termasuk hiasan-hiasan kota.

Ketika tahun 2016 suami dan saya pergi ke Tokyo untuk honeymoon kesekian kalinya, kami menikmati suasana Tokyo yang sudah berdandan, padahal waktu itu baru awal Desember dan musim gugur belum tuntas berakhir. Dan kami, -sebenarnya saya sih yang lebih terpesona dengan lampu-lampu itu-, menikmati pertunjukkan di Caretta Shiodome yang lagi-lagi gratis.

carettatokyo
Caretta Shiodome, Tokyo

Bagi yang hendak menikmati keindahan malam di Tokyo, puncaknya memang terjadi di minggu-minggu terakhir bulan Desember hingga ke awal bulan Januari. Suasananya sangat menyenangkan, dimana-mana ada aura cinta dan romantisme karena banyak sekali pasangan yang saling bermesraan. Tawa gembira selalu terdengar dimana-mana. Benar kata sebuah lirik lagu, Love is in the air…

Seperti saat ke Blue Cave di Shibuya, Tokyo di kesempatan yang berbeda, di bawah naungan kerlip lampu-lampu  berwarna biru itu, saya secara otomatis dirangkul oleh sang suami, padahal saat itu situasinya padat oleh manusia. Siapa sih yang tidak merasa terpesona berjalan di “terowongan” panjang berpendar warna biru dari hiasan-hiasan yang membalut batang dan ranting pohon? Ah, rasanya saya kembali menjadi remaja… :p

Tapi bagi pecinta hiasan-hiasan cahaya lampu, Blue Cave di Shibuya termasuk salah satu tempat yang harus didatangi saat melakukan perjalanan ke Tokyo. Semakin ke arah depan, sebenarnya semakin indah dengan kolam di tengah efek pantulan. Sayangnya kami saat itu harus kembali.

blue cave shibuya tokyo
Blue Cave at Shibuya, Tokyo

Tidak jauh dari sana, di kawasan Shinjuku yang super sibuk, tetap dihiasi oleh cahaya lampu. Pokoknya kemana-mana pastinya mata ini menangkap hiasan lampu yang cantik. Bahkan kami memilih makan malam di outdoor berpayung langit, -meskipun berbalut jaket karena udara sudah cukup dingin-, sambil menikmati pemandangan indah di kegelapan malam dan mengistirahatkan kaki yang pegal.

Selesai bersantap malam, kami jalan-jalan di antara lampu-lampu itu. Luar biasa, karena lampu-lampu itu diletakkan menghias seluruh gundukan tanah. Rasanya berjalan melayang di dunia mimpi yang magis tak nyata.  Saya sungguh mengagumi para pendekor kota yang benar-benar telah bekerja keras mempercantik kotanya, memberikan cahaya ke sudut-sudut kotanya, memberikan yang terbaik kepada siapapun yang melihatnya, turis maupun orang lokal. 

Bahkan di Yokohama, sekitar 50 menit berkereta dari Tokyo, saya melihat juga lampu-lampu yang memenuhi area serupa sebuah teater yang cekung. Melihat ini saya jadi ingin tahu apa yang sesungguhnya ada di pikiran orang-orang Jepang yang kebagian menghias itu.

Mungkin sedikit gila, dalam artian yang positif. 

Bisa jadi mereka juga sangat malu jika bekerja secara asal-asalan, karena setahu saya, mereka memiliki prinsip untuk mengutamakan orang lain, bukan diri sendiri. Satu prinsip yang sepertinya sudah langka ditemukan di Indonesia.

yokohama
Yokohama

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-49 ini bertema Lamplight agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…