A couple years ago I had a chance to visit Ubon Ratchathani, a nice border city in North-Eastern Thailand. And one of the sacred landmarks in Ubon Ratchathani is Wat Phra That Nong Bua, a must-see Buddhist temple. The gleaming gold and white chedi at this temple loosely resembles the Mahaboddhi stupa in Bodhgaya, India.
The temple is the place where Buddha relics are housed in the 55meter height square-based stupa and stands in the middle of a marble slabs, with smaller stupas at each corner in the inner yard. The people seem to keep the inner yard clean from the falling leaves of the trees surrounding the complex.
I took off my shoes to explore this beautiful temple which was built in 1956 to honor of 2500 years of Buddhism. I noticed in each corner of the main temple, there was decorated with a serpent with seven heads.
As other Buddhist temples in Thailand, I feel like the other visitors who can come at anytime, pay respect and experience peaceful nice environment.
Serpent with 7 heads
At The corner – Serpent with 7 heads
Stupa in the corner of inner yardWat Phra That Nong Bua
Mendarat transit di Don Muang Bangkok (on the way ke Thailand Timur dan Laos) memberi kenangan tersendiri bagi saya, memunculkan kembali rasa sentimentil. Sama seperti dulu saat pertama kali menginjakkan kaki di Bangkok untuk 1st solo-trip, saat bandara Suvarnabhumi belum berfungsi dan Don Muang masih menjadi satu-satunya bandara internasional di Bangkok. Segala sesuatu yang pertama kali memang berkesan manis. Bahkan kekumuhan Don Muang yang dulu tetap saya suka. Berkali-kali ke Bangkok baik bisnis maupun terbang bersama keluarga kebanyakan mendarat di Suvarnabhumi, sampai akhirnya penerbangan berbiaya rendah memindahkan operasinya ke Don Muang dan baru kali ini saya mendarat lagi di Don Muang. Sendiri. Rasanya sama, déjà vu, penuh keluarbiasaan…
Apalagi dalam trip kali ini, tak sedikit yang “untuk pertama kalinya”
Saya selalu teringat pertanyaan retorik yang memecut agar keluar dari comfort zone dan bisa terus bertumbuh, When was the last time you did something for the first time?
Ah, mungkin terasa sebagai alasan… Memang saya pernah ke Bangkok, tetapi bukankah ini kali pertama saya pergi ke Ubon Ratchathani dengan maskapai yang baru pertama kali saya gunakan?
Penerbangan Nok-Air selama satu jam ke Ubon Ratchathani atau biasa disingkat Ubon berlangsung nyaman, termasuk diberikan kue dan air kemasan mangkuk kecil. Beberapa saat setelah mendarat di bandara Ubon Ratchathani, -karena menggunakan SIM card TrueMove unlimited-, notifikasi Facebook mengingatkan tepat empat tahun lalu saya sedang berada di Chiang Rai, Thailand Utara, daerah yang terkenal dengan nama The Golden Triangle wilayah dengan tiga perbatasan, yaitu Laos, Myanmar dan Thailand. Dan kini saya dalam perjalanan memasuki The Emerald Triangle, wilayah dengan tiga perbatasan lainnya yaitu Laos, Cambodia dan Thailand. Tapi semoga empat tahun lagi saya sedang tidak berada di Bermuda Triangle hehehe…
Saya ikut antrian penumpang yang menanti taksi bandara. Udara akhir bulan April yang panas terasa menerpa wajah. Sungguh waktu yang tidak tepat untuk berkunjung ke Thailand ataupun Laos karena masih termasuk bulan panas terik. Tetapi apa sih yang bisa mengalahkan kegembiraan bisa jalan walau terik sekalipun?
Wat Ban Na Muang
Berdekatan dengan bandara Ubon, saya mampir sebentar untuk melihat keindahan kompleks kuil yang disebut juga dengan Wat Sa Prasan Suk ini. Kompleks ini terkenal dengan replika kuil kerajaan diatas perahu panjang, baik yang dibangun diatas kolam maupun yang diatas daratan. Saya terkagum dengan gerbangnya berupa seseorang yang mengendarai gajah berkepala tiga, yang biasa dikenal di Thailand sebagai Erawan. Hmm, saya terpikir percampuran manis Hindu dalam praktek Buddha yang terjadi di Thailand ini, karena yang terlintas dalam benak adalah dewa Indra sedang menaiki Airawatha dalam filosofi Hindu.
The Main ‘Barge’ of Wat Ban Na Muang, Ubon Ratchathani
Saya disambut dengan kemegahan perahu panjang penuh ukiran yang sangat indah dan detail. Jika diperhatikan dengan seksama, bisa dilihat badan ular berkepala tujuh keluar dari mulut Naga sebagai batas dari replika perahu panjang lengkap dengan bangunan kuil di tengah-tengah dan patung para pendayung dan penjaganya.
The Main ‘Barge’ of Wat Ban Na Muang, Ubon
Sculpture in Wat Phra That Nong Bua
The Temple in ‘Barge’ of Wat Ban Na Muang, Ubon Ratchathani
Inside the Temple of the Main ‘Barge’ of Wat Ban Na Muang, Ubon
Gate of Wat Ban Na Muang
The door’s Carvings on Temple in Wat Ban Na Muang, Ubon
Tak jauh dari replika perahu panjang, terdapat patung Buddha keemasan yang cukup besar dengan sebuah patung biksu yang lebih kecil berada di depan Buddha di atas sebuah pelataran. Tetapi terik matahari cukup membuat keringat mengucur sehingga membatalkan saya untuk menjelajah pelataran atas itu.
Big Buddha on Wat Ban Na Muang, Ubon
Sebuah bangunan dengan bentuk atap cantik khas Thailand didirikan didekatnya untuk meletakkan genta-genta. Latar yang bagus sekali walaupun panas menyelimuti kompleks ini. Hanya ada sesuatu yang sedikit mengganggu diantara keindahan kompleks yaitu adanya beberapa makam yang tepat berada di dekat bangunan-bangunan indah itu. Meskipun keadaan makam terawat dengan baik, tetap saja terlihat janggal.
The House of Bells in Wat Ban Na Muang, Ubon
Replica of Royal Barge in Wat Ban Na Muang
A Shrine in Wat Ban Na Muang
Melangkah mendekati kolam dengan air yang sedikit menyejukkan udara sekitar, terlihat lagi sebuah bangunan semen berbentuk perahu panjang dengan kuil kecil khas Thailand di tengahnya. Di ujungnya berhias Naga berkepala tujuh. Pernah lihat yang berkepala sembilan atau sebelas?
Matahari mulai tergelincir meninggalkan ketinggiannya, saya harus bergegas ke destinasi berikutnya karena waktu saya di Ubon hanya setengah hari ini.
Wat Phra That Nong Bua
Setelah berberes sebentar di penginapan, saya bergegas lagi menuju salah satu landmark suci kota Ubon yang must-see karena menyerupai Kuil Mahabodhi di Bodhgaya, India. Saya naik tuktuk kesana tetapi karena masalah bahasa, saya diturunkan di pasar dekat kuil. Ya sudahlah, untung saja puncak bangunan terlihat dari pasar sehingga saya bisa berjalan kaki kesitu. Coba kalau puncaknya tak terlihat, apa yang akan terjadi?
Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Inside Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Sekelompok orang sedang melakukan persiapan doa di pelataran luar, sehingga saya melipir kearah lain untuk mengambil foto. Setiap sudut diberi stupa berbentuk serupa hingga menambah manis taman yang tertata dengan apiknya di halaman dalam. Seorang petugas tampak tak henti membersihkan pelataran dari daun-daun yang jatuh. Tak jauh dari saya berdiri, dua perempuan muda duduk di halaman dengan buku di pangkuan sepertinya sedang belajar dan seperti umumnya monasteries dimanapun, suasana hening dan damai juga terasa di sini.
Nice inner yard of Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Dengan melepas alas kaki saya mengelilingi bangunan kuil yang dibangun tahun 1956 ini. Empat pintu berukir di tiap sisi diapit empat patung Buddha berdiri pada tiap sisi di kanan kiri pintu. Panel-panel cerita Jataka, -cerita kehidupan Buddha-, menghiasi tiap sisi bangunan dengan indahnya dengan hiasan naga berkepala tujuh di tiap sudutnya.
The tales of Jataka on Wat Phra That Nong Bua
Decor on Wat Phra That Nong Bua
A Corner in Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Masuk ke bangunan utama, saya terpesona melihat isinya yang serba keemasan. Empat Patung Buddha berlapis emas menghadap tiap pintu, -menggambarkan Kelahiran, Mendapatkan Pencerahan, Pemberian Wejangan dan Saat Mangkat dari Buddha Gautama-, keempatnya membelakangi stupa Mahabodhi berlapis emas yang lebih kecil dan mengerucut ke atas yang menyimpan relic. Langit-langit tinggi menjulang dengan penyangga berhias berwarna merah. Dengan penerangan dari lampu chandelier yang cantik menambah rasa mewah tempat ibadah ini. Dua orang bersimpuh dalam hening di depan Buddha, seperti tak peduli akan kehadiran turis disitu.
Keluar meninggalkan bangunan utama, saya melangkah ke bangunan lain berbentuk bangsal besar yang sunyi di halaman sebelah. Di sisi depan terdapat patung Buddha yang cukup besar dengan patung Buddha Berbaring di belakang atasnya. Sepinya terasa menggigit sehingga saya cepat-cepat meninggalkan ruangan itu setelah mengambil foto. Apakah ini tempat untuk…? Hmmm… mungkin saja!
Inside of A Building in Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Di halaman luarnya terdapat karya seni berhias khas Thailand yang mengambil kisah-kisah epos Ramayana, termasuk pertempuran Garuda dan Naga yang dibuat dengan sangat indah. Saya menyelami keindahan Theravada Buddha yang dianut oleh masyarakat Thailand ini. Buddha yang khas, seperti juga di Laos dan Cambodia, praktek Buddha disini diwarnai oleh pengaruh Hindu, bercampur dalam damai. Bagaimana mungkin saya mengabaikan pengaruh Hindu yang kuat jika Raja-raja Thailand bermula dengan nama-nama Rama dan berlanjut saat ini dengan dinasti MahaChakri juga nama Ayutthaya yang konon berakar dari kata Ayodya?
Garuda as part of the Sculpture in Wat Phra That Nong Bua, Ubon
The Sculpture in Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Another Sculpture in Wat Phra That Nong Bua, Ubon
Saya meninggalkan Wat Phra That Nong Bua sebelum gelap karena saya tak mengenal wilayah sekitar itu. 500 meter berjalan kaki menuju jalan besar, saya tak menemui halte bus atau tuktuk. Celaka dua belas. Ini terlalu jauh jika jalan kaki ke penginapan. Tapi tak ada cara lain, tetap harus jalan kaki. Sebuah mal cukup besar terlihat di depan mata, saya menggembirakan hati paling tidak jarak 2 kilometer masih bisa dijalani. Pasti ada kendaraan umum disana. Semangat saya bergerak kearah mal, tapi bukan untuk belanja 🙂
Taman Thung Si Meuang
Sebisa mungkin saya mengeringkan keringat yang mengucur sebelum naik taksi, tetapi metabolisme tubuh saya luar biasa, tubuh ini masih saja mengucurkan keringat walaupun sudah duduk beberapa menit di teras luar mal. Tak mau berlama-lama, dengan setengah berkeringat saya naik taksi menuju taman Thung Si Meuang, taman kota Ubon Ratchathani. Semoga pak sopir tidak pingsan karena mencium keringat saya 😀 namun syukurlah… ternyata jauh juga kalau harus jalan kaki hehehe…
Garuda and Candle
The Shrine of City Pillars of Ubon Ratchathani
The Garuda in Thung Si Muang Park
Di Taman kota Thung Si Meuang terdapat dua ikon kota yang menarik, Salah satunya adalah monumen lilin raksasa keemasan yang berukir dalam sebuah wahana yang diujungnya terdapat Garuda dengan sayap terkembang. Dengan latar senja jelang malam, ikon kota Ubon Ratchathani itu terlihat berkilau. Cantik sekali. Monumen lilin raksasa ini ditempatkan di ujung sebuah tanah lapang yang saat saya datang dipenuhi oleh orang-orang yang sedang berolahraga. Saya tak dapat membayangkan bagaimana penuhnya tempat ini setiap bulan Juli karena menjadi pusat Festival Lilin. Tertarik untuk datang untuk meramaikan festival Lilin ini?
Giant Candle and Garuda in Thung Si Muang Park, Ubon
Melangkah sedikit ke Selatan, saya duduk di pinggir kolam sambil melihat Bilik Puja (Shrine) yang berisikan Pilar kota. Sayangnya ketika itu Pilar Kota cukup dipenuhi orang sehingga saya hanya bisa mengabadikan dari jauh.
Saya bergerak kembali seperti malam yang merangkak naik, tampak kesibukan di bagian jalan yang membelah taman Thung Si Meuang ini. Sepertinya ada gelaran pasar malam jelang akhir minggu. Saya hanya melihat-lihat sebentar sambil melangkah menuju penginapan sekalian mencari-cari makanan yang terlihat menarik. Akhirnya nasi goreng udang khas Thailand ditenteng ke penginapan yang tak jauh lagi. Setelah mandi keringat karena berjalan cukup jauh dari Wat Phra That Nong Bua hingga Mal, saya perlu berlama-lama menikmati mandi yang menyegarkan.
Meskipun hanya tersedia waktu setengah hari bagi saya untuk menjelajah Ubon Ratchathani, saya telah meninggalkan jejak di kota yang berada di Thailand Timur ini. Memang masih banyak tempat cantik yang bisa dikunjungi tetapi lagi-lagi waktu bukanlah milik saya. Besok perjalanan menanti dengan keseruan lainnya. Lintas batas Negara menanti. Ini pasti lebih adventurous…
Setelah tahun 2012 saya mengunjungi kota Luang Prabang yang terkenal sebagai UNESCO World Heritage City dan Vientiane, ibukota negara Lao PDR, yang keduanya terletak di bagian Utara, saya masih meninggalkan satu UNESCO World Heritage Site di Laos, yaitu Wat Phou yang terletak di propinsi Champasak di bagian Selatan bumi Laos. Wat Phou inilah yang kerap memanggil saya untuk datang menjejakkan kaki. Sebagai penggemar candi, apalagi yang masih berkerabat dengan candi Angkorian atau Champa, by any means, dengan segala cara akan saya upayakan datang hehehe…
One of the galleries of Wat Phou Champasak, Southern Lao PDR
Karena lokasi Wat Phou cukup remote, seakan berada di negeri antah berantah, dan agak jauh dari kota-kota besar maka saya harus melakukan persiapan perjalanan dengan lebih baik. Tetapi herannya sebaik apapun persiapan perjalanan saya, selalu saja pada kenyataannya bisa berbeda dan bagi saya itu semua yang memberi warna dalam sebuah perjalanan. Atau mungkin saya sendiri yang memang pada dasarnya tidak suka terlalu terpaku pada itinerary…
Tetapi yang pasti setelah mengalah terhadap undangan dan panggilan tak henti dari Wat Phou itu, saya mulai serius mempersiapkan perjalanan itu. Paling tidak saya bisa menyelinap pergi kesana sepanjang akhir pekan dengan tambahan satu atau dua hari cuti. Laos bukan negeri jauh, masih di kawasan Asia Tenggara yang relatif dekat dengan Indonesia tercinta. Tinggal mengatur bagaimana cara saya sampai ke Wat Phou itu…
Dan satu roti pun cukup sebagai makan siang demi berkencan dengan simbah gugel untuk perjalanan ini…
Pakse, ibukota propinsi Champasak di Laos Selatan merupakan kota terdekat untuk mencapai Wat Phou dan saya menandai sebagai base sementara saya di Laos. Paling tidak untuk contingency atau emergency, di Pakse terdapat bandara internasional (hehehe… ini kebiasaan mencari escape point)
Sedikit lebih jauh dengan Laos atau secara resmi disebut dengan Lao People’s Democratic Republic (Lao PDR) merupakan negara yang landlocked, yaitu negara yang seluruh perbatasannya dengan negara lain hanya berupa daratan dengan kondisi sungai dianggap sebagai bagian dari daratan. Laos sendiri berbatas dengan Myanmar dan China (di Barat Laut), Vietnam (di Timur), Cambodia (di Selatan) dan Thailand (di Barat). Untuk mudahnya membayangkan, jika Vietnam sepanjang pesisir Indochina yang melekuk seksi dan Thailand dan Cambodia yang berada di bagian dalam teluk, maka Laos merupakan negara yang terjepit diantara ketiganya. Kalau masih belum bisa membayangkan, ya… buka petanya saja, yang pasti Laos bukan berada di Afrika atau di Amerika, tetapi laos suka ada di dapur sih…
Dusk in Pakse, Southern Lao PDR
Bagaimana cara mencapai Pakse?
Pilihan terbang yang merogoh kantong lebih dalam memang berat namun hampir selalu menjadi pilihan bagi saya yang masih jadi karyawan fakir cuti. Terbang dengan rute internasional ke Pakse bisa dari HCMC (Vietnam), Siem Reap (Cambodia) dan Bangkok (Thailand) dan dengan rute domestik tentu saja bisa dilakukan dari Vientiane (ibukota Lao PDR). Jangan tanya harganya… mahal booo’
Dengan beranggapan biasanya rute domestik lebih murah, awalnya saya ingin terbang dari Vientiane ke Pakse, tetapi setelah mengetahui harga tiketnya sekitar 1 jutaan sekali terbang, -yang artinya sama dengan rute terbang internasional dari Siem Reap maupun HCMC ke Pakse-, saya mencoret pilihan terbang ini. Kan saya harus menghitung dana untuk terbang dari Jakarta ke kota-kota hub itu juga kan?
Pertimbangan lain, berdasarkan pengalaman sebelumnya, penerbangan domestik di Laos biasanya menggunakan jenis pesawat ATR72, pesawat baling-baling. Demikian juga penerbangan dari Siem Reap yang juga menggunakan tipe pesawat ATR72 yang walaupun termasuk baru, buat saya tetap tidak sreg. Dan yang lebih memastikan saya mencoret pilihan terbang ini adalah karena setahun atau dua tahun lalu pernah terjadi insiden pesawat jatuh dan tenggelam di Sungai Mekong saat landing ke Pakse walaupun itu lebih disebabkan karena faktor alam. Lhaaa… Pakse itu di pinggir Sungai Mekong Saudara-saudara…
Via Ubon Ratchathani
Dan tanpa disangka sepotong roti bekal makan siang membuahkan hasil, simbah gugel memberi link untuk terbang ke Ubon Ratchathani, sebuah kota cukup besar di Timur Thailand, dekat perbatasan dengan Laos dan dari sana bisa melanjutkan perjalanan dengan bus sampai Pakse. This is awesome…
Thung Si Muang – City Landmark of Ubon Ratchathani, Thailand
Inilah makna jika sudah berkehendak baik, Semesta pun mendukung… Ke Ubon Ratchathani (atau biasa disingkat dengan Ubon) bisa menggunakan berbagai moda transportasi, pesawat terbang, kereta, bus (termasuk sleeper bus), kendaraan pribadi, bersepeda atau jalan kaki hehehe…
Ah saya bisa kembali ke Bangkok, kota pertama solo-trip saya bertahun-tahun lalu, kota gemerlap yang membuat degup jantung lebih kencang karena adrenalin yang mengalir (solo-traveler pasti mengenal rasa ini saat pertama kali jalan). Dan saya tidak pernah menyelesaikan semua tempat-tempat wisata di Bangkok, agar saya bisa kembali lagi ke kota ini… Dan saya pasti kembali ke Bangkok dalam perjalanan saya ke Wat Phou kali ini..
Jika hendak terbang dari Bangkok ke Ubon bisa menggunakan yang low-cost Air Asia, Nok Air, Thai Lion Air, Thai Smile (dibawah manajemen Royal Thai Airways) dan lain-lain… Harga promo terbang sekitar 700 Baht. Mau menghemat Baht? Ya bisa menggunakan kereta api. Berangkatnya dari Hua Lamphong, dengan jadwal pagi, senja dan malam, ditempuh dalam waktu 9-12 jam, tergantung pilihan jenis keretanya dengan harga sekitaran 100 ribu hingga 400 ribu Rupiah tergantung kelas tempat duduknya. Pilihan menarik lainnya dengan bus VIP. Berangkat dari terminal Morchit dengan jadwal pagi, sore dan malam, lama perjalanan sekitar 9 jam dengan harga sekitar 200 ribuan Rupiah.
Kalau saya memilih menggunakan pesawat terbang, hanya karena pertimbangan waktu. Saya berangkat dari Jakarta ke Bangkok dengan pesawat pertama dan langsung lanjut ke Ubon sehingga saya bisa menjelajah kota Ubon dari siang hingga malam sehingga paginya bisa langsung ke perbatasan. Saya memilih menggunakan Nok-Air yang juga berangkat dari Don Muang namun berbeda terminal dan 1 jam perjalanan ke Ubon itu saya diberikan snack dan air kemasan kecil. Sangat lumayan dengan harga yang beda sedikit dengan 2nd class sleeper train atau Bus VIP 32 kursi.
Saya belum pernah ke Ubon Ratchathani sehingga saya ingin tahu juga bagaimana kondisi kota yang sebalah timur Thailand yang dekat perbatasan dengan Laos itu.
Melintas Batas Negara Sesuai Keinginan
Sepotong roti bekal makan siang waktu itu yang membawa saya bisa ke Pakse via Ubon Ratchathani masih meninggalkan godaan. Ah, saya memang mudah tergoda untuk hal-hal yang bisa mendesirkan adrenalin lebih cepat…
Sebenarnya ada bus VIP Internasional yang berangkat dari Ubon ke Pakse dan sebaliknya, non-stop, cepat dan ringkat, berangkat dari terminal bus di utara kota Ubon pada pk 08.30 dan sampai ke perbatasan sekitar satu jam kemudian, lalu menunggu seluruh penumpang memproses keimigrasian sekitar 30 menit sampai 1 jam dan melanjutkan perjalanan ke Pakse untuk satu jam selanjutnya. Mudah sekali kan? Saya sebagai penumpang tinggal duduk hingga perbatasan, lalu mengurus keimigrasian untuk keluar dari Thailand dan masuk ke Laos kemudian duduk cantik lagi di bus hingga Pakse. Dan tiket bus itu 200 Baht (sekitar 75ribu Rupiah).
Nah yang membuat saya tergoda adalah saya harus menunggu hingga pukul 8.30 lalu sekitar 3 jam perjalanan menjadikan saya baru sampai di Pakse sekitar tengah hari, padahal saya ingin sekali bisa berlama-lama di Wat Phou. Belum lagi dari Pakse ke Wat Phou yang perlu waktu 40 menit sampai 1 jam naik kendaraan umum. Bisa-bisa saya hanya secepat angin berada di Wat Phou…
Jika saya bisa berangkat jam enam pagi dari Ubon, by any means, ke perbatasan lalu secepat kilat mengurus imigrasi karena sebagai penduduk ASEAN kita hanya perlu kurang dari 5 menit untuk cap-cap pada paspor, kemudian berangkat lagi ke Pakse, lagi-lagi by any means… saya pasti lebih cepat mencapai Pakse. Saya tahu ada harga pengorbanan yang harus dibayar, tetapi ketika bicara soal kecintaan pada World Heritage Site tentu akan saya pertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Mungkinkah Semesta mendukung agar saya bisa sampai menjejak di Wat Phou lebih cepat…?
From Ubon to Thai-Laos Border, to Pakse to Wat Phu Champasak
Bisa pergi tapi pulangnya…?
Lalu sampai Pakse apakah masalahnya sudah selesai? Ternyata belum… Untuk ke Wat Phou harus naik bus ke Champasak, sebuah kota kecil dengan satu jalan besar, lalu dilanjutkan naik tuktuk ke Wat Phou. Yang seru, dari Pakse ke Champasak tersedia bus umum namun jadwalnya hanya ada dua kali sehari, pagi dan siang! Demikian juga di Champasak. Akibatnya, kalau terlambat sampai Champasak dari Wat Phou, pilihannya tinggal dua: silakan jalan kaki kembali ke Pakse atau menginap di Champasak! Waaks!
Oh Tuhan, ini di luar dugaan sama sekali. Saya terbiasa dengan banyaknya moda transportasi di wilayah destinasi, kali ini benar-benar di luar perhitungan saya. Bisa pergi, tetapi tidak bisa kembali…? Luar biasa
Masalah sebenarnya bisa diatasi dengan menyewa motor sekitar 50000 Kips per hari (sekitar US$7) di Pakse, tetapi saya tidak berani mengendarai motor dari Pakse hingga Wat Phou dengan kondisi jalan di kanan dan panaaaaasss luar biasa, juga karena saya sama sekali tidak mengenal wilayah itu sama sekali. Tetapi selalu ada berita baik ketika semua jalan terlihat buntu. Saya mendapat kabar bahwa kita bisa menyewa tuktuk seharian untuk keperluan itu. Wow… Amazing. Lagi-lagi impian saya terlihat semakin nyata.
Penginapan
Seperti biasanya jika di sebuah kota dekat dengan sebuah World Heritage Site, pastilah di kota itu tersedia hotel berbintang dari yang mahal hingga penginapan murah meriah. Saya selalu memilih penginapan yang memiliki review bagus di dekat pusat keramaian. Tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah juga, dengan demikian saya akan mudah mencari makan atau sekedar jalan-jalan keliling kota.
Tetapi entah kenapa kali ini saya juga menambahkan pencarian apakah penginapan yang saya pesan itu termasuk ghost hotel atau bukan. Bisa jadi karena saya membaca ada sebuah hotel terkenal di Pakse yang dibangun sejak berakhirnya kerajaan di Laos dan ditinggalkan begitu saja dan sekarang digunakan sebagai hotel. Hahaha… mungkin saya salah ya, tetapi segala sesuatu bisa terjadi kan? Benar-benar tidak lucu kan kalau sampai terbangun malam-malam karena melihat yang datang dari alam lain hehehe…
Cerita detail tentang perjalanan di Laos Selatan menyusul ya…