Wayang dan Museumnya


 

Terik matahari sudah berkurang meskipun belum sepenuhnya reda. Dengan bergegas karena takut segera tutup, saya meninggalkan rumah makan di kawasan kota tua itu lalu menuju Museum Wayang karena lokasinya hanya selemparan batu dari situ.

Setelah membeli tiket yang harganya hanya Rp 5000,00 saya masuk ke dalam tanpa lupa bertanya jam tutupnya. Petugas menjawabnya seperti asal saja, yang katanya hingga pengunjung terakhir keluar. Entah apa maksudnya, apakah dia sungguh-sungguh mau menunggu hingga pengunjung terakhir keluar, -hal itu bisa jadi bumerang baginya sebab siapa tahu pengunjungnya adalah penggila wayang yang mau berjam-jam di sana-. Ataukah karena sangat sedikit pengunjung museum sehingga ia yakin dan tahu pasti bahwa pada jam tertentu akhirnya tidak akan ada pengunjung baru. Kok saya miris ya?

DSC09052
Baratayudha – The War

Meskipun tidak dibesarkan dalam keluarga yang suka nonton wayang, saya cukup mengenal kisah-kisahnya. Kisahnya ya, bukan wayangnya. Di Indonesia pertunjukan wayang biasanya mengambil kisah-kisah dari epos Ramayana atau Mahabharata dengan tambahan ciri khas masing-masing daerah meskipun ada juga yang mengambil kisah sehari-hari. Jadi, entah itu wayang dari Jawa atau Sunda atau Bali, apabila membicarakan Dewi Sinta, itu artinya ya istrinya Rama. Atau, jika bicara Drona ya artinya gurunya Pandawa dan Kurawa. Sesederhana itukah?

Ternyata tidak! Dari kunjungan ini, saya tahu bahwa saya sama sekali tidak tahu apa-apa tentang wayang, juga kisahnya! Yang saya tahu hanya sebagian kecil saja dari begitu banyak variasi wayang yang ada di Indonesia ini.

Dengan bermodal ilmu kira-kira, saya disambut wayang segede gaban di dekat pintu masuk lalu lorong panjang yang memamerkan banyak wayang. Di sini lebih banyak dipamerkan wayang golek Bandung yang memang terlihat kualitasnya yang terpelihara dengan baik.

DSC09006
Wayang Golek Bandung

Ups, saya baru sadar bahwa Museum Wayang ini dulunya adalah gereja tua yang sekaligus menjadi tempat prasastinya Jan Pieterson Coen dan masih banyak prasasti-prasasti lain yang mengingatkan saya bahwa disana dibaringkan tubuh-tubuh mereka. Hmmm… mengapa auranya menjadi mistis begini yaaa… lalu kemana semua orang yang tadi ada? Mendadak saya berasa lebih dingin dan saya cepat-cepat pergi dari situ.

Ruangan selanjutnya membuat saya lebih tak nyaman. Ada boneka Sigale, yang secara tradisi katanya, sering digunakan juga untuk memanggil arwah. Boneka Sigale yang ada di balik ruang kaca ini, apakah juga dulu pernah dijadikan sebagai media pemanggilan arwah? Uuuh… kenapa sih pakaiannya harus putih begitu?  Tadinya saya mau upload fotonya, tapi setelah dipikir-pikir nanti malah takut, jadi saya batalkan uploadnya. Dan tak jauh dari boneka Sigale, juga ada boneka Si Manis, -dengan kisah horornya-, yang tentunya menambah suasana tak nyaman di sana. Ini kenapa Museum Wayang yang tempatnya udah berbau horor juga mengoleksi item yang horor-horor?

Tak luput dipamerkan pula boneka dengan Kisah Si Pitung (Sudah datang ke rumahnya? Saya sudah!) Jadi ingat, bukankah kisah Si Pitung juga penuh kontroversi dan katanya, punya daya sakti yang membuat Belanda gagal terus menangkapnya?

Seingat saya setiap pertunjukan wayang pasti dimulai dengan ditampilkannya gunungan dan biasanya gunungan itu cantik-cantik. Dan saya selalu kagum dengan gunungan-gunungan yang ada di Museum Wayang. Dan di museum ini saya baru tau makna-makna di hampir setiap sudut wayang kulit. Wow, ini beneran setiap sudutnya memiliki arti. Tidak heran semua penggemar wayang yang sejati langsung mengenal sebuah wayang ditunjukkan padanya. Tidak seperti saya. Saya hanya kenal punakawan, meskipun sering juga terbalik antara Bagong dan Semar.

Dari kisah-kisahnya yang mengambil dari Mahabharata, saya sebagai penggemar Kresna hanya tersenyum-senyum sendiri ketika melihat wayang Kresna yang sedang melakukan Triwikrama, yang ditampilkan seperti raksasa. Jadi inilah penggambaran Triwikarma dalam tradisi wayang tersebut.

DSC09063
Trivikarma of Krishna

Saya masih berkeliling dan menemukan boneka-boneka yang digunakan dalam sebuah pertunjukan tradisional seperti dari Malaysia, Vietnam, Kamboja, Russia, China dan lain-lain.

Tapi yang membuat saya terpesona adalah banyaknya versi wayang yang ditampilkan di Museum ini. Bahkan wayang kulit pun ada kategorinya, ada yang berukuran normal maupun berukuran lebih kecil yang akan dimainkan oleh anak-anak yang memiliki bakat sebagai dalang. Jika saya disodorkan wayang, saya tak pernah tahu bahwa ukuran yang satu lebih kecil dengan wayang yang lain.

Ada juga wayang lidi! wayang yang terbuat dari lidi yang diambil dari pohon kelapa itu. Hebatnya bisa dianyam sehingga membentuk wayang. Uh, jika saya yang membuat, lidinya pasti sudah patah dimana-mana. Sungguh, saya terkagum-kagum dengan wayang ini. Kagum dengan cara membuatnya!

DSC09162
Wayang Lidi

Dari ilmu sejarah yang saya dapat disekolah, dulu wayang juga merupakan alat syiar agama Islam di dalam masyarakat meskipun berkembang pula wayang wahyu, yaitu wayang yang digunakan untuk menyebarkan agama Nasrani. Pernah lihat wayang wahyu? Lihat gambarnya saja sudah dapat diidentifikasi. Dan tidak untuk syiar saja, untuk membangkitkan semangat juang, juga menggunakan wayang. Makanya ada yang namanya wayang revolusi! Asyik kan?

Dan wayang memang pantas mendapat gelar sebagai salah satu dari The Masterpieces of Oral and Intangible Cultural Heritage, -yang diberikan UNESCO pada tanggal 7 November 2003. Karena memang wayang ada di sudut-sudut Indonesia. Ada wayang dari Palembang, Bali, Lombok dan lain-lain selain Jawa dan Sunda yang lebih sering dikenal.

Jadi seru juga datang ke Museum Wayang. Selain ada rasa ngeri-ngeri sedap gitu, ada juga pengetahuan tentang wayang dari berbagai tempat. Belum lagi topeng-topengnya atau perangkat gamelannya.

Ayooo… agendakan akhir pekan ini ke Museum Wayang di Kota Tua, Jakarta…


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-36 ini bertema Traditional agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Myanmar Trip: My Pre-Water Festival Menu


Terus terang, saya bukanlah pencinta kuliner, karena saya termasuk kategori picky kelas berat alias sangat pemilih dalam hal makanan. Untuk daging-dagingan, saya hanya makan daging ayam dan sapi meskipun sekarang karena pertimbangan kesehatan saya semakin jarang makan daging sapi. Untuk makanan laut, saya masih bisa makan ikan, kepiting dan udang. Saya tidak memakan jeroan dari hewan apapun, bahkan saya tidak makan kambing, kelinci, kerang, cumi, gurita. Jadi sedikit kan variasi makanannya? Tapi saya tetap menikmati makanan meskipun dengan menu yang itu-itu saja dan tetap gendut 😀

Nah apalagi ketika melakukan perjalanan. Saya yang pemilih ini cenderung menon-aktifkan keinginan mau makan dan lebih memilih menghabiskan waktu untuk menikmati obyek-obyek wisatanya. Kadang saya baru tersadarkan karena waktu makan sudah jauh terlewati atau bahkan bisa digabung dengan waktu makan berikutnya. Jadi ketika ada ajakan teman melakukan acara kuliner atau wisata kuliner, saya hanya bisa tersenyum kecut karena itu bukan saya banget.

Kata seorang sahabat, kebiasaan ‘picky’ itu karena saya tidak mau melihat sisi lain dari makanan selain untuk dimakan dan juga tidak mau memperluas variasi makanan yang masuk ke perut itu.  Mungkin ada benarnya juga sih…

Jadi saya perlu belajar makan…

Oleh sebab itu, ketika ke Danau Inle, Myanmar, saya meluangkan waktu untuk dinner makanan lokal di hotel bertepatan dengan promosi Pre-Water Festival yang ada saat itu. Water Festival merupakan perayaan menyambut tahun baru yang biasa dilakukan di negara-negara Buddhist di kawasan Asia Tenggara, sama seperti Songkran di Thailand.

Tetapi sebelum memesan, saya berperang dalam hati bagaimana jika tidak cocok rasanya, apakah lebih baik saya memesan nasi goreng atau mie goreng seperti biasanya atau makanan  lainnya yang sudah saya kenal? Tetapi kapan lagi bisa punya kesempatan menikmati satu set makanan lokal yang tidak datang setiap hari? Namun setelah beberapa saat, akhirnya saya memenangkan pilihan yang berbeda dari biasanya. Bukankah saya harus berani keluar dari comfort zone? 😀

Menunya kedengarannya hebat dan saya membayangkannya juga keren.

Rissoler Lotus Root

Makanan ini merupakan hidangan pembuka. Ketika disajikan di depan saya, entah mengapa saya membayangkan gorengan bakwan yang crunchy banget. Dan dengan setinggi harapan menggigit makanan yang akan menerbitkan air liur, saya mencobanya. Tapi garingnya tidak sesuai kenyataan, rasanya juga B-aja. Saya seharusnya cepat menyadari bahwa yang saya makan itu adalah akar bunga lotus!

Myanmar2
The Starter – Risoller Lotus Root

 

Atar Tagu Nwae Ma Achin Hinn

Makanan berikutnya yang susah diucapkan itu datang berupa sup daun akasia dan ikan. Dan lidah saya yang picky ini bisa menerima santapan berkuah yang sedikit asam. Kombinasi rasa asam dan ikan menetralkan rasa daun akasia yang terasa asing pada lidah. Belakangan saya baru tahu bahwa daun akasia itu ternyata bagus untuk mengatur kadar gula. Duh, makanan herbal dong…

Mya Nandar Myanmar Curry & Fried Morning Glory – The Course

Saya mungkin terbiasa terpesona dengan besar atau hebohnya saat hidangan utama disajikan, sehingga saya menunggu dengan debar tersendiri saat hidangan utama belum datang. Dan ketika saatnya datang, saya tetap terperangah…

Myanmar3
Pre Water Festival Menu

Hidangan utama itu datang dalam mangkuk kecil berisikan ikan rebus dan potongan nangka dengan saus kari. Saus karinya enak, meskipun B-aja. Ikannya juga cukup menarik rasanya, meskipun jumlahnya sedikit. Dan saat menggigit nangka, saya jadi teringat makan gudeg-gudegan, istilah saya akan gudeg yang belum masuk kategori gudeg.

Hidangan utama didampingi dengan mangkuk keripik berisi tumis kangkung. Saat melihat tumis kangkung, saya langsung tersenyum lebar tersadarkan, karena saat membaca menu Fried Morning Glory, saya sama sekali tidak sadar nama itu merupakan nama lain dari kangkung. Namanya keren yaa…?

Tangyuan & Fried Ice Cream Rolls

Sebagai penutup saya mendapatkan bola-bola Tangyuan dalam kuah apel, yang lagi-lagi bagi saya B-aja. Mungkin memang lidah saya yang tidak pandai menyesuaikan diri sehingga nilainya selalu B-aja.

Dan untuk menghadiahkan diri sendiri berhasil makan makanan lokal apapun rasanya, saya memesan minuman Banana Lassi dan tambahan makanan penutup: Es Krim Goreng Gulung, yang bagi saya paling juara enaknya malam itu. Untuk mendapatkan es krim goreng gulung ini, saya harus menyaksikan demo pembuatannya dan memang es krim itu dipanaskan sehingga keras dan ketika waktunya tepat, penyajinya langsung menggulung es-krim itu. Rasanya dengan lelehan coklat tentunya sangat lezat. Es krim mana sih yang tidak lezat?

Sepanjang jalan menuju kamar, rasa es krim goreng gulung dan banana lassi sepertinya masih tertinggal di mulut. Ah, kalau sudah begini, kapan bisa menambah variasi makanan?


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas challenge yang kami, CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti ciptakan sebagai pengganti Weekly Photo Challenge dari WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-17 ini bertemakan Food agar kami berdua terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…