Melintas Perbatasan Chong Mek Thailand ke Vangtao Laos Selatan


Mendung masih menyelimuti langit Ubon walaupun matahari sudah terbit dari tadi, tetapi saya sudah siap meninggalkan penginapan. Saya merasa terlambat, seharusnya saya sudah di jalan menuju perbatasan. Untung saja sudah ada petugas di balik konter penginapan itu. Sambil memproses check-out saya minta bantuannya untuk mencarikan tuktuk agar bisa sampai ke terminal bus yang akan membawa saya ke Pakse di Laos.

Entah kenapa saya terpikir untuk mempercepat perjalanan ke perbatasan ini. Bus internasional yang akan melintas perbatasan baru akan berangkat dari terminal Ubon Ratchathani sekitar pukul 08.30, artinya saya harus menunggu dua jam lebih demi membayar 200baht ke Pakse. Padahal dalam dua jam itu saya sudah bisa melampaui perbatasan. Hmm… saya berpikir keras dan menimbang-nimbang karena tidak yakin ada kendaraan umum yang bisa non-stop dari Ubon Ratchathani ke perbatasan di Chong Mek, selain taksi. Bus ada, tetapi pasti lama karena sering berhenti di banyak tempat. Pilihan lain adalah naik Songthaew, sejenis angkot yang lebih besar, tetapi biasanya gonta-ganti yang tak jelas di Phibun Mangsahan, kota kecil diantara Ubon Ratchathani dan Chong Mek. Bus atau Songthaew pasti lebih murah dari 200Baht tetapi waktu jadi tak pasti. Padahal saya sedang berlomba dengan waktu untuk mencapai Wat Phou di Champasak, hari ini.

Demi cinta (uhuk!) saya bersedia merogoh kantong lebih dalam. Saya memutuskan untuk naik taksi demi sebuah Wat Phou yang kian jelas memanggil dari Champasak. 1000Baht! Itu artinya lima kali bolak-balik Ubon – Pakse naik bus internasional.

Akhirnya saya batalkan pesanan tuktuk dan minta dicarikan taksi yang bersedia ke Chong Mek di pagi hari itu dan keberuntungan selalu datang buat siapa saja yang bangun pagi. Seorang pemuda yang sepertinya masih relasi dari pemilik hotel yang sedang membersihkan kendaraan, bersedia mengantar ke perbatasan. Jadilah saya naik Honda city dari Ubon Ratchathani ke Chong Mek sepanjang 90km.

Jalan-jalan luar kota di Thailand lebar dan tertata rapi. Beruntunglah saya bisa naik mobil menikmati perjalanan darat yang menyenangkan. Sebuah kemewahan tersendiri, bisa lancar melalui jalan lingkar kota Phibun Mangsahan. Pemuda baik hati itu juga melambatkan laju kendaraan agar saya bisa mengambil foto waduk Sirindhorn yang terlihat dari jalan.

Sekitar satu jam saya telah sampai di Chong Mek. Pengennya sih bisa berteriak, Borderrrr…!!!

Immigration Building in Chong Mek, Thailand
Immigration Building in Chong Mek, Thailand

Sepanjang perjalanan saya selama ini, selain Singapore – Johor Bahru di Malaysia dengan kereta api, dan Lowu di Hong Kong dengan Shenzhen di China, saya belum pernah melintas perbatasan via darat. Dan hari ini pengalaman pertama saya melintas perbatasan dua negara via darat dengan berjalan kaki. Dengan jantung berdebar-debar, saya bersiap menghadapi pengalaman itu sendiri.

Pemuda baik hati itu melepas saya tepat di depan gedung imigrasi. Saya bukannya langsung menuju gedung imigrasi melainkan menyeberang kearah toko 7-11 untuk mengabadikan situasi perbatasan Thailand. Dan sebagai isteri dan ibu yang baik, hihihi, saya mengirim pesan ke keluarga mengatakan saya sedang di perbatasan. Sekalian menulis status tak bermutu bernada pamer sambil check-in di Facebook, halah! 😀 😀 😀

Petugas imigrasi Thailand sudah siap di belakang konter. Lagi-lagi saya diajak berbahasa Thai karena wajah ‘Thai palsu’ yang saya miliki. Karena saya bengong sambil memperlihatkan paspor Garuda di tangan, petugas itu dengan ramah meminta saya pindah ke konter khusus ASEAN karena saya salah masuk ke jalur lokal.

Paspor saya telah dicap keluar dari Thailand dan belum masuk ke Negara tujuan (Lao PDR). Dan inilah saya yang sedang berjalan kaki memasuki daerah tak jelas (no man’s land). Ah, mungkin saya yang kebanyakan nonton film Hollywood yang selalu heboh mengerikan penuh drama di wilayah no-man’s land 😀 😀 😀

Saya menuruni tangga menuju terowongan bawah tanah berjeruji yang terbagi dua arah dan menghubungkan Thailand dan Lao PDR, tak beda sama sekali dengan tikus putih percobaan yang dipaksa berjalan mengikuti arah yang sudah ditentukan.

Dan eng-ing-eng…. Di ujung akhir tangga naik terowongan, saya muncul di wilayah yang seharusnya menjadi bagian dari gedung imigrasi Laos, tetapi ini tidak. Saya sampai di sebuah tempat terbuka setelah melewati kios kecil berbendera Lao PDR. Bebas mau melangkah kemana saja. Free…

The End of Tunnel - Small Kiosk wih Lao Flag
The End of Tunnel – Small Kiosk with Lao Flag

Mana gedung imigrasi untuk cap paspor? Ya cari sendiri, usahaaaa… sodara-sodara…

Jantung berdegup lebih kencang menyadari situasi laissez faire di depan mata (Tiba-tiba saya terpikir untuk melakukan perjalanan melintas perbatasan Indonesia di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur serta Nusa Tenggara Timur dan Papua, hanya untuk sebuah perbandingan situasi…)

Where's the Immigration Building?
Where’s the Immigration Building? The White Building??? It’s not….

Saya berbalik arah menanyakan kepada petugas perempuan yang ada di dalam kios kecil itu. Dia hanya menunjuk tak jelas, kearah bangunan besar di depan mata. White building, katanya. Saya mengangguk mengucapkan terima kasih lalu berjalan kearah gedung tadi.

Angin ribut lokal pun menyambut

Tiba-tiba angin terasa kuat berhembus datang dari arah kiri saya. Suaranya menderu dan tak menyenangkan, debu-debu di jalan yang lama tak kena hujan terbang seketika ke atas, daun-daun yang jatuh, sampah-sampah dan benda ringan lainnya seketika terbang terbawa angin. Saya sempat melihat dua orang yang sedang berjalan ke arah Thailand langsung menutup wajah untuk menghindari debu yang terbang liar. Saya sudah terjebak di tengah-tengah angin ribut lokal ini. Dengan mata yang terpicing, saya sempat melihat barang-barang konstruksi seperti potongan lembaran seng bergoyang-goyang. Alarm tubuh langsung berdering menandakan situasi yang harus diwaspadai. Saya cepat mencari gundukan besar dekat jalan tanah merah yang belum beraspal namun memungkinkan untuk berbaring disitu jika alam semakin tak bersahabat. Saya berdoa dalam hati agar senantiasa dilindungi dari marabahaya sambil tetap berjalan cepat kesana, tetapi itu artinya saya menjauhi the white building yang ditunjukkan petugas perempuan tadi. Terasa lembaran sisa surat kabar yang terbang terbawa angin dengan keras mengenai sisi kiri saya. Terpaksa dengan mata memicing saya melangkah lebar-lebar mencoba menghindari terkena barang-barang yang terbang, mencoba mengalahkan angin. Syukurlah semakin dekat ke gedung, angin semakin terasa tertinggal di belakang. Sebagaimana tiba-tiba ia datang, secepat itu pula ia pergi. Ah, saya tersadar… Itu sebuah sambutan buat saya di Laos! 😀

Dan… baru terlihat jelas gedung yang dikatakan petugas tadi masih belum selesai pembangunannya. Hah? Jika bukan gedung putih yang ini, jadi dimana untuk imigrasi ? Helloooo… paspor ini belum dicap masuk!

Saat ini saya masih dalam keadaan tak jelas, sudah tercatat keluar dari Thailand tetapi belum masuk Laos. Jika tanah ini bukan tanah siapa-siapa, artinya masih adakah hukum disini jika something’s going wrong? Namun jika ini tanah Laos, saya masih berjalan sebagai illegal alien… pendatang haram…

Saya melihat seorang perempuan berseragam dinas berjalan melintas sekitar seratus meter di depan. Melihat sebuah kesempatan baik, saya langsung mengejar dan bertanya padanya. Untunglah ia berkenan mengantarkan saya langsung ke gedung imigrasi karena ia juga menuju tempat yang sama, sambil menjelaskan nomor konter ASEAN yang harus saya masuki. Alhamdulillah… Ternyata gedung yang dimaksud terletak di sebelah gedung yang ditunjuk petugas perempuan yang pertama tadi. Adanya angin ribut lokal menyebabkan saya melangkah ke arah yang salah.

Finally the Counter for ASEAN
Finally the Counter for ASEAN

Saya mengikuti sarannya dan mengambil kartu kedatangan lalu mengisinya kemudian menyetorkan ke lubang di bawah jendela.

Saya ditanya asal negara yang saya jawab sambil jengkel (saat itu tidak ada orang lain alias sendirian dan dia memegang paspor saya yang sudah jelas tertulis Republik Indonesia, masih ditanya lagi!) Ujung-ujungnya adalah 10000Kip. Masalahnya saya tidak punya Kip, tidak punya Bath kecil. Untung saja saya selalu bawa uang US$1 sisa dari Kamboja, saya sodorkan dua lembar dan mereka tersenyum menyerahkan kembali paspor saya yang sudah bercap Vangtao, Lao PDR. Ini sesuai dengan apa yang diceritakan di internet bahwa di perbatasan Laos, imigrasinya selalu meminta uang 10000Kip sebagai processing fee. Hah?? Kalau warganegara asing yang perlu VOA okelah, tapi kalau ASEAN yang hanya tinggal cap, apa lagi yang diproses? Ya sudahlah… apalagi saat itu akhir minggu… (eh, eh…… whaaattt???)

Saya baru ingat hari ini adalah akhir pekan. Bank tutup! Saya di tanah Laos dan tidak punya uang. Celaka dua belas! Dengan memegang paspor saya keliling mencari money changer dan semuanya tutup Saudara-saudara… Saya melangkah ke ATM Laos, keren nih, bisa tarik uang melalui jaringan internasional. Tetapi ada orang yang mencobanya dan gagal… Bahkan ia memperlihatkan kepada saya layar yang bertulisan Out of Service. Metooong!!! Saya iseng melangkah ke Bank di seberang jalan hanya untuk membaca tulisan yang tergantung di pintu, Closed. Bagus sekali!

Saya kembali kearah ATM tadi tak henti berharap palsu. Tadaaaa… saya mendapat berkah lagi, ATM sekarang berfungsi, mungkin tadi sistemnya belum siap. Sukses mengambil uang dan merasa ‘kaya’ dengan Kip Laos, saya melanjutkan perjalanan. Saya kan harus ke Pakse!

Lagi-lagi saya bertanya kepada seseorang yang berseragam dinas dan diantarkan ke tempat ojek agar bisa diantar ke tempat minivan. Begitu banyak orang baik! Di tempat saya turun dari ojek, dua orang mendekati saya. Satu menawarkan mobil langsung ke penginapan saya di Pakse dan satu lagi naik minivan yang berakhir di terminal. Ini pilihan dengan negosiasi seru penuh tawa karena saya menggunakan jari-jari untuk menawar termasuk merajuk jika terasa mahal. Akhirnya setelah berkomunikasi bahasa tarzan dengan warga lokal itu, saya dapat mobil privat langsung ke Pakse dengan harga sedikit lebih tinggi daripada harga minivan. Great!

Saya meninggalkan perbatasan Vangtao dan menempuh 1 jam perjalanan lagi ke Pakse. Kali ini jalur lalu lintas Laos berada di sebelah kanan dengan jalan yang relatif mulus namun berdebu yang kadang dihiasi dengan rombongan sapi yang menyeberang tanpa lihat mobil berkecepatan tinggi sedang melaju. Tak hanya sekali sang pengemudi menginjak rem secara mendadak dan para sapi itu hanya bisa nyengir… dan saya terus bergumam dalam hati… Wat Phou, I’m on the way…

Uji Nyali di Pagi Hari Yang Indah


The Hanging Lanterns
The Hanging Lanterns

Pagi hari masih berada di atas tempat tidur di kamar yang hening sambil melihat kembali foto-foto kota kuno Hoi An yang indah dengan kerlap-kerlip lampion warna warni di kamera, rasanya menyenangkan sekali. Apalagi hari ini akan mengunjungi My Son, destinasi percandian yang sudah lama diimpikan. Nikmatnya My Me-Time yang sudah kesekian kali ini, memang membuat ketagihan karena rasanya seperti mencapai langit ketujuh, bisa merasa begitu dekat dengan Pemilik Semesta. Ketika segala topeng di wajah tak perlu dikenakan, ketika segala takut dan cemas bisa ditinggalkan di belakang, ketika airmata bisa mengalir kapan saja tanpa rasa dihakimi, ketika bahagia dan syukur bisa dilantunkan penuh pujian tanpa putus, ketika tak perlu merasa malu karena tak mampu dan masih banyak ketika-ketika lain yang semuanya satu. Sejatinya manusia.

Dan saat seperti ini, kejernihan suara hati lebih sering tampil ke permukaan. Tetapi apakah didengarkan atau diabaikan, semua itu tergantung dari situasi yang dihadapi. Juga pagi itu.

Sejak mendarat di Vietnam tak cuma sekali suara hati itu berusaha menggapai kesadaran saya untuk memeriksa cap paspor setelah melewati imigrasi Vietnam. Hanya sekedar mendengar, tetapi tidak bertindak, karena tidak ada negara baru yang didatangi sepanjang tahun 2015. Sebuah kebiasaan buruk sebenarnya, karena sebaiknya kita memeriksa paspor sendiri saat melewati imigrasi, mungkin kecuali Hong Kong dan Macau ya, karena dua tempat itu sudah tidak cap paspor lagi (Teringat dulu ketika naik KTM dari Singapura ke Malaysia saya tidak tahu bahwa paspor tidak dicap masuk oleh imigrasi Malaysia, sehingga harus gelagapan menunjukkan tiket pergi KTM, -yang untungnya masih disimpan-, di imigrasi Malaysia saat keluar untuk pulang ke Jakarta).

20160106_140824ee

Nah, saat leyeh-leyeh di tempat tidur itulah suara hati itu kembali mengguncang kesadaran dan akhirnya berhasil membuat saya ingin melihat bentuk cap dan warna imigrasi Vietnam. Artinya harus mengambil paspor yang ada di dompet hijau.

Sejak kehilangan dompet uang (dan Alhamdulillah ketemu lagi) ketika melakukan perjalanan ke Hong Kong – Macau di akhir tahun 2013 lalu, kini tersedia dua dompet yang berbeda untuk  uang dan kartu-kartu. Pengalaman itu luar biasa sekali stressnya. Bayangkan ada paspor, tetapi tidak punya cukup dana untuk seluruh keluarga untuk sampai ke tanggal pulang. Sejak itu, keberadaan dompet mendapat perhatian lebih. Dompet berwarna hijau dipakai untuk menyimpan paspor, dua kartu dan uang sehari-hari, dan dompet hitam yang tidak pernah dikeluarkan dari ransel kecuali sangat diperlukan.

Karena dompet hijau itu bisa dibilang nyawa perjalanan, maka selalu berada dalam jangkauan mata dan tangan serta biasanya diletakkan berdekatan dengan ponsel. Pagi itu dompet hijau berada di atas meja dekat kaki tempat tidur. Dengan sedikit malas, saya mengarah ke meja dan mengambil dompet hijau itu.

Segera saya buka ritsletingnya dan… Ya Tuhan… Paspor TIDAK ADA!!!

Mengedip sekali tak percaya, terlintas di benak kemungkinan paspor terselip di kantong sebelahnya… Langsung saja saya buka ritsleting satunya lagi…. TIDAK ADA JUGA!!!

Sepersekian detik kemudian, semua isi dompet hijau itu sudah berserakan di atas tempat tidur, uang, kartu kredit, kartu debit, lembar pesanan hotel dan boarding-pass penerbangan pulang, serta nota-nota tak penting lainnya… semua lengkap, KECUALI PASPOR!!! Huuuuaaaaaaaa…

PASS-E1

Ada rasa terkejut menyergap ke seluruh tubuh, lalu berusaha mengingat-ingat dimana dan kapan terakhir saya memegang paspor. Satu detik, dua detik dalam diam, meyakinkan diri untuk tidak panik. Harus bisa berpikir tenang agar dapat mengingat kronologis perjalanan.

Sambil tetap berusaha mengingat-ingat dan berusaha tenang, ransel daypack yang digunakan semalam untuk jalan keliling Hoi An, saya bongkar seluruh isinya dan sama seperti dompet hijau, isinya tertumpah semua ke tempat tidur. Tetapi si buku kecil bersampul hijau itu tetap lenyap tak terlihat.

Yang pasti, waktu hilangnya antara check-in kemarin hingga pagi ini, karena tidak mungkin tidak menyerahkan paspor saat check-in bukan?  Tetapi sejak saat itu hingga pagi ini, artinya bisa dimana saja, di ribuan tempat walau hanya di kota kuno Hoi An. Masih bersyukur bisa menentukan tempat dan waktunya sehingga ada batas yang jelas (tapi jelas atau tidak, paspor tetap lenyap…).

Teringat peristiwa tahun lalu, tepat perjalanan akhir tahun, sama seperti sekarang. Bedanya waktu itu bersama keluarga, kali ini sendirian. Waktu itu terbantu oleh dukungan orang-orang tercinta, kali ini tidak ada mereka disini. Situasinya hampir sama, kehilangan “Nyawa Perjalanan”, kalau tahun lalu seluruh dompet beserta isinya, kalau tahun ini PASPOR!

Walaupun memaksa diri untuk tetap tenang, ada sejumput rasa tegang yang naik dengan cepat ke permukaan tubuh. Hanya sejumput! Karenanya, saya cukup heran dengan diri sendiri, tidak ada kepanikan. Bisa dibilang tenang, bahkan terlalu tenang untuk ukuran masalahnya. Tetapi itu SAMA seperti tahun lalu, saat menyadari berada di negara orang dan tanpa uang, saat itu saya tenang, bahkan terlalu tenang. Apakah ini sebuah pertanda?

Ya Tuhan, ada apa lagi kali ini… Ada tarik ulur yang hebat antara logika dan rasa. Yang satu berkata harus cepat karena berlomba dengan waktu, yang satu berkata nikmatilah bersama sang waktu, yang satu bicara soal yang nyata yang lain lebih pada jiwa. Akhirnya saya menyerah, karena yang mendominasi rasa berserah. Ya, saya hanya perlu pasrah, percaya sepenuhnya padaNya bahwa semua akan baik-baik saja. Sabar dan tenang. (Walau tak bisa dibohongi, rasa panik mulai naik menyerang ketenangan itu…)

Bagaimana bisa tenang…???

Tetapi kesadaran saya masih berfungsi baik. Kepanikan yang tidak perlu harus diatasi sebelum menjadi liar. Panik tidak akan menyelesaikan masalah. Harus ada solusi. Jadi what’s next? First thing first!

Mandi!

Ternyata tenang itu memang bermanfaat. Asli, saya bisa meletakkan masalah kehilangan itu di depan pintu kamar mandi lalu berpikir dan menetapkan langkah berikutnya secara detail sambil browsing yang diperlukan selama duduk di kloset. Yang pasti, harus kerjasama dengan pihak hotel terutama ketika berhubungan dengan pihak berwenang (polisi setempat), lalu menapak tilas rute semalam dalam satu jam karena siapa tahu ada yang berbaik hati mengembalikan paspor, lalu mengurus surat kehilangan dipastikan harus selesai hari itu, kemudian terbang ke Hanoi untuk langsung mengurus ke KBRI (karena hari itu adalah hari Jumat) dan ucapkan selamat tinggal pada liburan karena tentu saja harus langsung pulang setelah mengurus SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor). Untunglah semua dokumen penting sudah disimpan ke cloud, jadi tinggal dicetak. Tak boleh lupa harus menyediakan dana untuk hidup di Hanoi. Ketika permasalahan sudah diidentifikasi batas-batasnya, rasanya semakin tenang. Kalau pun ada rasa tidak nyaman, harusnya normal, karena berpergian dengan satu kondisi yang tidak menyenangkan. Tetapi selalu ada alasan positif kan? Bukankah saya belum pernah ke Hanoi? Pemikiran itu membuat saya mandi dengan nyaman dan sempat keramas dulu walau lebih cepat dari biasanya, hehehe…

Barang-barang telah rapi tetapi sebelum ke lobby untuk melakukan langkah pertama, saya sisihkan waktu untuk berkomunikasi dengan Dia Pemilik Semesta. Dan setelah kewajiban selesai, saya masih bersimpuh dalam diam, tak terasa airmata jatuh. Hanya ada satu kata. Pasrah. Menerima yang harus dijalani, karena saya sedang diuji. Tepat seperti tahun lalu, Desember yang sama, seakan diminta untuk Percaya, untuk Yakin, untuk Sabar akan pertolonganNya.

Satu airmata jatuh lagi, bukan karena sedih, melainkan merasa tak berdaya dengan serupanya ujian dalam selang waktu tepat satu tahun.

Namun di balik rasa tak berdaya, entah kenapa terasa bahwa Dia Yang Maha Kuasa sedang menyelipkan rasa bahagia. Saya mengenalinya melalui ketenangan itu. Setahun lalu dengan ketenangan yang sama. Tidak ada yang hilang, Dia menyimpannya dan saya harus Percaya dan Sabar. Itu saja.

Pasrah. Percaya dan Sabar. Help is on the way…

Tersentak karena tiba-tiba terlintas di benak pengalaman serupa untuk bergantung sepenuhnya padaNya, -percaya dan sabar-, ketika kehilangan arah dan kemalaman di tengah-tengah Gayasan National Park di Korea Selatan dulu… (Klik disini untuk baca ceritanya)

Bismillah.

Tetapi dasar manusia. Walaupun diupayakan tenang, kecemasan dan kepanikan mulai menghajar diri sepanjang langkah menuju lobby. Bagaimana kalau benar-benar harus ke Hanoi? Bisakah mengingat rute semalam? Bagaimana kalau nanti… Bagaimana kalau…dan banyak lagi ‘bagaimana’

Sampai di depan konter hotel, lagi-lagi saya terdiam sebentar menarik nafas sementara petugas laki-laki berwajah ramah itu tersenyum menyapa dengan standar layanan lalu menunggu.

Mmm… err…. (mulai panik)…. Hmm… I think… (bingung mau mulai dari mana dan bagaimana) I think… hmm… my passport is lost… perhaps it fell somewhere on the ancient city last night…

Dia mendengarkan seksama dan terkejut. Matanya membelalak.

“Do you mean, hmmm… err… lost? Your passport is lost?”

Saya mengangguk pasrah. Ya Tuhan… tolong saya…

Tiba-tiba petugas hotel itu diam, tampak terpikir sesuatu.

“Hold on… wait… wait… It’s lost … or we still keep it”, nada kalimatnya bertanya, mungkin ke diri sendiri.

WHAAAT??? – Tentu saja ekspresi dengan tiga tanda tanya ini hanya ada di pikiran.

Petugas hotel itu berbalik badan dan dengan cepat dia memeriksa dokumen-dokumen di balik konter dan mengambil satu folder plastik transparan. Sedetik kemudian, dia membalik dan mengangkat folder plastik tadi ke hadapannya.

Dia tak perlu membukanya karena terlihat si buku kecil berwarna hijau kebiruan di folder plastik itu!

“Yessss…that’s my passport!!!”, teriakan saya cetar membahana. Dua wajah tersenyum lebar.

20160113_071709E1

Dalam sekejap mata sekujur badan rasanya disiram air dingin. Hati yang cemas, langsung hilang. (Lagi-lagi teringat rasa yang sama setahun lalu, ketika suara di ujung telepon mengatakan bahwa dia menemukan sebuah dompet hitam di depan konternya). Rasa dingin yang mengguyur, sama rasa, tak beda.

Jadiiiii…. Selama ini mereka belum mengembalikan? Mereka menyimpannya. Mengapa tidak mengatakannya? (Lalu mengapa saya tak ingat paspor belum dikembalikan? Sedetik kemudian teringat kembali saat check-in, ada dua petugas yang melayani, -yang memberikan welcome drink dan merekomendasikan rencana tur serta yang melakukan registrasi-, berada di dua meja yang berbeda. A distraction!

Walau tak ada maaf telah memisahkan paspor dengan pemiliknya, petugas hotel itu segera menyerahkan paspor yang tentu saja diterima dengan bahagia luar biasa. Saya ciumi buku kecil itu dan ditempelkan ke dada seakan kekasih yang tak boleh lepas lagi. Sekujur tubuh tersenyum penuh rasa syukur yang tak henti. Bayangan kesulitan menghadapi polisi dan keterpaksaan terbang ke Hanoi langsung memudar dan berganti dengan gambar candi-candi kerajaan Champa di My Son. Ah, liburan kini bisa dilanjutkan lagi. Tubuh bergegas untuk sarapan yang tadinya hampir saja dilewatkan.

Sekali lagi saya diberikan kesempatan merasakan Cinta yang luar biasa, begitu lengkap, begitu dekat dan tak terbandingkan, tak terdefinisikan… I am so blessed.

Ada Cerita Menyebalkan di atas Kursi Pesawat


Dalam setiap penerbangan tidak jarang terjadi hal-hal tak terduga saat duduk di kursi pesawat yang membawa kita terbang yang mungkin sangat menjengkelkan hingga rasanya berada di tepi jurang kesabaran. Susahnya, di kala badan sudah lelah karena perjalanan, biasanya tepi kesabaran cepat sekali terjangkaunya dan terjadilah hal-hal ‘ajaib’ yang memalukan saat kejengkelan atau kemarahan menguasai diri. Tetapi serunya, setelah beberapa waktu, kejadian itu berubah, bisa jadi terlihat sebagai sesuatu yang lucu untuk dikenang, sebagai warna indah perjalanan itu sendiri….

Nomorku, nomormu…

Di hampir setiap penerbangan budget, saya membeli nomor kursi dengan alasan khusus dan tentu saja uang yang tidak sedikit. Kebanyakan window seat jika saya mau tidur sepanjang perjalanan atau justru sedang ingin mengambil foto luar. Kadang kala saya memilih bagian lorong karena ingin kemudahan akses untuk bisa cepat turun dari pesawat atau akses toilet.

P1000046-1

Namun karena saya selalu punya alasan untuk duduk di kursi itu maka saya akan sangat cepat sampai pada tepi kesabaran jika ada orang hendak merampasnya. Karena saya sangat tidak toleran untuk hal ini. Pernah suatu ketika, seorang ibu ngotot menduduki kursi saya dan berusaha negosiasi karena ingin berdekatan dengan anaknya. Biar terbang sampai bulan pun, saya tidak akan memberikan kursi saya 😀 kecuali dia kasih tiket gratis ke destinasi lain… Tetapi untuk beli kursinya sendiri saja sudah tak bersedia apalagi kasih tiket gratis kan?

Ada kejadian mirip, kali ini seorang pramugari yang langsung meminta saya menunjukkan boarding pass karena seorang ibu berkata bahwa saya duduk di kursinya sementara saya sudah pasti menduduki sesuai nomor kursi yang ada pada boarding pass. Jengkel, saya membongkar tas tangan mencari boarding pass hanya untuk menunjukkan bahwa si pramugrasi itu tidak memeriksa lebih dulu boarding pass si ibu yang baru datang dan yang nyata-nyatanya bingung menbaca nomor kursi di boarding passnya sendiri. Seandainya ada interface langsung dari pikiran saya ke film komik, mungkin terlihat di layar saya sedang menggepengkan si pramugari bertampang lempeng itu pakai mesin giling.

Lain lagi ceritanya ketika berada di sebuah penerbangan pulang menuju Kuala Lumpur, saya membeli kursi di jendela dalam area quiet zone karena berkeinginan untuk istirahat. Quiet zone merupakan wilayah yang tenang, tidak diperuntukkan untuk anak dan bayi dan jika bicara harus dalam volume rendah. Malangnya di belakang saya duduklah seseorang yang mendapat kursi tanpa mengetahui peruntukan dari area kursi tersebut. Sejak take off, mungkin karena kebeliaannya, tanpa peduli ia memasang music hip-hop dari negaranya melalui speaker dari music playernya. Sebenarnya saya penyuka segala macam musik, tetapi saat itu kondisi tubuh benar-benar lelah ingin beristirahat dan menginginkan suasana tenang seperti yang dijanjikan oleh maskapai. Saya yang telah membayar mahal untuk kursi itu, pada awalnya mencoba untuk mengabaikan musik yang dipasang pada volume cukup keras itu. Tetapi pramugari tak juga memberitahu pemuda itu, bisa jadi ia sejenis yang sungkan atau bisa juga yang tidak mau tahu, sehingga saya memanggil pramugari dan bertanya apakah memang kursi yang saya dan orang itu duduki itu termasuk wilayah quiet zone. Pramugari itu mengiyakan. Saya sampai mengulang jawabannya supaya pasti dan karenanya saya minta dia untuk membicarakan hal itu kepada penumpang di belakang saya. (Sabar dimanakah kamu???)

Pada saat saya bicarakan dengan pramugari itu, karena saya duduk di dekat jendela, maka saya harus melampaui dua orang. Orang yang duduk di bagian lorong pasti mendengar pembicaraan saya dan sepertinya ia berasal dari Negara yang sama dengan pemuda itu. Hebatnya, saat turun di Kuala Lumpur, ransel saya diambilkan olehnya, mungkin sebagai penebusan atas apa yang dilakukan salah satu bangsanya (mungkin juga karena dia memang baik hati!) dan akibatnya gantian saya yang merasa tidak enak hati karena mendapat perlakuan baik dari orang.

Tetapi pernah juga ada orang yang menduduki kursi saya dan ketika saya bertanya padanya, bahkan dia tidak tahu cara membaca informasi di boarding pass dan ia menganggap bisa duduk dimana saja. Melihat dirinya yang lusuh dan sepertinya baru kali pertama naik pesawat terbang, akhirnya saya serahkan dia ke Pramugari untuk mencari tempat duduknya yang ada di bagian depan, padahal saat itu saya mendapat tempat di bagian belakang. Tidak terbayangkan dia harus berjalan melawan arah menembus barisan orang yang tidak sabar untuk mencapai tempat duduknya masing-masing.

Menendang Kursi di Depannya

Sudah sewajarnya orang duduk manis di kursi sepanjang perjalanan dan menghargai orang lain yang duduk di kursi yang lain. Tetapi tak jarang, ada orang yang tak betah duduk lama lalu merasa duduk di bale-balenya sendiri dengan lutut atau telapak kaki menekan kursi di depannya. Alhasil saya yang duduk di depannya serasa ditendang-tendang. Bagaimanapun seperti orang bijak bilang, to err is human, to forgive divine… sehingga walaupun itu penyebabnya kaki anak kecil, biasanya saya akan memohon pengertian dari keluarga atau orang dewasa yang ada didekatnya. Anak kecil mungkin tidak mengetahui atau tidak dididik oleh keluarganya untuk duduk manis, tetapi paling tidak orang dewasa yang mendidiknya seharusnya mengerti kesopanan. Lagi pula bagaimana bisa tidur jika kepala atau punggung  jadi terpental-pental? Sekali lagi, si sabar bersembunyi entah dimana…

Jempolnya nyelonong…

Saat itu saya dalam penerbangan dengan menggunakan pesawat ATR72 di Myanmar. Pesawat itu memang dibuat bukan untuk penumpang-penumpang bertubuh tinggi, sehingga tentu saja bagi mereka sangat kesulitan meletakkan kakinya yang panjang. Karena ransel saya tidak muat di kabin atas, saya jejalkan di bawah, di dekat kaki. Saat itu kursi di sebelah saya kosong. Setelah terbang beberapa menit, saya terkejut setengah mati karena melihat jempol kaki yang besar tak beralas nyelonong di bawah kursi sebelah saya.

P1020441

Beruntung hidung saya saat itu sedang tidak sensitif mencium  bau jempol, tetapi karena jarang mengalami hal itu, saya mengabadikan si jempol itu sambil senyum-senyum membayangkan seandainya ada jarum gede tentu akan saya tusuk jempol itu seperti penyihir yang menusukkan jarum ke boneka voodoo-nya. Bayangan dia akan menarik kakinya hingga lutut dan kakinya terbentur kursi besi karena ditusuk jarum itu sangat komikal membuat saya tersenyum lebar penuh kejahilan …

Siapa Tahu Dia Mengerti…

Bersama teman, -yang juga kawan satu sekolah dulu-, saat melakukan perjalanan bersama sudah sepakat untuk tidak membicarakan orang dalam satu pesawat. Selain karena tak baik secara moral, kami sangat mengingat cerita guru sekolah kami, yang ceritanya waktu itu sedang antri dan entah bagaimana terdorong orang di belakangnya. Karena sedang di Belanda dan menganggap tidak ada yang memahami bahasa Jawa, beliau sedikit mengomel dalam bahasa Jawa yang kurang lebihnya berarti, dasar orang bule tidak sabar, pasti udelnya bodong. Tak dinyana, bule yang tak sengaja mendorongnya itu langsung meminta maaf berkali-kali dalam bahasa Jawa Halus, sambil mengatakan bahwa udelnya tidak bodong (bodong: pusar yang muncul keluar) !!!

Lagi-lagi soal bahasa yang dipahami, siapa yang sangka saya diajak bicara oleh seorang bule totok dari Inggris dalam bahasa Indonesia bercampur Melayu di dalam pesawat ATR berbaling-baling di Nepal? Berapa nilai kemungkinan orang asing yang bisa berbicara dalam bahasa Indonesia di pesawat berpenumpang 60-an itu?

Bagaimana Kalau Ada Sepuluh?

Masih ada cerita lain… Dalam sebuah penerbangan saya duduk di belakang ibu yang memiliki bayi. Saya sudah bersiap-siap untuk menutup telinga jika si bayi menangis sepanjang perjalanan. Tetapi si ibu sepertinya santai saja. Dan benarlah, adegan bayi menangis sudah dimulai sejak pesawat menuju run-way dan semakin keras dan semakin keras. Suara bayi menangis menyaingi deru pesawat yang terbang melesat mencapai ketinggian. Kondisi penumpang yang tidak diperbolehkan bangun membuat seisi pesawat menikmati irama tangis si bayi. Tetapi hingga tanda sabuk pengaman dipadamkan, si bayi tidak berhenti menangisnya. Orang-orang mulai menoleh memberi wajah tak senang kepada sang ibu. Saya teringat ketika membawa terbang anak saya yang ketika itu berusia 11 bulan. Persiapan matang saya lakukan, dari mainan-mainan, botol susu, botol air putih, hingga konsultasi dulu ke dokter untuk tips terbangnya. Sehingga bayi saya tidak mengganggu orang lain. Namun tak semua orang bisa sempat melakukan persiapan untuk bayinya saat terbang. Bahkan saya sempat melihat sang ibu hanya pasrah tak tahu apa yang dilakukan bahkan menyuruh nanny-nya untuk menenangkan si bayi. Tak hanya itu, saya sempat mendengar seorang laki-laki muda di seberang lorong memanggil pramugari untuk meminta sang ibu menenangkan anak itu, dan jika tidak bisa diam, dia minta dipindahkan ke belakang padahal pesawat penuh. Saya tersenyum mendengarnya, dia mungkin belum memiliki anak. Lagi-lagi saya hanya berpatokan cerita orang bijak. Bagaimana kalau ada 10 bayi menangis bersamaan? 😀

Lain lagi ceritanya ketika saya dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Kathmandu, di sebelah saya duduklah seseorang yang tampaknya baru selesai buang hajat besarnya saat di Kuala Lumpur. Bisa jadi dia tidak membersihkan dirinya dengan baik atau tak sadar bahwa bau buangannya menempel di pakaiannya. Empat jam lebih sejak take off dari Kuala Lumpur hingga mendarat di Kathmandu saya tak bergerak di kursi menikmati ‘harum’nya itu. Melihat dia sepertinya sebagai pekerja migran, hati saya tersentuh. Bisa jadi dia pulang demi keluarganya yang sudah lama tak dilihatnya. Tetapi empat jam lebih dengan bau-bauan seperti itu? Saya berhasil bertahan melewati empat jam itu tanpa ekspresi, tanpa muntah atau menutup hidung secara terang-terangan yang akan menyakitinya. Saya mengatasinya hanya dengan mengingat cerita orang bijak. Untung satu orang, bagaimana jika depan, belakang dan sekeliling saya dipenuhi orang dengan bau seperti itu? Satu orang jauh lebih baik daripada 10 orang! Dan bukankah hanya sekali dalam perjalanan ini?

Kursi-kursi pesawat itu punya cerita masing-masing.

Tak luput saya menyaksikan orang yang tadinya duduk di depan saya, saat baru beberapa detik berdiri antri di lorong tiba-tiba jatuh pingsan menimpa orang di belakangnya, yang akhirnya mengacaukan antrian keluar pesawat.

Atau mana yang lebih menyebalkan saat tidak bisa tidur, mendengar pertengkaran sepasang kekasih dengan volume rendah tetapi kasar hingga si gadis menangis lalu mendadak berdiri lari ke toilet mungkin karena tidak tahan lagi, ataukah suara kecup-kecup mesra berkepanjangan di tengah keremangan terbang malam? *cari tutup kuping

Bagaimana dengan Anda, punya cerita juga saat berada di kursi pesawat?

Nepal 6 Bulan Lalu, Nepal Kini, Tetap Di Hati


Akhir pekan lalu adalah pertama kalinya saya kembali menulis mengenai Nepal setelah gempa dahsyat meluluhlantakkan negeri indah itu tiga minggu lalu, dan lagi, seminggu lalu. Gamang sekali memulai sesuatu dari sebuah kehancuran, tetapi saya percaya ada saat untuk bangkit, apapun rasanya. Ini adalah waktunya.

Sebelumnya saya tak bisa menyentuh tulisan yang belum selesai, apalagi melanjutkannya. Bahkan tak mampu menyentuh buku perjalanan Nepal tanpa airmata yang deras mengalir. Bisa jadi saya terlalu emosional, tetapi itulah yang dirasakan, rasa yang persis sama, dengan hati yang sama, ketika berada di Nepal enam bulan lalu.

Sebelum akhir pekan lalu, raga saya berada di sini, di dunia nyata, tetapi hati dan pikiran saya berada jauh di sudut-sudut Lembah Kathmandu yang magis yang kini luluh lantak dan hati saya pun seperti terkubur didalamnya, terpana tak percaya akan peristiwa tercabutnya sebuah cinta, seakar-akarnya. Meninggalkan lubang hampa. Kosong. Musnah.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, pembelajaran apa yang sedang diberikan untuk saya dengan peristiwa ini. Karena saya percaya, sebuah peristiwa yang memiliki makna bagi banyak orang diturunkan untuk menjadi pembelajaran bagi dunia, bagi banyak orang juga bagi orang-orang yang terkait di dalamnya dari sudut-sudut personalnya yang mungkin sangat pribadi. Termasuk saya.

Tetapi Tuhan selalu baik, memberi saya ruang dan waktu untuk menangis sedih, untuk tak percaya akan peristiwa itu, untuk menjadi manusia dengan segala keterbatasannya, untuk merasa boleh mempertanyakanNya. Dan Dia, selalu menjadi tempat tumpuan dari segala ketakpastian, selalu menjadi the solid ground, yang dengan sabar menunggu saya sampai saatnya tiba. Di saat terendah ketika tak ada jalan lain lagi selain jalan naik. Waktunya bangkit. Saat rebound.

Malam-malam duka penuh airmata, ketika kali pertama mendengar bencana itu, ketika angka kematian terus merangkak naik melampaui angka 8000-an orang dan terus bertambah lagi untuk gempa besar yang kedua, ketika melihat detik-detik luluh lantaknya bangunan-bangunan bersejarah itu, ketika mendengar longsor di perbukitan menelan banyak penginapan dan rumah-rumah beserta penghuni di dalamnya, ketika mendengar avalanche di pegunungan Himalaya itu mengubur para pendaki dan trekkers…

Dan semua yang mengharubiru itu tak begitu saja terbentuk. Enam bulan lalu selama saya menghirup udara Nepal, begitu banyak airmata tumpah karena rasa syukur atas semua keberkahan yang melimpah tak putus-putus. Membuat ikatan kuat dengan Nepal, yang mungkin makin memperkuat ikatan yang tak sadar telah terukir indah di hati berpuluh tahun sebelumnya.

Dan ribuan orang yang tak terselamatkan itu adalah bagian dari orang-orang yang saya lihat dalam keseharian di sana, yang penuh senyum, yang masih hidup dalam tradisinya, yang mencoba bertahan dalam kerasnya hidup. Mereka, yang tak terselamatkan itu, mungkin pernah bertemu saya dalam persimpangan hidup di Thamel, atau di Bhaktapur, atau di Lalitpur, atau di Kathmandu, di Nagarkot atau selama perjalanan saya di Nepal. Mereka, yang bisa jadi hanya berbilang beberapa senti dari keberadaan kita, yang tidak pernah kita sadari, yang tidak pernah kita ketahui, seandainya saja waktu dapat diputar kembali.

Dan semua airmata tumpah itu karena ikatan yang sangat dalam dengan apa yang menjadi kekuatan Nepal. Salah satu alasan saya datang ke Nepal adalah untuk mengagumi bangunan-bangunan bersejarah yang termasuk dalam World Heritage Sites itu. Dan ketika saya berada di sana, enam bulan lalu, saya masuk ke dalamnya, menyentuhnya langsung, mengelilinginya, mengamati semua mahakarya itu seakan waktu berhenti bersama saya, bahkan saya duduk di bawahnya, terlibat dalam keriuhan festival yang terjadi hari itu. Saya tak akan pernah lupa saat saya duduk di dekatnya, mengambil foto dengan segala cara untuk mendapat sudut terbaik, menunggu sampai sepi. Saya tak pernah lupa saat saya tersenyum sendiri karena tak menemukan ukiran erotis kamasutra yang biasa ditampilkan pada panel atau langit-langitnya, saya tak pernah lupa ketika saya duduk nyaman untuk rehat dari terik matahari dan pegalnya kaki menyaksikan banyak orang lalu lalang tak henti. Saya juga tak pernah lupa ketika seorang freelance guide yang baik hati, seorang Nepali pengagum Soekarno, meminta saya berpose dan dia mengambil foto untuk kamera saya, hanya karena saya sedang berjalan sendiri. Katanya, semua orang harus berbahagia dan punya kenangan manis saat berada di Nepal.

Dan bagaimana hati saya tak langsung luluh lantak ketika mendengar bangunan-bangunan besar di Durbar Square itu runtuh. Tak ada lagi Trilokya Mohan Narayan dan Maju Dega. Dan ketika saya dengar kerusakan besar juga terjadi di Changu Narayan, tempat saya mendapatkan keberuntungan yang tak biasa, airmata saya tak henti mengalir. Tak ada lagi Laksmi Temple yang di sudut, tak ada lagi bangunan-bangunan penyangga yang kala itu penuh lautan manusia dan bunga, bahkan Kuil utama Narayana temple telah rusak berat disudut-sudutnya yang sangat riskan pada guncangan gempa besar lanjutan. Di Lalitpur atau Patan, tak ada lagi Hari Shankar Temple, tak ada lagi kuil yang penuh ukiran kuno ratusan tahun itu. Semua lenyap. Semua yang telah saya sentuh, semua yang saya datangi dan saya cintai dengan sepenuh hati, semua tempat hati saya tertambat itu, sudah lenyap rata dengan tanah, musnah.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Bangunan-bangunan itu konon dibangun atas dasar cinta, atas dasar ibadah, atas dasar komitmen, rasa ikhlas dan dijaga dengan sepenuh jiwa sejak ratusan tahun lalu. Didatangi dan dipelihara, doa-doa dan puji-pujian dilantunkan didalamnya, sejak ratusan tahun lamanya. Dan kini musnah. Nilai dan makna sejatinya, hilang musnah dalam sekian menit getaran lapisan kulit bumi, meninggalkan tumpukan batu usang berdebu.

Dan tidak hanya itu keterikatan saya dengan Nepal yang saya tinggalkan enam bulan lalu. Pegunungan Mahabharat Range yang menjadi pagar dari barisan pegunungan dibaliknya, turut bergetar beresonansi mengakibatkan longsor yang meruntuhkan rumah-rumah yang dibangun di lerengnya. Rumah-rumah di pegunungan yang menjadi saksi keindahan matahari yang terbit dan terbenam berbalut kabut. Rumah-rumah yang menjadi saksi akan halimun menyelimuti lembah setiap pagi. Dan rumah itu ikut bergoyang dan terkubur, bersama penghuninya. Dan saya pernah berada dalam salah satu rumah yang berada di pegunungan itu. Merasakan harus mendakinya dan menuruninya, merasakan dan menyaksikan halimun yang menyelimuti lembahnya, memandang keajaiban matahari terbit berlantai hamparan kabut dan kini banyak rumah itu runtuh terkubur dalam hening, membawa hati saya terhanyut di dalamnya.

Lalu tak berhenti disitu, pegunungan berselimut salju itu, Sang Himalaya yang gagah, tak ayal ikut bergerak meruntuhkan salju yang telah tertimbun ribuan tahun, mengubur langsung pendaki dan trekkers, yang datang mencari keindahan dan keanggunannya maupun yang mencari uang karenanya. Menyatukannya kedalam ketakberdayaan manusia. Pasrah pada alam yang bergetar menyesuaikan keseimbangan baru. Saya yang enam bulan lalu, melihat sendiri keindahan salju abadi yang menutupi puncak-puncak Himalaya, yang melihat keindahan salju di Langtang, di Khumbu, di Sagarmatha. Puncak-puncak yang sama, yang seandainya bisa bicara, mungkin lebih memilih untuk menyatukan para pendaki dan trekkers dalam keabadian cinta bersamanya. Puncak-puncak Himalaya yang sama yang saya lihat dalam baluran airmata bahagia, karena pada akhirnya saya bisa melihatnya dengan mata kepala sendiri. Sang Himalaya yang juga tak mampu berbuat lain kecuali mengikuti hukum alamNya.

Dan lagi, seminggu lalu, gempa baru dengan kekuatan besar terjadi lagi. Yang sebelumnya telah ringkih, kini hancur. Gempa lanjutan ataupun gempa baru yang biasa mengikuti gempa-gempa besar memang terus terjadi, setiap hari, setiap saat, dari skala 4, 5 atau 6 dan bahkan 7. Dan ketika gempa baru dengan skala tinggi itu terulang lagi, saya menutup mata yang telah berair, bergetar meminta Wahai Engkau Yang Maha Perkasa, bolehkah saya memohon Kasih Sayang dan KelemahlembutanMu terhadap alam dan semua makhluk yang berada di Nepal?

Saya hanya bisa jatuh terduduk, tersungkur dan menangis. Tak lagi berdaya. Hanya MilikMu…

Hening.

Dan sampailah saat untuk mengakui pada diri sendiri, bahwa ikatan dengan Nepal ini sangat kuat, luar biasa kuat. Saya mencintai Nepal dengan segala yang ada padanya, dengan segala yang saya alami di dalamnya. Dan berlebihan.

Kemudian bagaikan sebuah kilat yang datang di tengah awan badai, seperti itu pula saya disadarkan. Cepat, sekilas dan terang. To the point. Tak ada yang abadi di dunia ini dan tak boleh ada yang ‘terlalu’.

Sejentik itu pulalah yang membukakan mata dan menyembuhkan luka. Seberkas cahaya yang menguatkan dan membangkitkan. Tak hanya sekali ini saya mendapat pembelajaran yang sangat berharga, yang sangat menorehkan rasa. Pembelajaran yang maknanya saya dapat setelah selesai masa berjalan disana .

Cinta itu tak melekatkan. Cinta itu membebaskan. Cinta itu membawa kebaikan.

Sedalam apapun cinta saya kepada bangunan-bangunan bersejarah, saya harus melepaskannya dalam keruntuhan, melepas nilai berharganya menjadi milik keabadian. Sedalam apapun cinta saya kepada penduduk Nepal dengan segala tradisi yang dilakukannya dalam keseharian, saya harus serahkan kepada Yang Maha Mengatur. Apapun yang terjadi menjadi bagian dari Rencana IndahNya. Sedalam apapun cinta saya terhadap alam pegunungan yang indah, terhadap barisan pegunungan berpuncak salju, tetaplah saya harus melepaskannya dalam kuasa yang telah ditentukan. Untuk selalu menjadi lebih baik, dan karena masih banyak yang lebih baik

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Dan sebagaimana sebuah cinta yang membebaskan, apapun yang terjadi, enam bulan lalu ataupun kini, semua itu menjadi sebuah kenangan yang indah, kenangan yang selalu manis, yang terpatri dalam sebuah ruang khusus di dalam hati bernama Nepal.

Yang bisa saya kunjungi kapan saja, turut mempercantiknya tanpa perlu terlekat padanya.

Dan saya pun diminta untuk melanjutkan perjalanan…

*

Baca di sini Rangkuman dan Seri perjalanan di Nepal

Namaste Nepal, Dhanyabaad…!


Namaste, Nepal… Dhanyabaad.

Itulah salam pertama yang terucap setelah telapak tangan bersentuhan dengan bumi Nepal, sebuah kebiasaan saya terhadap bumi, tempat saya pertama kali berpijak setiap berkunjung ke negara baru sekaligus ungkapan terima kasih telah mendapat kesempatan menjejak dan menghirup langsung udaranya yang sejuk.

Pegunungan Mahabharat Range
Pegunungan Mahabharat Range

Rasanya tidak mungkin tidak bersyukur melihat dari jendela pesawat jejeran pegunungan Himalaya berselimut salju di horizon beberapa jam sebelumnya yang kemudian dilanjutkan dengan kontur bumi Nepal yang luar biasa cantik ketika pesawat mulai merendah. Terkagum saya melihat Mahabharat Range, rangkaian pegunungan dengan lembah dan jurang yang menjadi pendahuluan dari pegunungan Himalaya yang lebih tinggi di sebelah Utara dan seakan menjadi pagar pembatas daerah dataran rendah Terai yang berbatas dengan India di sebelah Selatan.

Pegunungan Menjelang Kathmandu
Pegunungan Menjelang Kathmandu

Pesawat semakin rendah dan kawasan kota Kathmandu semakin terlihat. Pesawat melintasi Jalan bebas hambatan yang lebar dengan tak banyak kendaraan yang melintasinya. Bangunan-bangunan berbentuk kubus tersebar dimana-mana. Uniknya sebuah pemandangan Kathmandu dari udara. Tanpa banyak hambatan, pesawat mendarat mulus di Tribhuvan International Airport. Sampai juga saya di bumi Nepal. Saya mengerjapkan kelopak mata yang terasa hangat penuh haru. Terima kasih Tuhan. Dan karenanya hanya ada kata yang bisa terucap pada sebuah salam perkenalan, Namaste Nepal, Dhanyabaad…

***

Jelang Kathmandu - View dari udara
Jelang Kathmandu – View dari udara

Setelah menyempatkan diri berfoto di sebuah icon selamat datang, saya bergabung dengan penumpang lain menuju terminal kedatangan yang tidak besar. Terlihat mulai banyak tulisan dengan karakter Nepali. Senyum semangat terukir untuk diri sendiri, teringat akan pengalaman seru karena terbatasnya karakter latin saat di Korea. Tetapi jika kesulitan saat itu bisa diatasi, semoga kali ini juga bisa. Kaki ini terus melangkah mengikuti arus penumpang lain hingga sampailah saya di sebuah bangsal luas penuh orang. Alarm kewaspadaan diri langsung berdentang-dentang. Inilah area yang harus ditemui oleh sebagian besar pendatang ke Nepal. Visa Processing.

Welcome to Nepal - menuju lorong VOA
Welcome to Nepal – menuju lorong VOA

Saya menyadari berkunjung ke Nepal ini saat peak season dan akibatnya, saya harus mengucapkan selamat datang pada kerumunan proses visa di Nepal karena papan informasi memilih bersembunyi! Dimana-mana terlihat kerumunan orang sehingga saya memutuskan berkeliling untuk mencari tahu apa dan bagaimana keseluruhan proses visa itu, persis seperti seekor anjing yang menandai wilayah kekuasaannya. Dan karena tak jelas beda antara pemohon visa dan petugas informasi, -selain saya jaim banget- 🙂 , tubuh ini memilih mengantri di sebuah jalur yang terpanjang sambil memasang mata dan telinga untuk mencari kebenarannya. Lalu antriannya maju begitu pelan sepelan kura-kura yang sedang santai di pantai.

Lorong menuju terminal kedatangan
Lorong menuju terminal kedatangan

Dan karena mencuri dengar, bukan salahnya rombongan turis yang berbicara begitu menyakinkan, sehingga saya tak tahan godaan berpindah jalur yang lebih pendek mengikuti mereka. Rupanya jalur itu merupakan jalur e-visa, tempat pengisian formulir aplikasi visa secara online dan terintegrasi dengan kamera foto. Tetap saja setelahnya harus mengantri lagi untuk proses persetujuan visanya. Jadi, -meminjam istilah sekarang-, ‘tepok jidat’-lah saya yang kepalang antri namun sudah memegang formulir yang terisi lengkap dengan selembar foto dari Jakarta. 😀

Secepat kilat saya keluar antrian untuk kemudian bertanya kepada seorang petugas informasi yang sedang lewat. Sebuah senyum yang terasa kecut ketika saya disarankan kembali ke antrian yang pertama kali yang tentu saja sudah semakin mengular.

Dan memang manusia itu (baca: saya) terus menerus diuji langkahnya dari berbagai arah, termasuk pembelajaran dari hikmahnya. Jalur antrian maju pelan-pelan dan ketika sudah di tengah perjalanan, terdengar pembicaraan dalam bahasa Indonesia untuk pindah ke jalur antrian yang lebih pendek. Merasa superior karena memahami arti obrolannya, saya mencari arah suara tersebut dan menemukan dua perempuan muda yang sedang melangkah ke jalur yang bertuliskan 15 hari. Saya tidak memantau kelanjutan proses yang dilakukan kedua perempuan itu, tetapi sungguh setan ‘malas antri dan tidak tertib’ saat itu menang lagi atas saya. Tanpa berpikir dua kali, saya pindah jalur tetapi kali ini saya langsung ke depan seorang petugas yang saat itu sedang kosong dan bertanya kepadanya bagaimana proses visa yang seharusnya. Dan kali ini saya mendapatkan informasi yang tepat walaupun artinya, saya harus kembali ke antrian yang baru saja saya tinggalkan. Dan antri lagi! 😀

Jadi…

  1. Jika Anda tidak bawa foto dan belum isi aplikasi, antrilah pada jalur e-visa. Pada antrian ini Anda hanya mengetik nama dan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam pengajuan visa di terminal dan Anda akan di foto dengan kamera yang terintegrasi dengan terminal. Lalu setelah selesai antri lagi pada jalur visa biasa (langkah ke 2 … oh iya e-visa itu hanya pengisian formulir dan foto saja dan Anda akan dapat tanda bukti, dan jangan lupa ya ujung antrian ini harus mesin ya bukan orang hehehe…)

  2. Jika Anda sudah bawa foto diri dan sudah mengisi aplikasi visa, antrilah langsung pada jalur visa biasa. Formulir tersedia di situ juga atau bisa di download dari web. Sediakan uang sesuai jumlah hari visa. Ada 15 hari sebesar USD 25, dan 30 hari sebesar USD40.

  3. Bayar biaya Visa on Arrival-nya sesuai dengan rencana lama tinggal di Nepal. Jangan lupa minta kuitansinya,

  4. Setelah itu pilih antrian untuk proses imigrasi sesuai jumlah hari visanya. Saat saya datang, jalur imigrasi untuk visa 15 hari terletak pada bagian paling kiri.

Kathmandu - Welcome spot
Kathmandu – Welcome spot

Namun, siapa sangka hasil ujian kesabaran untuk antri berkali-kali berujung pada sebuah pengalaman perkenalan yang manis, menyenangkan dan mampu membuat saya tersenyum lebar. Petugas Imigrasi yang kebapakan itu membereskan dokumen sambil tersenyum tiba-tiba bertanya kepada saya, “Apakah saya Hindu?” Mendapat pertanyaan yang cukup mengejutkan karena selama ini tak pernah mendapat pertanyaan yang bersifat personal di imigrasi, saya tersenyum sambil menggeleng bahkan seakan meminta penjelasan kepadanya dengan bertanya balik. Menebak. “Apakah karena nama saya?” Tak melepas senyum, petugas itu mengangguk yang membuat saya terperangah. Darinya saya memahami rupanya ada rasa lokal dalam nama saya. 😀

Tribhuvan International Airport
Tribhuvan International Airport

Selepas imigrasi dan memeriksa paspor yang ditempel stiker visa setengah halaman, saya harus menerobos kerumunan lain lagi agar bisa keluar karena saya tidak membawa bagasi. Merasa yakin dengan penjemputan dari hotel, saya mengikuti arus keluar dan Tadaaaa! Gerombolan penjemput ada di luar gedung, di seberang jalan yang cukup lebar dengan papan nama tak lebih besar dari A4, yang cukup sulit dibaca dari tempat saya berdiri. Dan kalau saya keluar meninggalkan gedung terminal, tentu saya tidak akan bisa masuk lagi. Terus bagaimana…?

Dan mungkin karena otak terletak di kepala dan rasa lebih menguasai, tanpa dipikir kaki sudah melangkah dan menyeberang jalan lalu menyusuri para penjemput untuk membaca papan nama satu per satu. Dan sudah saya duga, tidak ada nama saya di situ. Dua kali saya menyusuri dan pelan-pelan membaca, tetap tidak ada nama saya di situ! Bagus sekali, kejutan lagi….

Tribhuvan International Airport - International terminal
Tribhuvan International Airport – International terminal

Kini saya sudah berada di luar dan biasanya tidak boleh masuk kembali ke area terminal kedatangan. Tetapi saya harus bisa masuk kembali ke gedung terminal karena hendak menggunakan taxi prabayar yang hanya disediakan di dalam gedung. Lagi-lagi, tanpa pikir panjang saya melangkah kembali ke dalam. Untung saja tidak dicegat oleh petugas. Dan memang mungkin demikian jalan hari yang harus saya alami, karena sambil orientasi sekitar, saya melihat kios untuk SIM ponsel. Aha! Update status!

Setelah lama tertahan di kios ponsel dengan layanan gaya kura-kura di pantai, saya memberanikan diri melangkah ke satu-satunya kios didekatnya untuk memesan taxi yang saya butuhkan untuk ke hotel. Memberanikan diri? Benar, karena kios itu dipenuhi oleh segerombolan laki-laki dan saya hanya seorang traveler perempuan yang pastinya menjadi mangsa empuk jualan mereka. Masuk ke kandang macan!

Kathmandu Highway
Kathmandu Highway

Dan benarlah!

Karena saya membutuhkan dan harus menyampaikan nama hotel maka langsung riuh rendah mereka berbicara memuji-muji hotel yang saya pilih selain membicarakan lokasinya. Saya belajar untuk mengabaikan suara-suara yang masuk kecuali dengan petugas kios taksi yang saya ajak bicara. Dengan jarak fisik yang terjaga dengan mereka dan hanya bermodalkan kata Dhanyabaad serta memasang wajah lelah perlu istirahat, saya cukup berhasil mengatasi mereka. Tak lama kemudian saya bisa dapat kendaraan menuju hotel yang menurut Tripadvisor agak tricky untuk menemukannya.

Saya telah berada di dalam taksi menuju pintu-pintu perjalanan di Nepal yang sudah terbuka lebar, Dhanyabaad, Terima kasih….

Tetapi ups…. dan ternyata perangkap halus itu dipasang juga! <BERSAMBUNG>

Sukhothai – Ayutthaya 3D2N Trip Without Ho(s)tel


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Sukhothai itu ada di Thailand Tengah Utara, sudah dekat ke arah Chiang Mai, dan Ayutthaya di dekat Bangkok. Jarak antara Sukhothai dan Ayutthaya itu sekitar 300km, kira-kira 5 atau 6 jam perjalanan dan saya bisa mengelilingi kedua situs warisan dunia yang ada di kedua kota itu tanpa harus menginap di sebuah ho(s)tel pun di masing-masing kota itu. Juga tidak menginap di Bangkok. Bagaimana bisa? Ya, tentu saja bisa karena saya juga belajar dari para pejalan lain…

Berawal dari menipisnya budget karena pengeluaran untuk transportasi perjalanan sebelumnya ke Preah Vihear di Kamboja (tinggal klik kalau mau baca ceritanya), saya harus memutar otak agar bisa juga mengunjungi Sukhothai dan Ayutthaya di Thailand. Sudah beberapa kali ke Bangkok, pasti saja Ayutthaya terlewatkan sehingga mau tidak mau saat itu Ayutthaya menjadi destinasi khusus yang harus dipenuhi. Selain itu, daerah Sukhothai juga memanggil-manggil. Kedua tempat itu merupakan World Heritage Sites terkenal di Thailand, sehingga bagi penyuka segala sesuatu yang berbau heritage seperti saya, tentu saja kedua tempat itu menjadi keharusan.

Hari ke 1 – Bangkok

Pagi itu saya menuju Bangkok setelah perjalanan luar biasa semalam sebelumnya ke Preah Vihear di Kamboja. Saya menyempatkan diri ke museum Madame Tussaud Bangkok di lantai 6 Siam Discovery, yang saat itu masih promo karena baru dibuka. Dan karena kangen naik BTS dan MRT, tetap saja saya menaiki moda transportasi yang mahal itu dari Siam dengan menggunakan jalur Silom dan turun di Sala Daeng. BTS Sala Daeng merupakan stasion interchange dengan stasion MRT Silom, sehingga saya turun ke MRT untuk lanjut ke Hua Lamphong. Total harga dari Siam ke Hua Lamphong dengan naik BTS dan MRT tentu lebih mahal daripada naik tuktuk atau ojek dari Siam langsung ke Hua Lamphong, tetapi yaaa… mungkin itu harga yang harus saya bayar untuk sebuah kekangenan hehehe…

Station MRT Hua Lamphong terintegrasi langsung dengan Stasion Pusat Kereta Api di Thailand dan dari sini, bisa kemana saja selama rel tersambung. Berada di stasion pusat kereta api di Bangkok ini, saya jadi teringat akan stasion Jakarta Kota, Jogjakarta, Semarang atau yang lain karena bentuk lengkung-lengkung peninggalan jaman kolonial dulu. Saya mengikuti petunjuk dari seat61.com untuk pembelian tiket ke Ayutthaya dilakukan di loket yang ada di sebelah kiri jika kita melihat foto besar Sang Raja. Namun untuk tiket sleeper train yang akan saya gunakan dari Ayutthaya ke Phitsanulok, kota terdekat dengan Sukhothai, saya harus memesan tiketnya. Pemesanan tiket dilakukan di bagian sebelah kanan. Untung hari itu masih ada tiket tersedia. Tiket-tiket sudah di tangan, saya melangkah masuk ke peron.

Hari ke 1 – Menuju Ayutthaya

Karena tidak memiliki ekspektasi apa-apa, saya menikmati saja kereta ekonomi kelas tiga ke Ayutthaya yang seperti kereta ekonomi kita jaman dulu. Maksudnya, tanpa AC, jendela kayu lebar yang harus diangkat atau diturunkan jika mau dibuka dan masing-masing gerbong berbeda-beda tempat duduknya. Ada yang terbuat dari plastik, ada yang dari kayu dan ada pula yang berlapis busa. Yang menyenangkan adalah kelapangannya alias kosong. Tak banyak penumpang yang naik kereta itu. Ketika kondektur memeriksa tiket, saya diminta pindah ke gerbong depan yang lebih baik padahal saya sudah menempati tempat duduk yang benar. Entahlah, mungkin tampang saya yang ‘turis banget’ ini dengan gembolan ransel di atas membuatnya ingin memberikan service lebih.

Mirisnya menggunakan kereta ekonomi ini, kita bisa melihat sisi lain dari Bangkok yang tidak pernah ditampilkan. Jika biasanya Bangkok tampil sebagai si cantik penuh senyum dan kegemerlapan, dengan kereta ini kita bisa menyaksikan Bangkok yang kumuh, dengan hiasan rumah-rumah kardus, tripleks sepanjang rel. Dari kereta yang berhenti menunggu rambu, saya bisa menyaksikan langsung ke ruang dalamnya yang tidak ada apa-apa dari rumah tripleks yang sangat tidak layak huni. Kemiskinan Bangkok ini membuat hati berdenyut. Sepotong doa terucapkan untuk mereka yang berjuang sangat keras untuk memperbaiki hidupnya. Seperti juga Jakarta yang punya sisi kelam, Bangkok pun tak beda.

Untung saya mengambil peta route kereta api, karena saya jadi mengetahui nama-nama stasion ketika kereta berhenti. Bahkan saya tersenyum sendiri melihat kereta ini juga berhenti juga di Don Muang. Dalam hati saya mencatat, kalau mau murah tapi santai, bisa naik kereta dari Don Muang ke kota. Saya melihat ada backpacker asal mancanegara dengan ransel besarnya turun dari kereta kemudian menyeberangi jembatan dan terus berjalan ke bandara untuk melanjutkan penerbangan.

Dan setelah menempuh perjalanan dengan pemandangan standar, akhirnya kereta berhenti juga di Ayutthaya dan saya turun. Untung saya mengikuti urutan dari stasion, dan membaca papan nama setiap stasion kereta sehingga saya tahu dimana saya harus turun. Tidak ada informasi melalui pengeras suara. Jika saja saya tidak memegang peta route, atau membaca nama stasion, tidak heran jika saya terbawa terus.

Stasion Ayutthaya kecil tetapi lengkap. Setelah meletakkan ransel di tempat penitipan yang ada di stasion, saya melanjutkan trip keliling Ayutthaya dengan menggunakan tuk-tuk. Harganya standar karena tertera di papan dan cukup menguras kantong menurut saya. Saya harus menawar lebih nekad karena saya tidak menyewa sehari penuh dan harus kembali jam 8 malam ke stasion.

Setelah keliling Ayutthaya sejak siang jelang sore hingga malam dengan makan malam seadanya, supir tuktuk itu mengantar saya kembali ke stasion kereta. Saya mengambil kembali ransel yang sudah dititipkan dan menunggu kereta yang akan membawa saya ke Phitsanulok, kota terdekat untuk mencapai Sukhothai.

Malam ke 1 – Salah Turun dan Tiket Gratis

Setelah tertunda beberapa lama, akhirnya kereta yang ditunggu pun datang dan saya langsung menuju gerbong tempat saya duduk maupun tidur. Saya pesan di kelas 2 yang ber-AC. Karena saya naik sudah malam, tempat-tempat duduk sudah dalam format tempat tidur. Sepanjang lorong tampak tas-tas, ransel menyandar pada tempat tidur, sepatu, sandal di lantai dan gorden-gorden yang menutupi tempat tidur susun dua itu di bagian kiri kanan. Saya pun melompat masuk ke tempat tidur dan menutup gorden. Dan setelah berberes dan menyalakan alarm perkiraan sampai di Phitsanulok, tanpa menunggu lama saya merebahkan diri untuk beristirahat. Kasur dan bantal yang empuk membuat saya nyaman karena bisa berbaring lurus.

Setelah berjam-jam perjalanan kereta, alarm berbunyi dan saya membereskan barang-barang dan bersiap-siap turun. Dan di gerbong tidak tampak satu orang pun yang hidup, hehehe, karena semua orang tertidur pulas. Tidak ada petugas kereta di gerbong saya maupun di gerbong sebelah, tidak ada petugas keamanan kereta. Setelah menjulur-julurkan kepala laksana naga, batang hidung petugas tak nampak-nampak. Mungkin tidur juga. Perkiraan jam saya sudah dekat dengan Phitsanulok. Saya tidak bisa membaca nama-nama stasion saat kereta berhenti karena di luar gelap. Kalau pun ada, saya tidak bisa baca tulisan Thailand. Celaka! Dan karena tidak satu orang pun yang bisa saya tanya, ketika kereta berhenti di sebuah stasion yang cukup besar dan saya tidak mau dibawa terus ke Chiang Mai, saya nekad turun. Perkiraan saya inilah Phitsanulok. Dan setelah terpatah-patah bicara dan konfirmasi dengan petugas kereta yang ada di peron stasion, akhirnya bisa ditebak. Saya salah turun stasion, sodara-sodara!!! 😀

Saya memasang muka pucat pasi dan bingung karena salah turun stasion di tengah malam dan hal itu mendapat empati dari petugas jaga. Saya diminta untuk masuk ke dalam ruang kerjanya dan diberikan karcis pengganti ke Phitsanulok. Walaupun saya bersedia membayar tiket tambahan karena turun bukan pada tujuan, mereka lebih senang memberikannya secara gratis kepada saya sebagai bentuk pelayanan kepada turis. Wah tentu saja saya senang sekali. Saya jadi tambah suka ke Thailand!

Hari ke 2 – Ke Phitsanulok & Sukhothai

Laksana orang penting, mereka menunggui saya lalu mengantar hingga ke kereta pengganti, dan menghubungi petugas kereta, mungkin untuk memberitahu bahwa saya akan turun di Phitsanulok. Walaupun tidak sebagus kereta pertama, saya masih beruntung dapat transportasi lanjutan ke Phitsanulok. (Saya tidak bisa membayangkan tengah malam seperti ini melanjutkan ke Phitsanulok dengan bus!). Kali ini saya tidak mau kecolongan lagi, kepada penumpang di sebelah saya (yang bertanya-tanya mengapa saya naik dari stasion antah berantah itu), saya hanya minta tolong untuk diberitahu ketika sampai di Phitsanulok. Dan benarlah, saat sampai di Phitsanulok, saya diberitahu oleh penumpang sebelah bahwa saya harus turun. Petugas yang tadi dititipi, tidak tampak batang hidungnya, dan kalau saja penumpang sebelah tidak berbaik hati memberitahu, tentu saya sudah terbawa ke Chiang Mai! Dan mungkin saja, tidak disertai karcis gratis lagi!

Di Phitsanulok hari sudah menjelang pagi, saya menunggu sebentar di peron setelah membersihkan diri di kamar mandi stasion. Setelah itu baru menitipkan ransel di tempat penitipan dan membawa daypack bersama saya. Dengan sharing menyewa angkot bersama bule-bule Perancis yang hanya seorang yang bisa bahasa Inggeris, saya melanjutkan perjalanan ke terminal bus untuk terus ke Sukhothai. Saya hanya perlu kembali sebelum gelap ke stasion kereta di Phitsanulok ini dan harusnya cukup waktu untuk keliling tempat wisata di Sukhothai.

Malam ke 2 – Phitsanulok Menuju Bangkok

Seharian saya mengayuh sepeda sewaan di kawasan wisata Sukhothai yang ternyata luas dan bikin kaki gempor, dan setelahnya saya kembali lagi ke stasion di Phitsanulok dengan menggunakan bus dan dilanjut dengan angkot. Sambil menunggu kereta yang datangnya dari Chiang Mai, saya membaca buku setelah bosan berjalan-jalan di sekitar stasion. Rasanya stasion Phitsanulok sudah menjadi rumah. Ibu yang menjaga kamar mandi judesnya setengah mati, tetapi dia tersenyum lebar ketika saya tambahkan uang untuknya sambil ngobrol sambil lalu.

Kereta saya datang, kali ini saya mendapat kompartemen dengan empat tempat tidur. Saya tetap memilih tempat tidur bawah yang lebih nyaman. Herannya sepanjang perjalanan, saya tidak pernah melihat teman sekompartemen. Hanya bajunya yang tergantung dan itu seragam. Jangan-jangan masinisnya dan lebih buruk lagi…. jangan-jangan saya tidur sekompartemen dengannya. Hahaha!

Perjalanan menuju Bangkok terasa menarik pada awalnya hingga akhirnya membosankan. Yang paling enak memang jika kita tertidur pulas dan baru terbangun ketika sampai di Bangkok! Atau paling tidak berbekal music atau video player untuk membunuh waktu, karena hari sudah siang menjelang Bangkok dan tentu saja karenanya semua orang dibangunkan dari tempat tidur. Kereta kembali melewati juga Ayutthaya dan Don Muang. Tetapi tentu saja tidak berhenti di Don Muang, karena kereta yang saya naiki itu merupakan kereta ekspress.

Hari ke 3 – Bangkok Lagi

Perjalanan sampai ke Bangkok kali ini tidak mengalami masalah apapun. Saya tidak mengalami kekuatiran, karena kereta akan berhenti di stasion pusat Hua Lamphong dan semua penumpang akan turun. Kalaupun ketiduran, pastilah ada petugas yang akan membangunkan. Kan keretanya berhenti.

Sesampainya di Bangkok, lagi-lagi saya memperlakukan stasion Hua Lamphong sebagai ‘rumah’. Saya makan dan membersihkan diri disitu sebelum akhirnya saya meninggalkan ‘rumah’ untuk ke pusat kota Bangkok, berkeliling ke beberapa tempat wisata termasuk berbelanja, dan akhirnya ke Bandara malam harinya untuk kembali ke Jakarta. Akhirnya bisa juga saya melakukan perjalanan 3 hari 2 malam ke dua tempat wisata dengan skala World Heritage tanpa harus menginap di ho(s)tel manapun dan tetap sehat karena bisa mandi dan bisa tidur berbaring dengan nyaman. Lain kali saya ingin mengulang lagi untuk perjalanan ke kota lain…

Haeinsa Trip: Beautiful Life Lessons with Ups & Downs


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Haeinsa Temple, sebuah kuil dalam Gayasan National Park, Korea Selatan, merupakan World Heritage Site yang menyimpan Tripitaka Koreana, kitab suci Buddha pada 81.350 buah cetakan kayu sejak tahun 1398. Haeinsa Temple sendiri telah lama tersimpan rapi dalam Korea bucket list saya sebagai destinasi dengan prioritas tertinggi, bahkan mengalahkan tempat-tempat world heritage lainnya di Korea. Tidak ada alasan spesifik yang jelas, namun sebagai pejalan, sepertinya ada ikatan yang begitu dalam antara Haeinsa dan saya. Karena itulah tekad membulat untuk menyentuh Haeinsa Temple dengan seluruh panca indera ketika melakukan solo-trip ke Korea Selatan November 2013 lalu.

Man jadda wajada. Man shabara zhafira. Man sara ala darbi washala

Yang mengupayakan sungguh-sungguh akan sukses, yang bersabar akan beruntung, 

dan yang berjalan di jalannya secara konsisten akan sampai ke tujuan.

Sebuah perjalanan pada intinya adalah upaya yang sungguh-sungguh. Bagi yang tidak pernah mengupayakan, tidak pernah beranjak kemana-mana. Seperti pagi itu, pagi musim gugur yang indah di Guesthouse, Gyeongju, yang harus ditinggalkan. Hari itu saya mengarah ke Haeinsa Temple, destinasi utama saya, melalui kota Daegu dengan cara apapun juga.

Saya melangkah menuju halte untuk bertanya kepada seseorang yang menunggu bus, tentang nomor bus dan arah ke terminal bus antar kota. Namun dia memilih meminta maaf karena tidak bisa berbahasa Inggris. Halte yang hanya didukung oleh karakter Hangul yang tidak bisa dipahami, serta ketidakpastian situasi tanpa tahu arah, -sementara waktu berjalan terus-, meningkatkan kekuatiran yang menjengkelkan. Saya tak ijinkan ketidakpastian melanda hingga saya beralih berjalan kaki menuju stasion kereta api di seberang. Namun apa daya, ternyata jadwal kereta tak sejalan waktu saya. Keluar stasion kereta, saya melangkah ke tempat antrian taksi. Namun, ketika saya sampaikan tujuan ke terminal bus antar kota, pengemudi taksi itu tak berkenan mengantar saya. Sekali lagi, tak berkenan! Dan dengan berbagai alasan! Terhenyak, kecewa pun merambat naik. Baru kali itu, -jika boleh bersombong rasa-, uang ada tetapi taksi tak mau mengantar. Bukan tak bisa, tetapi tak mau. Ada sedikit yang berdenyut dengan penolakan itu, tetapi kecewa hanya menjadi beban bila dipelihara. Saya belum berpindah, dan hanya ada dua pilihan di hadapan: berdiam menunggu dalam ketidakpastian atau mengambil tindakan untuk mencapai tujuan impian. Saya memilih opsi terakhir.

So walk, or run if you can, to your dreams. It doesn’t matter if it’s far or near.

You can pause along the way but never stop…

Bukankah masih ada kaki sehat yang dianugerahi oleh Yang Maha Memiliki? Bukankah beban ransel tidak sampai membuat punggung meliuk? Sedangkan mentari pagi masih bersinar lembut. Selangkah demi selangkah saya jalani dengan senyum, terminal bus antar kota di Gyeongju pun akan terlampaui. Jalan, kalau perlu berlari. Jarak sekian kilometer ke Terminal Bus tak akan terasa jauh karena Haeinsa terdengar samar memanggil dari balik gunung. Tetes keringat jatuh pun jadi hiasan. Semangat dari dalam pun meneriakkan, ayo menuju Haeinsa! Dan saya terganjar dengan kegembiraan sesampainya di terminal bus antar kota.

 In Life, many things don’t go according to plan,

If you fall, get back up. If you stumble, regain your balance, but never, never give up!

Dan kenyamanan pun saya dapatkan dalam perjalanan bus selama 60 menit dari Gyeongju ke Daegu.  Hati tenang beristirahat. Namun, seperti juga kehidupan, kenyamanan tidak pernah berlangsung selamanya. Sesampainya di Daegu, kota besar sebelum Haeinsa, bus berakhir di terminal antah berantah, yang tidak tertera dalam rencana perjalanan. Tak tampak rambu menuju subway. Naik bus atau taksi? Rasa cemas kembali merambat naik. Ditambah sisa buruk sangka dari pengalaman sebelumnya berhubungan dengan orang Korea yang terbatas berbahasa Inggris. Tapi…

Never give up. Miracles happen every day

Hati ini bertahan untuk memenangkan perjalanan ke Haeinsa walaupun kerikil terserak. Tak mungkin berdiam dalam ketidakpastian. Harus bergerak, mencari keseimbangan baru. Tak boleh menyerah pada situasi. Never give up! Sejalan semangat yang terbit, saya mendekati seorang perempuan Korea di halte bus. Sebagai sesama perempuan, saya membuka percakapan dengan bahasa dunia, senyum. Tidak dinyana, dia malaikat penolong berbahasa Inggeris yang memberi jalan keluar. Sarannya, menggunakan taksi kembali ke terminal yang ada dalam rencana saya. Ketika kelelahan hati terjadi berulang kali, senyum pun menjadi pemuas dahaga, apalagi pertolongan tulus berupa solusi. Denting keajaiban. Bersyukur saya menerima keajaiban-keajaiban yang terjadi setiap hari. Dan akhirnya di terminal bus yang seharusnya, hati bersukacita memegang karcis bus dari Daegu ke Haeinsa.

But, life isn’t meant to be easy, it’s meant to be lived. Sometimes good, other times rough.

And with every ups and downs, you learn lessons that make you strong…

Namun sepertinya keberuntungan bukanlah teman perjalanan saya kali ini. Belum juga beranjak dari terminal bus antar kota Daegu, petugas bus naik dan bicara cepat dalam bahasa Korea yang membuat setengah dari isi bus yang siap berangkat mengeluh keras dan langsung turun. Beberapa turis mancanegara dan saya terhenyak panik dalam ketidakmengertian. Ada apa? Mengapa? Apakah batal? Tidak seorangpun menyampaikan dalam bahasa Inggeris, dan karenanya saya bertanya pada mahasiswa di sebelah. Ia menjelaskan terpatah-patah bahwa perjalanan ke Haeinsa perlu waktu 5 jam dari yang biasanya paling lama 2 jam, karena lalu lintas padat. Sebelum saya bertanya lebih jauh, ia sudah bergegas turun membiarkan saya dilanda ketidakjelasan. Dan untunglah seorang turis Eropa sigap mencari tahu dan memastikan bus tetap berangkat ke Haeinsa, hanya saja akan lebih lama. Dan benarlah, perjalanan ke Haeinsa di akhir minggu itu tersendat-sendat dalam antrian panjang yang semakin parah jelang tujuan. Sebuah bagian dari kerikil-kerikil yang terserak dalam perjalanan…

Before your reach your destination, you’ll find yourself going through the wilderness.

While in the wilderness, your faith will be tried and tested.

Dan kemacetan lalu lintas yang parah bukanlah halangan terakhir untuk mencapai Haeinsa. Waktu yang terus bergulir hingga jelang sore pun belum membuat bus sampai ke Haeinsa. Satu per satu penumpang turun di tengah perjalanan, entah sampai tujuannya, mengalihkan ke kendaraan lain atau membatalkan perjalanan, sehingga membuat kekuatiran saya meningkat lagi. Penumpang bus semakin sedikit, tidak ada informasi jarak apakah Haeinsa sudah dekat atau masih jauh. Namun bus telah memasuki wilayah pegunungan Gayasan National Park dengan jalannya yang berkelok-kelok. Hingga suatu saat, bus benar-benar terjebak dalam kemacetan total, tak bisa lagi bergerak, tak bisa maju atau mundur, dua arah berhenti di tengah hutan pegunungan. Dalam kemacetan pun sebagian penumpang kagum sambil menunjuk sisi kiri bus. Tak dinyana, tampak sebuah patung Buddha Berdiri membelah hutan cantik berwarna merah kuning khas musim gugur. Gelombang besar penumpang mendesak minta diturunkan di situ menyisakan beberapa lansia. Bahkan turis Barat yang sigap tadi juga turun dan menghilang entah kemana. Dan terbawa arus penumpang lain yang mendesak turun, tanpa pikir panjang, saya pun ikut melompat turun.

Leap and the net will appear (Zen saying) 

Sepersekian detik setelah melompat dari bus, disorientasi dan sendirian, saya kehilangan arah dan tidak tahu dimana saya berada saat itu. Salah atau tidak, saya sudah turun dari bus. Jelas belum sampai di Haeinsa temple. Dalam hitungan detik, tingkat mawas diri yang diperlukan saat solo-traveling itu turun mencapai level terendah karena lelah hati akibat gempuran situasi tak bersahabat sejak memulai hari. Saya hanya menduga tempat ini merupakan spot penting untuk mulai trekking dalam Gayasan National Park, karena terlihat kelompok orang mengenakan pakaian trekking, berjalan ke berbagai arah. Berdesir perasaan di dalam, benih pikiran buruk bertandang. Saya sendirian, tanpa teman, orang asing yang tak mengerti bahasa lokal, tanpa persiapan trekking, tanpa tahu arah, dan dalam beberapa jam malam akan datang. Berlomba dengan waktu, kekuatiran luar biasa menerjang saya. Walaupun dalam hati, saya tetap malu untuk merasa takut dan kalah. Tak mau menyerah begitu saja, saya harus bisa tetap bertahan, dan berperang melawan segala bentuk kekuatiran yang tidak memberikan solusi apa-apa kecuali rasa takut.

Courage was not the absence of fear, but the triumph over it.

The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear

Seperti tak menginjak bumi, saya paksa untuk melangkah ke arah taman tempat patung Buddha yang putih tinggi menjulang itu di antara pepohonan dengan warna musim gugur yang indah, berharap lebih tenang. 

Do not dwell in the past, do not dream of the future,

concentrate the mind on the present moment (Buddha)

Alih-alih terjebak rasa takut karena disorientasi, saya mencoba fokus menikmati keindahan saat itu. Rasa indah memberi cukup ruang untuk berpikir lebih jernih tindakan selanjutnya. Dan setelah beberapa saat menenangkan diri, karena tempat itu bukan Haeinsa dan tak ingin terjerat pada sebuah pengalih perhatian, maka saya harus berpindah menuju ke Haeinsa. Walau dalam hati masih tersimpan campur aduknya sisa kekuatiran, tetapi saya tidak boleh kalah dengan rasa. Saya harus bergerak mencari jawaban akan keberadaan posisi saya.

Dan kaki ini melangkah ke papan peta yang ternyata tertulis dalam Hangul yang tidak saya pahami dan memperlihatkan rute trekking yang menyebar ke beberapa tujuan. Tidak ada petunjuk arah ke Haeinsa Temple. Peta itu mampu meningkatkan kecemasan saya lagi, seandainya saya bisa memahami Hangul! Lengkap sudah, saya sendirian, in the middle of nowhere, di tempat yang tidak dikenal, di hutan  negara orang, dikelilingi oleh orang-orang yang berbicara dalam bahasa asing, ditambah lagi banyak dari mereka hanya peduli dengan kelompoknya. Tetapi saya tidak mungkin kembali, lalu lintas berhenti total, point of no return. Perasaan ini sangat menekan, hati sangat lelah, tetapi jauh di dalam sana, terdengar teriakan untuk tetap tidak boleh kehilangan harap.

No storm lasts forever, hold on. Be brave. Have faith. Every storm is temporary and we’re never alone!

Jiwa membawa saya mendekati seorang pasangan paruh baya yang membawa kamera mahal. Saya duga mereka mampu berbahasa Inggeris karena kameranya. Absurd memang, tetapi siapa tahu? Dan benarlah, ternyata mereka adalah malaikat yang dikirim untuk memberi kekuatan kepada saya. Dalam bahasa Inggeris patah-patah, mereka menunjukkan jalan setapak untuk mencapai Haeinsa Temple, serta perkiraan waktunya. Rasanya ingin berteriak bahagia, pertolongan itu datang jua. Bersyukur karena saya tidak sendirian. Saya hanya diminta untuk percaya saja. Sepotong informasi sudah cukup untuk menunjukkan jalan berikutnya.

Faith is taking the first step even when you don’t see the whole staircase – Martin Luther King Jr.

Saya, tidak bisa tidak, kecuali melangkah mengikuti jalan setapak. Saya tidak mempersiapkan pakaian dan sepatu trekking, karena saya menduga Haeinsa seperti juga kuil terkenal lain di Korea, sudah terbentuk akses jalan sehingga tidak perlu trekking. Saya hanya berdoa agar sepatu boot beralas karet ini tidak licin dan jaket musim gugur yang saya pakai cukup untuk menahan dinginnya udara.

 No one saves us but ourselves, No one can and no one may. We ourselves must walk the path.

Inilah jalan yang harus saya tapaki, ‘belantara hutan’ yang harus dijelajahi untuk mencapai apa yang saya inginkan. Saya memulai ratusan meter pertama yang mendaki yang masih landai. Dan ketika di sudut tersembul sebuah papan petunjuk arah ke Haeinsa Temple, tertulis dalam tulisan latin, benar-benar seperti rintik hujan saat kemarau berkepanjangan.

Saya nikmati sejengkal dua jengkal, sekilo dua kilo jalan setapak yang kian mendaki sambil mengambil foto tempat-tempat indah, tempat-tempat yang mengingatkan akan rasa yang bergejolak seperti roller coaster. Tetes keringat mengucur, lagi-lagi menjadi hiasan perjalanan. Tiap langkah yang diambil, entah mengapa hati ini mengucap nama Yang Maha Pemberi Petunjuk, sepertinya ada airmata yang menetes bahagia dari dalam jiwa. Saya tak bicara, kecuali kepada Sang Pemilik Alam. Luar biasa.

Jalan semakin mendaki dan sampailah saya pada sebuah simpang dekat pasar, yang saya kenali dari gambar internet sebagai awal akses jalan ke Haeinsa Temple. Saya sudah dekat, tinggal sedikit lagi.  Seakan tak sabar, saya mempercepat langkah karena hari sudah semakin sore. Dan, akhirnya… saya melihat sebuah batu besar bertuliskan Haeinsa Temple, UNESCO World Heritage Site, tak terasa mata saya panas, berkaca-kaca… Finally! Akhirnya saya menjejakkan kaki di Haeinsa Temple! Saya menyentuhkan tangan ke batu besar itu. (Dan saya akan ceritakan mengenai Haeinsa Temple di tulisan terpisah).

… hug it when you finally meet it! Embrace the moment. Love it and never let it go.

Hold its opportunities and kiss its lessons with full of sincerity.

Remember every moment of it – specially – the journey.

It is what matters most.

Ijinkan saya memeluk rasa itu sedalam-dalamnya. Saya nikmati setiap langkah di dalam Haeinsa Temple hingga dentang terakhir gong itu berbunyi, akhir dari kunjungan ke kuil. Berat rasanya harus mengucapkan salam perpisahan kepada Haeinsa. Tapi tak pernah ada datang yang tak pergi bukan? Karena pada akhirnya, saya harus mencari cara apapun untuk kembali ke Daegu malam itu. Masih adakah bus yang kembali ke Daegu? Padahal terminal pun tak tahu, apalagi karcis pulang…

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Menyadari itu, setengah berlari saya menuruni jalan setapak menuju persimpangan dekat pasar itu dan rasanya sekejap saya sampai di persimpangan itu. Saya membisikkan doa, menyebut namaNya yang indah sebagai Maha Pemberi Petunjuk. Saya melangkah ke arah kanan, yang dalam pemahaman saya di situlah arah terminal bus. Saya terus mengayunkan langkah di pinggir jalan diantara mobil-mobil yang parkir tak teratur. Petugas lalu lintas masih terus berupaya mencairkan lalu lintas. Lampu-lampu mobil sudah dinyalakan memberi terang dalam kegelapan. Saya mengikuti pasangan muda yang berjalan di depan, berharap mereka juga ke terminal bus. Tapi ketika mereka membuka pintu mobilnya, pupus harapan saya ada teman yang menuju terminal bus. Di sekitar saya hanya ada mobil-mobil dengan penumpangnya yang mencoba sabar dalam macet. Tak ada manusia yang berjalan di depan saya. Selain lampu mobil, di tempat itu hanya ada kegelapan, tanpa senter. Saya merapatkan jaket, udara dingin dan angin pegunungan di musim gugur mulai menusuk. Jalan terus. This too shall pass… Tak bisa lain, saya harus bergegas walaupun airmata terasa hampir pecah. Saya sudah sampai di ujung tali, saya bergantung. Ya Tuhan, tolong saya…

 When you get to the end of your rope, tie a knot and hold on. Help is on the way.

Kaki terus melangkah menuju keramaian lampu. Mobil-mobil masih mengekor ke belakang dan kesanalah saya melangkah. Sampai akhirnya mulai ada bangunan-bangunan. Saya mendaki pada lorong yang ada penginapan namun dua kali saya melongok ke meja resepsionis di penginapan murah, tetapi tak ada orang sama sekali di baliknya.

God will make a way when there seems to be no way…

Saya keluar lagi menatap mobil-mobil yang terjebak di lapangan bawah. Apa yang harus saya lakukan? Seratus meter di atas ada toko barang kelontong, harapan saya. Saya bergegas ke atas. Di depan pintu, sambil membungkukkan badan dan mengucap salam, saya memohon kepada mereka untuk ditunjukkan arah terminal bus. Dan mereka malaikat yang tidak bisa berbahasa Inggeris, tetapi mau menolong hingga keluar ke jalan untuk menunjukkan jalan arah terminal bus. Saya terbungkuk-bungkuk hampir menangis bahagia mendapat petunjuk yang sangat berharga. Lagi-lagi, hanya perlu percaya dengan sepotong informasi…

Saya mengikuti petunjuk itu dan menemukan satu bus yang parkir. Walau tak tampak seperti terminal, tetapi tempat itu sebuah terminal bus. Dan kekuatan dari Yang Berkehendaklah yang menggerakkan mata saya untuk melihat tulisan yang tersembunyi: TICKET. Sekejap saya meluncur kesana dan berhasil mendapatkan tiket walaupun antrian penumpang yang menunggu kedatangan bus di pinggir jalan sudah mengular dan saya adalah ekornya. Saya tunggu bus datang sampai kapanpun walau dingin dan angin gunung menembus jaket.

Tidak ada yang kebetulan, semua terjadi karena ada alasannya. Seorang remaja putri dan seorang bapak yang entah dari mana ikut mengantri, dikirim oleh Yang Maha Kasih sebagai malaikat untuk menemani saya. Mereka membuka percakapan, karena melihat wajah saya yang non-Korea dan akhirnya menjadi teman perjalanan yang menyenangkan hingga Daegu. Tak ada nama atau email yang dipertukarkan, hanya ada rasa welas asih yang terjalin. Dan di Daegu setelah memastikan saya aman dan selamat, mereka menghilang memisahkan diri di balik ratusan orang di terminal. Dan sesampai di kamar penginapan, airmata saya tumpah. Saya telah mendapat pembelajaran yang teramat indah, dibimbing langsung dariNya. Tuhan Maha Baik.

Karena bepergian sesungguhnya adalah untuk mengenal diri dan

barangsiapa yang mengenal dirinya, ia pasti akan mengenal Tuhannya.

Mengurus Sendiri Pembuatan Visa Korea Selatan


Bagi saya, tetap saja yang namanya apply visa ke sebuah kedutaan besar negara lain membawa getar dan rasa kuatir tersendiri. Kekuatiran itu biasanya standard: Takut ditolak! Karena memang adalah hak ‘prerogatif’ pihak negara yang dituju untuk menolak masuk seseorang, apapun alasannya. Dan memang biasanya, pihak kedutaan tidak akan pernah memberitahu alasan penolakan pemberian visa…

Visa Korea
Visa Korea

Tetapi bukankah sebuah keberanian namanya bila kita berhasil menghadapi dan mengatasi rasa kuatir dan takut itu? Yang pasti saya mempunyai niat pergi berwisata ke Korea Selatan, dan saat ini negara itu belum membebaskan kita, warga Indonesia, untuk masuk ke Korea Selatan tanpa visa (kecuali per Oktober 2013 lalu pemegang paspor Ri dibebaskan ke pulau Jeju saja). Jadilah langkah yang harus saya lakukan pertama-tama adalah mengurus visa-nya!

Jadilah saya memulai langkah untuk mengurus visa ke Kedutaan Besar Korea Selatan di Jakarta. Kali ini saya mengurus sendiri, karena selain mau tahu prosesnya, saya sedikit tidak rela kalau uang kelebihan jatuh ke para agen pengurus visa, yang bisa mengutip uang cukup banyak. Bukankah lebih baik saya jadikan jatah makan di Korea Selatan? Hehehe…

Setelah browsing sana-sini, saya membuka link kedutaan besar Korea Selatan untuk mengetahui prosedur pembuatan visa, bisa dilihat di sini dan tentu saja syarat-syarat dokumennya dapat dilihat di sini

Sesuai dengan prosedur yang tercantum ketika saya melakukan pengajuan visa per bulan Oktober 2013 kemarin, berikut ini adalah prosedurnya. (Pastinya check and recheck lagi ke link kedutaan Korea Selatan ya)

Lanjutkan membaca “Mengurus Sendiri Pembuatan Visa Korea Selatan”