Blue Sky Over The Stupas


Blue Sky over the Stupas on Shwedagon

Rasanya saya tidak akan lupa momen itu. Momen berakhirnya perjalanan di Myanmar karena sesaat lagi saya harus meninggalkan tempat ini menuju bandara internasional Yangon untuk kembali ke tanah air. Saya ingin memeluk momen indah ini selagi bisa, sampai saatnya tiba untuk melepaskannya…

Meskipun masih banyak tempat menarik di Yangon yang belum sempat saya kunjungi tujuh tahun lalu, tetap saja saya memilih Shwedagon sebagai tempat mengakhiri perjalanan di Myanmar kali ini.

Tujuh tahun lalu saya ke Myanmar, saya menjadikan Shwedagon sebagai destinasi utama, menjadi alasan untuk datang ke Myanmar. Jika ingin tahu alasan utamanya bisa buka link ini. Dan kini, setelah kepergiannya, rasanya saya ingin memeluk kenangan itu selamanya, sepanjang saya bisa untuk berada di tempat yang mampu membahagiakannya.

Bisa jadi saya halu, kata anak-anak jaman now. Biar sajalah, karena bagi saya pribadi melakukan sebuah perjalanan bukanlah untuk berkompetisi dengan orang lain. Saya melakukan perjalanan karena ingin merajut tempat-tempat yang saya kunjungi menjadi rangkaian momen yang indah penuh makna dalam hidup. Juga saat ini, saat memeluk momen untuk mengakhiri sebuah perjalanan.

Ketika dulu, tujuh tahun lalu, saya penuh haru tapi penuh semangat bisa menjejak di tempat saya berdiri ini, kini saya juga diliputi haru namun berat untuk melepas. Sebuah rasa haru yang saling bertolak belakang berada di tempat yang sama.

Dan saat itulah, saya melihat ke puncak-puncak stupa keemasan dengan latar langit biru.

Seketika itu juga saya terperangah, memberikan kesadaran bahwa apa yang saya rasakan dulu dan apa yang saya rasakan sekarang semuanya relatif, namun yang pasti saya tetap sama. Berada di dalam naungan cinta tanpa syarat Sang Pemberi Hidup. Lalu mengapa harus merasa berat?

Ah, sambil tersenyum dengan kesadaran yang membahagiakan itu, saya melangkah ringan meninggalkan tempat itu.

*

By the way, since I’ve uploaded a picture of holy place in Myanmar and today is Vesak Day, let me wish for those who celebrate

Happy Vesak Day

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta,

May all beings be well, may all beings be happy and may all beings be free from suffering


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari CelinaA Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-19 ini bertema Blue Sky agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…

WPC – Intricate Design in Myanmar Temples


A Prayer's Hall in Shwedagon
A Prayer’s Hall in Shwedagon

An intricate roof in Shwedagon
An intricate roof in Shwedagon

Gate of Prayers' Hall - Shwedagon
Gate of Prayers’ Hall – Shwedagon

Mandalay Roof in Shwedagon
Mandalay Roof in Shwedagon

I could not deny that temples in Myanmar were shown in my mind when I read that “Intricate” is being the theme of Weekly Photo Challenge.

Surely, I cannot forget with the intricate design of the roofs and gates of Shwedagon Phaya in Yangon, and Mahamuni Temple in the city of Mandalay.

The roofs, the gates of prayers’ hall and the pillars are intricately carved, mostly with gold color. Those made the temple and pagoda so bright at night. The attractive decoration on the top curved gate in Mahamuni, on the pillars and the roofs as well, -in Shwedagon or in Mahamuni, all amazed me. I believed only highly skilled artistic workers with consistent strength could make it all happened.

Pagoda Mahamuni
Pagoda Mahamuni

Gate in Mahamuni - Mandalay
Gate in Mahamuni – Mandalay

(Burma Trip – Shwedagon #3) Menikmati Malam di Shwedagon


Diamond di Puncak Shwedagon

Kaki saya telah keluar dari bangunan Inskripsi Shwedagon, melangkah menuju bangunan lainnya sambil mendengarkan cerita dari sang guide. (Jika belum mengikuti perjalanan saya di Shwedagon sebelumnya, baca dulu : Burma Trip – Shwedagon#2 : Melangkah Diantara Yang Cantik).

Saya memutari Pagoda Naungdawgyi searah jarum jam, sehingga mencapai Bangunan Shin Ajagona yang berada tepat di bagian selatan pagoda. Bangunan ini serupa dengan bangunan lainnya yang  memiliki khas Burma, berwarna hijau keemasan. Ajagona sendiri merupakan kisah seorang biksu dari Bagan, yang mencari ilmu untuk mendapatkan jimat batu filsuf. Dalam tahap akhir upayanya, Ajagona menceburkan gumpalan-gumpalan besi yang telah ia buat lama sebelumnya ke bejana cairan asam. Namun, alih-alih mendapatkan jimat, gumpalan-gumpalan itu tidak mengalami perubahan apapun. Merasa malu, ia mengakui kegagalannya dengan cara mempersembahkan kedua matanya sebagai tanda bakti kepada Raja dan seluruh rakyat Bagan yang telah mendukung upayanya sekian lama. Dalam kebutaannya, lalu ia membuang seluruh gumpalan logam itu ke sebuah jamban. Anehnya, dengan dibuang ke jamban, gumpalan logam itu berubah bentuk dan dipercaya telah menjadi jimat batu filsuf. Rupanya elemen akhir yang harus ditambahkan untuk menjadikan sebuah jimat bukanlah cairan asam melainkan kotoran. Dalam kebutaannya, Ajagona justru telah berhasil mendapatkan batu filsuf. Namun karena ia buta, Ajagona kemudian menyuruh seorang pemuda ke pasar untuk mendapatkan sepasang mata, baik sepasang mata domba atau sapi, agar Ajagona dapat kembali melihat. Namun sayangnya, di pasar si anak muda hanya bisa mendapatkan satu mata domba dan satu mata sapi. Tak putus asa Ajagona menggunakan mata yang diperoleh si anak muda tadi agar ia bisa kembali melihat. Akhir kisah, penglihatan Sang Biksu  bisa dikembalikan, tetapi matanya berbeda satu dengan yang lainnya dan karenanya ia terkenal dengan nama Ajagona, yang secara bebas diartikan Domba-Sapi. Kisahnya tidak berhenti disitu, dengan bekal batu filsuf yang dimilikinya, Sang Biksu berhasil membuat rakyat Bagan menjadi sejahtera dan makmur sehingga mampu membangun banyak pagoda. Sebuah cerita yang menarik, karena saya melihat sendiri banyak sekali pagoda yang tersisa masih berdiri dengan megahnya di Bagan, apalagi pada jamannya!

Genta Mahasaddhaghanta

Meninggalkan Bangunan Shin Ajagona, masih di area tenggara dari Pagoda Naungdawgyi, terdapat bangunan yang didalamnya terdapat sebuah genta atau lonceng raksasa yang disebut dengan Genta/Lonceng Raja Tharyarwady. Genta ini didonasikan oleh Raja Tharyarwady yang memerintah dari tahun 1838 – 1846, setelah kunjungannya ke Yangon. Genta raksasa yang ditempatkan pada tahun 1843 ini bernama Mahasaddhaghanta yang berarti Genta Besar Tiga Suara. Berbeda dengan Singu Bell yang juga menghiasi Shwedagon, genta Mahasaddhaghanta yang berbobot 42 ton ini merupakan genta terbesar kedua di Burma setelah Genta Mingun di Mandalay yang bobotnya 89 ton. Genta Raja Tharyarwady ini memiliki tinggi lebih dari 4 meter dan berdiameter sekitar 2 meter dengan ketebalan 37cm. Di permukaannya terdapat inskripsi dalam bahasa Pali dan Burma yang merupakan inskripsi paling panjang di Burma.

Pengunjung sering memanfaatkan area di dekat Genta ini sebagai tempat untuk bermeditasi. Bahkan ketika saya berkunjung ke sana, di dalam genta raksasa terdapat seseorang yang sedang bermeditasi. Secara logis, mungkin orang tersebut mencari keheningan luar biasa yang bisa didapatkan di dalam genta karena suara lebih teredam (Tetapi maaf ya…. Lanjutkan membaca “(Burma Trip – Shwedagon #3) Menikmati Malam di Shwedagon”

(Burma trip – Shwedagon#2) – Melangkah Diantara Yang Cantik


Saat ini saya masih berada di sisi Barat dari Shwedagon. Ternyata Shwedagon jauh lebih luas dari perkiraan saya. Banyaknya bangunan yang luar biasa cantiknya membuat mata ini tak puas-puas memandang kemana pun. Juga banyaknya pengunjung yang datang beribadah bercampur dengan para wisatawan, membuat tempat ini terasa magis namun menarik.  Bagi yang tertinggal cerita perjalanan saya sebelumnya di Shwedagon… baca saja dulu  Burma trip – Shwedagon #1)

Big Buddha at Hall of Prosperity

Berhadapan dengan Aula Daw Pwint, sampailah saya pada Altar Barat yang dapat diakses langsung dari  gerbang barat. Altar Barat ini berisikan Kassapa, Sang Buddha Ketiga. Aslinya Altar ini dibangun oleh U Aung Gyi dan Daw Saw Nyunt pada tahun 1900, tetapi luluh lantak karena kebakaran besar tahun 1931 dan hanya menyisakan 3 lempeng marmer bertuliskan dalam bahasa Burma, Inggris, China dan Hindi tentang keberuntungannya dapat bebas dari kebakaran. Tak berbeda dari Altar Utama lainnya, disini pun banyak sekali pengunjung yang beribadah dengan khusuknya.

Melangkah dari Altar Barat, di ujung Barat Laut terdapat Singu Bell (Genta). Sejarahnya, raja ke empat dari Dinasti Konbaung membawa Genta besar itu ke Shwedagon pada tahun 1779, dan diberi nama Mahaghanta. Tidak main-main ukurannya, karena berat genta tersebut 25 ton, dengan 2.1 meter tinggi dan 2 meter lebar serta 30cm ketebalannya. Siapapun yang membunyikan genta tersebut tiga kali, katanya… Lanjutkan membaca “(Burma trip – Shwedagon#2) – Melangkah Diantara Yang Cantik”

(Burma trip – Shwedagon #1)… Akhirnya saya sampai di Shwedagon, Pa…


Shwedagon at night

Asia

Tenggara,

Jangan ’ku ditanya

Mana yang lebih juara

Apakah Borobudur di Indonesia

Atau Angkor Wat yang ada di Kamboja

Karena Burma juga punya Shwedagon Phaya

Selepas mengunjungi  Sule Pagoda hari itu, ujung sore datang menyapa seakan mengingatkan bahwa ada yang harus saya lakukan. Benar, obyek Utama yang menjadi salah satu alasan saya mengunjungi Burma. Bergegas saya menyetop taxi dan memintanya ke arah utara, ke tempat yang saya impikan: Shwedagon Phaya yang bernama resmi Shwedagon Zedi Daw itu. Lalu lintas cukup padat sehingga taxi beberapa kali terjebak pada antrian. Sungguh mengingatkan pada kota saya sendiri.

Taxi memasuki kompleks Shwedagon, yang terletak di bukit Singuttara, dari arah Jalan U Htaung Bo yang merupakan gerbang masuk Selatan, salah satu diantara 4 gerbang masuk ke Shwedagon. Ke empat gerbang itu adalah Gerbang Barat dengan 166 anak tangga, ditutup selama puluhan tahun karena kebakaran besar yang terjadi di tahun 1931 namun sekarang sudah dapat diakses, Gerbang Utara yang dibangun tahun 1460 memiliki 128 anak tangga, Gerbang Timur memiliki 118 anak tangga juga pernah mengalami kerusakan dari ketika Inggeris menyerang di tahun 1852. Gerbang Timur ini memiliki akses terdekat ke penjual souvenir di kaki bukit dan tersedia pula kedai minum teh untuk beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan Danau Kandwgyi yang terhampar di depannya. Gerbang Selatan merupakan gerbang yang biasa digunakan pengunjung karena kemudahan akses dari pusat kota, dan juga karena memiliki jumlah anak tangga yang paling sedikit yaitu sebanyak 104. Pengemudi taxi menurunkan saya di pintu akses khusus turis yang memiliki lift langsung ke tingkat pelataran sehingga saya tidak perlu menaiki ratusan anak tangga. Akses khusus turis ini berada di antara gerbang Selatan dan Timur. Sebenarnya saya kehilangan momen meniti sejarah yang ada di tiap anak tangganya, tetapi mungkin itu pilihan yang lebih baik daripada pingsan di atas karena kehabisan nafas 🙂

Shwedagon sendiri dibuka untuk umum dari jam 04:00 hingga jam 22:00 malam kecuali hari-hari tertentu (sekitar Maret dan Juni) yang dibuka 24 jam. Walaupun dibuka jam 04:00 pagi, tiket masuk baru dijual pada jam 06:00 pagi. Kecuali Anda orang lokal atau turis yang tidak memiliki hati untuk membayar tiket masuk, Anda bisa melenggang masuk tanpa bayar pada jam 04:00 pagi.  Harga tiket masuk sebesar US$5 ditambah US$3 untuk kamera. Setelah membayar, saya harus membuka sepatu/sandal termasuk kaos kaki dan disimpan dalam tas plastik terus saya masukkan ke ransel, agar memudahkan akses untuk keluar Pagoda. Saya menyewa seorang guide, untuk mendapatkan informasi detil mengenai Pagoda yang sudah saya ketahui dari kecil ini (dan akhirnya saya tidak pernah menyesal membayar seorang guide, karena banyaknya informasi yang saya dapatkan, dan tentunya membantu mengambil foto saya sendiri!)

Dan karena Shwedagon merupakan tempat ibadah, seyogyanyalah kita mematuhi aturan berpakaian ketika mengunjungi tempat ini. Celana panjang, celana di bawah lutut, kain panjang atau rok di bawah lutut bisa diterima dengan dipasangkan baju berlengan. Dan sebagaimana tempat ibadah lain, sebaiknya kita menghormati dan tidak mengganggu mereka yang sedang beribadah dengan tidak berisik, tidak over-acting di depan mereka.

Lanjutkan membaca “(Burma trip – Shwedagon #1)… Akhirnya saya sampai di Shwedagon, Pa…”

Rencana ke Myanmar: Menapak Tilas untuk Sebuah Cinta


Buddha in a Bottle
Buddha in a Bottle

Ketika teman-teman lain lebih memilih pergi ke Eropa, Australia, Amerika atau negara-negara modern lainnya, saya memutuskan untuk pergi ke Burma atau yang sekarang lebih dikenal dengan Myanmar, sebuah negara yang kelihatannya agak terlupakan. Dan lagi-lagi pandangan bertanya-tanya, seperti dulu saat hendak pergi melakukan solo-trip ke Kamboja. Untuk apa ke Myanmar? Apa menariknya? Mau ketemu dengan Aung San Suu Kyi? Dan tentu saja saya akan menanggapinya dengan sebuah pertanyaan lagi, why not?  Mengapa tidak?

Bagi saya pribadi, Burma atau Birma memiliki relasi kelekatan jiwa masa kecil. Burma merupakan salah satu negara yang sudah masuk dalam perbendaharaan kata negara yang saya miliki sejak masih kecil. Rasanya masih jelas dalam ingatan tentang hari-hari dimana mata kecil saya memandang takjub pajangan botol yang merupakan cinderamata yang dibawa Papa tercinta sepulang dinas dari Burma. Cinderamata itu berupa botol kaca yang berisikan patung Buddha kecil keemasan yang sedang duduk dan di sekitar dudukan Buddha terdapat hiasan-hiasan kecil yang bisa berayun-ayun jika botol digoyang sedikit. Karena takut pecah, saya memegangnya dengan sangat hati-hati dan hanya bisa memandang penuh rasa takjub dan terpesona melihat hiasan-hiasan itu bergoyang-goyang dan berpikir keras bercampur kagum bagaimana patung dengan ukiran indah itu bisa masuk ke dalam botol.

Kekaguman akan negeri Burma ditambah dengan cerita-cerita Papa ketika berdinas di sana. Sambil menunjukkan foto, Papa bercerita tentang patung-patung Buddha yang berukuran sangat besar, kilauan keemasan bangunan-bangunan indah, beras yang bermutu baik, perempuan dan laki-laki yang berlongyi (sarung), aksara dengan bentuk yang tidak biasa dan banyak hal lainnya. Tidak hanya yang hebat-hebat, Papa juga menyelipkan cerita tentang kehidupan sulit yang dialami oleh banyak penduduk di sana, yang tentu saja saat itu tidak terbayangkan oleh pikiran kecil saya. Yang lebih melekat kuat saat itu adalah keeksotisan negeri Burma itu sendiri yang penuh bangunan kuno megah keemasan. Tidak heran, karena sejak kecil saya telah mengenal nama Shwedagon, yang buat ukuran saya saat itu sangat susah diucapkan. Sepertinya, dengan cerita-cerita dari Papa, telah terukirkan dalam jiwa kecil saya, suatu saat nanti, saya akan menginjakkan kaki di negeri itu.

Lanjutkan membaca “Rencana ke Myanmar: Menapak Tilas untuk Sebuah Cinta”