WPC – The Place I Left My Heart


Ranibanretreat

Frequently I have difficulties to say goodbye to the city when I have to move on to another city during my travelling, especially when the time comes to go back to my home country and I don’t know when I can visit there again. But among those memorable cities, only a few cities on which I totally left my heart. No matter what, I will do my best to make time to visit these cities again, at least once in a year (last year I did twice 🙂 )

Some of you who follow my blog, will know that I have left my heart on the cities of Nepal. I have a lot of unforgettable memories on my first trip to Nepal four years ago which made me falling in love with Nepal.

One of those memories was in Raniban Retreat, in Pokhara, at the hotel’s rooftop where I can see 360 degree panorama view of the snow-capped Annapurna Range, Phewa Lake, the city of Pokhara and the stunning sunrise above the sea of clouds over the hill with the World Peace Pagoda on top of it. The breathtaking view I can see just standing in one spot! Well, that view had changed me, because for the first time, I extended my stay there. I know the hotel’s rooftop will be my favorite place to recharge my energy. It’s the place where I can just do nothing, just enjoying the view like heaven on earth and feel blessed.

 

p1010641
Morning has broken – the sun over World Peace Pagoda and sea of clouds
p1010627
Phewa Lake and City of Pokhara

WPC – The Warm Glow Of The Setting Sun


Phewa Lake

Let the warm glow of the setting sun kiss life’s hurts away

 

Nepal – Jalan-Jalan di Pokhara, The Lakeside City


Sepertinya belum rela melepas pemandangan indah di Raniban Retreat sejak pagi, tetapi Ganga, –tour guide ‘dadakan’ yang juga manajer hotel merangkap kawan baru-, setengah memaksa saya untuk melakukan trekking sangat singkat ke World Peace Pagoda lalu berkeliling kota Pokhara sambil mengunjungi tempat-tempat menarik. Baru kali ini rasanya saya setengah hati pergi menjelajah sebuah kota yang belum dikenal karena, lagi-lagi jelas alasannya, saya tak ingin meninggalkan pemandangan gunung Macchapuchhare atau sering dikenal dengan Fish Tail dalam bahasa Nepal dan pemandangan puncak-puncak Annapurna yang mempesona. Ganga tertawa lebar mengetahui alasan saya, dia katakan bahwa gunung-gunung itu masih berada di tempatnya semula setelah kita kembali. Saya setengah mendelik kepadanya 🙂 Tentu saja dia bisa bilang begitu karena dia sudah bertahun-tahun tinggal di tempat indah ini, tetapi tidak bagi saya yang baru sehari semalam dibuat terpukau. Namun bagaimanapun Ganga telah berupaya banyak, mengatur ini dan itu, lagipula mau tak mau saya harus mulai melepas keterikatan dengan pemandangan mempesona puncak-puncak gunung berselimut salju itu.

Annapurna Range with Mt. Macchapuchhre (Fish Tail) (center)
Annapurna Range with Mt. Macchapuchhre (Fish Tail) (center)

Shanti Stupa (World Peace Pagoda)

Shanti Stupa –yang artinya Perdamaian dalam bahasa Sanskrit- berada di puncak bukit Ananda, 1100mdpl di wilayah Kaski yang menjadi bagian dari kota Pokhara. Karena lokasinya yang lebih rendah dari Raniban Hill tempat hotel Raniban Retreat berada, maka saya menyanggupi ajakan Ganga untuk melakukan trekking sangat singkat yang kurang dari 1 jam ke Shanti Stupa. Karena katanya kalau di Nepal belum melakukan trekking, namanya bukan ke Nepal! Saya juga bersedia trekking singkat, bukan trekking yang serius karena saya hanya membawa satu-satunya sepatu yang kini dipakai, sepasang flat shoes yang ditertawakan oleh si tour-guide ‘dadakan’ itu karena katanya sungguh tidak tepat untuk trekking menembus alam. Ya iyalaaah….

Dan tentu saja yang namanya trekking itu jarang sekali hanya jalan datar saja. Setelah jalan menurun yang nyaman menembus hutan dengan melompati satu dua pohon yang tumbang, saya mulai menapaki jalan mendaki yang cukup membuat keringat keluar apalagi saat itu harus memutar lebih jauh karena longsor di beberapa tempat. Saya benar-benar mengangkat topi untuk stamina para trekkers dan pendaki gunung 😀

Ketika akhirnya bisa menjejak di area Shanti Stupa, saya dibuat kagum dengan ukurannya yang sangat besar. Tingginya saja mencapai 35 meter. Monumen dunia yang memiliki relics Buddha didasarnya namun memiliki latar belakang penuh drama sejak pendirian di tahun 1973 ini, akhirnya diresmikan di tahun 1992 dan kini menjadi salah satu spot turis terkenal di Pokhara, apalagi berlatar pegunungan Himalaya yang puncak-puncaknya berselimut salju. Di keempat arah mata angin, stupa dua tingkat ini berhiaskan empat patung Buddha yang didonasikan dari Jepang, Sri Lanka, Thailand dan Nepal yang menggambarkan periode-periode penting dalam kehidupan Buddha, sejak kelahiran, mendapatkan pencerahan, pengajaran pertama dan kepergiannya ke Nirwana. Berada di sini yang hening penuh damai, saya teringat ketika pagi tadi Shanti Stupa diselimuti kabut yang tentu saja sangat luar biasa bila mengalaminya sendiri di tempat ini. Pasti amazing. Sayang sekali dari tempat saya berdiri tak nampak pemandangan pegunungan bersalju itu, lagi-lagi tampaknya mereka sedang sembunyi di balik awan.

Shanti Stupa - World Peace Pagoda, Pokhara
Shanti Stupa – World Peace Pagoda, Pokhara
Buddha Images at Shanti Stupa, Pokhara
Buddha Images at Shanti Stupa, Pokhara – Birth – Enlightenment – First Sermon – Parinirvana

Gua Gupteshwor Mahadev

Kemudian dengan menggunakan taxi hotel yang telah menunggu di halaman parkir Shanti Stupa, Ganga dan saya melanjutkan perjalanan ke gua Gupteshwor Mahadev yang konon merupakan gua terpanjang di Nepal. Tak lama kemudian taksi berhenti di tempat seperti pasar. Sebelum saya sempat bertanya, Ganga telah menjelaskan bahwa jalan menuju Gua Gupteshwor Mahadev memang melalui kios-kios.

Setelah membeli tiket seharga 100NPR, saya melintas gerbang masuk. Sesuai namanya Gua Gupteshwor Mahadev -yang berarti Dewa yang bersembunyi-, letaknya berada di bawah permukaan tanah, sehingga kami perlu menuruni tangga semen yang melingkar berhias berbagai pahatan dewa-dewi sepanjang dinding yang masih dalam tahap penyelesaian. Udara lembab langsung menerpa hidung saat memasuki mulut gua. Dan saya harus melangkah hati-hati karena selain penerangan yang seadanya, saya bisa terpeleset karena licin.

Di tempat yang agak datar dan terbuka, selain terlihat cukup banyak stalagmit yang dipercaya sebagai Lingga Shiva, ada sebuah tempat puja yang mendapat banyak kunjungan dari orang yang hendak menghaturkan sembah dan puja-puji. Ganga memberi tanda bahwa yang berlama-lama di tempat ini hanya yang mau beribadah sehingga saya kembali mengikutinya untuk melanjutkan perjalanan.

Di ujung sebuah lorong sempit yang mengharuskan jalan bergantian, kami memberi waktu kepada seorang perempuan tua bersari merah berjalan tertatih-tatih sambil mendaraskan puji-pujian kepada Dewa. Saya tersadarkan, tempat saya berdiri dan berjalan dipercaya sebagai tempat suci, tak heran bila banyak orang datang kesini untuk beribadah. Bukan seperti saya, yang berkunjung untuk melihat-lihat.

Kami masih terus berjalan dengan hati-hati hingga beberapa menit kemudian Ganga tiba-tiba berhenti. Berada tepat di belakangnya, saya langsung memahami mengapa dia berhenti. Pasti dia ingin menunjukkan udara pengap gua yang tiba-tiba berubah menjadi angin sejuk sehingga tubuh terasa segar dan nyaman. Pikiran saya langsung bekerja, pasti ada lubang udara di sekitar sini. Ketika saya bertanya padanya, ia tidak menjawab melainkan mengajak terus berjalan menuruni tangga hingga ke sebuah titik yang letaknya dekat sekali di atas aliran air.

Water From Davis Fall to Gupteshwor Mahadev Cave
Water From Davis Fall to Gupteshwor Mahadev Cave

Saya terpana, ada aliran air di bawah permukaan tanah. Dan berjarak sekitar 30 meter dari tempat saya berdiri terlihat celah karang yang memperlihatkan terangnya situasi di luar disertai suara gemuruh air. Sambil menunjuk celah karang tersebut dan mencoba mengalahkan suara gemuruh, Ganga mengatakan bahwa air dan suara itu berasal dari Davis Falls. Saya hanya mengangguk membayangkan air terjun di luar sana. Tak hanya itu, Ganga pun menunjuk air yang ada di sekitar kami. Tidak seperti umumnya air yang membentuk sebuah aliran. Di sekitar kami hanya ada permukaan air tanpa arah aliran, seperti hanya berputar-putar. Ganga tersenyum lebar menunjukkan ‘keajaiban’ itu walaupun secara ilmiah saya tahu pasti ada banyak celah sempit di antara batu-batu karang di bawah tempat saya berdiri yang mengalirkan air. Alam bekerja dengan sangat teratur kan?

Davis Falls (Devi’s Falls)

Bermodal tiket masuk seharga 20NPR, setelah dari gua Gupteshwor Mahadev saya masih membayangkan air terjun yang akan saya lihat itu seperti air terjun di Tawangmangu atau Sipiso-piso yang tinggi sehingga ketika sampai di Davis Falls saya hanya bisa tersenyum menyadari imajinasi di benak hancur berkeping-keping. Tetapi bagaimanapun tak pernah ada kunjungan yang membuat saya menyesal.

Davis Falls punya cerita sedih di balik namanya. Orang Nepal sendiri menyebutnya Patale Chhango, yang artinya air terjun di bawah tanah. Tetapi tempat ini lebih dikenal dengan Davis Falls, karena sebenarnya di tahun 1961 seorang turis perempuan Swiss bernama Davis tenggelam di tempat aliran air terjun yang memiliki beberaa jeram ini dan jasadnya ditemukan di sungai Phusre 3 hari kemudian. Kejadian itulah membuat air terjun yang berjeram ini dinamakan Davis Falls.

Davis Falls, Pokhara
Davis Falls, Pokhara

Entah karena cara pengucapannya atau hal lain, penamaan air terjun ini berkembang menjadi Devi’s Falls, air terjun Dewi, yang memang setelah jatuh airnya menghilang ke bawah tanah setelah melalui celah karang yang dapat dilihat dari gua Gupteshwor Mahadev, yang memang letaknya hanya berseberangan jalan dari Davis Falls. Mau disebut Davis Falls atau Devi’s Falls atau aslinya Patale Chhango, bukankah masing-masing memiliki cerita sendiri-sendiri?

Saat saya berkunjung, bunyi air di jeramnya cukup keras, tak heran jika saat musim hujan dengan volume air yang melimpah, konon bunyi air di jeramnya sangat memekakkan telinga.

Davis Falls, Pokhara
Davis Falls, Pokhara

Danau Phewa / Fewa

Tentu saja Ganga mengajak saya naik perahu di Danau Phewa, danau kedua terbesar di Nepal setelah Danau Rara yang berada di Barat Laut Nepal. Berperahu di Danau Phewa ini memang merupakan kegiatan yang direkomendasikan untuk turis karena memang pemandangannya indah dan sangat menentramkan. Suasananya tenang dengan sekali-sekali dayung meriakkan air permukaan danau. Dengan hanya 50NPR saya bisa menyeberang ke pulau di tengah danau dengan menggunakan doonga atau perahu yang dicat dengan warna menyolok, sangat kontras dengan hijaunya air danau dan langit biru serta awan putih yang berarak. Sayang sekali pegunungan berpuncak salju itu lagi-lagi sedang bersembunyi. Saya membayangkan, air danau yang tenang itu tentu bisa menjadi cermin pemandangan yang luar biasa.

The Doongas, Colorful boats at Phewa Lake
The Doongas, Colorful boats at Phewa Lake

Dari perahu yang bergerak pelan, Ganga menunjuk hotel kami dan juga Shanti Stupa yang berada jauh di atas puncak bukit. Saya terbelalak juga, membayangkan orang-orang yang melakukan trekking kesitu. Lumayan juga tingginya…

Phewa Lake, Pokhara - Can you find Shanti Stupa on top of the hill?
Phewa Lake, Pokhara – Can you find Shanti Stupa on top of the hill?

Varahi Temple

Kuil bertingkat dua yang didedikasikan untuk Vishnu itu berada di sebuah pulau kecil di tengah Danau Phewa dan menjadi tujuan kami berperahu. Kuil yang didirikan pada abad-18 ini menjadi kuil utama Pokhara. Ketika kami sampai, terlihat banyak orang mengunjungi kuil ini untuk beribadah sehingga saya menunggu beberapa saat dari pinggir ditemani oleh burung-burung merpati yang jinak. Saya jadi teringat di seluruh Durbar Square yang ada di Kathmandu yang selalu dipenuhi dengan burung merpati. Selain burung merpati, Ganga juga mengajak saya melihat ke pinggir pulau tempat ikan-ikan memperebutkan makanan yang diberikan pengunjung. Saya menghargai usahanya, tetapi –mungkin karena panggilan perut-, melihat ikan-ikan itu saya justru teringat saat makan di saung dengan mulut-mulut ikan mas dan gurame yang menganga dan menutup sehingga berbunyi plop-plop-plop… (dan di benak langsung terbayang gurame bakar madu…)

Varahi Temple, Phewa Lake, Pokhara
Varahi Temple, Phewa Lake, Pokhara

*

Jelang sore, setelah menikmati makan siang Dal Bhat di sebuah restoran tepi sungai, saya meninggalkan Pokhara kembali ke hotel di wilayah hutan Raniban. Kembali saya kehabisan nafas menapaki 500 anak tangga sambil berharap pegunungan berpuncak salju itu tak malu lagi memperlihatkan pesonanya…

*

Baca di sini Rangkuman dan Seri perjalanan di Nepal

Nepal – Merasakan Rehat di Surga Bumi


This is the place where time stands still… (itu istilah saya tentang hotel tempat saya menginap di Pokhara)

Taksi mungil itu berhenti tepat di bawah tangga natural. Pemandangan sekitar menakjubkan, tetapi tak ada manusia lain selain sang pengemudi taksi dan saya. Lalu dimana hotelnya? Belum sempat bertanya, Bapak tua pengemudi taksi telah menghubungi hotel dan dalam waktu singkat seseorang berperawakan tinggi turun tergopoh-gopoh dari atas, sepertinya petugas hotel. Dengan cekatan ia mengambil ransel lalu meletakkan di punggungnya lalu mempersilahkan saya jalan duluan.

Wait….! Seperti yang tertulis di situs web Raniban Retreat, semua tamu harus menapaki 500 anak tangga untuk sampai ke hotel.

500! *langsungpingsan

Kalau saja kolega di kantor tidak merekomendasikan tempat ini, kalau saja review hotelnya biasa-biasa saja, mungkin saya akan langsung pindah ke hotel lain di tepi danau Phewa di Pokhara. Jumlah 500 anak tangga itu kalau dikonversi normal laksana naik tangga ke lantai 25!

Ah, betapa saat ini saya sangat merindukan ekskalator! Atau tandu 😀

Tapi apapun yang terjadi, saya sudah berdiri disini. Pilihannya hanya satu: Terus, yang artinya naik, karena pilihan kedua untuk balik arah lalu menyesal, bertentangan dengan makna perjalanan saya hingga hari ini.

Bahkan setelah berlimpah anugerah selama ini, sekarang inipun saya masih diberikan sebuah anugerah lain dalam bentuk tantangan. Menaklukkan kemalasan bergerak. Dan kesempatan ini hadir sekarang di depan mata. Bukankah sebuah perubahan dimulai dari sebuah langkah kecil? Dan bukankah kita tak perlu melihat keseluruhan tangga untuk mewujudkan keinginan kita? *halah..

Saya mulai melangkah, menapaki anak tangga satu per satu dan tentu saja dalam waktu singkat rasanya sudah kehabisan nafas. Saya mengomel dalam hati merasa kebiasaan naik tangga enam lantai di kantor pun masih belum cukup, walaupun lebih baik daripada tidak sama sekali. Minimal setiap seratusan anak tangga saya bisa rehat sejenak mengumpulkan tenaga. Setahap demi setahap. Tak perlu memaksakan diri, daripada pingsan seperti dulu di tangga Bromo atau di tangga menara masjid Banten hanya gegara sok kuat 😀

Tapi Bapak setengah baya itu amatlah sabar menemani saya. Dia hanya tersenyum penuh pengertian ketika untuk kesekian kalinya saya meminta waktu untuk rehat di dekat sebuah tempat pemujaan. Bisa jadi ia telah menemani begitu banyak tamu yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda untuk menapaki 500 anak tangga itu. Bisa jadi banyak yang memiliki stamina bagus dan juga tidak sedikit yang lamban laksana kura-kura seperti saya. Hebatnya, tak sekalipun ia mau mendahului tamunya.

Ia hanya merekomendasi untuk sesekali melihat ke belakang. Dan saya berbalik…

p1010627
Phewa Lake and City of Pokhara
p1010630
Half way up to the Hotel with World Peace Pagoda and City of Pokhara on the background

Dan pemandangan itu memang menakjubkan, kota Pokhara di tepi danau Phewa terhampar di hadapan.

Ketika tenaga sudah kembali, saya lanjut menapaki tangga hingga gerbang hotel terlihat. Ah, masih 100 anak tangga lagi! Merasa tinggal tahapan terakhir, saya melanjutkan langkah dengan nafas yang tinggal Senin-Kamis dan… akhirnya 500 anak tangga itu berhasil saya lampaui. Horeee…!

Di lobby, saya tidak langsung menuju konter untuk check-in karena masih berupaya memasukkan lebih banyak oksigen ke paru-paru agar bisa ‘hidup’ secara normal lagi. Tetapi karena tidak ada tamu lain, petugas di balik konter itu dengan ramah bertanya untuk proses check-in. Bagaimana mungkin orang yang kehabisan nafas bisa menjawab pertanyaan sederhana? Kecuali menjawabnya dengan bahasa tangan…

…Hah… Sebentar… Hah… Tunggu … Hah… 1 menit… Hah… *megap-megap

Mereka semua tersenyum lebar, memahami. Mungkin terbiasa menghadapi tamu yang kehabisan nafas di area lobby. Mereka menunggu dengan sabar sampai saya bisa ‘normal’ kembali untuk check-in lalu mengantar ke kamar saya. Kamar berpintu kaca lebar dengan pemandangan langsung kota Pokhara di tepi Danau Phewa di bawah dan pegunungan Himalaya berpuncak salju dengan Macchapuchhre (Fish Tail) didepan mata, berhiaskan taman bunga di depan kamar. SubhanAllah… Inilah yang disebut Heaven on earth!

img_0791
Phewa Lake and the City of Pokhara – view from the small garden in front of my room

Tak menunggu lama, saya menyalakan musik di ponsel dan ikut menggoyangkan badan menyaksikan pemandangan di depan mata ini.

… I’m on Your magical mystery ride

And I’m so dizzy, don’t know what hit me, but I’ll be alright…

Dengan pemandangan seperti ini, rasanya naik lebih dari 500 anak tangga pun tidak akan menyesal.

img_1014
Annapurna and Machhapuchhre (Fish Tail) on the center – view from the garden in front of my room

Di taman depan kamar berhias bunga-bunga kuning, saya duduk diam, do nothing, menikmati rehat dipeluk keindahan alam. Melupakan sebuah kota yang baru didatangi tapi tak kunjung dijelajahi. Saya berada di surga bumi karena indahnya tak berakhir, seakan waktu membeku, turut menjadi saksi keagungan Ilahi. Bahkan setelah beberapa waktu pun saya masih di tempat yang sama sampai seorang perempuan dari hotel datang membuyarkan rasa sambil menyatakan kesiapannya memberi layanan spa.

img_0797
Phewa Lake and the City of Pokhara – a night view from the hotel

Bagi saya, memanjakan diri di tempat yang indah merupakan sebuah proses recharge yang luar biasa. Lagi-lagi saya hanya mengikuti hati, apa yang terjadi di hadapan itulah yang saya terima dengan senang. Bisa jadi kali ini Dia meminta saya untuk diam beristirahat dan menyaksikan…

You wanna make a memory
You wanna steal a piece of time
You can sing the melody to me
And I can write a couple of lines

Tidak hanya itu, Ganga, -manajer hotel-, bahkan menjadi teman ngobrol yang asik untuk menghabiskan waktu di Raniban Retreat, dengan berbagai topik pembicaraan yang menarik dari kebun organik, pengobatan gratis hingga pemanfaatan energi surya untuk listrik hotel. Dengan semangat ia menceritakan hotel unik yang eco-friendly ini hingga bisa memberdayakan masyarakat lokal yang bermukim tak jauh dari hotel bahkan tamu-tamu hotel bisa diajak melihat langsung kehidupan mereka.

Dan keinginan kecil saya keluar dengan sendirinya. Sebenarnya saya hanya memesan semalam di Raniban Retreat dan keesokan harinya saya akan pindah ke Sarangkot untuk mendapatkan mountain view lebih dekat. Tetapi merasakan sendiri kesenyapan yang ada di Raniban Retreat yang sangat saya, akhirnya saya memutuskan untuk memperpanjang sehari lagi di Raniban Retreat ini. Bahkan Ganga memberikan diskon besar untuk itu 😀

Walaupun udara dingin menyelimuti pagi itu, saya tetap menanti sunrise di taman bunga di depan kamar saya di Raniban. Rasanya tak mampu mengungkapkan keindahan alam yang ada di hadapan, dada terasa sesak ditambah airmata yang mengaburkan pandang. Tak henti rasanya mengucap syukur kepada Pemilik Semesta yang telah memberikan kesempatan menjadi saksi keindahan alam.

img_0811
The first silhoutte of Annapurna Range, Mt. Macchapuchhre (Fish Tail)
img_0816e
The first sunlight over the peaks of Annapurna Range on a misty morning
img_0984
Annapurna Range with Mt. Macchapuchhre (Fish Tail)

Himalaya berbaris dengan cantiknya di atas lautan gerombolan awan putih yang pekat menggantung menutupi Danau Phewa dan kota Pokhara. Puncak-puncak gunung Annapurna dan Macchapuchhre yang tingginya sekitar 7000-an meter dan tertutup salju abadi itu perlahan-lahan tampak bersinar terkena matahari pagi. Di hadapan mata ini ada doa yang terkabulkan karena Himalaya menampakkan diri di balik sifat pemalunya. Kesenyapan pagi menambah magisnya suasana. Burung-burung pagi terbang memperkuat lukisan pagi.

Di arah timur, Sang Surya perlahan naik dengan gagahnya, menyapu lembut lapisan-lapisan awan yang bergerak menyelimuti bukit dengan World Peace Pagoda di puncaknya. Sebuah peristiwa menyambut pagi terbaik yang pernah saya alami.

img_0826
World Peace Pagoda on hilltop, view from right side of my room
p1010640
The magical moment – The Sun, Sea of clouds and World Peace Pagoda
p1010641
Morning has broken – the sun over World Peace Pagoda and sea of clouds

Pagi hari itu berkunjung dengan kegembiraan tak hingga. Ganga menemani saya menikmati sarapan yang tersedia di rooftop dengan pandangan 360 derajat yang menakjubkan. Saat itulah saya mengatakan kepadanya, this is the place where time stands still…

p1010700
Panorama View from my room – Himalaya (behind the clouds on the left) and World Peace Pagoda on the right

*

Di dunia ini tidak ada yang tak berakhir, juga istirahat saya di Raniban Retreat ini. Telah sampai waktu untuk melanjutkan perjalanan. Ransel sudah siap di punggung, saya menatap World Peace Pagoda yang cantik di atas bukit. Keindahan lukisan alam yang tak terlupakan.

p1010722
Sea of clouds in the morning and World Peace Pagoda, Raniban, Pokhara, Nepal

Lalu saya menoleh ke barisan pegunungan bertudung salju. Macchapuchhre di depan mata. Sekali lagi doa yang terkabulkan, karena saya meminta kepadaNya agar dapat melihatnya sebelum merambah ke wilayah Terai. Memohon sekali lagi setelah pagi tadi ia menampakkan keagungannya seperti kemarin. Dan kini ia menepiskan awan-awan yang menyelimutinya, membiarkan puncak yang tak pernah ditaklukan terlihat oleh hati yang meminta. Saya mengucapkan kata perpisahan kepadanya dan kepada gunung-gunung di Annapurna. Selama dua hari puncak-puncak itu tak malu menampakkan diri yang luar biasa dan entah kapan saya bisa menjejak disana, di Annapurna…

peaks
Annapurna Range and Mt. Macchapuchhre (center)

*

Baca di sini Rangkuman dan Seri perjalanan di Nepal

Nepal – Berlimpah Anugerah Menuju Pokhara


Begitu menutup pintu mobil, taksi mungil itu langsung melesat meninggalkan Bhaktapur menuju bandara Tribuvan seakan tak memberikan kesempatan kepada saya untuk mengucapkan “Sampai Jumpa Lagi” kepada kawasan yang telah menorehkan pengalaman penuh bahagia ini. Saya memejamkan mata, sesaat saja, membiarkan diri memeluk rasa bahagia pernah begitu menyatu di Bhaktapur, lalu rasa itu harus saya lepaskan kepada pemiliknya. Saya juga dimakan Sang Waktu yang tak pernah berjalan mundur.

Kali ini tidak seperti déjà vu, karena saya memang kembali ke Bandara Tribhuvan di Kathmandu, seperti saat melakukan Everest experience flight kemarin. Tiga hari berturut-turut berada di bandara yang sama, hanya beda terminal, mungkin bisa disebut dengan frequent-flier in 3 days! Saya turun dengan ransel di punggung menuju gedung terminal yang masih direnovasi lalu  secepatnya melakukan check-in. Berbeda dengan kemarin saat melakukan kesalahan hingga ditegur para laki-laki, kali ini saya memasukkan tas tangan ke jalur perempuan lalu mencari tempat duduk di ruang tunggu. Saya menunggu hingga waktunya boarding namun tidak ada penjelasan hingga akhirnya pengumuman itu keluar. Penerbangan ditunda 1 jam! Lalu 30 menit lagi… Tetapi ah, saya sedang dalam perjalanan hati. Apapun yang terjadi harus diterima dengan keterbukaan. Siapa tahu saya diselamatkan dari keburukan. Hanya perlu menambah sabar kan?

ktm-airport
Tribhuvan Airport, Domestic Terminal, Kathmandu

Ruang tunggu bandara itu penuh, kebanyakan terdiri dari penumpang lokal walaupun disana-sini ada tubuh tinggi berambut pirang dengan penampilan yang siap menjelajah gunung-gunung tinggi yang bertebaran di Nepal. Kebanyakan mereka ke Lukla, sebagai awal langkah menuju Everest. Tak banyak turis yang memilih terbang ke Pokhara, mereka biasanya telah terangkut di dalam bus-bus turis yang berangkat pagi dari Kathmandu.

Lamanya perjalanan dari Kathmandu ke Pokhara melalui jalan darat, -walaupun katanya pemandangan alamnya indah sekali-, membuat saya mengambil keputusan untuk terbang. Menghemat waktu adalah penting bagi saya sehingga waktu cuti dapat dimanfaatkan secara maksimal, walaupun untuk itu saya harus merogoh kocek lebih dalam.

Panggilan boarding yang ditungu-tunggu akhirnya terdengar juga. Seluruh penumpang terlihat lega dan bergegas menuju bus pengangkut yang membawa ke pesawat ATR72 Buddha Air itu. Pesawat bermesin baling-baling itu dimasuki dari belakang sehingga saya yang mendapatkan tempat duduk di lorong bagian depan, harus mengantri dengan sabar, mendahulukan para penumpang bisnis yang duduk di bagian belakang yang saat itu kebanyakan terisi oleh kelompok tinggi besar berambut pirang dan para pebisnis Nepal.

Setelah menempati tempat duduk, penumpang yang duduk di depan saya membuat sedikit kegaduhan. Mereka mendapat nomor terpisah dan ingin bertukar tempat duduk karena merupakan pasangan suami isteri. Sang suami mendapat nomor jendela tepat di sebelah saya dan sang isteri tidak bersedia duduk bersebelahan dengan laki-laki yang bukan suaminya. Saya sekilas melihat pria yang telah bersedia memberikan tempat duduknya demi pasangan suami isteri itu, beliau tak lagi muda tapi ada keramahan diparasnya. Kegaduhan di depan saya menyurut namun beliau tetap berdiri di lorong.

Dengan sedikit ragu, pak tua berwajah ramah itu menyapa saya, meminta maaf.

“Could you do a favor for me? I could not sit there, on the window-seat; I prefer on the aisle”

Saya melihat cepat kepadanya, entah apa, ada sesuatu yang tak dapat dijelaskan, sesuatu yang ditutupi. Hanya saja beliau tetap tak bersedia untuk menempati tempat duduk yang ada di jendela. Sementara saya yang sudah benar dengan nomor tempat duduk tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena ada penumpang yang masih berdiri dan melihat saya. Seakan-akan saya salah menempati tempat duduk.

Kejadian begitu cepat, saya harus mengambil keputusan. Saya tak meminta nomor lorong, bahkan sebenarnya di hati terdalam, saya menginginkan nomor jendela. Dan kini nomor itu diberikan kepada saya, lalu mengapa saya harus berpikir dua kali?

Tetapi begitu naïve-nya saya, saya masih bertanya meminta persetujuan kepada orang itu sambil tangan menunjuk ke samping, “so, is it okay if I take the window seat?”

Dia tak menjawab tapi ada senyum lebar berkembang menghias wajahnya. Ada semacam kelegaan besar. Tak sampai sedetik saya langsung bergerak berpindah. Rejeki tak boleh ditampik! Tempat duduk di jendela dengan pemandangan pegunungan Himalaya bertudung salju sepanjang penerbangan! Diberikan gratis lagi!

p1010595
Himalaya

Selagi pesawat melakukan persiapan lepas landas, saya terdiam dalam hening. Anugerah lagi. Memang terbersit keinginan untuk duduk di kursi dekat jendela karena saya suka dengan pemandangan Nepal, tetapi jika tak bisa ya tidak mengapa. Lalu mengapa ada pasangan yang terpisah tempat duduk dan ngotot ingin duduk bersama lalu ada orang baik hati yang bersedia bertukar tempat dan apapun alasannya dia bahkan memberikan kursi jendelanya kepada saya. Ah, Tuhan Yang Maha Baik memang selalu punya caraNya sendiri untuk melimpahkan anugerah kepada yang diinginkan walau harus melalui beberapa orang lainnya. Mereka telah menjadi saluran berkah untuk saya. Semoga hidupnya berlimpah kebaikan…

Di atas lembah Kathmandu, bapak tua baik hati di sebelah saya itu membuka percakapan awal. Ternyata beliau bukan orang sembarangan, beliau seorang pensiunan tentara Inggris yang selama ini ditempatkan di banyak negara persemakmuran di Asia. Dan alangkah terkejutnya saya, ketika ia mengetahui saya berasal dari Indonesia, ia membuka percakapan dalam bahasa Indonesia dengan sedikit dialek Melayu.

“Apa kabar. Maaf bahasa Indonesia saya tidak baik, banyak sudah lupa”

Saya tersenyum lebar, tidak setuju dengannya karena menurut saya, bahasa Indonesianya bagus. Saya terkejut, sekaligus bangga dan kagum, rasanya aneh, campur aduk. Siapa sangka, di ketinggian dua puluhan ribu kaki di atas kawasan Himalaya yang jauh dari Indonesia, saya diajak berbicara dalam bahasa Indonesia oleh penutur asing, bukan penutur asli. Bahasa Indonesia campur dialek Melayu dan bukan bahasa Inggeris! Kemungkinan terjadinya sangat amat kecil sekali dan tentu saja, saya merasa sangat  berbahagia bisa mendapatkan kesempatan itu. Sungguh tak terduga. Lagi-lagi, Dia Yang Maha Baik telah melimpahkan anugerah kepada saya berupa kemudahan berbahasa ibu. Bisa jadi Dia menginginkan agar saya merasa kenyamanan berada di rumah. At Home… Bukankah ada pepatah Home is where the heart is..?

Perjalanan ini sungguh memperkaya jiwa, Oh I’m so blessed…

p1010605
Himalaya with Clouds

Namun pembicaraan tetap saja memiliki jeda sehingga memungkinkan bagi saya untuk menikmati pemandangan diluar jendela, barisan pegunungan berselimut salju abadi yang tadinya terlihat samar kini seluruhnya telah tertutup awan. Hanya puncak tinggi dengan salju abadinya terlihat serupa dengan awan-awan putih tebal yang memenuhi pandangan mata. Di bagian depan, deretan pegunungan yang menjadi pagar dari pegunungan Himalaya atau dikenal dengan Mahabharat Range itu mengumbar keindahan lembahnya yang meliuk-liuk. Sepertinya Dia Yang Maha Kuasa sedang tersenyum ketika menciptakan bumi Nepal hingga kontur permukaan bumi terlihat begitu indahnya.

Tak lama kemudian terasa pesawat menurunkan ketinggiannya secara perlahan. Danau Phewa sudah terlihat, itu artinya Pokhara sudah di depan mata. Saya memperhatikan keadaan danau. Inilah wajah lain dari Nepal. Jika Kathmandu penuh dengan budaya tradisional, Pokhara mengumbar janji dengan kegiatan outdoor yang menantang adrenalin. Di kota ini saya tak punya banyak rencana kecuali untuk beristirahat di tempat yang indah. Saya tak punya target khusus, saya biarkan itinerary dari Yang Maha Kuasa terjadi pada hari-hari saya di Pokhara.

Semakin dekat ke Pokhara, saya terpikir kembali mengenai transportasi dari bandara ke penginapan. Walaupun telah saya kabarkan soal penundaan penerbangan sejak dari Kathmandu tadi, saya tak yakin pesannya sampai. Berdasarkan pengalaman sebelumnya saat baru sampai di Kathmandu dan ternyata pesanan taksi saya tak muncul batang hidungnya, saya skeptis untuk mendapatkan layanan antar di Pokhara ini. Tetapi biarlah, apapun yang terjadi pasti ada jalan keluarnya. Semoga.

Bahkan saat akan meninggalkan tempat duduk,  the old Brit yang baik hati itu mengucapkan salam perpisahan dalam bahasa Indonesia, seakan tahu hal-hal yang bisa menentramkan dan menenangkan hati. Sampai jumpa lagi…

Bandara Pokhara kecil, -dalam arti yang sebenarnya-. Gedung terminalnya hanya berupa sebuah ruangan berkaca dan seluruh bagasi yang sebelumnya ada di perut pesawat diserahterimakan ke penumpang melalui sebuah jendela yang bisa disaksikan langsung oleh pemilik bagasi. Setelah mengambil ransel, saya keluar gedung tanpa ekspektasi dijemput.

p1010610
Pokhara Airport

Tetapi saya membaca nama saya di kertas yang dipegang oleh seseorang. Rasanya tak percaya, tetapi benar. Itu nama saya! Saya dijemput! Saya masih ditunggu, walaupun penerbangannya ditunda lama. Lagi! AnugerahMu yang berlimpah, yang tak putus.

Saya meminta maaf kepadanya sekaligus sangat berterima kasih karena telah bersedia menunggu lama. Sang pengemudi yang tak muda lagi itu tersenyum ramah. Tak perlu berpanjang kata, dia mempersilakan saya masuk dan menjalankan mobilnya, menyusuri danau dan perlahan meninggalkan pusat kota. Walaupun tahu penginapan saya itu jauh dari kota, tetapi saya tidak menyangka sejauh ini. Terpencil bahkan harus memasuki daerah perbukitan dengan jalan yang tak lagi beraspal. Seandainya saya tak ditunggu olehnya, apakah taksi biasa mengetahui dan mau mengantar hingga ke tempat ini?

p1010620
On the way to Hotel, Pokhara

Saya menggigit bibir, perjalanan kali ini benar-benar berlimpah anugerah dariNya. Benar-benar tak henti, terus-menerus sampai dada terasa sesak. Semuanya serba luar biasa… Dari Bhaktapur yang penuh kenangan, mendapat tempat duduk jendela sehingga bisa menikmati pemandangan Himalaya yang berselimut salju, diajak berkomunikasi dalam bahasa ibu oleh penutur asing di ketinggian Himalaya, tetap dijemput taksi yang bersedia menunggu walaupun penerbangan mengalami penundaan dan kini terhampar pemandangan indah…

Maka Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Then which of the favors of your Lord will you deny?

WPC : Change in Pokhara


We’re all asked to show a change in progress in one or more photos for this week’s photo challenge. And for this time, I select 4 photos during my trip last year in Raniban, a hilly area in Pokhara, Nepal. Hope these photos fulfilled the challenge.

Well, Pokhara is beautiful, less crowded than Kathmandu. If you’re a nature lover or a sport junkies or just-do-nothing lover, Pokhara is a must destination.

And I was happy staying in Raniban because I could see Phewa Lake and the city of Pokhara down below at early morning, at noon, at late afternoon and at night. And it’s heaven on earth that I could see Mt. Macchapuchare or known as Fishtail, a beautiful peak in Himalayan Range.

Do you see the World Peace Stupa on the right of the photos? Well it is walking distance from the hotel, of course you have to go several downs and ups 🙂 It’s healthy, anyway…

Do you have been to Pokhara?

Pokhara and Phewa Lake in the Late Afternoon
Pokhara and Phewa Lake in the Late Afternoon

*

Pokhara and Phewa Lake at Night
Pokhara and Phewa Lake at Night

*

Clouds over Phewa Lake and Pokhara in Early Morning
Clouds over Phewa Lake and Pokhara in Early Morning

*

Pokhara and Phewa Lake At Noon
Pokhara and Phewa Lake At Noon

In response to The Daily Post Weekly Photo Challenge with the theme : Change

 

WPC – Enveloped in Never Ending Peace And Love


Above the clouds below the snowcapped
Above the clouds below the snowcapped

 

Pokhara, last autumn

Love brought me to this heaven on earth, the place that called (N)ever (E)nding (P)eace (A)nd (L)ove

Just to give me a chance to be there, to see, to feel and melted

And I did…

How could I forget the tip of Machhapuchhre Fish Tails peak, 6993m, one of the famous Annapurna Himalayan peaks, that was shined by the early morning love?

How could I forget the clouds below my feet where I stood that enveloped Phewa Lake and the city of Pokhara far below it?

How could I forget the mist that danced around the World Peace Stupa and then run away?

Love gave me the atmosphere to be saved and to make the beauties live forever as a heartbeat.

And it does…

And I could not forget all those beauties and I won’t, whatever it looks now…

 

In response to Weekly Photo Challenge – Enveloped

PrayForNepal

Nepal: Perjalanan Dengan Itinerary Dari Yang Kuasa


Keindahan awan putih berkelompok memberi warna kontras di langit biru tak lagi mampu menyembunyikan gelegak perasaan yang menyeruak keluar saat akhirnya saya mengetahui bahwa yang tampak terlihat jauh di horison bukanlah kelompok awan lain melainkan barisan pegunungan Himalaya yang bertudung salju. Seakan tidak percaya akan penglihatan yang ada di hadapan, saya mengerjapkan mata yang tiba-tiba terasa hangat dan mengabur oleh air mata. Terima kasih Tuhan telah berikan aku kesempatan terbang ke tempat indah ini…

Telah lama terbit keinginan untuk bisa melihat barisan pegunungan tertinggi di dunia yang selalu tertutup salju itu. Dengan melihat saja sudah cukup bagi saya karena kata Himalaya selalu membuat saya tercekat. Bertahun sudah saya membuat rencana untuk bisa melihatnya, merencanakan melihatnya melalui Leh, Ladakh atau melalui Lhasa, Tibet. Semuanya tidak pernah terwujud. Dan akhirnya, melalui Kathmandu, Nepal, impian sejak kecil itu menjadi senyata-nyatanya di hadapan.

Inilah sebuah perjalanan pulang, perjalanan panjang dan memabukkan ke dalam diri, perjalanan yang dipenuhi oleh ekstasi syukur yang tak habis-habis atas anugerah yang mengucur deras dariNya. Ketika kaki telah menginjak bumi Nepal, telapak tangan pun tak mau kalah hendak merasakan hangatnya bumi seribu kuil ini – sebuah kebiasaan menyentuhkan telapak tangan pada bumi yang baru pertama saya datangi.

Pegunungan Himalaya Bertudung Salju
Pegunungan Himalaya Bertudung Salju

Dan untuk mengikatkan jiwa pada yang hanya ada di Nepal, saya menyediakan dana untuk mengikuti Everest Experience Flight, sebuah kegiatan wisata terbang mengikuti jalur pegunungan Himalaya selama hampir 60 menit. Sebuah pengalaman tak terlupakan penuh gejolak emosi bagi saya yang tak memiliki cukup waktu luang untuk menapaki lereng-lereng pegunungan yang selalu tertutup salju itu. Untunglah saya mendapat tempat duduk paling belakang sehingga tak ada yang melihat bagaimana airmata ini cukup deras mengalir keluar. Dan entah kenapa, sebersit keinginan mendadak menyeruak, apakah saya bisa mendapatkan kesempatan bermalam di Everest Base Camp? Apakah saya bisa memiliki kesempatan melangkahkan kaki di Sagarmatha National Park? Ah semoga saja…

Dan tak lengkap rasanya mengunjungi Nepal tanpa menapaki tujuh lokasi di Kathmandu Valley yang telah dianugerahkan sebagai World Heritage Site oleh UNESCO: Kathmandu, Patan, Bhaktapur, Swayambunath, Bouddhanath, Pasupathinath dan Changu Narayan. Dan ketika keajaiban-keajaiban menyertai langkah-langkah saya di lokasi itu, seperti melihat Dewi Kumari the Living Goddess, tubuh ini gemetar, dada ini sesak, lidah ini kelu. Sampai perlu menggigit bibir dan mengerjapkan mata yang panas. Tak terhingga bilangan syukur dari hati yang tersungkur atas kebesaran anugerah yang tercurah. Bukankah tidak ada peristiwa yang kebetulan? Apalagi hingga berturut-turut dan berkelanjutan.

Agaknya Yang Maha Kasih kali ini memang sengaja mengajak saya terbang dalam kebahagiaan perjalanan yang selalu dimudahkan olehNya. Walaupun jam tangan memilih waktu yang salah untuk mati karena habis baterenya dan itinerary yang sudah lengkap terupdate ternyata lebih memilih tertinggal di Jakarta, saya terus dapat menikmati setiap perjalanan indah ini. Ternyata Yang Maha Kasih memilihkan itinerary yang lebih cantik daripada yang telah saya buat.

Saya bisa mencapai Pokhara, kota tepi danau yang cantik dengan menggunakan pesawat terbang yang tiketnya baru saya dapatkan dari sebuah kemudahan, karena pada peak season biasanya sangatlah sulit mendapat tiket pesawat dalam waktu singkat. Dan lagi-lagi rangkaian keajaiban menyertai saya, Atas permintaan penumpang lain yang ingin bersama pasangannya, tempat duduk saya dipindahkan dan mendapat tempat duduk di jendela sehingga bisa menyaksikan pegunungan berselimut putih sepanjang penerbangan walaupun saya tidak memesannya. Ditambah pula dengan seorang teman yang bertukar sapa, dia seorang pensiunan tentara Inggeris yang bisa berbahasa Melayu. Siapa sangka di atas langit Nepal, saya tidak usah menggunakan bahasa Inggeris?

Mentari Terbit Menerangi Stupa
Mentari Terbit Menerangi Stupa

Dan di Pokhara, lagi-lagi jiwa saya tersungkur dalam rasa syukur yang tak terhingga karena diberikan kesempatan melihat pemandangan dunia ciptaanNya yang sungguh menggetarkan hati. Saya menyaksikan matahari terbit dengan seakan berada di atas hamparan awan yang menutupi danau, dengan latar belakang pegunungan bertudung salju yang malu-malu mengintip dari balik awan dan di sebelah kanan tampak bangunan stupa di atas puncak bukit berselimut kabut pagi. Kali ini saya biarkan airmata jatuh. Yang terhampar di depan mata adalah negeri khayangan. Inilah surga di bumi.

Rangkaian keajaiban dalam perjalanan untuk saya belumlah putus. Dalam perjalanan menuju Lumbini yang menurut rencana saya lakukan dengan penerbangan, ternyata direalisasikan melalui jalan darat. Yang Maha Mengetahui memang tahu benar kecintaan saya terhadap perjalanan darat. Saya menikmati setiap perjalanan melalui kota-kota dan desa-desa, dengan meliuk-liuk mengitari pegunungan dengan tebing yang sangat tinggi dan lembah serta jurang yang sangat dalam, yang kadang disertai dengan sedikit longsoran disana sini. Cukup mengerikan. Tetapi tak terbantahkan keindahannya, tiba-tiba ada air terjun di pinggir tebing atau sungai yang terlihat jauh di bawah sana meliuk-liuk dengan air yang berwarna tosca kehijauan. Sesuatu yang tidak akan bisa saya lihat bila menggunakan pesawat terbang.

Dan Lumbini, tempat kelahiran seorang Siddharta Gautama yang telah mengubah wajah dunia hingga kini, tetap memberikan keajaiban kepada saya. Hati kembali bergejolak berada langsung di tempat yang dipercaya sebagai lokasi akurat kelahiran Sang Buddha ribuan tahun lalu dan semua itu masih seperti apa adanya. Suara semilir angin terasa membelah kedamaian diantara kelompok peziarah yang sedang mendendangkan kidung puji dan doa di bawah pohon Boddhi. Dan lagi-lagi rasa syukur terucapkan begitu saja ketika saya diberi kesempatan terpercik keajaiban dari kekuatan doa-doa yang dipanjatkan di tempat sakral itu.

Oleh karena itinerary yang datang dari Yang Maha Kuasa ini, maka saya diberi kesempatan untuk mencium harumnya suasana Chitwan National Park dalam perjalanan kembali dari Lumbini ke ibukota. Padahal sama sekali tidak terbayangkan walaupun hanya mencium wanginya saja. Tidak mampir, hanya merasakan sentuhan akan keberadaannya dan itu pun telah saya syukuri dengan sepenuh hati. Juga tempat antara Pokhara dan Kathmandu yang pada awalnya saya ingin datangi tetapi karena keterbatasan waktu, saya harus mencoretnya dari daftar dan Yang Maha Kuasa sungguh memberikan anugerah pada saya untuk merasakan denyut tempat itu, walau hanya sekejap.

Nagarkot, sebuah tempat di puncak bukit di dekat kota Kathmandu, juga menjadi bagian dari perjalanan cinta penuh keajaiban ke Nepal ini. Lembah-lembah berselimut kabut menjadi saksi ketika sang mentari terbit membuka lembaran hari baru. Dan lagi-lagi pegunungan bertudung salju hanya tersenyum simpul dari balik awan.

Dan ketika akhirnya ketika saatnya tiba, ketika pesawat menerbangkanku kembali ke tanah air, rasanya tak ingin saya melepas pandangan dari pegunungan berpuncak putih itu. Walaupun sudah tinggi di atas dataran India, tetap saja saya ingin menghadap belakang. Sepertinya ada yang tak ingin saya lepaskan, belum ikhlas melepas. Saya meyakini, ada perjalanan ke tempat-tempat yang membuat saya merasa nyaman di hati seperti pulang ke rumah dan Nepal adalah salah satunya. Saya telah mengambil keputusan, bahkan sebelum saya sampai ke tanah air, bahwa suatu saat nanti, saya akan kembali ke Nepal. Pasti.

Ya Allah, terima kasih atas perjalanan luar biasa yang Engkau rancangkan untuk saya. Sungguh kurasakan kehadiranMu di tiap saatnya.

<><><><>

Tulisan ini merupakan rangkuman perjalanan saya sebagai female solo-traveler ke Nepal awal bulan November 2014 ini, yang akan saya bagi menjadi ke banyak tulisan, termasuk berbagai peristiwa yang mengetarkan jiwa yang saya alami disana sehingga saya memasukkannya sebagai keajaiban-keajaiban perjalanan.

Seri Perjalanan Nepal

  1. Namaste Nepal, Dhanyabaad
  2. Salam Perkenalan Pertama di Kathmandu
  3. Suatu Malam di Swayambhunath
  4. Kuliner Nepal de Lezatos Dal Bhaat
  5. Everest Mountain Flight – Memeluk Himalaya dari Jendela (1)
  6. Everest Mountain Flight – Ketika Setitik Puncak Everest Tersibak Untukku (2)
  7. Meniti Jalan Cinta di Durbar Square Kathmandu
  8. Memandang Dewi Kumari The Living Goddess di Jendelanya
  9. Bertemu Pengagum Soekarno di Basantapur
  10. Bertabur Legenda di Patan Durbar Square
  11. Kematian Yang Membahagiakan di Pashupatinath
  12. Pemandu, Warna Lain di Kuil Pashupatinath
  13. Bertemu Guardian Angels di Changu Narayan
  14. Kalung Bunga Cinta di Haribodhini Ekadashi
  15. Menyapa Sore di Bhaktapur Durbar Square
  16. Menyambut Malam di Taumadhi Square
  17. Terjebak Lorong Waktu Menuju Dattatreya
  18. Berlimpah Anugerah Menuju Pokhara
  19. Merasakan Rehat di Surga Bumi
  20. Jalan-jalan di Pokhara, The Lakeside City
  21. Pokhara to Lumbini Overland
  22. Menapak Pagi di Kawasan Monastik Lumbini
  23. Khata – Syal Putih dari Lumbini
  24. Overland (Again), Lumbini – Chitwan – Kathmandu
  25. Nagarkot – Kisah Makhluk Ajaib dan Lembah Halimun
  26. Sampai Kita Berjumpa Lagi, Himalaya