Petra, Yang Tak Direncanakan


Dalam itinerary final yang disampaikan agen perjalanan sebelum berangkat, Petra memang tak pernah dimasukkan dalam daftar destinasi kami, namun mereka sepertinya setengah berjanji kepada sebagian anggota rombongan bahwa kunjungan ke Petra termasuk memungkinkan, dengan syarat tersedia waktunya. Namun setelah memeriksa itinerary finalnya, saya memperkirakan Petra tidak akan sempat dikunjungi kecuali mengorbankan kunjungan-kunjungan ke tempat lainnya. Lagi pula, bagi saya Petra bukanlah destinasi yang prioritas dalam perjalanan ibadah ini.

Namun berbeda dengan sebagian anggota rombongan yang merasa dijanjikan. Ketika baru saja duduk di bus sekeluarnya dari terminal bandara Amman, mereka menagih janji untuk ke Petra, yang tentu saja disambut kebingungan Pemandu kami karena tak ada dalam listnya. Tetapi pemandu kami itu hatinya sangat baik dan mencoba mewujudkan impian untuk sampai ke Petra. Setelah telepon sana-sini dengan tangan yang mengayun-ayun di udara, akhirnya ia menyampaikan kabar gembira. Kami bisa ke Petra, dengan syarat harus siap berangkat setelah waktu subuh. Tawa riang langsung terdengar di bus, bangun subuh bukan masalah sama sekali, termasuk mengunjungi Laut Mati langsung pada hari itu juga. Cerita ke Laut Mati bisa dibaca di tulisan ini Senja Di Laut Mati, Terendah di Muka Bumi dan juga Sejumput Malam di Makam Nabi Syu’aib.

Keesokan harinya, -matahari pun masih malas bangun-, kami sudah menyusuri jalan menuju Petra yang bisa ditempuh dengan bus dalam waktu tiga hingga empat jam. Pemandangan serupa saat kami ke Laut Mati dengan perbukitan kering kecoklatan membuat saya lebih memilih mengistirahatkan mata sepanjang perjalanan.

Mata Air Musa

Suara pemandu yang memecah keheningan menyadarkan kami telah sampai di Wadi Musa, kota kecil dengan ketinggian 1000 mdpl yang terdekat dengan Kawasan Arkeologi Petra. Dan tentu saja, sesuai dengan namanya, kami mampir dulu ke lokasi Uyun Musa atau Mata Air Musa, lokasi yang dipercaya sebagai tempat Nabi Musa Alaihissalam memukulkan tongkatnya ke batu besar dan menyemburkan air saat pengikutnya kehausan (QS. Al-Baqarah: 60). Mata Air Musa ini terlindung dalam sebuah bangunan kecil serupa musholla. Melihat airnya yang sangat jernih, saya memberanikan diri untuk membasuh muka. Ya ampun, Jordan di bulan Desember sudah berada di musim dingin sehingga airnya terasa bukan lagi sejuk, melainkan dingiiiin! Meskipun Uyun Musa bukan satu-satunya tempat yang diklaim sebagai tempat Nabi Musa Alaihissalam memukulkan tongkatnya, -sebagian lain percaya ada di perbukitan Thursina, Sinai di Mesir-, tetap saja saya merasa beruntung sekali bisa merasakan dinginnya air yang mengalir cukup deras itu. Konon, kaum Nabatean membuat saluran dari mata air ini dan mengalirkannya ke Petra.

Meninggalkan Uyun Musa, saya baru menyadari bahwa kota wisata Wadi Musa itu memang sangat menarik. Berhawa sejuk, banyak hotel dan restoran yang cantik. Terbersit dalam hati, jika saja saya diberi kesempatan lagi ke Jordan, rasanya akan membahagiakan bila bisa menginap di Wadi Musa.

Tak lama kemudian, bus berhenti di depan gerbang kawasan Petra. Alhamdulillah, rasanya sangat luar biasa! Saya yang tak pernah berani memimpikan, -karena rasanya sangat tidak mudah dicapai-, namun Dia Yang Maha Kasih mengijinkan saya menginjak tanah Petra yang tercantum sebagai UNESCO World Heritage Site sejak 1985. Sebuah hadiah yang lagi-lagi datang dariNya. Sungguh rasa syukur berlomba menyeruak keluar menyesakkan dada. Ya Allah, saya sungguh beruntung…

Saya melihat sekeliling. Kawasan wisata Petra memang tertata sangat baik, dengan tempat parkir yang luas, tersedia juga museum yang relatif besar untuk pengunjung yang ingin menggali lebih dalam tentang Petra. Dan tentu saja ada banyak kios souvenir, cafe untuk makanan atau minuman. Tetapi yang pasti, saya beruntung mengunjungi Petra di bulan Desember yang membawa angin sejuk. Bayangkan saja seandainya datang di bulan Agustus, bulan terpanasnya di Petra, suhu bisa mencapai 40 derajat lebih! Padahal perlu jalan kaki untuk melihat keindahan Petra. Tapi bagi mereka yang punya dana berlebih bisa naik kendaraan sewaan serupa dokar.

Kami hanya perlu menunggu sebentar lalu setelah masing-masing memegang tiket, kami berjalan melalui pintu pagar pembatas. Pengunjung berwajah Timur Tengah mendominasi meski wajah-wajah Eropa dan Amerika tak kalah banyak. Bersama suami, saya mulai menapaki jalan setapak berbatu di padang terbuka menuju perbukitan gersang, yang berhasil menyembunyikan kota Petra beberapa millenia. Siapa yang menyangka di balik semua kegersangan itu ada kehebatan hasil seni bangsa Arab Nabatean yang menguasai daerah itu sejak satu abad sebelum Masehi hingga empat abad berikutnya, sampai gempa bumi besar membuatnya terabaikan selama hampir dua millenia! Untung saja ada seorang pengelana Swiss yang menyamar menjadi seorang Arab dan bisa memaksa pemandu Beduinnya untuk menunjukkan tempat misterius itu untuk kemudian menceritakan kembali kepada dunia. Tentang keluarbiasaan Petra, yang amat indah, ditatah penuh lekuk langsung pada wajah tebing-tebing tinggi yang berwarna kemerahan.

Djinn Blocks & The Obelisk Tomb

Sekitar 400 meter berjalan di jalur Bab Al Siq, yang berarti pintu gerbang ke ‘Siq’, saya mengenali spot pertama yang luar biasa dari bangsa Nabataean. Djinn Blocks. Bagaimana tidak? Yang namanya Djinn Blocks itu terlihat dari jauh karena ukurannya sangat besar dan eye-catching. Bahkan bagi orang yang tidak tahu apapun tentang Petra, biasanya memperhatikan batu segede gaban itu. Ya, Djinn Blocks memang terdiri dari tiga blok batu berbentuk kubus yang sangat besar, terpotong rapi, presisi dan berhias sederhana. Ukurannya sekitar 8 x 8 x 8 meter, besar sekali kan? Dan mengacu namanya yang unik, saya berpikir agak nyeleneh, Djinn Blocks mungkin menjadi tempat tinggal para makhluk jin (asal katanya ya memang itu kan). Tapi juga bisa berarti rumah spirit yang orientasinya lebih relijius. Apapun artinya itu, konon menurut orang lokal dari suku Beduin, Djinn Blocks merupakan tempat peristirahatan (tapi entah peristirahatan dalam artian makam atau memang tempat istirahat manusia dalam sebuah perjalanan panjang) karena ada juga yang mengartikan sebagai ‘tempat menyimpan air’ yang biasanya menjadi tempat pemberhentian pengelana.

The Obelisk Tomb

Puas foto-foto di Djinn Blocks, tak berapa lama setelahnya, kami bisa melihat dari kejauhan yang namanya Makam Obelisk (The Obelisk Tomb), lagi-lagi buatan bangsa Nabatean ketika Malichus II berkuasa (40-70 M) yang sayangnya tidak bisa saya eksplorasi lebih dekat karena keterbatasan waktu.

Tetapi dari jalan saya bisa melihat bentuk yang menarik di bagian atas, empat bentukan seperti piramida (disebut ‘nafesh’) dengan ceruk di bagian bawah, konon berhias relief sebagai representasi simbolis lima orang yang dimakamkan di tempat itu dan ada aula perjamuan (Triclinium) yang berada di bagian bawah. Siapa tahu saya punya kesempatan ke Petra lagi agar bisa mengeksplorasinya dan melihat prasasti dalam karakter Nabatean dan Yunani yang mendeskripsikan monumen makam yang konon ditulis sendiri oleh Abdomanchos yang akhirnya menghuni makam itu bersama keluarganya.

Kaki kami terus melangkah hingga ke awal lokasi yang disebut The Siq, yang merupakan pintu masuk utama kuno menuju kota Petra. Baru awalnya saja, saya sudah terpukau. Memang The Siq ini sangat epic karena merupakan sebuah celah, -jalan sempit-, di antara batu karang yang sangat tinggi sepanjang 1200 meter dengan lebar hanya 3 hingga 12 meter dan tingginya mencapai 80 meter atau kira-kira setinggi bangunan bertingkat 20! Gilanya, sebagian besar batu itu dibiarkan alami dan sebagian lagi dipahat oleh bangsa Nabatean dengan keindahan yang luarbiasa.

Kehadiran dua penjaga berbaju besi yang memegang tombak di bekas pintu gerbang The Siq seakan menyadarkan saya untuk berimajinasi akan kemegahan sisa gerbang kota tua itu. Hebatnya lagi, sepanjang The Siq, kita bisa melihat saluran air yang datang dari Wadi Musa berupa pipa tembikar atau juga pahatan dari batu, dengan beberapa tempat berfungsi sebagai filter air. Saya berpikir, bagaimana mungkin karena tempat saya berpijak ini sepertinya tampaknya lebih tinggi daripada Wadi Musa.

Ternyata kebingungan saya terjawab langsung. Bangsa Nabatean membuat bendungan! Saya sempat melihat dinding yang dibangun pada celah batu karang yang ternyata merupakan bagian dari Bendungan Nabatean asli yang direnovasi pemerintah Jordan pada tahun 1964 mengikuti teknologi asli Nabatean. Bendungan ini dibangun untuk melindungi The Siq sebagai jalan masuk dan juga kota Petra dari banjir ketika musim hujan. Konon, air banjir itu dialirkan ke dalam sebuah terowongan, yang kemudian diberi judul ‘Terowongan Gelap’ dan selamanya kota Petra selamat dari banjir. Hebat ya infrastruktur untuk ukuran abad pertama Masehi. Menyusuri The Siq yang dikeraskan dengan lempengan batu yang masih bisa disaksikan di beberapa tempat, saya terus dibuat kagum saat melihat patung dewa bangsa Nabataean, Sabinos, yang berdiri dekat saluran air. Tak heran karena bangsa Nabataean percaya air merupakan sesuatu yang suci, jadi patung dewa mereka harus berdiri dekat air.

Di tengah perjalanan saya dikejutkan oleh penampakan batu yang berdiri sendiri, unik, di tengah celah serta besar menyerupai bentuk hewan. Saya dan suami menebak-nebak, apakah itu gajah atau ikan.

Kami berdua masih terkagum-kagum saat berjalan di sepanjang The Siq. Tebing itu tinggi sekali sehingga tinggi manusia tiada artinya. Saya mendongak ke atas, memang teramat tinggi! Tidak heran, ada banyak film Hollywood mengambil lokasi shooting di tempat ini. Keren sekali sih. Keluarbiasaan jalan diapit tebing berwarna kemerahan itu hampir berakhir ketika cahaya semakin kuat datang dari kota tua yang bernama Raqeen yang akhirnya diganti namanya menjadi Petra, -artinya adalah batu karang-, sesuai bahasa dari bangsa yang mendudukinya, Yunani. 

The Treasury atau Khazna

Belum juga lepas dari The Siq, saya sudah melihat sebagian fasad Petra yang paling megah; Al Khazna atau Treasury. Saya seakan melihat wajah istana yang ditempelkan di tebing batu karang. Megah. Tingginya sekitar 40 meter dan didekorasi indah. Di bagian atas seperti ada guci yang biasa untuk digunakan dalam ritual penguburan, yang menurut legenda setempat menyembunyikan harta. Sayangnya ada banyak jejak bekas tembakan dan pengrusakan yang mungkin disebabkan oleh keserakahan pemburu harta karun atau penjarah makam-makam tua.

The Treasury, Petra

Saya melongo! Tak mampu membayangkan bagaimana bangsa Nabatean pada abad ke-1 SM bisa membangun fasad The Treasury yang fungsi aslinya pun masih menjadi misteri hingga kini. Banyak yang bilang tempat itu merupakan sebuah kuil meski tak sedikit ahli yang menganggap hanya sebuah tempat penyimpanan dokumen. Tetapi pada ekskavasi terakhir di bawah lantai pertama bangunan dua tingkat dengan lebar 25 meter itu ditemukan makam yang tentunya bukan makam orang sembarangan.

Petra memang menyimpan misteri, masih begitu banyak yang belum terkuak dan masih tersembunyi di bawah permukaan tanah. Tidak heran karena setelah ditaklukkan Romawi dan kepentingan perdagangannya berkurang, Petra sengaja ditinggalkan. Apalagi setelah bencana alam dan gempa bumi besar terjadi, Petra semakin terpuruk dan mencapai titik nadirnya pada abad-7 lalu perlahan hilang ditelan bumi.

Di depan Treasury saya hanya mampu diam menikmati sambil berfoto. Sepasang unta siap disewa mereka yang uangnya berlebih. Mungkin baginya, kapan lagi bisa menunggang unta di Petra? Keriuhan terjadi ketika si unta bangun dari posisi duduknya dan mengayun ke depan membuat si turis berteriak-teriak, takut terpelanting ke depan. Yang ikut menyaksikan tersenyum lebar. Bahkan suasana turistik di depan Treasury terasa menggembirakan.

Waktu berjalan tak kenal kasihan. Setelah puas berfoto, saya harus melambaikan tangan ke arah Treasury. Petra memang tidak hanya itu, sebenarnya masih banyak, masih ada jalan penuh kolom, ada juga bangunan Teater dan Makam Kerajaan bahkan bisa sampai ke Wadi Rum. Saya belum mendapat kesempatan untuk melihatnya karena waktu membatasi. Semoga Yang Maha Memiliki berkenan memberikan saya kesempatan untuk kembali ke Petra.

Pelan-pelan saya kembali menyusuri The Siq, menikmati yang terlewatkan, menyempatkan duduk di tempat peristirahatan, menyaksikan para turis datang dan pergi, semoga saya bisa kembali…

Batu-Batu Pembuat Takjub


Ada seorang teman sekolah yang mengatakan bahwa saya penyuka batu. Mendengar itu saya hanya bisa mengangkat alis, karena, -meskipun terdengar aneh-, saya tidak bisa mengabaikan kenyataan itu. Benar juga sih. Karena saya memang menyukai batu. Bukan batu-batu permata yang dulu pernah heboh, melainkan batu-batu yang memiliki makna, batu alam yang membuat takjub, atau batu-batu yang tersusun menjadi bangunan candi, batu-batu kecil yang berbentuk aneh. Ah, rasanya saya memang mudah tertarik oleh penampakan batu yang ‘menghebohkan’. Aneh juga ya?

Namun bagi mereka yang mengenal saya, atau mengikuti perjalanan saya melalui blog ini, tentu mengetahui bahwa saya sedikit ‘gila’ terhadap candi-candi Hindu/Buddha yang umumnya tersusun dari batu. Bahkan saya ‘kejar’ kegilaan saya akan batu itu sampai ke luar negeri. Meskipun, jujur deh, masih sangat banyak tempat di Indonesia yang belum saya kunjungi dan semuanya terkait dengan batu. 😀

Ketika berkesempatan pergi ke Jepang untuk pertama kalinya, di Osaka Castle saya terpaku di depan sebuah batu utuh yang amat besar, yang menjadi bagian dari dinding pelindung halaman dalam yang dikenal dengan nama Masugata Square. Batu yang disebut dengan Tako-ishi atau harafiahnya berarti Batu Gurita (karena ada gambar gurita di kiri bawahnya) memang luar biasa besar. Beratnya diperkirakan  108 ton, berukuran panjang 11.7 meter dan tingginya 5.5 meter (atau lebih dari saya ditumpuk tiga ke atas 😀 ). Satu batu utuh yang termasuk megalith dan terbesar di Osaka Castle ini bisa disaksikan tak jauh dari Gerbang Sakura.

Konon, dinding batu yang terbuat dari batu-batu amat besar ini dibuat pada awal periode Edo, yaitu sekitar tahun 1624 oleh Tadao Ikeda, Bangsawan besar dari Okayama yang diperintahkan oleh Shogun Tokugawa. Selain, Takoishi sebagai yang terbesar, tepat di sebelahnya terdapat batu yang merupakan ketiga terbesar di Osaka Castle, yang dikenal dengan nama Furisodeishi atau harafiahnya berarti batu lengan panjang kimono. Mungkin karena bentuknya seperti lengan kimono.

Saya sendiri belum sempat menelaah lebih lanjut tempat pembuatan Tako-ishi itu, apakah memang dibuat di Osaka atau di Okayama, tempatnya Tadao Ikeda menjabat. Jika benar di Okayama, saya tak pernah membayangkan pengirimannya. Padahal jarak Osaka ke Okayama itu sekitar 170 km. Lalu bagaimana pengirimannya pada masanya ya?

Stone1-Takoishi
Takoishi – The Largest Stonewall in Osaka Castle

– § –

Berbeda dengan batu yang ada di Jepang, dalam perjalanan saya ke Cambodia, -tentu saja selain Angkor Wat dan kuil-kuil lainnya yang mempesonakan-, saya juga terpesona dengan Reclining Buddha raksasa yang terbuat dari batu utuh yang berlokasi di kompleks Preah Ang Tom di Phnom Kulen, sekitar 50 km di utara kompleks percandian Angkor.

Dengan panjang sekitar 17 meter, Reclining Buddha dari abad ke-16 ini, dibangun di atas batu setinggi 8 meter sehingga saya harus menaiki tangga untuk mencapainya. Meskipun ukurannya kalah jauh dari Wat Pho di Bangkok atau bahkan Reclining Buddha di Mojokerto apalagi jika dibandingkan panjang patung-patung serupa di Myanmar, saya merasa amat unik dengan apa yang saya lihat di Preah Ang Tom ini.

Tidak seperti biasanya di negara-negara Buddhist yang pada umumnya Reclining Buddha dalam posisi Parinirvana (perjalanan menuju Nirvana setelah kematiannya) dibuat dengan kepala di sebelah kiri, Reclining Buddha yang ada di Phnom Kulen ini, kepala Sang Buddha berada di sebelah kanan. Terlebih lagi, konon sudah amat tua, hampir empat abad keberadaannya dan dibuat diatas batuan pegunungan! Bahkan setelah saya browsing, hanya ada tiga Reclining Buddha dalam posisi ini, dua di Thailand dan di Preah Ang Tom ini.

Stone2-PhnomKulen
Reclining Buddha at Phnom Kulen, Cambodia

– § –

Bicara soal usia batu, saya jadi teringat batu yang ditemui saat melakukan trekking ke Muktinath di kawasan Lower Mustang, Nepal. Tak jauh dari kuil Muktinath yang dipercaya oleh penganut Hindu Vaishnavas sebagai salah satu tempat yang paling sakral, terdapat sebuah patung Buddha sebagai penghormatan kepadan Guru Rinpoche yang konon pernah ke sana. Di bawahnya diberi hiasan batu-batu asli, yang diambil dari Sungai Kali Gandaki. Batu-batu asli ini namanya Shaligram.

Shaligram ini sangat khas. Meski kecil, tidak lebih besar dari telapak tangan-, batu ini luar biasa unik karena memiliki motif kerang yang terbentuk secara alamiah. Konon terbentuk sebagai fosil sejenis kerang yang ada sekitar ratusan juta tahun lalu!

Yang membuat saya terpesona adalah kenyataan bahwa batu kerang sebagai binatang laut yang sudah memfosil itu bisa ditemukan di dasar atau pinggir sungai Kali Gandaki yang berair tawar di sekitaran kawasan Himalaya yang tinggi gunungnya beribu-ribu meter ke atas. Mungkin saja, pikiran saya terlalu terbatas untuk bisa membayangkan yang terjadi di alam ini selama ratusan juta tahun yang lalu, ketika jaman es masih menutupi planet bumi tercinta ini. 

Menyaksikan sendiri fakta alam yang begitu dekat dan bisa dipegang, rasanya amat luar biasa. Namun sayang sekali, ada saja manusia-manusia yang tak bertanggung jawab yang mencungkilnya untuk dijadikan sesembahan.

DSC06048
Shaligram of Muktinath, Nepal

– § –

Batu-batu lain yang membuat saya takjub adalah batu-batu yang berdiri dalam posisi amat kritis. Salah satu batu yang membuat saya terkagum-kagum adalah The Golden Rock, yang ada di Myanmar, sekitar 5 – 6 jam perjalanan dengan bus dari Yangon. Hingga kini, Golden Rock menjadi tempat sakral bagi umat Buddha Myanmar sehingga banyak didatangi peziarah dari segala penjuru Myanmar.

Bagi saya, The Golden Rock bisa mewakili semua posisi batu yang disangga batu lainnya meskipun dengan posisi yang teramat kritis dan tetap dalam keseimbangan selama berabad-abad. Mungkin tingkat kekritisannya bisa dibandingkan dengan The Krishna’s Butter Ball yang ada di Mahablipuram, India (Semoga saya diberikan kesempatan untuk berkunjung kesana!) atau batu-batu lainnya yang serupa.

Di dekat Wat Phu, Laos Selatan, saya melihat celah sempit di bawah batu cadas (rocks) dan digunakan untuk tempat persembahyangan. Juga di Golden Rock, saya melihat banyak orang bersembahyang di bawah batu tersebut. Entah kenapa melihat semua itu, selalu terlintas di pikiran, bagaimana jika terjadi gempa bumi yang membuat posisi batu menjadi tak seimbang dan batu itu ‘glundung‘ jatuh ke bawah? Bukankah apapun bisa terjadi?

DSC07435
Critical Point of The Golden Rock, Myanmar

– § –

Tetapi, dari banyak tempat yang pernah saya kunjungi, mungkin Petra di Jordan menjadi juaranya terkait batu yang membuat saya terkagum-kagum. Kekaguman saya akan tingginya celah ngarai yang teramat sempit yang dikenal dengan nama The Siq, juga bentukan-bentukan alam serta olahan tangan dari bangsa Nabatean jaman dahulu terhadap kawasan berbatu cadas itu. Sang Pemilik Semesta telah menciptakan kawasan Petra begitu berbatu yang tanpa sentuhan manusia pun sudah begitu mempesonakan, namun bangsa Nabatean dengan kemampuan artistiknya membuatnya semakin menarik.

Menuju The Treasury, saya melewati daerah yang disebut dengan Djinn blocks. Isinya batu-batu yang berbentuk kubus, nyaris sempurna. Saat mengetahui namanya, konotasi saya langsung mengarah ke tempat-tempat jin (asal katanya ya memang itu kan), namun konon bentukan kubus itu merupakan tempat peristirahatan (tapi entah peristirahatan dalam artian makam atau memang tempat beristirahat dalam perjalanan karena ada juga yang mengartikan ‘tempat air’ yang biasanya menjadi tempat pemberhentian pengelana)

Tetapi tetap saja, batu-batuan di Petra ini, dalam kondisi aslinya atau telah menerima sentuhan manusia, tetap mempesona. Yang pasti, saya ingin kembali lagi kesana, menjelajah lebih lama, lebih santai…

DSC00469
Other angle of Djinn Blocks

DSC00466
Djinn Blocks, Petra

DSC00496
Elephant, Fish or Aliens?

– § –

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-20 bertema Stone agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu