Ada Cerita Menyebalkan di atas Kursi Pesawat


Dalam setiap penerbangan tidak jarang terjadi hal-hal tak terduga saat duduk di kursi pesawat yang membawa kita terbang yang mungkin sangat menjengkelkan hingga rasanya berada di tepi jurang kesabaran. Susahnya, di kala badan sudah lelah karena perjalanan, biasanya tepi kesabaran cepat sekali terjangkaunya dan terjadilah hal-hal ‘ajaib’ yang memalukan saat kejengkelan atau kemarahan menguasai diri. Tetapi serunya, setelah beberapa waktu, kejadian itu berubah, bisa jadi terlihat sebagai sesuatu yang lucu untuk dikenang, sebagai warna indah perjalanan itu sendiri….

Nomorku, nomormu…

Di hampir setiap penerbangan budget, saya membeli nomor kursi dengan alasan khusus dan tentu saja uang yang tidak sedikit. Kebanyakan window seat jika saya mau tidur sepanjang perjalanan atau justru sedang ingin mengambil foto luar. Kadang kala saya memilih bagian lorong karena ingin kemudahan akses untuk bisa cepat turun dari pesawat atau akses toilet.

P1000046-1

Namun karena saya selalu punya alasan untuk duduk di kursi itu maka saya akan sangat cepat sampai pada tepi kesabaran jika ada orang hendak merampasnya. Karena saya sangat tidak toleran untuk hal ini. Pernah suatu ketika, seorang ibu ngotot menduduki kursi saya dan berusaha negosiasi karena ingin berdekatan dengan anaknya. Biar terbang sampai bulan pun, saya tidak akan memberikan kursi saya 😀 kecuali dia kasih tiket gratis ke destinasi lain… Tetapi untuk beli kursinya sendiri saja sudah tak bersedia apalagi kasih tiket gratis kan?

Ada kejadian mirip, kali ini seorang pramugari yang langsung meminta saya menunjukkan boarding pass karena seorang ibu berkata bahwa saya duduk di kursinya sementara saya sudah pasti menduduki sesuai nomor kursi yang ada pada boarding pass. Jengkel, saya membongkar tas tangan mencari boarding pass hanya untuk menunjukkan bahwa si pramugrasi itu tidak memeriksa lebih dulu boarding pass si ibu yang baru datang dan yang nyata-nyatanya bingung menbaca nomor kursi di boarding passnya sendiri. Seandainya ada interface langsung dari pikiran saya ke film komik, mungkin terlihat di layar saya sedang menggepengkan si pramugari bertampang lempeng itu pakai mesin giling.

Lain lagi ceritanya ketika berada di sebuah penerbangan pulang menuju Kuala Lumpur, saya membeli kursi di jendela dalam area quiet zone karena berkeinginan untuk istirahat. Quiet zone merupakan wilayah yang tenang, tidak diperuntukkan untuk anak dan bayi dan jika bicara harus dalam volume rendah. Malangnya di belakang saya duduklah seseorang yang mendapat kursi tanpa mengetahui peruntukan dari area kursi tersebut. Sejak take off, mungkin karena kebeliaannya, tanpa peduli ia memasang music hip-hop dari negaranya melalui speaker dari music playernya. Sebenarnya saya penyuka segala macam musik, tetapi saat itu kondisi tubuh benar-benar lelah ingin beristirahat dan menginginkan suasana tenang seperti yang dijanjikan oleh maskapai. Saya yang telah membayar mahal untuk kursi itu, pada awalnya mencoba untuk mengabaikan musik yang dipasang pada volume cukup keras itu. Tetapi pramugari tak juga memberitahu pemuda itu, bisa jadi ia sejenis yang sungkan atau bisa juga yang tidak mau tahu, sehingga saya memanggil pramugari dan bertanya apakah memang kursi yang saya dan orang itu duduki itu termasuk wilayah quiet zone. Pramugari itu mengiyakan. Saya sampai mengulang jawabannya supaya pasti dan karenanya saya minta dia untuk membicarakan hal itu kepada penumpang di belakang saya. (Sabar dimanakah kamu???)

Pada saat saya bicarakan dengan pramugari itu, karena saya duduk di dekat jendela, maka saya harus melampaui dua orang. Orang yang duduk di bagian lorong pasti mendengar pembicaraan saya dan sepertinya ia berasal dari Negara yang sama dengan pemuda itu. Hebatnya, saat turun di Kuala Lumpur, ransel saya diambilkan olehnya, mungkin sebagai penebusan atas apa yang dilakukan salah satu bangsanya (mungkin juga karena dia memang baik hati!) dan akibatnya gantian saya yang merasa tidak enak hati karena mendapat perlakuan baik dari orang.

Tetapi pernah juga ada orang yang menduduki kursi saya dan ketika saya bertanya padanya, bahkan dia tidak tahu cara membaca informasi di boarding pass dan ia menganggap bisa duduk dimana saja. Melihat dirinya yang lusuh dan sepertinya baru kali pertama naik pesawat terbang, akhirnya saya serahkan dia ke Pramugari untuk mencari tempat duduknya yang ada di bagian depan, padahal saat itu saya mendapat tempat di bagian belakang. Tidak terbayangkan dia harus berjalan melawan arah menembus barisan orang yang tidak sabar untuk mencapai tempat duduknya masing-masing.

Menendang Kursi di Depannya

Sudah sewajarnya orang duduk manis di kursi sepanjang perjalanan dan menghargai orang lain yang duduk di kursi yang lain. Tetapi tak jarang, ada orang yang tak betah duduk lama lalu merasa duduk di bale-balenya sendiri dengan lutut atau telapak kaki menekan kursi di depannya. Alhasil saya yang duduk di depannya serasa ditendang-tendang. Bagaimanapun seperti orang bijak bilang, to err is human, to forgive divine… sehingga walaupun itu penyebabnya kaki anak kecil, biasanya saya akan memohon pengertian dari keluarga atau orang dewasa yang ada didekatnya. Anak kecil mungkin tidak mengetahui atau tidak dididik oleh keluarganya untuk duduk manis, tetapi paling tidak orang dewasa yang mendidiknya seharusnya mengerti kesopanan. Lagi pula bagaimana bisa tidur jika kepala atau punggung  jadi terpental-pental? Sekali lagi, si sabar bersembunyi entah dimana…

Jempolnya nyelonong…

Saat itu saya dalam penerbangan dengan menggunakan pesawat ATR72 di Myanmar. Pesawat itu memang dibuat bukan untuk penumpang-penumpang bertubuh tinggi, sehingga tentu saja bagi mereka sangat kesulitan meletakkan kakinya yang panjang. Karena ransel saya tidak muat di kabin atas, saya jejalkan di bawah, di dekat kaki. Saat itu kursi di sebelah saya kosong. Setelah terbang beberapa menit, saya terkejut setengah mati karena melihat jempol kaki yang besar tak beralas nyelonong di bawah kursi sebelah saya.

P1020441

Beruntung hidung saya saat itu sedang tidak sensitif mencium  bau jempol, tetapi karena jarang mengalami hal itu, saya mengabadikan si jempol itu sambil senyum-senyum membayangkan seandainya ada jarum gede tentu akan saya tusuk jempol itu seperti penyihir yang menusukkan jarum ke boneka voodoo-nya. Bayangan dia akan menarik kakinya hingga lutut dan kakinya terbentur kursi besi karena ditusuk jarum itu sangat komikal membuat saya tersenyum lebar penuh kejahilan …

Siapa Tahu Dia Mengerti…

Bersama teman, -yang juga kawan satu sekolah dulu-, saat melakukan perjalanan bersama sudah sepakat untuk tidak membicarakan orang dalam satu pesawat. Selain karena tak baik secara moral, kami sangat mengingat cerita guru sekolah kami, yang ceritanya waktu itu sedang antri dan entah bagaimana terdorong orang di belakangnya. Karena sedang di Belanda dan menganggap tidak ada yang memahami bahasa Jawa, beliau sedikit mengomel dalam bahasa Jawa yang kurang lebihnya berarti, dasar orang bule tidak sabar, pasti udelnya bodong. Tak dinyana, bule yang tak sengaja mendorongnya itu langsung meminta maaf berkali-kali dalam bahasa Jawa Halus, sambil mengatakan bahwa udelnya tidak bodong (bodong: pusar yang muncul keluar) !!!

Lagi-lagi soal bahasa yang dipahami, siapa yang sangka saya diajak bicara oleh seorang bule totok dari Inggris dalam bahasa Indonesia bercampur Melayu di dalam pesawat ATR berbaling-baling di Nepal? Berapa nilai kemungkinan orang asing yang bisa berbicara dalam bahasa Indonesia di pesawat berpenumpang 60-an itu?

Bagaimana Kalau Ada Sepuluh?

Masih ada cerita lain… Dalam sebuah penerbangan saya duduk di belakang ibu yang memiliki bayi. Saya sudah bersiap-siap untuk menutup telinga jika si bayi menangis sepanjang perjalanan. Tetapi si ibu sepertinya santai saja. Dan benarlah, adegan bayi menangis sudah dimulai sejak pesawat menuju run-way dan semakin keras dan semakin keras. Suara bayi menangis menyaingi deru pesawat yang terbang melesat mencapai ketinggian. Kondisi penumpang yang tidak diperbolehkan bangun membuat seisi pesawat menikmati irama tangis si bayi. Tetapi hingga tanda sabuk pengaman dipadamkan, si bayi tidak berhenti menangisnya. Orang-orang mulai menoleh memberi wajah tak senang kepada sang ibu. Saya teringat ketika membawa terbang anak saya yang ketika itu berusia 11 bulan. Persiapan matang saya lakukan, dari mainan-mainan, botol susu, botol air putih, hingga konsultasi dulu ke dokter untuk tips terbangnya. Sehingga bayi saya tidak mengganggu orang lain. Namun tak semua orang bisa sempat melakukan persiapan untuk bayinya saat terbang. Bahkan saya sempat melihat sang ibu hanya pasrah tak tahu apa yang dilakukan bahkan menyuruh nanny-nya untuk menenangkan si bayi. Tak hanya itu, saya sempat mendengar seorang laki-laki muda di seberang lorong memanggil pramugari untuk meminta sang ibu menenangkan anak itu, dan jika tidak bisa diam, dia minta dipindahkan ke belakang padahal pesawat penuh. Saya tersenyum mendengarnya, dia mungkin belum memiliki anak. Lagi-lagi saya hanya berpatokan cerita orang bijak. Bagaimana kalau ada 10 bayi menangis bersamaan? 😀

Lain lagi ceritanya ketika saya dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Kathmandu, di sebelah saya duduklah seseorang yang tampaknya baru selesai buang hajat besarnya saat di Kuala Lumpur. Bisa jadi dia tidak membersihkan dirinya dengan baik atau tak sadar bahwa bau buangannya menempel di pakaiannya. Empat jam lebih sejak take off dari Kuala Lumpur hingga mendarat di Kathmandu saya tak bergerak di kursi menikmati ‘harum’nya itu. Melihat dia sepertinya sebagai pekerja migran, hati saya tersentuh. Bisa jadi dia pulang demi keluarganya yang sudah lama tak dilihatnya. Tetapi empat jam lebih dengan bau-bauan seperti itu? Saya berhasil bertahan melewati empat jam itu tanpa ekspresi, tanpa muntah atau menutup hidung secara terang-terangan yang akan menyakitinya. Saya mengatasinya hanya dengan mengingat cerita orang bijak. Untung satu orang, bagaimana jika depan, belakang dan sekeliling saya dipenuhi orang dengan bau seperti itu? Satu orang jauh lebih baik daripada 10 orang! Dan bukankah hanya sekali dalam perjalanan ini?

Kursi-kursi pesawat itu punya cerita masing-masing.

Tak luput saya menyaksikan orang yang tadinya duduk di depan saya, saat baru beberapa detik berdiri antri di lorong tiba-tiba jatuh pingsan menimpa orang di belakangnya, yang akhirnya mengacaukan antrian keluar pesawat.

Atau mana yang lebih menyebalkan saat tidak bisa tidur, mendengar pertengkaran sepasang kekasih dengan volume rendah tetapi kasar hingga si gadis menangis lalu mendadak berdiri lari ke toilet mungkin karena tidak tahan lagi, ataukah suara kecup-kecup mesra berkepanjangan di tengah keremangan terbang malam? *cari tutup kuping

Bagaimana dengan Anda, punya cerita juga saat berada di kursi pesawat?