Cambodia – Finally Sambor Prei Kuk


Ada rasa haru ketika kaki akhirnya menjejak tanah di kompleks Sambor Prei Kuk, sebuah kompleks percandian yang lebih tua daripada Angkor, yang berada di wilayah Kompong Thom, sekitar 200 kilometer Barat Laut Phnom Penh. Ah, bumi Kamboja memang penuh monumen kuno yang selalu memanggil saya untuk datang… 

*

Sambor Prei Kuk, memang lebih jarang dikunjungi oleh pengunjung Angkor, mungkin karena lokasinya yang ‘nanggung’, – dipertengahan jarak antara Siem Reap dan Phnom Penh -, ditambah dengan kondisi tak banyak obyek wisata lain yang terlalu menarik untuk dikunjungi. Mungkin hanya diminati oleh para penggemar candi, seperti saya misalnya 🙂

Prasat Tao atau Prasat Boram (Group C – Tengah)

Diiringi suara khas desir angin pagi diantara pepohonan, saya melangkah melewati pagar pembatas kuno dan merasa disambut hangat di candi yang justru paling akhir dibangun, sekitar abad-9 atau awal abad-10 oleh Raja Jayavarman II yang dikenal sebagai penguasa pertama kerajaan Angkor. Prasat Boram oleh penduduk lokal biasa disebut Prasat Tao yang artinya singa, karena memang di tiap sisinya terdapat sepasang arca singa walaupun hanya tinggal satu sisi yang masih lengkap.

Decor on top of the door at Prasat Tao

Walaupun kini Prasat Tao hanya tinggal sendiri karena candi-candi kecil sekitarnya telah runtuh, menyisakan gundukan tak berbentuk, Prasat Tao tampak anggun seperti bermahkota tumbuhan liar hijau. Sisa kecantikan bangunan abad-9 dengan ketinggian 20 meter ini masih terasa dengan adanya sisa hiasan pada dinding dan pintu. Pada masa jayanya pastilah indah. Terlihat para ahli restorasi bersusah payah membuat replika hiasan dari bahan modern semirip aslinya, – yang serupa di candi abad-9 di Phnom Kulen -, walaupun hiasan itu terasa janggal, tak cocok waktu.

Mata saya langsung mengarah pada sepasang singa penjaga pintu yang duduk dengan kaki depan tegak, kepala menghadap depan dengan mulut membuka, terlihat sangat gagah dan kokoh. Kedua singa itu memiliki surai ikal yang amat cantik. Sebenarnya di keempat sisi lainnya ada juga pasangan singa, namun kini hanya tinggal cakarnya saja atau bahkan hilang sama sekali karena diambil paksa oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

Lalu seakan meminta izin dari singa sang penjaga, saya melangkah masuk ke ruang dalam candi yang luas namun kosong. Sinar matahari masuk melalui lubang lebar di puncak bangunan, menjadikan situasi yang eksotis. Entah puncak itu memang sejak awal berlubang atau tertutup dengan bahan lain, tak pernah diketahui. Tepat di bawahnya berseberangan dengan pintu masuk, terdapat sebuah altar sederhana berisi arca kecil Buddha. Walaupun sejarah mencatat Sambor Prei Kuk didedikasikan kepada Dewa Shiva sebagai salah satu dewa utama Hindu, tempat-tempat yang dipercaya sakral oleh penduduk lokal masih difungsikan sebagai tempat untuk melantunkan doa dan pujian sesuai kepercayaannya kini.

Tak lama kemudian, saya melangkah keluar dan berbisik pada singa penjaga lalu melanjutkan langkah ke group lain di kompleks candi itu, meninggalkan Prasat Tao yang diam berdiri sendiri dalam hening.

Prasat Yeai Poeun (Group S – Selatan)

Kerumunan anak kecil dengan rayuan maut ‘One Dollar’ diusir dengan kasih sayang oleh pemandu saya. Ia, yang juga menjadi salah satu tenaga konservasi, menunjukkan saya jalan menuju Prasat Yeah Puon melalui jalan setapak. Tak perlu bahasa Inggeris sempurna, cukuplah ditambah bahasa tubuh dan senyum universal, komunikasi saya dengannya bisa terjalin hangat. Desir angin lagi-lagi mengantar saya di bawah rindangnya pepohonan, menyusuri pagar bata kuno –di satu sisi panjangnya mencapai 250meter dan sisi lainnya hingga 2 km-, yang menjadi saksi bisu perjalanan waktunya.

Octagonal Shrines with Flying Palace, Sambor Prei Kuk

Tak lama berselang saya melihat lima bangunan candi bata berbentuk segi delapan, yang kondisinya tak jauh beda dengan Prasat Tao bahkan mungkin lebih mengenaskan karena dibantu besi-besi penopang.  Mata ini dimanjakan dengan bentuk oktagonalnya yang merupakan arsitektur Khmer yang luarbiasa unik, tak ada lagi di tempat lain. Pada tiap sisinya terdapat dekorasi Flying Palace, -sebuah dekorasi yang menggambarkan istana dewa-dewi beserta isinya-, yang masing-masing berbeda di tiap bangunan, namun sayang sudah tak begitu jelas lagi karena dimakan waktu. Padahal menurut literatur, banyak penggambaran makhluk-makhluk khayangan yang tak biasa di dekorasi itu, termasuk kuda bersayap!

Selepas itu, saya melangkah memasuki bangunan yang berada tepat di depan candi utama, yang disebut Mandapa. Bangunan yang masih direnovasi karena rusak berat akibat hujan berkepanjangan di musim monsoon tahun 2006 lalu, dulunya merupakan tempat penyimpanan arca perak Nandi, kendaraan Dewa Shiva. Walaupun keberadaan Nandi perak itu tak lagi diketahui, ada yang menarik di Mandapa ini. Di dalam bangunan bata ini terdapat struktur sandstone, bukan bata, yang penuh dengan hiasan dan inskripsi abad-7 yang menyatakan Raja Isanavarman I telah mengalahkan dinasti Funan dan mendirikan bangunan ini.

Tetapi tak hanya itu, uniknya lagi, terdapat ukiran kepala yang disebut Kudu, yang diduga serupa dan sejaman dengan aliran budaya Hellenisme! Serta merta sebuah pertanyaan terbersit keluar, benarkah ini? Jelas sekali hiasan ini terpengaruh oleh budaya India, tetapi bukannya tidak mungkin pengaruh juga datang dari negeri-negeri yang lebih Barat? Hellenisme di Kamboja pada abad-7… wow!

Masih terkagum dengan kenyataan Hellenisme di Kamboja, saya menuju bangunan utama Prasat Yeai Poeun yang tingginya mencapai 25 meter dengan puncak terbuka. Saya berlama-lama di ruang itu, menikmati setiap hiasan pedestal yang teramat cantik walau hanya berupa rekonstruksi. Pedestal besar tempat Lingga Yoni didirikan, mengandung inskripsi yang menyatakan ada Arca Emas Dewa Siwa yang Tersenyum didirikan diatasnya. Tapi ah, rasanya mustahil melihatnya karena hingga kini arca itu tak ketahuan bentuk dan keberadaannya.

Sebelum meninggalkannya, saya berdiri diam menghadap grup Prasat Yeah Puon ini. Sambor Prei Kuk yang terdaftar sebagai Tentative List of UNESCO World Heritage Site ini turut menjadi korban alam dan keganasan perang. Tak sedikit bangunan bersejarah hancur ditelan waktu dan juga terkena bom-bom oleh pasukan Amerika saat perang dulu sehingga tak heran, kawah-kawah bom ada disana sini.

Saya melangkah menuju sebuah lempeng batu rekonstruksi yang berbentuk lingkaran dengan ukiran yang cantik yang lokasinya tak jauh dari bangunan candi yang sebagian dindingnya berselimut akar-akar pohon. Eksotis!

Decor on an upper part of circle pedestal
Decor on the lower part of circle pedestal

Prasat Sambor (Group N – Utara)

Kelompok candi terakhir yang saya kunjungi adalah Prasat Sambor yang terletak di bagian Utara dan merupakan group terbesar di kompleks Sambor Prei Kuk karena dinding pembatas luarnya hampir 400 meter dan sisi lainnya mencapai 2 kilometer. Prasat Sambor yang dibangun oleh Raja Isanavarman I di kota Isanapura ini diyakini menjadi candi utama Kerajaan Chenla.

Prasat Sambor, the 7th century main temple

Saya tergerak menuju sudut yang tadinya berdiri sebuah bangunan namun kini hancur tinggal dinding bawahnya saja, di tengahnya terdapat linggayoni. Sungguh miris rasanya melihat peninggalan-peninggalan sejarah terbengkalai di ruang terbuka terkena panas dan hujan. Kemudian saya melanjutkan menuju sebuah bangunan bata lain yang juga telah dihiasi tumbuhan liar disana sini. Didalamnya terdapat arca yang sangat menawan. Dewi Durga! Apalagi sinar matahari datang dari lubang atas yang berlatar batu bata merah. Eksotis sekali, walaupun arcanya merupakan replika (arca asli tersimpan aman di museum).

Menyusuri pinggir Prasat Sambor, di sudut lainnya saya memasuki bangunan yang berisikan arca Harihara yang menurut tradisi Hindu merupakan Dewa Shiva dan Dewa Vishnu dalam satu sosok. Walaupun hanya berupa replika, -aslinya dapat dilihat di Museum Nasional di Phnom Penh-, arca Harihara terlihat eksotis dengan sinar matahari dari atas dilatari bata merah.

Matahari sudah tinggi ketika saya selesai mengelilingi Prasat Sambor. Tinggal tersisa candi utama yang berada di tengah-tengah. Saya mendekati Candi Utama sambil melihat masih banyak dudukan lingga-yoni berbentuk bundar atau segi delapan yang terserak di sekitaran candi.

Selayaknya bangunan utama, ia berdiri sendiri di atas teras tanpa pepohonan pelindung lagi. Matahari terasa memanggang tanpa ampun. Tak ada pilihan lain kecuali segera menaikinya untuk berteduh sejenak dari sengatan matahari. Uniknya, candi utama ini memiliki pintu di empat sisinya. Di tengahnya terdapat dudukan Lingga-yoni (yang ditemukan dalam pecahan di sekitar candi), dengan diameter lubang lebih dari 1 meter! Sangat besar! Tak terbayangkan besarnya arca Gambhiresvara yang menurut inskripsi didedikasikan di candi ini, namun sayang hingga kini tidak ditemukan satu petunjuk pun tentang bentuk dan keberadaannya.

Main pedestal Prasat Sambor with 1 meter diameter

Saya masih mendapat bonus dari kunjungan saya di Sambor Prei Kuk untuk menyaksikan Prasat Chrey yang seakan dipeluk erat oleh akar-akar pohon, terlihat sangat melindungi. Di kompleks Sambor Prei Kuk ini saja ada dua bangunan yang diliputi penuh dengan akar pohon, belum terhitung di Koh Ker atau seperti yang terkenal di Ta Prohm dan ditempat-tempat lainnya.

Rasanya selalu berat meninggalkan sebuah kompleks percandian, tetapi saya harus melanjutkan perjalanan. Seperti juga hidup, ada saat berjumpa, bersama dan tak boleh lupa waktunya berpisah. Sambil berterima kasih dalam hati saya melambaikan tangan pada kompleks Sambor Prei Kuk.