Kisah Raja Gajah Di Gua Saddan


Salah satu gua yang saya kunjungi selama di Hpa’an, Myanmar adalah gua Saddan atau kadang disebut juga Mahar Saddan. Gua ini merupakan gua terbesar di Kayin State dan nomor 5 terbesar di Myanmar. Tidak heran, karena Hpa’An merupakan kawasan wisata yang terkenal karena pemandangan alamnya yang unik akibat bentukan bukit-bukit karst. Dan namanya gua di Myanmar, biasanya digunakan juga sebagai tempat ibadah sehingga kita harus lepas sepatu, bahkan saat menjelajah gua yang sepanjang 800 meter yang juga dihuni oleh kelelawar dan segala macam makhluk hidup penghuni gua. Terbayang kan bagaimana jalan di dalam gua tanpa alas kaki?

Gua Saddan, -artinya gajah dalam bahasa lokal-, dinamai demikian karena ternyata memiliki kisah penuh makna dibaliknya. Tentu saja seperti yang biasa terjadi  di negara mayoritas Buddhist ini, kisahnya selalu dikaitkan dengan kehidupan Buddha atau pengikut utamanya.

DSC07835
The Hole drilled by Sonuttara, Saddan Cave, Hpa’an, Myanmar
DSC07855
The Hole of Saddan Cave, Hpa’an, Myanmar

Alkisah di tempat ini berkuasalah Raja Gajah Chaddanta Jataka, yang dipercaya merupakan satu dari kehidupan Buddha sebelumnya. Gajah Chaddanta merupakan salah satu ras yang paling langka dan dianggap oleh banyak orang sebagai kelas gajah tertinggi. Gajah-gajah ini memiliki penampilan yang amat unik, dengan tubuh yang berwarna putih murni disertai kaki dan wajah berwarna merah tua dan memiliki dengan enam gading. Disebutkan pula Raja Gajah Chaddanta memiliki dua ratu gajah, yang masing-masing bernama Mahasubhadda dan Chullasubhadda.

Suatu hari, Raja Gajah Chanddanta ingin memberikan bunga kepada para ratu gajah, namun tanpa diketahui Sang Raja, dalam bunga yang diberikan kepada Chullasubhadda terdapat semut merah, yang akhirnya menggigit Ratu Gajah itu. Oleh karena gigitan semut merah itu, Chullasubhadda terkejut dan bergerak, akibatnya seluruh daun kering, ranting dan semut merah yang berasal dari pohon semuanya menimpa Chullasubhadda. Berbeda dengan yang dialami oleh Chullasubhadda, bunga-bunga indah dan serbuk sari dari bunga memenuhi Mahasubhadda, Ratu Gajah yang lain. Melihat perbedaan itu, Chullasubhadda menjadi sangat marah dan bersumpah untuk membalas dendam pada Raja Gajah Chaddanta.

Waktu berlalu tanpa kejadian berarti yang menimpa Raja Gajah Chaddanta. Namun setelah Chullasubhadda meninggal, dia bereinkarnasi menjadi seorang putri raja yang akhirnya dipinang oleh seorang Raja dan iapun menjadi seorang ratu. Takdir berjalan sesuai waktunya sehingga pada suatu hari Sang Ratu mengajukan permohonan yang tidak biasa. Ia menginginkan gading Raja Gajah Chaddanta. Karena cintanya, Sang Raja mengirim Pembantu Utamanya yang bernama Thaw Note Ta Ra atau Sonuttara untuk mencari gading tersebut. Karena ia sangat patuh kepada Rajanya, Sonuttara berangkat sendiri dan mencari Gajah Chaddanta. Ia sendiri memerlukan waktu hingga tujuh tahun untuk menemukan Raja Gajah Chaddanta.

Setelah menemukannya, Sonuttara menyusun rencana dengan menggali lubang di sebelah gua yang didiami oleh Chaddanta. Lubang galian itu dikamuflasekan dengan cara menutupinya dengan ranting-ranting dan daun kering serta cabang-cabang kecil lainnya. Kemudian Sonuttara bersembunyi di dalam lubang dan menunggu.

Hingga suatu saat, Raja Gajah Chaddanta menerobos lubang yang dibuat oleh Sonuttara sehingga tanpa ragu Sonuttara langung memanah Raja Gajah Chaddanta dengan anak panah yang beracun. Sambil menahan sakit akibat racun anak panah, Raja Gajah Chaddanta mencari orang yang memanahnya dan ketika ia menemukan Sonuttara, Raja Gajah Chaddanta pun mengangkat Sonuttara dengan belalainya. Kemudian Raja Gajah itu bertanya mengapa Sonuttara melakukan hal keji ini. Ditanya demikian, Sonuttara menjelaskan ia harus mematuhi perintah Rajanya, karena Sang Raja ingin sekali memenuhi permintaan Sang Ratu.

Sambil tercenung, Raja Gajah Chaddanta menyadari bahwa hal ini merupakan bentuk nyata dari sumpah Chullasubhadda atas insiden semasa hidupnya dulu. Raja Gajah Chaddanta memahami bahwa waktunya telah tiba untuk mati. Ia pun rela memberikan gadingnya kepada Sonuttara untuk kemudian menyerahkannya kepada Raja dan Ratu.

Duh, saya jadi ikut melow dengan akhir ceritanya…

Bisa jadi karena saya selalu terkesan pada kisah-kisah orang yang menerima semua akibat perbuatannya dengan ikhlas dan rela. Meskipun tidak sengaja atau tidak berniat (tetapi bukankah semua peristiwa terjadi bukan karena kebetulan?). Bagi saya sih pembelajarannya, sebaiknya kita tidak berlaku tak adil kepada orang lain dan berbuat sebaik mungkin, meskipun kita tak pernah bisa menyenangkan semua orang.

Selain itu, pelajaran penting lainnya sih hanya satu yaitu jangan menyakiti hati perempuan di luar batasnya, ketika ia patah dan bersumpah pasti akan terjadi ! 🙂

Anyway, menjelajahi gua Saddan tetap menyenangkan meskipun harus telanjang kaki sepanjang perjalanan yang kadang-kadang menginjak juga yang lembut-lembut atau kerikil yang tajam-tajam. Saya tidak mau berpikir lebih jauh tentang apa itu….

DSC07860
The end of Saddan Cave, Myanmar

 


Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, A Rhyme in My Heart, dan Cerita Riyanti sebagai pengganti Weekly Photo Challenge-nya WordPress, yang untuk tahun 2019 minggu ke-43 ini bertema Lubang agar blogger terpacu untuk menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu. Jika ada sahabat pembaca mau ikut tantangan ini, kami berdua akan senang sekali…