Myanmar 1 – Menuju Golden Rock


Love recognizes no barriers. It jumps hurdles, leaps fences, penetrates walls to arrive at its destination full of hope ~ Maya Angelou

Bisa jadi quote Maya Angelou di atas mewakili rasa perjalanan saya kembali ke Myanmar setelah tujuh tahun. Untuk pertama kalinya saya memilih terbang tengah malam dengan AirAsia ke Yangon via Kuala Lumpur dengan harapan bisa mengejar bus pagi agar sampai di Golden Rock sebelum matahari terbenam. Memang sedikit melelahkan bepergian dari tengah malam hingga jelang malam berikutnya, tapi cinta pada perjalanan sepertinya mampu mengalahkan semua hambatannya. Lagipula saya bisa istirahat di pesawat dan di bus, serta tentu saja menghemat hotel, makan serta kemungkinan belanja karena toko masih tutup ‘kan?

Namun kenyataannya, sayapun terjatuh pada ‘kerikil’ perjalanan. Kesombongan mencintai perjalanan diuji saat boarding tengah malam itu. Tanpa periksa lagi, saya bersikap angkuh, dengan nada tinggi menuntut hak kursi di jendela 16F kepada orang yang sudah setengah tertidur menduduki kursi. Nada tinggi saya membangunkannya dan dengan sebalnya akhirnya ia menunjukkan boarding passnya yang bernomor 17F! Woilaaaa…. Langit rasanya runtuh… ternyata kursi saya terlewati dan kursi saya itu ada didepannya dan kosong!!! Malunya disaksikan satu pesawat itu tak tertahankan! Tanpa pikir panjang saya duduk, menutupi muka dengan jaket lalu pura-pura tidur… 😀

7
Do you see the Cable Cars?

Penerbangan berjalan lancar hingga mendarat di KLIA2. Masih setengah mengantuk, saya menyusuri travelator menuju ruang transfer antar bangsa untuk kemudian melihat gate penerbangan selanjutnya. Sambil berjalan menuju gate saya tersenyum melihat banyak orang tidur meringkuk di sudut-sudut nyaman lantai bandara yang berkarpet atau di kursi-kursi panjang. KLIA2 memang termasuk bandara yang nyaman untuk tidur overnight. Tersedia air panas untuk minum atau sekedar pelarut makanan instan dan yang paling penting bagi saya adalah kamar mandi, yang semuanya gratis.

Tidak ada yang menarik dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Yangon, kecuali kebanyakan saya tertidur dan baru terjaga jelang mendarat. Dan ketika akhirnya roda pesawat menyentuh runway dengan mulus, sekelumit rasa haru meliputi saya. Akhirnya saya bisa kembali ke negeri ini, Pa dan nanti saya akan ke tempat itu…

Rasa haru itu tak lama karena saya terpesona ketika memasuki terminal kedatangan. Bandara ini telah berubah banyak dalam tujuh tahun dan tidak kalah hebatnya dengan bandara-bandara internasional lainnya, bahkan tidak perlu lagi arrival card untuk imigrasi yang layanannya juga cepat. Ah, tiba-tiba saya teringat tujuh tahun lalu harus bolak-balik mengurus visa ke Kedutaan Myanmar di Jakarta dan kini saya melenggang masuk, melewati ban-ban berjalan itu karena saya tidak membawa bagasi.

Dalam sekejap pemandangan laki-laki berlongjyi dan perempuan berkain yang telah begitu lama tidak saya lihat, kini terhampar di depan mata, dimana-mana. Kenangan tujuh tahun lalu menari-nari di benak yang dengan cepat saya hilangkan karena perlu segera ambil uang via ATM yang terletak dekat KFC. Dengan salah satu kartu Bank Swasta Nasional kita, uang dengan mudah keluar. Tujuh tahun lalu, saya harus ketar-ketir menjaga kecukupan Bank Notes USD yang harus keluaran terbaru dan licin karena belum ada jaringan ATM Internasional. Belum lagi money changer terpercaya yang hanya terbatas, kalaupun ada yang lain, nilai tukarnya mengerikan. Betapa sekarang semakin mudah!

Setelah memegang uang lokal Kyat atau MMK, saya menuju konter taksi dan petugasnya langsung memberi harga standar US$ 7 atau 10000 MMK untuk tujuan ke terminal bus Aung Mingalar, yang menurut saya seharusnya bisa lebih murah untuk jarak itu. Tapi sudahlah, bukankah itu juga bagian dari peristiwa-peristiwa yang ada dalam perjalanan?

Karena telah memegang tiket bus Win Express menuju Kinpun yang dipesan online seminggu sebelumnya sebesar US$7.6, pengemudi taksi menurunkan tepat di depan bus dan tempat tunggunya. Saya tak lama menunggu di konter itu karena setelah beberapa menit bus berangkat menempuh perjalanan panjang sekitar 6 jam.

Saya memilih bus Win Express sesuai rekomendasi sahabat Celina yang pernah ke Golden Rock sebelumnya. Menurut penuturannya, banyak turis sebenarnya mau ke Golden Rock tapi mengatakannya ke Mt. Kyaikto, karena memang Golden Rock itu berlokasi di Mt. Kyaikto. Masalahnya, Kyaikto sendiri merupakan sebuah kota kecil yang masih cukup jauh dari Golden Rock dan harus naik bus lagi melalui desa Kinpun untuk mencapai Golden Rock. Sehingga kata kuncinya adalah Golden Rock bukan Mt. Kyaikto untuk menghindari salah komunikasi, atau bisa juga Kinpun.

Nah, meskipun banyak bus lain menawarkan harga yang lebih murah, tapi tidak sedikit yang hanya sampai Kyaikto saja dan cari sendiri transportasi lain ke Kinpun. Bus Win Express ini langsung berangkat dari Yangon ke Kinpun serta jadwalnya sesuai waktu yang saya rencanakan. Menyenangkan kan? Apalagi terus mendapatkan kemudahan hingga bisa berada dalam bus menuju Golden Rock itu, benar-benar anugerah ya…

Tetapi selalu ada kerikil lagi…

Rencana saya untuk melanjutkan tidur di bus langsung batal karena saya lupa beli SIM lokal untuk ponsel. Aduh, dasar saya yang suka lupa umur, pikirannya langsung ke pertanyaan bagaimana agar bisa tetap eksis dan nampang di medsos 😀 😀 😀 Tetapi, ya ampuuun… ketika mengakses aplikasi MyTelkomsel untuk membeli paket roaming, transaksi gagal. Serta merta saya seperti diguyur air es, panik! Dengan hati berat saya ON-kan roaming untuk minta pertolongan dari Indonesia, tetapi semua tidak berhasil. Saya mulai berpikir untuk offline selama perjalanan kecuali ada WIFI. Huaaaa…. :”(

Tetapi saya belum putus asa, mencoba lagi dengan cara lama sebelum adanya apps yaitu dengan cara Unstructured Supplementary Service Data (USSD). Dan… horeee…. Berhasil!!! *Dansa-dansa duluuu… Akhirnya tidak jadi komplen ke provider, yang penting bisa online, kan?

Setelah itu, baru saya memperhatikan keadaan bus yang lay-out kursinya dua-dua ini, ditambah AC yang cukup dingin menjadikan perjalanan selama 6 jam menjadi lebih nyaman. Di tengah perjalanan saat 30 menit break makan siang, saya menuju kios sebelah untuk membeli keripik kentang dan minuman botol. Meskipun terkendala bahasa, transaksi bisa berjalan baik, uang dan barang saling bertukar tempat ditambah senyum lebar tanda saling memahami. Inilah salah satu yang saya sukai dalam sebuah perjalanan, hubungan antar manusia itu tetap bisa terjalin meskipun beda bicara. Dengan saling melempar senyum, berprasangka baik diiringi hati yang terbuka. Indahnya dunia…

1
Lunch Break on the way to Golden Rock

Saat berhenti itu pula saya gunakan untuk toilet break yang mengesankan, karena pintu di toilet perempuan tidak dapat ditutup sempurna sehingga saya cukup was-was saat melakukan ritual itu. Entah apa jadinya jika tiba-tiba pintu dibuka dari luar 😀 Untunglah tak terjadi.

Setelah semua penumpang lengkap, bus melanjutkan perjalanan menuju Kinpun.

Ketika sampai di Kinpun, ternyata bus itu berhenti bukan di terminal melainkan di hotel yang menjadi grupnya. Bersama penumpang lainnya, saya turun dan berjalan kembali ke terminal keberangkatan truk. Truk? Iya, truk yang bagian bak belakangnya dimodifikasi dengan diberi besi-besi melintang ditambah bantalan sebagai dudukan sehingga banyak orang bisa duduk. Penumpang harus naik dulu ke platform tinggi bertangga seperti layaknya mau naik gajah wisata.

Dan jangan salah, di terminal itu jalur truknya tidak hanya ke Golden Rock tetapi banyak juga ke tempat lain dan jangan harap ada tulisan latin! Wajah saya menunjukkan kebingungan tapi banyak juga orang yang mau menolong. Sekali bertanya, saya langsung ditunjukkan truk yang akan ke Golden Rock. Alhamdulillah!

Saya harus membayar 2000MMK atau 2000 Kyat untuk ke Golden Rock karena dengan lembaran uang 5000MMK yang saya berikan, kondekturnya mengembalikan 3000MMK. Saya duduk di pinggir dengan ransel di antara kaki.

2
Onboard the Truck to Golden Rock
3
From Kinpun to Golden Rock
4
From Kinpun to Golden Rock with Sharp Turn

Perjalanan truk ke Golden Rock cukup membuat deg-degan apalagi duduk di pinggir. Saya lebih banyak melihat jurang daripada tanah yang datar. Terutama kalau jalannya menanjak tinggi atau berbentuk tikungan tajam. Saya hanya bisa berdoa, karena tak yakin apakah ada asuransi yang bersedia mencover dengan menaiki truk modifikasi ini. Saya tidak berani membayangkan truk ini terguling. Uh, amit-amit. Tetapi setahu saya, insiden seperti ini rendah sekali atau nyaris tidak ada (meskipun mungkin tidak pernah di-publish atau juga karena saya tidak bisa baca tulisan mereka).

Di tengah perjalanan, truk berhenti di sebuah tempat yang ternyata merupakan tempat minta donasi. Ada lebih dari satu orang laki-laki di bagian depan bicara dengan seru, kelihatannya sedang memberikan penasehatan iman (meskipun pendengarnya banyak yang mengabaikan dan ngobrol sendiri, tapi pada akhirnya mengulurkan juga donasinya). Saya tersenyum sendiri, karena sering melihat peristiwa serupa dengan latar agama yang berbeda.

Truk berjalan lagi melintasi jalan yang berkelok-kelok hingga satu tempat agak terbuka, saya terpesona juga dengan apa yang saya lihat. Ada kereta gantung di Myanmar! Dan truk pun pergi menuju stasion awal kereta gantung itu untuk memberi kesempatan turun bagi penumpang yang ingin menaiki kereta gantung itu. Sebenarnya saya ingin turun tetapi saya tidak tahu tujuan akhirnya. Jadi saya diam saja di truk. Melihat perkembangan transportasi ini, saya merasa sedikit kontradiktif. Di Myanmar ini, sementara saya berada di bagian belakang truk yang dimodifikasi sederhana, ada juga transportasi kereta gantung yang memerlukan teknologi dan pengamanan tinggi.

5
Cable Car view from the Truck

Tak lama kemudian bus melanjutkan perjalanan menuju Golden Rock. Dan setelah beberapa kali badan ini terhimpit oleh ibu-ibu di sebelah saya karena tikungan-tikungan tajam, akhirnya sampai juga saya di terminal akhir Golden Rock. Dengan intuisi seadanya, saya mengikuti saja jalannya penduduk lokal karena seharusnya mereka akan Pagoda juga kan? Sebenarnya nekad juga ya… tetapi entah kenapa saya meyakininya. Dan benarlah, karena kemudian saya mengenali situasi seperti yang saya lihat di google street dan youtube. Horeee…

Setelah beberapa langkah, saya sampai pada tempat tiket masuk. Sebagai foreigner, saya dikenakan 10000MMK untuk masuk ke pelataran Golden Rock lalu diberikan kalung bertanda tamu asing yang sampai pulang saya tidak kenakan. 🙂 🙂 Bagi penduduk lokal, tidak dikenakan biaya masuk.

Tidak jauh dari tempat tiket, sampailah saya pada hotel yang telah saya pesan. Sebenarnya bisa saja tidak menginap di Golden Rock, tetapi buat saya, menyaksikan matahari tenggelam di Golden Rock itu must-see dan jika memungkinkan juga saat matahari terbit. Lagi pula, truk terakhir turun jam 5 atau 6 sore sehingga dengan menginap saya memiliki kebebasan untuk menjelajah sepuas hati.

Setahu saya hanya ada tiga hotel di sekitaran Golden Rock yaitu Mountain Top Hotel, Kyaikhto Hotel dan Yoe Yoe Lay Hotel dan semuanya terasa kemahalan untuk fasilitas yang disediakan. Tetapi tidak bisa mengajukan complaint karena mahalnya itu disebabkan oleh nilai dekatnya jarak dengan Golden Rock. Jika tidak mau mengeluarkan uang, mungkin bisa saja tidur di lantai pelataran pagoda 🙂 Tetapi maaf ya, saya tidak tahu pasti apakah foreigner boleh tidur di pelataran pagoda seperti penduduk lokal. Bagaimanapun menginap kemahalan di salah satu hotel itu pasti ujung-ujungnya adalah ada harga, ada barang ‘kan? Sunset, bintang bertaburan saat malam dan sunrise, serta kebebasan untuk menjelajah… mungkin bagi saya menjadi faktor penting yang tidak bisa diabaikanbegitu saja…

<Bersambung>

Ada Cerita Menyebalkan di atas Kursi Pesawat


Dalam setiap penerbangan tidak jarang terjadi hal-hal tak terduga saat duduk di kursi pesawat yang membawa kita terbang yang mungkin sangat menjengkelkan hingga rasanya berada di tepi jurang kesabaran. Susahnya, di kala badan sudah lelah karena perjalanan, biasanya tepi kesabaran cepat sekali terjangkaunya dan terjadilah hal-hal ‘ajaib’ yang memalukan saat kejengkelan atau kemarahan menguasai diri. Tetapi serunya, setelah beberapa waktu, kejadian itu berubah, bisa jadi terlihat sebagai sesuatu yang lucu untuk dikenang, sebagai warna indah perjalanan itu sendiri….

Nomorku, nomormu…

Di hampir setiap penerbangan budget, saya membeli nomor kursi dengan alasan khusus dan tentu saja uang yang tidak sedikit. Kebanyakan window seat jika saya mau tidur sepanjang perjalanan atau justru sedang ingin mengambil foto luar. Kadang kala saya memilih bagian lorong karena ingin kemudahan akses untuk bisa cepat turun dari pesawat atau akses toilet.

P1000046-1

Namun karena saya selalu punya alasan untuk duduk di kursi itu maka saya akan sangat cepat sampai pada tepi kesabaran jika ada orang hendak merampasnya. Karena saya sangat tidak toleran untuk hal ini. Pernah suatu ketika, seorang ibu ngotot menduduki kursi saya dan berusaha negosiasi karena ingin berdekatan dengan anaknya. Biar terbang sampai bulan pun, saya tidak akan memberikan kursi saya 😀 kecuali dia kasih tiket gratis ke destinasi lain… Tetapi untuk beli kursinya sendiri saja sudah tak bersedia apalagi kasih tiket gratis kan?

Ada kejadian mirip, kali ini seorang pramugari yang langsung meminta saya menunjukkan boarding pass karena seorang ibu berkata bahwa saya duduk di kursinya sementara saya sudah pasti menduduki sesuai nomor kursi yang ada pada boarding pass. Jengkel, saya membongkar tas tangan mencari boarding pass hanya untuk menunjukkan bahwa si pramugrasi itu tidak memeriksa lebih dulu boarding pass si ibu yang baru datang dan yang nyata-nyatanya bingung menbaca nomor kursi di boarding passnya sendiri. Seandainya ada interface langsung dari pikiran saya ke film komik, mungkin terlihat di layar saya sedang menggepengkan si pramugari bertampang lempeng itu pakai mesin giling.

Lain lagi ceritanya ketika berada di sebuah penerbangan pulang menuju Kuala Lumpur, saya membeli kursi di jendela dalam area quiet zone karena berkeinginan untuk istirahat. Quiet zone merupakan wilayah yang tenang, tidak diperuntukkan untuk anak dan bayi dan jika bicara harus dalam volume rendah. Malangnya di belakang saya duduklah seseorang yang mendapat kursi tanpa mengetahui peruntukan dari area kursi tersebut. Sejak take off, mungkin karena kebeliaannya, tanpa peduli ia memasang music hip-hop dari negaranya melalui speaker dari music playernya. Sebenarnya saya penyuka segala macam musik, tetapi saat itu kondisi tubuh benar-benar lelah ingin beristirahat dan menginginkan suasana tenang seperti yang dijanjikan oleh maskapai. Saya yang telah membayar mahal untuk kursi itu, pada awalnya mencoba untuk mengabaikan musik yang dipasang pada volume cukup keras itu. Tetapi pramugari tak juga memberitahu pemuda itu, bisa jadi ia sejenis yang sungkan atau bisa juga yang tidak mau tahu, sehingga saya memanggil pramugari dan bertanya apakah memang kursi yang saya dan orang itu duduki itu termasuk wilayah quiet zone. Pramugari itu mengiyakan. Saya sampai mengulang jawabannya supaya pasti dan karenanya saya minta dia untuk membicarakan hal itu kepada penumpang di belakang saya. (Sabar dimanakah kamu???)

Pada saat saya bicarakan dengan pramugari itu, karena saya duduk di dekat jendela, maka saya harus melampaui dua orang. Orang yang duduk di bagian lorong pasti mendengar pembicaraan saya dan sepertinya ia berasal dari Negara yang sama dengan pemuda itu. Hebatnya, saat turun di Kuala Lumpur, ransel saya diambilkan olehnya, mungkin sebagai penebusan atas apa yang dilakukan salah satu bangsanya (mungkin juga karena dia memang baik hati!) dan akibatnya gantian saya yang merasa tidak enak hati karena mendapat perlakuan baik dari orang.

Tetapi pernah juga ada orang yang menduduki kursi saya dan ketika saya bertanya padanya, bahkan dia tidak tahu cara membaca informasi di boarding pass dan ia menganggap bisa duduk dimana saja. Melihat dirinya yang lusuh dan sepertinya baru kali pertama naik pesawat terbang, akhirnya saya serahkan dia ke Pramugari untuk mencari tempat duduknya yang ada di bagian depan, padahal saat itu saya mendapat tempat di bagian belakang. Tidak terbayangkan dia harus berjalan melawan arah menembus barisan orang yang tidak sabar untuk mencapai tempat duduknya masing-masing.

Menendang Kursi di Depannya

Sudah sewajarnya orang duduk manis di kursi sepanjang perjalanan dan menghargai orang lain yang duduk di kursi yang lain. Tetapi tak jarang, ada orang yang tak betah duduk lama lalu merasa duduk di bale-balenya sendiri dengan lutut atau telapak kaki menekan kursi di depannya. Alhasil saya yang duduk di depannya serasa ditendang-tendang. Bagaimanapun seperti orang bijak bilang, to err is human, to forgive divine… sehingga walaupun itu penyebabnya kaki anak kecil, biasanya saya akan memohon pengertian dari keluarga atau orang dewasa yang ada didekatnya. Anak kecil mungkin tidak mengetahui atau tidak dididik oleh keluarganya untuk duduk manis, tetapi paling tidak orang dewasa yang mendidiknya seharusnya mengerti kesopanan. Lagi pula bagaimana bisa tidur jika kepala atau punggung  jadi terpental-pental? Sekali lagi, si sabar bersembunyi entah dimana…

Jempolnya nyelonong…

Saat itu saya dalam penerbangan dengan menggunakan pesawat ATR72 di Myanmar. Pesawat itu memang dibuat bukan untuk penumpang-penumpang bertubuh tinggi, sehingga tentu saja bagi mereka sangat kesulitan meletakkan kakinya yang panjang. Karena ransel saya tidak muat di kabin atas, saya jejalkan di bawah, di dekat kaki. Saat itu kursi di sebelah saya kosong. Setelah terbang beberapa menit, saya terkejut setengah mati karena melihat jempol kaki yang besar tak beralas nyelonong di bawah kursi sebelah saya.

P1020441

Beruntung hidung saya saat itu sedang tidak sensitif mencium  bau jempol, tetapi karena jarang mengalami hal itu, saya mengabadikan si jempol itu sambil senyum-senyum membayangkan seandainya ada jarum gede tentu akan saya tusuk jempol itu seperti penyihir yang menusukkan jarum ke boneka voodoo-nya. Bayangan dia akan menarik kakinya hingga lutut dan kakinya terbentur kursi besi karena ditusuk jarum itu sangat komikal membuat saya tersenyum lebar penuh kejahilan …

Siapa Tahu Dia Mengerti…

Bersama teman, -yang juga kawan satu sekolah dulu-, saat melakukan perjalanan bersama sudah sepakat untuk tidak membicarakan orang dalam satu pesawat. Selain karena tak baik secara moral, kami sangat mengingat cerita guru sekolah kami, yang ceritanya waktu itu sedang antri dan entah bagaimana terdorong orang di belakangnya. Karena sedang di Belanda dan menganggap tidak ada yang memahami bahasa Jawa, beliau sedikit mengomel dalam bahasa Jawa yang kurang lebihnya berarti, dasar orang bule tidak sabar, pasti udelnya bodong. Tak dinyana, bule yang tak sengaja mendorongnya itu langsung meminta maaf berkali-kali dalam bahasa Jawa Halus, sambil mengatakan bahwa udelnya tidak bodong (bodong: pusar yang muncul keluar) !!!

Lagi-lagi soal bahasa yang dipahami, siapa yang sangka saya diajak bicara oleh seorang bule totok dari Inggris dalam bahasa Indonesia bercampur Melayu di dalam pesawat ATR berbaling-baling di Nepal? Berapa nilai kemungkinan orang asing yang bisa berbicara dalam bahasa Indonesia di pesawat berpenumpang 60-an itu?

Bagaimana Kalau Ada Sepuluh?

Masih ada cerita lain… Dalam sebuah penerbangan saya duduk di belakang ibu yang memiliki bayi. Saya sudah bersiap-siap untuk menutup telinga jika si bayi menangis sepanjang perjalanan. Tetapi si ibu sepertinya santai saja. Dan benarlah, adegan bayi menangis sudah dimulai sejak pesawat menuju run-way dan semakin keras dan semakin keras. Suara bayi menangis menyaingi deru pesawat yang terbang melesat mencapai ketinggian. Kondisi penumpang yang tidak diperbolehkan bangun membuat seisi pesawat menikmati irama tangis si bayi. Tetapi hingga tanda sabuk pengaman dipadamkan, si bayi tidak berhenti menangisnya. Orang-orang mulai menoleh memberi wajah tak senang kepada sang ibu. Saya teringat ketika membawa terbang anak saya yang ketika itu berusia 11 bulan. Persiapan matang saya lakukan, dari mainan-mainan, botol susu, botol air putih, hingga konsultasi dulu ke dokter untuk tips terbangnya. Sehingga bayi saya tidak mengganggu orang lain. Namun tak semua orang bisa sempat melakukan persiapan untuk bayinya saat terbang. Bahkan saya sempat melihat sang ibu hanya pasrah tak tahu apa yang dilakukan bahkan menyuruh nanny-nya untuk menenangkan si bayi. Tak hanya itu, saya sempat mendengar seorang laki-laki muda di seberang lorong memanggil pramugari untuk meminta sang ibu menenangkan anak itu, dan jika tidak bisa diam, dia minta dipindahkan ke belakang padahal pesawat penuh. Saya tersenyum mendengarnya, dia mungkin belum memiliki anak. Lagi-lagi saya hanya berpatokan cerita orang bijak. Bagaimana kalau ada 10 bayi menangis bersamaan? 😀

Lain lagi ceritanya ketika saya dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Kathmandu, di sebelah saya duduklah seseorang yang tampaknya baru selesai buang hajat besarnya saat di Kuala Lumpur. Bisa jadi dia tidak membersihkan dirinya dengan baik atau tak sadar bahwa bau buangannya menempel di pakaiannya. Empat jam lebih sejak take off dari Kuala Lumpur hingga mendarat di Kathmandu saya tak bergerak di kursi menikmati ‘harum’nya itu. Melihat dia sepertinya sebagai pekerja migran, hati saya tersentuh. Bisa jadi dia pulang demi keluarganya yang sudah lama tak dilihatnya. Tetapi empat jam lebih dengan bau-bauan seperti itu? Saya berhasil bertahan melewati empat jam itu tanpa ekspresi, tanpa muntah atau menutup hidung secara terang-terangan yang akan menyakitinya. Saya mengatasinya hanya dengan mengingat cerita orang bijak. Untung satu orang, bagaimana jika depan, belakang dan sekeliling saya dipenuhi orang dengan bau seperti itu? Satu orang jauh lebih baik daripada 10 orang! Dan bukankah hanya sekali dalam perjalanan ini?

Kursi-kursi pesawat itu punya cerita masing-masing.

Tak luput saya menyaksikan orang yang tadinya duduk di depan saya, saat baru beberapa detik berdiri antri di lorong tiba-tiba jatuh pingsan menimpa orang di belakangnya, yang akhirnya mengacaukan antrian keluar pesawat.

Atau mana yang lebih menyebalkan saat tidak bisa tidur, mendengar pertengkaran sepasang kekasih dengan volume rendah tetapi kasar hingga si gadis menangis lalu mendadak berdiri lari ke toilet mungkin karena tidak tahan lagi, ataukah suara kecup-kecup mesra berkepanjangan di tengah keremangan terbang malam? *cari tutup kuping

Bagaimana dengan Anda, punya cerita juga saat berada di kursi pesawat?

Menelusuri Yangon, Kota yang Semakin Berdenyut


Dari ketinggian langit Burma, melalui jendela pesawat saya memperhatikan daratan di bawah dengan detak rasa yang gemuruh karena ada jalinan keterikatan emosi dengan Burma (kalau mau tahu kenapa, baca Menapak Tilas untuk Sebuah Cinta). Berbagai rasa  membuncah antara senang, haru, antusias, tidak sabar dan lain-lain. Langsung tergambar di benak letak geografis Burma yang secara kasar berbentuk seperti ikan pari itu dan Bangladesh, India, Cina, Laos, Thailand merupakan negara-negara yang berbatasan langsung dengan Burma yang membawa berkah keberagaman tradisi di negara yang belakangan terkenal karena pamor dari  Aung San Suu Kyi itu.

Saya masih melihat keluar pesawat melalui jendela dan ada rasa terpilin dalam hati melihat kegersangan tanah ketika pesawat makin mendekat bumi untuk mendarat. Sejauh mata memandang hanyalah bumi gersang kecoklatan diantara sungai besar yang membentang. Kemana tanah subur yang menghasilkan beras yang dahulu terkenal enak itu? Ataukah karena saya datang pada musim dan waktu yang salah sehingga tidak melihat kehijauan sawah ? Bisa jadi demikian… Tapi kegersangan itu tidak cukup untuk menghilangkan antusiasme mengunjungi Burma.

Pesawat mendarat dengan mulus di landasan yang mampu didarati pesawat berbadan besar, – walaupun saat itu tidak tampak satu pun pesawat yang berukuran bongsor (jumbo) -, dan bergerak perlahan menuju terminal kedatangan. Bandara Internasional Yangon, yang merupakan ekstensi dari yang gedung lama, cukup megah untuk ukuran negara yang terkena sanksi dari banyak negara besar itu sementara gedung lamanya saat ini dimanfaatkan untuk penerbangan domestik. Saya mengerjapkan mata yang terasa pedas, menggigit bibir, menahan rasa yang bergejolak keluar. Akhirnya… akhirnya saya bisa sampai di Burma!

Seperti penumpang lain, saya turun melalui garbarata yang tersedia, memandangi bilik-bilik keberangkatan yang ada di balik kaca. Nanti saya akan berada lagi di bilik itu setelah saya mengelilingi Burma. Tapi ah, itu nanti, hati saya berteriak, sekarang fokus untuk memulai perjalanan! Kaki terus melangkah dan rombongan yang baru keluar dari perut pesawat itu langsung diarahkan menuju konter imigrasi di lantai 1. Di bagian depan dari konter imigrasi terlihat bilik Visa On Arrival, tetapi saat itu tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Saya teringat informasi dari milis, tentang betapa menggodanya bilik yang kosong namun jelas terlihat tulisan Visa On Arrival. Banyak orang beranggapan bahwa VOA diberlakukan di Yangon untuk semua pengunjung. Lanjutkan membaca “Menelusuri Yangon, Kota yang Semakin Berdenyut”