Love recognizes no barriers. It jumps hurdles, leaps fences, penetrates walls to arrive at its destination full of hope ~ Maya Angelou
Bisa jadi quote Maya Angelou di atas mewakili rasa perjalanan saya kembali ke Myanmar setelah tujuh tahun. Untuk pertama kalinya saya memilih terbang tengah malam dengan AirAsia ke Yangon via Kuala Lumpur dengan harapan bisa mengejar bus pagi agar sampai di Golden Rock sebelum matahari terbenam. Memang sedikit melelahkan bepergian dari tengah malam hingga jelang malam berikutnya, tapi cinta pada perjalanan sepertinya mampu mengalahkan semua hambatannya. Lagipula saya bisa istirahat di pesawat dan di bus, serta tentu saja menghemat hotel, makan serta kemungkinan belanja karena toko masih tutup ‘kan?
Namun kenyataannya, sayapun terjatuh pada ‘kerikil’ perjalanan. Kesombongan mencintai perjalanan diuji saat boarding tengah malam itu. Tanpa periksa lagi, saya bersikap angkuh, dengan nada tinggi menuntut hak kursi di jendela 16F kepada orang yang sudah setengah tertidur menduduki kursi. Nada tinggi saya membangunkannya dan dengan sebalnya akhirnya ia menunjukkan boarding passnya yang bernomor 17F! Woilaaaa…. Langit rasanya runtuh… ternyata kursi saya terlewati dan kursi saya itu ada didepannya dan kosong!!! Malunya disaksikan satu pesawat itu tak tertahankan! Tanpa pikir panjang saya duduk, menutupi muka dengan jaket lalu pura-pura tidur… 😀

Penerbangan berjalan lancar hingga mendarat di KLIA2. Masih setengah mengantuk, saya menyusuri travelator menuju ruang transfer antar bangsa untuk kemudian melihat gate penerbangan selanjutnya. Sambil berjalan menuju gate saya tersenyum melihat banyak orang tidur meringkuk di sudut-sudut nyaman lantai bandara yang berkarpet atau di kursi-kursi panjang. KLIA2 memang termasuk bandara yang nyaman untuk tidur overnight. Tersedia air panas untuk minum atau sekedar pelarut makanan instan dan yang paling penting bagi saya adalah kamar mandi, yang semuanya gratis.
Tidak ada yang menarik dalam penerbangan dari Kuala Lumpur ke Yangon, kecuali kebanyakan saya tertidur dan baru terjaga jelang mendarat. Dan ketika akhirnya roda pesawat menyentuh runway dengan mulus, sekelumit rasa haru meliputi saya. Akhirnya saya bisa kembali ke negeri ini, Pa dan nanti saya akan ke tempat itu…
Rasa haru itu tak lama karena saya terpesona ketika memasuki terminal kedatangan. Bandara ini telah berubah banyak dalam tujuh tahun dan tidak kalah hebatnya dengan bandara-bandara internasional lainnya, bahkan tidak perlu lagi arrival card untuk imigrasi yang layanannya juga cepat. Ah, tiba-tiba saya teringat tujuh tahun lalu harus bolak-balik mengurus visa ke Kedutaan Myanmar di Jakarta dan kini saya melenggang masuk, melewati ban-ban berjalan itu karena saya tidak membawa bagasi.
Dalam sekejap pemandangan laki-laki berlongjyi dan perempuan berkain yang telah begitu lama tidak saya lihat, kini terhampar di depan mata, dimana-mana. Kenangan tujuh tahun lalu menari-nari di benak yang dengan cepat saya hilangkan karena perlu segera ambil uang via ATM yang terletak dekat KFC. Dengan salah satu kartu Bank Swasta Nasional kita, uang dengan mudah keluar. Tujuh tahun lalu, saya harus ketar-ketir menjaga kecukupan Bank Notes USD yang harus keluaran terbaru dan licin karena belum ada jaringan ATM Internasional. Belum lagi money changer terpercaya yang hanya terbatas, kalaupun ada yang lain, nilai tukarnya mengerikan. Betapa sekarang semakin mudah!
Setelah memegang uang lokal Kyat atau MMK, saya menuju konter taksi dan petugasnya langsung memberi harga standar US$ 7 atau 10000 MMK untuk tujuan ke terminal bus Aung Mingalar, yang menurut saya seharusnya bisa lebih murah untuk jarak itu. Tapi sudahlah, bukankah itu juga bagian dari peristiwa-peristiwa yang ada dalam perjalanan?
Karena telah memegang tiket bus Win Express menuju Kinpun yang dipesan online seminggu sebelumnya sebesar US$7.6, pengemudi taksi menurunkan tepat di depan bus dan tempat tunggunya. Saya tak lama menunggu di konter itu karena setelah beberapa menit bus berangkat menempuh perjalanan panjang sekitar 6 jam.
Saya memilih bus Win Express sesuai rekomendasi sahabat Celina yang pernah ke Golden Rock sebelumnya. Menurut penuturannya, banyak turis sebenarnya mau ke Golden Rock tapi mengatakannya ke Mt. Kyaikto, karena memang Golden Rock itu berlokasi di Mt. Kyaikto. Masalahnya, Kyaikto sendiri merupakan sebuah kota kecil yang masih cukup jauh dari Golden Rock dan harus naik bus lagi melalui desa Kinpun untuk mencapai Golden Rock. Sehingga kata kuncinya adalah Golden Rock bukan Mt. Kyaikto untuk menghindari salah komunikasi, atau bisa juga Kinpun.
Nah, meskipun banyak bus lain menawarkan harga yang lebih murah, tapi tidak sedikit yang hanya sampai Kyaikto saja dan cari sendiri transportasi lain ke Kinpun. Bus Win Express ini langsung berangkat dari Yangon ke Kinpun serta jadwalnya sesuai waktu yang saya rencanakan. Menyenangkan kan? Apalagi terus mendapatkan kemudahan hingga bisa berada dalam bus menuju Golden Rock itu, benar-benar anugerah ya…
Tetapi selalu ada kerikil lagi…
Rencana saya untuk melanjutkan tidur di bus langsung batal karena saya lupa beli SIM lokal untuk ponsel. Aduh, dasar saya yang suka lupa umur, pikirannya langsung ke pertanyaan bagaimana agar bisa tetap eksis dan nampang di medsos 😀 😀 😀 Tetapi, ya ampuuun… ketika mengakses aplikasi MyTelkomsel untuk membeli paket roaming, transaksi gagal. Serta merta saya seperti diguyur air es, panik! Dengan hati berat saya ON-kan roaming untuk minta pertolongan dari Indonesia, tetapi semua tidak berhasil. Saya mulai berpikir untuk offline selama perjalanan kecuali ada WIFI. Huaaaa…. :”(
Tetapi saya belum putus asa, mencoba lagi dengan cara lama sebelum adanya apps yaitu dengan cara Unstructured Supplementary Service Data (USSD). Dan… horeee…. Berhasil!!! *Dansa-dansa duluuu… Akhirnya tidak jadi komplen ke provider, yang penting bisa online, kan?
Setelah itu, baru saya memperhatikan keadaan bus yang lay-out kursinya dua-dua ini, ditambah AC yang cukup dingin menjadikan perjalanan selama 6 jam menjadi lebih nyaman. Di tengah perjalanan saat 30 menit break makan siang, saya menuju kios sebelah untuk membeli keripik kentang dan minuman botol. Meskipun terkendala bahasa, transaksi bisa berjalan baik, uang dan barang saling bertukar tempat ditambah senyum lebar tanda saling memahami. Inilah salah satu yang saya sukai dalam sebuah perjalanan, hubungan antar manusia itu tetap bisa terjalin meskipun beda bicara. Dengan saling melempar senyum, berprasangka baik diiringi hati yang terbuka. Indahnya dunia…

Saat berhenti itu pula saya gunakan untuk toilet break yang mengesankan, karena pintu di toilet perempuan tidak dapat ditutup sempurna sehingga saya cukup was-was saat melakukan ritual itu. Entah apa jadinya jika tiba-tiba pintu dibuka dari luar 😀 Untunglah tak terjadi.
Setelah semua penumpang lengkap, bus melanjutkan perjalanan menuju Kinpun.
Ketika sampai di Kinpun, ternyata bus itu berhenti bukan di terminal melainkan di hotel yang menjadi grupnya. Bersama penumpang lainnya, saya turun dan berjalan kembali ke terminal keberangkatan truk. Truk? Iya, truk yang bagian bak belakangnya dimodifikasi dengan diberi besi-besi melintang ditambah bantalan sebagai dudukan sehingga banyak orang bisa duduk. Penumpang harus naik dulu ke platform tinggi bertangga seperti layaknya mau naik gajah wisata.
Dan jangan salah, di terminal itu jalur truknya tidak hanya ke Golden Rock tetapi banyak juga ke tempat lain dan jangan harap ada tulisan latin! Wajah saya menunjukkan kebingungan tapi banyak juga orang yang mau menolong. Sekali bertanya, saya langsung ditunjukkan truk yang akan ke Golden Rock. Alhamdulillah!
Saya harus membayar 2000MMK atau 2000 Kyat untuk ke Golden Rock karena dengan lembaran uang 5000MMK yang saya berikan, kondekturnya mengembalikan 3000MMK. Saya duduk di pinggir dengan ransel di antara kaki.



Perjalanan truk ke Golden Rock cukup membuat deg-degan apalagi duduk di pinggir. Saya lebih banyak melihat jurang daripada tanah yang datar. Terutama kalau jalannya menanjak tinggi atau berbentuk tikungan tajam. Saya hanya bisa berdoa, karena tak yakin apakah ada asuransi yang bersedia mencover dengan menaiki truk modifikasi ini. Saya tidak berani membayangkan truk ini terguling. Uh, amit-amit. Tetapi setahu saya, insiden seperti ini rendah sekali atau nyaris tidak ada (meskipun mungkin tidak pernah di-publish atau juga karena saya tidak bisa baca tulisan mereka).
Di tengah perjalanan, truk berhenti di sebuah tempat yang ternyata merupakan tempat minta donasi. Ada lebih dari satu orang laki-laki di bagian depan bicara dengan seru, kelihatannya sedang memberikan penasehatan iman (meskipun pendengarnya banyak yang mengabaikan dan ngobrol sendiri, tapi pada akhirnya mengulurkan juga donasinya). Saya tersenyum sendiri, karena sering melihat peristiwa serupa dengan latar agama yang berbeda.
Truk berjalan lagi melintasi jalan yang berkelok-kelok hingga satu tempat agak terbuka, saya terpesona juga dengan apa yang saya lihat. Ada kereta gantung di Myanmar! Dan truk pun pergi menuju stasion awal kereta gantung itu untuk memberi kesempatan turun bagi penumpang yang ingin menaiki kereta gantung itu. Sebenarnya saya ingin turun tetapi saya tidak tahu tujuan akhirnya. Jadi saya diam saja di truk. Melihat perkembangan transportasi ini, saya merasa sedikit kontradiktif. Di Myanmar ini, sementara saya berada di bagian belakang truk yang dimodifikasi sederhana, ada juga transportasi kereta gantung yang memerlukan teknologi dan pengamanan tinggi.

Tak lama kemudian bus melanjutkan perjalanan menuju Golden Rock. Dan setelah beberapa kali badan ini terhimpit oleh ibu-ibu di sebelah saya karena tikungan-tikungan tajam, akhirnya sampai juga saya di terminal akhir Golden Rock. Dengan intuisi seadanya, saya mengikuti saja jalannya penduduk lokal karena seharusnya mereka akan Pagoda juga kan? Sebenarnya nekad juga ya… tetapi entah kenapa saya meyakininya. Dan benarlah, karena kemudian saya mengenali situasi seperti yang saya lihat di google street dan youtube. Horeee…
Setelah beberapa langkah, saya sampai pada tempat tiket masuk. Sebagai foreigner, saya dikenakan 10000MMK untuk masuk ke pelataran Golden Rock lalu diberikan kalung bertanda tamu asing yang sampai pulang saya tidak kenakan. 🙂 🙂 Bagi penduduk lokal, tidak dikenakan biaya masuk.
Tidak jauh dari tempat tiket, sampailah saya pada hotel yang telah saya pesan. Sebenarnya bisa saja tidak menginap di Golden Rock, tetapi buat saya, menyaksikan matahari tenggelam di Golden Rock itu must-see dan jika memungkinkan juga saat matahari terbit. Lagi pula, truk terakhir turun jam 5 atau 6 sore sehingga dengan menginap saya memiliki kebebasan untuk menjelajah sepuas hati.
Setahu saya hanya ada tiga hotel di sekitaran Golden Rock yaitu Mountain Top Hotel, Kyaikhto Hotel dan Yoe Yoe Lay Hotel dan semuanya terasa kemahalan untuk fasilitas yang disediakan. Tetapi tidak bisa mengajukan complaint karena mahalnya itu disebabkan oleh nilai dekatnya jarak dengan Golden Rock. Jika tidak mau mengeluarkan uang, mungkin bisa saja tidur di lantai pelataran pagoda 🙂 Tetapi maaf ya, saya tidak tahu pasti apakah foreigner boleh tidur di pelataran pagoda seperti penduduk lokal. Bagaimanapun menginap kemahalan di salah satu hotel itu pasti ujung-ujungnya adalah ada harga, ada barang ‘kan? Sunset, bintang bertaburan saat malam dan sunrise, serta kebebasan untuk menjelajah… mungkin bagi saya menjadi faktor penting yang tidak bisa diabaikanbegitu saja…
<Bersambung>