Kecuali tahun 2020 ini, hampir di setiap liburan Idul Fitri yang panjang itu, kami sekeluarga melakukan mudik ke Jogja dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jika biasanya kami mengambil rute Jalur Selatan karena ada keluarga yang tinggal di Ciamis, maka tiga tahun terakhir ini kami mengambil jalur Utara. Pertimbangannya selain keluarga di Ciamis banyak yang pindah ke Jogja, pada tahun 2017 itu juga jalur mudik via tol yang belakangan disebut Tol Trans-Java itu sudah difungsionalkan, meskipun hanya sebagian. Dasar saya penggemar jalan-jalan, tol baru pun saat itu langsung dicoba.
2017
Karena moodnya masih bagus, saya langsung foto-foto sejak berangkat dari Jakarta. Bahkan mall pinggir jalan di kawasan Bekasi pun tak luput saya foto. Dan seperti biasanya keluarga kami mulai menghitung mobil dengan bagasi di atas yang kadang-kadang bagasinya menghebohkan. Tak luput juga pemandangan menarik khas Lebaran seperti anak atau orang yang menggunakan kendaraan bak terbuka ditutup terpal. Kebahagiaan mudik jelas terlihat, tanpa peduli kondisi yang panas bahkan bahaya.
Dan ketika sampai di gerbang awal tol fungsional yang masih dibangun secara darurat secara paralel miring itu, saya bertambah antusias. Apalagi begitu keluar gerbang, kondisi jalan tol yang masih dalam proses konstruksi itu terhampar di depan mata. Cone-cone sebagai rambu sementara diletakkan di tempat-tempat yang perlu mendapat perhatian.
Selain harus menyalakan lampu utama di setiap kendaraan, -meskipun siang hari-, pengguna jalan juga diingatkan untuk menggunakan kecepatan maksimal 40km/jam. Padahal kebanyakan pengguna jalan tol terbiasa menggunakan diatas itu, bahkan ada yang nekad sampai 100km/jam!

Dan mulailah perjalanan di jalan tol yang sebenarnya masih dalam tahap konstruksi namun dapat difungsikan secara hati-hati. Sayangnya tidak semua pengguna jalan darurat ini menghargai upaya pemerintah membuat perjalanan mudik lebih nyaman. Namanya juga jalan tol fungsional, tentunya masih banyak kekurangan.
Diminta kecepatan kendaraan maksimal 40km/jam dan menyalakan lampu, tetapi lebih banyak pengguna yang tidak patuh. Tidak sedikit yang memaksa kendaraan diatas batas kecepatan membuat debu-debu beterbangan ke udara. Melupakan kenyamanan bagi orang yang tak menggunakan AC dalam kendaraannya atau yang tinggal di sekitar jalan tol itu.
Bisa jadi mereka memang tak menghargai kendaraannya sendiri. Jalan beton yang belum berlapis aspal, bisa menjadi jagal maut bagi ban kendaraan. Sepanjang jalan tidak sedikit kami melihat mobil-mobil bagus yang tadinya dikebut, mengalami permasalahan pada bannya. Tidak heran, ban memang bisa robek dihajar tepi bentukan beton yang masih tajam. Tapi bukankah sudah disarankan untuk berjalan maksimal 40 km/jam?
Selain berdebu, keriting, tak mulus, sepanjang jalan tol fungsional banyak pembangunan jembatan-jembatan. Hal ini membuat kami dan pengguna jalan lain harus menanjak curam lalu menurun yang tak kalah curamnya. Bagaimana mungkin ngebut? Apa mobilnya mau terbang kayak di film-film action Hollywood itu?
Belum lagi jembatan-jembatan daruratnya yang lumayan bikin deg-degan. Ada yang alasnya masih berlapis kayu dan mobil harus bergerak satu per satu mengikuti jalurnya. Ada juga yang masih menggunakan lempeng-lempeng baja sehingga berkendara di atasnya menghasilkan suara-suara yang berderit-derit mencekam. Meskipun ada petugas di sana-sini, tetapi tetap serem kan? Dan hampir semua jembatan masih menggunakan railing pembatas samping sementara.
Menggunakan jalan tol fungsional untuk mudik ini membuat saya sibuk dan terjaga terus sepanjang perjalanan. Sebab jarang-jarang kan bisa berkendara di jalan yang masih dalam tahap konstruksi? Kadang jalannya lurus membuat mengantuk, tapi ada juga jalan yang berliku. Kadang membuat saya tersenyum lebar melihat ada tiang listrik berdiri sendiri di atas gundukan tanah yang tidak bisa dipindahkan. Ini masalah umum dimana-mana, koordinasi antar instansi. (Teringat kondisi serupa dekat rumah saya sampai sekarang ada jalan lebar lalu menyempit pada jembatan karena jembatannya tidak bisa diperlebar sebab ada pipa besar di sebelah jembatan itu. Akibatnya jembatan itu jadi bottleneck macet. Ada yang lain lagi, Sebuah jalan yang lebar tapi terhalang masjid, dan sepertinya belum ada perbaikan hingga kini)
Menggunakan jalan tol fungsional harus siap menghadapi segala sesuatu dalam keadaan darurat. Rest-area yang darurat, atau pompa bensin darurat yang mengambil langsung dari mobil tanki Pertamina atau bensin gendong yaitu bensin yang dibawa langsung oleh petugas sesuai permintaan. Tapi yang penting dalam posisi-posisi tertentu harus tampil keren dan sadar kamera setiap saat 😀 😀 karena siapa tahu ada media yang sedang live menyiarkan berita secara langsung 😀 😀
Lalu apa yang terjadi pada saat balik kembali ke Jakarta? Berbeda dengan saat berangkat yang lancar dan hanya tersendat di beberapa tempat, saat kembali ke Jakarta bertepatan dengan puncak arus balik sehingga mengalami macet tak bergerak, menunggu waktu untuk one way arah Jakarta. Padahal Jakarta masih jauh…
Dan sambil bermacet-macet itu, banyak penduduk lokal yang memanfaatkan kondisi. Dengan sigap mereka berjualan, dari mie instan, kopi, teh dan lain-lain. Ada demand yaaa ada supply dong…
2018
Perjalanan seperti setahun sebelumnya berulang. Yah, namanya mudik kan pasti sama ya. Ada kebahagiaan tersendiri menuju kampung halaman tercinta meskipun harus melalui kemacetan. Bahkan perjalanan kami pun sudah mulai tersendat dari arah Cikarang. Tapi selalu saja kami beranggapan, kemacetan adalah bagian dari perjalanan mudik. Jadi harus dinikmati.

Kebiasaan kami sekeluarga menghitung jumlah kendaraan yang ada bagasinya di atap. Bukan kendaraan dengan roof rack yang mahal itu ya, melainkan bagasi yang dibungkus terpal atau plastik secara darurat. Jumlah hitungan kami, bukanlah tujuan akhir, melainkan kegembiraan melihatnya. Kami membayangkan isinya, kadangkala ada kasur, sepeda roda tiga, kursi roda sampai kardus dan koper. Kami juga memperkirakan jumlah orang yang naik di kendaraan itu hingga tak bisa meletakkan bagasi di dalam mobil, –kadang wajah lelah tapi gembira, kadang ada telapak kaki menempel di kaca belakang, kadang wajah-wajah yang ‘terhimpit’ oleh mereka yang fisiknya lebih besar. Meskipun demikian, ada kesamaan rasa yang bisa kami rasakan. Ada bahagia hendak pulang ke kampung halaman. Walaupun kendaraan terlihat menjadi ‘mblesek‘ karena terlalu berat 😀
Tapi tidak semua kendaraan yang membawa bagasi di atas itu adalah kendaraan-kendaraan yang masuk kategori mobil sejuta umat karena tidak sedikit diantaranya adalah mobil-mobil yang masuk kategori mobil mewah yang harganya mencapai ratusan juta. Dan bagasinya tidak kira-kira tingginya. Ketika kami berada di belakangnya, suara angin menghempas-hempaskan penutupnya itu terdengar menghebohkan, apalagi bentuknya yang terlihat amat besaaaar…

Tetapi keseruan khas mudik itu tidak dapat kami nikmati lama-lama karena akhirnya perjalanan memang lancar. Pakai banget. Karena tidak ada lagi jalan tol darurat seperti setahun sebelumnya, tidak ada lagi jembatan sementara yang masih menggunakan alas baja atau kayu, tidak ada lagi jalan yang berdebu dengan kerikil lepas. Praktis kendaraan bisa melaju dengan cepat, wuuuussshh… wuuuussshh… wuuuussshh…
Persimpangan-persimpangan jalan tol terlihat cantik dengan jembatan lebar dan terhampar jelas dari jauh. Ditambah rambu-rambu berwarna hijau yang setahun sebelumnya belum ada.

Tahun itu kami menginap dulu di Semarang, berwisata kuliner sebentar di Simpang Lima sebelum melanjutkan ke Solo. Bagi kami, mudik tidak selalu berarti harus langsung sampai ke Jogja secepat mungkin. Kami menikmati perjalanan dengan berhenti di kota-kota yang memang ingin disinggahi.
Saya memang mengatur itinerary seperti itu. Menginap semalam di Cirebon sehingga jika terkena macet pun tidak terlalu melelahkan badan. Menikmati kuliner di Cirebon, jika memungkinkan berkunjung ke tempat-tempat wisata. Yang pasti tempat menginap harus memiliki tempat tidur yang nyaman dan bisa mandi yang enak! Istirahat cukup ditambah badan yang segar, mood pastilah membaik. Iya kan?
Esoknya lanjut ke Semarang lalu besoknya lagi ke Ambarawa lalu ke Solo, ngapain? Ya pengen aja ke tempat-tempat itu! Baru setelah itu ke Jogja. Padahal di kota-kota yang kami inapi semalam-semalam itu tidak ada keluarga. (Sssstttt… sebenarnya, sssst, jangan kasih tau yaa, sebenarnya kami suka hotel-hotelnya) 😀 😀 😀

Lalu pagi harinya perjalanan dilanjutkan lagi masih melewati jalan tol. Aduh, saya ini mudah sekali terharu. Masak melihat penanda Km.400-an itu saya jadi terharu. Sepanjang hidup saya, dulu menganggap jalan tol Jagorawi ke Bogor dan Ciawi yang 59 km itu luar biasa keren dan panjang karena itu satu-satunya jalan tol bebas hambatan yang ada dan dimiliki Indonesia. Sebelum ada Jagorawi, semasa kecil saya harus melewati Jalan Bogor lama atau via Parung hanya untuk ke Bogor. Dan bahagia sekali ketika merasakan bisa berkendara di Jagorawi.
Lalu ketika ada jalan tol yang menghubungkan Jakarta – Cikampek saya terharu lagi karena mengingat betapa lelahnya keluar dari Jakarta, selalu kena macet di perlintasan-perlintasan kereta api yang saya sebut “pintunya sudah ditutup tapi keretanya masih di Jakarta” sangking lamanya menunggu di perlintasan kereta. Apalagi setelah ada tol Purbaleunyi yang menghubungkan Jakarta – Bandung – Cileunyi sehingga tidak perlu lagi bermacet-macet di Puncak atau di Sadang jika mau ke Bandung. Jalan tol semakin panjang dan semakin menghubungkan banyak kota, sebagai warganegara saya sungguh-sungguh suka dengan perkembangan infrastruktur ini. Sehingga melihat rambu Km.400-an di luar kota Semarang itu, artinya dari Jakarta sudah lebih dari 400 km terhubung dengan jalan tol bebas hambatan. Bayangkan dengan jalan tol pertama, Jagorawi yang hanya 59 km!

Dan jalan tol itu masih belum berakhir…
Kami sekeluarga menikmati perjalan via jalan tol yang indah selepas Semarang. Jalan tol ini seperti di Bandung, menanjak dan menurun serta berliku dengan pemandangan yang amat indah.
Jalan tol yang nantinya disebut Jalan Tol Trans-Java itu memang pada tahun 2018 masih memberlakukan secara fungsional pada ruas Salatiga – Kartosuro. Memang tidak begitu rambu-rambu masih sedikit tetapi jalannya jauh lebih baik daripada jalan tol fungsional pada tahun 2017. Bahkan pada jembatan Kali Kenteng yang dihebohkan media pada waktu itu karena tingkat kecuramannya terasa landai saja. Kadang kala berita-berita hoax itu memang membuat orang menjadi cemas berlebihan. Padahal sih, jika sudah sampai di lokasinya saat itu, tidak ada yang menakutkan. Masih lebih serem melewati jalan nanjak ke Candi Cetho!

Perjalanan mudik tahun 2018 itu amatlah menyenangkan. Bahkan saat kembali ke Jakarta pun tidak mengalami kemacetan seperti pada tahun sebelumnya. Lalu bagaimana di tahun 2019?
2019
Perjalanan mudik di tahun 2019 ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan tahun 2018, terutama di perjalanan kembalinya. Dengan kondisi jalan tol yang sudah lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya tentunya perjalanan seharusnya semakin nyaman. Bahkan bagi pemudik yang langsung ke Semarang, bisa menggunakan jalur one way yang langsung keluar di Gerbang Tol Kali Kangkung. Sedangkan kami, seperti biasa masih senang menginap semalam-semalam di sepanjang jalan tol itu. Tapi tetap saja, meskipun sudah empat lajur terbuka menuju arah Timur, kepadatan lalu lintas tak dapat dihindari jelang Km 180 Cikopo – Palimanan.

Selepasnya, perjalanan mudik seperti biasa, langsung wush-wush-wush… Jalan terasa lengang, entah kemana mobil-mobil yang lain, Mungkin mereka semua memenuhi rest area untuk beristirahat.

Dan saya terkesan sekali melihat Jembatan yang keren jelang Semarang, yang dikenal dengan nama Jembatan Kali Kuto. Jembatan ini dikenal sebagai jembatan yang menjadi icon dari Jalan Tol Batang – Semarang.
Sepanjang jalan tol yang lurus itu, warna merah dari lengkung jembatan amat menarik perhatian. Tidak heran kalau pengguna jalan tol akan melambatkan sedikit saat melewati jembatan ini hanya untuk mengabadikan icon unik ini.

Dan kami masih melanjutkan perjalanan ke Jogja, kali ini tanpa ke Solo dahulu. Sekali lagi kami melewati jalan tol dengan pemandangan indah. Perjalanan sudah lebih baik dari tahun sebelumnya. Sebelum sampai Solo, kami telah keluar gerbang tol menuju Jogja sambil berharap bahwa Jalan tol Solo – Jogja akan terealisasi dalam waktu dekat.

Selesai bersilaturahmi dengan keluarga di Jogja, ada saatnya kami harus kembali ke Jakarta. Dan dalam perjalanan pulangnya, masih sekitar 180 km untuk sampai ke Jakarta, kendaraan langsung mengantri, menjadi semakin padat. Tak ada lagi kebahagiaan dan wajah-wajah senyum sumringah ketika mudik. Kebanyakan berpacu siapa yang paling cepat sampai ke Ibukota.
Masih 180km untuk ke Jakarta, tapi saya biarkan dua foto di bawah ini yang berbicara yaa…
§
Pos ini ditulis sebagai tanggapan atas tantangan mingguan dari Celina, Srei’s Notes, A Rhyme In My Heart dan Cerita Riyanti tahun 2020 minggu ke-23 bertema Kendaraan agar bisa menulis artikel di blog masing-masing setiap minggu